Anda di halaman 1dari 56

i

UNIVERSITAS JEMBER

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN FRAKTUR


HUMERUS DI POLI ORTHOPEDI RUMAH SAKIT DAERAH
dr. SOEBANDI JEMBER

Inka Mawardi Putri, S. Kep.


NIM 192311101109

PPROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
ii

LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Pendahuluan pada Pasien dengan Fraktur Humerus di Poli


Orthopedi RSD dr. Soebandi Jember telah disetujui dan di sahkan pada
Hari, Tanggal :
Tempat : Poli Orthopedi RSD dr. Soebandi Jember

Jember, Oktober 2019

Mahasiswa

Inka Mawardi Putri, S. Kep.


NIM 192311101109

Pembimbing Akademik Stase Pembimbing Klinik


Keperawatan Bedah Poli Orthopedi
FKep Universitas Jember RSD dr. Soebandi Jember

Ns. Mulia Hakam, M. Kep., Sp.Kep.MB Ns. M. Shodikin, M.Kep., Sp.Kep.MB, CWCS
NIP. 19810319 201404 1 001 NIP. 19681212 199103 1 010

ii
iii

iii
iv

LEMBAR PENGESAHAN

Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Fraktur Humerus di Instalasi


Poli Orthopedi RSD dr. Soebandi Jember telah disetujui dan di sahkan pada
Hari, Tanggal :
Tempat : Poli Orthopedi RSD dr. Soebandi Jember

Jember, Oktober 2019

Pembimbing Akademik Stase Pembimbing Klinik


Keperawatan Bedah Poli Orthopedi
FKep Universitas Jember RSD dr. Soebandi Jember

Ns. Mulia Hakam, M. Kep., Sp. Kep.MB Ns. M. Shodikin, M.Kep., Sp.Kep.MB
NIP. 19810319 201404 1 001 NIP. 19681212 199103 1 011

iv
v

DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL.................................................................................. i
LEMBAR PENGESAHAN....................................................................... ii
DAFTAR ISI............................................................................................... iv
LAPORAN PENDAHULUAN.................................................................. 1
A. Anatomi Fisiologi Humerus.................................................................. 1
B. Definisi Fraktur Humerus..................................................................... 10
C. Epidemiologi......................................................................................... 11
D. Klasifikasi Fraktur Humerus................................................................. 11
E. Etiologi Fraktur Humerus..................................................................... 17
F. Manifestasi Klinis Fraktur Humerus ................................................... 19
G. Patofisiologi Fraktur Humerus ............................................................ 19
H. Komplikasi Fraktur Humerus ............................................................. 20
I. Pemeriksaan Penunjang........................................................................ 21
J. Penatalaksanaan Fraktur Humerus........................................................ 23
K. Rehabilitasi........................................................................................... 26
L. Clinical Pathway................................................................................... 33
M. Konsep Asuhan Keperawatan............................................................... 34
a. Pengkajian/Assesment..................................................................... 34
b. Diagnosa Keperawatan................................................................... 38
c. Intervensi Keperawatan.................................................................. 39
d. Evaluasi Keperawatan..................................................................... 44
e. Discharge Planning........................................................................ 44
DAFTAR PUSTAKA................................................................................. 45

v
1

LAPORAN PENDAHULUAN

A. Anatomi Fisiologi Humerus


Humerus atau tulang pangkal lengan merupakan tulang terpanjang dan
terbesar pada bagian ekstremitas superior. Humerus bersendi pada bagian
proksimal dengan scapula dan pada bagian distal bersendi pada siku lengan
dengan dua tulang ulna dan radius. Ujung proksimal humerus memiliki bentuk
kepala bulat (caput humeri) yang bersendi dengan kavitas glenoidalis dari skapula
untuk membentuk articulatio gleno-humeri. Pada bagian distal dari caput humeri
terdapat collumanatomicum yang terlihat sebagai sebuah lekukan oblik.
Tuberculum majus merupakan sebuah proyeksi lateral pada bgian distal dari
collum anatomicum. Tuberculum majus merupakan penanda tulang bagian paling
lateral yang teraba pada regio bahi. Antara tuberculum majus dan tuberculum
minus terdapat sebuah lekukan yang disebut sebagai sulcus intertubercularis.
Collum chirurgicum merupakan suatu penyempitan humerus pada bagian distal
dari kedua tuberculum, dimana caput humeri perlahan berubah menjadi corpus
humeri. Bagian tersebut dinamakan collum chirurgicum karena fraktur sering
terjadi pada bagian ini (Tortora dan Derrickson, 2009).
Corpus humeri merupakan bagian humerus yang berbentuk seperti silinder
pada ujung proksimalnya, tetapi berubah secara perlahan menjadi berbentuk
segitiga hingga akhirnya menipis dan melebar pada ujung distalnya. Pada bagian
lateralnya, yakni di pertengahan corpus humeri, terdapat daerah berbentuk huruf
V dan kasar yang disebut sebagai tuberositas deltoidea. Daerah ini berperan
sebagai titik perlekatan tendon musculus deltoideus. Beberapa bagian yang khas
merupakan penanda yang terletak pada bagian distal dari humerus. Capitulum
humeri merupakan suatu struktur seperti tombol bundar pada sisi lateral humerus,
yang bersendi dengan caput radii. Fossa radialis merupakan suatu depresi
anterior di atas capitulum humeri, yang bersendi dengan caput radii ketika lengan
difleksikan. Trochlea humeri, yang berada pada sisi medial dari capitulum humeri,
bersendi dengan ulna. Fossa coronoidea merupakan suatu depresi anterior yang
menerima processus coronoideus ulna ketika lengan difleksikan. Fossa olecrani
2

merupakan suatu depresi posterior yang besar yang menerima olecranon ulna
ketika lengan diekstensikan. Epicondylus medialis dan epicondylus lateralis
merupakan suatu proyeksi kasar pada sisi medial dan lateral dari ujung distal
humerus, tempat kebanyakan tendon otot-otot lengan menempel. Nervus ulnaris,
suatu saraf yang dapat membuat seseorang merasa sangat nyeri ketika siku
lengannya terbentur, dapat dipalpasi menggunakan jari tangan pada permukaan
kulit di atas posterior dari epicondylus medialis (Tortora dan Derrickson, 2009).

Secara anatomis tulang humerus terbagi menjadi tiga bagian yaitu:


1. Bagian atas humerus/ kaput (ujung atas)
Sepertiga dari ujung atas humerus terdiri atas sebuah kepala yang
membuat sendi dengan rongga glenoid dari skapula dan merupakan bagian dari
bangunan sendi bahu. Di bawahnya terdapat bagian yang lebih ramping disebut
leher anatomik. Di sebelah luar ujung atas di bawah leher anatomik terdapat
sebuah benjolan yaitu tuberositas mayor dan di sebelah depan terdapat sebuah
benjolan lebih kecil yaitu tuberositas minor. Di antara tuberositas terdapat celah
bisipital (sulkus intertuberkularis) yang membuat tendon dari otot bisep. Di
3

bawah tuberositas terdapat leher chirurgis yang mudah terjadi fraktur (Pearce,
2009).
2. Corpus humerus (badan humerus)
Sebelah atas berbentuk silinder tetetapi semakin ke bawah semakin pipih.
Di sebelah lateral batang, tepat di atas pertengahan disebut tuberositas deltoideus
(karena menerima insersi otot deltoid). Sebuah celah benjolan oblik melintasi
sebelah belakang, batang, dari sebelah medial ke sebelah lateral dan memberi
jalan kepada saraf radialis atau saraf muskulo-spiralis sehingga disebut celah
spiralis atau radialis (Pearce, 2009).
3. Bagian bawah humerus/ ujung bawah.
Berbentuk lebar dan agak pipih di mana permukaan bawah sendi dibentuk
bersama tulang lengan bawah. Trokhlea yang terletak di sisi sebelah dalam
berbentuk gelendong-benang tempat persendian dengan ulna dan di sebelah luar
terdapat kapitulum yang bersendi dengan radius. Pada kedua sisi persendian ujung
bawah humerus terdapat epikondil yaitu epikondil lateral dan medial. (Pearce,
2009).

Gambar 1. Tulang humerus


Beberapa hal yang perlu diketahui terkait dengan tulang humerus adalah
sebagai berikut:
1. Persendian dan ligamen
4

Kepala bonggol humerus (caput humeri) bersendi dengan cavitas


glenoidales dari scapula. Penyambungan ini dikenal dengan sendi bahu yang
memiliki jangkauan gerak yang luas. Pada persendian ini terdapat dua bursa yaitu
pada bursa subacromialis dan bursa subscapularis. Bursa subacromialis
membatasi otot supraspinatus dan otot deltoideus. Bursa subscapularis
memisahkan fossa subscapularis dari tendon otot subscapularis. Otot rotator cuff
membantu menstabilkan persendian ini. Pada bagian siku, terdapat persendian
dengan ulna sehingga memungkinkan gerak fleksi dan ekstensi.
Ligamen atau ligamentum adalah pita mengkilap dan fleksibel dari jaringan
ikat yang menghubungkan tulang dengan tulang. Ligamen berbeda dengan tendon
karena ligamen menghubungkan tulang dengan tulang, sedangkan tendon
melekatkan otot ke tulang. Tendon membawa stimulus listrik atau neurologis,
sedangkan ligamen tidak. Ligamen yang melekat pada dua tulang yang
membentuk sendi.
a. Ligamen yang menghubungkan sendi bahu
Ada beberapa ligamen penting di bahu. Ligamen adalah struktur jaringan
lunak yang menyambungkan tulang ke tulang. kapsul sendi adalah kantung
yang kedap air yang mengelilingi sendi. Di bahu, kapsul sendi dibentuk oleh
sekelompok ligamen yang menghubungkan humerus ke glenoidale. Ligamen
ini adalah sumber utama stabilitas untuk bahu, mereka membantu memegang
bahu di tempatnya dan menjaga dari dislokasi. Ligament ini adalah
glenohumeral ligamen (GHL), dan ligamentum lain yang menghubungkan ke
coracoid akromion adalah coraco acromial ligamentum (CAL). Ligamentum
ini dapat menebal dan menyebabkan Sindromrotator. Ligamen juga mengikat
clavicula dan acromion di AC joint. Dua ligament yangmenghubungkan
clavicula ke scapula dengan melekat ke prosesus coracoids adalah
coracoclavicular ligamen (CCL).
5

Gambar 2. Ligamen pada sendi bahu


b. Ligamen yang menghubungkan sendi siku
Untuk menghubungkan tulang humerus dengan tulang ulna dan radius,
maka diperkuat oleh ligamentum-ligamentum yang terletak pada sendi siku.
Ligamen-ligamen itu terdiri dari:
1. Ligamen collateral ulnare yaitu ligamen yang bersal dari epicondylus
medial humerus dan memperkuat sendi humeroulnaris di sisi medial.
2. Ligamen collateral radial yaitu ligamen yang terbentang dari epicondylus
lateral humeri ke ligamen anular radii menuju os ulna. Memperkuat sendi
humeroradial disisi lateral.
3. Ligamen anular radii yaitu ligamen yang bersama dengan ligamen
collateral radial menahan capitulum humeri pada tempatnya.

