Anda di halaman 1dari 53

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN CHRONIC KIDNEY


DISEASE DENGAN ETIOLOGI INFEKSI SALURAN KEMIH DI RUANG
POLI HEMODIALISA RUMAH SAKIT DAERAH
dr. SOEBANDI JEMBER

oleh
Ifka Wardaniyah, S. Kep
NIM 192311101084

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
JEMBER
2019

i
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Pendahuluan Asuhan Keperawatan pada Pasien Dengan Chronic Kidney


Diseases dengan Etiologi Infeksi Saluran Kemih di Ruang Poli Hemodialisa
Rumah Sakit Daerah Dr. Soebandi Jember telah disetujui dan disahkan pada :
Hari, Tanggal :
Tempat : Ruang Poli Hemodialisa RSD dr. Soebandi

Jember, 2019
Mahasiswa

Ifka Wardaniyah, S.Kep.


NIM 192311101084

Pembimbing Akademik Pembimbing Klinik


Fakultas Keperawatan Ruang Poli Hemodialisa
Universitas Jember RSD dr. Soebandi Jember

Ns. Jon Hafan S., M.Kep.,Sp.Kep. Ns. Muhammad Toha, S.Kep


NIP. 19840102 201504 1 002 NIP. 19670902 199302 1 001

ii
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan asuhan keperawatan disusun oleh:

Nama : Ifka Wardaniyah, S. Kep


NIM : 192311101084

Telah diperiksa dan disahkan oleh pembimbing pada:

Hari, tanggal :
Tempat :

Jember, 2019

FAKULTAS KEPERAWATAN

Mengetahui,
PJMK,
Koordinator Profesi Ners,

Ns. Erti Ikhtiarini D. S.Kep., M.Kep. Sp.Kep.J Ns. Mulia Hakam, M.Kep.,Sp.Kep.MB
NIP. 19811028 200604 2 002 NIP. 19810319 201404 1 001

Menyetujui,
Wakil Dekan I

Ns.Anisah Ardiana, M. Kep.,Ph.D


NIP. 19800417 200604 2 002

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ........................................................................................... i


LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................. ii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... iv
LAPORAN PENDAHULUAN ................................ Error! Bookmark not defined.
A. Konsep Teori ............................................................ Error! Bookmark not defined.
1. Anatomi dan Fisiologi .......................................... Error! Bookmark not defined.
2. Definisi .................................................................. Error! Bookmark not defined.
3. Epidemiologi ......................................................... Error! Bookmark not defined.
4. Etiologi .................................................................. Error! Bookmark not defined.
5. Klasifikasi ............................................................. Error! Bookmark not defined.
6. Patofisiologi/Patologi ............................................ Error! Bookmark not defined.
7. Manifestasi Klinis ................................................. Error! Bookmark not defined.
8. Pemeriksaan Penunjang ........................................ Error! Bookmark not defined.
9. Penatalaksanaan Farmakologi dan Non FarmakologiError! Bookmark not defined.
B. Clinical Pathway ...................................................... Error! Bookmark not defined.
C. Konsep Asuhan Keperawatan................................. Error! Bookmark not defined.
DAFTAR PUSTAKA ............................................... Error! Bookmark not defined.

iv
LAPORAN PENDAHULUAN

A. Konsep Anatomi dan Fisiologi


1. Anatomi Sistem Perkemihan
a. Ginjal
Saluran kemih terdiri dari ginjal yang terus menerus menghasilkan urin, dan
berbagai saluran reservoir yang dibutuhkan untuk membawa urin keluar tubuh.
Ginjal merupakan organ berbentuk seperti kacang yang terletak di kedua sisi
columna vertebralis (Price dan Wilson, 2006). Kedua ginjal terletak
retroperitoneal pada dinding abdomen, masing – masing di sisi kanan dan sisi kiri
columna vertebralis setinggi vertebra T12 sampai vertebra L3. Ginjal kanan
terletak sedikit lebih rendah daripada ginjal kiri karena besarnya lobus hepatis
dekstra. Masing – masing ginjal memiliki facies anterior dan facies posterior,
margo medialis dan margo lateralis, ekstremitas superior dan ekstremitas inferior
(Moore dan Agur, 2002). Pada orang dewasa, panjang ginjal adalah sekitar 12 cm
sampai 13 cm , lebarnya 6 cm, tebalnya 2,5 cm dan beratnya sekitar 150 g.
Ukurannya tidak berbeda menurut bentuk dan ukuran tubuh. Perbedaan panjang
dari kutub ke kutub kedua ginjal yang lebih dari 1,5 cm atau perubahan bentuk
merupakan tanda yang penting , karena sebagian besar manifestasi penyakit ginjal
adalah perubahan struktur dari ginjal tersebut ( Price dan Wilson, 2006 ).
Ginjal dibungkus oleh jaringan fibrosa tipis dan mengkilat yang disebut
kapsula fibrosa ginjal dan di luar kapsul ini terdapat jaringan lemak perineal. Di
sebelah kranial ginjal terdapat kelenjar anak ginjal atau glandula adrenal/
suprarenal yang berwarna kuning. Kelenjar adrenal bersama ginjal dan jaringan
lemak perineal dibungkus oleh fascia gerota. Di luar fascia gerota terdapat
jaringan lemak retroperitoneal atau disebut jaringan lemak pararenal. Di bagian
posterior, ginjal dilindungi oleh otot-otot punggung yang tebal serta costae ke XI
dan XII, sedangkan di bagian anterior dilindungi oleh organ-organ intraperitoneal
(Purnomo, 2003).
Secara anatomis ginjal terbagi menjadi 2 bagian korteks dan medula ginjal
(Junquiera dan Carneiro , 2002). Di dalam korteks terdapat berjuta – juta nefron
1
sedangkan di dalam medula banyak terdapat duktuli ginjal. Nefron adalah unit
fungsional terkecil dari ginjal yang terdiri atas tubulus kontortus proksimal,
tubulus kontortus distal, dan tubulus koligentes (Purnomo, 2003). Setiap ginjal
memiliki sisi medial cekung, yaitu hilus tempat masuknya syaraf, masuk dan
keluarnya pembuluh darah dan pembuluh limfe, serta keluarnya ureter dan
memiliki permukaan lateral yang cembung (Junquiera dan Carneiro, 2002).
Sistem pelvikalises ginjal terdiri atas kaliks minor, infundibulum, kaliks major,
dan pielum/ pelvis renalis (Junquiera dan Carneiro , 2002). Ginjal mendapatkan
aliran darah dari arteri renalis yang merupakan cabang langsung dari aorta
abdominalis, sedangkan darah vena dialirkan melalui vena renalis yang bermuara
ke dalam vena kava inferior. Sistem arteri ginjal adalah end arteries yaitu arteri
yang tidak mempunyai anastomosis dengan cabang – cabang dari arteri lain,
sehingga jika terdapat kerusakan salah satu cabang arteri ini, berakibat timbulnya
iskemia/ nekrosis pada daerah yang dilayaninya (Purnomo, 2003)

Gambar 1 . Anatomi ginjal manusia


Arteri renalis memasuki ginjal melalui hilum dan kemudian bercabang-
cabang secara progresif membentuk arteri interlobaris, arteri arkuarta, arteri
2
interlobularis, dan arteriol aferen yang menuju ke kapiler glomerulus tempat
sejumlah besar cairan dan zat terlarut difiltrasi untuk pembentukan urin. Ujung
distal kapiler pada setiap glomerulus bergabung untuk membentuk arteriol eferen,
yang menuju jaringan kapiler kedua, yaitu kapiler peritubulus yang mengelilingi
tubulus ginjal. Kapiler peritubulus mengosongkan isinya ke dalam pembuluh
sistem vena, yang berjalan secara paralel dengan pembuluh arteriol secara
progresif untuk membentuk vena interlobularis, vena arkuarta, vena interlobaris,
dan vena renal is, yang meninggalkan ginjal di samping arteri renalis dan ureter
(Guyton dan Hall , 2008 ).

