Anda di halaman 1dari 43

UNIVERSITAS JEMBER

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN CIDERA OTAK


SEDANG (COS) DI RUANG GARDENA RUMAH SAKIT DAERAH
dr. SOEBANDI JEMBER

OLEH:
Koyyimatus Solehah, S.Kep.
NIM 182311101002

PPROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
JANUARI, 2019
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Pendahuluan pada Pasien dengan Cidera Otak Sedang (COS) di


Ruang Gardena RSD dr. Soebandi Jember telah disetujui dan disahkan pada
Hari, Tanggal :
Tempat : Ruang Gardena RSD dr. Soebandi Jember

Jember, Januari 2019

Pembimbing Akademik Stase Pembimbing Klinik


Keperawatan Bedah Ruang Mawar
FKep Universitas Jember RSD dr. Soebandi Jember

Ns. Muhammad Zulfatul A’la, S.Kep., M.Kep Sisiliana Rahmawati, S.Kep., Ns.
NIP. 19880510 201504 1 002 NIK 202201404 2 19900527
LAPORAN PENDAHULUAN
PASIEN DENGAN CIDERA OTAK SEDANG (COS)
Oleh : Koyyimatus Solehah, S.Kep

A. Anatomi dan Fisiologi Sistem Persarafan

Gambar 1. Anatomi kepala

Gambar 2. Fungsi otak


1) Tengkorak
Tulang tengkorak menurut Pearce (2008) merupakan struktur tulang
yang menutupi dan melindungi otak, terdiri dari tulang kranium dan tulang
muka. Tulang kranium terdiri dari 3 lapisan: lapisan luar, etmoid dan lapisan
dalam. Lapisan luar dan dalam merupakan struktur yang kuat sedangkan
etmoid merupakan struktur yang menyerupai busa. Lapisan dalam membentuk
rongga/fossa; fossa anterior di dalamnya terdapat lobus frontalis, fossa tengah
berisi lobus temporalis, parientalis, oksipitalis, fossa posterior berisi otak
tengah dan sereblum.

Gambar 3. Lapisan cranium


1. Meningen
Pearce (2008) mengatakan bahwa otak dan sumsum tulang belakang diselimuti
meningen yang melindungi struktur saraf yang halus itu, membawa pembuluh
darah dan sekresi sejenis cairan, yaitu: cairan serebrospinal yang memperkecil
benturan atau goncangan. Selaput meningen menutupi terdiri dari 3 lapisan yaitu:
a) Dura mater
Dura mater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan endosteal
dan lapisan meningeal. Dura mater merupakan selaput yang keras, terdiri atas
jaringan ikat fibrisa yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium.
Karena tidak melekat pada selaput arachnoid di bawahnya, maka terdapat
suatu ruang potensial ruang subdural yang terletak antara dura mater dan
arachnoid, dimana sering dijumpai perdarahan subdural. Pada cedera otak,
pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak menuju sinus
sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins, dapat
mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis
superior mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus.
Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat.
Hematoma subdural yang besar, yang menyebabkan gejala-gejala neurologis
biasanya dikeluarkan melalui pembedahan. Petunjuk dilakukannya pengaliran
perdarahan ini adalah: 1) sakit kepala yang menetap 2) rasa mengantuk
yang hilang-timbul 3) linglung 4) perubahan ingatan 5) kelumpuhan ringan
pada sisi tubuh yang berlawanan. Arteri-arteri meningea terletak antara dura
mater dan permukaan dalam dari kranium ruang epidural. Adanya fraktur dari
tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan
menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami cedera
adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa media fosa temporalis.
b) Selaput Arakhnoid
Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang. Selaput
arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam dan duramater sebelah luar
yang meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari duramater oleh ruang
potensial, disebut spatium subdural dan dari piamater oleh spatium
subarakhnoid yang terisi oleh liquor serebrospinalis. Perdarahan subarakhnoid
umumnya disebabkan akibat cedera kepala.
c) Pia mater
Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia mater adalah
membran vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan
masuk kedalam sulci yang paling dalam. Membran ini membungkus saraf
otak dan menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk kedalam
substansi otak juga diliputi oleh pia mater.
2. Otak
Menurut Price (2005), otak terdiri dari 3 bagian, antara lain yaitu:
a) Cerebrum

Gambar 4. Lobus-lobus otak

Cerebrum atau otak besar terdiri dari dari 2 bagian, hemispherium serebri
kanan dan kiri. Setiap henispher dibagi dalam 4 lobus yang terdiri dari lobus
frontal, oksipital, temporal dan pariental. Yang masing-masing lobus
memiliki fungsi yang berbeda, yaitu:
1) Lobus frontalis
Lobus frontalis pada korteks serebri terutama mengendalikan keahlian
motorik misalnya menulis, memainkan alat musik atau mengikat tali
sepatu. Lobus frontalis juga mengatur ekspresi wajah dan isyarat tangan.
daerah tertentu pada lobus frontalis bertanggung jawab terhadap
aktivitas motoric tertentu pada sisi tubuh yang berlawanan. Efek
perilaku dari kerusakan lobus frontalis bervariasi, tergantung kepada
ukuran dan lokasi kerusakan fisik yang terjadi. Kerusakan yang kecil,
jika hanya mengenai satu sisi otak, biasanya tidak menyebabkan
perubahan perilaku yang nyata, meskipun kadang menyebabkan kejang.
Kerusakan luas yang mengarah ke bagian belakang lobus frontalis bisa
menyebabkan apati, ceroboh, lalai dan kadang inkontinensia. Kerusakan
luas yang mengarah ke bagian depan atau samping lobus frontalis
menyebabkan perhatian penderita mudah teralihkan, kegembiraan yang
berlebihan, suka menentang, kasar dan kejam.
2) Lobus parietalis
Lobus parietalis pada korteks serebri menggabungkan kesan dari bentuk,
tekstur dan berat badan ke dalam persepsi umum. Sejumlah kecil
kemampuan matematikan dan bahasa berasal dari daerah ini. Lobus
parietalis juga membantu mengarahkan posisi pada ruang di sekitarnya
dan merasakan posisi dari bagian tubuhnya. Kerusakan kecil di bagian
depan lobus parietalis menyebabkan mati rasa pada sisi tubuh yang
berlawanan. Kerusakan yang agak luas bisa menyebabkan hilangnya
kemampuan untuk melakukan serangkaian pekerjaan keadaan ini disebut
ataksia dan untuk menentukan arah kiri-kanan. Kerusakan yang luas bisa
mempengaruhi kemampuan penderita dalam mengenali bagian tubuhnya
atau ruang di sekitarnya atau bahkan bisa mempengaruhi ingatan akan
bentuk yang sebelumnya dikenal dengan baik misalnya, bentuk kubus
atau jam dinding. Penderita bisa menjadi linglung atau mengigau dan
tidak mampu berpakaian maupun melakukan pekerjaan sehari-hari
lainnya.
3) Lobus temporalis
Lobus temporalis mengolah kejadian yang baru saja terjadi menjadi dan
mengingatnya sebagai memori jangka panjang. Lobus temporalis juga
memahami suara dan gambaran, menyimpan memori dan mengingatnya
kembali serta menghasilkan jalur emosional. Kerusakan pada lobus
temporalis sebelah kanan menyebabkan terganggunya ingatan akan
suara dan bentuk. Kerusakan pada lobus temporalis sebelah kiri
menyebabkan gangguan pemahaman bahasa yang berasal dari luar
maupun dari dalam dan menghambat penderita dalam mengekspresikan
bahasanya. Penderita dengan lobus temporalis sebelah kanan yang non-
dominan, akan mengalami perubahan kepribadian seperti tidak suka
bercanda, tingkat kefanatikan agama yang tidak biasa, obsesif dan
kehilangan gairah seksual.
4) Lobus oksipital
Fungsinya untuk visual center. Kerusakan pada lobus ini otomatis akan
kehilangan fungsi dari lobus itu sendiri yaitu penglihatan.
b) Cerebellum
Terdapat dibagian belakang sophag menepati fosa serebri posterior dibawah
lapisan durameter. Cerebellum mempunyai aksi yaitu merangsang dan
menghambat serta mempunyai tanggunag jawab yang luas terhadap
koordinasi dan gerakan halus. Ditambah mengontrol gerakan yang benar,
keseimbangan posisi dan mengintegrasikan input sensori.
c) Brainstem
Batang otak terdiri dari otak tengah, pons dan sophag oblongata. Otak
tengah midbrain/ensefalon menghubungkan pons dan sereblum dengan
hemisfer sereblum. Bagian ini berisi jalur sensorik dan motorik, sebagai
pusat reflek pendengaran dan penglihatan. Pons terletak di depan serebelum
antara otak tengah dan sophag, serta merupakan jembatan antara 2 bagian
sereblum dan juga antara medulla dengan serebrum. Pons berisi jarak
sensorik dan motorik. Medula oblongata membentuk bagian inferior dari
batang otak, terdapat pusat-pusat otonom yang mengatur fungsi-fungsi vital
seperti pernafasan, frekuensi jantung, pusat muntah, tonus vasomotor, reflek
batuk dan bersin.

