UNIVERSITAS JEMBER
LAPORAN PENDAHULUAN
LEMBAR PENGESAHAN
Mahasiswa
Ns. Mulia Hakam, M. Kep., Sp.Kep.MB Ns. M. Shodikin, M.Kep., Sp.Kep.MB, CWCS
NIP. 19810319 201404 1 001 NIP. 19681212 199103 1 010
ii
iii
iii
iv
LEMBAR PENGESAHAN
Ns. Mulia Hakam, M. Kep., Sp. Kep.MB Ns. M. Shodikin, M.Kep., Sp.Kep.MB
NIP. 19810319 201404 1 001 NIP. 19681212 199103 1 011
iv
v
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL.................................................................................. i
LEMBAR PENGESAHAN....................................................................... ii
DAFTAR ISI............................................................................................... iv
LAPORAN PENDAHULUAN.................................................................. 1
A. Anatomi Fisiologi Humerus.................................................................. 1
B. Definisi Fraktur Humerus..................................................................... 10
C. Epidemiologi......................................................................................... 11
D. Klasifikasi Fraktur Humerus................................................................. 11
E. Etiologi Fraktur Humerus..................................................................... 17
F. Manifestasi Klinis Fraktur Humerus ................................................... 19
G. Patofisiologi Fraktur Humerus ............................................................ 19
H. Komplikasi Fraktur Humerus ............................................................. 20
I. Pemeriksaan Penunjang........................................................................ 21
J. Penatalaksanaan Fraktur Humerus........................................................ 23
K. Rehabilitasi........................................................................................... 26
L. Clinical Pathway................................................................................... 33
M. Konsep Asuhan Keperawatan............................................................... 34
a. Pengkajian/Assesment..................................................................... 34
b. Diagnosa Keperawatan................................................................... 38
c. Intervensi Keperawatan.................................................................. 39
d. Evaluasi Keperawatan..................................................................... 44
e. Discharge Planning........................................................................ 44
DAFTAR PUSTAKA................................................................................. 45
v
1
LAPORAN PENDAHULUAN
merupakan suatu depresi posterior yang besar yang menerima olecranon ulna
ketika lengan diekstensikan. Epicondylus medialis dan epicondylus lateralis
merupakan suatu proyeksi kasar pada sisi medial dan lateral dari ujung distal
humerus, tempat kebanyakan tendon otot-otot lengan menempel. Nervus ulnaris,
suatu saraf yang dapat membuat seseorang merasa sangat nyeri ketika siku
lengannya terbentur, dapat dipalpasi menggunakan jari tangan pada permukaan
kulit di atas posterior dari epicondylus medialis (Tortora dan Derrickson, 2009).
bawah tuberositas terdapat leher chirurgis yang mudah terjadi fraktur (Pearce,
2009).
2. Corpus humerus (badan humerus)
Sebelah atas berbentuk silinder tetetapi semakin ke bawah semakin pipih.
Di sebelah lateral batang, tepat di atas pertengahan disebut tuberositas deltoideus
(karena menerima insersi otot deltoid). Sebuah celah benjolan oblik melintasi
sebelah belakang, batang, dari sebelah medial ke sebelah lateral dan memberi
jalan kepada saraf radialis atau saraf muskulo-spiralis sehingga disebut celah
spiralis atau radialis (Pearce, 2009).
3. Bagian bawah humerus/ ujung bawah.
Berbentuk lebar dan agak pipih di mana permukaan bawah sendi dibentuk
bersama tulang lengan bawah. Trokhlea yang terletak di sisi sebelah dalam
berbentuk gelendong-benang tempat persendian dengan ulna dan di sebelah luar
terdapat kapitulum yang bersendi dengan radius. Pada kedua sisi persendian ujung
bawah humerus terdapat epikondil yaitu epikondil lateral dan medial. (Pearce,
2009).