Gambar 3. Ligamen pada sendi siku


6

Berikut merupakan tabel tentang saraf dan otot yang menggerakkan


humerus.
No Otot Origo Insertio Aksi Persarafan
1. Otot aksial yang menggerakkan humerus
M. pectoralis Clavicula Tuberculum Aduksi merotasi N. pectoralis
major sternum, majus dan lengan pada bahu; medialis dan
cartilago sisi lateral clavicula lateralis
costalis VI, sulcus memfleksikan
terkadang intertubercul lengan dan kepala
cartilago aris dari sternocostal
costalis I-VII humerus mengekstensikan
lengan yang fleksi
tadi ke arah
truncus
M. latissimus Spina T7-L5, Sulcus Ekstensi, aduksi, N.
dorsi vertebrae intertubercul dan merotasi thoracodorsalis
lumbales, aris dari medial lengan
crista humerus pada sendi bahu;
sacralis dan menarik lengan
crista iliaca, ke arah inferior
costa IV dan posterior
inferior
melalui
fascia
thoracolumb
alis
2. Otot scapula yang menggerakkan humerus
M. deltoideus Ekstremitas Tuberositas Serat N. axillaris
acromialis deltoidea mengabduksi
dari dari lengan pada sendi
clavicula, humerus bahu; serta
acromion anterior
dari scapula memfleksikan
(serat dan merotasi
lateral), dan medial lengan
spina scapula pada sendi bahu,
(serat serta posterior
posterior) mengekstensikan
dan merotasi
lateral lengan
pada sendi bahu
M. subscapularis Fosca Tuberculum Merotasi medial N. subscapularis
subscapularis minus dari lengan pada sendi
dari scapula humerus bahu
M. supraspinatus Fossa Tuberculum Membantu N.
supraspinata majus dari deltoideus subrascapularis
dari scapula humerus mengabduksi
pada sendi bahu
M. infraspinatus Fossa Tuberculum Merotasi lateral N.
7

infraspinata majus dari lengan pada sendi suprascapularis


dari scapula humerus bahu
M. teres major Angulus Sisi medial Mengekstensikan N. subscapularis
inferior dari sulcus lengan pada sendi
scapula intertubercul bahu dan
aris membantu aduksi
dan rotasi medial
lengan pada sendi
bahu
M. teres minor Margo Tuberculum Merotasi lateral N. axillaris
lateralis majus dari dan ekstensi
inferior dari humerus lengan pada sendi
scapula bahu
M. Coracobrachi Processus Pertengahan Memfleksikan N.
alis coracoideus sisi medial aduksi lengan musculocutaneus
dari scapula dari corpus pada sendi bahu
humeri

Gambar 4. Otot-otot pada tulang humerus


8

Gambar 5 (a) Anterior, (b) Posterior Humerus dan (c) Humerus dengan tiga saraf
utama yaitu n. axillaris, n. radialis dan n. ulnaris.

Gambar 4. Anterior dan Posterior Humerus. Tempat insersi otot-otot berhubungan


dengan pergerakan humerus.
2. Vaskuler Humerus

Gambar 6. Vaskuler pada humerus


Lengan mendapat suplai dari arteria subklavia dan percabangannya.
Arteria subklavia merupakan percabangan pendek arteria brakiosefalika, arteri
subklavia kiri dan arkus aorta. Arteri ini menjalar di dalam dasar leher, kemudian
diantara klavikula dan tulang rusuk I. Arteri tersebut berlanjut sampai ke aksila
sebagai arteria aksilaris. Arteria aksilaris berlanjut sebagai arteria brakialis yang
menjalar ke bawah sisi dalam dari lengan ditutupi oleh otot bisep dan kemudian
timbul di depan siku, terbagi menjadi arteria ulnaris dan radialis. Dalam fosa
9

antikubital (cekung di depan siku) tendon bisep dapat diraba dengan jelas pada
garis tengahnya bila sendi siku dilipat. Tepat medial dari sini arteri brakhialis
dapat diraba dengan mudah. Tempat ini adalah tempat yang biasa untuk mengukur
tekanan darah dan merupakan tempat terbaik untuk mencatat kecepatan denyut
nadi karena darah di siku ini lebih besar.
B. Pengertian Fraktur Humerus
Fraktur humerus merupakan fraktur pada tulang humerus yang disebabkan
oleh benturan atau trauma langsung maupun tidak langsung (De Jong, 2010).
Sedangkan menurut Triastuti, dkk (2012) fraktur humerus adalah terputusnya
kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang rawan pada tulang humerus yang
disebabkan oleh trauma secara langsung maupun tidak langsung. Fraktur humerus
adalah salah satu jenis fraktur yang memerlukan penanganan segera, tanpa
penanganan segera dapat terjadi komplikasi kelumpuhan nervus radial, kerusakan
nervus brachial, atau median (Smeltzer & Bare, 2002).
Menurut Muttaqin (2011) fraktur humerus merupakan terputusnya
hubungan tulang humerus disertai kerusakan jaringan lunak (otot, kulit, jaringan
saraf, pembuluh darah) sehingga memungkinkan terjadinya hubungan atara
fragmen tulang yang patah dengan udara luar yang disebabkan oleh cedera dari
trauma langsung yang mengenai lengan atas.
C. Epidemiologi
Menurut Desiartama & Aryana (2017) di Indonesia kasus fraktur femur
merupakan yang paling sering yaitu sebesar 39% diikuti fraktur humerus (15%),
fraktur tibia dan fibula (11%). Berdasarkan data rekam medis di RSUP Sanglah
periode tahun 2015-2016 kejadian fraktur humerus didapatkan sebagian besar
kasus ditemukan pada perempuan (51.9%), dan lebih sedikit pada laki-laki
(48.1%). Kelompok umur 60 tahun yang memiliki frekuensi paling kecil diantara
semua kelompok umur. Ditemukan pekerjaan terbanyak yang mengalami fraktur
humerus adalah pelajar dengan presentase sebesar 33,3% dan yang memiliki
proporsi paling sedikit adalah pedagang dan pensiun tentara yaitu masing-masing
3,7%. Prevalensi fraktur tertutup ditemukan sebesar (77.8%) dan fraktur terbuka
presentase sebesar (22.2%) (Sari, 2016).
10

D. Macam Macam Fraktur


Menurut Mansjoer (2002) ada tidaknya hubungan antara patahan tulang
dengan dunia luar di bagi menjadi 2 sebagai berikut:
1. Fraktur tertutup (closed)
Fraktur tertutup adalah fraktur yang bila tidak terdapat hubungan antara
fragmen tulang dengan dunia luar, disebut dengan fraktur bersih (karena kulit
masih utuh) tanpa komplikasi. Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri
yang berdasarkan keadaan jaringan lunak sekitar trauma, yaitu:
a) Tingkat 0 : fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera jaringan lunak
sekitarnya.
b) Tingkat 1 : fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan
subkutan.
c) Tingkat 2 : fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak bagian
dalam dan pembengkakan.
d) Tingkat 3 : Cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata dan
ancaman sindroma kompartement.
2. Fraktur terbuka (open/ compound fraktur)
Fraktur terbuka adalah fraktur yang bila tulang yang patah menembus otot dan
kulit yang memungkinkan / potensial untuk terjadi infeksi dimana kuman dari
luar dapat masuk ke dalam luka sampai ke tulang yang patah. Derajat patah
tulang terbuka dibagi menjadi 3, yaitu:
a) Derajat I apabila laserasi < 2 cm, fraktur sederhana, dislokasi fragmen
minimal.
b) Derajata II apabila laserasi > 2 cm, kontusio otot dan sekitarnya, dislokasi
fragmen jelas.
c) Derajat III apabila luka lebar, rusak hebat, atau hilang jaringan sekitar.
(1) Derajat IIIA: patah tulang terbuka dengan jaringan luas, tetapi masih
bisa menutupi patahan tulang saat dilakukan perbaikan.
(2) Derajat IIIB: patah tulang terbuka dengan kerusakan jaringan lunak
hebat atau hilang (soft tissue loes) sehingga tampak tulang (bone-
exposs).
11

(3) Derajat IIIC: patah tulang terbuka dengan kerusakan pembuluh darah
dan atau saraf yang hebat.
Menurut Mansjoer (2002) derajat kerusakan tulang dibagi menjadi 2 yaitu:
1. Patah tulang lengkap (Complete fraktur)
Patah tulang lengkap apabila patahan tulang terpisah satu dengan yang lainya,
atau garis fraktur melibatkan seluruh potongan menyilang dari tulang dan
fragmen tulang biasanya berubak tempat.
2. Patah tulang tidak lengkap (Incomplete fraktur)
Patah tulang tidak lengkap apabila antara patahan tulang masih ada hubungan
sebagian. Salah satu sisi patah yang lainya biasanya hanya bengkok yang
sering disebut green stick.
Menurut Mansjoer (2002) bentuk garis patah dan hubungannya dengan
mekanisme trauma ada 5 yaitu:
1. Fraktur Transversal : fraktur yang arahnya malintang pada tulang dan
merupakan akibat trauma angulasi atau langsung.
2. Fraktur Oblik : fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut terhadap
sumbu tulang dan merupakan akibat dari trauma angulasi juga.
3. Fraktur Spiral : fraktur yang arah garis patahnya sepiral yang di sebabkan oleh
trauma rotasi.
4. Fraktur Kompresi : fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang
mendorong tulang kea rah permukaan lain.
Fraktur Afulsi : fraktur yang di akibatkan karena trauma tarikan atau traksi
otot pada insersinya pada tulang.
12