3. Syaraf-Syaraf Kranial
Smeltzer (2001) mengatakan bahwa nervus kranialis dapat terganggu bila
trauma kepala meluas sampai batang otak karena edema otak atau pendarahan
otak. Kerusakan nervus yaitu:
a) Nervus Olfaktorius (Nervus Kranialis I)
Saraf pembau yang keluar dari otak dibawa oleh dahi, membawa rangsangan
aroma (bau-bauan) dari rongga hidung ke otak.
b) Nervus Optikus (Nervus Kranialis II)
Mensarafi bola mata, membawa rangsangan penglihatan ke otak.
c) Nervus Okulomotorius (Nervus Kranialis III)
Bersifat motoris, mensarafi otot-otot orbital (otot pengerak bola mata)
menghantarkan serabut-serabut saraf para simpati untuk melayani otot siliaris
dan otot iris.
d) Nervus Trokhlearis (Nervus Kranialis IV)
Bersifat motoris, mensarafi otot-otot orbital. Saraf pemutar mata yang
pusatnya terletak dibelakang pusat saraf penggerak mata.
e) Nervus Trigeminus (Nervus Kranialis V)
Sifatnya majemuk (sensoris motoris) saraf ini mempunyaitiga buah cabang.
Fungsinya sebagai saraf kembar tiga, saraf ini merupakan saraf otak besar,
sarafnya yaitu:
1) Nervus oftalmikus: sifatnya sensorik, mensarafi kulit kepala bagian depan
kelopak mata atas, selaput sopha kelopak mata dan bola mata.
a. Nervus maksilaris: sifatnya sensoris, mensarafi gigi atas, bibir atas,
palatum, batang hidung, ronga hidung dan sinus maksilaris.
b. Nervus mandibula: sifatnya majemuk (sensori dan motoris) mensarafi
otot-otot pengunyah. Serabut-serabut sensorisnya mensarafi gigi bawah,
kulit daerah temporal dan dagu.
f) Nervus Abducens (Nervus Kranialis VI)
Sifatnya motoris, mensarafi otot-otot orbital. Fungsinya sebagai saraf
penggoyang sisi mata.
g) Nervus Fasialis (Nervus Kranialis VII)
Sifatnya majemuk (sensori dan motori) serabut-serabut motorisnya mensarafi
otot-otot lidah dan selaput sopha ronga mulut. Di dalam saraf ini terdapat
serabut-serabut saraf otonom (parasimpatis) untuk wajah dan kulit
kepalafungsinya sebagai soph wajah untuk menghantarkan rasa pengecap.
h) Nervus Akustikus (Nervus Kranialis VIII)
Sifatnya sensori, mensarafi alat pendengar, membawa rangsangan dari
pendengaran dan dari telinga ke otak. Fungsinya sebagai saraf pendengar.
i) Nervus Glosofaringeus (Nervus Kranialis IX)
Sifatnya majemuk (sensori dan motoris) mensarafi faring, tonsil dan lidah,
saraf ini dapat membawa rangsangan cita rasa ke otak.
j) Nervus Vagus (Nervus Kranialis X)
Sifatnya majemuk (sensoris dan motoris) mengandung saraf-saraf motorik,
sensorik dan parasimpatis faring, laring, paru-paru, sophagus, gaster
intestinum minor, kelenjar-kelenjar pencernaan dalam abdomen. Fungsinya
sebagai saraf perasa.
k) Nervus Aksesorius (Nervus Kranialis XI)
Saraf ini mensarafi muskulus sternokleidomastoid dan muskulus trapezium,
fungsinya sebagai saraf tambahan.
l) Nervus Hipoglosus (Nervus Kranialis XII)
Saraf ini mensarafi otot-otot lidah, fungsinya sebagai saraf lidah. Saraf ini
terdapat di dalam sumsum penyambung.

Gambar 5. saraf Kranial


Tabel 1. Ringkasan fungsi saraf kranial

SARAF KOMPO FUNGSI


KRANIAL NEN
I Olfaktorius Sensorik Penciuman
II Optikus Sensorik Penglihatan
III Okulomotorius Motorik Mengangkat kelopak mata atas, konstriksi
pupil, sebagian besar gerakan ekstraokular
IV Troklearis Motorik Gerakan mata ke bawah dan ke dalam
V Trigeminus Motorik Otot temporalis dan maseter (menutup
rahang dan mengunyah) gerakan rahang ke
lateral
Sensorik - Kulit wajah, 2/3 depan kulit kepala,
mukosa mata, mukosa hidung dan rongga
mulut, lidah dan gigi
- Refleks kornea atau refleks mengedip,
komponen sensorik dibawa oleh saraf
kranial V, respons motorik melalui saraf
kranial VI
VI Abdusens Motorik Deviasi mata ke lateral
VII Fasialis Motorik Otot-otot ekspresi wajah termasuk otot dahi,
sekeliling mata serta mulut, lakrimasi dan
salivasi
Sensorik Pengecapan 2/3 depan lidah (rasa, manis,
asam, dan asin)
VIII Sensorik Keseimbangan
Cabang
Vestibularis
Cabang koklearis Sensorik Pendengaran
IX Motorik Faring: menelan, refleks muntah
Glossofaringeus Parotis: salivasi
Sensorik Faring, lidah posterior, termasuk rasa pahit
X Vagus Motorik Faring: menelan, refleks muntah, fonasi;
visera abdomen
Sensorik Faring, laring: refleks muntah, visera leher,
thoraks dan abdomen
XI Asesorius Motorik Otot sternokleidomastoideus dan bagian atas
dari otot trapezius: pergerakan kepala dan
bahu
XII Hipoglosus Motorik Pergerakan lidah
Sumber: Muttaqin, 2008:17

B. Definisi Cidera Otak Sedang (COS)


Trauma kepala atau trauma kapitis adalah suatu ruda paksa (trauma) yang
menimpa struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural dan
atau gangguan fungsional jaringan otak (Sastrodiningrat, 2009). Menurut Brain
Injury Association of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala,
bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan
atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran
yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik
(Langlois, Rutland-Brown, Thomas, 2006).
Trauma kepala didefinisikan sebagai trauma non degeneratif – non
konginetal yang terjadi akibat ruda paksa mekanis eksteral yang menyebabkan
kepala mengalami gangguan kognitif, fisik dan psikososial baik sementara atau
permanen. Cedera kepala adalah kerusakan neurologi yang terjadi akibat adanya
trauma pada jaringan otak yang terjadi secara langsung maupun efek sekunder
dari trauma yang terjadi (Price, 2005). Cedera otak sedang atau COS adalah
kerusakan fungsi otak akibat traumatik dengan beberapa manifestasi klinik seperti
kehilangan kesadaran, kehilangan memori sebelum atau sesudah terjadinya
insiden. Menurut WHO cedera otak sedang adalah kerusakan otak akut akibat dari
tidak optimalnya suplai energi ke otak (AANN dan ARN, 2011). Menurut
Smeltzer dan Bare (2002) cedera otak adalah kejadian cedera minor yang dapat
menyebabkan kerusakan otak. Cedera otak sedang adalah cedera kepala dengan
skala koma glassgow 9 - 13, lesi operatif dan abnormalitas dalam CT-scan dalam
48 jam rawat inap di Rumah Sakit (Torner, 1999).

C. Klasifikasi Cidera Otak


Menurut Mansjoer (2000), trauma kepala diklasifikasikan menjadi derajat
berdasarkan nilai dari Glasgow Coma Scale ( GCS ) yang terdiri dari:
1. Cedera kepala ringan dengan nilai GCS 14 – 15
a) Pasien sadar, menuruti perintah tapi disorientasi.
b) Tidak ada kehilangan kesadaran
c) Tidak ada intoksikasi alkohol atau obat terlarang
d) Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing
e) Pasien dapat menderita laserasi, hematoma kulit kepala
2. Cedera kepala sedang dengan nilai GCS 9 – 13
a) Pasien bisa atau tidak bisa menuruti perintah, namun tidak memberi
respon yang sesuai dengan pernyataan yang di berikan
b) Amnesia pasca trauma
c) Muntah
d) Tanda kemungkinan fraktur cranium (tanda Battle, mata rabun,
hemotimpanum, otorea atau rinorea cairan serebro spinal)
e) Kejang
3. Cedera kepala berat dengan nilai GCS sama atau kurang dari 8.
a) Penurunan kesadaran sacara progresif
b) Tanda neorologis fokal
c) Cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresi cranium
d) Kehilangan kesadaran lebih dari 24 jam
e) Disertai kontusio cerebral, laserasi, hematoma intrakrania
f) Perdarahan intrakranial dapat terjadi karena adanya pecahnya pembuluh
darah pada jaringan otak. Lokasi yang paling sering adalah lobus
frontalis dan temporalis. Lesi perdarahan dapat terjadi pada sisi benturan
(coup) atau pada sisi lainnya (countrecoup).

