Anda di halaman 1dari 34

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN FRAKTUR


FEMUR DI POLI ORTHOPEDI RSD dr. SOEBANDI JEMBER

Oleh:
Norma Mey Intan Permatasari, S.Kep.
NIM 192311101117

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
JEMBER
2020
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan kasus yang dibuat oleh:


Nama : Norma Mey Intan Permatasari, S.Kep
NIM : 192311101117
Judul : Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Meningioma di Ruang
Gardena RSD dr. Soebandi Jember

Telah diperiksa dan disahkan oleh pembimbing pada:


Hari :
Tanggal :

Jember, Januari 2020

TIM PEMBIMBING

Pembimbing Akademik, Pembimbing Klinik,

Ns. Baskoro Setioputro, M.Kep Ns. Ari Wahyuana, S.Kep


NIP. 19830505 200812 1 004 NIK. 203200412 2 19820226

Mengetahui
Kepala Ruang,

Ns. Suparman, S.Kep


NIP. 19760412 200604 1 014

ii
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan kasus yang dibuat oleh:


Nama : Norma Mey Intan Permatasari, S.Kep
NIM : 192311101117
Judul : Asuhan Keperawatan pada Pasien An.FB pada Tumor Serebri di Ruang
Gardena RSD dr. Soebandi Jember

Telah diperiksa dan disahkan oleh pembimbing pada:


Hari :
Tanggal :

Jember, Januari 2020

TIM PEMBIMBING

Pembimbing Akademik, Pembimbing Klinik,

Ns. Baskoro Setioputro, M.Kep Ns. Ari Wahyuana, S.Kep


NIP. 19830505 200812 1 004 NIK. 203200412 2 19820226

Mengetahui
Kepala Ruang,

Ns. Suparman, S.Kep


NIP.19760412 200604 1 014

ii
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL.........................................................................................i
LEMBAR PENGESAHAN..............................................................................ii
DAFTAR ISI......................................................................................................iii
BAB 1. KONSEP DASAR PENYAKIT..........................................................1
1.1 Anatomi Fisiologi...........................................................................1
1.2 Definisi Penyakit.............................................................................3
1.3 Epidemiologi...................................................................................4
1.4 Etiologi............................................................................................5
1.5 Klasifikasi.......................................................................................6
1.6 Patofisiologi....................................................................................9
1.7 Manifestasi Klinis...........................................................................10
1.8 Pemeriksaan Penunjang..................................................................10
1.9 Penatalaksanaan..............................................................................11
1.10 Proses Penyembuhan Fraktur........................................................14
1.11 Komplikasi....................................................................................17
1.12 Clinical Pathway...........................................................................19
BAB 2. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN............................................20
2.1 Pengkajian.......................................................................................20
2.2 Diagnosa.........................................................................................23
2.3 Intervensi.........................................................................................24
2.4 Evaluasi...........................................................................................29
2.5 Discharge Planning.........................................................................29
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................30

iii
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN FRAKTUR
FEMUR DI POLI ORTHOPEDI RSD dr. SOEBANDI JEMBER
Oleh: Norma Mey Intan Permatasari, S. Kep

BAB 1. KONSEP DASAR PENYAKIT

A. KONSEP DASAR PENYAKIT


1.1 Anatomi Fisiologi
Sistem rangka adalah bagian tubuh yang terdiri dari tulang, sendi, dan
tulang rawan (kartilago) sebagai tempat menempelnya otot dan
memungkinkan tubuh untuk mempertahankan sikap dan posisi. Tulang
sebagai alat gerak pasif karena hanya mengikuti kendali otot. Akan tetapi
tulang tetap mempunyai peranan penting karena gerak tidak akan terjadi tanpa
tulang. Fungsi dari sistem skeletal/rangka adalah:
1) Penyangga berdirinya tubuh, tempat melekatnya ligamen-ligamen, otot,
jaringan lunak dan organ. Membentuk kerangka yang berfungsi untuk
menyangga tubuh dan otot-otot yang melekat pada tulang.
2) Penyimpanan mineral (kalsium dan fosfat) dan lipid (yellow marrow)
atau hemopoesis.
3) Produksi sel darah merah (red marrow)
4) Pelindung yaitu membentuk rongga melindungi organ yang halus dan
lunak, serta memproteksi organ-organ internal dari trauma mekanis.
5) Penggerak yaitu dapat mengubah arah dan kekuatan otot rangka saat
bergerak karena adanya persendian.
Berdasarkan struktur tulang, tulang terdiri dari sel hidup yang tersebar
diantara material tidak hidup (matriks). Matriks tersusun atas osteoblas (sel
pembentuk tulang). Osteoblas membuat dan mensekresi protein kolagen dan
garam mineral. Jika pembentukan tulang baru dibutuhkan, osteoblas baru
akan dibentuk. Jika tulang telah dibentuk, osteoblas akan berubah menjadi
osteosit (sel tulang dewasa). Sel tulang yang telah mati akan dirusak oleh
osteoklas (sel perusakan tulang).

1
Gambar 1. Bagian dalam Tulang
Proses pembentukan tulang telah bermula sejak umur embrio 6-7 minggu
dan berlangsung sampai dewasa. Pada rangka manusia, rangka yang pertama kali
terbentuk adalah tulang rawan (kartilago) yang berasal dari jaringan mesenkim.
Kemudian akan terbentuk osteoblas atau sel-sel pembentuk tulang. Osteoblas ini
akan mengisi rongga-rongga tulang rawan. Sel-sel tulang dibentuk terutama dari
arah dalam keluar, atau proses pembentukannya konsentris. Setiap satuan-satuan
sel tulang mengelilingi suatu pembuluh darah dan saraf membentuk suatu sistem
yang disebut sistem Havers. Disekeliling sel-sel tulang terbentuk senyawa
protein yang akan menjadi matriks tulang. Kelak di dalam senyawa protein ini
terdapat pula kapur dan fosfor sehingga matriks tulang akan mengeras. Proses ini
disebut osifikasi (Pearce, 2015).
Femur merupakan tulang sejati, tulang yang bersifat keras dan berfungsi
menyusun berbagai sistem rangka . Permukaan luar tulang femur dilapisi selbuh
fibrosa (periosteum). Lapis tipis jaringan ikat (endosteum) melapisi rongga
sumsum dan meluas ke dalam kanalikuli tulang kompak. Tulang femur terdiri
dari beberapa komponen berikut:
1) Sistem Havers (saluran berisi serabut saraf, pembuluh darah, aliran limfe).
2) Lamella (lempeng tulang yang tersusun konsentris).
3) Lacuna (ruangan kecil di antara lempengan yang mengandung sel tulang).

