oleh
Ifka Wardaniyah, S. Kep
NIM 192311101084
i
LEMBAR PENGESAHAN
Jember, 2019
Mahasiswa
ii
LEMBAR PENGESAHAN
Hari, tanggal :
Tempat :
Jember, 2019
FAKULTAS KEPERAWATAN
Mengetahui,
PJMK,
Koordinator Profesi Ners,
Ns. Erti Ikhtiarini D. S.Kep., M.Kep. Sp.Kep.J Ns. Mulia Hakam, M.Kep.,Sp.Kep.MB
NIP. 19811028 200604 2 002 NIP. 19810319 201404 1 001
Menyetujui,
Wakil Dekan I
iii
DAFTAR ISI
iv
LAPORAN PENDAHULUAN
3
Gambar 3. Bagian ginjal manusia
a. Nefron
Masing - masing ginjal manusia terdiri dari sekitar satu juta nefron yang
masing - masing dari nefron tersebut memiliki tugas untuk membentuk urin.
Tiap nefron terdiri atas bagian yang melebar yang dinamakan korpuskula renalis
atau badan malphigi, tubulus kontortus proksimal, lengkung Henle serta tubulus
kontortus distal. Satu ginjal mengandung 1 sampai 4 juta nefron yang merupakan
unit pembentuk urin. Setiap nefron memiliki satu komponen vascular (kapilar)
dan satu komponen tubular. Ginjal tidak dapat membentuk nefron baru, oleh
sebab itu, pada trauma, penyakit ginjal, atau penuaan ginjal normal akan terjadi
penurunan jumlah nefron secara bertahap. Setelah usia 40 tahun, jumlah
nefron biasanya menurun setiap 10 tahun. Berkurangnya fungsi ini
seharusnya tidak mengancam jiwa karena adanya proses adaptif tubuh
terhadap penurunan fungsi faal ginjal (Sherwood, 2001).
4
Gambar 4. Nefron
b. Glomerulus
Glomerulus merupakan anyaman pembuluh darah kapiler yang merupakan
cabang dari arteriole aferen. Pada permukaan luar kapiler glomeruli menempel sel
berbentuk spesifik dan memiliki penjuluran-penjuluran yang disebut podosit (sel
kaki). Antara sel-sel endotel kapiler dan podosit membentuk struktur kontinyu
yang berlubang-lubang yang memisahkan darah yang terdapat dalam kapiler
dengan ruang kapsuler. Podosit berfungsi membantu filtrasi cairan darah menjadi
cairan ultra filtrat (urin primer). Cairan ultra filtrat ditampung di dalam ruang urin
yaitu ruang antara kapiler dengan dinding kapsula Bowman dan selanjutnya
mengalir menuju tubulus contortus proksimal. Komposisi kimia cairan ultra filtrat
hampir sama dengan plasma darah.
5
d. Lengkung Henle (loop of Henle)
Lengkung Henle berbentuk seperti huruf U terdiri atas segmen tipis dan
diikuti segmen tebal. Bagian tipis lengkung henle yang merupakan lanjutan
tubulus kontortus proksimal tersusun atas sel gepeng dan inti menonjol ke dalam
lumen. Cairan urin ketika berada dalam loop of Henle bersifat hipotonik, tetapi
setelah melewati loop of Henle urin menjadi bersifat hipertonik. Hal ini
dikarenakan bagian descenden loop of Henle sangat permeabel terhadap
pergerakan air, Na+, dan Cl-, sedangkan bagian ascenden tidak permeabel
terhadap air dan sangat aktif untuk transpor klorida bertanggung jawab terhadap
hipertonisitas cairan interstitial daerah medulla. Sebagai akibat kehilangan Na dan
Cl filtrat yang mencapai tubulus contortus distal bersifat hipertonik.
f. Tubulus Koligens
Urin berjalan dari tubulus kontortus distal ke tubulus koligens yang apabila
bersatu membentuk saluran lurus yang lebih besar yang disebut duktus papilaris
Bellini. Tubulus koligens dibatasi oleh epitel kubis. Peristiwa penting pada
tubulus koligens adalah mekanisme pemekatan atau pengenceran urin yang diatur
6
oleh hormon antidiuretik (ADH). Dinding tubulus distal dan tubulus koligens
sangat permeabel terhadap air bila terdapat ADH dan sebaliknya.
g. Tubulus Kolektivus
Tubulus kolektivus dari Bellini merupakan tersusun atas sel-sel epithelium
columnair, sitoplasma jernih, nukleus spheris.
8
direabsorpsi adalah protein, asam amino, glukosa, dan vitamin. Zat-zat
tersebut direabsorpsi secara aktif di tubulus proksimal, sehingga tidak ada
lagi di lengkung Henle (Aryulina, dkk., 2004).
Ansa Henle Reabsorpsi (25% dari filtrat glomeruli): klorida, natrium, ion
kalsium, air, dan urea
9
2. Konsep Penyakit
a. Definisi
Gagal ginjal kronik adalah kasus penurunan fungsi ginjal yang terjadi secara
akut (kambuhan) maupun kronis (menahun) (Syamsir, 2007). Penyakit ginjal
kronik terjadi apabila kedua ginjal sudah tidak mampu mempertahankan
lingkungan dalam yang cocok untuk kelangsungan hidup. Gagal ginjal kronis atau
penyakit ginjal tahap akhir merupakan gangguan fungsi ginjal yang menahun
bersifat progresif dan irreversible, dimana kemampuan tubuh gagal untuk
mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit,
menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah)
(Smeltzer & Bare, 2001).
11
3. Etiologi
Penyebab gagal ginjal kronik ada berbagai macam salah satunya disebabkan
oleh infeksi saluran kemih.
Infeksi Saluran Kemih (ISK) adalah suatu keadaan yang disebabkan karena
adanya invasi bakteri pada saluran kemih. Infeksi saluran kemih disebabkan oleh
bakteri Escherechia coli, Klebsiella pneumonia dan Pseudomonas
aeruginosa. Infeksi saluran kemih adalah keadaan yang ditandai dengan adanya
bakteri dalam urin dan pada pemeriksaan biakan mikroorganisme didapatkan
jumlah bakteri sebanyak 100.000 koloni per milliliter urin atau lebih yang dapat
disertai dengan gejala-gejala (simtomatik) atau tidak (asimtomatik). Menurut
Widayati (2004), pada pasien dengan simptom ISK, jumlah bakteri dikatakan
signifikan jika lebih besar dari 100.000 per milliliter urin. Penderita wanita adalah
yang paling banyak terinfeksi dan setiap wanita diperkirakan akan mengalami
gejala-gejala ISK sebanyak 5 kali dalam siklus hidupnya. Manakala pada
penderita pria, jarang dilaporkan tetapi jika berlaku bisa menyebabkan komplikasi
yang serius. Pada umumnya infeksi saluran kemih pada wanita terbatas pada
saluran kemih bagian bawah yaitu uretra dan kandung kemih, akan tetapi dapat
pula menyebar ke saluran kemih bagian atas sampai ke ginjal. Sebaliknya infeksi
yang terjadi pada saluran kemih bagian atas hampir selalu disertai dengan infeksi
saluran kemih bagian bawah (Junizaf, 1994).