Gambar 6. Perdarahan Intrakranial


Cedera kepala dapat diklasifikasikan dalam berbagai aspek yang secara
deskripsi dapat dikelompokkan berdasar mekanisme, morfologi, dan beratnya
cedera kepala. (IKABI, 2004).
1. Berdasarkan mekanismenya cedera kepala dikelompokkan menjadi dua yaitu:
a. cedera kepala tumpul.
Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan lalu lintas,
jatuh/pukulan benda tumpul. Pada cedera tumpul terjadi akselerasi dan
decelerasi yang menyebabkan otak bergerak didalam rongga kranial dan
melakukan kontak pada protuberas tulang tengkorak.
b. Cedera tembus.
Cedera tembus disebabkan oleh luka tembak atau tusukan. (IKABI,
2004)
2. Berdasarkan morfologi cedera kepala.
Cedera kepala menurut (Tandian, 2011). Dapat terjadi diarea tulang tengkorak
yang meliputi:
a. Laserasi kulit kepala
Laserasi kulit kepala sering didapatkan pada pasien cedera kepala.
Kulit kepala/scalp terdiri dari lima lapisan (dengan akronim SCALP)
yaitu skin, connective tissue dan perikranii. Diantara galea
aponeurosis dan periosteum terdapat jaringan ikat longgar yang
memungkinkan kulit bergerak terhadap tulang. Pada fraktur tulang
kepala, sering terjadi robekan pada lapisan ini. Lapisan ini banyak
mengandung pembuluh darah dan jaringan ikat longgar, maka
perlukaan yang terjadi dapat mengakibatkan perdarahan yang cukup
banyak.
b. Fraktur tulang kepala
Fraktur tulang tengkorak berdasarkan pada garis fraktur dibagi
menjadi:
1) Fraktur linier
Fraktur linier merupakan fraktur dengan bentuk garis tunggal atau
stellata pada tulang tengkorak yang mengenai seluruh ketebalan
tulang kepala. Fraktur lenier dapat terjadi jika gaya langsung yang
bekerja pada tulang kepala cukup besar tetapi tidak menyebabkan
tulang kepala bending dan tidak terdapat fragmen fraktur yang
masuk kedalam rongga intrakranial.
2) Fraktur diastasis
Fraktur diastasis adalah jenis fraktur yang terjadi pada sutura
tulamg tengkorak yang mengababkan pelebaran sutura-sutura
tulang kepala. Jenis fraktur ini sering terjadi pada bayi dan balita
karena sutura-sutura belum menyatu dengan erat. Fraktur diastasis
pada usia dewasa sering terjadi pada sutura lambdoid dan dapat
mengakibatkan terjadinya hematum epidural.
3) Fraktur kominutif
Fraktur kominutif adalah jenis fraktur tulang kepala yang meiliki
lebih dari satu fragmen dalam satu area fraktur.
4) Fraktur impresi
Fraktur impresi tulang kepala terjadi akibat benturan dengan
tenaga besar yang langsung mengenai tulang kepala dan pada area
yang kecal. Fraktur impresi pada tulang kepala dapat
menyebabkan penekanan atau laserasi pada duremater dan
jaringan otak, fraktur impresi dianggap bermakna terjadi, jika
tabula eksterna segmen yang impresi masuk dibawah tabula
interna segmen tulang yang sehat.
5) Fraktur basis kranii
Fraktur basis kranii adalah suatu fraktur linier yang terjadi pada
dasar tulang tengkorak, fraktur ini seringkali diertai dengan
robekan pada durameter yang merekat erat pada dasar tengkorak.
Fraktur basis kranii berdasarkan letak anatomi di bagi menjadi
fraktur fossa anterior, fraktur fossa media dan fraktur fossa
posterior. Secara anatomi ada perbedaan struktur di daerah basis
kranii dan tulang kalfaria. Durameter daerah basis krani lebih tipis
dibandingkan daerah kalfaria dan durameter daerah basis melekat
lebih erat pada tulang dibandingkan daerah kalfaria. Sehingga bila
terjadi fraktur daerah basis dapat menyebabkan robekan
durameter. Hal ini dapat menyebabkan kebocoran cairan
cerebrospinal yang menimbulkan resiko terjadinya infeksi selaput
otak (meningitis). Pada pemeriksaan klinis dapat ditemukan
rhinorrhea dan raccon eyes sign (fraktur basis kranii fossa
anterior), atau ottorhea dan batle’s sign (fraktur basis kranii fossa
media). Kondisi ini juga dapat menyebabkan lesi saraf kranial
yang paling sering terjadi adalah gangguan saraf penciuman
(N,olfactorius). Saraf wajah (N.facialis) dan saraf pendengaran
(N.vestibulokokhlearis). Penanganan dari fraktur basis kranii
meliputi pencegahan peningkatan tekanan intrakranial yang
mendadak misalnya dengan mencegah batuk, mengejan, dan
makanan yang tidak menyebabkan sembelit. Jaga kebersihan
sekitar lubang hidung dan telinga, jika perlu dilakukan tampon
steril (konsultasi ahli THT) pada tanda bloody/
otorrhea/otoliquorrhea. Pada penderita dengan tanda-tanda
bloody/otorrhea/otoliquorrhea penderita tidur dengan posisi
terlentang dan kepala miring ke posisi yang sehat.
c. Cedera kepala di area intrakranial.
Menurut (Tobing, 2011) yang diklasifikasikan menjadi cedera otak
fokal dan cedera otak difus.
1) Cedera otak fokal yang meliputi:
a) Perdarahan epidural atau epidural hematoma (EDH)
Epidural hematom (EDH) adalah adanya darah di ruang
epidural yitu ruang potensial antara tabula interna tulang
tengkorak dan durameter. Epidural hematom dapat
menimbulkan penurunan kesadaran adanya interval lusid
selama beberapa jam dan kemudian terjadi defisit neorologis
berupa hemiparesis kontralateral dan gelatasi pupil itsilateral.
Gejala lain yang ditimbulkan antara lain sakit kepala, muntah,
kejang dan hemiparesis.
b) Perdarahan subdural akut atau subdural hematom (SDH) akut.
Perdarahan subdural akut adalah terkumpulnya darah di ruang
subdural yang terjadi akut (6-3 hari). Perdarahan ini terjadi
akibat robeknya vena-vena kecil dipermukaan korteks cerebri.
Perdarahan subdural biasanya menutupi seluruh hemisfir otak.
Biasanya kerusakan otak dibawahnya lebih berat dan
prognosisnya jauh lebih buruk dibanding pada perdarahan
epidural.
c) Perdarahan subdural kronik atau SDH kronik
Subdural hematom kronik adalah terkumpulnya darah diruang
subdural lebih dari 3 minggu setelah trauma. Subdural
hematom kronik diawali dari SDH akut dengan jumlah darah
yang sedikit. Darah di ruang subdural akan memicu terjadinya
inflamasi sehingga akan terbentuk bekuan darah atau clot yang
bersifat tamponade. Dalam beberapa hari akan terjadi infasi
fibroblast ke dalam clot dan membentuk noumembran pada
lapisan dalam (korteks) dan lapisan luar (durameter).
Pembentukan neomembran tersebut akan di ikuti dengan
pembentukan kapiler baru dan terjadi fibrinolitik sehingga
terjadi proses degradasi atau likoefaksi bekuan darah sehingga
terakumulasinya cairan hipertonis yang dilapisi membran semi
permeabel. Jika keadaan ini terjadi maka akan menarik likuor
diluar membran masuk kedalam membran sehingga cairan
subdural bertambah banyak. Gejala klinis yang dapat
ditimbulkan oleh SDH kronis antara lain sakit kepala, bingung,
kesulitan berbahasa dan gejala yang menyerupai TIA
(transient ischemic attack).disamping itu dapat terjadi defisit
neorologi yang berfariasi seperti kelemahan otorik dan kejang.

d) Perdarahan intra cerebral atau intracerebral hematom (ICH)