2
4) Kanalikuli (di antara lacuna dan tempat difusi makanan sampai ke osteon).
Tulang ini tersusun atas ”honeycomb” network yang disebut trabekula.
Struktur tersebut menyebabkan tulang dapat menahan tekanan. Rongga antara
trabekula berisi “red bone marrow” yang mengandung pembuluh darah yang
memberi nutrisi pada tulang. Contohnya yaitu tulang pelvis, rusuk,tulang
belakang, tengkorak, dan pada ujung tulang lengan dan paha. Tulang femur
merupakan tulang yang ukuran panjangnya terbesar (Wahyuningsih &
Kusmiyati, 2017).
Tulang paha menjadi tempat melekatnya otot-otot besar, yaitu otot origo
dan otot insersio. Otot origo merupakan otot yang mempunyai pergerakan stabil
atau tetap saat dilakukan kontraksi (otot vastus lateralis, otot vastus intermedius,
otot gastrocnemius, dan otot vastus medialis). Sedangkan otot insersio
merupakan otot yang mempunyai pergerakan yang tidak tetap atau berubah
posisi apabila dilakukan kontraksi (otot iliopsoas, otot tensor fasciae latea, otot
gluteus maximus, otot gluteus medialis). Pada tulang paha terdapat arteri
femoralis, arteri femoralis kanan dan kiri bercabang menjadi arteri profunda
feoralis, ramiaeteroa sirkumfleksia femoralis lateralis asenden, desenden,
medialis, dan arteria perforantes. Arteri femoralis membentuk arteri yang
memperdarahi daerhan genu dan ekstremitas inferior yang lebih distal. Aliran
balik darah menuju jantung dari femur dibawa vena femoralis kanan dan kiri.

1.2 Definisi Penyakit


Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang
dan tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh trauma (Mansjoer, 2003).
Fraktur femur adalah terputusnya kontinuitas batang femur yang bisa terjadi
akibat trauma langsung (kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian). Patah pada
tulang femur dapat menimbulkan perdarahan cukup banyak serta mengakibatkan
penderita mengalami syok (Sjamsuhidajat, 2004).
Fraktur femur atau patah tulang paha merupakan rusaknya kontiunitas
tulang pangkal paha yang dapat disebabkan oleh trauma langsung, kelelahan
otot, dan kondisi tertentu, seperti degenerasi tulang atau osteoporosis. Fraktur

3
tulang femur dapat terjadi mulai dari proximal sampai distal. Untuk mematahkan
batang femur pada orang dewasa, diperlukan gaya yang besar. Secara klinis,
fraktur femur terdiri atas pada tulang paha terbuka dan pada tulang paha tertutup
(Mutaqqin, 2008). Fraktur femur tertutup adalah fraktur dimana kulit tidak
ditembus oleh fragmen tulang, sehingga tempat fraktur tidak tercemar oleh
lingkungan. Fraktur terbuka adalah fraktur yang mempunyai hubungan dengan
dunia luar melalui luka pada kulit dan jaringan lunak dapat terbentuk dari dalam
atau dari luar (mutaqqin,2008).

Gambar 3. Fraktur Femur

1.3 Epidemiologi
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat pada tahun 2011-2012
terdapat 5,6 juta orang meninggal dunia dan 1,3 juta orang menderita fraktur
akibat kecelakaan lalu lintas. Berdasarkan hasil riset oleh Badan Penelitian dan
Pengembangan Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 2007, di
Indonesia terjadi kasus fraktur yang disebabkan oleh cedera antara lain karena
jatuh, kecelakaan lalu lintas dan trauma benda tajam atau tumpul. Dari 45.987
peristiwa terjatuh yang mengalami fraktur sebanyak 1.775 orang atau 3,8%, dari
20.829 kasus kecelakaan lalu lintas, yang mengalami fraktur sebanyak 1.770
orang atau 8,5%, dari 14.127 trauma benda tajam/tumpul yang mengalami fraktur
sebanyak 236 orang atau 1,7% (Juniartha, 2007). Prevalensi kasus fraktur

4
meningkat dari 7,5% tahun 2007 menjadi 8,2% pada tahun 2013. Angka kejadian
fraktur berdasarkan letaknya adalah 21,6 % untuk tibia, femur 12,1%, radius dan
ulna 9,3%, lalu humerus 5,7 % (Seyni & Mohamed, 2016). Menurut survei
Kementerian kesehatan Indonesia pada tahun 2013, 23% orang yang fraktur
meninggal dunia, 47% mengalami kecacatan, 15% mengalami depresi dan 10%
sembuh dengan baik (Yunus, 2019).
Dari sekian banyak kasus fraktur di Indonesia, fraktur pada ekstremitas
bawah akibat kecelakaan memiliki prevalensi yang paling tinggi diantara fraktur
lainnya yaitu sekitar 46,2%. Dari 45.987 orang dengan kasus fraktur ekstremitas
bawah akibat kecelakaan,19.629 orang mengalami fraktur pada tulang femur,
14.027 orang mengalami fraktur cruris, 3.775 orang mengalami fraktur tibia, 970
orang mengalami fraktur pada tulang-tulang kecil di kaki dan 336 orang
mengalami fraktur fibula (Depkes RI 2011). Jenis fraktur femur mempunyai
insiden yang tinggi diantara fraktur tulang lain dan fraktur femur paling sering
terjadi pada batang femur 1/3 tengah. Fraktur femur lebih sering terjadi pada laki-
laki daripada perempuan dengan umur dibawah 45 tahun dan sering berhubungan
dengan olahraga, pekerjaan atau kecelakaan (Mansjoer, 2003).

1.4 Etiologi
Penyebab fraktur secara fisiologis merupakan suatu kerusakan jaringan
tulang yang diakibatkan dari kecelakaan, tenaga fisik, olahraga dan trauma.
Menurut (Padila 2012), etiologi fraktur adalah sebagai berikut :
1) Trauma langsung/ direct trauma, yaitu apabila terjadi trauma langsung
terhadap tulang sehingga tulang patah secara spontan (misalnya benturan,
pukulan yang mengakibatkan patah tulang).
2) Trauma tidak langsung/ indirect trauma, yaitu apabila trauma dihantarkan
ke daerah yang lebih jauh dari daerah fraktur. misalnya penderita jatuh
dengan lengan dalam keadaan ekstensi dapat terjadi fraktur pada
pegelangan tangan. Tekanan pada tulang dapat berupa:
a. Tekanan berputar yang menyebabkan fraktur bersifat oblik atau
spiral;

5
b. Tekanan membengkok yang menyebabkan fraktur transversal;
c. Tekanan sepanjang aksis tulang yang dapat menyebabkan fraktur
impaksi atau dislokasi;
d. Kompresi vertikal yang dapat menyebabkan fraktur kominutif atau
memecah;
e. Trauma oleh karena remuk;
f. Trauma karena tarikan pada ligamen atau tendon akan menarik
sebagian tulang.
3) Trauma patologis, yaitu suatu kerusakan tulang yang terjadi akibat proses
penyakit dimana dengan trauma dapat mengakibatkan fraktur, hal ini
dapat terjadi pada berbagai keadaan diantaranya: tumor tulang,
osteomielitis, scurvy (penyakit gusi berdarah) serta rakhitis (Mansjoer,
2003).