E. Klasifikasi Fraktur Humerus


Menurut Hoppenfield (2011) patah tulang humerus dapat dibagi menurut
ada tidaknya hubungan antara patahan tulang dengan dunia luar, yaitu
a. Fraktur tertutup (closed), fraktur yang terjadi apabila tidak terdapat hubungan
antara fragmen tulang dengan dunia luar.
b. Fraktur terbuka (open), fraktur yang terjadi apabila terdapat hubungan antara
fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya permukaan di kulit.
Klasifikasi fraktur diafisis humerus menurut Ortopaedics Trauma
Association (OTA) (Kautsar, 2014)
a. Tipe A: fraktur sederhana ( simple fractur)
1) A1: spiral
2) A2: oblik (>30°)
3) A3: transversa (<30°)

Sumber: Holmes E.J & Misra R.R (2004)


b. Tipe B: fraktur baji (wedge fracture)
a. B1: spiral wedge
b. B2: bending wedge
c. B3: fragmented wedge
13

Sumber: Holmes E.J & Misra R.R (2004)

c. Tipe C: fraktur kompleks (complex fracture)


a. C1: Spiral
b. C2: Segmental
c. C3: Ireguler (significant comminution)

Sumber: Holmes E.J & Misra R.R (2004)


14

Klasifikasi fraktur humerus dapat diklasifikasikan sebagai berikut (Egol et


al, 2010; Thompson, 2010)
1. Fraktur proksimal humerus
Pada fraktur jenis ini, insidensi meningkat pada usia yang lebih tua terkait
dengan osteoporosis. Gejala klinis pada fraktur ini adalah nyeri, bengkak, nyeri
tekan, nyeri pada saat digerakkan, dan dapat teraba krepitasi. Ekimosis dapat
terlihat dinding dada dan pinggang setelah terjadi cedera. Hal ini harus dibedakan
dengan cedera toraks.
Klasifikasi fraktur proksimal humerus menurut Neer antara lain sebagai berikut:
a) One-part fracture: tidak ada pergeseran fragmen namun terlihat garis fraktur.
b) Two-part fracture: anatomic neck, surgical neck, tuberculum mayor,
tuberculum minor.
c) Three-part fracture: surgical neck dengan tuberculum mayor, dan surgical
neck dengan tuberculum minor.
d) Four-part fracture.
e) Fracture-dislocation.
1) Articular surface fracture.

Gambar 8. Tampilan klasifikasi fraktur humerus


15

2. Fraktur shaft humerus


Fraktur ini adalah fraktur yang sering terjadi, 60% kasus adalah fraktur
sepertiga tengah diafisis, 30% fraktur sepertiga proksimal diafisis dan 10%
sepertiga distal diafisis. Mekanisme terjadinya trauma dapat secara langsung
maupun tidak langsung. Gejala klinis pada jenis fraktur ini adalah nyeri,
bengkak, deformitas dan dapat terjadi pemendekan tulang pada tangan yang
fraktur. Pemeriksaan neurovaskuler adalah penting dengan memperhatikan
fungsi nervus radialis. Pada kasus yang sangat bengkak, pemeriksaan
neurovaskuler sering diindikasikan untuk mengenali tanda-tanda dari sindroma
kompartemen. Pada pemeriksaan fisik terdapat krepitasi pada manipulasi
lembut. Deskripsi klasifikasi fraktur shaft humerus yaitu:
a) fraktur terbuka atau tertutup;
b) lokasi: sepertiga proksimal, sepertiga tengah, sepertiga distal;
c) derajat: dengan pergeseran atau tanpa pergeseran;
d) karakter: transversal, oblique, spiral, segmental, komunititf;
e) kondisi intrinsik dari tulang;
f) ekstensi artikular.

Gambar 9. Klasifikasi Fraktur Shaft Humerus


16

3. Fraktur distal humerus


Fraktur ini jarang terjadi pada dewasa. Kejadiannya hanya sekitar 2%
untuk semua kejadian fraktur dan hanya sepertiga bagian dari seluruh kejadian
fraktur humerus. Mekanisme cedera untuk fraktur ini dapat terjadi karena
trauma langsung atau tidak langsung. Trauma langsung contohnya adalah
apabila terjatuh atau terpeleset dengan posisi siku tangan menopang tubuh atau
bisa juga karena siku tangan terbentur atau dipukuli benda tumpul. Trauma
tidak langsung apabila jatuh dalam posisi tangan menopang tubuh namun
posisi siku dalam posisi tetap lurus. Hal ini biasa terjadi pada orang dewasa
usia pertengahan atau wanita usia tua. Gejala klinis dari fraktur ini antara lain
pada daerah siku dapat terlihat bengkak, kemerahan, nyeri, kaku sendi dan
biasanya pasien akan mengeluhkan siku lengannya seperti akan lepas.
Kemudian dari palpasi terdapat nyeri tekan, krepitasi dan neurovaskuler dalam
batas normal.
a) Fraktur suprakondiler
Fraktur suprakondiler merupakan salah satu jenis fraktur yang mengenai
daerah siku, dan sering ditemukan pada anak-anak. Fraktur suprakondilus
adalah fraktur yang mengenai humerus bagian distal di atas kedua kondilus.
Pada fraktur jenis ini dapat dibedakan menjadi fraktur supracondilus extension
type (pergeseran posterior) dan flexion type (pergeseran anterior) berdasarkan
pada bergesernya fragmen distal dari humerus. Jenis fleksi adalah jenis yang
jarang terjadi. Jenis ekstensi terjadi karena trauma langsung pada humerus
distal melalui benturan pada siku dan lengan bawah dalam posisi supinasi dan
dengan siku dalam posisi ekstensi dengan tangan yang terfiksasi. Fragmen
distal humerus akan terdislokasi ke arah posterior terhadap humerus.
1) Fraktur suprakondilus extension type
Menunjukkan cedera yang luas, dan biasanya akibat jatuh pada tangan yang
terekstensi. Humerus patah tepat di atas kondilus. Fragmen distal terdesak ke
belakang lengan bawah (biasanya dalam posisi pronasi) terpuntir ke dalam.
Ujung fragmen proksimal yang bergerigi mengenai jaringan lunak bagian
anterior, kadang mengenai arteri brachialis atau n. medianus. Periosteum
17

posterior utuh, sedangkan periosteum anterior ruptur; terjadi hematom fossa


cubiti dalam jumlah yang signifikan.
2) Fraktur suprakondilus flexion type
Tipe fleksi terjadi bila penderita jatuh dan terjadi trauma langsung pada sendi
siku pada distal humeri.

Gambar 10. Fraktur Suprakondiler


b) Fraktur transkondiler
Biasanya terjadi pada pasien usia tua dengan tulang osteopenik.
c) Fraktur interkondiler
Pada dewasa, jenis fraktur ini adalah tipe paling sering diantara tipe fraktur
humerus distal yang lain. Klasifikasi menurut Riseborough and Radin sebagai
berikut.
1) Tipe I: fraktur tanpa adanya pergeseran dan hanya ada berupa garis
fraktur.
2) Tipe II: terjadi sedikit pergeseran dengan tidak ada rotasi antara fragmen
kondilus.
3) Tipe III: pergeseran dengan rotasi.
4) Tipe IV: fraktur komunitif berat dari permukaan artikular
d) Fraktur kondiler
Dapat dibagi menjadi fraktur kondilus medial dan fraktur kondilus lateral.
Klasifikasi menurut Milch sebagai berikut.
18

1) Tipe I: penonjolan lateral troklea utuh,tidak terjadi dislokasi radius dan


ulna.
2) Tipe II: terjadi dislokasi radius ulna, kerusakan kapsuloligamen.

F. Etiologi Fraktur Humerus


Fraktur humerus disebabkan oleh trauma di mana terdapat tekanan yang
berlebihan pada tulang (Reksoprodjo, 2010). Trauma ada 2 jenis, sebagai berikut.
1. Trauma langsung, yaitu terjadi benturan pada tulang dan mengakibatkan
fraktur di tempat benturan. Trauma langsung menyebabkan tekanan langsung
pada tulang dan terjadi fraktur pada daerah tekanan. Fraktur yang terjadi
biasanya bersifat kominutif dan jaringan lunak ikut mengalami kerusakan.
2. Trauma tidak langsung, yaitu terjadi benturan pada tulang dan titik tumpu
benturan dengan terjadinya fraktur berjauhan. Trauma tidak langsung terjadi
apabila trauma dihantarkan ke daerah yang lebih jauh dari daerah fraktur.
Tekanan pada tulang dapat berupa:
a) tekanan berputar yang menyebabkan fraktur bersifat oblik atau spiral;
b) tekanan membengkok yang menyebabkan fraktur transversal;
c) tekanan sepanjang aksis tulang yang dapat menyebabkan fraktur impaksi
atau dislokasi;
d) kompresi vertikal yang dapat menyebabkan fraktur kominutif atau
memecah;
e) trauma oleh karena remuk;
f) trauma karena tarikan pada ligamen atau tendon akan menarik sebagian
tulang.
3. Trauma patologis
Trauma patologis adalah suatu kondisi rapuhnya tulang karena proses
patologis.

a) Osteoporosis terjadi karena kecepatan reabsorbsi tulang melebihi


kecepatan pembentukan tulang, sehingga akibatnya tulang menjadi 6
keropos secara cepat dan rapuh sehingga mengalami patah tulang, karena
trauma minimal.
19

b) Osteomilitis merupakan infeksi tulang dan sum sum tulang yang


disebabkan oleh bakteri piogen dimana mikroorganisme berasal dari focus
ditempat lain dan beredar melalui sirkulasi darah.

c) Ostheoartritis itu disebabkan oleh rusak/ menipisnya bantalan sendi dan


tulang rawan (Muttaqin, 2008).
4. Fraktur traumatik, terjadi karena tiba-tiba. Trauma dapat bersifat langsung atau
tidak langsung. Trauma langsung merupakan trauma yang dapat menyebabkan
tekanan langsung pada tulang dan terjadi fraktur pada daerah yang tertekan.
Sedangkan trauma tidak langsung merupakan trauma yang dihantarkan ke
tempat yang lebih jauh dari daerah yang tertekan.
Fraktur shaft humerus kebanyakan terjadi akibat trauma langsung,
meskipun pada fraktur spiral sepertiga tengah dari shaft kadang disebabkan oleh
aktifitas otot-otot yang kuat seperti saat melempar bola.
Faktor-faktor yang mempengaruhi fraktur sebagai berikut:
a) Faktor ekstrinsik
Adanya tekanan dari luar yang bereaksi pada tulang yang tergantung terhadap
besar, waktu, dan arah tekanan yang dapat menyebabkan fraktur.
b) Faktor intrinsik
Beberapa sifat yang terpenting dari tulang yang menentukan daya tahan untuk
timbulnya fraktur seperti kapasitas absorbsi dari tekanan, elastisitas, kelelahan,
dan kepadatan atau kekerasan tulang.