Gambar 2. Sistem pendarahan ginjal manusia

3
Gambar 3. Bagian ginjal manusia

a. Nefron
Masing - masing ginjal manusia terdiri dari sekitar satu juta nefron yang
masing - masing dari nefron tersebut memiliki tugas untuk membentuk urin.
Tiap nefron terdiri atas bagian yang melebar yang dinamakan korpuskula renalis
atau badan malphigi, tubulus kontortus proksimal, lengkung Henle serta tubulus
kontortus distal. Satu ginjal mengandung 1 sampai 4 juta nefron yang merupakan
unit pembentuk urin. Setiap nefron memiliki satu komponen vascular (kapilar)
dan satu komponen tubular. Ginjal tidak dapat membentuk nefron baru, oleh
sebab itu, pada trauma, penyakit ginjal, atau penuaan ginjal normal akan terjadi
penurunan jumlah nefron secara bertahap. Setelah usia 40 tahun, jumlah
nefron biasanya menurun setiap 10 tahun. Berkurangnya fungsi ini
seharusnya tidak mengancam jiwa karena adanya proses adaptif tubuh
terhadap penurunan fungsi faal ginjal (Sherwood, 2001).

4
Gambar 4. Nefron
b. Glomerulus
Glomerulus merupakan anyaman pembuluh darah kapiler yang merupakan
cabang dari arteriole aferen. Pada permukaan luar kapiler glomeruli menempel sel
berbentuk spesifik dan memiliki penjuluran-penjuluran yang disebut podosit (sel
kaki). Antara sel-sel endotel kapiler dan podosit membentuk struktur kontinyu
yang berlubang-lubang yang memisahkan darah yang terdapat dalam kapiler
dengan ruang kapsuler. Podosit berfungsi membantu filtrasi cairan darah menjadi
cairan ultra filtrat (urin primer). Cairan ultra filtrat ditampung di dalam ruang urin
yaitu ruang antara kapiler dengan dinding kapsula Bowman dan selanjutnya
mengalir menuju tubulus contortus proksimal. Komposisi kimia cairan ultra filtrat
hampir sama dengan plasma darah.

c. Tubulus Kontortus Proksimal


Tubulus kontortus proksimal kebanyakan terdapat di bagian korteks ginjal.
Mukosa tubulus kontortus proksimal tersusun atas sel-sel epitel kubus selapis,
apeks sel menghadap lumen tubulus dan memiliki banyak mikrovili (brush
border). Sel epitel tubulus contortus proksimal berfungsi untuk reabsorpsi.

5
d. Lengkung Henle (loop of Henle)
Lengkung Henle berbentuk seperti huruf U terdiri atas segmen tipis dan
diikuti segmen tebal. Bagian tipis lengkung henle yang merupakan lanjutan
tubulus kontortus proksimal tersusun atas sel gepeng dan inti menonjol ke dalam
lumen. Cairan urin ketika berada dalam loop of Henle bersifat hipotonik, tetapi
setelah melewati loop of Henle urin menjadi bersifat hipertonik. Hal ini
dikarenakan bagian descenden loop of Henle sangat permeabel terhadap
pergerakan air, Na+, dan Cl-, sedangkan bagian ascenden tidak permeabel
terhadap air dan sangat aktif untuk transpor klorida bertanggung jawab terhadap
hipertonisitas cairan interstitial daerah medulla. Sebagai akibat kehilangan Na dan
Cl filtrat yang mencapai tubulus contortus distal bersifat hipertonik.

e. Tubulus Kontortus Distalis


Tubulus contortus distalis tersusun atas sel-sel epithelium berbentuk kuboid,
sitoplasma pucat, nuklei tampak lebih banyak, tidak ada brush border. ADH
disekresikan oleh kelenjar hipofise posterior. Apabila masukan air tinggi, maka
sekresi ADH dihambat sehingga dinding tubulus contortus distal dan tubulus
koligen tidak permeabel terhadap air akibatnya air tidak direabsioprsi dan urin
menjadi hipotonik dalam jumlah besar akan tetapi ion-ion untuk keseimbangan
osmotic tetap ditahan. Sebaliknya apabila air minum sedikit atau kehilangan air
yang banyak karena perkeringatan tubulus contortus distal permeabel terhadap air
dan air direabsorpsi sehingga urin hipertonik. Hormon aldosteron yang
disekresikan oleh korteks adrenal berperan meningkatkan reabsorpsi ion Na.
Sebaliknya mempermudah ekskresi ion kalium dan hidrogen. Penyakit Addison
merupakan akibat dari kehilangan natrium secara berlebihan dalam urin.

f. Tubulus Koligens
Urin berjalan dari tubulus kontortus distal ke tubulus koligens yang apabila
bersatu membentuk saluran lurus yang lebih besar yang disebut duktus papilaris
Bellini. Tubulus koligens dibatasi oleh epitel kubis. Peristiwa penting pada
tubulus koligens adalah mekanisme pemekatan atau pengenceran urin yang diatur
6
oleh hormon antidiuretik (ADH). Dinding tubulus distal dan tubulus koligens
sangat permeabel terhadap air bila terdapat ADH dan sebaliknya.

g. Tubulus Kolektivus
Tubulus kolektivus dari Bellini merupakan tersusun atas sel-sel epithelium
columnair, sitoplasma jernih, nukleus spheris.

2. Sistem Peredaran Darah pada Ginjal


Ginjal mendapatkan suplai darah dari aorta abdominalis yang bercabang
menjadi arteri renalis kemudian menuju arteri interlobaris yang merupakan cabang
arteri ranalis posterior dan anterior yang mengalir diantara piramida-piramida
ginjal kemudian mengalir menuju arteri arcuata, pertemuan antara korteks dan
medulla kemudian menuju arteri interlobularis yang melewati korteks yang
kemudian menuju arteriole aferen dan lanjut menuju glomerulus untuk kemudian
diteruskan menuju arteriole eferen dan menuju kapiler kemudian menuju juxta
glomerulare lanjut menuju peritubuler dan selanjutnya menuju vena interlobularis
dan melewati vena arcuata kearah vena interlobularis yang akhirnya menuju vena
renalis, vena ini meninggalkan ginjal untuk bersatu dengan vena kava inferior.