Urin biasanya berada dalam keadaan yang steril. Infeksi berlaku apabila
bakteri atau mikroorganisme patogen yang lain masuk ke dalam urin dan mula
membiak. Lokasi infeksi biasanya bermula pada bukaan uretra, didapat dari
daerah anus dan bergerak naik ke atas melalui traktus urinari dan bisa menginfeksi
kandung kemih. Ini mungkin disebabkan oleh kebersihan diri yang kurang atau
hubungan seksual (Balentine, 2009). Jika bakteri sampai ke ginjal, ini mungkin
mengakibatkan infeksi ginjal atau pyelonephritis yang bisa mengakibatkan
komplikasi yang serius jika tidak dilakukan tindakan intervensi yang tepat.
Hampir semua penelitian yang dilakukan menyatakan bahwa penyebab utama
dari infeksi saluran kemih adalah bakteria patogen Escherichia Coli yang
diperkirakan 50% dari bakteriuria nosokomial. Sedangkan Klebsiella-
12
Enterobacter diperkirakan 3-13% dan Pseudomonas Aerogenosa, Serratia, Entero
Cocci, Staphylococcus dan jamur sebagai penyebab lain. E-Coli dan Klebsiella-
Enterobacter sering sebagai penyebab terjadinya infeksi pada pasien yang tidak
mendapat pengobatan antimikroba (Junizaf, 1994). Berikut adalah golongan yang
mempunyai risiko untuk mengidap ISK :
a. Penderita batu ginjal yaitu individu yang mengalami obstruksi saluran kemih.
b. Penderita yang mengalami gangguan pengosongan kandung kemih seperti
kerusakan pada syaraf spinalis dan wanita yang menopause.
c. Penderita imunosupresan seperti pada penderita diabetes dan HIV.
d. Pada penderita wanita yang mempunyai aktif seksualnya.
e. Penderita yang mengalami pembesaran prostat karena ini akan melambatkan
pengosongan kandung kemih sehingga infeksi terjadi.
f. Pemakaian kateter untuk pengosongan kandung kemih akan menyebabkan
infeksi saluran kemih 1-2%, hal ini karena pada waktu pemasangan kateter
tersebut kemungkinan kuman yang ada dalam uretra akan terdorong ke dalam
kandung kemih sehingga dapat menimbulkan infeksi.
5. Patofisiologi
Urin biasanya berada dalam keadaan steril. Infeksi berlaku apabila bakteri
masuk ke dalam urin dan mula bertumbuh. Proses infeksi ini biasanya bermula
pada pembukaan uretra di mana urin keluar dari tubuh dan masuk naik ke dalam
traktus urinari. Biasanya, dengan miksi ia dapat mengeluarkan bakteri yang ada
dari uretra tetapi jika bakteri yang ada terlalu banyak, proses tersebut tidak
membantu. Bakteri akan naik ke atas saluran kemih hingga kandung kemih dan
bertumbuh kembang di sini dan menjadi infeksi. Infeksi bisa berlanjut melalui
ureter hingga ke ginjal. Di ginjal, peradangan yang terjadi disebut pielonefritis
yang akan menjadi keadaan klinis yang serius jika tidak teratasi dengan tuntas
(Balentine, 2009).
Patogenesis infeksi saluran kemih sangat kompleks, karena tergantung dari
banyak faktor seperti faktor pejamu (host) dan faktor organisme penyebab.
Bakteri dalam urin dapat berasal dari ginjal, ureter, vesika urinaria atau dari
uretra. Beberapa faktor predisposisi ISK adalah obstruksi urin, kelainan struktur,
urolitiasis, benda asing, refluks atau konstipasi yang lama. Bakteri uropatogenik
yang melekat pada pada sel uroepitelial, dapat mempengaruhi kontraktilitas otot
polos dinding ureter, dan menyebabkan gangguan peristaltik ureter. Melekatnya
bakteri ke sel uroepitelial, dapat meningkatkan virulensi bakteri tersebut (Hanson,
1999).
Mukosa kandung kemih dilapisi oleh glycoprotein mucin layer yang berfungsi
sebagai anti bakteri. Rusaknya lapisan ini akibat dari mekanisme invasi bakteri
seperti pelepasan toksin dapat menyebabkan bakteri dapat melekat, membentuk
koloni pada permukaan mukosa, masuk menembus epitel dan selanjutnya terjadi
peradangan. Bakteri dari kandung kemih dapat naik ke ureter dan sampai ke ginjal
melalui lapisan tipis cairan (films of fluid), apalagi bila ada refluks vesikoureter
maupun refluks intrarenal. Bila hanya vesika urinaria yang terinfeksi, dapat
mengakibatkan iritasi dan spasme otot polos vesika urinaria, akibatnya rasa ingin
14
miksi terus menerus (urgency) atau miksi berulang kali (frequency), dan sakit
waktu miksi (dysuri). Mukosa vesika urinaria menjadi edema, meradang dan
perdarahan (hematuria). Infeksi ginjal dapat terjadi melalui collecting system.
Pelvis dan medula ginjal dapat rusak, baik akibat infeksi maupun oleh tekanan
urin akibat refluks berupa atrofi ginjal. Pada pielonefritis akut dapat ditemukan
fokus infeksi dalam parenkim ginjal, ginjal dapat membengkak, infiltrasi lekosit
polimorfonuklear dalam jaringan interstitial, akibatnya fungsi ginjal dapat
terganggu. Pada pielonefritis kronik akibat infeksi, adanya produk bakteri atau zat
mediator toksik yang dihasilkan oleh sel yang rusak, mengakibatkan parut ginjal
(renal scarring). (Hanson, 1999).Ginjal pun membentuk jaringan parut progresif,
berkontraksi dan tidak berfungsi.