G. Manifestasi Klinis Fraktur Humerus


Tanda dan gejala dari fraktur humerus adalah sebagai berikut (Smeltzer &
Bare (2002):
1. Nyeri, yang terjadi secara terus menerus dan bertambah beratnya sampai
fragmen tulang diimobilisasi untuk meminimalkan gerakan antar fragmen
tulang.
2. Deformitas, terjadi akibat pergeseran fragmen pada fraktur lengan dan
tungkai. Deformitas dapat diketahui dengan membandingkan dengan
20

ekstremitas yang normal. Ekstremitas tidak dapat berfungsi dengan baik


karena fungsi normal otot bergantung pada integritas tulang tempat
melekatnya otot.
3. Krepitus, saat ekstremitas diperiksa, terasa adanya derik tulang dinamakan
krepitus yang terasa akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya.
4. Pembengkakan dan perubahan warna, terjadi akibat trauma dan pendarahan
yang mengikuti fraktur. Tanda ini baru terjadi setelah beberapa jam atau hari
setelah cidera
5. Berkurangnya gerakan tangan yang sakit
6. Kurangnya sensasi yang dapat terjadi karena adanya gangguan saraf, di mana
syaraf ini terjepit atau terputus oleh fragmen tulang.
7. Hilangnya atau berkurangnya fungsi normal karena ketidakstabilan tulang.
8. Pergerakan abnormal.

H. Patofisiologi Fraktur Humerus


Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya pegas
untuk menahan tekanan. Namun apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar
dari yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang
mengakibatkan rusak atau terputusnya kontinuitas tulang. Setelah terjadi fraktur,
periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam korteks, marrow dan jaringan
lunak yang membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi karena kerusakan
tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga medula tulang. Jaringan tulang
segera berdekatan ke bagian tulang yang patah. Jaringan yang mengalami nekrosis
ini menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang ditandai dengan vasodlatasi,
eksudasi plasma dan leukosit serta infiltrasi sel darah putih. Kejadian inilah yang
merupakan dasar dari proses penyembuhan nantinya (Meihartati, dkk 2018).

I. Komplikasi Fraktur Humerus


Komplikasi fraktur humerus adalah sebagai berikut (Reksoprodjo, 2009):
1. Malunion: tulang patah telah sembuh dalam posisi yang tidak seharusnya.
21

2. Delayed union: kegagalan fraktur berkonsolidasi (bergabung) sesuai dengan


waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung.
3. Non union: kegagalan fraktur berkonsolidasi dan memproduksi sambungan
yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9 bulan.
4. Kekakuan sendi bahu (ankilosis). Lesi pada nervus sirkumfleksi aksilaris
menyebabkan paralisis muskulus deltoid
5. Kompartment sindrom, merupakan komplikasi yang terjadi karena terjebaknya
otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan parut. Ini disebabkan
oleh oedema atau perdarahan yang menekan otot, saraf, dan pembuluh darah.
Selain itu karena tekan dari luar seperti gips dan pembebatan yang terlalu kuat.
Tanda-tanda sindrom kompartemen dikenal dengan 5P yaitu Pain (nyeri lokal),
Pallor (pucat bagian distal), Pulsussness (tidak ada denyu nadi, perubahan
nadi, perfusi yang tidak baik dan CRT > 3 detik pada bagian distal kaki),
Paraestesia (tidak ada sensasi), Paralysis (kelumpuhan tungkai).
6. Malunion cubiti varus (carrying angle berubah) dimana siku berbentuk O,
secara fungsi baik tapi secara kosmetik kurang baik maka dari itu perlu
dilakukan koreksi dengan operasi meluruskan siku dengan teknik french
osteotomy.
7. Cedera vakuler, jika ada tanda dengan insufisiensi vaskuler pada ekstremitas,
kerusakan arteri brakhialis harus disingkirkan. Angiografi akan
memperlihatkan tingkat cedera. Cedera vaskuler merupakan kegawatdaruratan
yang membutuhkan eksplorasi dan perbaikan langsung atau cangkok (grafting)
vaskuler.
8. Cedera Saraf, radial nerve palsy dapat terjadi pada fraktur shaft humerus
terutama pada fraktur oblik sepertiga tengah dan distal humerus. Pergelangan
tangan dan telapak tangan harus secara teratur digerakkan dari pergerakan pasif
putaran penuh hingga mempertahankan pergerakan sendi sampai saraf kembali
pulih.
9. Infeksi, Infeksi terjadi karena sistem pertahanan tubuh yang rusak akibat
adanya trauma pada jaringan. Pada trauma osthopedic infeksi dimulai pada
kulit (superfisial) dan masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur
22

terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan
seperti pin dan plat. Infeksi paska trauma sering menyebabkan osteitis kronik.
Osteitis tidak mencegah fraktur mengalami union, namun union akan berjalan
lambat dan kejadian fraktur berulang akan meningkat.

J. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan yang dapat dilakukan pada klien dengan fraktur humerus
adalah sebagai berikut:.
1. Laboratorium
Hasil tes laboratorium yang perlu diketahui diantaranya adalah hemoglobin,
hematokrit sering rendah akibat perdarahan, laju endap darah (LED) meningkat
bila kerusakan jaringan lunak sangat luas
2. Pemeriksaan Radiologi
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah “pencitraan”
menggunakan sinar rontgen (X-ray). Untuk mendapatkan gambaran 3 dimensi
keadaan dan kedudukan tulang yang sulit, maka diperlukan 2 proyeksi yaitu AP
atau PA dan lateral. Dalam keadaan tertentu diperlukan proyeksi tambahan
(khusus) ada indikasi untuk memperlihatkan pathologi yang dicari karena adanya
superposisi. Pada rontgen dapat dilihat gambaran fraktur (tempat fraktur, garis
fraktur (transversa, spiral atau kominutif) dan pergeseran lainnya dapat terbaca
jelas). Radiografi humerus AP dan lateral harus dilakukan. Sendi bahu dan siku
harus terlihat dalam foto. Radiografi humerus kontralateral dapat membantu pada
perencanaan preoperative.
Hal yang harus dibaca pada X-ray:
a) bayangan jaringan lunak;
b) tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau biomekanik atau
juga rotasi;
c) trobukulasi ada tidaknya rare fraction;
d) sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi.
23

Gambar 14. Fraktur leher humerus (tanda panah)


3. Tomografi
Pemeriksaan ini menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur yang
lain tertutup yang sulit divisualisasi. Pada kasus ini ditemukan kerusakan struktur
yang kompleks dimana tidak pada satu struktur saja tapi pada struktur lain juga
mengalaminya.
4. Arthrografi
Pemeriksaan ini menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak karena
ruda paksa.
5. Computed Tomography-Scan (CT-Scan)
Pemeriksaan ini menggambarkan potongan secara transversal dari tulang
dimana didapatkan suatu struktur tulang yang rusak.
6. Pemeriksaan Laboratorium
a) Kalsium serum dan fosfor serum meningkat pada tahap penyembuhan
tulang.
b) Alkalin fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan
kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang.
c) Enzim otot seperti kreatinin kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH-5),
Aspartat Amino Transferase (AST), aldolase yang meningkat pada tahap
penyembuhan tulang.
24

K. Penatalaksanaan Fraktur Humerus


Menurut Muttaqin (2008) konsep dasar yang harus dipertimbangkan pada
waktu menangani fraktur yaitu : rekognisi, reduksi, retensi, dan rehabilitasi.
1. Rekognisi (Pengenalan)
Riwayat kecelakaan, derajat keparahan, harus jelas untuk menentukan
diagnosa dan tindakan selanjutnya. Contoh, pada tempat fraktur tungkai akan
terasa nyeri sekali dan bengkak. Kelainan bentuk yang nyata dapat
menentukan diskontinuitas integritas rangka.
2. Reduksi (Manipulasi/ Reposisi)
Reduksi adalah usaha dan tindakan untuk memanipulasi fragmen fragmen
tulang yang patah sedapat mungkin kembali lagi seperti letak asalnya. Upaya
untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali seperti semula secara
optimal. Reduksi fraktur dapat dilakukan dengan reduksi tertutup, traksi, atau
reduksi terbuka. Reduksi fraktur dilakukan sesegera mungkin untuk
mencegah jaringan lunak kehilangan elastisitasnya akibat infiltrasi karena
edema dan perdarahan. Pada kebanyakan kasus, reduksi fraktur menjadi
semakin sulit bila cedera sudah mulai mengalami penyembuhan (Mansjoer,
2002).Dalam penatalaksanaan fraktur dengan reduksi dapat dibagi menjadi 2
yaitu:
a) Reduksi Tertutup/ORIF (Open Reduction Internal Fixation)
Reduksi fraktur (setting tulang) berarti mengembalikan fragment tulang
pada kesejajarannya dan rotasi anatomis. Reduksi tertutup, traksi, dapat
dilakukan untuk mereduksi fraktur. Metode tertentu yang dipilih
bergantung sifat fraktur, namun prinsip yang mendasarinya tetap
sama.Sebelum reduksi dan imobilisasi fraktur, pasien harus disiapkan
untuk menjalani prosedur dan harus diperoleh izin untuk melakukan
prosedur, dan analgetika diberikan sesuai ketentuan. Mungkin perlu
dilakukan anesthesia. Ekstremitas yang akan dimanipulasi harus
ditangani dengan lembut untuk mencegah kerusakan lebih lanjut.
Reduksi tertutup pada banyak kasus, reduksi tertutup dilakukan dengan
25

mengembalikan fragment tulang ke posisinya (ujung-ujungnya saling


berhubungan) dengan manipulasi dan traksi manual.
b) Reduksi Terbuka/OREF (Open Reduction Eksternal Fixation)
Pada Fraktur tertentu dapat dilakukan dengan reduksi eksternal atau yang
biasa dikenal dengan OREF, biasanya dilakukan pada fraktur yang terjadi
pada tulang panjang dan fraktur fragmented. Eksternal dengan fiksasi,
pin dimasukkan melalui kulit ke dalam tulang dan dihubungkan dengan
fiksasi yang ada dibagian luar. Indikasi yang biasa dilakukan
penatalaksanaan dengan eksternal fiksasi adalah fraktur terbuka pada
tulang kering yang memerlukan perawatan untuk dressings. Tetapi dapat
juga dilakukan pada fraktur tertutup radius ulna. Eksternal fiksasi yang
paling sering berhasil adalah pada tulang dangkal tulang misalnya tibial
batang.