Intra cerebral hematom adalah area perdarahan yang homogen
dan konfluen yang terdapat didalam parenkim otak. Intra
cerebral hematom bukan disebabkan oleh benturan antara
parenkim otak dengan tulang tengkorak, tetapi disebabkan
oleh gaya akselerasi dan deselerasi akibat trauma yang
menyebabkan pecahnya pembuluh darah yang terletak lebih
dalam, yaitu di parenkim otak atau pembuluh darah kortikal
dan subkortikal. Gejala klinis yang ditimbulkan oleh ICH
antara lain adanya penurunan kesadaran. Derajat penurunan
kesadarannya dipengaruhi oleh mekanisme dan energi dari
trauma yang dialami.
e) Perdarahan subarahnoit traumatika (SAH)
Perdarahan subarahnoit diakibatkan oleh pecahnya pembuluh
darah kortikal baik arteri maupun vena dalam jumlah tertentu
akibat trauma dapat memasuki ruang subarahnoit dan disebut
sebagai perdarahan subarahnoit (PSA). Luasnya PSA
menggambarkan luasnya kerusakan pembuluh darah, juga
menggambarkan burukna prognosa. PSA yang luas akan
memicu terjadinya vasospasme pembuluh darah dan
menyebabkan iskemia akut luas dengan manifestasi edema
cerebri.
2) Cedera otak difus menurut (Sadewa, 2011)
Cedera kepala difus adalah terminologi yang menunjukkan
kondisi parenkim otak setelah terjadinya trauma. Terjadinya
cedera kepala difus disebabkan karena gaya akselerasi dan
deselarasi gaya rotasi dan translasi yang menyebabkan
bergesernya parenkim otak dari permukaan terhadap parenkim
yang sebelah dalam. Fasospasme luas pembuluh darah
dikarenakan adanya perdarahan subarahnoit traumatika yang
menyebabkan terhentinya sirkulasi diparenkim otak dengan
manifestasi iskemia yang luas edema otak luas disebabkan karena
hipoksia akibat renjatan sistemik, bermanifestasi sebagai cedera
kepala difus. Dari gambaran morfologi pencitraan atau radiologi
menurut (Sadewa, 2011) maka cedera kepala difus dikelompokkan
menjadi:
a) Cedera akson difus (difuse aksonal injury) DAI
Difus axonal injury adalah keadaan dimana serabut subkortikal
yang menghubungkan inti permukaan otak dengan inti
profunda otak (serabut proyeksi), maupun serabut yang
menghubungkan inti-inti dalam satu hemisfer (asosiasi) dan
serabut yang menghbungkan inti-inti permukaan kedua
hemisfer (komisura) mengalami kerusakan. Kerusakan sejenis
ini lebih disebabkan karena gaya rotasi antara initi profunda
dengan inti permukaan.
b) Kontsuio cerebri
Kontusio cerebri adalah kerusakan parenkimal otak yang
disebabkan karena efek gaya akselerasi dan deselerasi.
Mekanisme lain yang menjadi penyebab kontosio cerebri
adalah adanya gaya coup dan countercoup, dimana hal tersebut
menunjukkan besarnya gaya yang sanggup merusak struktur
parenkim otak yang terlindung begitu kuat oleh tulang dan
cairan otak yang begitu kompak. Lokasi kontusio yang begitu
khas adalah kerusakan jaringan parenkim otak yang
berlawanan dengan arah datangnya gaya yang mengenai
kepala.
c) Edema cerebri
Edema cerebri terjadi karena gangguan vaskuler akibat trauma
kepala. Pada edema cerebri tidak tampak adanya kerusakan
parenkim otak namun terlihat pendorongan hebat pada daerah
yang mengalami edema. Edema otak bilateral lebih disebabkan
karena episode hipoksia yang umumnya dikarenakan adanya
renjatan hipovolemik.
d) Iskemia cerebri
Iskemia cerebri terjadi karena suplai aliran darah ke bagian
otak berkurang atau terhenti. Kejadian iskemia cerebri
berlangsung lama (kronik progresif) dan disebabkan karena
penyakit degeneratif pembuluh darah otak.

D. Epidemiologi Cidera Otak Sedang (COS)


Cedera kepala merupakan salah satu penyebab utama kematian pada
pengguna kendaraan bermotor karena tingginya tingkat mobilitas dan kurangnya
kesadaran untuk menjaga keselamatan di jalan raya (Baheram, 2007). Lebih dari
50% kematian disebabkan oleh cedera kepala dan kecelakaan kendaraan bermotor.
Setiap tahun, lebih dari 2 juta orang mengalami cedera kepala, 75.000 diantaranya
meninggal dunia dan lebih dari 100.000 orang yang selamat akan mengalami
disabilitas permanen (Widiyanto, 2007).
Cedera kepala juga menjadi penyebab utama kematian dan kecacatan pada
anak-anak dan orang dewasa umur 1-45 tahun. Cedera kepala sedang dan berat
menjadi faktor penyebab peningkatan kasus penyakit Alzheimer 4,5 kali lebih
tinggi (Turliuc, 2010). Setiap tahun di Amerika Serikat mencatat 1,7 juta kasus
cedera kepala, 52.000 pasien meninggal dan selebihnya dirawat inap. Dari jumlah
tersebut, 10% meninggal sebelum tiba di rumah sakit. Kasus yang sampai di
rumah sakit, 80% dikelompokkan sebagai cedera kepala ringan (CKR), 10%
termasuk cedera kepala sedang (CKS), dan 10% sisanya adalah cedera kepala
berat (CKB). Cedera kepala juga merupakan penyebab kematian ketiga dari
semua jenis trauma yang dikaitkan dengan kematian (CDC, 2010).
Angka kejadian cidera kepala di RSUD Dr. Moewardi dari bulan Januari-
Oktober 2012 sebanyak 453 kasus., sedangkan di IGD sendiri berdasarkan
kenyataan yang dilihat penulis selama praktek dari tanggal 2 Juli-29 Juli 2012 (1
bulan) di RSUD Dr.Moewardi Surakarta terdapat 43 pasien cidera kepala yang
terdiri dari 29 ( 68,4%) laki-laki dan 14 (31,5%) perempuan yang mengalami
cedera kepala ringan sampai berat. Pasien dengan cidera kepala ringan (CKR)
sebanyak 21 (48,8%), cidera kepala sedang (CKS) 8 (18,6%) dan cidera kepala
berat (CKB) 14 (32,5%).
Kasus trauma terbanyak disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, disamping
kecelakaan industri, kecelakaan olahraga, jatuh dari ketinggian maupun akibat
kekerasan. Angka kejadian cedera kepala pada laki-laki 58% lebih banyak
dibandingkan perempuan. Hal ini disebabkan karena mobilitas yang tinggi di
kalangan usia produktif sedangkan kesadaran untuk menjaga keselamatan di jalan
masih rendah disamping penanganan pertama yang belum benar dan rujukan yang
terlambat.

E. Etiologi Cidera Otak Sedang (COS)


Cidera kepala paling sering akibat dari trauma. Mekanisme terjadinya
cidera kepala berdasarkan terjadinya benturan terbagi menjadi beberapa menurut
Nurarif dan Kusuma (2013) yaitu sebagai berikut:
a. Akselerasi
Jika benda bergerak membentur kepala yang diam, misalnya pada orang yang
diam kemudian dipukul atau dilempari batu. Bila kepala yang bergerak
kesuatu arah atau kepala sedang dalam keadaan tidak bergerak, tiba-tiba
mendapat gaya yang kuat searah dengan gerakan kepala maka kepala akan
mendapat percepatan (akselerasi) pada arah tersebut. Mula-mula tulang
tengkorak yang bergerak lebih cepat , jaringan otak masih diam, kemudian
jaringan otak ikut bergerak ke arah yang sama. Peristiwa ini terjadi sangat
cepat dalam waktu yang sangat singkat. Pada peristiwa ini terjadi gesekan
antara jaringan otak dan dasar tengkorak serta terjadi benturan antara jaringan
otak dan dinding tengkorak. Mekanisme akselerasi dapat menyebabkan
luka/robekan/laserasi pada bagian bawah jaringan otak dan memar pada
jaringan otak serta putusnya vena – vena kecil yang berjalan dari permukaan
otak ke duramater (Bridging veins).

b. Deselerasi
Jika kepala bergerak membentur kepala yang diam, misalnya pada kepala
yang terbentur benda padat. Bila kepala bergerak dengan cepat ke satu arah
tiba-tiba dihentikan oleh suatu benda , misalnya kepala menabrak tembok
maka kepala tiba-tiba akan terhenti gerakannya. Kepala mengalami deselerasi
(perlambatan) secara mendadak. Mula-mula tengkorak akan terhenti
gerakannya , jaringan otak masih bergerak kemudian jaringan otak terhenti
gerakannya karena “menabrak “ tengkorak. Peristiwa ini terjadi sangat cepat
dalam waktu yang sangat singkat. Mekanisme deselerasi dapat menyebabkan
kelainan serupa seperti pada mekanisme akselerasi.
c. Akselerasi-deselerasi
Terjadi pada kecelakaan bermotor dengan kekerasan fisik antara tubuh dan
kendaraan yang berjalan
d. Coup-counter coup
Jika kepala terbentur dan menyebabkan otak bergerak dalam ruang
intracranial dan menyebabkan cedera pada area yang berlawanan dengan
yang terbentur dan area yang pertama terbentur. Pada trauma kapitis, dapat
timbul suatu lesi yang bisa berupa perdarahan pada permukaan otak yang
berbentuk titik-titik besar dan kecil, tanpa kerusakan pada duramater, dan
dinamakan lesi kontusio. Lesi kontusio di bawah area benturan disebut lesi
kontusio “coup”, di seberang area benturan tidak terdapat gaya kompresi,
sehingga tidak terdapat lesi. Jika terdapat lesi, maka lesi tersebut dinamakan
lesi kontusio “countercoup”. Kepala tidak selalu mengalami akselerasi linear,
bahkan akselerasi yang sering dialami oleh kepala akibat trauma kapitis
adalah akselerasi rotatorik. Bagaimana caranya terjadi lesi pada akselerasi
rotatorik adalah sukar untuk dijelaskan secara terinci. Tetapi faktanya ialah,
bahwa akibat akselerasi linear dan rotatorik terdapat lesi kontusio coup,
countercoup dan intermediate. Yang disebut lesi kontusio intermediate adalah
lesi yang berada di antara lesi kontusio coup dan countrecoup ( Mardjono dan
Sidharta, 2008 ).