1.5 Klasifikasi
Fraktur dapat dibagi berdasarkan beberapa klasifikasi, antara lain yaitu:
A. Berdasarkan Sifat Fraktur
1) Fraktur tertutup (closed) : bila terdapat hubungan antara fragmen tulang
dengan dunia luar.
Tingkat 0: fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa ceddera jaringan lunak
sekitarnya.
Tingkat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan
subkutan.
Tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak bagian
dalam dan pembengkakan.
Tingkat 3: cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata ddan
ancaman sindroma kompartement.
2) Fraktur terbuka (opened, compound) :terjadi bila terdapat hubungan antara
fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan di kulit.
Fraktur terbagi menjadi tiga deraja, yaitu
a) Derajat I

6
- Luka <1 cm
- Kerusakan jaringan lunak sedikit, tak ada tanda luka remuk
- Kontaminasi minimal
b) Derajat II
- Laserasi >1 cm
- Kerusakan jaringan lunak, namun tidak luas
- Fraktor kominutif sedang
- Kontaminasi sedang
c) Derajat III
- Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas, meliputi struktur kulit,
otot, neurovascular serta kontaminasi derajat tinggi
- Jaringan lunak yang menutupi fraktur tulang adekuat
- Kehilangan jaringan lunak dengan fraktur tulang yang terpapar atau
kontaminasi massif
- Luka pada pembuluh arteri/saraf arteri yang harus diperbaiki tanpa
melihat kerusakan jaringan lunak
B. Berdasarkan Komplit dan Ktidakkomplitan Fraktur
1) Fraktur Komplet : patah pada seluruh garis tulang dan biasanya
mengalami pergeseran (dari yang normal),
2) Fraktur tidak komplit/inkomplit : patah hanya terjadi pada sebagian dari
garis tengah tulang.
C. Berdasarkan Bentuk dan Jumlah Garis Patah
1) Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan
saling berhubungan.
2) Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi
tidak berhubungan.
3) Fraktur Multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi
tidak pada tulang yang sama.
D. Berdasarkan Posisi Fragmen
1) Fraktur Undisplaced (tidak bergeser): garis patah lengkap tetapi
kedua fragmen tidak bergeser dan periosteum masih utuh.

7
2) Fraktur Displaced (bergeser): terjadi pergeseran fragmen tulang yang
juga disebut lokasi fragmen
E. Berdasarkan Bentuk Garis Fraktur dan Hubungannya dengan Mekanisme
Trauma
1) Fraktur transversal : fraktur sepanjang garis tengah tulang,
2) Fraktur green stick : fraktur yang salah satu sisi tulang patang sedang
satu sisi lainnya membengkok,
3) Fraktur Oblik: fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut
terhadap sumbu tulang dan meruakan akibat trauma angulasi juga,
4) Fraktur Spiral: fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral yang
disebabkan trauma rotasi,
5) Fraktur Avulsi: fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau
traksi otot pada insersinya pada tulang,
6) Fraktur kompresi : dengan tulang mengalami kompresi atau tulang ke
belakang,
7) Fraktur depresi : fraktur yang tulang fragmen tulangnya mendorong ke
dalam, biasa pada tulang tengkorang atau tulang wajah,
8) Fraktur patologik : fraktur yang terjadi pada daerah tulang oleh ligamen
atau tendon pada daerah perlekatannya (Suratu, 2008).

8
Gambar 4. Jenis-jenis Patah Tulang atau Fraktur
F. Berdasarkan Kedudukan Tulang
1) Tidak adanya dislokasi.
2) Adanya dislokasi
a) At axim : membentuk sudut.
b) At lotus : fragmen tulang berjauhan.
c) At longitudinal : berjauhan memanjang.
d) At lotus cum contractiosnum : berjauhan dan memendek
G. Berdasarkan Posisi Fraktur
Sebatang tulang terbagi menjadi tiga bagian :
1) 1/3 proksimal
2) 1/3 medial
3) 1/3 distal

1.6 Patofisiologi
Tulang bersifat rapuh, namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya pegas
untuk menahan tekanan. Tetapi apabila tekanan eksternal datang lebih besar dari
pada tekanan yang diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang dapat
mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang (fraktur) (Elizabeth,
2003). Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam
korteks marrow dan jaringan lunak yang membungkus tulang menjadi rusak
sehingga menyebabkan terjadinya perdarahan. Pada saat perdarahan terjadi
terbentuklah hematoma di rongga medulla tulang, sehingga jaringan tulang
segera berdekatan kebagian tulang yang patah. Jaringan yang mengalami
nekrosis akan menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang di tandai dengan
vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit serta infiltrasi sel darah putih.
Kejadian inilah yang merupakan dasar dari proses penyembuhan tulang nantinya
(Price, 2005).

9
1.7 Manifestasi Klinis
Menifestasi Klinis fraktur femur menurut Smletzer (2004) diagi menjadi
dua yaitu tanda- tanda tidak pasti dan tanda-tanda pasti. Tanda-tanda tidak pasti
diantaranya adalah: rasa nyeri dan tegang, nyeri hebat bila bergerak, hilangnya
fungsi akibat nyeri atau tak mampu melakukan gerakan dan deformitas karena
pembengkakan atau akibat perdarahan dan posisi fragmen berubah. Tanda-tanda
pasti diantaranya adalah: gerakan abnormalitas (false movement), gesekan dari
kedua ujung fragmen tulang yang patah (krepitasi) serta deformitas akibat fraktur
(umumnya deformitas berupa rotasi, angulasi dan pemendekan).
Tanda dan gejala dari fraktur femur (mutaqqin,2008) yaitu:
1) Nyeri terus menerus dan bertambah berat sampai tulang dimobilisasi.
2) Deformitas (terlihat maupun teraba).
3) Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena
kontraksi otot yang melekat di atas dan di bawah lokasi fraktur.
4) Saat ekstermitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang
dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan
yang lainnya.
5) Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai

1.8 Pemeriksaan Penunjang


Adapun pemeriksaan penunjang pada kasus fraktur femur yaitu:
1) Pemeriksaan rontgen : menentukan lokasi / luasnya fraktur trauma
2) Scan tulang, tomogram, scan CT / MRI : memperlihatkan fraktur, juga dapat
digunakan untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
3) Arteriogram : dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai.
4) Hitung daerah lengkap : HT mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau
menurun (pendarahan sel darah putih adalah respon stress normal setelah
trauma).
5) Kreatinin : Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klien ginjal.
6) Profil koagulasi, perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, tranfusi atau

10
cedera. (Bararah, T.& Jauhar, M 2013)
1.9 Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaan pada fraktur ada empat, yaitu rekognisi, reduksi,
retensi, dan rehabilitas, yang biasa disebut dengan 4R:
1. Rekognisi (Pengenalan )
Riwayat kecelakaan, derajat keparahan, harus jelas untuk menentukan
diagnosa dan tindakan selanjutnya. Contoh, pada tempat fraktur tungkai akan
terasa nyeri sekali dan bengkak. Kelainan bentuk yang nyata dapat
menentukan diskontinuitas integritas rangka.
2. Reduksi (manipulasi/ reposisi)
Reduksi adalah usaha dan tindakan untuk memanipulasi fragmen fragmen
tulang yang patah sedapat mungkin kembali lagi seperti letak asalnya. Upaya
untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali seperti semula secara
optimal. Reduksi fraktur dapat dilakukan dengan reduksi tertutup, traksi, atau
reduksi terbuka. Reduksi fraktur dilakukan sesegera mungkin untuk
mencegah jaringan lunak kehilangan elastisitasnya akibat infiltrasi karena
edema dan perdarahan. Pada kebanyakan kasus, reduksi fraktur menjadi
semakin sulit bila cedera sudah mulai mengalami penyembuhan (Mansjoer,
2002).
a) Reduksi Tertutup/ORIF (Open Reduction Internal Fixation)
Reduksi tertutup, traksi, dapat dilakukan untuk mereduksi fraktur.
Metode tertentu yang dipilih bergantung sifat fraktur. Reduksi tertutup
pada banyak kasus, reduksi tertutup dilakukan dengan mengembalikan
fragment tulang ke posisinya (ujung-ujungnya saling berhubungan)
dengan manipulasi dan traksi manual. Indikasi dari ORIF yaiti pasien
penderita fraktur dan pasca stroke, pasein yang menderita kelumpuhan.
Sedangkan untuk kontraindikasi yaitu pasien dengan penurunan
kesadaran, pasien dengan fraktur yang parah dan belum ada penyatuan
tulang, pasien yang mengalami kelemahan/malaise.
b) Reduksi Terbuka/OREF (Open Reduction Eksternal Fixation)
Pada Fraktur tertentu dapat dilakukan dengan reduksi eksternal atau yang

11
biasa dikenal dengan OREF, biasanya dilakukan pada fraktur yang terjadi
pada tulang panjang dan fraktur fragmented. Fiksasi ektrnal digunakan
untuk mengobati fraktur terbuka dengan kerussakan jaringan lunak. Alat
ini memberikan dukungan yang stabil untuk fraktur kominutif (hancur
dan remuk). Indikasi yang bisa dilakuakn untuk OREF yaitu fraktur
terbuka grade II dan III, fraktur terbuka yang disertai hilangnya jaringan
atau tulang yang parah, fraktur yang sangat kominutif dan tidak stabil,
fraktur yang disertai dengan kerusakan pembuluh daraf dan syaraf.
Fraktur pelvis yang tidak bisa diatasi dengan cara lain, fraktur yang
terinfeksi pseudoartosis/sendi palsu, non union yang memerlukan
kompresi dan perpanjangan.

(A) (B)
Gambar 4. Fiksasi Eksterna (A) dan Fiksasi Interna (B) pada Fraktur
3. Retensi (Immobilisasi)
Retensi adalah upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang
sehingga kembali seperti semula secara optimal. Setelah fraktur direduksi,
fragmen tulang harus diimobilisasi, atau di pertahankan dalam posisi
kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan
dengan fiksasi eksterna atau interna. Metode fiksasi eksterna meliputi
pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu, pin, dan teknik gips, atau fiksator
eksterna. Implan logam dapat di gunakan untuk fiksasi intrerna yang brperan

12
sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur. Fiksasi eksterna adalah
alat yang diletakkan diluar kulit untuk menstabilisasikan fragmen tulang
dengan memasukkan dua atau tiga pin metal perkutaneus menembus tulang
pada bagian proksimal dan distal dari tempat fraktur dan pin tersebut
dihubungkan satu sama lain dengan menggunakan eksternal bars. Teknik ini
terutama atau kebanyakan digunakan untuk fraktur pada tulang tibia, tetapi
juga dapat dilakukan pada tulang femur, humerus dan pelvis (Mansjoer,
2000).
a) Skin Traksi
Skin traksi adalah menarik bagian tulang yang fraktur dengan
menempelkan plester langsung pada kulit untuk mempertahankan bentuk,
membantu menimbulkan spasme otot pada bagian yang cedera, dan
biasanya digunakan untuk jangka pendek (48-72 jam).
b) Skeletal Traksi
Skeletal traksi adalah traksi yang digunakan untuk meluruskan tulang
yang cedera pada sendi panjang untuk mempertahankan bentuk dengan
memasukkan pins / kawat ke dalam tulang.