3. Proses Pembentukan Urin


Urin berasal dari darah yang dibawa arteri renalis masuk kedalam ginjal.
Darah ini terdiri dari bagian yang padat yaitu sel darah dan bagian plasma darah,
kemudian akan disaring dalam tiga tahap yaitu filtrasi, reabsorsi, dan ekresi
(Syaefudin, 2006).
1) Proses filtrasi
Pada proses ini terjadi di glomerulus, proses ini terjadi karena tekanan
permukaan aferen lebih besar daripada permukaan eferen maka terjadi
penyerapan darah. Sedangkan sebagian yang tersaring adalah bagian
cairan darah kecuali protein. Cairan yang disaring disimpan dalam simpai
bowman yang terdiri dari glukosa, air, natrium, klorida sulfat, bikarbonat
dan lain-lain yang diteruskan ke tubulus ginjal.
7
2) Proses reabsorsi
Pada proses ini terjadi penyerapan kembali sebagian besar dari glukosa,
natrium, klorida, fosfat, dan ion bikarbonat. Prosesnya terjadi secara pasif
yang dikenal dengan proses obligator. Reabsorsi terjadi pada tubulus
proksimal. Sedangkan pada tubulus distal terjadi penyerapan kembali
natrium dan ion bikarbonat bila diperlukan. Penyerapannya terjadi secara
aktif, dikenal dengan reabsorsi fakultatif dan sisanya dialirkan pada papila
renalis.
Reabsorpsi zat tertentu dapat terjadi secara transpor aktif dan difusi.
Sebagai contoh pada sisi tubulus yang berdekatan dengan lumen tubulus
renalis terjadi difusi ion Na+, sedangkan pada sisi sel tubulus yang
berdekatan dengan kapiler terjadi transpor aktif ion Na+. Adanya transpor
aktif Na+ di sel tubulus ke kapiler menyebabkan menurunnya kadar ion
Na+ di sel tubulus renalis, sehingga difusi Na+ terjadi dari lumen sel
tubulus renalis. Pada umumnya zat yang penting bagi tubuh direabsorpsi
secara transpor aktif. Zat-zat penting bagi tubuh yang secara aktif

8
direabsorpsi adalah protein, asam amino, glukosa, dan vitamin. Zat-zat
tersebut direabsorpsi secara aktif di tubulus proksimal, sehingga tidak ada
lagi di lengkung Henle (Aryulina, dkk., 2004).

Gambar 3. Mekanisme reabsorpsi air dalam ginjal


3) Proses ekresi atau augmentasi
Sisa dari penyerapan urin yang terjadi pada tubulus akan diteruskan ke
piala ginjal selanjutnya diteruskan ke ureter dan masuk ke fesika urinaria.
Tabel 1. Bagian dan Fungsi Utama Nefron
Bagian dan fungsi utama nefron
Kapsula Bowman Filtrasi: ultrafiltrasi dan plasma masuk ke dalam kapsula
Bowman dan mengalir ke tubulus kontortus proksimal
Tubulus kontortus Obligatory rearbsorption(66% dari filtrat glomeruli):
proksimal natrium, kalium, klorida, bikarbonat, dan elektrolit. Lainnya:
glukosa, asam amino, air, dan urea. Sekresi: ion hidrogen,
obat, dan toksin

Ansa Henle Reabsorpsi (25% dari filtrat glomeruli): klorida, natrium, ion
kalsium, air, dan urea

Tubulus kontortus Facilitatory rearbsorption (9% dari filtrat glomeruli):


distal natrium, klorida, bikarbonat, air, dan urea. Sekresi: hidrogen,
kalium, dan ammonia
Duktus koligentes Facilitatory rearbsorption: air dan urea
Sumber: Syaefudin (2006)

9
2. Konsep Penyakit
a. Definisi
Gagal ginjal kronik adalah kasus penurunan fungsi ginjal yang terjadi secara
akut (kambuhan) maupun kronis (menahun) (Syamsir, 2007). Penyakit ginjal
kronik terjadi apabila kedua ginjal sudah tidak mampu mempertahankan
lingkungan dalam yang cocok untuk kelangsungan hidup. Gagal ginjal kronis atau
penyakit ginjal tahap akhir merupakan gangguan fungsi ginjal yang menahun
bersifat progresif dan irreversible, dimana kemampuan tubuh gagal untuk
mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit,
menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah)
(Smeltzer & Bare, 2001).

National Kidney Foundation-Kidney Outcome Quality Initiative (NKF-


K/DOQI) menyatakan bahwa pada CKD terjadi kerusakan ginjal selama 3 bulan
atau lebih, ditandai oleh adanya abnormalitas struktur atau fungsi ginjal, dengan
atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus, yang dimanifestasikan oleh
abnormalitas patologis atau tanda kerusakan ginjal, meliputi abnormalitas
komposisi darah atau urin, atau abnormalitas hasil tes; Laju Filtrasi Glomerulus
(LFG) < 60 ml/mnt/1.73 m2 selama 3 bulan atau lebih, dengan/tanpa kerusakan
ginjal (National Kidney Foundation, 2002).
CKD adalah kerusakan faal ginjal yang hampir selalu tidak dapat pulih, dan
dapat disebabkan berbagai hal. Istilah uremia sendiri telah dipakai sebagai nama
keadaan ini selama lebih dari satu abad. Walaupun sekarang kita sadari bahwa
10
gejala CKD tidak selalu disebabkan oleh retensi urea dalam darah (Smeltzer &
Bare, 2001). Menurut National Kidney Foundation (2002), penyakit ginjal kronik
adalah kelainan patologik ginjal atau adanya kelainan pada urin umumnya jumlah
protein urin atau sedimen urin selama tiga bulan atau lebih yang tidak bergantung
pada nilai laju filtrasi glomerulus.

b. Klasifikasi Gagal Ginjal Kronik


Klasifikasi gagal ginjal kronik dapat dilihat berdasarkan sindrom klinis yang
disebabkan penurunan fungsinya yaitu berkurang, ringan, sedang dan tahap akhir
(Suhardjono, 2003). Ada beberapa klasifikasi dari gagal ginjal kronik yang
dipublikasikan oleh National Kidney Foundation (NKF) Kidney Disease
Outcomes Quality Initiative (K/DOQI). Klasifikasi tersebut diantaranya adalah :
1) Tahap pertama (stage 1)
Merupakan tahap dimana telah terjadi kerusakan ginjal dengan
peningkatan LFG (>90 mL/min/1.73 m2) atau LFG normal.
2) Tahap kedua (stage 2)
Reduksi LFG mulai berkurang sedikit (kategori mild) yaitu 60-89
mL/min/1.73 m2.
3) Tahap ketiga(stage 3)
Reduksi LFG telah lebih banyak berkurang (kategori moderate) yaitu 30-
59 mL/min/1.73.
4) Tahap keempat(stage 4)
Reduksi LFG sangat banyak berkurang yaitu 15-29 mL/min/1.73.
5) Tahap kelima(stage 5)
Telah terjadi gagal ginjal dengan LFG yaitu <15 mL/min/1.73.
Tabel 1. Klasifikasi gagal ginjal kronis menururt K/DOQI