e. Rotasional
Benturan yang menyebabkan otak berputar dalam rongga tengkorak, yang
mengakibatkan meregang dan robeknya pembuluh darah dan neuron yang
memfiksasi otak dengan bagian dalam tengkorak

F. Manifestasi Klinis Cidera Otak Sedang (COS)


Tanda gejala yang muncul pada pasien dengan cedera otak sedang menurut
Nurarif dan Kusuma (2013) yaitu nilai GCS 9-13, kehilangan kesadaran dan
amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam, dapat mengalami fraktur
tengkorak, dan diikuti kontusio serebral, laserasi dan hematoma intracranial.
Perdarahan intraserebral adalah perdarahan yang terjadi pada jaringan otak
biasanya akibat robekan pembuluh darah yang ada dalam jaringan otak. Pada
pemeriksaan CT Scan indikasi dilakukan operasi adanya daerah hiperdens dnegan
diameter >3 cm. Resiko utama pasien yang mengalami cedera kepala adalah
kerusakan otak akibat perdarahan atau pembengkakan otak sebagai respon
terhadap cedera dan menyebabkan peningkatan TIK.
Manifestasi klinik cedera otak sedang menurut (Oman, 2008) meliputi :
1. Gangguan kesadaran
2. Konfusi
3. Sakit kepala, vertigo, gangguan pergerakan
4. Tiba-tiba defisit neurologik
5. Perubahan TTV
6. Gangguan penglihatan
7. Disfungsi sensorik
8. Lemah otak
Menurut (Smeltzer & Bare, 2010) manifestasi klinik cedera otak sedang meliputi
1. Pola pernafasan
Pusat pernafasan diciderai oleh peningkatan TIK dan hipoksia, trauma
langsung atau interupsi aliran darah. Pola pernafasan dapat berupa
hipoventilasi alveolar, dangkal.
2. Kerusakan mobilitas fisik
Hemisfer atau hemiplegi akibat kerusakan pada area motorik otak.
3. Ketidakseimbangan hidrasi
Terjadi karena adanya kerusakan kelenjar hipofisis atau hipotalamus dan
peningkatan TIK.
4. Aktifitas menelan
Reflek melan dari batang otak mungkin hiperaktif atau menurun sampai
hilang sama sekali.
5. Kerusakan komunikasi
Pasien mengalami trauma yang mengenai hemisfer serebral menunjukkan
disfasia, kehilangan kemampuan untuk menggunakan bahasa.

G. Patofisiologi Cidera Otak Sedang (COS)


Proses patofisiologi cedera otak dibagi menjadi dua yang didasarkan pada
asumsi bahwa kerusakan otak pada awalnya disebabkan oleh kekuatan fisik yang
lalu diikuti proses patologis yang terjadi segera dan sebagian besar bersifat
permanen. Dari tahapan itu, Arifin (2002) membagi cedera kepala menjadi dua :
1. Cedera otak primer
Cedera otak primer (COP) adalah cedera yang terjadi sebagai akibat langsung
dari efek mekanik dari luar pada otak yang menimbulkan kontusio dan
laserasi parenkim otak dan kerusakan akson pada substantia alba hemisper
otak hingga batang otak.
2. Cedera otak sekunder
Cedera otak sekunder (COS) yaitu cedera otak yang terjadi akibat proses
metabolisme dan homeostatis ion sel otak, hemodinamika intrakranial dan
kompartement CSS yang dimulai segera setelah trauma tetapi tidak tampak
secara klinis segera setelah trauma. Cedera otak sekunder ini disebabkan oleh
banyak faktor antara lain kerusakan sawar darah otak, gangguan aliran darah
otak (ADO), gangguan metabolisme dan homeostatis ion sel otak, gangguan
hormonal, pengeluaran neurotransmitter dan reactive oxygen species, infeksi
dan asidosis. Kelainan utama ini meliputi perdarahan intrakranial, edema
otak, peningkatan tekanan intrakranial dan kerusakan otak.
Cidera kepala terjadi karena beberapa hal diantanya, bila trauma
ekstrakranial akan dapat menyebabkan adanya leserasi pada kulit kepala
selanjutnya bisa perdarahan karena mengenai pembuluh darah. Karena
perdarahan yang terjadi terus- menerus dapat menyebabkan hipoksia,
hiperemi (peningkatan aliran darah dalam pembuluh darah di beberapa
jaringan tubuh yang berbeda. Biasanya di tandai dengan munculnya warna
kemerahan pada kulit), peningkatan volume darah pada area peningkatan
permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua menimbulkan
peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya peningkatan tekanan intrakranial
(TIK), adapun, hipotensi namun bila trauma mengenai tulang kepala akan
menyebabkan robekan dan terjadi perdarahan juga. Cidera kepala intrakranial
dapat mengakibatkan laserasi, perdarahan dan kerusakan jaringan otak
bahkan bisa terjadi kerusakan susunan syaraf kranial terutama motorik yang
mengakibatkan terjadinya gangguan dalam mobilitas.
Cedera kepala menyebabkan sebagian sel yang terkena benturan mati atau
rusak irreversible, proses ini disebut proses primer dan sel otak
disekelilingnya akan mengalami gangguan fungsional tetapi belum mati dan
bila keadaan menguntungkan sel akan sembuh dalam beberapa menit, jam
atau hari. Proses selanjutnya disebut proses patologi sekunder. Proses
biokimiawi dan struktur massa yang rusak akan menyebabkan kerusakan
seluler yang luas pada sel yang cedera maupun sel yang tidak cedera.
H. Komplikasi Cidera Otak Sedang (COS)
Komplikasi yang dapat terjadi pada cedera kepala menurut Smeltzer &
Bare (2002) adalah:
a. Perluasan hematoma intracranial
b. Edema serebral dan herniasi
Edema serebral adalah penyebab paling umum dari peningkatan tekanan
intracranial pada pasien yang mendapat cedera kepala, puncak pembengkakan
yang terjadi pada cedera kepala kurang lebih 72 jam pasaca cedera. Tekanan
intrkranial meningkat akibat ketidakmampuan tengkorak untuk membesar
meskipun peningkatan volume oleh pembengkakan otak akibat trauma.
Akibat dari peningkatan TIK dan edema adalah penyebaran tekanan pada
jaringan otak dan struktur internal otak yang kaku. Bergantung pada area
pembengkakan, perubahan posisi ke bawah atau lateral otak (herniasi)
melalui atau terhadap struktur kakau akan mengakibatkan iskemia, infark,
kerusakan otak ireversibel dan kematian.

I. Pemeriksaan Penunjang Cidera Otak Sedang (COS)


1) CT-Scan
Mengidentifikasi adanya hemorragic, ukuran ventrikuler, infark pada
jaringan mati, dan pergeseran jaringan otak

2) Foto

tengkorak atau cranium


Untuk mengetahui adanya fraktur pada tengkorak.
3) MRI (Magnetic Resonan Imaging)
Gunanya sebagai penginderaan yang mempergunakan gelombang
elektomagnetik.
4) Laboratorium Kimia darah
Mengetahui ketidakseimbangan elektrolit
Kadar Elektrolit : Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai
akibat peningkatan tekanan intrkranial
Screen Toxicologi: Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga
menyebabkan penurunan kesadaran.
5) Cerebral Angiography
Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti : perubahan jaringan otak
sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma.
6) Serial EEG
Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis
7) X-Ray
Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis
(perdarahan/edema), fragmen tulang.
8) BAER: Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil
9) PET: Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
10) CSF, Lumbal Punksi :Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan
subarachnoid.
11) ABG: Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan
(oksigenisasi) jika terjadi peningkatan tekanan intracranial