Meskipun penyakit ginjal terus berlanjut, namun jumlah zat terlarut yang harus
diekskresi oleh ginjal untuk mempertahankan homeostasis tidaklah berubah,
kendati jumlah nefron yang bertugas melakukan fungsi tersebut sudah menurun
secara progresif. Dua adaptasi penting dilakukan oleh ginjal sebagai respon
terhadap ancaman ketidakseimbangan cairan dan elektrolit. Sisa nefron yang ada
mengalami hipertrofi dalam usahanya untuk melaksanakan seluruh beban kerja
ginjal. Terjadi peningkatan kecepatan filtrasi, beban zat terlarut dan reabsorpsi
tubulus dalam setiap nefron meskipun GFR untuk seluruh massa nefron yang
terdapat dalam ginjal turun di bawahnilai normal. Mekanisme adaptasi ini cukup
berhasil dalam mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit tubuh hingga
tingkat fungsi ginjal yang sangat rendah. Namun akhirnya, kalau sekitar 75%
massa nefron sudah hancur, maka kecepatan filtrasi dan beban zat terlarut bagi
setiap nefron demikian tinggi sehingga keseimbangan glomerulus-tubulus
(keseimbangan antara peningkatan filtrasi dan peningkatan reabsorpsi oleh
tubulus tidak dapat lagi dipertahankan. Fleksibilitas baik pada proses ekskresi
maupun proses konservasi zat terlarut dan air menjadi berkurang. Sedikit
perubahan pada makanan dapat mengubah keseimbangan yang rawan tersebut,
karena makin rendah GFR (yang berarti makin sedikit nefron yang ada) semakin
besar perubahan kecepatan ekskresi per nefron. Hilangnya kemampuan
memekatkan atau mengencerkan urine menyebabkan berat jenis urine tetap pada
15
nilai 1,010 atau 285 mOsm (yaitu sama dengan plasma) dan merupakan penyebab
gejala poliuria dan nokturia (Price dan Wilson, 2006).
6. Komplikasi
Komplikasi dari CKD menurut Smeltzer & Bare (2001) dan Suwitra (2006)
adalah sebagai berikut.
a. Hiperkalemi akibat penurunan sekresi asidosis metabolik, katabolisme, dan
masukan diit berlebih.
b. Prikarditis, efusi perikardial, dan tamponad jantung akibat retensi produk
sampah uremik dan dialisis yang tidak adekuat.
c. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem rennin
angiotensin aldosteron.
d. Anemia akibat penurunan eritropoitin.
e. Penyakit tulang serta klasifikasi metabolik akibat retensi fosfat, kadar kalsium
serum yang rendah, metabolisme vitamin D yang abnormal dan peningkatan
kadar alumunium akibat peningkatan nitrogen dan ion Anorganik.
f. Uremia akibat peningkatan kadar urea dalam tubuh.
g. Gagal jantung akibat peningkatan kerja jantung yang berlebian.
h. Malnutrisi karena anoreksia, mual, dan muntah.
i. Hiperparatiroid, Hiperkalemia, dan Hiperfosfatemia.
7. Pemeriksaan Penunjang
a. Urinalisis
Urinalisis adalah pemeriksaan mikroskopik urine. Prosedur ini memeriksa
sedimen setelah urine disentrifugasi. Urine yang normal hampir tidak
mengandung sedimen (Baradero, dkk, 2008). Pemeriksaan urin mencakup
evaluasi hal-hal berikut:
1) Observasi warna dan kejernihan urin
2) Pengkajian bau urin
3) Pengukuran keasaman dan berat jenis urin
16
4) Tes untuk memeriksa keberadaan protein, glukosa dan badan keton dalam
urin.
5) Pemeriksaan mikroskopik sedimen urin sesudah melakukan pemusingan
(centrifuging)untuk medeteksi sel darah merah (hematuria), sel darah
putih, silinder (silindruria), kristal (kristaluria), pus (piuria) dan bakteri
(bakteriuria).
Urinalisis dapat mendeteksi dan menunjang diagnosa penyakit ginjal dengan
menmukan protein urin, eritrosit dan leukosit dan denan menemukan berbagau
silinder dalam sedimen urin (Speicher, 2006). Hal-hal yang dapat ditemukan pada
pemeriksaan urinalisis pada gagal ginjal akut dan kronis, yaitu:
1) Volume: biasanya kurang dari 400 ml/24 jam (fase oliguri), yang
terjadisetelah ginjal rusak, pada gagal ginjal kronis juga dapat dihasilkan
urine tak ada (anuria).
2) Warna: pada gagal ginjal akut dan kronis urine berwarna kotor atau keruh,
sedimen kecoklatan menunjukkan adanya darah, Hb, mioglobin dan
porfirin. Pada penderita gagal ginjal kronis juga didapatkan kekeruhan
urine yang mungkin disebabkan oleh pus, bakteri, lemak, partikel koloid,
fosfat atau urat.
3) Berat jenis: pada penderita gagal ginjal akut berat jenis urine kurang dari
1,020 dapat menunjukkan penyakit ginjal, contoh glomerulonefritis,
pielonefritis dengan kehilangan kemampuan untuk memekatkan,
sedangkan pada gagal ginjal kronis adalah kurang dari 1,015 dan akan
menetap pada 1,010 yang menunjukkan kerusakan ginjal.
4) Osmolalitas: gagal ginjal akut dan kronis memiliki nilai intrepretasi yang
sama yaitu kurang dari 350 mOsm/kg menunjukkan kerusakan ginjal, dan
rasio urine/serum 1:1.
5) Klirens kreatinin:pada gagal ginjal akut dan kronik secara bermakna
menurun sebelum BUN dan kreatinin serum menunjukkan peningkatan
bermakna.
6) Natrium: pada gagal ginjal akut nilai atau jumlah dari natrium dapat
menurun sedangkan pada gagal ginjal kronis dapat menunjukkan jumlah
17
yang lebih dari 40 mEq/L karena ginjal tidak mampu mengabsorpsi
natrium dengan baik.
7) Protein: pada gagal ginjal akut jumlah atau nilai proteinuria pada derajat
rendah (1-2+) dan sedimen dapat menunjukkan infeksi atau nefritis
interstisial. Sedangkan pada gagal ginjal kronis derajat protenuria terletak
pada derajat tinngi (3-4+) menunjukkan kerusakan glomerulus bila
terdapat sedimen dan perubahan warna (Doenges, 2000).
c. Pemeriksaan EKG
Untuk melihat adanya hipertropi ventrikel kiri, tanda perikarditis, aritmia, dan
gangguan elektrolit (hiperkalemi, hipokalsemia).
d. Pemeriksaan USG
Menilai besar dan bentuk ginjal, tebal korteks ginjal, kepadatan parenkim
ginjal, anatomi system pelviokalises, ureter proksimal, kandung kemih serta
prostate.
e. Pemeriksaan Radiologi
Renogram, Intravenous Pyelography, Retrograde Pyelography, Renal
Aretriografi dan Venografi, CT Scan, MRI, Renal Biopsi, pemeriksaan rontgen
dada, pemeriksaan rontgen tulang, foto polos abdomen. Berberapa pemeriksaan
radiologi yang biasa digunanakan untuk mengetahui gangguan fungsi ginjal antara
lain:
1) Flat-Plat radiografy/Radiographic keadaan ginjal, ureter dan vesika
urinaria untuk mengidentifikasi bentuk, ukuran, posisi, dan kalsifikasi dari
ginjal. Pada gambaran ini akan terlihat bahwa ginjal mengecil yang
mungkin disebabkan karena adanya proses infeksi.