Gambar 5 (a) Anterior, (b) Posterior Humerus dan (c) Humerus dengan tiga saraf
utama yaitu n. axillaris, n. radialis dan n. ulnaris.
antikubital (cekung di depan siku) tendon bisep dapat diraba dengan jelas pada
garis tengahnya bila sendi siku dilipat. Tepat medial dari sini arteri brakhialis
dapat diraba dengan mudah. Tempat ini adalah tempat yang biasa untuk mengukur
tekanan darah dan merupakan tempat terbaik untuk mencatat kecepatan denyut
nadi karena darah di siku ini lebih besar.
B. Pengertian Fraktur Humerus
Fraktur humerus merupakan fraktur pada tulang humerus yang disebabkan
oleh benturan atau trauma langsung maupun tidak langsung (De Jong, 2010).
Sedangkan menurut Triastuti, dkk (2012) fraktur humerus adalah terputusnya
kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang rawan pada tulang humerus yang
disebabkan oleh trauma secara langsung maupun tidak langsung. Fraktur humerus
adalah salah satu jenis fraktur yang memerlukan penanganan segera, tanpa
penanganan segera dapat terjadi komplikasi kelumpuhan nervus radial, kerusakan
nervus brachial, atau median (Smeltzer & Bare, 2002).
Menurut Muttaqin (2011) fraktur humerus merupakan terputusnya
hubungan tulang humerus disertai kerusakan jaringan lunak (otot, kulit, jaringan
saraf, pembuluh darah) sehingga memungkinkan terjadinya hubungan atara
fragmen tulang yang patah dengan udara luar yang disebabkan oleh cedera dari
trauma langsung yang mengenai lengan atas.
C. Epidemiologi
Menurut Desiartama & Aryana (2017) di Indonesia kasus fraktur femur
merupakan yang paling sering yaitu sebesar 39% diikuti fraktur humerus (15%),
fraktur tibia dan fibula (11%). Berdasarkan data rekam medis di RSUP Sanglah
periode tahun 2015-2016 kejadian fraktur humerus didapatkan sebagian besar
kasus ditemukan pada perempuan (51.9%), dan lebih sedikit pada laki-laki
(48.1%). Kelompok umur 60 tahun yang memiliki frekuensi paling kecil diantara
semua kelompok umur. Ditemukan pekerjaan terbanyak yang mengalami fraktur
humerus adalah pelajar dengan presentase sebesar 33,3% dan yang memiliki
proporsi paling sedikit adalah pedagang dan pensiun tentara yaitu masing-masing
3,7%. Prevalensi fraktur tertutup ditemukan sebesar (77.8%) dan fraktur terbuka
presentase sebesar (22.2%) (Sari, 2016).
10
(3) Derajat IIIC: patah tulang terbuka dengan kerusakan pembuluh darah
dan atau saraf yang hebat.
Menurut Mansjoer (2002) derajat kerusakan tulang dibagi menjadi 2 yaitu:
1. Patah tulang lengkap (Complete fraktur)
Patah tulang lengkap apabila patahan tulang terpisah satu dengan yang lainya,
atau garis fraktur melibatkan seluruh potongan menyilang dari tulang dan
fragmen tulang biasanya berubak tempat.
2. Patah tulang tidak lengkap (Incomplete fraktur)
Patah tulang tidak lengkap apabila antara patahan tulang masih ada hubungan
sebagian. Salah satu sisi patah yang lainya biasanya hanya bengkok yang
sering disebut green stick.
Menurut Mansjoer (2002) bentuk garis patah dan hubungannya dengan
mekanisme trauma ada 5 yaitu:
1. Fraktur Transversal : fraktur yang arahnya malintang pada tulang dan
merupakan akibat trauma angulasi atau langsung.
2. Fraktur Oblik : fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut terhadap
sumbu tulang dan merupakan akibat dari trauma angulasi juga.
3. Fraktur Spiral : fraktur yang arah garis patahnya sepiral yang di sebabkan oleh
trauma rotasi.
4. Fraktur Kompresi : fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang
mendorong tulang kea rah permukaan lain.