Gambar 5. Pemasangan Traksi pada Fraktur


4. Rehabilitasi
Mengembalikan aktifitas fungsional semaksimal mungkin untuk menghindari
atropi atau kontraktur. Bila keadaan mmeungkinkan, harus segera dimulai
melakukan latihan-latihan untuk mempertahankan kekuatan anggota tubuh
dan mobilisasi (Mansjoer, 2000).
Jenis latihan yang dapat dilakuakan pada hari 1 dan 2 meliputi latihan ROM
pasif sendi panggul meliputi gerakan fleksi, ekstensi, abduksi, aduksi,

13
pumping ankle exercise, dan duduk (half lying 30derajat) jika sudah tidak ada
keluhan pusing atau mual. Hari 2-4 mulai latiha ROM aktif secara berkala,
latihan duduk ongkang-ongkang jika sudah tidak ada keluhan pusing dan
nyeri yang berlebihan. Hari ke 4 dan seterusnya, jika sudah tidak ada keluhan
dapat dimulai latihan berdiri dan berjalan dengan menggunakan crutch , yaitu
dengan metode weight bearing. Weight bearing adalah pembebanan berat
badan pada kkai yang mengalami cedera. Early weight bearing
direkomendasikan karena dapat mempercepat union dan meningkatkan
kekuatan tulang (Burcholz et al, 2012). Lima tingkatan weight bearing, yaitu:
1) Non weight Bearing : tidak memberi beban apapun. Kaki sama sekali tidak
boleh menyentuh lantai, selama 3 minggu post operasi.
2) Touch down weight bearing : ketika duduk atau berdiri, kaki yang cedera
boleh menyentuh lantai tapi hanya untuk keseimbangan.
3) Partial weight bearing : beban dapat ditingkatkan perlahan dari 30%-50%
berat badan.
4) Weight bearing as tolerated : beban ditingkatkan 50-100%. Pasien mengatur
sendiri bebannya sesuai dengan rasa sakit yang dialami.
5) Full weight bearing : tidak ada limitasi, mampu membawa 100% berat
tubuh sampai boleh menapak seluruhnya sesuai dengan hasil foto rontgen
yang terakhir, dimana proses calsifikasi berjalan dengan sempurna.
Penggunaan alat bantu berjalan dengan cructh dapat berlangsung 6-8 bulan,
tergantung dari proses calsifikasi yang terjadi pada tulang yang patah.

1.10 Proses Penyembuhan Fraktur


Tulang bisa beregenerasi sama seperti jaringan tubuh yang lain. Fraktur
merangsang tubuh untuk menyembuhkan tulang yang patah dengan jalan
membentuk tulang baru diantara ujung patahan tulang. Tulang baru dibentuk oleh
aktivitas sel-sel tulang. Ada lima stadium penyembuhan tulang, yaitu:
a. Stadium Satu-Pembentukan Hematoma
Pembuluh darah robek dan terbentuk hematoma disekitar daerah fraktur. Sel-
sel darah membentuk fibrin guna melindungi tulang yang rusak dan sebagai

14
tempat tumbuhnya kapiler baru dan fibroblast. Pada tahap ini terjadi
perdarahan, serpihan tulang merobek jaringan lunak, berlangsung <24 jam.

Gambar 7. Fase Hematom pada Penyembuhan Fraktur


b. Stadium Dua-Proliferasi Seluler      
Pada stadium ini terjadi proliferasi dan differensiasi sel menjadi fibro
kartilago yang berasal dari periosteum, endosteum, dan bone marrow yang
telah mengalami trauma. Pada stadium ini perdarahan yang terjadi akan
diserap dan terjadi penutupan di daerah permukaan fraktur oleh periosteum
yang ada di permukaan tulag, sehingga muncul osteoblas sebagai komponen
utama yang akan menyambungkan tulang. Stadium ini terjadi 12-24 jam.

Gambar 8. Fase Inflamasi dan Poliferasi Sel pada Penyembuhan Fraktur


c. Stadium Tiga-Pembentukan Kallus/Calsifikasi
Stadium calsifikasi merupakan penyambungan tulang oleh calsium, osteobals
dan osteoklas membentu kalus. Sel–sel yang berkembang memiliki potensi
yang kondrogenik dan osteogenik, bila diberikan keadaan yang tepat, sel itu
akan mulai membentuk tulang dan juga kartilago. proses ini dipengaruhi oleh
kegiatan osteoblast dan osteoklast mulai berfungsi dengan mengabsorbsi sel-
sel tulang yang mati. Massa sel yang tebal dengan tulang yang imatur dan
kartilago, membentuk kallus atau bebat pada permukaan endosteal dan

15
periosteal. Sementara tulang yang imatur (anyaman tulang ) menjadi lebih
padat. Proses ini terjadi 6- 12 minggu.

Gambar 9. Fase Pembentukan Kalus pada Penyembuhan Fraktur


d. Stadium Empat-Konsolidasi
Tahap dimana kallus mulai mengeras dan mengalami pematangan sehingga
menjadi jarinngan yang lebih kuat dan keras. Bila aktivitas osteoclast dan
osteoblast berlanjut, anyaman tulang berubah menjadi lamellar. Sistem
sekarang cukup kaku dan memungkin osteoclast menerobos melalui
reruntuhan pada garis fraktur, dan tepat dibelakangnya osteoclast mengisi
celah-celah yang tersisa diantara fragmen dengan tulang yang baru.Tahap ini
adalah proses yang lambat dan berlangsung 12-24 minggu.

Gambar 10. Fase Konsolidasi pada Penyembuhan Fraktur


e. Stadium Lima-Remodelling
Tahap ini terjadi absorbsi atau penyerapan kembali sel-sel tulang yang
tumbuh berlebihan sehingga menjadi tulang femur baru yang utuh dan sesuai
dengan bentuk awal. Fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang yang
padat. Selama beberapa bulan atau tahun, pengelasan kasar ini dibentuk ulang
oleh proses resorbsi dan pembentukan tulang yang terus-menerus. Lamellae
yang lebih tebal diletidakkan pada tempat yang tekanannya lebih tinggi,

16
dinding yang tidak dikehendaki dibuang, rongga sumsum dibentuk, dan
akhirnya dibentuk struktur yang mirip dengan normalnya. tahap ini dapat
berlangsung antara 24 mingggu hingga 1 tahun.

Gambar 11. Fase Remodeling pada Penyembuhan Fraktur

1.11 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada kasus fraktur adalah sebagai berikut
(Reksoprodjo, 2009):
a. Malunion adalah tulang patah telah sembuh dalam posisi yang tidak
seharusnya.
b. Delayed union adalah kegagalan fraktur berkonsolidasi (bergabung) sesuai
dengan waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung.
c. Non union adalah kegagalan fraktur berkonsolidasi dan memproduksi
sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9 bulan.
d. Kekakuan sendi bahu (ankilosis). Lesi pada nervus sirkumfleksi aksilaris
menyebabkan paralisis muskulus deltoid.
e. Syok hipovolemik. Kondisi ini terjadi akibat adanya perdarahan berlebih, pada
pasien trauma akibat fraktur pada tulang pelvis, femur, atau fraktur lain dengan
jenis fraktur terbuka.

