Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN FRAKTUR DI


RUANG ASPARAGA RUMAH SAKIT UMUM
DAERAH dr. HARYOTO LUMAJANG

oleh
Prepty Dwi Ariyanti, S.Kep
NIM 192311101014

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
OKTOBER, 2019
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Pendahuluan pada pasien dengan Fraktur di Ruang Asparaga RSUD


dr. Haryoto Lumajang telah disetujui dan disahkan pada:
Nama : Prepty Dwi Ariyanti, S.Kep
NIM : 192311101014
Judul : Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Fraktur Di Ruang
Asparaga RSUD Dr. Haryoto Lumajang
Telah diperiksa dan disahkan oleh pembimbing pada:
Hari :
Tanggal :

Lumajang, November 2019

FAKULTAS KEPERAWATAN

Mengetahui,

Kordinator Program Studi Profesi Ners Penanggung Jawab Mata Kuliah

Ns. Erti Ikhtiarini D. M.Kep., Sp.Kep.J Ns. Mulia Hakam, M.Kep., Sp.Kep.MB
NIP 19811028 200604 2 002 NIP. 19810319 2001404 1 001

Menyetujui,
Wakil Dekan I

Ns. Anisah Ardiana, S.Kep., M.Kep., Ph.D.


NIP 19800417 200604 2 002
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Pendahuluan Asuhan Keperawatan berikut disusun oleh:


Nama : Prepty Dwi Ariyanti, S.Kep
NIM : 192311101014
Judul : Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Fraktur Di Ruang
Asparaga RSUD dr. Haryoto Lumajang
Telah diperiksa dan disahkan oleh pembimbing pada:
Hari :
Tanggal :

Lumajang, November 2019

Pembimbing Akademik Pembimbing Klinik


Fakultas Keperawatan Ruang Asparaga
Universitas Jember RSUD dr. Haryoto

Ns. Baskoro Setioputro, S.Kep., M.Kep Ns. M. Makhrus Irfan., S.Kep


NIP. 19830505 200812 1 004 NIP. 19810515 200701 1 014
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i


LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................... ii
DAFTAR ISI ................................................................................................... iii
A. KONSEP TEORI ..................................................................................... 1
1. Anatomi dan fisiologi ........................................................................... 1
2. Definisi ................................................................................................. 3
3. Epidemiologi ........................................................................................ 4
4. Etiologi ................................................................................................. 5
5. Klasifikasi ............................................................................................ 5
6. Patofisiologi ......................................................................................... 6
7. Manifestasi klinis ................................................................................. 7
8. Pemeriksaan penunjang........................................................................ 7
9. Penatalaksanaan farmakologi dan non farmakologi ............................ 9
B. Clinical pathway...................................................................................... 11
C. PROSES KEPERAWATAN .................................................................. 12
1. Pengkajian ............................................................................................ 12
2. Diagnosa Keperawatan......................................................................... 15
3. Perencanaan/ Nursing Care Plan ......................................................... 16
4. Evaluasi keperawatan ........................................................................... 21
5. Discharge planning............................................................................... 21
Daftar pustaka ................................................................................................ 22

iii
1

A. Konsep Teori
1. Anatomi dan Fisiologi
Tulang berasal dari embrionic hyaline cartilage yang mana melalui proses
“Osteogenesis” menjadi tulang. Proses ini dilakukan oleh sel-sel yang disebut
“Osteoblast”. Proses mengerasnya tulang akibat penimbunan garam kalsium. Ada
206 tulang dalam tubuh manusia, dan diklasifikasikan menjadi lima kelompok
menurut (Price and Wilson, 2006) :
a. Tulang panjang (Femur, Humerus) terdiri dari batang tebal panjang
yang disebut diafisis dan dua ujung yang disebut epifisis. Di sebelah proksimal
dari epifisis terdapat metafisis. Di antara epifisis dan metafisis terdapat daerah
tulang rawan yang tumbuh, yang disebut lempeng epifisis atau lempeng
pertumbuhan. Tulang panjang tumbuh karena akumulasi tulang rawan di lempeng
epifisis. Tulang rawan digantikan oleh sel-sel tulang yang dihasilkan
oleh osteoblas, dan tulang memanjang. Batang dibentuk oleh jaringan tulang yang
padat. Epifisis dibentuk dari spongi bone (cancellous atau trabecular). Batang
suatu tulang panjang memiliki rongga yang disebut kanalis medularis. Kanalis
medularis berisi sumsum tulang.
b. Tulang pendek (carpals) bentuknya tidak teratur dan inti dari
cancellous (spongy) dengan suatu lapisan luar dari tulang yang padat.
c. Tulang pendek datar (tengkorak) terdiri atas dua lapisan tulang padat
dengan lapisan luar adalah tulang concellous.
d. Tulang yang tidak beraturan (vertebrata) sama seperti dengan tulang
pendek.
e. Tulang sesamoid merupakan tulang kecil, yang terletak di sekitar
tulang yang berdekatan dengan persediaan dan didukung oleh tendon dan jaringan
fasial, misalnya patella (kap lutut).
Tulang tersusun atas sel, matriks protein dan deposit mineral. Sel-selnya
terdiri atas tiga jenis dasar-osteoblas, osteosit dan osteoklas. Osteoblas berfungsi
dalam pembentukan tulang dengan mensekresikan matriks tulang. Matriks
tersusun atas 98% kolagen dan 2% subtansi dasar (glukosaminoglikan, asam
polisakarida) dan proteoglikan). Matriks merupakan kerangka dimana garam-
2