J. Penatalaksanaan Cidera Otak Sedang (COS)


a) Perawatan sebelum ke Rumah Sakit
1. Stabilisasi terhadap kondisi yang mengancam jiwa dan lakukan terapi
suportif dengan mengontrol jalan nafas dan tekanan darah.
2. Berikan O2 dan monitor
3. Berikan cairan kristaloid untuk menjaga tekanan darah sistolik tidak
kurang dari 90 mmHg.
4. Pakai intubasi, berikan sedasi dan blok neuromuskuler
5. Stop makanan dan minuman
6. Imobilisasi
7. Kirim kerumah sakit.
b) Perawatan di bagian Emergensi
1. Pasang oksigen (O2), monitor dan berikan cairan kristaloid untuk
mempertahankan tekanan sistolik diatas 90 mmHg.
2. Pakai intubasi, dengan menggunakan premedikasi lidokain dan obat-
obatan sedative misalnya etomidate serta blok neuromuskuler. Intubasi
digunakan sebagai fasilitas untuk oksigenasi, proteksi jalan nafas dan
hiperventilasi bila diperlukan.
3. Elevasikan kepala sekitar 30O setelah spinal dinyatakan aman atau
gunakan posis trendelenburg untuk mengurangi tekanan intra kranial dan
untuk menambah drainase vena.
4. Berikan manitol 0,25-1 gr/ kg iv. Bila tekanan darah sistolik turun sampai
90 mmHg dengan gejala klinis yang berkelanjutan akibat adanya
peningkatan tekanan intra kranial.
5. Hiperventilasi untuk tekanan parsial CO2 (PCO2) sekitar 30 mmHg
apabila sudah ada herniasi atau adanya tanda-tanda peningkatan tekanan
intrakranial (ICP).
6. Berikan phenitoin untuk kejang-kejang pada awal post trauma, karena
phenitoin tidak akan bermanfaat lagi apabila diberikan pada kejang
dengan onset lama atau keadaan kejang yang berkembang dari kelainan
kejang sebelumnya.
c) Terapi obat-obatan:
1. Gunakan Etonamid sebagai sedasi untuk induksi cepat, untuk
mempertahankan tekanan darah sistolik, dan menurunkan tekanan
intrakranial dan metabolisme otak. Pemakaian tiophental tidak
dianjurkan, karena dapat menurunkan tekanan darah sistolik. Manitol
dapat digunakan untuk mengurangi tekanan intrakranial dan
memperbaiki sirkulasi darah. Phenitoin digunakan sebagai obat
propilaksis untuk kejang – kejang pada awal post trauma. Pada beberapa
pasien diperlukan terapi cairan yang cukup adekuat yaitu pada keadaan
tekanan vena sentral (CVP) > 6 cmH 2O, dapat digunakan norephinephrin
untuk mempertahankan tekanan darah sistoliknya diatas 90 mmHg.
2. Diuretik Osmotik
Misalnya Manitol : Dosis 0,25-1 gr/ kg BB iv. Kontraindikasi pada
penderita yang hipersensitiv, anuria, kongesti paru, dehidrasi, perdarahan
intrakranial yang progreasiv dan gagal jantung yang progresiv. Fungsi :
Untuk mengurangi edema pada otak, peningkatan tekanan intrakranial,
dan mengurangi viskositas darah, memperbaiki sirkulasi darah otak dan
kebutuhan oksigen.
3. Antiepilepsi
Misalnya Phenitoin : Dosis 17 mg/ kgBB iv, tetesan tidak boleh
berlebihan dari 50 (Dilantin) mg/menit. Kontraindikasi; pada penderita
hipersensitif, pada penyakit dengan blok sinoatrial, sinus bradikardi, dan
sindrom Adam-Stokes. Fungsi : Untuk mencegah terjadinya kejang pada
awal post trauma.
d) Terapi Bedah
1) Craniotomy
Craniotomy merupakan proses pembedahan otak yang dilakukan
dengan mengangkat sebagian kecil tulang tengkorak dan
memasangkannya kembali.
Praoperasi
Jika kondisi Anda memerlukan craniotomy, hal pertama yang akan
Anda jalani adalah melakukan CT scan guna melihat lokasi bagian otak
Anda yang memerlukan prosedur craniotomy. Pada bagian ini, akan
dilakukan juga pemeriksaan fungsi syaraf. Sebelum operasi craniotomy,
Anda akan diminta untuk menjalani puasa selama 8 jam. Selain itu,
Anda diminta keramas dengan menggunakan sampo khusus yang
menggunakan antiseptik untuk membersihkan rambut. Sebagian rambut
juga akan dicukur guna memudahkan prosedur craniotomy dan
menghindari infeksi.
Pascaoperasi
Pada pascaoperasi, dokter akan memantau kondisi Anda dan melakukan
beberapa hal seperti, meminta Anda berbaring dengan posisi kepala
lebih tinggi daripada posisi kaki, untuk mencegah kepala dan wajah
bengkak. Setelah stabil, Anda akan dilatih menghirup napas dalam-
dalam untuk menghindari pneumonia dan mengembalikan fungsi paru-
paru. Dokter juga akan melakukan pemeriksaan dan memberikan terapi
untuk melihat kinerja syaraf. Begitu pula sebelum Anda pulang, dokter
akan mengajari beberapa cara untuk menjaga kebersihan bagian bekas
operasi.Pascaoperasi, Anda akan merasa sakit pada bagian bekas
sayatan saat batuk, melakukan sesuatu yang mengerahkan tenaga, atau
menghirup napas dalam-dalam. Untuk menghilangkan sakit tersebut,
jangan mengonsumsi obat yang tidak diresepkan oleh dokter karena
berisiko menyebabkan pendarahan. Dibutuhkan beberapa minggu
sebelum energi Anda kembali pulih, oleh karena itu Anda perlu
memerhatikan baik-baik aktifitas yang dilakukan. Jangan mengendarai
kendaraan dan jangan mengangkat beban terlalu berat untuk mencegah
ketegangan pada bagian bekas sayatan. Tunggu sampai dokter
memperbolehkan Anda melakukan hal-hal tersebut.Jika pada
pascaoperasi craniotomy Anda mengalami beberapa hal di bawah ini,
sebaiknya segera mengonsultasikannya kepada dokter,
 Kejang, kesulitan berbicara, dan lengan atau kaki menjadi lemah.
 Kemampuan penglihatan menurun atau terus-terusan mengantuk.
 Tubuh menjadi demam atau menggigil.
 Bekas sayatan terasa makin sakit, bengkak, kemerahan, serta
mengalami pendarahan atau bernanah.
 Dada terasa sakit, sulit bernapas, merasa gelisah.

e) Terapi yang perlu diperhatikan


1. Airway dan Breathing
Perhatikan adanya apneu. Penderita mendapat ventilasi dengan oksigen
100% sampai diperoleh AGD dan dapat dilakukan penyesuaian yang
tepat terhadap FiO2. Tindakan hiperventilasi dilakukan hati-hati untuk
mengoreksi asidosis dan menurunkan secara cepat TIK pada penderita
dengan pupil yang telah berdilatasi. PCO2 harus dipertahankan antara
25-35 mmhg.
2. Circulation
Hipotensi dan hipoksia adalah merupakan penyebab utama terjadinya
perburukan pada cedera otak sedang. Hipotensi merupakan petunjuk
adanya kehilangan darah yang cukup berat, walaupun tidak tampak. Jika
terjadi hipotensi maka tindakan yang dilakukan adalah menormalkan
tekanan darah. Lakukan pemberian cairan untuk mengganti volume yang
hilang sementara penyebab hipotensi dicari.
3. Disability (pemeriksaan neurologis)
Pada penderita hipotensi pemeriksaan neurologis tidak dapat dinilai
sebagai data akurat, karena penderita hipotensi yang tidak menunjukkan
respon terhadap stimulus apapun, ternyata menjadi normal kembali
segera tekanan darahnya normal. Pemeriksaan neurologis meliputi
pemeriksaan GCS dan reflek cahaya pupil. GCS diukur untuk menilai
respon pasien yang menunjukkan tingkat kesadaran pasien. GCS didapat
dengan berinteraksi dengan pasien, secara verbal atau dengan rangsang
nyeri pada pangkal kuku atau anterior ketiak. Pada pasien dengan cedera
otak sedang perlu dilakukan pemeriksaan GCS setiap setengah jam sekali
idealnya. Untuk mendapatkan keseragaman dari penilaian tingkat
kesadaran secara kwantitatif (yang sebelumnya tingkat kesadaran diukur
secara kwalitas seperti apatis, somnolen dimana pengukuran seperti ini
didapatkan hasil yang tidak seragam antara satu pemeriksaan dengan
pemeriksa yang lain) maka dilakukan pemeriksaan dengan skala
kesadaran secara glasgow, ada 3 macam indikator yang diperiksa yaitu
reaksi membuka mata, reaksi verbal, reaksi motorik.
Glasgow Coma Scale Nilai
Respon membuka mata (E)
Buka mata spontan 4
Buka mata bila dipanggil/rangsangan suara 3
Buka mata bila dirangsang nyeri 2
Tak ada respon 1
Respon verbal (V)
Komunikasi verbal baik, jawaban tepat 5
Bingung, disorientasi waktu, tempat, dan orang 4
Kata-kata tidak teratur 3
Suara tidak jelas 2
Tak ada respon 1
Respon motorik (M)
Mengikuti perintah 6
Melokalisir rangsangan nyeri 5
Menarik tubuhnya bila ada rangsangan nyeri 4
Reaksi fleksi abnormal dengan rangsangan nyeri 3
Reaksi ekstensi abnormal dengan rangsangan nyeri 2
Tak ada respon 1
K. Clinical Pathway
Trauma, luka, fraktur kepala

Laserasi pada pembuluh darah arteri meningea media (durameter dengan tengkorak)

Penurunan Curah
Risiko Jatuh Perdarahan pada epidural Jantung
Hambatan Mobilitas
Fisik
Risiko Cidera Perdarahan mendesak durameter
Takikardi,
Hemiparese/plegi Bradikardi,
Hematoma meluas Risiko Syok perubahan TD
Fiksasi pupil
Refleks babinski +
- Dilatasi pupil Menekan hemisfer otak Gangguan pusat kardio
ipsilateral
Kelemahan respon
motorik kontralateral
- ptosis
Herniasi unkus
Suplai darah arteri dan Fungsi pernapasan
aliran balik vena terganggu terganggu
Tekanan pada jaras Menekan N. III Menekan saraf pada M.
kortikospinalis (okulomotoris) Oblongata Menekan formasio
asendens retikularis M. Oblongata Hiperventilasi