17
f. Fat embolism syndrome, Kondisi ini terjadi akibat fraktur pada tulang panjang,
atau fraktur lain yang menyebabkan jaringan sekitar hancur, sehingga emboli
lemak dapat terjadi.
g. Compartment syndrom merupakan komplikasi yang terjadi karena terjebaknya
otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan parut. Ini disebabkan
oleh udema atau perdarahan yang menekan otot, saraf, dan pembuluh darah.
Selain itu karena tekan dari luar seperti gips dan pembebatan yang terlalu kuat.
Tanda-tanda sindrom kompartemen dikenal dengan 5P yaitu :
- Pain (nyeri lokal),
- Pallor (pucat bagian distal),
- Pulsessness (tidak ada denyut nadi, perubahan nadi, perfusi yang tidak
baik dan CRT > 3 detik pada bagian distal kaki),
- Paraestesia (tidak ada sensasi),
- Paralysis (kelumpuhan tungkai).
h. Cedera vaskuler, jika ada tanda dengan insufisiensi vaskuler pada
ekstremitas, kerusakan arteri brakhialis harus disingkirkan. Angiografi
akan memperlihatkan tingkat cedera. Cedera vaskuler merupakan
kegawatdaruratan yang membutuhkan eksplorasi dan perbaikan langsung
atau cangkok (grafting) vaskuler.
i. Cedera Saraf, radial nerve palsy dapat terjadi pada fraktur shaft femoral
terutama pada fraktur oblik sepertiga tengah dan distal femur. Pergelangan
tangan dan telapak tangan harus secara teratur digerakkan dari pergerakan
pasif putaran penuh hingga mempertahankan pergerakan sendi sampai
saraf kembali pulih.
j. Infeksi, Infeksi terjadi karena sistem pertahanan tubuh yang rusak akibat
trauma pada jaringan. Pada trauma osthopedic infeksi dimulai pada kulit
(superfisial) dan masuk ke dalam. biasanya terjadi pada fraktur terbuka,
dan karena penggunaan bahan dalam pembedahan seperti pin dan plat.

18
1.12 Clinical Pathway

Trauma langsung Trauma tidak langsung Kondisi patologis

Fraktur

Pergeseran fragmen
Diskontinuitas tulang tulang

Perubahan jaringan
sekitar NYERI AKUT ANSIETAS

Pergeseran fragmen Spasme otot Laserasi kulit dan


tulang jaringan

Peningkatan tekanan
Deformitas kapiler
Post de entry Putus KERUSAKAN
kuman vena INTEGRITAS
Pelepasan histamin KULIT DAN
Gangguan fungsi
muskuloskeletal JARINGAN
RISIKO Perdarahan
Protein plasma INFEKSI
HAMBATAN hilang
MOBILITAS Kehilangan cairan
FISIK Oedema

RISIKO SYOK
Penekanan
Pembuluh darah

Penurunan perfusi
jaringan

KETIDAKEFEKTIFAN
PERFUSI JARINGAN

19
BAB 2. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

2. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN


2.1 Pengkajian
a) Identitas Pasien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan,
alamat, status perkawinan, suku bangsa, nomor rekam medis, tanggal
masuk rumah sakit dan diagnosa medis.
b) Keluhan Utama
Identifikasi adanya nyeri pada lokasi fraktur atau tidak
c) Riwayat Penyakit Sekarang
Kaji kronologi terjadinya trauma yang menyebabkan patah tulang femur,
bagaimana mekanisme terjadinya, pertolongan apa yang sudah di
dapatkan, apakah sudah berobat ke dukun patah tulang.
d) Riwayat Penyakit Dahulu
Pada beberapa keadaan, klien yang pernah berobat ke dukun patah tulang
sebelumnya sering mengalami mal-union. Penyakit tertentu seperti kanker
tulang atau menyebabkan fraktur patologis sehingga tulang sulit
menyambung. Selain itu, klien diabetes dengan luka di kaki sangat
beresiko mengalami osteomielitis akut dan kronik serta penyakit diabetes
menghambat penyembuhan tulang.
e) Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan patah tulang femur adalah
salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti osteoporosis yang
sering terjadi pada beberapa keturunan dan kanker tulang yang cenderung
diturunkan secara genetik.
f) Pola Kebiasaan
1) Pola Nutrisi
Umumnya pola nutrisi pasien tidak mengalami perubahan, namun ada
beberapa kondisi dapat menyebabkan pola nutrisi berubah, seperti
nyeri yang hebat, dampak hospitalisasi terutama bagi pasien yang

20
merupakn pengalaman pertama masuk rumah sakit.
2) Pola Eliminasi
Pasien dapat cenderung mengalami gangguan eliminasi BAB seperti
konstipasi dan gangguan eliminasi urine akibat adanya program
eliminasi dilakukan ditempat tidur.
3) Pola Istirahat
Umumnya kebutuhan istirahat atau tidur pasien tidak mengalami
perubahan yang berarti, namun ada beberapa kondisi dapat
menyebabkan pola istirahat terganggu atau berubah seperti timbulnya
rasa nyeri yang hebat dan dampak hospitalisasi.
4) Pola Aktivitas
Umumnya pasien tidak dapat melakukan aktivitas (rutinitas)
sebagaimana biasanya, yang hampir seluruh aktivitas dilakukan
ditempat tidur. Hal ini dilakukan karena ada perubahan fungsi anggota
gerak serta program immobilisasi, untuk melakukan aktivitasnya
pasien harus dibantu oleh orang lain, namun untuk aktivitas yang
sifatnya ringan pasien masih dapat melakukannya sendiri.
5) Personal Hygiene
Pasien masih mampu melakukan personal hygienenya, namun harus
ada bantuan dari orang lain, aktivitas ini sering dilakukan pasien
ditempat tidur.
6) Riwayat Psikologis
Biasanya dapat timbul rasa takut dan cemas terhadap fraktur, selain itu
dapat juga terjadi ganggguan konsep diri body image, jika terjadi
atropi otot kulit pucat, kering dan besisik. Dampak psikologis ini
dapat muncul pada pasien yang masih dalam perawatan dirumah sakit.
Hal ini dapat terjadi karena adanya program immobilisasi serta proses
penyembuhan yang cukup lama.
7) Riwayat Spiritual
Pada pasien post operasi fraktur femur riwayat spiritualnya tidak
mengalami gangguan yang berarti, pasien masih tetap bisa