2) Computer Tomography (CT) Scan yang digunakan untuk melihat secara
jelas struktur anatomi ginjal yang penggunaanya dengan memakai kontras
atau tanpa kontras.
3) Intervenous Pyelography (IVP) digunakan untuk mengevaluasi keadaan
fungsi ginjal dengan memakai kontras. IVP biasa digunakan pada kasus
19
gangguan ginjal yang disebabkan oleh trauma, pembedahan, anomali
kongental, kelainan prostat, calculi ginjal, abses / batu ginjal, serta
obstruksi saluran kencing.
4) Aortorenal Angiography digunakan untuk mengetahui sistem arteri, vena,
dan kepiler pada ginjal dengan menggunakan kontras. Pemeriksaan ini
biasanya dilakukan pada kasus renal arteri stenosis, aneurisma ginjal,
arterovenous fistula, serta beberapa gangguan bentuk vaskuler.
5) Magnetic Resonance Imaging (MRI) digunakan untuk mengevaluasi kasus
yang disebabkan oleh obstruksi uropathi, ARF, proses infeksi pada ginjal
serta post transplantasi ginjal.
f. Biopsi Ginjal
Biopsi Ginjal untuk mengdiagnosa kelainann ginjal dengan mengambil
jaringan ginjal lalu dianalisa. Biasanya biopsi dilakukan pada kasus
golomerulonepritis, neprotik sindom, penyakit ginjal bawaan, ARF, dan
perencanaan transplantasi ginjal.
g. Gas darah arteri
Gas darah arteri memberikan determinasi objektif tentang oksigenasi darah
arteri, pertukaran gas alveoli, dan keseimbangan asam basa. Dalam
pemeriksaan ini diperlukan sampel darah arteri yang diambil dari arteri
femoralis, radialis, atau brakhialis dengan menggunakan spuit yang telah diberi
heparin untuk mencegah pembekuan darah sebelum dilakukan uji
laboratorium. Pada pemeriksaan gas darah arteri pada penderita gagal ginjal
akan ditemukan hasil yaitu asidosis metabolik dengan nilai PO2 normal,PCO2
rendah, pH rendah, dan defisit basa tinggi (Grace dan Borley, 2006).
1) Pencitraan radionuklida
Dapat menunjukkan kalikektasis, hidronefrosis, penyempitan dan lambatnya
pengisian dan pengosongan sebagai akibat dari GGA.
8. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan adalah untuk mempertahankan fungsi ginjal dan
homeostasis selama mungkin. Seluruh faktor yang berperan pada CKD dan faktor
20
yang dapat dipulihkan (misal obstruksi) diidentifikasi dan ditangani (Smeltzer &
Bare, 2001). Penatalaksanaan keperawatan pada pasien dengan CKD dibagi tiga
yaitu sebagai berikut.
a. Konservatif
Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal
secara progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin
azotemia, memperbaiki metabolisme secara optimal dan memelihara
keseimbangan cairan dan elektrolit (Sukandar, 2006).
1) Peranan diet
Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah atau
mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat merugikan
terutama gangguan keseimbangan negatif nitrogen.
2) Kebutuhan jumlah kalori
Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk CKD harus adekuat
dengan tujuan utama, yaitu mempertahankan keseimbangan positif
nitrogen, memelihara status nutrisi dan memelihara status gizi.
3) Kebutuhan cairan
Bila ureum serum >150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat supaya
jumlah diuresis mencapai 2 L per hari.
4) Kebutuhan elektrolit dan mineral
5) Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual tergantung
dari LFG dan penyakit ginjal dasar (underlying renal disease).
b. Terapi simtomatik
1) Asidosis metabolic
Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium
(hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik dapat
diberikan suplemen alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus segera
diberikan intravena bila pH ≤ 7,35 atau serum bikarbonat ≤ 20 mEq/L.
2) Anemia
21
Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah satu
pilihan terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian transfusi
darah harus hati-hati karena dapat menyebabkan kematian mendadak.
3) Keluhan gastrointestinal
Anoreksia, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang sering
dijumpai pada CKD. Keluhan gastrointestinal ini merupakan keluhan
utama (chief complaint) dari CKD. Keluhan gastrointestinal yang lain
adalah ulserasi mukosa mulai dari mulut sampai anus. Tindakan yang
harus dilakukan yaitu program terapi dialisis adekuat dan obat-obatan
simtomatik.
4) Kelainan kulit
Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan kulit.
5) Kelainan neuromuscular
Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi hemodialisis
reguler yang adekuat, medikamentosa atau operasi subtotal
paratiroidektomi.
6) Hipertensi
Pemberian obat-obatan anti hipertensi.
7) Kelainan sistem kardiovaskular
Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan kardiovaskular yang
diderita.
c. Terapi pengganti ginjal
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5,
yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa
hemodialisis, dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal (Suwitra, 2006).
1) Hemodialisis
Hemodialisis adalah suatu usaha untuk memperbaiki kelainan biokimiawi
darah yang terjadi akibat terganggunya fungsi ginjal, dilakukan dengan
menggunakan mesin hemodialisis. Hemodialisis merupakan salah satu
bentuk terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy/RRT) dan
hanya menggantikan sebagian dari fungsi ekskresi ginjal. Hemodialisis
22
dilakukan pada klien GGK stadium V dan pada pasien dengan AKI
(Acute Kidney Injury) yang memerlukan terapi pengganti ginjal.
2) Dialisis Peritoneal
Dialisisperitoneal merupakan alternatif hemodialisis pada penanganan
gagal ginjal akut dan kronis. Dialisis peritoneal dilakukan dengan
menginfuskan 1-2 L cairan dialisis ke dalam abdomen melalui
kateter. Dialisat tetap berada dalam abdomen untuk waktu yang
berbeda-beda (waktu tinggal) dan kemudian dikeluarkan melalui gaya
gravitasi ke dalam wadah yang terletak di bawah pasien. Setelah
drainase selesai, dialisat yang baru dimasukkan dan siklus berjalan
kembali. Pembuangan zat terlarut dicapai melalui difusi, sementara
ultrafiltrasi dicapai melalui perbedaan tekanan osmotik dan bukan dari
perbedaan tekanan hidrostatik seperti pada hemodialisis
3) Transplantasi Ginjal
Transplantasi ginjal merupakan cara pengobatan yang lebih disukai oleh
pasien gagal ginjal stadium akhir, meskipun sebagian pasien
mungkin tetap memilih dialisis di rumah mereka sendiri sesudah
mendapatkan latihan dari perawat khusus. Tindakan standar dalam
transplantasi ginjal dengan merotasikan ginjal donor dan
meletakannya pada fosa iliaka kontralateral resipien. Ureter
kemudian terletak di sebelah anterior pembuluh darah ginjal ke
dalam kemih resipien. Arteria renalis beranastomosis end-to-end pada
arteri iliaka interna, dan vena renalis beranastomosis dengan vena
iliaka komunis atau eksternal. Pertimbangan program transplantasi ginjal,
yaitu:
a) Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih seluruh
(100%) faal ginjal, sedangkan hemodialisis hanya mengambil alih 70-
80% faal ginjal alamiah
b) Kualitas hidup normal kembali
c) Masa hidup (survival rate) lebih lama
23
d) Komplikasi (biasanya dapat diantisipasi) terutama berhubungan
dengan obat imunosupresif untuk mencegah reaksi penolakan
e) Biaya lebih murah dan dapat dibatasi
24
9. Konsep Hemodialisis
25
stadium V dan pada pasien dengan AKI (Acute Kidney Injury) yang memerlukan
terapi pengganti ginjal. Menurut prosedur yang dilakukan HD dapat dibedakan
menjadi 3 yaitu: HD darurat/emergency, HD persiapan/preparative, dan HD
kronik/reguler (Daurgirdas et al., 2007). Frekuensi pasien melakukan hemodialisis
bervariasi dari 203 kali seminggu, dan lamanya mesin hemodialisis berjalan
antara 4-6 jam tergantung dari system dialysis yang digunakan dan keadaan
pasien.
Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan hemodialisis adalah suatu
terapi dari pengganti fungsi ginjal yaitu dengan membran yang selektif-permeabel
yang akan mengeluarkan sisa-sisa metabolisme atau racun dan zat tertentu yang
tidak terpakai oleh tubuh (seperti: natrium, air, kalium, hidrogen, urea, kreatin,
asam urat) dari peredaran darah manusia guna mempertahankan kehidupan dan
kesejahteraan pasien dengan penyakit ginjal. Suatu sistem dialisis yang terdiri
dari dua saluran, saluran untuk darah dan saluran untuk cairan dialisat. Bila
sistem ini bekerja, darah mengalir dari pasien melalui tabung plastik (jalur arteri),
melalui hollow fiberpada alat dialisis dan kembali ke pasien melalui jalur
vena. Cairan dialisis membentuk saluran kedua. Air kran difiltrasi dan
dihangatkan sampai sesuai dengan suhu tubuh kemudian dicampur dengan
konsentrat melalui perantaraan pompa pengatur, sehingga terbentuk dialisat
atau bak dialisis. Dialisat kemudian dimasukkan ke dalam alat dialisis, dan cairan
akan mengalir di luar serabut berongga sebelum keluar melalui drainase.
Keseimbangan antara darah dan dialisat terjadi di sepanjang membran dialisa
melalui proses difusi, osmosis, dan ultrafiltrasi. Komposisi cairan dialisis diatur
sedemikian rupa sehinggga mendekati komposisi ion darah normal, dan sedikit
dimodifikasi untuk memperbaiki gangguan cairan dan elektrolit yang menyertai
gagal ginjal .
Terdapat tiga prinsip yang mendasari kerja hemodialisis, yaitu difusi, osmosis,
dan ultrafiltrasi. Toksin dan zat limbah di dalam darah dikeluarkan melalui proses
difusi dengan cara bergerak dari darah, yang memiliki konsentrasi tinggi, ke
cairan dialisat dengan konsentrasi yang lebih rendah. Air yang berlebihan
dikeluarkan dalam tubuh melalui proses osmosis. Pengeluaran dapat dikendalikan
26
dengan menciptakan gradien tekanan; dengan kata lain, air bergerakdari daerah
dengan tekanan yang lebih tinggi (tubuh pasien) ke tekanan yang lebih rendah
(cairan dialisat). Gradien ini dapat ditingkatkan melalui penambahan tekanan
negatif yang dikenal sebagai ultrafiltrasi pada mesin dialisis. Tekanan negatif
diterapkan pada alat ini sebagai kekuatan pengisap pada membran dan
memfasilitasi pengeluaran air. Pasien tidak mampu mengekskresikan air, maka
kekuatan tekanan tersebut diperlukan untuk mengeluarkan cairan hingga tercapai
isovolemia (keseimbangan cairan) (Smeltzer dan Bare, 2002).
Menurut Le Mone (1996) hemodialisis menggunakan prinsip difusi dan
ultrafltrasi untuk membersihkan elektrolit dari produk tak berguna dan kelebihan
cairan tubuh. Hal ini dikarenakan sistem gijal buatan yang dilakukan oleh dialyzer
memungkinkan terjadinya pembuangan sisa metabolisme berupa ureum, creatini
dan asam urat, pembuangan cairan, mempertahankan sistem buffer tubuh, serta
mengembalikan kadar elektrolit tubuh (Lewis, 2000). Darah akan diambil dari
tubuh melalui jalan masuk vaskular dan memompa kemembran dari selulosa
asetat dan zat yang sama. Pengeluaran kira-kira sama dengankomposisi seperti
ekstra cairan selular normal. Dialisa menghangatkan suhu tubuhdan melewati
sepanjang ukuran dari membran lain. Semua larutan molekul lebih kecil dari sel
darah, plasma dan protein mampu bergerak bebas di membran melalui difusi.
Pada dialisis, molekul solut berdifusi lewat membran semipermeabel dengan cara
mengalir dari sisi cairan yang lebih pekat (konsentrasi solut lebih tinggi) ke cairan
yang lebih encer (konsentrasi solut lebih rendah). Cairan mengalir lewat membran
semipermeabel dengan cara osmosis atau ultrafiltrasi (aplikasi tekakan eksternal
pada membran). Membran semipermeabel adalah lembar tipis, berpori-pori
terbuat dari selulosa atau bahan sintetik. Ukuran pori-pori membran
memungkinkan difusi zat dengan berat molekul rendah seperti urea, kreatinin, dan
asam urat berdifusi. Molekul air juga sangat kecil dan bergerak bebas melalui
membran, tetapi kebanyakan protein plasma, bakteri, dan sel-sel darah terlalu
besar untuk melewati pori-pori membran. Perbedaan konsentrasi zat pada dua
kompartemen disebut gradien konsentrasi.
27
a. Indikasi
Price dan Wilson (2006) menerangkan bahwa tidak ada petunjuk yang jelas
berdasarkan kadar kreatinin darah untuk menentukan kapan pengobatan harus
dimulai. Kebanyakan ahli ginjal mengambil keputusan berdasarkan kesehatan
penderita yang terus diikuti dengan cermat sebagai penderita rawat jalan.
Pengobatan biasanya dimulai apabila penderita sudah tidak sanggup lagi
bekerja purna waktu, menderita neuropati perifer atau memperlihatkan gejala
klinis lainnya. Pengobatan biasanya juga dapat dimulai jika kadar kreatinin
serum diatas 6 mg/100 ml pada pria , 4 mg/100 ml pada wanita dan glomeluro
filtration rate (GFR) kurang dari 4 ml/menit. Penderita tidak boleh dibiarkan
terus menerus berbaring ditempat tidur atau sakit berat sampai kegiatan sehari-
hari tidak dilakukan lagi.