Perubahan CSF
Penurunan Kesadaran Ketidakefektifan Pola
Peregangan durameter & Nafas
Triase Gejala
pembuluh darah Peningkatan TIK
Klinik
Tirah baring lama Risiko Dekubitus

Stimulus mediator nyeri Penurunan CBF


Gerakan peristaltik usus Defisit Perawatan
menurun Diri
Nyeri kepala Iskemia

Risiko Konstipasi
Nyeri Akut
Hipoksia Risiko Ketidakefektifan Perfusi
Respon muntah proyektil Pembengkakkan diskus Jaringan Serebral
optikus
Asidosis Respiratorik Gangguan Pertukaran Gas
Mual
Papilodema
Rusaknya BBB (Blood
Brain Barrier)
Merusak saraf optikus
Intake & output tidak
seimbang Kerusakan jaringan otak Kerusakan memori
Kebutaan

Risiko kekurangan Kematian sel


volume cairan Risiko Jatuh

Anoreksia

Ketidakseimbangan
Nutrisi Kurang dari
Tubuh
L. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Data dasar pengkajian pasien tergantung tipe, lokasi dan keparahan cedera
meliputi :
Data yang perlu dikaji
1. Identitas klien meliputi:
a) Nama
b) Umur: cidera otak biasanya sering terjadi pada usia produktif
dihubungkan kejadian kecelakaan yang rata-rata sering dialami
oleh usia produktif
c) Jenis kelamin: cidera otak dapat terjadi baik pada laki-laki maupun
perempuan
2. Riwayat kesehatan:
a) Keluhan utama: keluhan utama biasanya nyeri kepala setelah
kecelakaan, dapat menjadi lucid interval (kehilangan kesadaran
secara mendadak) ketika cidera otak tidak ditangani dengan segera.
b) Riwayat penyakit sekarang berisi tentang kejadian yang
mencetuskan cidera otak, kondisi paseien saat ini serta uapaya yang
sudah dilakukan pada pasien.
c) Riwayat kesehatan terdahulu terdiri dari penyakit yang pernah
dialami, alergi, imunisasi, kebiasaan/pola hidup, obat-obatan yang
digunakan, riwayat penyakit keluarga
3. Pengkajian Keperawatan (11 pola Gordon)
4. Pemeriksaan fisik
a) Keadaan umum, tanda vital
b) Breathing
Kompresi pada batang otak akan mengakibatkan gangguan irama
jantung, sehingga terjadi perubahan pada pola napas, kedalaman,
frekuensi maupun iramanya, bisa berupa Cheyne Stokes atau
Ataxia breathing. Napas berbunyi, stridor, ronkhi, wheezing
(kemungkinana karena aspirasi), cenderung terjadi peningkatan
produksi sputum pada jalan napas.
c) Blood
Efek peningkatan tekanan intrakranial terhadap tekanan darah
bervariasi. Tekanan pada pusat vasomotor akan meningkatkan
transmisi rangsangan parasimpatik ke jantung yang akan
mengakibatkan denyut nadi menjadi lambat, merupakan tanda
peningkatan tekanan intrakranial. Perubahan frekuensi jantung
(bradikardia, takikardia yang diselingi dengan bradikardia,
disritmia).
d) Brain
Gangguan kesadaran merupakan salah satu bentuk manifestasi
adanya gangguan otak akibat cidera kepala. Kehilangan kesadaran
sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope, tinitus,
kehilangan pendengaran, baal pada ekstrimitas. Bila perdarahan
hebat/luas dan mengenai batang otak akan terjadi gangguan pada
nervus cranialis, maka dapat terjadi :
a) Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian,
konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh emosi/tingkah laku
dan memori).
b) Perubahan dalam penglihatan, seperti ketajamannya, diplopia,
kehilangan sebagian lapang pandang, foto fobia.
c) Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri), deviasi
pada mata.
d) Terjadi penurunan daya pendengaran, keseimbangan tubuh.
e) Sering timbul hiccup/cegukan oleh karena kompresi pada
nervus vagus menyebabkan kompresi spasmodik diafragma.
f) Gangguan nervus hipoglosus. Gangguan yang tampak lidah
jatuh kesalah satu sisi, disfagia, disatria, sehingga kesulitan
menelan.

g) Pengkajian saraf kranial :


Pengkajian saraf kranial yang ditemui pada Epidural
Hematom:
1) Saraf I : klien akan mengalami gangguan
penciuman/anosmia unilateral dan bilateral
2) Saraf II : klien yang mengalami hematom palpebra akan
mengalami penurunan lapang pandang dan mengganggu
fungsi saraf optikus
3) Saraf III, IV, dan VI : klien mengalami gangguan
anisokoria
4) Saraf V : klien mengalami gangguan koordinasi
kemampuan dalam mengunyah
5) Saraf VII : persepsi pengecapan mengalami perubahan
6) Saraf VIII ; pendengaran mengalami perubahan
7) Saraf IX dan X : kemampuan menelan kurang baik dan
kesulitan dalam membuka mulut
8) Saraf XI : klien tidak mampu mobilisasi
9) Saraf XII : indra pengecapan mengalami perubahan
e) Bladder
Pada cidera kepala sering terjadi gangguan berupa retensi,
inkontinensia uri, ketidakmampuan menahan miksi.
f) Bowel
Terjadi penurunan fungsi pencernaan: bising usus lemah, mual,
muntah (mungkin proyektil), kembung dan mengalami perubahan
selera. Gangguan menelan (disfagia) dan terganggunya proses
eliminasi alvi.
g) Bone
Pasien cidera kepala sering datang dalam keadaan parese, paraplegi.
Pada kondisi yang lama dapat terjadi kontraktur karena imobilisasi
dan dapat pula terjadi spastisitas atau ketidakseimbangan antara otot-
otot antagonis yang terjadi karena rusak atau putusnya hubungan
antara pusat saraf di otak dengan refleks pada spinal selain itu dapat
pula terjadi penurunan tonus otot.

2. Diagnosa Keperawatan
1. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan asidosis respiratorik
3. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan irama, frekuensi
jantung dan volume sekuncup
4. Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan serebral dengan faktor risiko
hipoksia jaringan otak
5. Kerusakan memori berhubungan dengan gangguan neurologis, hipoksia
jaringan otak
6. Nyeri akut berhubungan dengan peregangan durameter dan pembuluh
darah
7. Risiko kekurangan volume cairan dengan faktor risiko intake dan output
tidak seimbang
8. Risiko syok dengan faktor risiko perdarahan
9. Mual berhubungan dengan adanya respon muntah proyektil
10. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan anoreksia
11. Risiko konstripasi dengan faktor risiko penurunan gerakan peristaltik usus
karena bedrest
12. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan respon motorik
kontralateral
13. Risiko cidera dengan faktor risiko fiksasi pupil
14. Risiko jatuh dengan faktor risiko fiksasi pupil, kebutaan akibat papiledema
15. Risiko dekubitus dengan faktor risiko bedrest total
16. Defisit perawatan diri berhubungan dengan tirah baring terlalu lama,
penurunan kesadaran
3. Intervensi Keperawatan
Diagnosa Rencana Keperawatan
No.
Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Rasional
1. Ketidakefektifan Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam, NIC: Manajemen jalan
pola nafas diharapkan bersihan jalan nafas pasien efektif dengan kriteria nafas
berhubungan dengan hasil: a. Posisikan pasien untuk Memaksimalkan ventilasi
adanya hiperventilasi NOC: Status Pernapasan: Kepatenan Jalan Nafas memaksimalkan ventilasi pasien
Tujuan b. Identifikasi kebutuhan Melihat kemampuan pasien
No. Indikator Outcome Awal
1 2 3 4 5 aktual/ potensial pasien untuk membuaka jalan nafas
1. Frekuensi pernafasan untuk memasukan alat
(12-20x/menit) membuka jalan nafas
2. Irama pernafasan regular c. Motivasi pasien untuk Memaksimalkan pernafasan
3. Tidak menggunakan otot bernafas pelan dan dalam
bantu pernafasan d. Monitor status Mengetahui status oksigenasi
4. Retraksi dada simetris pernafasan dan
5. Tidak menggunakan oksigenasi
cuping hidung e. Berikan terapi oksigen Memfasilitasi pemberian
oksigen
Keterangan: f. Kolaborasi dengan Melebarkan jalan nafas
1. Tidak adekuat dokter pemberian
2. Sedikit adekuat bronkidilator
3. Cukup adekuat
4. Sebagian besar adekuat
5. Sepenuhnya adekuat