Fraktur Afulsi : fraktur yang di akibatkan karena trauma tarikan atau traksi
otot pada insersinya pada tulang.
12
terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan
seperti pin dan plat. Infeksi paska trauma sering menyebabkan osteitis kronik.
Osteitis tidak mencegah fraktur mengalami union, namun union akan berjalan
lambat dan kejadian fraktur berulang akan meningkat.
J. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan yang dapat dilakukan pada klien dengan fraktur humerus
adalah sebagai berikut:.
1. Laboratorium
Hasil tes laboratorium yang perlu diketahui diantaranya adalah hemoglobin,
hematokrit sering rendah akibat perdarahan, laju endap darah (LED) meningkat
bila kerusakan jaringan lunak sangat luas
2. Pemeriksaan Radiologi
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah “pencitraan”
menggunakan sinar rontgen (X-ray). Untuk mendapatkan gambaran 3 dimensi
keadaan dan kedudukan tulang yang sulit, maka diperlukan 2 proyeksi yaitu AP
atau PA dan lateral. Dalam keadaan tertentu diperlukan proyeksi tambahan
(khusus) ada indikasi untuk memperlihatkan pathologi yang dicari karena adanya
superposisi. Pada rontgen dapat dilihat gambaran fraktur (tempat fraktur, garis
fraktur (transversa, spiral atau kominutif) dan pergeseran lainnya dapat terbaca
jelas). Radiografi humerus AP dan lateral harus dilakukan. Sendi bahu dan siku
harus terlihat dalam foto. Radiografi humerus kontralateral dapat membantu pada
perencanaan preoperative.
Hal yang harus dibaca pada X-ray:
a) bayangan jaringan lunak;
b) tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau biomekanik atau
juga rotasi;
c) trobukulasi ada tidaknya rare fraction;
d) sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi.
23
3. Retensi (Immobilisasi)
Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga kembali
seperti semula secara optimal. Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus
diimobilisasi, atau di pertahankan dalam posisi kesejajaran yang benar sampai
terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau
interna. Metode fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi
kontinu, pin, dan teknik gips, atau fiksator eksterna. Implan logam dapat di
gunakan untuk fiksasi intrerna yang brperan sebagai bidai interna untuk
mengimobilisasi fraktur. Fiksasi eksterna adalah alat yang diletakkan diluar
kulit untuk menstabilisasikan fragmen tulang dengan memasukkan dua atau
tiga pin metal perkutaneus menembus tulang pada bagian proksimal dan
distal dari tempat fraktur dan pin tersebut dihubungkan satu sama lain dengan
menggunakan eksternal bars. Prinsip dasar dari teknik ini adalah dengan
menggunakan pin yang diletakkan pada bagian proksimal dan distal terhadap
daerah atau zona trauma, kemudian pin-pin tersebut dihubungkan satu sama
lain dengan rangka luar atau eksternal frame atau rigid bars yang berfungsi
untuk menstabilisasikan fraktur. Alat ini dapat digunakan sebagai temporary
26
Pada fraktur humerus dengan garis patah transversal, apabila terjadi dislokasi
kedua fragmennya dapat dilakukan reposisi tertutup dalam narkose. Bila
kedudukan sudah cukup baik, dilakukan imobilisasi dengan gips berupa U
slab (sugar tong splint). Immobilisasi dipertahankan selama 6 minggu.
Teknik pemasangan gips yang lain yaitu dengan hanging cast. Hanging cast
terutama dipakai pada pnderita yang dapat berjalan dengan posisi fragmen
distal dan proksimal terjadi contractionum (pemendekan). Apabila pada
fraktur humerus ini disertai komplikasi cedera nervus radialis, harus
dilakukan open reduksi dan internal fiksasi dengan plate-screw untuk
humerus disertai eksplorasi nervus radialis. Bila ditemukan nervus radialis
putus (neurotmesis) dilakukan penyambungan kembali dengan teknik bedah
mikro. Kalau ditemukan hanya neuropraksia atau aksonotmesis cukup dengan
konservatif akan baik kembali dalam waktu beberapa minggu hingga 3 bulan.