3. Retensi (Immobilisasi)
Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga kembali
seperti semula secara optimal. Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus
diimobilisasi, atau di pertahankan dalam posisi kesejajaran yang benar sampai
terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau
interna. Metode fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi
kontinu, pin, dan teknik gips, atau fiksator eksterna. Implan logam dapat di
gunakan untuk fiksasi intrerna yang brperan sebagai bidai interna untuk
mengimobilisasi fraktur. Fiksasi eksterna adalah alat yang diletakkan diluar
kulit untuk menstabilisasikan fragmen tulang dengan memasukkan dua atau
tiga pin metal perkutaneus menembus tulang pada bagian proksimal dan
distal dari tempat fraktur dan pin tersebut dihubungkan satu sama lain dengan
menggunakan eksternal bars. Prinsip dasar dari teknik ini adalah dengan
menggunakan pin yang diletakkan pada bagian proksimal dan distal terhadap
daerah atau zona trauma, kemudian pin-pin tersebut dihubungkan satu sama
lain dengan rangka luar atau eksternal frame atau rigid bars yang berfungsi
untuk menstabilisasikan fraktur. Alat ini dapat digunakan sebagai temporary
26

treatment untuk trauma muskuloskeletal atau sebagai definitive treatment


berdasarkan lokasi dan tipe trauma yang terjadi pada tulang dan jaringan
lunak (Muttaqin, 2008).Alat traksi diberikan dengan kekuatan tarikan pada
anggota yang fraktur untuk meluruskan bentuk tulang. Ada 2 macam yaitu:
a) Skin Traksi
Skin traksi adalah menarik bagian tulang yang fraktur dengan
menempelkan plester langsung pada kulit untuk mempertahankan bentuk,
membantu menimbulkan spasme otot pada bagian yang cedera, dan
biasanya digunakan untuk jangka pendek (48-72 jam).
b) Skeletal traksi
Adalah traksi yang digunakan untuk meluruskan tulang yang cedera pada
sendi panjang untuk mempertahankan bentuk dengan memasukkan pins /
kawat ke dalam tulang.
4. Rehabilitasi
Rehabilitasi dilakukan untuk aktifitas fungsional semaksimal mungkin
dalam menghindari atropi atau kontraktur. Bila keadaan mmeungkinkan,
harus segera dimulai melakukan latihan-latihan untuk mempertahankan
kekuatan anggota tubuh dan mobilisasi (Mansjoer, 2000).

L. Penatalaksanaan fraktur humerus sesusai dengan jenis fraktur humerus


(Egol et al, 2010; Reksoprodjo, 2009).
1. Fraktur proksimal humerus
Pada fraktur impaksi tidak diperlukan tindakan reposisi. Lengan yang cedera
diistirahatkan dengan memakai gendongan (sling) selama 6 minggu. Selama
waktu itu penderita dilatih untuk menggerakkan sendi bahu berputar sambil
membongkokkan badan meniru gerakan bandul (pendulum exercise). Hal ini
dimaksudkan untuk mencegah kekakuan sendi. Pada penderita dewasa bila
terjadi dislokasi abduksi dilakukan reposisi dan dimobilisasi dengan gips
spica, posisi lengan dalam abduksi (shoulder spica).
2. Fraktur shaft humerus
27

Pada fraktur humerus dengan garis patah transversal, apabila terjadi dislokasi
kedua fragmennya dapat dilakukan reposisi tertutup dalam narkose. Bila
kedudukan sudah cukup baik, dilakukan imobilisasi dengan gips berupa U
slab (sugar tong splint). Immobilisasi dipertahankan selama 6 minggu.
Teknik pemasangan gips yang lain yaitu dengan hanging cast. Hanging cast
terutama dipakai pada pnderita yang dapat berjalan dengan posisi fragmen
distal dan proksimal terjadi contractionum (pemendekan). Apabila pada
fraktur humerus ini disertai komplikasi cedera nervus radialis, harus
dilakukan open reduksi dan internal fiksasi dengan plate-screw untuk
humerus disertai eksplorasi nervus radialis. Bila ditemukan nervus radialis
putus (neurotmesis) dilakukan penyambungan kembali dengan teknik bedah
mikro. Kalau ditemukan hanya neuropraksia atau aksonotmesis cukup dengan
konservatif akan baik kembali dalam waktu beberapa minggu hingga 3 bulan.
3. Fraktur suprakondiler humerus
Jika terjadi pembengkakan tak hebat dapat dilakukan reposisi dalam
anasthesia umum. Setelah tereposisi, posisi siku dibuat fleksi diteruskan
sampai arteri radialis mulai tak teraba. Kemudian diekstensi siku sedikit
untuk memastikan arteri radialis teraba lagi. Dalam posisi fleksi maksimal ini
dilakukan imobilisasi dengan gips spal. Posisi fleksi maksimal dipindahkan
karena penting untuk menegangkan otot trisep yang berfungsi sebagai internal
splint.
Jika dalam pengontrolan dengan radiologi hasilnya sangat baik gips dapat
dipertahankan dalam waktu 3-6 minggu. Kalau dalam pengontrolan pasca
reposisi ditemukan tanda Volkmann’s iskemik secepatnya posisi siku
diletakkan dalam ekstensi, untuk immobilisasinya diganti dengan skin traksi
dengan sistem Dunlop. Pada penderita dewasa kebanyakan patah di daerah
suprakondiler garis patahnya berbentuk T atau Y, yang membelah sendi untuk
menanggulangi hal ini lebih baik dilakukan tindakan operasi dengan
pemasangan internal fiksasi.
4. Fraktur transkondiler humerus
28

Terapi konservatif diindikasikan pada fraktur dengan dislokasi minimal atau


tanpa dislokasi. Tindakan yang paling baik dengan melakukan operasi
reposisi terbuka dan dipasang fiksasi interna dengan plate-screw.

5. Fraktur interkondiler humerus


Bila dilakukan tindakan konservatif berupa reposisi dengan immobilisasi
dengan gips sirkuler akan timbul komplikasi berupa kekakuan sendi
(ankilosis). Untuk mengatasi hal tersebut dilakukan tindakan operasi reduksi
dengan pemasangan internal fiksasi dengan plate-screw.
6. Fraktur kondilus lateral dan medial humerus
Bila frakturnya tertutup dapat dicoba dulu dengan melakukan reposisi
tertutup, kemudian dilakukan imbolisasi dengan gips sirkular. Bila hasilnya
kurang baik, perlu dilakukan tindakan operasi reposisi terbuka dan dipasang
fiksasi interna dengan plate-screw. Jika lukanya terbuka dilakukan
debridement dan dilakukan fiksasi luar.

M. Rehabilitasi exercise fraktur humerus


a) Rehabilitasi fraktur humerus proksimal
Rehabilitasi fraktur humerus proksimal sangat penting karena pergerakan
yang adekuat sangat dibutuhkan untuk mengembalikan pada fungsi yang
optimal. Rehabilitasi fraktur humerus prosimal dibagi mejadi 3 fase. Ketiga fase
ini bertujuan untuk meningkatkan latihan peregangan dan kekuatan. Aplikasi
latihan ini sangat bervariasi dan tergantung pada tipe fraktur atau penyembuhan
fraktur dan kemampuan pasien dalam memahami program latihan. Latihan
dilakukan 3-4 kali per hari selama 20-30 menit.
1) Fase 1 Passive-Assistive Exercise
Fase ini dimulai setelah post operasi. Jika fraktur telah dilakukan
penyembuhan dengan reduksi tertutup dan kondisinya stabil, latihan ini
dimulai pada hari ke 7-10 setelah fraktur. Latihan pertama yang dilakukan
adalah Pendulum exercise (Codman) yaitu merotasi lengan ke luar dan ke
29

dalam seperti membentuk lingkaran kecil. Gerakannya dapat dilihat seperti


gambar di bawah ini.

Gambar 15. Passive Pendulum Exercise

Gambar 16. Active Pendulum Exercise


Latihan kedua adalah supine external rotation with stick. Latihan ini sangat
penting untuk mendukung siku dan humerus distal dilakukan seperti melipat
handuk atau baju karena akan membuat rasa aman bagi pasien.Sedikit abduksi
kurang lebih 15-20 derajat akan membantu latihan ini.

Gambar 17. supine external rotation with stick


Tiga minggu setelah fraktur, klien dibantu untuk melakukan forward elevation
dan pulley exercises dapat ditambahkan. Setelahnya dapat ditambahkan
sedikit. Isometric exercise umumnya dimulai pada minggu ke 4. Setelah
perbaikan operasi mulai sembuh, latihan ini dapat dimulai dalam 24-48 jam.
Perawat harus memulai melakukan fleksi dan ekstensi pada siku dan bantu
pasien untuk melakukan pendulum exercise. Supine eksternal rotation dan
bantu untuk forward elevation baik dengan duduk atau tidur perlu dilakukan.
Antara 3-5 hari post operasi, latihan formal dimulai yaitu pendulum exercise,
30

pulley supine, external rotation with stick, supine forward flexion, and
extension with a stick. Latihan isometrik dapat dimulai setelah 3 minggu.

cGambar 18. Forward elevation

Gambar 19. Pulley exercise

Gambar 20. isometric exercise


2) Fase 2 active and early resistive
Latihan pada fase 2 ini mulai aktif, memberikan hambatan dan latihan
peregangan. Latihan pertama adalah supine active forward elevation
31

Gambar 21. supine active forward elevation


Forward elevation dapat dikembangkan menjadi tegak lurus. Penggunaan
tongkat pada tangan yang sakit dapat membantu dalam melakukan forward
elevasi. Penggunaan tongkat tersebut dapat dilihat pada gambar berikut.

Gambar 22. forward elevation with stick


Seiring dengan penguatan lengan, elevasi tegal lurus dapat dilakukan tanpa
menggunakan bantuan, tetapi penting untuk menjaga siku ditekuk dan lengan
tertutup pada garis tengah. Penggunaan karet elastis (therabands) dapat
berguna untuk meningkatkan kekuatan rotator internal, rotator external, dan
deltoid depan, tengah serta belakang.

Gambar 23. Latihan dengan therabands


32

Pengulangan sebanyak 10-15 kali setiap latihan sangat dianjurkan. Latihan


elevasi ke depan ke atas pintu atau tembok dapat dilakukan untuk eksternal
rotasi seperti pada gambar berikut.