garam mineral anorganik ditimbun. Osteosit adalah sel dewasa yang terlibat
dalam pemeliharaan fungsi tulang dan terletak dalam osteon (unit matriks
tulang). Osteoklas adalah sel multinuclear (berinti banyak) yang berperan dalam
penghancuran, resorpsi dan remosdeling tulang.
Osteon merupakan unik fungsional mikroskopis tulang dewasa. Ditengah
osteon terdapat kapiler. Dikelilingi kapiler tersebut merupakan matriks tulang
yang dinamakan lamella. Didalam lamella terdapat osteosit, yang memperoleh
nutrisi melalui prosesus yang berlanjut kedalam kanalikuli yang halus (kanal yang
menghubungkan dengan pembuluh darah yang terletak sejauh kurang dari 0,1
mm).
Tulang diselimuti dibagian oleh membran fibrous padat
dinamakan periosteum. Periosteum memberi nutrisi ke tulang dan
memungkinkannya tumbuh, selain sebagai tempat perlekatan tendon dan
ligamen. Periosteum mengandung saraf, pembuluh darah, dan limfatik. Lapisan
yang paling dekat dengan tulang mengandung osteoblast, yang merupakan sel
pembentuk tulang.
Endosteum adalah membran vaskuler tipis yang menutupi rongga sumsum
tulang panjang dan rongga-rongga dalam tulang kanselus. Osteoklast , yang
melarutkan tulang untuk memelihara rongga sumsum, terletak dekat endosteum
dan dalam lacuna Howship (cekungan pada permukaan tulang).

Gambar 1. Struktur Tulang


Struktur tulang dewasa terdiri dari 30 % bahan organik (hidup) dan 70 %
endapan garam. Bahan organik disebut matriks, dan terdiri dari lebih dari 90 %
3

serat kolagen dan kurang dari 10 % proteoglikan (protein plus


sakarida). Deposit garam terutama adalah kalsium dan fosfat, dengan sedikit
natrium, kalium karbonat, dan ion magnesium. Garam-garam menutupi matriks
dan berikatan dengan serat kolagen melalui proteoglikan. Adanya bahan organik
menyebabkan tulang memiliki kekuatan tensif (resistensi terhadap tarikan yang
meregangkan). Sedangkan garam-garam menyebabkan tulang memiliki kekuatan
kompresi (kemampuan menahan tekanan).
Adapun faktor-faktor yang mengontrol aktivitas osteoklas terutama
dikontrol oleh hormon paratiroid. Hormon paratiroid dilepaskan oleh kelenjar
paratiroid yang terletak tepat di belakang kelenjar tiroid. Pelepasan hormon
paratiroid meningkat sebagai respons terhadap penurunan kadar kalsium serum.
Hormon paratiroid meningkatkan aktivitas osteoklas dan merangsang pemecahan
tulang untuk membebaskan kalsium ke dalam darah. Peningkatan kalsium serum
bekerja secara umpan balik negatif untuk menurunkan pengeluaran hormon
paratiroid lebih lanjut. Estrogen tampaknya mengurangi efek hormon paratiroid
pada osteoklas
Fungsi tulang adalah sebagai berikut :
a. Mendukung jaringan tubuh dan memberikan bentuk tubuh.
b. Melindungi organ tubuh (misalnya jantung, otak, dan paru-paru) dan
jaringan lunak.
c. Memberikan pergerakan (otot yang berhubungan dengan kontraksi dan
pergerakan).
d. Membentuk sel-sel darah merah didalam sum-sum tulang belakang (hema
topoiesis).
e. Menyimpan garam mineral, misalnya kalsium, fosfor.

2. Definisi
Berikut adalah pengertian fraktur menurut beberapa ahli:
a. Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga
fisik (Price & Wilson, 2006).
4

b. Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan di tentukan sesuai jenis


dan luasnya, fraktur terjadi jika tulang di kenai stress yang lebih besar
dari yang dapat diabsorbsinya (Smeltzer & Bare, 2002).
c. Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang, yang biasanya
disertai dengan luka sekitar jaringan lunak, kerusakan otot, rupture
tendon, kerusakan pembuluh darah, dan luka organ-organ tubuh dan
ditentukan sesuai jenis dan luasnya, terjadinya jika tulang dikenai stress
yang lebih besar dari yang dapat diabsorbsinya (Smeltzer, 2001).