3. Fraktur suprakondiler humerus
Jika terjadi pembengkakan tak hebat dapat dilakukan reposisi dalam
anasthesia umum. Setelah tereposisi, posisi siku dibuat fleksi diteruskan
sampai arteri radialis mulai tak teraba. Kemudian diekstensi siku sedikit
untuk memastikan arteri radialis teraba lagi. Dalam posisi fleksi maksimal ini
dilakukan imobilisasi dengan gips spal. Posisi fleksi maksimal dipindahkan
karena penting untuk menegangkan otot trisep yang berfungsi sebagai internal
splint.
Jika dalam pengontrolan dengan radiologi hasilnya sangat baik gips dapat
dipertahankan dalam waktu 3-6 minggu. Kalau dalam pengontrolan pasca
reposisi ditemukan tanda Volkmann’s iskemik secepatnya posisi siku
diletakkan dalam ekstensi, untuk immobilisasinya diganti dengan skin traksi
dengan sistem Dunlop. Pada penderita dewasa kebanyakan patah di daerah
suprakondiler garis patahnya berbentuk T atau Y, yang membelah sendi untuk
menanggulangi hal ini lebih baik dilakukan tindakan operasi dengan
pemasangan internal fiksasi.
4. Fraktur transkondiler humerus
28
pulley supine, external rotation with stick, supine forward flexion, and
extension with a stick. Latihan isometrik dapat dimulai setelah 3 minggu.
obat, penggantian balutan dan gips, serta fisioterapi saja (Situmorang, 2012).
Asupan nutrisi yang baik seperti cukupnya vit A, vit D, kalsium, vitamin C,
fosfor, magnesium, dll dapat membantu pertumbuhan dan pembentukan
tulang yang kuat dan sempurna (Smeltzer & Bare, 2002).
Vitamin A sangat diperlukan untuk pertumbuhan sel, termasuk perkembangan
tulang dan sel epitel yang membentuk email dalam pertumbuhan gigi,
demikian halnya pada pasien fraktur. Sedangkan fosfor digunakan sebagai
mineral yang memperkuat struktur tulang bersama dengan kalsium. Buah-
buahan merupakan sumber vitamin A yang baik untuk tulang. Fosfor terdapat
di dalam semua makanan terutama makanan kaya protein seperti daging,
ayam, ikan, telur, susu, dan hasilnya, kacang-kacangan dan hasilnya, serta
serealia (Almatsier, 2001).
N. Pathway
Trauma Trauma tidak Kondisi
langsung langsung patologis
Fraktur Humerus
Diskontinuitas Pergeseran
tulang fragmen tulang
Risiko Perdarahan
Hambatan
infeksi Kerusakan
mobilitas fisik Penekanan
integritas
pembuluh
Risiko Syok jaringan
darah
Penurunan
perfusi jaringan
Kurang Gangguan
Ancaman perfusi
terpaparnya
kematian jaringan
informasi 36
Defisiensi
Krisis
Pengetahuan
Situasional
Ansietas
34
5) Pola tidur & istirahat: durasi, gangguan tidur, keadaan bangun tidur.
Klien fraktur akan mengalami nyeri, keterbatasan gerak sehingga
menggangu waktu tidur dan istirahat klien.
6) Pola kognitif & perceptual: fungsi kognitif dan memori, fungsi dan
keadaan indera. Biasanya klien akan mengalami gangguan pada indra
peraba terutama pada bagian distal fraktur.
7) Pola persepsi diri: gambaran diri, identitas diri, harga diri, ideal diri, dan
peran diri. Dampak yang timbul pada klien yang mengalami fraktur yaitu
ketakutan akan kecacatan akibat fraktur, rasa cemas, rasa
ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal dan
pandangan akan dirinya yang salah.