11
3. Etiologi
Penyebab gagal ginjal kronik ada berbagai macam salah satunya disebabkan
oleh infeksi saluran kemih.
Infeksi Saluran Kemih (ISK) adalah suatu keadaan yang disebabkan karena
adanya invasi bakteri pada saluran kemih. Infeksi saluran kemih disebabkan oleh
bakteri Escherechia coli, Klebsiella pneumonia dan Pseudomonas
aeruginosa. Infeksi saluran kemih adalah keadaan yang ditandai dengan adanya
bakteri dalam urin dan pada pemeriksaan biakan mikroorganisme didapatkan
jumlah bakteri sebanyak 100.000 koloni per milliliter urin atau lebih yang dapat
disertai dengan gejala-gejala (simtomatik) atau tidak (asimtomatik). Menurut
Widayati (2004), pada pasien dengan simptom ISK, jumlah bakteri dikatakan
signifikan jika lebih besar dari 100.000 per milliliter urin. Penderita wanita adalah
yang paling banyak terinfeksi dan setiap wanita diperkirakan akan mengalami
gejala-gejala ISK sebanyak 5 kali dalam siklus hidupnya. Manakala pada
penderita pria, jarang dilaporkan tetapi jika berlaku bisa menyebabkan komplikasi
yang serius. Pada umumnya infeksi saluran kemih pada wanita terbatas pada
saluran kemih bagian bawah yaitu uretra dan kandung kemih, akan tetapi dapat
pula menyebar ke saluran kemih bagian atas sampai ke ginjal. Sebaliknya infeksi
yang terjadi pada saluran kemih bagian atas hampir selalu disertai dengan infeksi
saluran kemih bagian bawah (Junizaf, 1994).
Urin biasanya berada dalam keadaan yang steril. Infeksi berlaku apabila
bakteri atau mikroorganisme patogen yang lain masuk ke dalam urin dan mula
membiak. Lokasi infeksi biasanya bermula pada bukaan uretra, didapat dari
daerah anus dan bergerak naik ke atas melalui traktus urinari dan bisa menginfeksi
kandung kemih. Ini mungkin disebabkan oleh kebersihan diri yang kurang atau
hubungan seksual (Balentine, 2009). Jika bakteri sampai ke ginjal, ini mungkin
mengakibatkan infeksi ginjal atau pyelonephritis yang bisa mengakibatkan
komplikasi yang serius jika tidak dilakukan tindakan intervensi yang tepat.
Hampir semua penelitian yang dilakukan menyatakan bahwa penyebab utama
dari infeksi saluran kemih adalah bakteria patogen Escherichia Coli yang
diperkirakan 50% dari bakteriuria nosokomial. Sedangkan Klebsiella-
12
Enterobacter diperkirakan 3-13% dan Pseudomonas Aerogenosa, Serratia, Entero
Cocci, Staphylococcus dan jamur sebagai penyebab lain. E-Coli dan Klebsiella-
Enterobacter sering sebagai penyebab terjadinya infeksi pada pasien yang tidak
mendapat pengobatan antimikroba (Junizaf, 1994). Berikut adalah golongan yang
mempunyai risiko untuk mengidap ISK :
a. Penderita batu ginjal yaitu individu yang mengalami obstruksi saluran kemih.
b. Penderita yang mengalami gangguan pengosongan kandung kemih seperti
kerusakan pada syaraf spinalis dan wanita yang menopause.
c. Penderita imunosupresan seperti pada penderita diabetes dan HIV.
d. Pada penderita wanita yang mempunyai aktif seksualnya.
e. Penderita yang mengalami pembesaran prostat karena ini akan melambatkan
pengosongan kandung kemih sehingga infeksi terjadi.
f. Pemakaian kateter untuk pengosongan kandung kemih akan menyebabkan
infeksi saluran kemih 1-2%, hal ini karena pada waktu pemasangan kateter
tersebut kemungkinan kuman yang ada dalam uretra akan terdorong ke dalam
kandung kemih sehingga dapat menimbulkan infeksi.

4. Tanda dan gejala


Menurut Smeltzer & Bare (2001), tanda dan gejala pada gagal ginjal
kronik yaitu sebagai berikut:
a. Sistem kardiovaskuler: hipertensi,pitting edema, edema periorbital,
pembesaran vena leher, friction sub pericardial
b. Sistem pulmoner: krekel, nafas dangkal, kusmaul, sputum kental dan liat
c. Sistem gastrointestinal: anoreksia, mual dan muntah, perdarahan saluran GI,
ulserasi dan perdarahan mulut, nafas berbau amonia
d. Sistem muskuloskeletal: kram otot, kehilangan kekuatan otot, fraktur tulang
e. Sistem integumen: warna kulit abu-abu mengkilat, pruritus, kulit kering
bersisik, ekimosis, kuku tipis dan rapuh, rambut tipis dan kasar
f. Sistem reproduksi: amenore, atrofi testis
g. Sistem hematologi: anemia yang disebabkan karena berkurangnya produksi
eritopoetin, sehingga rangsangan eritopoesis pada sumsum tulang berkurang,
13
hemolisis akibat berkurangnya masa hidup eritrosit dalam suasana uremia
toksik, dapat juga terjadi gangguan fungsi trombosis dan trombositopeni.

5. Patofisiologi
Urin biasanya berada dalam keadaan steril. Infeksi berlaku apabila bakteri
masuk ke dalam urin dan mula bertumbuh. Proses infeksi ini biasanya bermula
pada pembukaan uretra di mana urin keluar dari tubuh dan masuk naik ke dalam
traktus urinari. Biasanya, dengan miksi ia dapat mengeluarkan bakteri yang ada
dari uretra tetapi jika bakteri yang ada terlalu banyak, proses tersebut tidak
membantu. Bakteri akan naik ke atas saluran kemih hingga kandung kemih dan
bertumbuh kembang di sini dan menjadi infeksi. Infeksi bisa berlanjut melalui
ureter hingga ke ginjal. Di ginjal, peradangan yang terjadi disebut pielonefritis
yang akan menjadi keadaan klinis yang serius jika tidak teratasi dengan tuntas
(Balentine, 2009).
Patogenesis infeksi saluran kemih sangat kompleks, karena tergantung dari
banyak faktor seperti faktor pejamu (host) dan faktor organisme penyebab.
Bakteri dalam urin dapat berasal dari ginjal, ureter, vesika urinaria atau dari
uretra. Beberapa faktor predisposisi ISK adalah obstruksi urin, kelainan struktur,
urolitiasis, benda asing, refluks atau konstipasi yang lama. Bakteri uropatogenik
yang melekat pada pada sel uroepitelial, dapat mempengaruhi kontraktilitas otot
polos dinding ureter, dan menyebabkan gangguan peristaltik ureter. Melekatnya
bakteri ke sel uroepitelial, dapat meningkatkan virulensi bakteri tersebut (Hanson,
1999).
Mukosa kandung kemih dilapisi oleh glycoprotein mucin layer yang berfungsi
sebagai anti bakteri. Rusaknya lapisan ini akibat dari mekanisme invasi bakteri
seperti pelepasan toksin dapat menyebabkan bakteri dapat melekat, membentuk
koloni pada permukaan mukosa, masuk menembus epitel dan selanjutnya terjadi
peradangan. Bakteri dari kandung kemih dapat naik ke ureter dan sampai ke ginjal
melalui lapisan tipis cairan (films of fluid), apalagi bila ada refluks vesikoureter
maupun refluks intrarenal. Bila hanya vesika urinaria yang terinfeksi, dapat
mengakibatkan iritasi dan spasme otot polos vesika urinaria, akibatnya rasa ingin
14
miksi terus menerus (urgency) atau miksi berulang kali (frequency), dan sakit
waktu miksi (dysuri). Mukosa vesika urinaria menjadi edema, meradang dan
perdarahan (hematuria). Infeksi ginjal dapat terjadi melalui collecting system.
Pelvis dan medula ginjal dapat rusak, baik akibat infeksi maupun oleh tekanan
urin akibat refluks berupa atrofi ginjal. Pada pielonefritis akut dapat ditemukan
fokus infeksi dalam parenkim ginjal, ginjal dapat membengkak, infiltrasi lekosit
polimorfonuklear dalam jaringan interstitial, akibatnya fungsi ginjal dapat
terganggu. Pada pielonefritis kronik akibat infeksi, adanya produk bakteri atau zat
mediator toksik yang dihasilkan oleh sel yang rusak, mengakibatkan parut ginjal
(renal scarring). (Hanson, 1999).Ginjal pun membentuk jaringan parut progresif,
berkontraksi dan tidak berfungsi.
Meskipun penyakit ginjal terus berlanjut, namun jumlah zat terlarut yang harus
diekskresi oleh ginjal untuk mempertahankan homeostasis tidaklah berubah,
kendati jumlah nefron yang bertugas melakukan fungsi tersebut sudah menurun
secara progresif. Dua adaptasi penting dilakukan oleh ginjal sebagai respon
terhadap ancaman ketidakseimbangan cairan dan elektrolit. Sisa nefron yang ada
mengalami hipertrofi dalam usahanya untuk melaksanakan seluruh beban kerja
ginjal. Terjadi peningkatan kecepatan filtrasi, beban zat terlarut dan reabsorpsi
tubulus dalam setiap nefron meskipun GFR untuk seluruh massa nefron yang
terdapat dalam ginjal turun di bawahnilai normal. Mekanisme adaptasi ini cukup
berhasil dalam mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit tubuh hingga
tingkat fungsi ginjal yang sangat rendah. Namun akhirnya, kalau sekitar 75%
massa nefron sudah hancur, maka kecepatan filtrasi dan beban zat terlarut bagi
setiap nefron demikian tinggi sehingga keseimbangan glomerulus-tubulus
(keseimbangan antara peningkatan filtrasi dan peningkatan reabsorpsi oleh
tubulus tidak dapat lagi dipertahankan. Fleksibilitas baik pada proses ekskresi
maupun proses konservasi zat terlarut dan air menjadi berkurang. Sedikit
perubahan pada makanan dapat mengubah keseimbangan yang rawan tersebut,
karena makin rendah GFR (yang berarti makin sedikit nefron yang ada) semakin
besar perubahan kecepatan ekskresi per nefron. Hilangnya kemampuan
memekatkan atau mengencerkan urine menyebabkan berat jenis urine tetap pada
15
nilai 1,010 atau 285 mOsm (yaitu sama dengan plasma) dan merupakan penyebab
gejala poliuria dan nokturia (Price dan Wilson, 2006).