21
bertoleransi terhadap agama yang dianut, masih bisa mengartikan
makna dan tujuan serta harapan pasien terhadap penyakitnya.
8) Riwayat Sosial
Dampak sosial adalah adanya ketergantungan pada orang lain dan
sebaliknya pasien dapat juga menarik diri dari lingkungannya karena
merasa dirinya tidak berguna (terutama kalau ada program amputasi).
g. Pemeriksaan Fisik
1) B1 (Breathing)
Pre operasi: pada pemeriksaan sistem pernafasan tidak mengalami
gangguan.
Post operasi: biasanya terjadi reflek batu tidak efektif sehingga terjadi
penurunan akumulasi sekret. Bisa terjadi apneu, lidah ke belakang akibat
general anastesi, RR meningkat karena nyeri.
2) B2 (Blood)
Pre operasi: dapat terjadi peningkatan tekanan darah, peningkatan nadi
dan respirasi karena nyeri, peningkatan suhu tubuh karena terjadi infeksi
terutama pada fraktur terbuka.
Post operasi: dapat terjadi peningkatan tekanan darah, peningkatan nadi
dan respirasi karena nyeri, peningkatan suhu tubuh karena terjadi infeksi
terutama pada proses pembedahan.
3) B3 (Brain)
Pre operasi: tingkat kesadaran biasanya compos mentis.
Post operasi: dapat terjadi penurunan kesadaran akibat tindakan anastesi,
nyeri akibat pembedahan.
4) B4 (Bladder)
Pre operasi: biasanya klien fraktur tidak mengalami kelainan pada sistem
ini.
Post operasi: terjadi retensi urin akibat general anastesi.
5) B5 (Bowel)
Pre operasi: pemenuhan nutrisi dan bising usus biasanya normal, pola
defekasi tidak ada kelainan.

22
Post operasi: penurunan gerakan peristaltic akibat general anastesi.
6) B6 (Bone)
Pre operasi: adanya deformitas, nyeri tekan pada daerah trauma.
Post operasi: gangguan mobilitas fisik akibat pembedahan.

2.2 Diagnosa Keperawatan


1) Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik (trauma)
2) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan muskuloskeletal
3) Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan cedera
4) Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan
5) Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan imobilitas
6) Risiko syok berhubungan dengan perdarahan
7) Resiko infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan primer,
kerusakan kulit, trauma jaringan

23
2.3 Intervensi
No. Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Keperawatan (NOC) (NIC)
1. Nyeri Akut Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 1. Kaji lokasi, karakteristik, onset/durasi, frekuensi,
jam, nyeri akut pada pasien dapat teratasi, dengan kualitas, intensitas atau beratnya nyeri dan faktor
kriteria hasil: pencetus
Kontrol nyeri (1605) 2. Observasi adanya petunjuk nonverbal mengenai
No. Indikator 1 2 3 4 5 ketidaknyamanan
1. Menggunakan √ 3. Gali pengetahuan dan kepercayaan pasien
tindakan mengenai nyeri
pengurangan nyeri 4. Berikan informasi mengenai nyeri (penyebab nyeri,
tanpa analgesik berapa lama nyeri dirasakan, akibat dari
2. Menggunakan √ ketidaknyamanan akibat prosedur)
analgesik yang 5. Pilih dan implementasikan tindakan yang beragam
direkomendasikan untuk memfasilitasi penurunan nyeri sesuai dengan
3. Melap rkan √ kebutuhan pasien
geja 6. Ajarkan prinsip-prrinsip untuk menurunkan nyeri
la 7. Dorong pasien untuk memonitor nyeri daan
yan menangani nyeri dengan tepat
g 8. Ajarkan metode farmakologi untuk menurunkan
tida nyeri
k 9. Gunakan tindakan pengontrol nyeri sebelum nyeri
terk bertambah berat
ontr 10. Pastikan pemberian analgesik dan atau strategi
ol non farmakologi sebelum dilakukan prosedur yang
pad menimbulkan nyeri
a 11. Evaluasi keefektifan dari tindakan pengontrol
nyeri yang dipakai selama pengkajian nyeri

24
prof dilakukan
esio 12. Dukung tidur/istirahat yang adekua untuk
nal membantu penurunan nyeri
kese 13. Dorong pasien unruk mendiskusikan
hata pengalaman nyerinya, sesuai kebutuhan
n 14. Kolaborasi dengan tim kesehatan lain untuk
pemberian analgesik
4. Menggunakan √ 15. Libatkan keluarga dalam modalitas penurunan
sumber daya yang nyeri, jika memungkinkan
tersedia 16. Monitor kepuasan pasien terhadap menajemen
5. Melaporkan nyeri √ nyeri dalam interval yang spesifik
yang terkontrol

Keterangan :
1. Tidak pernah menunjukkan
2. Jarang menunjukkan
3. Kadang-kadang menunjukkan
4. Sering menunjukkan
5. Secara konsisten menunjukkan
2. Hambatan Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 Terapi latihan: ambulasi
Mobilitas Fisik jam, hambatan mobilitas fisik pada pasien dapat 1. Sediakan tempat tidur yang rendah dan sesuai
teratasi, dengan kriteria hasil: 2. Bantu pasien untuk duduk di sisi tempat tidur
Ambulasi (0200) untuk memfasilitasi penyesuaian sikap tubuh
No. Indikator 1 2 3 4 5 3. Bantu pasien untuk perpindahan, sesuai
1. Menopang berat √ kebutuhan
badan 4. Instruksikan pasien mengenai pemindahan dan
2. Berjalan dengan √ teknik ambulasi yang aman

25
langkah yang 5. Monitor penggunaan kruk atau alat bantu
efektif berjalan lainnya
3. Berjalan dengan √
pelan Terapi latihan: pergerakan sendi
4. Berjalan dengan √ 6. Tentukan batasan pergerakan sendi dan efeknya
jarak dekat (<1 terhadap sendi
blok/30 meter) 7. Jelaskan pada klien dan keluarga mengenai
5. Berjalan √ manfaat dan tujuan melakukan latihan sendi
mengelilingi kamar 8. Instruksikan klien/keluarga cara melakukan
Keterangan : latihan ROM aktif atau pasif.
1. Sangat terganggu 9. Monitor lokasi dan kecenderungan adanya nyeri.
2. Banyak terganggu 10. Pakaikan baju yang tidak menghambat
3. Cukup terganggu pergerakan pasien
4. Sedikit terganggu
5. Tidak terganggu
3. Kerusakan Setelah dilakukan tindakan keperawatan, Kerusakan Perawatan Luka (3660):
Integritas kulit integritas kulit dapat teratasi, dengan kriteria hasil: 1. Monitor karakteristik luka, termasuk drainase,
Ambulasi (0200) warna, ukuran, dan bau
No. Indikator 1 2 3 4 5 2. Ukur luas luka yang sesuai
1. Suhu kulit √ 3. Singkirkan benda-benda yang tertanam pada luka
2. Sensasi √ 4. Berikan perawatan luka yang sesuai
3. Perfusi jaringan √ 5. Berikan perawatan ulkus pada kulit yang
4. Integritas Kulit √ diperlukan
5. Lesi pada kulit √ 6. Oleskan salep yang sesuai dengan luka atau lesi
Keterangan : 7. Berikan balutan yang sesuai dengan luka jika
1. Sangat terganggu diperlukan
2. Banyak terganggu 8. Pertahankan teknik balutan steril ketika melakukan
3. Cukup terganggu perawatan luka dengan tepat