8) Pola seksualitas & reproduksi : pola seksual dan fungsi reproduksi. Klien
tidak dapat melakukan hubungan seksual karena harus menjalani rawat
inap dan keterbatasan gerak serta nyeri yang dialami.
9) Pola peran & hubungan, klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan
masyarakat karena klien harus menjalani rawat inap.
10) Pola manajemen & koping stress. Mekanisme koping yang dialami klien
dapat menjadi tidak efektif akibat ketakutan klien akan kecacatan yang
dapat timbul pada dirinya.
11) Sistem nilai dan keyakinan : oleh pasien maupun masyarakat. Klien
fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah dengan baik
terutama terhadap frekuensi dan konsentrasi dalam beribadah akibat
nyeri dan keterbatasan gerak.
g) Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengetahui keadaan fraktur yang dialami
pasien secara lebih jelas. Pemeriksaan fisik meliputi primary survey dan
secondary survey.
1) Keadaan umum, tanda vital
2) Pengkajian Fisik (inspeksi, palpasi, perkusi, auskultasi): kepala, mata,
telinga, hidung, mulut, leher, dada, abdomen, urogenital, ekstremitas,
kulit dan kuku, dan keadaan lokal.
37
3) Pemeriksaan fraktur
(a) Look/inspeksi
(1) Bandingkan dengan bagian yang sehat
(2) Perhatikan posisi anggota gerak secara keseluruhan
(3) Adanya tanda-tanda anemia karena perdarahan
(4) Apakah terdapat luka pada kulit dan jaringan lunak untuk
membedakan fraktur tertutup atau terbuka
(5) Perhatikan adanya deformitas berupa angulasi, rotasi dan
pemendekan
(6) Lakukan survei pada seluruh tubuh apakah ada trauma pada
organ-organ lain
(7) Keadaan vaskularisasi
(b) Feel/palpasi
Palpasi dilakukan secara hati-hati oleh karena penderita biasanya
mengeluh sangat nyeri. Hal-hal yang perlu diperhatikan:
(1) Nyeri tekan
(2) Krepitasi
(3) Pemeriksaan vaskuler pada daerah distal trauma
(4) Pengukuran tungkai terutama pada tungkai bawah untuk
mengetahui adanya perbedaan panjang tungkai
(c) Move/gerakan
(1) Periksa pergerakan dengan mengajak penderita untuk
menggerakkan secara aktif dan pasif sendi proksimal dan distal
dari daerah yang mengalami trauma
(2) Pada penderita dengan fraktur, setiap gerakan akan menyebabkan
nyeri hebat sehingga uji pergerakan tidak boleh dilakukan secara
kasar, disamping itu juga dapat menyebabkan kerusakan pada
jaringan lunak seperti pembuluh darah dan saraf
(3) Move untuk melihat apakah ada krepitasi bila fraktur digerakkan,
tetapi ini bukan cara yang baik dan kurang halus. Krepitasi timbul
38
c. Intervensi Keperawatan
No. Masalah Keperawatan Tujuan & Kriteria Hasil (NOC) Intervensi (NIC)
1. Nyeri akut (00132) NOC NIC
Kontrol nyeri (1605) Manajemen nyeri (1400)
Tingkat nyeri (2102) 1. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif
Kepuasan klien: manajemen nyeri (3016) (lokasi, karakteristik, durasi, dan intensitas nyeri)
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 2. Observasi adanya petunjuk nonverbal nyeri
selama 1x24 jam nyeri akut pada pasien 3. Pastikan analgesik dipantau dengan ketat
dapat berkurang, dengan kriteria hasil: 4. Jelaskan pada pasien terkait nyeri yang dirasakan
1. Mampu mengontrol nyeri (tahu Terapi relaksasi (6040)
penyebab nyeri, mampu menggunakan 5. Gambarkan rasional dan manfaat relaksasi seperti