6. Komplikasi
Komplikasi dari CKD menurut Smeltzer & Bare (2001) dan Suwitra (2006)
adalah sebagai berikut.
a. Hiperkalemi akibat penurunan sekresi asidosis metabolik, katabolisme, dan
masukan diit berlebih.
b. Prikarditis, efusi perikardial, dan tamponad jantung akibat retensi produk
sampah uremik dan dialisis yang tidak adekuat.
c. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem rennin
angiotensin aldosteron.
d. Anemia akibat penurunan eritropoitin.
e. Penyakit tulang serta klasifikasi metabolik akibat retensi fosfat, kadar kalsium
serum yang rendah, metabolisme vitamin D yang abnormal dan peningkatan
kadar alumunium akibat peningkatan nitrogen dan ion Anorganik.
f. Uremia akibat peningkatan kadar urea dalam tubuh.
g. Gagal jantung akibat peningkatan kerja jantung yang berlebian.
h. Malnutrisi karena anoreksia, mual, dan muntah.
i. Hiperparatiroid, Hiperkalemia, dan Hiperfosfatemia.

7. Pemeriksaan Penunjang
a. Urinalisis
Urinalisis adalah pemeriksaan mikroskopik urine. Prosedur ini memeriksa
sedimen setelah urine disentrifugasi. Urine yang normal hampir tidak
mengandung sedimen (Baradero, dkk, 2008). Pemeriksaan urin mencakup
evaluasi hal-hal berikut:
1) Observasi warna dan kejernihan urin
2) Pengkajian bau urin
3) Pengukuran keasaman dan berat jenis urin

16
4) Tes untuk memeriksa keberadaan protein, glukosa dan badan keton dalam
urin.
5) Pemeriksaan mikroskopik sedimen urin sesudah melakukan pemusingan
(centrifuging)untuk medeteksi sel darah merah (hematuria), sel darah
putih, silinder (silindruria), kristal (kristaluria), pus (piuria) dan bakteri
(bakteriuria).
Urinalisis dapat mendeteksi dan menunjang diagnosa penyakit ginjal dengan
menmukan protein urin, eritrosit dan leukosit dan denan menemukan berbagau
silinder dalam sedimen urin (Speicher, 2006). Hal-hal yang dapat ditemukan pada
pemeriksaan urinalisis pada gagal ginjal akut dan kronis, yaitu:
1) Volume: biasanya kurang dari 400 ml/24 jam (fase oliguri), yang
terjadisetelah ginjal rusak, pada gagal ginjal kronis juga dapat dihasilkan
urine tak ada (anuria).
2) Warna: pada gagal ginjal akut dan kronis urine berwarna kotor atau keruh,
sedimen kecoklatan menunjukkan adanya darah, Hb, mioglobin dan
porfirin. Pada penderita gagal ginjal kronis juga didapatkan kekeruhan
urine yang mungkin disebabkan oleh pus, bakteri, lemak, partikel koloid,
fosfat atau urat.
3) Berat jenis: pada penderita gagal ginjal akut berat jenis urine kurang dari
1,020 dapat menunjukkan penyakit ginjal, contoh glomerulonefritis,
pielonefritis dengan kehilangan kemampuan untuk memekatkan,
sedangkan pada gagal ginjal kronis adalah kurang dari 1,015 dan akan
menetap pada 1,010 yang menunjukkan kerusakan ginjal.
4) Osmolalitas: gagal ginjal akut dan kronis memiliki nilai intrepretasi yang
sama yaitu kurang dari 350 mOsm/kg menunjukkan kerusakan ginjal, dan
rasio urine/serum 1:1.
5) Klirens kreatinin:pada gagal ginjal akut dan kronik secara bermakna
menurun sebelum BUN dan kreatinin serum menunjukkan peningkatan
bermakna.
6) Natrium: pada gagal ginjal akut nilai atau jumlah dari natrium dapat
menurun sedangkan pada gagal ginjal kronis dapat menunjukkan jumlah
17
yang lebih dari 40 mEq/L karena ginjal tidak mampu mengabsorpsi
natrium dengan baik.
7) Protein: pada gagal ginjal akut jumlah atau nilai proteinuria pada derajat
rendah (1-2+) dan sedimen dapat menunjukkan infeksi atau nefritis
interstisial. Sedangkan pada gagal ginjal kronis derajat protenuria terletak
pada derajat tinngi (3-4+) menunjukkan kerusakan glomerulus bila
terdapat sedimen dan perubahan warna (Doenges, 2000).