26
4. Sedikit terganggu 9. Ganti balutan sesuai dengan jumlah eksudat dan
5. Tidak terganggu drainase
10. Periksa luka setiap kali perubahan luka
11. Bandingkan dan catat setiap perubahan luka
12. Posisikan untuk menghindari menempatkan
ketegangan pada luka dengan tepat
13. Dorong cairan yang sesuai
14. Anjurkan pasien dan keluarga pada prosedur
perawatan luka
15. Anjurkan pasien dan keluarga mengenali
tanda dan gejala infeksi
16. Dokumentasi lokasi luka, ukuran, tampilan
4. Risiko infeksi Setelah dilakukan tindakan Kontrol Infeksi (6540):
keperawatan, pasien tidak menunjukkan 1. Alokasikan kesesuaian luas ruang per pasien
adanya infeksi dengan kriteria hasil : Keparahan 2. Bersihkan lingkungan dengan baik setelah
infeksi (0703) digunakan untuk setiap pasien
No. Indikator 1 2 3 4 5 3. Ganti peralatan perawatan per pasien sesuai
1. Kemerahan √ protokol institusi
2. Ciran/ luka yang √ 4. Isolasi orang yang terkena penyakit menulr
berbau, busuk 5. Tempatkan isolasi sesuai tindakan pencegahan yang
3. Demam √ sesuai
4. Ketidakstabilan √ 6. Pertahankan teknik isolasi yang sesuai
suhu 7. Batasi jumlah pengunjung
5. Nyeri √ 8. Anjurkan pasien mengenai teknik cuci tangan
6. Peningkatan jumlah 9. Anjurkan pengunjung untuk mencuci tanagn pada
sel darah putih saat memasuki dan meninggalkan ruangan pasien
7. Mengetahui 10. Cuci tangan sebelum dan sesudah kegiatan
penyebab dan perawtaan pasien

27
perawatan infeksi 11. Gunakan sabun antimikroba untuk cuci tangan
Keterangan : yang sesuai
1. Berat 12. Lakukan tindakan-tindakan pencegahan yang
2. Cukup berat bersifat universal
3. Sedang 13. Pakai sarung tangan sebagaimana dianjurkan
4. Ringan oleh kebijakan pencegahan universal
5. Tidak ada 14. Pakai pakaian ganti/jubah saat menangani
bahan infeksius
15. Pakai sarung tangan steril yang tepat
16. Gosok kulit pasien denga agen antibakteri
yang tepat
17. Jaga lingkungan aseptik yang optimal
18. Pertahankan teknik aseptik
19. Dorong batuk dan bernafas dengan tepat
20. Tingkakan intake nutrisi yang tepat
21. Dorong intake cairan yang sesuai
22. Berikan imunisasi yang sesuai
23. Anjurkan pasien meminum antibiotik sesuai
yang diresepkan
24. Ajarkan pasien dan keluarga mengenai tanda
dan gejala infeksi dan kapan harus melaporkanna
kepada penyedia perawatan kesehatan
25. Ajarkan pasien dan keluarga mengenai
bagaimana menghindari infeksi
26. Promosikan persiapan dan pengawetan
makanan yang aman

28
2.4 Evaluasi
1. Kerusakan jaringan kulit tidak terjadi
2. Mampu mengetahui tanda dan gejala infeksi
3. TTV dalam batas normal (TD: 120/80, RR 16-20x/mnt, Nadi 80-100x/mnt,

Suhu 36,5-37,5oC)
4. Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan
teknik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri)
5. Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri
6. Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan tanda nyeri)
7. Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang

2.5 Discharge Planning


Selama dirawat di rumah sakit, pasien sudah dipersiapkan untuk perawatan
di rumah. Beberapa informai yang harus disiapkan/ diberikan kepada pasien dan
keluarga adalah:
a. Pengertian dari penyakit fraktur femur
b. Penjelasan tentang penyebab fraktur femur
c. Tanda dan gejala tentang fraktur femur, nyeri, dan risiko infeksi
d. Penjelasan tentang mobilisasi
e. Penjelasan tentang perawatan balutan/luka di rumah
f. Pasien dan keluarga dapat pergi ke rumah sakit/puskesmas terdekat apabila
ada keluhan
g. Keluarga harus mendorong pasien dalam menaati program pemulihan
kesehatan.

29
DAFTAR PUSTAKA

Bararah, T & Jauhar, M. 2013. Asuhan Keperawatan Panduan Lengkap Menjadi


Perawat Profesional Jilid I. Jakarta : Prestasi Pustaka.

Bulecheck, et all. 2013. Nursing Interventions Classification (NIC) Sixth Edition.


Mosby: Elsevier.

Elizabeth, J. Corwin. 2003. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.

Evelyn C. 2015. Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis. Jakarta: Gramedia


Pustaka Utama.

Herdman, T. Heather. 2018. Diagnosa Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi


2018-202. Edisi 11. Jakarta: EGC.

Juniartha. 2007. Angka Kejadian Fraktur. http://okezone.com diakses pada tanggal 3


Oktober 2012.

Mansjoer, Arief. 2003. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi III. Jakarta: Media
Aesculapius.

Moorhead, et all. 2013. Nursing Outcomes Classification (NOC) Fifth Edition.


Mosby: Elsevier.

Muttaqin, Arif. 2008. Asuhan Keperawatan Klien Gangguan


Sistem Muskuloskeletal. Jakarta: EGC.

Padila. 2012. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta: Nuha Medika.

Price, A. Wilson. 2005. Patofisiologi Konsep Proses-Proses Penyakit, Edisi IV.


Jakarta: EGC.

Reksoprodjo, S. 2009. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Jakarta: Binarupa Aksara


Publisher.

Sjamsuhidajat, Wim de Jong. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi II. Jakarta: EGC.

Smeltzer, Suzanne, C. Bare Brenda, G. 2004. Buku Ajar Keperawatan Medikal


Bedah Brunner & Suddarth, Edisi VIII. Jakarta: EGC.

30

Anda mungkin juga menyukai