tehnik nonfarmakologi untuk nafas dalam dan musik
mengurangi nyeri, mencari bantuan) 6. Dorong pasien mengambil posisi nyaman
2. Melaporkan bahwa nyeri berkurang Pemberian analgesik (2210)
dengan menggunakan manajemen nyeri 7. Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas, dan keparahan
3. Mampu mengenali nyeri (skala, nyeri sebelum mengobati pasien
intensitas, frekuensi dan tanda nyeri) 8. Cek adanya riwayat alergi obat
4. Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri 9. Cek perintah pengobatan meliputi obat, dosis, dan
berkurang frekuensi obat analgesik yang diresepkan
diharapkan
6. Resiko infeksi (00004) NOC NIC
Keparahan infeksi (0703) Kontrol infeksi (6540)
Kontrol resiko (1902) 1. Bersihkan lingkungan dengan baik setelah dipakai
Setelah dilakukan tindakan keperawatan setiap pasien
selama 1x24 jam, tidak terjadi infeksi pada 2. Ganti perawatan peralatan setiap pasien sesuai SOP
pasien dengan kriteria hasil: rumah sakit
1. Luka tidak berbau busuk 3. Batasi jumlah pengunjung
2. Pasien tidak demam (suhu stabil) 4. Ajarkan cara mencuci tangan
3. Tidak terdapat nanah pada luka Perlindungan infeksi (6550)
4. Pasien dapat mengidentifikasi faktor 5. Monitor adanya tanda dan gejala infeksi
resiko 6. Berikan perawatan kulit yang tepat
5. Mengenali faktor resiko individu Manajemen nutrisi (1100)
7. Tentukan status gizi pasien
8. Identifikasi adanya alergi
Identifikasi resiko (6610)
9. Kaji ulang riwayat kesehatan masa lalu
10. Identifikasi strategi koping yang digunakan
7. Risiko Syndrom Disuse NOC NIC
(00040) Koordinasi pergerakan (0212) Peningkatan latihan peregangan ( 0202)
setelah dilakukan perwatan selama 1x24 1.Bantu mengembangkan rencana latihan yang
jam mobilitas fisik pasien membaik dengan menggabungkan urutan tertib gerakan peregangan
kriteria hasil: 2. Instruksikan untuk memulai latihan rutin pada
1. Dapat mengontrol kontraksi kelompok otot maupun sendi yang tidak kaku
pergerakkan 3. Instruksikan berlahan-lahan untuk mereganggan otot.
2. Dapat melakukan kemantapan 4. latihan ROM
pergerakkan Peningkatan latiham kekuatan (0201)
3. Dapat menahan keseimbangan 1. Instruksikan untuk latihan otot progresif
pergerakkan 2. Bantu mengembangkan program latihan kekuatan
sesuai dengan tingkat kebugaran otot
Terapi latihan: mobilitas sendi (0224)
43
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1. informasikan kepada pasien dan keluarga untuk
selama 1x24 jam, defisiensi pengetahuan jadwal tanggal, waktu dan lokasi operasi.
pada pasien dapat teratasi, dengan kriteria 2. Informasikan kepada pasien dan keluarga perkiraan
hasil: lama operasi
1. Pasien memahami prosedur 3. Kaji riwayat operasi sebelumnya, latar belakang,
penanganan, tujuan prosedur, langkah- budaya dan tingkat pengetahuan terkait operasi
langkah prosedur 4. Fasilitasi kecemasan pasien dan keluarga terkait
2. Klien mengetahui efek samping kecemasannya
penanganan 5. Berikan kesemapatan untuk pasien bertanya
3. Klien mengetahui kontraindikasi 6. Jelaskan prosedur persiapan pre-operasi (misalnya
penanganan jenis anestesi, diit yang sesuai, pengosongan saluran
cerna, pemeriksaan lab yang dibutuhkan, perisapan
area operasi, terapi intravena, pakaian operasi, ruang
tunggu keluarga, transportasi menuju ruang operasi
dan lain-lain.