Beberapa indikasinya adalah sebagai berikut
1. Kegawatan ginjal
a. Klinis: keadaan uremik berat, overhidrasi
b. Oligouria (produksi urine <200 ml/12 jam)
c. Anuria (produksi urine <50 ml/12 jam)
d. Hiperkalemia (terutama jika terjadi perubahan ECG, biasanya K
>6,5mmol/l )
e. Asidosis berat ( pH <7,1 atau bikarbonat <12 meq/l)
f. Uremia ( BUN >150 mg/dL)
g. Ensefalopati uremikum
h. Neuropati/miopati uremikum
i. Perikarditis uremikum
j. Disnatremia berat (Na >160 atau <115 mmol/L)
k. Hipertermia
2. Keracunan akut (alkohol, obat-obatan) yang bisa melewati membran dialisis.
b. Kontraindikasi
Kontra indikasi dari hemodialisa adalah hipotensi yang tidak responsif
terhadap presor, penyakit stadium terminal, dan sindrom otak organik.
28
Sedangkan menurut PERNEFRI (2003) kontra indikasi dari hemodialisa adalah
tidak mungkin didapatkan akses vaskuler pada hemodialisa, akses vaskuler
sulit, instabilitas hemodinamik dan koagulasi. Kontra indikasi hemodialisa
yang lain diantaranya adalah penyakit alzheimer, demensia multi infark,
sindrom hepatorenal, sirosis hati lanjut dengan ensefalopati dan keganasan
lanjut (PERNEFRI, 2003).
c. Komplikasi
Komplikasi hemodialisa dapat disebabkan oleh karena penyakit yang
mendasari terjadinya penyakit ginjal kronik tersebut atau oleh karena proses
selama menjalani hemodialisa itu sendiri. Sedangkan komplikasi akut
hemodialisa adalah komplikasi yang terjadi selama proses hemodialisis
berlangsung (Rahardjo et al., 2006).
Himmelfarb (2004) menjelaskan komplikasi hemodialisa sebagai berikut :
1) Komplikasi yang sering terjadi
a) Hipotensi
Intradialytic Hypotension (IDH)adalah tekanan darah rendah yang
terjadi ketika proses hemodialisis sedang berlangsung. IDH terjadi
karena penyakit diabetes millitus, kardiomiopati, left ventricular
hypertrophy (LVH), status gizi kurang baik, albumin rendah,
kandungan Na dialysate rendah, target penarikan cairan atau target
ultrafiltrasi yang terlalu tinggi, berat badan kering terlalu rendahdan
usia diatas 65 tahun.
Komplikasi akut hemodialisa yang paling sering terjadi, insidensinya
mencapai 15-30%. Dapat disebabkan oleh karena penurunan volume
plasma, disfungsi otonom, vasodilatasi karena energi panas, obat anti
hipertensi.
b) Kram otot.
Terjadi pada 20% pasien hemodialisa, penyebabnya idiopatik namun
diduga karena kontraksi akut yang dipicu oleh peningkatan volume
ekstraseluler. Kram otot yang terjadi selama hemodialisis terjadi
29
karena targetultrafiltrasi yang tinggi dan kandungan Na dialysate yang
rendah
2) Komplikasi yang jarang terjadi
a) Dialysis disequilibrium syndrome (DDS)
Ditandai dengan mual dan muntah disertai dengan sakit kepala, sakit
dada, sakit punggung. Disebabkan karena perubahan yang mendadak
konsentrasi elektrolit dan pH di sistem saraf pusat.
b) Aritmia dan angina
Disebabkan oleh karena adanya perubahan dalam konsentrasi potasium,
hipotensi, penyakit jantung.
c) Perdarahan
Dipengaruhi oleh trombositopenia yang disebabkan oleh karena
sindrom uremia, efek samping penggunaan antikoagulan heparin yang
lama dan pemberian anti-hypertensive agents.
d) Hipertensi
Disebabkan oleh karena kelebihan cairan, obat-obat hipotensi,
kecemasan meningkat, dan DDS.
d. Komponen hemodialisa
1) Mesin Hemodialisa
Mesin hemodialisa memompa darah dari pasien ke dialyzer sebagai
membran semipermiabel dan memungkinkan terjadi proses difusi, osmosis
dan ultrafiltrasi karena terdapat cairan dialysate didalam dialyzer. Proses
dalam mesin hemodialisa merupakan proses yang komplek yang mencakup
kerja dari deteksi udara, kontrol alarm mesin dan monitor data proses
hemodialisa (Misra, 2005)
30
2) Ginjal Buatan (dialyzer)
31
dan bicarbonat yang bersifat basa. Kandungan dialysate dalam proses
hemodialisis menurut Reddy & Cheung ( 2009 )
Tabel 2. Kandungan dialysate
Elektrolit/zat yang lain Konsentrasi (mmol/l)
Sodium 135-145
Potasium 0-4
Calsium 1,5
Magnesium 0,25-0,5
Clorida 102-106
Bicarbonat 30-39
Dextrose 11
Acetat 2.0-4.0
Blood line untuk proses hemodialisa terdiri dari dua bagian yaitu bagian
arteri berwarna merah dan bagian vena berwarna biru. BL yang baik harus
mempunyai bagian pompa, sensor vena, air leakdetector (penangkap udara),
karet tempat injeksi, klem vena dan arteri dan bagian untuk heparin (Misra,
2005). Fungsi dari BL adalah menghubungkan dan mengalirkan darah
pasien ke dialyzer selama proses hemodialisis
5) Fistula Needles
32
Fistula Needles atau jarum fistula sering disebut sebagai ArteriVena Fistula
(AV Fistula) merupakan jarum yang ditusukkan ke tubuh pasien PGK yang
akan menjalani hemodialisa. Jarum fistula mempunyai dua warna yaitu
warna merah untuk bagian arteri dan biru untuk bagian vena
e. Prosedur
Hemodialisa mencakup shunting / pengalihan arus darah dari tubuh pasien ke
dialisator dimana terjadi difusi dan ultrafiltrasi dan kemudian kembali ke sirkulasi
pasien. Untuk pelaksanaan hemodialisa terjadi yang masuk ke darah pasien, suatu
mekanisme yang mentraspor darah ke dan dari dialisator, dan dialisator
(daerah dimana terjadi pertukaran larutan elektrolit dan produk-produk sisa
berlangsung). Pengobatan dialisis berlangsung 3 sampai 5 jam tergantung
kepada tipe dialisator yang dipakai dan jumlah waktu yang yang diperlukan demi
koreksi cairan,elektrolit, asam basa dan masalaah produk sisa yang ada. Dialise
untuk masalah yang akut harus dilaksanakan tiap hari atau lebih sering
berdasarkan kondisi pasien yang masih menjamin. Hemodialisa bagi orang
dengan gaggal ginjal kronik biasanya dikerjakan dua atau tiga kali seminggu.