3. Epidemiologi
Fraktur lebih sering terjadi pada laki-laki daripada perempuan dengan
umur dibawah 45 tahun dan yang sering berhubungan dengan olahraga,
pekerjaan, atau luka yang disebabkan oleh kendaraan bermotor. Mobilisasi
yang lebih banyak dilakukan oleh laki-laki menjadi penyebab tingginya resiko
fraktur. Sedangkan pada orang tua, perempuan lebih sering mengalami fraktur
yang berhubungan dengan meningkatnya insidens osteoporosis yang terkait
dengan perubahan hormon pada menopause.
Tahun 2001, di Amerika Serikat terdapat lebih dari 135.000 kasus cidera
yang disebabkan oleh olahraga papan selancar dan skuter. Dimana kasus cidera
terbanyak adalah fraktur 39% yang sebagian besar penderitanya laki-laki
dengan umur dibawah 15tahun. Di Indonesia, jumlah kasus fraktur yang
disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas 4 kali lebih banyak terjadi pada laki-laki
daripada perempuan.
Di negara-negara Afrika kasus fraktur lebih banyak terjadi pada wanita
karena peristiwa terjatuh berhubungan dengan osteoporosis. Di Kamerun pada
tahun 2003, perbandingan insidens fraktur pada kelompok umur 50-64tahun
yaitu pria 4,2/100.000 penduduk, wanita 5,4/100.000 penduduk. Sedangkan
angka yang lebih tinggi ada di Maroko pada tahun 2005 insiden fraktur pria
43,7/100.000 penduduk dan wanita 52/100.000 penduduk
Di Indonesia jumlah kasus fraktur akibat kecelakaan lalu lintas meningkat
seiring pesatnya peningkatan jumlah pemakai kendaraan bermotor. Menurut
5

DepKes RI tahun 2013 menyebutkan bahwa dari jumlah kecelakaan yang


terjadi, terdapat 5,8% korban cidera atau sekitar delapan juta mengalami
fraktur pada bagian ekstremitas atas sebesar 36,9% dan ekstremitas bawah
sebesar 65,2%. Hasil riset kesehatan dasar tahun 2013 juga menyebutkan
bahwa kejadian kecelakaan lalu lintas di daerah jawa tengah sebanyak 6,2%
mengalami fraktur.

4. Etiologi
Fraktur disebabkan oleh trauma dimana terdapat tekanan yang berlebihan
pada tulang yang biasanya di akibatkan secara langsung dan tidak langsung dan
yang sering berhubungan dengan olahraga, pekerjaan, atau luka yang
disebabkan oleh kendaraan bermotor.
Penyebab patah tulang paling sering disebabkan oleh trauma terutama pada
anak-anak, apabila tulang melemah atau tekanan ringan. (Doenges, 2000:627)
Menurut Carpenito (2000:47) adapun penyebab fraktur antara lain
a. Kekerasan langsung
kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya
kekerasan. Fraktur demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan garis
patah melintang atau miring
b. Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang
jauh dari tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah
bagian yang lemah.
c. Patah akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekuatan dapat
berupa pemuntiran, penekukan, penekanan, atau bahkan kombinasi dari
ketiganya.
5. Klasifikasi
Klasifikasi fraktur menurut (Mansjoer, 2002) yaitu:
Fraktur berdasarkan derajat atau luas garis fraktur
6

a. Fraktur complete : tulang patah terbagi menjadi dua bagian (fragmen)


atau lebih.
b. Fraktur incomplete (parsial). Fraktur parsial terbagi lagi menjadi :
1) Fissure/Crack/Hairline, tulang terputus seluruhnya tetapi masih di
tempat, biasa terjadi di tulang pipih.
2) Greenstick Fracture, biasa terjadi pada anak-anak dan pada os. radius,
ulna, clavikula dan costae.
3) Buckle Fracture, fraktur dimana korteksnya melipat ke dalam.
c. 1. Fraktur terbuka adalah salah satu kegawatdaruratan dalam ortopedi
ditandai dengan hilangnya kontinuitas tulang, adanya luka terbuka, serta
tulang terpapar dengan lingkungan luar sehingga memiliki risiko tinggi
terjadinya infeksi. Luka terbuka disebabkan oleh serpihan tulang yang
menembus kulit saat cedera. Penyebab terjadinya fraktur terbuka adalah
trauma langsung dengan energi tinggi seperti kecelakaan kendaraan
bermotor, senjata api, dan kecelakaan industri. Diagnosis fraktur terbuka
didapatkan dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik meliputi
pemeriksaan awal (survei primer dan sekunder) dan pemeriksaan status
lokalis, serta pemeriksaan penunjang radiologi menggunakan prinsip
Rule of Two.
2. Fraktur tertutup adalah fraktur yang fragmen tulangnya tidak
menembus kulit sehingga tidak mempunyai hubungan dengan dunia luar.

Fraktur berdasarkan garis patah atau konfigurasi tulang


a. Transversal, garis patah tulang melintang sumbu tulang (80-1000 dari
sumbu tulang)
b. Oblik, garis patah tulang melintang sumbu tulang (<800 atau >1000 dari
sumbu tulang)
c. Longitudinal, garis patah mengikuti sumbu tulang
d. Spiral, garis patah tulang berada di dua bidang atau lebih
e. Comminuted, terdapat dua atau lebih garis fraktur.
7

a. Patofisiologi
Fraktur terjadi akibat ada suatu trauma yang mengenai tulang, dimana
kekuatan trauma melebihi kekuatan tulang. Ada 2 faktor yang mempengaruhi
terjadinya fraktur yaitu ekstrinsik meliputi kecepatan, sedangkan trauma
mengenai tulang, arah, dan kekuatan dan intrinsik meliputi kapasitas tulang
mengabsorbsi energi trauma, kelenturan yang dapat menyebabkan terjadinya
patah tulang bermacam-macam. Akibat keadaan patologi serta secara spontan.
Trauma langsung menyebabkan tekanan langsung pada tulang dan terjadi
fraktur pada daerah tekanan. Trauma tidak langsung terjadi apabila trauma
dihantarkan ke daerah yang jauh dari daerah fraktur, pada keadaan ini biasanya
jaringan lunak tetap utuh. Tekanan pada tulang dapat berupa tekanan
membengkok, berputar, kompreai bahkan tarikan. Sementara kondisi patologis
disebabkan karena kelemahan tulang sebelumnya akibat kondisi patologis yang
terjadi di dalam tulang. Akibat trauma pada tulang tergantung dengan jenis
trauma, kekuatan dan arahnya. Sementara fraktur spontan terjadi akibat stress
tulang yang terjadi terus menerus misalnya pada orang yang bertugas di
kemiliteran (Smelter dan Bare, 2002).

b. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis fraktur menurut Smelzter & Bare (2002) adalah sebagai
berikut:
Pada pasien pre operasi:
1. Deformitas tulang belakang adalah kelainan bentuk, alignment atau kolom
pada tulang vertebra (ulang belakang yang melengkung, kelainan tulang
belakang, bentuk tulang belakang yang salah)
2. Daya tarik kekuatan otot menyebabkan fragmen tulang berpindah dari
tempatnya perubahan keseimbangan dan contur terjadi seperti : rotasi
pemendekan tulang, Penekanan tulang
3. Echumosis dan perdarahan subculaneus
4. Spasme otot spasme involunters dekat fraktur.
5. Tendernes atau keempukan
8

6. Kehilangan sensasi (Mati rasa, munkin terjadi dari rusaknya


saraf atau perdarahan).
7. Syock hipovolemik dari hilangnya hasil darah.
8. Krepitasi merupakan istilah serapan dari bahasa Latin, yakni crepitus yang
berarti gemeretak. Bunyi ini dapat muncul berupa derik akibat gesekan
ujung-ujung tulang patah, juga dari pergerakan sendi. Selain itu bunyi
gelembung-gelembung udara pada emfisem subkutis bila ditekan juga
merupakan Krepitasi.
9. Compartemen syndrom adalah kondisi yang terjadi akibat meningkatnya
tekanan di dalam kompartemen otot, sehingga dapat mengakibatkan cedera
di dalam kompartemen otot yang meliputi jaringan otot sendiri, pembuluh
darah, dan saraf.

Pada pasien post operasi:


1. Bengkak : edema muncul secara cepat dari lokasi dan ekstravaksasi darah
dalam jaringan yang berdekatan dengan fraktur.
2. Nyeri mungkin disebabkan oleh spasme otot berpindah tulang dari
tempatnya dan kerusakan struktur di daerah yang berdekatan.
3. Pergerakan abnormal

c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk mengatahui
keadaan tulang yang mengalami fraktur yaitu:
a. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium perlu dilakukan untuk mengetahui kadar Hb
dan hematokrit, kerana perdarahan yang terjadi akibat fraktur akan
menyebabkan kadar Hb dan hematokrit dalam tubuh menjadi rendah.
Selain itu, Laju Endap Darah (LED) akan meningkat apabila kerusakan
yang terjadi pada jaringan lunak sangat luas.
b. X-ray
9

Pemeriksaan Xray merupakan pemeriksaan yang digunakan untuk


melihat gambaran fraktur, deformitas (pergeseran fragmen pada fraktur)
dan metalikment. Keuntungan pemeriksaan Xray yaitu tidak ada residu
radiasi di dalam tubuh, tidak ada efek samping, dan cepat, dapat
digunakan pada situasi darurat.
c. CT-scan
CT-scan merupakan alat yang bekerja dengan cara memproduksi
gambaran organ tubuh dengan menggunakan gelombang suara yang
terkan pada komputer(Bastiansyah, 2008). CT-scan dapat menghasilkan
gambaran dari organ tubuh termasuk keadaan tulang.
d. MRI (Magnetic Resonanci Imaging)
MRI merupakan alat diagnostik yang dapat menghasilkan potongan
organ tubuh menusia dengan menggunakan medan magnet tanpa
menggunakan sinar-X.
e. Rontgen
Pemeriksaan rontgen merupakan salah satu prosedur yang efektif bila
digunakan untuk mendeteksi terjadinya fraktur. Rontgen digunakan
untuk memotret tubuh bagian dalam, sehingga organ yang ada dalam
tubuh dapat terlihat dengan jelas, terutama pada bagian tulang yang
mengalami fraktur.

d. Penatalaksanaan Farmakologi dan Non Farmakologi


Prinsip penatalaksaanannya pada fraktur ada dua jenis yaitu konservatif
dan operatif. Kriteria untuk menentukan pengobatan dapat dilakukan secara
konservatif atau operatif selamanya tidak absolut.
Menurut (Mansjoer, 2002) dapat di kemukakan sebagai berikut:
A. Cara konservatif:
1. Anak-anak dan remaja, dimana masih ada pertumbuhan tulang panjang.
10