Gambar 24. Latihan dengan elevasi ke depan pada tembok


Latihan dilakukan juga dengan menaikkan kedua tangan ke atas kepala
dengan tangan saling menjabat, kemudian tagan diletakkan di belakag kepala
dan lengan dirotasi eksternal serta abduksi.

Gambar 25. Latihan rotasi eksternal dan abduksi


Latihan tersebut sangat penting untuk mengevaluasi abduksi dan rotasi
eksternal. Internal rotasi dapat dilakukan dengan menggunakan bantuan
tangan yang normal seperti gambar di bawah ini.
33

Gambar 26. Latihan rotasi eksternal dan internal


3) Fase 3 Maintenance program
Fase ini umumnya dimulai setelah 3 bulan. Penguatan lengan dapat dilakukan
dengan peregangan forward elevation sambil tengkurap. Angkat beban dapat
dilakukan setelah tiga bulan. Angkat beban dapat dimulai dengan berat awal
sebesar 1 pound dan terus meningkat hingga maksimal 5 pound. Apabila saat
latihan dirasakan nyeri maka berat beban harus dikurangi. Rehabilitasi yang
yabaik sangat berguna untuk mensukseskan pengobatan fraktur. Hasil operasi
dan reduksi fraktur yang baik tidak akantercapai tanpa latihan yag cukup.

b) Rehabilitasi Humerus Distal Fractur


Rehabilitasi yang tepat dan tepat waktu pada cedera siku dapat
mengurangi nyeri dan kontraktur. Meskipun respon inflamasi pada trauma di sike
berbeda di awal fase dari sendi utama lainnya, namun jarang terjadi
pembengkakan dan kekakuan yang parah pada fraktur minimal. Pada kasus yang
lebih berat seperti dislokasi posterior atau fraktur humerus distal memerlukan
terapi yang lebih untuk mendapatkan penyembuhan yang optimal. Mobilisasi
program harus mencegah kerusakan struktur dan nyeri yang minimal.
Pada fase akut (1-6 minggu) pasien diharapkan memulai active motion
exercise, baik fleksi, ekstensi, pronasi, dan supinasi. Pada kasus operasi perlu
dipertimbangkan untuk menunggu melakukan range of motion sampai terjadi
penyembuhan seperti pada posterior dislocations.Active motion exercise perlu
menekankan pada latihan ekstensi untuk minggu pertama setelah injuri. Jika
pasien tidak menunjukkan perkembangan perlu dilakukan dynamic splinting
program.
34

c) Rehabilitasi Shaft Humerus Fracture


Rehabilitasi fracture shaft humerus dengan fiksasi internal dibagi menjadi
5 fase yaitu (Lake Cook Orthophedics, Tanpa tahun):
1) Fase 1 (0-4 minggu)
Imobilisasi dengan sling imobilizer dengan sudut 15 derajat abduksi selama 4
minggu dan digunakan seterusnya kecuali saat terapi. Hindari rotasi dan
pergangan berlebih. Lakukan latihan berupa latihan menggenggam, latihan
siku, pendulum exercise, ROM pergelangan tangan dan jari, ROM pada bahu
namun harus dilakukan dengan hati-hati dan disesuaikan dengan toleransi.
2) Fase 2 (4-8 minggu)
Tidak diperlukan imobilisasi, lakukan peregangan sesuai dengan batas
toleransi klien, meningkatkan latihan ROM
3) Fase 3 (8-12 minggu)
Perlu dilakukan pembatasan gerakan abduksi 20 derajat, eksternal rotasi 20
derajat, latihan dilanjutkan untuk ROM pada sendi bahu, pada 10 minggu
lakukan latihan resistensi bahu.
4) Fase 4 (12- 26 minggu)
Tidak ada pembatasan gerakan, ROM harus 85% normal atau lebih,
peningkatan kekuatan ekstremitas atas akanterlihat setelah minggu ke 16,
lakukan latihan plyometric training
5) Fase 5 (26 minggu lebih)
Fungsi lengan dan bahu harus optimal, tidak ada pembatasan gerakan, dan
motivasi klien untuk terus meningkatkan kekuatan otot.
Perawat juga berperan dalam meningkatkan penyembuhan luka akibat operasi
yang dialami klien yaitu dengan cara:
1) Memonitor kondisi klien post operasi dengan manajemen cairan, nutrisi,
manajemen anastesi untuk memastikan kondisi klien
2) Monitoring penyembuhan dan perawatan luka operasi klien
3) Pendidikan kesehatan terkait nutrisi klien
Nutrisi merupakan salah satu aspek yang sering dilupakan pada proses
penatalaksanaan fraktur, karena sebagian besar terfokus pada penggunaan
35

obat, penggantian balutan dan gips, serta fisioterapi saja (Situmorang, 2012).
Asupan nutrisi yang baik seperti cukupnya vit A, vit D, kalsium, vitamin C,
fosfor, magnesium, dll dapat membantu pertumbuhan dan pembentukan
tulang yang kuat dan sempurna (Smeltzer & Bare, 2002).
Vitamin A sangat diperlukan untuk pertumbuhan sel, termasuk perkembangan
tulang dan sel epitel yang membentuk email dalam pertumbuhan gigi,
demikian halnya pada pasien fraktur. Sedangkan fosfor digunakan sebagai
mineral yang memperkuat struktur tulang bersama dengan kalsium. Buah-
buahan merupakan sumber vitamin A yang baik untuk tulang. Fosfor terdapat
di dalam semua makanan terutama makanan kaya protein seperti daging,
ayam, ikan, telur, susu, dan hasilnya, kacang-kacangan dan hasilnya, serta
serealia (Almatsier, 2001).

N. Pathway
Trauma Trauma tidak Kondisi
langsung langsung patologis

Fraktur Humerus

Diskontinuitas Pergeseran
tulang fragmen tulang

Perubahan jaringan Nyeri akut


sekitar

Pergeseran Pelepasan Laserasi kulit dan


fragmen tulang histamin jaringan

Gangguan Port de entry Putus vena/


fungsi skeletal Protein plasma kuman arteri
hilang

Risiko Perdarahan
Hambatan
infeksi Kerusakan
mobilitas fisik Penekanan
integritas
pembuluh
Risiko Syok jaringan
darah

Penurunan
perfusi jaringan
Kurang Gangguan
Ancaman perfusi
terpaparnya
kematian jaringan
informasi 36
Defisiensi
Krisis
Pengetahuan
Situasional

Ansietas
34

O. Konsep Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian
a) Identitas Pasien
Nama, umur, jenis kelamin, alamat rumah, agama atau kepercayaan, suku
bangsa, bahasa yang dipakai, status pendidikan dan pekerjaan pasien.
b) Keluhan utama
Keluhan yang membuat pasien datang ke rumah sakit. Pada kasus-kasus
fraktur biasanya keluhan utama yang dirasakan yaitu sakit yang sangat pada
daerah terjadinya fraktur.
1) Mulai timbulnya keluhan atau waktu terjadinya fraktur
2) Sifat keluhan, biasanya pasien mengeluh sakit yang sangat parah di
daerah lokasi fraktur dan bahkan pasien tidak dapat berjalan sendiri
3) Lokasi fraktur atau nyeri yang dirasakan pasien
4) Keluhan lain yang menyertai, apabila terjadi perdarahan hebat biasanya
pasien merasa pusing atau bahkan pingsan
5) Upaya yang dilakukan untuk mengatasi masalah kesehatan seperti
dibawa ke tukang pijit atau diberikan obat-obatan analgesic untuk
mengatasi nyeri sementara.
c) Riwayat Kesehatan
1) Riwayat penyakit sekarang
Klien biasanya nyeri pada bagian yang mengalami fraktur di area
humerus. Nyeri dimulai ketika fraktur terjadi, fraktur biasanya terjadi
karena trauma langsung seperti kecelakaan ataupun karena trauma tidak
langsung seperti osteoporosis.
2) Riwayat kesehatan dahulu
Menentukan penyebab fraktur dan memberi petunjuk tentang lamanya
tulang untuk menyambung. Penyakit tertentu seperti kanker tulang dan
penyakit paget’s menyebabkan fraktur patologis sulit untuk
menyambung. Diabetes dapat menghambat proses penyembuhan tulang
3) Riwayat kesehatan keluarga
35

Bukan merupakan penyakit yang degenerative. Penyakit keluarga yang


berhubungan dengan penyakit tulang merupakan salah satu faktor
predisposisi terjadinya fraktur seperti diabetes, osteoporosis dan kanker
tulang.
d) Alergi
Lakukan pengkajian adanya riwayat alergi terutama terhadap obat-obatan
atau makanan. Kemudian tanyakan pula reaksi yang ditimbulkan apabila
terjadi alergi, dan tindakan apa yang dilakukan pasien saat terjadi alergi.
e) Kebiasaan
Tanyakan kebiasaan pasien sehari-hari, serta tanyakan berapa lama kebiasaan
tersebut dilakukan.
1) Merokok (berapa batang /bungkus sehari)
2) Minum alkohol
3) Minum kopi
4) Minum obat-obatan
f) Pengkajian keperawatan
1) persepsi kesehatan & pemeliharaan kesehatan, meliputi kebiasaan hidup
klien seperti penggunaan obat steroid yang mengganggu metabolism
kalsium, mengkonsumsi alcohol yang bisa mengganggu keseimbangan
dan kebiasaan klien melakukan olahraga.
2) pola nutrisi/metabolik terdiri dari antropometri, biomedical sign, clinical
sign, diet pattern. Klien dengan fraktur harus mengkonsumsi nutrisi
melebih kebutuhan sehari-hari, seperti kalsium, zat besi, protein, vitamin
C dan lainnya untuk membantu proses penyembuhan.
3) pola eliminasi: BAB dan BAK (frekuensi, jumlah, warna, konsistensi,
bau, karakter)
4) pola aktivitas & latihan: Activity Daily Living,status oksigenasi, fungsi
kardiovaskuler, terapi oksigen. Timbulnya nyeri, keterbatasan gerak
menyebabkan semua bentuk kegiatan klien menjadi berkurang dan klien
membutuhkan bantuan orang lain.
36