(Long, 1996).
33
Kegiatan pemantauan selama pada tahap ini meliputi :
a. Mencatat berat badan
b. Mengetahui garis dasar gejala vital
c. Mengakaji kebanyakan cairan (udim pada pedis, periorbital, distensi
d. vena leher kelainan bunyi nafas)
e. Pengkajian kelancaran masuk ke vaskular dan gejala infeksi
Bahan darah diambil untuk pemeriksaan kadar elektrolit dalam serum
dan produk sisa dan status fisik pasien dikaji.Harus diberitahukan kepada pasien
bahwa ia akan mengalami sedikit sakit kepala dan mual pada waktu
pengobatan dan beberapa jam sesudahnya. Sakit kepalaadalah dampak dari
perubahan cairan, asam dan basa, dan keseimbangan produk sisa selama dialisis.
Gejala-gejala tersebut tidak boleh parah dan harus menjadi kurang setelah istirahat
dan tidur, analgetik ringan atau anti piretik. Hipertensi postural bisa juuga terjadi
dialisis, sifatnya transit dan disebabkan oleh kekurangan volume sekunder
dampak dari pergeseran.hipotensi menyebabkan pusing dan kelenger. Dapat
disembuhkan dengan istirahat beberapa jam. Pasien harus diyakinkan bahwa
semua gejala tersebut adalah akan mereda, seringnya dipantau pada waktu
sedang dilakukan prosedur dapat mengendalikan tingkat perubahan yang
terjadi demikianjuga gejala-gejala tersebut. (Long, 1996)
35
9. Pathways
Infeksi bakteri (Escherichia Coli, Klebsiella-Enterobacter, Obstruksi urin
Pseudomonas Aerogenosa, Serratia, Entero Cocci, urolitiasis
Staphylococcus)
Gagal ginjal kronik Bakteri melekat pada sel uroepitelial Sekresi eritropoetin turun
Sindrom uremia Urokom Rusaknya lapisan glycoprotein mucin layer Oksihemoglobin turun
tertimbun di
kulit
Gang. Keseimbangan Membentuk koloni, menembus epitel
asam-basa
Gatal pada kulit
inflamasi Ketidakefektifan perfusi Suplai O2 turun Intoleransi
Prod.asam naik jaringan perifer aktivitas
Bakteri di saluran kemih naik ke ginjal
Resiko kerusakan Payah jantung kiri
Nausea vomiting Bendungan atrium
integritas kulit
kiri naik
pielonefritis
COP turun
Ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari Parut ginjal progresif Tek.vena pulmonalis
keb. tubuh
Iritasi lambung Aliran darah ginjal Suplai O2 otak turun
Gagal ginjal kronik turun Kapiler paru naik
infeksi perdarahan
Syncope (kehilangan
edema RAA tunun kesadaran) Edema paru
gastritis Hematemesis (kelebihan volume cairan)
melena 36
39
(7) Pola sensori dan kognitif
Klien dengan gagal ginjal kronik cenderung mengalami
neuropati/mati rasa pada luka sehingga tidak peka terhadap adanya
trauma. Klien mampu melihat dan mendengar dengan baik/tidak,
klien mengalami disorientasi/tidak.
(8) Pola persepsi dan konsep diri
Adanya perubahan fungsi dan struktur tubuh akan menyebabkan
penderita mengalami gangguan pada gambaran diri. Lamanya
perawatan, banyaknya biaya perawatan dan pengobatan
menyebabkan pasien mengalami kecemasan dan gangguan peran
pada keluarga (self esteem).
(9) Pola seksual dan reproduksi
Angiopati dapat terjadi pada sistem pembuluh darah di organ
reproduksi sehingga menyebabkan gangguan potensi seksual,
gangguan kualitas maupun ereksi, serta memberi dampak pada
proses ejakulasi serta orgasme.
Gejala: Penurunan libido, amenorea, infertilitas.
(10) Pola mekanisme/penanggulangan stress dan koping
Lamanya waktu perawatan, perjalanan penyakit yang kronik,
faktor stress, perasaan tidak berdaya, tak ada harapan, tak ada
kekuatan, karena ketergantungan menyebabkan reaksi psikologis
yang negatif berupa marah, kecemasan, mudah tersinggung dan
lain-lain, dapat menyebabkan klien tidak mampu menggunakan
mekanisme koping yang konstruktif/adaptif.
Gejala: faktor stress, perasaan tak berdaya, tak ada harapan, tak
ada kekuatan
Tanda: menolak, ansietas, takut, marah, mudah terangsang,
perubahan kepribadian
40
(11) Pola tata nilai dan kepercayaan
Adanya perubahan status kesehatan dan penurunan fungsi tubuh
serta gagalg injal kronik dapat menghambat klien dalam
melaksanakan ibadah maupun mempengaruhi pola ibadah klien.
(12) Pemeriksan fisik
(a) Kepala: Edema muka terutama daerah orbita, mulut bau khas
ureum
(b) Dada: Pernafasan cepat dan dalam, nyeri dada
(c) Perut: Adanya edema anasarka (ascites)
(d) Ekstrimitas: Edema pada tungkai, spatisitas otot
(e) Kulit: Sianosis, akral dingin, turgor kulit menurun,
hiperpigmentasi akibat penumpukan urea, kering, dan
bersisik
(13) Pemeriksaan penunjang
Tujuan pemeriksaan laboratorium yaitu memastikan dan menentukan
derajat penurunan faal ginjal (LFG), identifikasi etiologi dan menentukan
perjalanan penyakit termasuk semua faktor pemburuk faal ginjal.
Pemeriksaan penunjang diagnosis harus selektif sesuai dengan tujuannya.
Menurut Suhardjono (2002), pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada
pasien penyakit ginjal kronik yaitu:
(1) Pemeriksaan laboratorium
Untuk menentukan ada tidaknya kegawatan, menentukan derajat PGK,
menentukan gangguan sistem, dan membantu menetapkan etiologi.
Blood ureum nitrogen (BUN) atau kreatinin meningkat, kalium
meningkat, magnesium meningkat, kalsium menurun, protein menurun.
(2) Pemeriksaan Elektrokardiogram (EKG)
Untuk melihat kemungkinan hipertrofi ventrikel kiri, tanda-tanda
perikarditis, aritmia, gangguan elektrolit (hiperkalemia, hipokalsemia).
Kemungkinan abnormal menunjukkan ketidakseimbangan elektrolit dan
asam/basa.
41
(3) Ultrasonografi (USG)
Untuk mencari adanya faktor yang reversibel seperti obstruksi oleh
karena batu atau massa tumor, dan untuk menilai apakah proses sudah
lanjut.