2. Adanya infeksi atau diperkirakan dapat terjadi infeksi.


3. Jenis fraktur tidak cocok untuk pemasangan fiksasi internal.
4. Ada kontraindikasi untuk di lakukan operasi.
Pengobatan konservatif dapat dilakukan dengan:
- Pemasangan Gips.
- Pemasangan traksi (skin traksi dan skeletal traksi). Beban maksimal untuk
skin traksi adalah 5 Kg.
B. Cara operatif di lakukan apabila:
1. Bila reposisi mengalami kegagalan.
2. Pada orang tua dan lemah (imobilisasi  akibat yang lebih buruk).
3. Fraktur multipel pada ekstrimitas bawah.
4. Fraktur patologik.
5. Penderita yang memerluka imobilisasi cepat.
Pengobatan operatif:
- Reposisi.
- Fiksasi.
Atau yang lazim di sebut juga dengan tindakan ORIF (“Open Reduction
Internal Fixation”)
Pada prinsipnya penangganan fraktur meliputi reduksi, imobilisasi dan
pengembalian fungsi dan kekuatan normal dengan rehabilitasi.
- Reduksi fraktur berarti mengembalikan fragmen tulangpada kesejajarannya
dan rotasi anatomis. Metode dalam reduksi adalah reduksi tertutup, traksi
dan reduksi terbuka, yang masing-masing di pilih bergantung sifat fraktur
Reduksi tertutup dilakukan untuk mengembalikan fragmen tulang ke
posisinya (ujung-ujung saling behubungan) dengan manipulasi dan traksi
manual.
Traksi, dapat digunakan untuk mendapatkan efek reduksi dan imobilisasi.
Beratnya traksi disesuaikan dengan spasme otot yang terjadi.
Reduksi terbuka , dengan pendekatan pembedahan, fragmen tulang
direduksi. Alat fiksasi internal dalam bentuk pin, kawat, sekrup, plat, paku
11

atau batangan logam dapat digunakan untuk mempertahankan fragmen


tulang dalam posisinya sampai penyembuhan tulang yang solid terjadi.
- Imobilisai fraktur, setelah fraktur di reduksi fragmen tulang harus di
imobilisasi atau di pertahankan dalam posisi dan kesejajaran yang benar
sampai terjadi penyatuan. Immobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi
eksternal atau inernal. Fiksasi eksternal meliputi pembalutan, gips, bidai,
traksi kontinui, pin dan teknik gips atau fiksator eksternal. Fiksasi internal
dapat dilakukan implan logam yang berperan sebagai bidai interna untuk
mengimobilisasi fraktur. Pada fraktur femur imobilisasi di butuhkan sesuai
lokasi fraktur yaitu intrakapsuler 24 minggu, intra trokhanterik 10-12
minggu, batang 18 minggu dan supra kondiler 12-15 minggu.
- Mempertahankan dan mengembalikan fungsi, segala upaya diarahkan pada
penyembuhan tulang dan jaringan lunak, yaitu ;
a. Mempertahankan reduksi dan imobilisasi
b. Meninggikan untuk meminimalkan pembengkakan
c. Memantau status neurologi.
d. Mengontrol kecemasan dan nyeri
e. Latihan isometrik dan setting otot
f. Berpartisipasi dalam aktivitas hidup sehari-hari
g. Kembali keaktivitas secara bertahap
12

3. CLINICAL PATHWAY

Operasi

Post Op Adanya luka

Nyeri Risiko tinggi


infeksi dan risiko
pendarahan
Ganguan istirahat

Gangguan akfitas
Gangguan rasa (gangguan mobilitas
nyaman fisik)
13

4. PROSES KEPERAWATAN
1. Pengkajian
1) Identitas Pasien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan,
alamat,status perkawinan, suku bangsa, nomor register, tanggal masuk
rumah sakit dan diagnosa medis.
2) Keluhan Utama
Adanya rasa nyeri pada daerah fraktur atau tidak
3) Riwayat Penyakit Sekarang
Kaji kronologi terjadinya trauma yang menyebabkan patah tulang,
pertolongan apa yang di dapatkan, apakah sudah berobat ke dukun
patah tulang. Selain itu, dengan mengetahui mekanisme terjadinya
kecelakaan, perawat dapat mengetahui luka kecelakaan yang lainya.
Penyebab utama fraktur adalah kecelakaan lalu lintas darat.
4) Riwayat Penyakit dahulu
Pada beberapa keadaan, klien yang pernah berobat ke dukun patah
tulang sebelumnya sering mengalami mal-union. Penyakit tertentu
seperti kanker tulang atau menyebabkan fraktur patologis sehingga
tulang sulit menyambung. Selain itu, klien diabetes dengan luka di kaki
sangat beresiko mengalami osteomielitis akut dan kronik serta penyakit
diabetes menghambat penyembuhan tulang.
5) Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan patah tulang adalah salah
satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti osteoporosis yang
sering terjadi pada beberapa keturunan dan kanker tulang yang
cenderung diturunkan secara genetik.
6) Pola Kebiasaan
a. Pola Nutrisi
Umumnya pola nutrisi pasien tidak mengalami perubahan, namun
ada beberapa kondisi dapat menyebabkan pola nutrisi berubah,
14