5) Pola tidur & istirahat: durasi, gangguan tidur, keadaan bangun tidur.
Klien fraktur akan mengalami nyeri, keterbatasan gerak sehingga
menggangu waktu tidur dan istirahat klien.
6) Pola kognitif & perceptual: fungsi kognitif dan memori, fungsi dan
keadaan indera. Biasanya klien akan mengalami gangguan pada indra
peraba terutama pada bagian distal fraktur.
7) Pola persepsi diri: gambaran diri, identitas diri, harga diri, ideal diri, dan
peran diri. Dampak yang timbul pada klien yang mengalami fraktur yaitu
ketakutan akan kecacatan akibat fraktur, rasa cemas, rasa
ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal dan
pandangan akan dirinya yang salah.
8) Pola seksualitas & reproduksi : pola seksual dan fungsi reproduksi. Klien
tidak dapat melakukan hubungan seksual karena harus menjalani rawat
inap dan keterbatasan gerak serta nyeri yang dialami.
9) Pola peran & hubungan, klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan
masyarakat karena klien harus menjalani rawat inap.
10) Pola manajemen & koping stress. Mekanisme koping yang dialami klien
dapat menjadi tidak efektif akibat ketakutan klien akan kecacatan yang
dapat timbul pada dirinya.
11) Sistem nilai dan keyakinan : oleh pasien maupun masyarakat. Klien
fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah dengan baik
terutama terhadap frekuensi dan konsentrasi dalam beribadah akibat
nyeri dan keterbatasan gerak.
g) Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengetahui keadaan fraktur yang dialami
pasien secara lebih jelas. Pemeriksaan fisik meliputi primary survey dan
secondary survey.
1) Keadaan umum, tanda vital
2) Pengkajian Fisik (inspeksi, palpasi, perkusi, auskultasi): kepala, mata,
telinga, hidung, mulut, leher, dada, abdomen, urogenital, ekstremitas,
kulit dan kuku, dan keadaan lokal.
37

3) Pemeriksaan fraktur
(a) Look/inspeksi
(1) Bandingkan dengan bagian yang sehat
(2) Perhatikan posisi anggota gerak secara keseluruhan
(3) Adanya tanda-tanda anemia karena perdarahan
(4) Apakah terdapat luka pada kulit dan jaringan lunak untuk
membedakan fraktur tertutup atau terbuka
(5) Perhatikan adanya deformitas berupa angulasi, rotasi dan
pemendekan
(6) Lakukan survei pada seluruh tubuh apakah ada trauma pada
organ-organ lain
(7) Keadaan vaskularisasi
(b) Feel/palpasi
Palpasi dilakukan secara hati-hati oleh karena penderita biasanya
mengeluh sangat nyeri. Hal-hal yang perlu diperhatikan:
(1) Nyeri tekan
(2) Krepitasi
(3) Pemeriksaan vaskuler pada daerah distal trauma
(4) Pengukuran tungkai terutama pada tungkai bawah untuk
mengetahui adanya perbedaan panjang tungkai
(c) Move/gerakan
(1) Periksa pergerakan dengan mengajak penderita untuk
menggerakkan secara aktif dan pasif sendi proksimal dan distal
dari daerah yang mengalami trauma
(2) Pada penderita dengan fraktur, setiap gerakan akan menyebabkan
nyeri hebat sehingga uji pergerakan tidak boleh dilakukan secara
kasar, disamping itu juga dapat menyebabkan kerusakan pada
jaringan lunak seperti pembuluh darah dan saraf
(3) Move untuk melihat apakah ada krepitasi bila fraktur digerakkan,
tetapi ini bukan cara yang baik dan kurang halus. Krepitasi timbul
38

oleh pergeseran atau beradunya ujung-ujung tulangkortikal. Pada


tulang spongiosa atau tulang rawan epifisis tidak terasa krepitasi.
(4) Memeriksa seberapa jauh gangguan fungsi, gerakan-gerakan yang
tidak mampu dilakukan, range of motion dan kekuatan serta kita
melakukan pemeriksaan untuk melihat apakah ada gerakan tidak
normal atau tidak. Gerakan tidak normal merupakan gerakan yang
tidak terjadi pada sendi, misalnya pertengahan femur dapat
digerakkan. Ini adalah bukti paling penting adanya fraktur yang
membuktikan adanya putusnya kontinuitas tulang sesuaidefinisi
fraktur. Hal ini penting untuk membuat visum, misalnya bila tidak
ada fasilitas pemeriksaan rontgen.
h) Pemeriksaan penunjang
1) Foto rongten digunakan untuk mengetahui lokasi dan garis fraktur.
2) X ray digunakan untuk menentukan jenis fraktur dan mekanisme
terjadinya trauma. Umumnya menggunakan proyeksi anteroposterior dan
lateral.
3) CT scan dapat digunakan untuk menggambarkan anatomi tulang khusunya
pada cedera plafon.
4) MRI digunakan untuk mengkaji adanya cedera pada tulang rawan,
ligament dan tendon.
b. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri berhubungan dengan agens cedera fisik
2. Kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan trauma
3. Ketidakefektifan perfusi jaringan berhubungan dengan trauma
4. Resiko infeksi berhubungan dengan supresi respon inflamasi
5. Risiko syok berhubungan dengan perdarahan
6. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan musculoskeletal
7. Sindrom disuse berhubungan dengan efek pembedahan: resiko infeksi
8. Ansietas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan mengenai kondisi
fisik, prosedur pemberdahan
39

9. Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi terkait


prosedur operasi
39

c. Intervensi Keperawatan
No. Masalah Keperawatan Tujuan & Kriteria Hasil (NOC) Intervensi (NIC)
1. Nyeri akut (00132) NOC NIC
Kontrol nyeri (1605) Manajemen nyeri (1400)
Tingkat nyeri (2102) 1. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif
Kepuasan klien: manajemen nyeri (3016) (lokasi, karakteristik, durasi, dan intensitas nyeri)
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 2. Observasi adanya petunjuk nonverbal nyeri
selama 1x24 jam nyeri akut pada pasien 3. Pastikan analgesik dipantau dengan ketat
dapat berkurang, dengan kriteria hasil: 4. Jelaskan pada pasien terkait nyeri yang dirasakan
1. Mampu mengontrol nyeri (tahu Terapi relaksasi (6040)
penyebab nyeri, mampu menggunakan 5. Gambarkan rasional dan manfaat relaksasi seperti
tehnik nonfarmakologi untuk nafas dalam dan musik
mengurangi nyeri, mencari bantuan) 6. Dorong pasien mengambil posisi nyaman
2. Melaporkan bahwa nyeri berkurang Pemberian analgesik (2210)
dengan menggunakan manajemen nyeri 7. Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas, dan keparahan
3. Mampu mengenali nyeri (skala, nyeri sebelum mengobati pasien
intensitas, frekuensi dan tanda nyeri) 8. Cek adanya riwayat alergi obat
4. Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri 9. Cek perintah pengobatan meliputi obat, dosis, dan
berkurang frekuensi obat analgesik yang diresepkan

2. Kerusakan integritas jaringan NOC NIC


(00046) Intregitas jaringan: kulit dan membran Perawatan Luka (3660)
mukosa (1101) 1. angkat balutan dan plester
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 2. monitor karakteristik luka, draunase, ukuran dan
selama 3x24 jam diharapkan integritas bau
jaringan tetap terjaga dengan kriteria 3. bersihkan dengan normal saline
hasil: 4. pertahankan teknik balutan steril
1. Integritas kulit yang baik bisa 5. ganti balutan sesuai dengan jumlah eksudat dan
dipertahankan (sensasi, elastisitas, drainase
temperatur, hidrasi, perfusi) 6. anjurkan pasien dan keluarga mengenali tanda dan
40

2. Tidak terdapat nekrosis dan eritema gejala infeksi


3. Ketidakefektifan perfusi NOC NIC
jaringan perifer (00204) Perfusi jaringan: perifer (0470) Manajemen cairan (4120)
Status sirkulasi (0401) 1. Jaga intake dan output pasien
Tanda-tanda vital (0802) 2. Monitor status hidrasi (mukosa)
Integritas jaringan: kulit dan membran 3. Berikan cairan IV sesuai dengan suhu kamar
mukosa (1101) Pengecekan kulit (3590)
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 4. Periksa kulit terkait adanya kemerahan dan kehangatan
selama 2x24 jam, perfusi jaringan perifer 5. Amati warna, kehangatan, pulsasi pada ekstremitas
pasien kembali efektif dengan kriteria hasil: Monitor tanda-tanda vital (6680)
1. Kekuatan denyut nadi 6. Monitor tekanan darah, nadi, suhu, dan status
2. Suhu kulit ujung tangan dan kaki pernafasan dengan tepat
(hangat)
3. Tekanan darah sistol dan diastol (120/90
mmHg)
4. Suhu tubuh (36,50-37,50C)
5. Irama pernafasan reguler
6. Pernafasan (16-20 x/menit)
7. Nadi (60-100 x/menit)
8. Tidak sianosis
4. Hambatan mobilitas fisik NOC NIC
(00085) Koordinasi pergerakan (0212) Peningkatan Mekanika Tubuh (0140)
setelah dilakukan perwatan selama 1x24 1. Berikan informasi tentang kemungkinan posisi
jam mobilitas fisik pasien membaik dengan penyebab nyeri otot atau sendi
kriteria hasil: 2. Kolaborasi dengan fisioterapis dalam mengembangkan
1. Dapat mengontrol kontraksi peningkatan mekanika tubuh sesuai indiksi
pergerakkan Peningkatan Latihan: Latihan Kekuatan (0201)
2. Dapat melakukan kemantapan 4. Sediakan informasi mengenai fungi otot, latihan
pergerakkan fisiologis, dan konsekuensi dari penyalahgunaannya
3. Dapat menahan keseimbangan 5. Bantu mendapatkan sumber yang diperlukan untuk
pergerakkan terlibat dalam latihan otot progresif
41