b. Pemeriksaan Darah Lengkap


Penilaian CKD dengan ganguan yang serius dapat dilakukan dengan
pemerikasaan laboratorium, seperti: kadar serum sodium/natrium dan
potassium/kalium, pH, kadar serum phospor, kadar Hb, hematokrit, kadar urea
nitrogen dalam darah (BUN), serum dan konsentrasi kreatinin urin, urinalisis. Hb:
menurun pada adanya anemia
1) Sedimen: sering menurun mengikuti peningkatan kerapuhan/penurunan
hidup.
2) pH: asidosis metabolik (kurang dari 7,2) dapat terjadi karena penurunan
kemampuan ginjal untuk mengekresikan hidrogen dan hasil akhir
metabolisme.
3) BUN/kreatinin: terdapat peningkatan yang tetap dalam BUN, dan laju
peningkatannya bergantung pada tingkat katabolisme (pemecahan protein),
perfusi renal, dan masukkan protein. Serum kreatinin meningkat pada
kerusakan glomerulus. Kadar kreatinin serum bermanfaat dalam
pemantauan fungsi ginjal dan perkembangan penyakit. Biasanya
meningkat pada proporsi rasio 10:1.
4) Osmolalitas serum: labih besar dari 285 mOsm/kg; sering sama dengan
urine.
5) Kalium: meningkat sehubungan dengan retensi seiring dengan
perpindahan seluler (asidosis) atau pengeluaran jaringan (hemolisis sel
darah merah).
6) Natrium: biasanya meningkat, tetapi dapat bervariasi.
18
7) pH, kalsium dan bikarbonat: menurun.
8) Klorida, fosfat, dan magnesium: meningkat.
9) Protein: penurunan pada kadar serum dapat menunjukkan kehilangan
protein melalui urine, perpindahan cairan, penurunan pemasukan dan
penurunan sintesis karena kekurangan asam amino esensial (Doenges,
2000).

c. Pemeriksaan EKG
Untuk melihat adanya hipertropi ventrikel kiri, tanda perikarditis, aritmia, dan
gangguan elektrolit (hiperkalemi, hipokalsemia).

d. Pemeriksaan USG
Menilai besar dan bentuk ginjal, tebal korteks ginjal, kepadatan parenkim
ginjal, anatomi system pelviokalises, ureter proksimal, kandung kemih serta
prostate.

e. Pemeriksaan Radiologi
Renogram, Intravenous Pyelography, Retrograde Pyelography, Renal
Aretriografi dan Venografi, CT Scan, MRI, Renal Biopsi, pemeriksaan rontgen
dada, pemeriksaan rontgen tulang, foto polos abdomen. Berberapa pemeriksaan
radiologi yang biasa digunanakan untuk mengetahui gangguan fungsi ginjal antara
lain:
1) Flat-Plat radiografy/Radiographic keadaan ginjal, ureter dan vesika
urinaria untuk mengidentifikasi bentuk, ukuran, posisi, dan kalsifikasi dari
ginjal. Pada gambaran ini akan terlihat bahwa ginjal mengecil yang
mungkin disebabkan karena adanya proses infeksi.
2) Computer Tomography (CT) Scan yang digunakan untuk melihat secara
jelas struktur anatomi ginjal yang penggunaanya dengan memakai kontras
atau tanpa kontras.
3) Intervenous Pyelography (IVP) digunakan untuk mengevaluasi keadaan
fungsi ginjal dengan memakai kontras. IVP biasa digunakan pada kasus
19
gangguan ginjal yang disebabkan oleh trauma, pembedahan, anomali
kongental, kelainan prostat, calculi ginjal, abses / batu ginjal, serta
obstruksi saluran kencing.
4) Aortorenal Angiography digunakan untuk mengetahui sistem arteri, vena,
dan kepiler pada ginjal dengan menggunakan kontras. Pemeriksaan ini
biasanya dilakukan pada kasus renal arteri stenosis, aneurisma ginjal,
arterovenous fistula, serta beberapa gangguan bentuk vaskuler.
5) Magnetic Resonance Imaging (MRI) digunakan untuk mengevaluasi kasus
yang disebabkan oleh obstruksi uropathi, ARF, proses infeksi pada ginjal
serta post transplantasi ginjal.
f. Biopsi Ginjal
Biopsi Ginjal untuk mengdiagnosa kelainann ginjal dengan mengambil
jaringan ginjal lalu dianalisa. Biasanya biopsi dilakukan pada kasus
golomerulonepritis, neprotik sindom, penyakit ginjal bawaan, ARF, dan
perencanaan transplantasi ginjal.
g. Gas darah arteri
Gas darah arteri memberikan determinasi objektif tentang oksigenasi darah
arteri, pertukaran gas alveoli, dan keseimbangan asam basa. Dalam
pemeriksaan ini diperlukan sampel darah arteri yang diambil dari arteri
femoralis, radialis, atau brakhialis dengan menggunakan spuit yang telah diberi
heparin untuk mencegah pembekuan darah sebelum dilakukan uji
laboratorium. Pada pemeriksaan gas darah arteri pada penderita gagal ginjal
akan ditemukan hasil yaitu asidosis metabolik dengan nilai PO2 normal,PCO2
rendah, pH rendah, dan defisit basa tinggi (Grace dan Borley, 2006).
1) Pencitraan radionuklida
Dapat menunjukkan kalikektasis, hidronefrosis, penyempitan dan lambatnya
pengisian dan pengosongan sebagai akibat dari GGA.

8. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan adalah untuk mempertahankan fungsi ginjal dan
homeostasis selama mungkin. Seluruh faktor yang berperan pada CKD dan faktor
20
yang dapat dipulihkan (misal obstruksi) diidentifikasi dan ditangani (Smeltzer &
Bare, 2001). Penatalaksanaan keperawatan pada pasien dengan CKD dibagi tiga
yaitu sebagai berikut.
a. Konservatif
Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal
secara progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin
azotemia, memperbaiki metabolisme secara optimal dan memelihara
keseimbangan cairan dan elektrolit (Sukandar, 2006).
1) Peranan diet
Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah atau
mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat merugikan
terutama gangguan keseimbangan negatif nitrogen.
2) Kebutuhan jumlah kalori
Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk CKD harus adekuat
dengan tujuan utama, yaitu mempertahankan keseimbangan positif
nitrogen, memelihara status nutrisi dan memelihara status gizi.
3) Kebutuhan cairan
Bila ureum serum >150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat supaya
jumlah diuresis mencapai 2 L per hari.
4) Kebutuhan elektrolit dan mineral
5) Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual tergantung
dari LFG dan penyakit ginjal dasar (underlying renal disease).
b. Terapi simtomatik
1) Asidosis metabolic
Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium
(hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik dapat
diberikan suplemen alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus segera
diberikan intravena bila pH ≤ 7,35 atau serum bikarbonat ≤ 20 mEq/L.
2) Anemia