seperti nyeri yang hebat, dampak hospitalisasi terutama bagi pasien


yang merupakan pengalaman pertama masuk rumah sakit.
b. Pola Eliminasi
Pasien dapat cenderung mengalami gangguan eliminasi BAB
seperti konstipasi dan gangguan eliminasi urine akibat adanya
program eliminasi dilakukan ditempat tidur.
c. Pola Istirahat
Umumnya kebutuhan istirahat atau tidur pasien tidak mengalami
perubahan yang berarti, namun ada beberapa kondisi dapat
menyebabkan pola istirahat terganggu atau berubah seperti
timbulnya rasa nyeri yang hebat dan dampak hospitalisasi.
d. Pola Aktivitas
Umumnya pasien tidak dapat melakukan aktivitas (rutinitas)
sebagaimana biasanya, yang hampir seluruh aktivitas dilakukan
ditempat tidur. Hal ini dilakukan karena ada perubahan fungsi
anggota gerak serta program immobilisasi, untuk melakukan
aktivitasnya pasien harus dibantu oleh orang lain, namun untuk
aktivitas yang sifatnya ringan pasien masih dapat melakukannya
sendiri.
e. Personal Hygiene
Pasien masih mampu melakukan personal hygienenya, namun
harus ada bantuan dari orang lain, aktivitas ini sering dilakukan
pasien ditempat tidur.
f. Riwayat Psikologis
Biasanya dapat timbul rasa takut dan cemas terhadap fraktur, selain
itu dapat juga terjadi ganggguan konsep diri body image, jika
terjadi atropi otot kulit pucat, kering dan besisik. Dampak
psikologis ini dapat muncul pada pasien yang masih dalam
perawatan dirumah sakit. Hal ini dapat terjadi karena adanya
program immobilisasi serta proses penyembuhan yang cukup lama.
g. Riwayat Spiritual
15

pasien apakah masih bisa mengartikan makna dan tujuan serta


harapan pasien terhadap penyakitnya.
h. Riwayat Sosial
Dampak sosial adalah adanya ketergantungan pada orang lain dan
sebaliknya pasien dapat juga menarik diri dari lingkungannya
karena merasa dirinya tidak berguna (terutama kalau ada program
amputasi).
7) Pemeriksaan Fisik
a. B1 (Breathing)
Pre operasi: pada pemeriksaan sistem pernafasan tidak
mengalami gangguan.
Post operasi: biasanya terjadi reflek batu tidak efektif sehingga
terjadi penurunan akumulasi sekret. Bisa terjadi apneu, lidah ke
belakang akibat general anastesi, RR meningkat karena nyeri.
b. B2 (Blood)
Pre operasi: dapat terjadi peningkatan tekanan darah,
peningkatan nadi dan respirasi karena nyeri, peningkatan suhu
tubuh karena terjadi infeksi terutama pada fraktur terbuka.
Post operasi: dapat terjadi peningkatan tekanan darah,
peningkatan nadi dan respirasi karena nyeri, peningkatan suhu
tubuh karena terjadi infeksi terutama pada proses pembedahan.
c. B3 (Brain)
Pre operasi: tingkat kesadaran biasanya compos mentis.
Post operasi: dapat terjadi penurunan kesadaran akibat tindakan
anastesi, nyeri akibat pembedahan.
d. B4 (Bladder)
Pre operasi: biasanya klien fraktur tidak mengalami kelainan
pada sistem ini.
Post operasi: terjadi retensi urin akibat general anastesi.
e. B5 (Bowel)
16

Pre operasi: pemenuhan nutrisi dan bising usus biasanya


normal, pola defekasi tidak ada kelainan.
Post operasi: penurunan gerakan peristaltic akibat general
anastesi.
f. B6 (Bone)
Pre operasi: adanya deformitas, nyeri tekan pada daerah
trauma.
Post operasi: gangguan mobilitas fisik akibat pembedahan.

2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa Pre Op
1) Nyeri akut berhubungan dengan agens cedera fisik (trauma)
2) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan muskuloskeletal
3) Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan cedera
4) Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif, luka
5) Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan
6) Resiko syok hipovolemik berhubungan dengan perdarahan
7) Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan imobilitas

Diagnosa Post Op
1) Nyeri akut berhubungan dengan agens cedera fisik post op
2) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan musculoskeletal
3) Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan sedera dan luka post op
4) Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif, luka
5) Ansietas berhubungan dengan perubahan fisik pada tubuh
17

3. Intervensi Keperawatan
No Diagnosa Tujuan/kriteria hasil Kriteria Hasil Intervensi Keperawatan Rasional
Keperawatan
1 Nyeri akut Setelah dilakukan 1. Mampu mengontrol nyeri Pain management
berhubungan dengan tindakan keperawatan (tahu penyebab nyeri, 1. Kaji nyeri secara 1. Mengetahui kondisi umum
agens cedera fisik selama 1x24 jam mampu menggunakan komprehensif (lokasi, pasien dan pertimbangan
(trauma)
diharapkan nyeri dapat tehnik nonfarmakologi karakteristik, durasi, tindakan selanjutnya
berkurang untuk mengurangi nyeri, frekuensi, kualitas, dan faktor
mencari bantuan) presipitasi)
NOC: 2. Melaporkan bahwa nyeri 2. Beri penjelasan mengenai 2. Pasien memahami keadaan
1. Pain level berkurang dengan penyebab nyeri sakitnya
2. Pain control menggunakan manajemen 3. Observasi reaksi nonverbal 3. Respon nonverbal terkadang
3. Comfort level nyeri dari ketidaknyamanan lebih menggambarkan apa
3. Mampu mengenali nyeri yang pasien rasakan
(skala, intensitas, 4. Segera immobilisasi daerah 4. Mempertahankan posisi
frekuensi, dan tanda nyeri) fraktur fungsional tulang
4. Menyatakan rasa nyaman 5. Tinggikan dan dukung 5. Memperlancar arus balik
setelah nyeri berkurang ekstremitas yang terkena vena
6. Ajarkan pasien tentang 6. Mengatasi nyeri misalnya
alternative lain untuk kompres hangat, mengatur
mengatasi dan mengurangi posisi untuk mencegah
rasa nyeri kesalahan posisi pada
tulang/jaringan yang cedera
7. Ajarkan teknik manajemen 7. Memfokuskan kembali
stress misalnya relaksasi nafas perhatian, meningkatkan
dalam rasa kontrol dan
meningkatkan kemampuan
koping dalam manajemen
nyeri yang mungkin
18