2. Gangguan pertukaran Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam, NIC: Airway Management a. TB paru mengakibatkan
gas berhubungan diharapkan pertukaran gas pasien tidak terganggu dengan a. Kaji dispnea, takipnea, efek terhadap pernapasan
dengan perubahan kriteria hasil: bunyi napas, peningkatan bervariasi dari gejala
membran alveolar NOC: Status Pernapasan: Pertukaran Gas upaya pernapasan, ringan , dyspnea berat
kapiler, Tujuan ekspansi thorax dan dampai distres
No. Indikator Outcome Awal
ketidakseimbangan 1 2 3 4 5 kelemahan pernapasan
tekanan O2 dan CO2, 1. Sianosis b. Catat sianosis dan b. Akumulasi sekret dan
proses pertukaran gas 2. Gangguan kesadaran perubahan warna kulit, berkurangnya jaringan
yang terganggu 3. tekanan oksigen PaO2 termasuk membran paru yang sehat dapat
4. saturasi oksigen dalam mukosa dan kuku.
menggangu oksigenasi
rentang normal c. Tingkatkan tirah baring,
batasi aktivitas dan bantu organ vital dan jaringan
5. Keseimbangan perfusi
kebutuhan perawatan diri tubuh.
ventilasi
sehari-hari sesuai c. Menurunkan konsumsi
keadaan pasien oksigen selama periode
Keterangan:
d. Pertahankan posisi semi penurunan pernafasan
1. Tidak adekuat
fowler sesuai indikasi dan dapat menurunkan
2. Sedikit adekuat
e. Kolaborasi pemeriksaan beratnya gejala.
3. Cukup adekuat
AGD d. Posisi semi fowler untuk
4. Sebagian besar adekuat
f. Kolaborasi pemberian memaksimalkan ekspansi
5. Sepenuhnya adekuat
oksigen sesuai kebutuhan paru
tambahan e. Penurunan kadar O2
(PaO2) dan atau saturasi
f. Terapi oksigen dapat
mengoreksi hipoksemia
yang terjadi akibat
penurunan
3. Ketidakseimbangan Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam, NIC: Manajemen Nutrisi
nutrisi kurang dari diharapkan nutrisi pasien seimbang dengan kriteria hasil: 1. Tentukan status gizi a. Mengetahui kebutuhan
kebutuhan tubuh NOC: Status nutrisi : Asupan Makanan dan Cairan pasien dan kemampuan status nutrisi pasien
berhubungan dengan Tujuan pasien untuk memenuhi
No. Indikator Outcome Awal
anoreksia, 1 2 3 4 5 kebutuhan gizi
terganggunya reflek 1. Asupan makanan secara 2. Tentukan apa yang b. Membantu dalam melist
menelan oral menjadi preferensi makanan pasien sesuai
2. Asupan cairan secara oral makanan bagi pasien indikasi dan mengetahui
3. Asupan cairan intravena adanya alergi atau
kontraindikasi
Keterangan: 3. Intruksikan pasien c. Menambah pengetahuan
6. Tidak adekuat mengenai kebutuhan pasien mengenai gizi
7. Sedikit adekuat nutrisi (piramida seimbang
8. Cukup adekuat makanan)
9. Sebagian besar adekuat 4. Tentukan jumlah kalori d. Membantu dalam
10. Sepenuhnya adekuat dan jenis nutrisi yang perhitungan kebutuhan
dibutuhkan untuk statys nutrisi harian
NOC: Status Nutrisi : Pengukuran Biokimia memenuhi persyaratan pasien
Tujuan gizi.
No. Indikator Outcome Awal 5. Berikan pilihan makanan e. Melibatkan pasien untuk
1 2 3 4 5
1. Hematokrit dan bimbingan terhadap berpartisipasi dan
2. Hemoglobin pilihan makanan. menambah anfsu makan
3. Gula darah pasien
4. Serum albumin 6. Ciptakan lingkungan f. Menghindari risiko
5. Serum kreatinin yang bersih, berventilasi, pencemaran dan
6. Hitung limfosit santai dan bebas dari bau memberikan kenyamanan
menyengat.
Keterangan:
1. Sangat menyimpang dari rentang normal
2. Banyak menyimpang dari rentang normal
3. Cukup menyimpang dari rentang normal
4. Sedikit menyimpang dari rentang normal
5. Tidak menympang dari rentang normal
4. Evaluasi
Evaluasi keperawatan dilakukan secara sistematis dan periodik setelah pasien
diberikan intervensi dengan berdasarkan pada berdasarkan pengkajian,
diagnosa keperawatan, intervensi keperawatan, dan implementasi
keperawatan. Evaluasi keperawatan ditulis dengan format SOAP dimana:
S (subjektif) yaitu respon pasien setelah dilakukan tindakan keperawatan.
O (objektif) yaitu data pasien yang diperoleh oleh perawat setelah dilakukan
tindakan keperawatan.
A (analisis) yaitu masalah keperawatan pada pasien apakah sudah teratasi,
teratasi sebagian, belum teratasi, atau timbul masalah keperawatan baru
P (planning) yaitu rencana intervensi dihentikan, dilanjutkan, ditambah, atau
dimodifikasi

5. Discharge Planning
1. Memastikan keamanan bagi pasien setelah
pemulangan
2. Memilih perawatan, bantuan, atau peralatan
khusus yang dibutuhkan
3. Merancang untuk pelayanan rehabilitasi
lanjut atau tindakan lainnya di rumah (misal kunjungan rumah oleh tim
kesehatan)
4. Penunjukkan health care provider yang akan
memonitor status kesehatan pasien
5. Menentukan pemberi bantuan yang akan
bekerja sebagai partner dengan pasien untuk memberikan perawatan dan
bantuan harian di rumah, dan mengajarkan tindakan yang dibutuhkan.
DAFTAR PUSTAKA

Baughman, D. C & Hackley, J. C. 2005. Keperawatan Medikal Bedah: Buku Saku


dari Brunner & Suddarth. Jakarta: EGC.

Brunicardi, Charles. 2004. Principles of Surgery Ninth Edition.

Bulechek, G. M., H. K. Butcher, J. M. Dochteman, C. M. Wagner. 2015. Nursing


Interventions Classification (NIC). Edisi 6. Jakarta: EGC.

Bulechek, G. M., H. K. Butcher, J. M. Dochteman, C. M. Wagner. 2015. Nursing


Outcomes Classification (NOC). Edisi 6. Jakarta: EGC.

Corwin, E.J. 2009. Buku Saku Patofisiologi Corwin. Jakarta: Aditya Media.

Herdman, T Heather. Diagnosis Keperawatan NANDA: Definisi dan Klasifikasi


2012-2014. Jakarta: EGC.

Johnson, M.,et all, 2012, Nursing Outcomes Classification (NOC) Second


Edition, IOWA Intervention Project, Mosby.

Mansjoer, A., dkk. 2009. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid I. Edisi III. Jakarta:
Media Aesculapius FKUI.

Mc Closkey, C.J., Iet all, 2002, Nursing Interventions Classification (NIC) second
Edition, IOWA Intervention Project, Mosby.

Meagher, J Richard. 2013. Subdural hematoma. Medscape.

Moorhead, S et al. 2016. Nursing Intervension Classification (NIC) Terjemahan


Edisi ke 5. Singapore: Elsevier

Moorhead, S et al. 2016. Nursing Outcomes Classification (NOC) Terjemahan


Edisi ke 5. Singapore: Elsevier

Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan dengan Gangguan


Persyarafan. Jakarta: Salemba Medika.

Nanda Internasional 2015. Diagnosis Keperawatan 2015-2017. Oxford: Willey


Backwell.
Nurarif, A.H. & Kusuma, H.K. 2013. Aplikasi Asuhan Kepreawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC. Yogyakarta : Mediaction
Publishing
Pearce, E.C. 2006. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta: PT.
Gramedia. Jakarta: Erlangga.

Price, S. & Wilson, L. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.


Edisi 6. Jakarta: EGC.

Ratnasari, Nia Yunianti. 2012. Hubungan dukungan sosial dengan kualitas hidup
para penderita tuberkulosis paru (TB Paru) di balai pengobatan penyakit
paru (BP4) Yogyakarta unit Minggiran. Jurnal Tuberkulosis Indonesia Vol.
8: 9

Sastrodiningrat, A. G. 2006. Memahami Fakta-Fakta pada Perdarahan Subdural


Akut. Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39, No.3 Halaman 297- 306.
FK USU: Medan.

Sherwood, L. 2011. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem, Edisi 2. Jakarta: EGC.

Sjamsuhidajat, R. 2004. Subdural Hematoma, Buku Ajar Ilmu Bedah, edisi kedua
hal 818, Jong W.D. Jakarta : EGC.

Sloane, E. 2003. Anatomi dan Fisiologi untuk Pemula. Jakarta: EGC.

Smeltzer, S. C., dan Bare, B. G. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah


Brunner dan Suddart, Volume 1. Edisi 8. Alih bahasa oleh Agung Waluyo,
dkk. Jakarta: EGC.

Wilkinson, Judith M. 2006. Buku Saku Diagnosis Keperawatan dengan Intervensi


NIC dan Kriteria Hasil NOC. Jakarta: EGC.

Wim de jong; Sjamsuhidajat. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. Jakarta : EGC.

Anda mungkin juga menyukai