21
Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah satu
pilihan terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian transfusi
darah harus hati-hati karena dapat menyebabkan kematian mendadak.
3) Keluhan gastrointestinal
Anoreksia, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang sering
dijumpai pada CKD. Keluhan gastrointestinal ini merupakan keluhan
utama (chief complaint) dari CKD. Keluhan gastrointestinal yang lain
adalah ulserasi mukosa mulai dari mulut sampai anus. Tindakan yang
harus dilakukan yaitu program terapi dialisis adekuat dan obat-obatan
simtomatik.
4) Kelainan kulit
Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan kulit.
5) Kelainan neuromuscular
Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi hemodialisis
reguler yang adekuat, medikamentosa atau operasi subtotal
paratiroidektomi.
6) Hipertensi
Pemberian obat-obatan anti hipertensi.
7) Kelainan sistem kardiovaskular
Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan kardiovaskular yang
diderita.
c. Terapi pengganti ginjal
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5,
yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa
hemodialisis, dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal (Suwitra, 2006).
1) Hemodialisis
Hemodialisis adalah suatu usaha untuk memperbaiki kelainan biokimiawi
darah yang terjadi akibat terganggunya fungsi ginjal, dilakukan dengan
menggunakan mesin hemodialisis. Hemodialisis merupakan salah satu
bentuk terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy/RRT) dan
hanya menggantikan sebagian dari fungsi ekskresi ginjal. Hemodialisis
22
dilakukan pada klien GGK stadium V dan pada pasien dengan AKI
(Acute Kidney Injury) yang memerlukan terapi pengganti ginjal.
2) Dialisis Peritoneal
Dialisisperitoneal merupakan alternatif hemodialisis pada penanganan
gagal ginjal akut dan kronis. Dialisis peritoneal dilakukan dengan
menginfuskan 1-2 L cairan dialisis ke dalam abdomen melalui
kateter. Dialisat tetap berada dalam abdomen untuk waktu yang
berbeda-beda (waktu tinggal) dan kemudian dikeluarkan melalui gaya
gravitasi ke dalam wadah yang terletak di bawah pasien. Setelah
drainase selesai, dialisat yang baru dimasukkan dan siklus berjalan
kembali. Pembuangan zat terlarut dicapai melalui difusi, sementara
ultrafiltrasi dicapai melalui perbedaan tekanan osmotik dan bukan dari
perbedaan tekanan hidrostatik seperti pada hemodialisis
3) Transplantasi Ginjal
Transplantasi ginjal merupakan cara pengobatan yang lebih disukai oleh
pasien gagal ginjal stadium akhir, meskipun sebagian pasien
mungkin tetap memilih dialisis di rumah mereka sendiri sesudah
mendapatkan latihan dari perawat khusus. Tindakan standar dalam
transplantasi ginjal dengan merotasikan ginjal donor dan
meletakannya pada fosa iliaka kontralateral resipien. Ureter
kemudian terletak di sebelah anterior pembuluh darah ginjal ke
dalam kemih resipien. Arteria renalis beranastomosis end-to-end pada
arteri iliaka interna, dan vena renalis beranastomosis dengan vena
iliaka komunis atau eksternal. Pertimbangan program transplantasi ginjal,
yaitu:
a) Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih seluruh
(100%) faal ginjal, sedangkan hemodialisis hanya mengambil alih 70-
80% faal ginjal alamiah
b) Kualitas hidup normal kembali
c) Masa hidup (survival rate) lebih lama

23
d) Komplikasi (biasanya dapat diantisipasi) terutama berhubungan
dengan obat imunosupresif untuk mencegah reaksi penolakan
e) Biaya lebih murah dan dapat dibatasi

24
9. Konsep Hemodialisis

Hemodialisis merupakan suatu proses yang digunakan untuk mengeluarakan


cairan dan produk limbah dalam tubuh kita, dimana ginjal tidak mampu untuk
melaksanakan proses tersebut. Salah satu terapi yang diberikan pada pasien gagal
ginjal kronik adalah hemodialisis. Tujuan terapi dialisa dalah untuk
mempertahankan kehidupan dan kesejahteraan pasien sampai fungsi ginjal pulih
kembali (Smeltzer dan Bare , 2002).
Terapi hemodialisis menurut Setyawan (2001) dalam Purtinah (2010) adalah
suatu teknologi tinggi sebagai terapi pengganti untuk mengeluarkan sisa-sisa
metabolisme atau racun tertentu dari peredaran darah manusia seperti natrium, air,
kalium, hidrogen, urea, kreatin, asam urat, dan zat-zat lain melalui membran
semipermiabel sebagai pemisah darah dan cairan dialisat terdapat ginjal buatan,
dimana terjadi proses difusi, osmosis, dan ultrafiltrasi.
Hemodialisis adalah suatu usaha untuk memperbaiki kelainan biokimiawi
darah yang terjadi akibat terganggunya fungsi ginjal, dilakukan dengan
menggunakan mesin hemodialisis. Hemodialisis merupakan salah satu bentuk
terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy/RRT) dan hanya menggantikan
sebagian dari fungsi ekskresi ginjal. Hemodialisis dilakukan pada klien GGK

25
stadium V dan pada pasien dengan AKI (Acute Kidney Injury) yang memerlukan
terapi pengganti ginjal. Menurut prosedur yang dilakukan HD dapat dibedakan
menjadi 3 yaitu: HD darurat/emergency, HD persiapan/preparative, dan HD
kronik/reguler (Daurgirdas et al., 2007). Frekuensi pasien melakukan hemodialisis
bervariasi dari 203 kali seminggu, dan lamanya mesin hemodialisis berjalan
antara 4-6 jam tergantung dari system dialysis yang digunakan dan keadaan
pasien.
Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan hemodialisis adalah suatu
terapi dari pengganti fungsi ginjal yaitu dengan membran yang selektif-permeabel
yang akan mengeluarkan sisa-sisa metabolisme atau racun dan zat tertentu yang
tidak terpakai oleh tubuh (seperti: natrium, air, kalium, hidrogen, urea, kreatin,
asam urat) dari peredaran darah manusia guna mempertahankan kehidupan dan
kesejahteraan pasien dengan penyakit ginjal. Suatu sistem dialisis yang terdiri
dari dua saluran, saluran untuk darah dan saluran untuk cairan dialisat. Bila
sistem ini bekerja, darah mengalir dari pasien melalui tabung plastik (jalur arteri),
melalui hollow fiberpada alat dialisis dan kembali ke pasien melalui jalur
vena. Cairan dialisis membentuk saluran kedua. Air kran difiltrasi dan
dihangatkan sampai sesuai dengan suhu tubuh kemudian dicampur dengan
konsentrat melalui perantaraan pompa pengatur, sehingga terbentuk dialisat
atau bak dialisis. Dialisat kemudian dimasukkan ke dalam alat dialisis, dan cairan
akan mengalir di luar serabut berongga sebelum keluar melalui drainase.
Keseimbangan antara darah dan dialisat terjadi di sepanjang membran dialisa
melalui proses difusi, osmosis, dan ultrafiltrasi. Komposisi cairan dialisis diatur
sedemikian rupa sehinggga mendekati komposisi ion darah normal, dan sedikit
dimodifikasi untuk memperbaiki gangguan cairan dan elektrolit yang menyertai
gagal ginjal .
Terdapat tiga prinsip yang mendasari kerja hemodialisis, yaitu difusi, osmosis,
dan ultrafiltrasi. Toksin dan zat limbah di dalam darah dikeluarkan melalui proses
difusi dengan cara bergerak dari darah, yang memiliki konsentrasi tinggi, ke
cairan dialisat dengan konsentrasi yang lebih rendah. Air yang berlebihan
dikeluarkan dalam tubuh melalui proses osmosis. Pengeluaran dapat dikendalikan
26
dengan menciptakan gradien tekanan; dengan kata lain, air bergerakdari daerah
dengan tekanan yang lebih tinggi (tubuh pasien) ke tekanan yang lebih rendah
(cairan dialisat). Gradien ini dapat ditingkatkan melalui penambahan tekanan
negatif yang dikenal sebagai ultrafiltrasi pada mesin dialisis. Tekanan negatif
diterapkan pada alat ini sebagai kekuatan pengisap pada membran dan
memfasilitasi pengeluaran air. Pasien tidak mampu mengekskresikan air, maka
kekuatan tekanan tersebut diperlukan untuk mengeluarkan cairan hingga tercapai
isovolemia (keseimbangan cairan) (Smeltzer dan Bare, 2002).
Menurut Le Mone (1996) hemodialisis menggunakan prinsip difusi dan
ultrafltrasi untuk membersihkan elektrolit dari produk tak berguna dan kelebihan
cairan tubuh. Hal ini dikarenakan sistem gijal buatan yang dilakukan oleh dialyzer
memungkinkan terjadinya pembuangan sisa metabolisme berupa ureum, creatini
dan asam urat, pembuangan cairan, mempertahankan sistem buffer tubuh, serta
mengembalikan kadar elektrolit tubuh (Lewis, 2000). Darah akan diambil dari
tubuh melalui jalan masuk vaskular dan memompa kemembran dari selulosa
asetat dan zat yang sama. Pengeluaran kira-kira sama dengankomposisi seperti
ekstra cairan selular normal. Dialisa menghangatkan suhu tubuhdan melewati
sepanjang ukuran dari membran lain. Semua larutan molekul lebih kecil dari sel
darah, plasma dan protein mampu bergerak bebas di membran melalui difusi.
Pada dialisis, molekul solut berdifusi lewat membran semipermeabel dengan cara
mengalir dari sisi cairan yang lebih pekat (konsentrasi solut lebih tinggi) ke cairan
yang lebih encer (konsentrasi solut lebih rendah). Cairan mengalir lewat membran
semipermeabel dengan cara osmosis atau ultrafiltrasi (aplikasi tekakan eksternal
pada membran). Membran semipermeabel adalah lembar tipis, berpori-pori
terbuat dari selulosa atau bahan sintetik. Ukuran pori-pori membran
memungkinkan difusi zat dengan berat molekul rendah seperti urea, kreatinin, dan
asam urat berdifusi. Molekul air juga sangat kecil dan bergerak bebas melalui
membran, tetapi kebanyakan protein plasma, bakteri, dan sel-sel darah terlalu
besar untuk melewati pori-pori membran. Perbedaan konsentrasi zat pada dua
kompartemen disebut gradien konsentrasi.