menetap untuk periode lebih


lama
8. Kolaborasi dengan tim 8. Mengontrol atau
kesehatan lain dalam mengurangi nyeri pasien
pemberian obat analgeik
sesuai indikasi
2 Hambatan mobilitas Setelah dilakukan Kriteria hasil: NIC:
fisik berhubungan tindakan keperawatan • Pasien meningkat dalam Exercise therapy
dengan gangguan 3 x 24 jam mobilitas aktivitas fisik 1. Kaji kemampuan pasien 1. Pertimbangan intervensi
muskuloskeletal
pasien dapat meningkat • Mengerti tujuan dari dalam mobilisasi selanjutnya
NOC peningktaan mobilitas fisik 2. Ajarkan bagaimana latihan 2. Pasien memahami latihan
Joint movement: active yang diperlukan yang perlu dilakukan
Mobility level 3. Anjurkan pasien untuk rutin 3. Membantu mempercepat
Self care: ADLs latihan proses peningkatan
aktivitas
4. Monitor perkembangan 4. Memantau kemajuan dari
kemampuan aktivitas pasien terapi
5. Anjurkan keluarga juga 5. Membantu mempercepat
berpartisipassi dalam peningkatan mobilisasi
program latihan pasien pasien
3. Kerusakan integritas Setelah dilakukan Kriteria Hasil: NIC
kulit berhubungan tindakan keperawatan 1. Integritas kulit yang baik Manajemen Tekanan
dengan cidera 3 x 24 jam kerusakan bisa dipertahankan 1. Anjurkan pasien untuk 1. Tidak ada tekanan pada luka
integritas kulit 2. Melaporkan adanya menggunakan pakaian yang
membaik gangguan sensasi atau longgar
NOC : nyeri pada daerah kulit 2. Hindari kerutan pada tempat 2. Mencegah terbentuknya luka
Intergritas jaringan: yang mengalami gangguan tidur yang baru
kulit dan membran 3. Menunjukkan pemahaman 3. Jaga kebersihan kulit agar 3. Terhindar dari infeksi
mukus dalam proses perbaikan tetap bersih dan kering
19

kulit dan mencegah 4. Mobilisasi pasien (ubah 4. Mencegah terjadinya


terjadinya sedera berulang posisi pasien) setiap dua jam dekubitus
4. Mampu melindungi kulit sekali
dan mempertahankan 5. Monitor kulit akan adanya5. Mencegah terjadinya
kelembaban kulit dan kemerahan dekubitus
perawatan alami 6. Monitor aktivitas dan
6. Mengetahui perkembangan
mobilisasi pasien mobilisasi pasien
7. Monitor status nutrisi pasien
7. Mengetahui nutrisi yang
dikonsumsi pasien
8. Memandikan pasien dengan 8. Pasien tetap terjaga
sabun dan air hangat perawatan dirinya

4. . Resiko infeksi Setelah dilakukan Kriteria Hasil: NIC :


berhubungan dengan tindakan keperawatan 1. Klien bebas dari tanda dan Kontrol Infeksi
prosedur invasif, selama 3x24 jam gejala infeksi 1. Bersihkan lingkungan setelah 1. Untuk mencegah infeksi
luka pasien tidak 2. Menunjukkan kemampuan dipakai pasien lain yang ditularkan oleh pasien
mengalami infeksi untuk mencegah timbulnya 2. Gunakan sabun antimikrobia lain
NOC : infeksi untuk cuci tangan 2. Memotong rantai infeksi
1. Status imun 3. Jumlah leukosit dalam 3. Cuci tangan setiap sebelum 3. Memotong rantai infeksi
2. Kontrol resiko batas normal dan sesudah tindakan
4. Menunjukkan perilaku keperawatan
hidup sehat 4. Gunakan baju, sarung tangan 4. Tenaga kesehatan dapat
sebagai alat pelindung mencegah infeksi
nosokomial
5. Pertahankan lingkungan 5. Resiko infeksi tidak terjadi
aseptik selama pemasangan
alat
6. Tingkatkan intake nutrisi 6. Diet makanan tinggi protein
untuk mempercepat
20