6. Spesifikkan tingkat resistensi, jumlah pengulangan,


jumlah set, dan frekuensi dari sesi latihan menurut
lefel kebugaran dan ada atau tidaknya faktor resiko
7. Instruksikan untuk beristirahat sejenak setiap selesai
satu set jika dipelukan
8. Bantu klien untuk menyampaikan atau mempraktekan
pola gerakan yan dianjurkan tanpa beban terlebih
dahulu sampai gerakan yang benar sudah di pelajari
Terapi Latihan : Mobilitas Sendi (0224)
9. Tentukan batas pergerakan sendi dan efeknya terhadap
fungsi sendi
10. Kolaborasikan dengan ahli terapi fisik dalam
mengembangkan dan menerapan sebuah program
latihan
11. Dukung latihan ROM aktif, sesuai jadwal yang
teraktur dan terencana
12. Instruksikan pasien atau keluarga cara melakukan
latihan ROM pasif, dan aktif
13. Bantu pasien ntuk membuat jadwal ROM
14. Sediakan petujuk tertulis untuk melakukan latihan
5. Risiko syok hipovolemik NOC NIC
(00205) Pencegahan syok Pencegahan syok (4260)
Management syok 1. Monitor status sirkulasi (tekanan darah, warna kulit,
Setelah dilakukan tindakan keperawatan suhu kulit, denyut jantung, ritme, nadi perifer, dan
selama 1x24 jam, resiko infeksi pada pasien CRT)
dapat teratasi, dengan kriteria hasil: 2. Monitor tanda inadekuat oksigenasi jaringan
1. Irama jantung dalam batas yang
diharapkan 3. Monitor input dan output
2. Frekuensi nafas daam batas yang 4. Monitor tanda awal syok
diharapkan Kolaborasi pemberian cairan IV dengan tepat
3. Irama pernafasan dalam batas yang
42

diharapkan
6. Resiko infeksi (00004) NOC NIC
Keparahan infeksi (0703) Kontrol infeksi (6540)
Kontrol resiko (1902) 1. Bersihkan lingkungan dengan baik setelah dipakai
Setelah dilakukan tindakan keperawatan setiap pasien
selama 1x24 jam, tidak terjadi infeksi pada 2. Ganti perawatan peralatan setiap pasien sesuai SOP
pasien dengan kriteria hasil: rumah sakit
1. Luka tidak berbau busuk 3. Batasi jumlah pengunjung
2. Pasien tidak demam (suhu stabil) 4. Ajarkan cara mencuci tangan
3. Tidak terdapat nanah pada luka Perlindungan infeksi (6550)
4. Pasien dapat mengidentifikasi faktor 5. Monitor adanya tanda dan gejala infeksi
resiko 6. Berikan perawatan kulit yang tepat
5. Mengenali faktor resiko individu Manajemen nutrisi (1100)
7. Tentukan status gizi pasien
8. Identifikasi adanya alergi
Identifikasi resiko (6610)
9. Kaji ulang riwayat kesehatan masa lalu
10. Identifikasi strategi koping yang digunakan
7. Risiko Syndrom Disuse NOC NIC
(00040) Koordinasi pergerakan (0212) Peningkatan latihan peregangan ( 0202)
setelah dilakukan perwatan selama 1x24 1.Bantu mengembangkan rencana latihan yang
jam mobilitas fisik pasien membaik dengan menggabungkan urutan tertib gerakan peregangan
kriteria hasil: 2. Instruksikan untuk memulai latihan rutin pada
1. Dapat mengontrol kontraksi kelompok otot maupun sendi yang tidak kaku
pergerakkan 3. Instruksikan berlahan-lahan untuk mereganggan otot.
2. Dapat melakukan kemantapan 4. latihan ROM
pergerakkan Peningkatan latiham kekuatan (0201)
3. Dapat menahan keseimbangan 1. Instruksikan untuk latihan otot progresif
pergerakkan 2. Bantu mengembangkan program latihan kekuatan
sesuai dengan tingkat kebugaran otot
Terapi latihan: mobilitas sendi (0224)
43

1. Gunakan pakaian yang tidak ketat pada pasien


2. Dampingin pasien untuk mengoptimalkan posisi
tubuh untuk latihan pergerakan sendi baik aktif
maupun pasif
3. Tunjukkan cara melakukan ROM aktif maupun
pasif
4. Dampingi pasien untuk membuat jadwal latihan
ROM aktif
Nilai kemajuan yang dicapai

8. Ansietas (00146) NOC NIC


Tingkat Kecemasan (1211) Pengurangan kecemasan (5820)
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1. Gunakan pendekatan yang tenang dan menyakinkan
selama 1x 24 jam, ansietas pada pasien 2. Nyatakan dengan jelas harapan terhadap perilaku
dapat teratasi, dengan kriteria hasil: klien
1. Pasien dapat menyampaikan rasa takut 3. Jelaskan semua prosedur termasuk sesuai yang akan
secara lisan dirasakan yang mungkin akan alami klien selama
2. Tidak ada peningkatan tekanan darah prosedur
pasien 4. Berikan informasi faktual terkait diagnosis, perawatan
3. Tidak ada Peningkatan frekuensi nadi dan prognosis
pasien 5. Berada di sisi klien untuk meningkatkan rasa aman
4. Tidak ada Peningkatan frekuensi dan mengurangi ketakutan
pernafasan pasien 6. dorong verbalisasi perasaan, persepsi dan ketakutan
7. dukung penggunaan mekanisme koping yang sesuai
8. instruksikan klien untuk menggunakan teknik
relaksasi
9. kaji tanda verbal dan non verbal kecemasan
9. Defisiensi pengetahuan NOC NIC
(00126) Pengetahuan : Prosedur penanganan (1814) Pengajaran: Perioperatif (5610)
44

Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1. informasikan kepada pasien dan keluarga untuk
selama 1x24 jam, defisiensi pengetahuan jadwal tanggal, waktu dan lokasi operasi.
pada pasien dapat teratasi, dengan kriteria 2. Informasikan kepada pasien dan keluarga perkiraan
hasil: lama operasi
1. Pasien memahami prosedur 3. Kaji riwayat operasi sebelumnya, latar belakang,
penanganan, tujuan prosedur, langkah- budaya dan tingkat pengetahuan terkait operasi
langkah prosedur 4. Fasilitasi kecemasan pasien dan keluarga terkait
2. Klien mengetahui efek samping kecemasannya
penanganan 5. Berikan kesemapatan untuk pasien bertanya
3. Klien mengetahui kontraindikasi 6. Jelaskan prosedur persiapan pre-operasi (misalnya
penanganan jenis anestesi, diit yang sesuai, pengosongan saluran
cerna, pemeriksaan lab yang dibutuhkan, perisapan
area operasi, terapi intravena, pakaian operasi, ruang
tunggu keluarga, transportasi menuju ruang operasi
dan lain-lain.
7. Berikan umpan balik terhadap kepercayaan pasien
kepada semua pihak yang terlibat dalam proses
operasi
8. Diskusikan kemungkinan nyeri yang dirasakan
9. Intruksikan pasien mengenai teknik mobilisasi, batuk
dan nafas dalam
10. Evaluasi kemampuan pasien dan dokumentasi
Pengajaran: Pos operatif :
11. Jelaskan rencana tindakan post-operasi
12. Jelaskan hal-hal yang dapat terjadi ketika pasien
sudah menjalani operasi beserta penanganannya.
44

d. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi keperawatan dilakukan secara sistematis dan periodik setelah
pasien diberikan intervensi dengan berdasarkan pada berdasarkan pengkajian,
diagnosa keperawatan, intervensi keperawatan, dan implementasi keperawatan.
Evaluasi keperawatan ditulis dengan format SOAP, yaitu:
1. S (subjektif) yaitu respon pasien setelah dilakukan tindakan keperawatan.
2. O (objektif) yaitu data pasien yang diperoleh oleh perawat setelah dilakukan
tindakan keperawatan.
3. A (analisis) yaitu masalah keperawatan pada pasien apakah sudah teratasi,
teratasi sebagian, belum teratasi, atau timbul masalah keperawatan baru
4. P (planning) yaitu rencana intervensi dihentikan, dilanjutkan, ditambah, atau
dimodifikasi

e. Discharge Planning
Berdasarkan Nurafif dan Kusuma (2015) discharge planning untuk pasien
fraktur sebagai berikut:
1. Meningkatkan masukan cairan
2. Dianjurkan untuk diet lunak terlebih dahulu
3. Dianjurkan untuk istirahat yang adekuat
4. Kontrol sesuai jadwal
5. Mimun obat sesuai dengan yang diresepkan dan segera periksa jika ada
keluhan
6. Menjaga masukan nutrisi yang seimbang
7. Hindari trauma ulang.
45

DAFTAR PUSTAKA

Apley, A. Graham. 1995. Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur Sistem Apley. Jakarta:
Widya Medika.
Black, J.M, et al. 1995. Luckman and Sorensen’s Medikal Nursing : A Nursing
ProcessApproach, 4 th Edition. New York: W.B. Saunder Company.
Bulechek, G. M., H. K. Butcher, J. M. Dochteman, C. M. Wagner. 2015. Nursing
Interventions Classification (NIC). Edisi 6. Jakarta: EGC.
Bulechek, G. M., H. K. Butcher, J. M. Dochteman, C. M. Wagner. 2015. Nursing
Outcomes Classification (NOC). Edisi 6. Jakarta: EGC.
De Jong. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.
Egol, K.A., Koval, K.J., Zuckerman, J.D. 2010. Handbook of Fractures.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
Hoppenfield, Stanley. 2011. Treatment and Rehabilitation of Fractures. Jakarta:
EGC
Lake Cook Orthophedics. Tanpa tahun. Humerus Mid-ShaftFracture: s/p Open
Treatment with Internal Fixation: Post-Operative Rehabilitation Protocol.
http://lakecookortho.com/wp-
content/uploads/2012/11/Humerus_Fracture_Post_Repair.pdf [diakses 22
Oktober 2017]
Mansjoer, Arif, et al. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid II. Jakarta: Medika
Aesculapius FK UI.
Moorhead., Johnson., Maas., & Swanson. 2013. Nursing Outcomes Classification
(NOC). fifth Edition. USA: Mosby.
Morrison, M.J. 2003. Manajemen Luka alih bahasa Tyasmono A. F. Jakarta: EGC.
Muttaqin, A. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan.
Sistem Pernafasan. Jakarta : Salemba Medika.
Nanda Internasional 2015. Diagnosis Keperawatan 2015-2017. Oxford: Willey
Backwell.
Nurafif, A.H. dan K. Hardhi. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis dan NANDA NIC NOC. Edisi 1. Yogyakarta: Mediaction.
46

Pearce, Evelyn C. 2009. Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis. Jakarta:


Gramedia.
Rasjad, C. 2007. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Jakarta: Yarsif Watampone.
Reksoprodjo, S. 2009. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Jakarta: Binarupa Aksara
Publisher.
Sari. 2016. Prevalensi Fraktur Humerus di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah
Bulan April 2015 – Desember 2016. Universitas Udayana Denpasar
Smeltzer, S. C., dan Bare, B. G. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah
Brunner & Suddarth.Edisi 8 Volume 2. Jakarta: EGC.
Triastuti Reni, dkk. 2012. Asuhan Keperawatan pada Ny. S dengan Close Faktur
Humerus Sinistra di Ruang Instalasi Bedah Sentral Rs Ortopedi Prof. Dr. R.
Soeharso Surakarta. Karya Tulis Ilmiah Universitas Muhammadiyah
Surakarta

Anda mungkin juga menyukai