7. Berikan umpan balik terhadap kepercayaan pasien
kepada semua pihak yang terlibat dalam proses
operasi
8. Diskusikan kemungkinan nyeri yang dirasakan
9. Intruksikan pasien mengenai teknik mobilisasi, batuk
dan nafas dalam
10. Evaluasi kemampuan pasien dan dokumentasi
Pengajaran: Pos operatif :
11. Jelaskan rencana tindakan post-operasi
12. Jelaskan hal-hal yang dapat terjadi ketika pasien
sudah menjalani operasi beserta penanganannya.
44
d. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi keperawatan dilakukan secara sistematis dan periodik setelah
pasien diberikan intervensi dengan berdasarkan pada berdasarkan pengkajian,
diagnosa keperawatan, intervensi keperawatan, dan implementasi keperawatan.
Evaluasi keperawatan ditulis dengan format SOAP, yaitu:
1. S (subjektif) yaitu respon pasien setelah dilakukan tindakan keperawatan.
2. O (objektif) yaitu data pasien yang diperoleh oleh perawat setelah dilakukan
tindakan keperawatan.
3. A (analisis) yaitu masalah keperawatan pada pasien apakah sudah teratasi,
teratasi sebagian, belum teratasi, atau timbul masalah keperawatan baru
4. P (planning) yaitu rencana intervensi dihentikan, dilanjutkan, ditambah, atau
dimodifikasi
e. Discharge Planning
Berdasarkan Nurafif dan Kusuma (2015) discharge planning untuk pasien
fraktur sebagai berikut:
1. Meningkatkan masukan cairan
2. Dianjurkan untuk diet lunak terlebih dahulu
3. Dianjurkan untuk istirahat yang adekuat
4. Kontrol sesuai jadwal
5. Mimun obat sesuai dengan yang diresepkan dan segera periksa jika ada
keluhan
6. Menjaga masukan nutrisi yang seimbang
7. Hindari trauma ulang.
45
DAFTAR PUSTAKA
Apley, A. Graham. 1995. Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur Sistem Apley. Jakarta:
Widya Medika.
Black, J.M, et al. 1995. Luckman and Sorensen’s Medikal Nursing : A Nursing
ProcessApproach, 4 th Edition. New York: W.B. Saunder Company.
Bulechek, G. M., H. K. Butcher, J. M. Dochteman, C. M. Wagner. 2015. Nursing
Interventions Classification (NIC). Edisi 6. Jakarta: EGC.
Bulechek, G. M., H. K. Butcher, J. M. Dochteman, C. M. Wagner. 2015. Nursing
Outcomes Classification (NOC). Edisi 6. Jakarta: EGC.
De Jong. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.
Egol, K.A., Koval, K.J., Zuckerman, J.D. 2010. Handbook of Fractures.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
Hoppenfield, Stanley. 2011. Treatment and Rehabilitation of Fractures. Jakarta:
EGC
Lake Cook Orthophedics. Tanpa tahun. Humerus Mid-ShaftFracture: s/p Open
Treatment with Internal Fixation: Post-Operative Rehabilitation Protocol.
http://lakecookortho.com/wp-
content/uploads/2012/11/Humerus_Fracture_Post_Repair.pdf [diakses 22
Oktober 2017]
Mansjoer, Arif, et al. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid II. Jakarta: Medika
Aesculapius FK UI.
Moorhead., Johnson., Maas., & Swanson. 2013. Nursing Outcomes Classification
(NOC). fifth Edition. USA: Mosby.
Morrison, M.J. 2003. Manajemen Luka alih bahasa Tyasmono A. F. Jakarta: EGC.
Muttaqin, A. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan.
Sistem Pernafasan. Jakarta : Salemba Medika.
Nanda Internasional 2015. Diagnosis Keperawatan 2015-2017. Oxford: Willey
Backwell.
Nurafif, A.H. dan K. Hardhi. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis dan NANDA NIC NOC. Edisi 1. Yogyakarta: Mediaction.
46