penyembuhan luka
7. Berikan terapi antibiotik bila 7. Untuk mencegah atau
perlu mengobati infeksi
5. Ansietas NOC 1. Monitor intensitas NIC
berhubungan dengan Kontrol ansietas kecemasan Penurunan Kecemasan
perubahan status 2. Menyikirkan tanda 1. Tenangkan klien 1. Kecemasan tidak meningkat
kesehatan
kecemasan 2. Berikan informasi tentang 2. Pasien dapat memahami
3. Mencari informasi untuk diagnosa prognosis dan terkait keadaannya
menurunkan kecemasan tindakan
4. Merencanakan strategi 3. Kaji tingkat kecemasan dan 3. Mengetahui tingkat
koping reaksi fisik pada tingkat kecemasan untuk
5. Menggunakan teknik kecemasan menentukan intervensi
relaksasi untuk selanjutnya
menurunkan kecemasan 4. Gunakan pendekatan dan 4. Empati petugas kesehatan
6. Melaporkan penurunan sentuhan dapat dirasakan pasien
durasi dan episode cemas 5. Temani pasien untuk 5. Kecemasan tidak meningkat
7. Melaporkan tidak adanya mendukung keamanan dan
manifestasi fisik dan penurunan rasa takut
kecemasan 6. Sediakan aktifitas untuk 6. Pengalihan terhadap
Tidak adaa manifestasi menurunkan ketegangan kecemasan yang dirasakan
perilaku kecemasan pasien
7. Intruksikan kemampuan klien 7. Mengurangi kecemasan
untuk menggunakan teknik pasien
relaksasi
6. Resiko syok Setelah dilakukan 1. Nadi dalam batas yang Shock prevention
hipovolemik tindakan keperawatan diharapkan 1. Monitor status sirkulasi 1. Mengidentifikasi
berhubungan dengan 1x6 jam syok dapat 2. Irama jantung dalam batas (tekanan darah, warna kulit, keadekuatan status sirkulasi
perdarahan dihindari yang diharapkan suhu kulit, denyut jantung,
3. Frekuensi nafas daam ritme, nadi perifer, dan CRT)
21

NOC : batas yang diharapkan 2. Monitor tanda inadekuat 2. Mengetahui adakah


1. Shock prevention 4. Irama pernafasan dalam oksigenasi jaringan gangguan perfusi jaringan
2. Shock batas yang diharapkan 3. Monitor input dan output 3. Mengetahui keseimbangan
management 5. Natrium serum dalam cairan
batas normal 4. Monitor tanda awal syok 4. Skrining adanya syok
6. Kalium serum dalam batas 5. Kolaborasi pemberian cairan 5. Rehidrasi
normal IV dengan tepat
7. Klorida serum dalam batas
normal
8. Kalsium serum dalam
batas normal
9. Magnesium serum dalam
batas normal
10. Ph darah serum dalam
batas normal
22

4.Evaluasi Keperawatan
a. Tidak ada kerusakan pada area kulit
b. Tidak ada tanda-tanda infeksi pada pasien
c. Pasien dapat imobilitas secara mandiri
d. Nyeri yang dirasakan berkurang
e. Tidak ada tanda-tanda syok hipovolemik

5. Discahrge Planning
a. Beri penyuluhan kepada pasien tentang cara merawat diri sendiri dan
eluarga juga diberi penyuluhan tentang cara perawatan pasien fraktur
cruris.
b. Memberikan informasi mengenai cara meningkatkan penyembuhan,
mencegah komplikasidan mengenali tanda-tanda komplikasi .
c. Bantu pasien unttuk memhami proses penyembuhan memelukan waktu
cukup lama.
23

DAFTAR PUSTAKA

Bastiansyah, Eko. 2008. Panduan lengkap :Membaca Hasil Tes Kesehatan.


Jakarta: Penebar Plus.
Brunner & Suddarth. 2000. Buku Ajar Keperawatan Medikal – Bedah. Penerbit
EGC: Jakarta.
Bulechek, G. M., H. K. Butcher, J. M. Dochterman, dan C. M. Wagner. 2016.
Nursing Invention Classifications (NIC). Sixth Edition. Singapore: Elsevier.
Terjemahan oleh I. Nurjannah, R.D. Tumanggor. 2016. Nursing Invention
Classifications (NIC) Edisi Bahasa Indoensia. Edisi Keenam. Yogykarta:
Mocomedia.
Doengoes, Marylinn. E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3. Jakarta:
EGC.

Depkes RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Badan Penelitian dan
pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI.

Mansjoer, Arif. dkk. 2002. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3. Jakarta: Media
Aesculapius. FKUI.
Moorhead, Jhonson dan Swanson. 2016. Nursing Outcomes Classifications
(NOC). Fifth Edition. Singapore: Elsevier. Terjemahan oleh I. Nurjannah,
R.D. Tumanggor. 2016. Nursing Outcomes Classifications (NOC)
Pengukuran Outcomes Kesehatan Edisi Bahasa Indoensia. Edisi Kelima.
Yogykarta: Mocomedia.

NANDA. 2014. Nanda International Inc. Nursing Diagnoses: Definition and


Classifications 2015-2017. Tenth Edition. Amerika: Nanda International.
Terjemahan oleh B.A. Keliat, H.D. Windarwati, A. Parwirowiyono, M.A.
Subu. 2015. Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2015-2017.
Edisi 10. Jakarta: EGC.Potter, P.A. dan A.G. Perry. 2005. Buku Ajar
Fundamental Keperawatn: Konsep, Proses, dan Praktek. Edisi 4. Jakarta:
EGC.
24

Price and Wilson. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit


Edisi 6 Volume 1. Jakarta: EGC.
Smeltzer, C . 2001. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta. EGC.

Anda mungkin juga menyukai