(4) Foto polos abdomen
Sebaiknya tanpa puasa, karena dehidrasi akan memperburuk fungsi
ginjal. Menilai bentuk dan besar ginjal dan apakah ada batu atau
obstruksi lain.
(5) Pieolografi Intra-Vena (PIV)
Dapat dilakukan dengan cara intravenous infusion pyelography, untuk
menilai sistem pelviokalises dan ureter.
(6) Pemeriksaan Pielografi Retrograd
Dilakukan bila dicurigai ada obstruksi yang reversibel.
(7) Pemeriksaan foto dada
Dapat terlihat tanda-tanda bendungan paru akibat kelebihan air (fluid
overload), efusi pleura, kardiomegali dan efusi perikadial.
(8) Pemeriksaan radiologi tulang
Mencari osteodistrofi dan kalsifikasi metastatik.
2) Diagnosa Keperawatan
a) Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan haluran urin dan
retensi cairan dan natrium
b) Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan hipermetabolisme, nausea, vomitting, intake kurang
c) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan keletihan, anemia, retensi produk
sampah dan prosedur dialisis.
d) Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan penurunan
suplai O2 dan nutrisi ke jaringan sekunder.
e) Kerusakan intregitas kulit berhubungan dengan akumulasi toksik
dalam kulit, gangguan turgor kulit atau uremia, pruritus.
42
3) Intervensi Keperawatan
No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Keperawatan Rasional
Keperawatan
1. Kelebihan Setelah dilakukan tindakan Fluid management
volume cairan keperawatan selama 1x24 1. Ukur masukan dan haluaran, 1. Menunjukkan status volume sirkulasi,
berhubungan diharapkan pasien menunjukkan catat keseimbangan positif terjadinya atau perbaikan perpindahan
dengan pengeluaran urin tepat dengan (pemasukan melebihi pengeluaran). cairan, dan respon terhadap terapi.
penurunan pemasukan Timbang berat badan tiap hari, dan Keseimbangan positif/peningkatan berat
haluaran urin, catat peningkatan lebih dari 0,5 badan sering menunjukkan retensi cairan
diet berlebih, NOC: kg/hari. lanjut. Mengetahui pemasukan dan
serta resistensi 1. Electrolit and acid base baance pengeluaran dari cairan.
cairan dan 2. Fluid balance 2. Awasi tekanan darah dan CVP. 2. Peningkatan tekanan darah biasanya
natrium Hydration Catat JVD/Distensi vena. berhubungan dengan kelebihan volume
sekunder Kriteria Hasil : cairan, mungkin tidak terjadi karena
terhadap 1. Terbebas dari edema, efusi, 3. Auskultasi paru, catat perpindahan cairan keluar area vaskuler.
penurunan anasarka penurunan/tak adanya bunyi nafas Distensi juguler eksternal dan vena
fungsi ginjal 2. Bunyi nafas bersih, tidak ada dan terjadinya bunyi tambahan abdominal sehubungan dengan kongesti
dyspneu/orthopneu (contoh krekels). vaskuler.
3. Terbebas dari distensi vena 3. Peningkatan kongesti pulmonal
jugularis, reflek hepatojugular 4. Awasi disritmia jantung. mengakibatkan konsolidasi, gangguan
(+) Auskultasi bunyi jantung, catat pertukaran gas, dan komplikasi, (contoh
4. Memelihara tekanan vena terjadinya irama gallop S3/S4. edema paru).
sentral, tekanan kapiler paru, 4. Mungkin disebabkan oleh GJK,
output jantung dan vital sign 5. Kaji derajat perifer atau edema penurunan perfusi arteri koroner, dan
alam batas normal dependen. ketidakseimbangan elektrolit.
5. Terbebas dari kelelahan, 5. Perpindahan cairan pada jaringan sebagai
kecemasan atau kebingungan akibat retensi natrium dan air, penurunan
3. Menjelaskan indikator kelebihan albumin, dan penurunan ADH.
43
cairan 6. Kolaborasikan dengan tim medis 6. Digunakan dengan perhatian untuk
pemberian diuretic (spironolakton mengontrol edema dan asites.
(Aldakton); furosemid (lasix). Menghambat efek aldosteron,
meningkatkan ekskresi air sambil
menghemat kalium, bila terapi
konservatif dengan tirah baring dan
pembatasan natrium tidak mengatasi.
47
DAFTAR PUSTAKA
Aryulina, D., dkk. 2004. Biologi 2 SMA dan MA untuk Kelas XI. Jakarta: Esis
Baradero, Mary. 2008. Klien Gangguan Ginjal. Jakarta: EGC.
Guyton dan Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi II. Jakarta: EGC
Johnson, M., et all. 2002. Nursing Outcomes Classification (NOC) Second
Edition. New Jersey: Upper Saddle River Mangunkusuma, Vidyapati W,
1988, Penanganan Cidera Mata dan Aspek Sosial Kebutaan, Universitas
Indonesia, Jakarta
Junizaf H. 1994. Infeksi Saluran Kemih Pada Wanita. Jakarta: Balai Pustaka.
Junqueira, L.C, Carneiro, J. 2007. Histologi Dasar. Edisi 10. Jakarta : EGC
Grace & Borley.2007.At a Glance Ilmu Bedah. edisi ketiga.Jakarta: Erlangga.
McCloskey, Joanne C. dkk. 2004. IOWA Intervention Project Nursing
Intervention Classifcation (NIC), Second edition. USA: Mosby.
Moore, K.L., & Agur, A.M.R. 2002. Anatomi Klinis Dasar. Jakarta: Hipokrates
NANDA. 2012. Diagnosis Keperawatan NANDA: Definisi dan Klasifikasi
National Kidney Foundation. 2002. Clinical Practice Guidelines for
Chronic Kideny Disease: Evaluation, Classification and Stratification.
New York: National Kidney Foundation, Inc.
National Kidney Foundation, 2002. Clinical Practice Guidelines For
ChronicKidney Disease: Evaluation, Classification and Stratification. In
New York:National Kidney Foundation, Inc., p. 4
Purnomo, Basuki B. 2003. Dasar-Dasar Urologi. Malang : Fakultas Kedokteran
Universitas Brawijaya
Price, S. A., dan Wilson, L. M. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Edisi 6 Volume 2. Jakarta: EGC.
Sloane, Ethel. 2003. Anatomi dan fisiologi untuk pemula. Jakarta: EGC
Sherwood,Lauralee. 2001. Fisiologi manusia : dari sel ke sistem . Jakarta : EGC
Smeltzer, S. C., dan Bare, B. G. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah
Brunner & Suddarth. Edisi 8 Volume 2. Jakarta: EGC.
Sudoyo A, et al. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: FKUI
48
Suwitra, K. 2006. Buku Ajar Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
Syamsir, Alam dkk. 2007. Gagal Ginjal. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
49