27
a. Indikasi
Price dan Wilson (2006) menerangkan bahwa tidak ada petunjuk yang jelas
berdasarkan kadar kreatinin darah untuk menentukan kapan pengobatan harus
dimulai. Kebanyakan ahli ginjal mengambil keputusan berdasarkan kesehatan
penderita yang terus diikuti dengan cermat sebagai penderita rawat jalan.
Pengobatan biasanya dimulai apabila penderita sudah tidak sanggup lagi
bekerja purna waktu, menderita neuropati perifer atau memperlihatkan gejala
klinis lainnya. Pengobatan biasanya juga dapat dimulai jika kadar kreatinin
serum diatas 6 mg/100 ml pada pria , 4 mg/100 ml pada wanita dan glomeluro
filtration rate (GFR) kurang dari 4 ml/menit. Penderita tidak boleh dibiarkan
terus menerus berbaring ditempat tidur atau sakit berat sampai kegiatan sehari-
hari tidak dilakukan lagi.
Beberapa indikasinya adalah sebagai berikut
1. Kegawatan ginjal
a. Klinis: keadaan uremik berat, overhidrasi
b. Oligouria (produksi urine <200 ml/12 jam)
c. Anuria (produksi urine <50 ml/12 jam)
d. Hiperkalemia (terutama jika terjadi perubahan ECG, biasanya K
>6,5mmol/l )
e. Asidosis berat ( pH <7,1 atau bikarbonat <12 meq/l)
f. Uremia ( BUN >150 mg/dL)
g. Ensefalopati uremikum
h. Neuropati/miopati uremikum
i. Perikarditis uremikum
j. Disnatremia berat (Na >160 atau <115 mmol/L)
k. Hipertermia
2. Keracunan akut (alkohol, obat-obatan) yang bisa melewati membran dialisis.

b. Kontraindikasi
Kontra indikasi dari hemodialisa adalah hipotensi yang tidak responsif
terhadap presor, penyakit stadium terminal, dan sindrom otak organik.
28
Sedangkan menurut PERNEFRI (2003) kontra indikasi dari hemodialisa adalah
tidak mungkin didapatkan akses vaskuler pada hemodialisa, akses vaskuler
sulit, instabilitas hemodinamik dan koagulasi. Kontra indikasi hemodialisa
yang lain diantaranya adalah penyakit alzheimer, demensia multi infark,
sindrom hepatorenal, sirosis hati lanjut dengan ensefalopati dan keganasan
lanjut (PERNEFRI, 2003).
c. Komplikasi
Komplikasi hemodialisa dapat disebabkan oleh karena penyakit yang
mendasari terjadinya penyakit ginjal kronik tersebut atau oleh karena proses
selama menjalani hemodialisa itu sendiri. Sedangkan komplikasi akut
hemodialisa adalah komplikasi yang terjadi selama proses hemodialisis
berlangsung (Rahardjo et al., 2006).
Himmelfarb (2004) menjelaskan komplikasi hemodialisa sebagai berikut :
1) Komplikasi yang sering terjadi
a) Hipotensi
Intradialytic Hypotension (IDH)adalah tekanan darah rendah yang
terjadi ketika proses hemodialisis sedang berlangsung. IDH terjadi
karena penyakit diabetes millitus, kardiomiopati, left ventricular
hypertrophy (LVH), status gizi kurang baik, albumin rendah,
kandungan Na dialysate rendah, target penarikan cairan atau target
ultrafiltrasi yang terlalu tinggi, berat badan kering terlalu rendahdan
usia diatas 65 tahun.
Komplikasi akut hemodialisa yang paling sering terjadi, insidensinya
mencapai 15-30%. Dapat disebabkan oleh karena penurunan volume
plasma, disfungsi otonom, vasodilatasi karena energi panas, obat anti
hipertensi.
b) Kram otot.
Terjadi pada 20% pasien hemodialisa, penyebabnya idiopatik namun
diduga karena kontraksi akut yang dipicu oleh peningkatan volume
ekstraseluler. Kram otot yang terjadi selama hemodialisis terjadi

29
karena targetultrafiltrasi yang tinggi dan kandungan Na dialysate yang
rendah
2) Komplikasi yang jarang terjadi
a) Dialysis disequilibrium syndrome (DDS)
Ditandai dengan mual dan muntah disertai dengan sakit kepala, sakit
dada, sakit punggung. Disebabkan karena perubahan yang mendadak
konsentrasi elektrolit dan pH di sistem saraf pusat.
b) Aritmia dan angina
Disebabkan oleh karena adanya perubahan dalam konsentrasi potasium,
hipotensi, penyakit jantung.
c) Perdarahan
Dipengaruhi oleh trombositopenia yang disebabkan oleh karena
sindrom uremia, efek samping penggunaan antikoagulan heparin yang
lama dan pemberian anti-hypertensive agents.
d) Hipertensi
Disebabkan oleh karena kelebihan cairan, obat-obat hipotensi,
kecemasan meningkat, dan DDS.
d. Komponen hemodialisa
1) Mesin Hemodialisa
Mesin hemodialisa memompa darah dari pasien ke dialyzer sebagai
membran semipermiabel dan memungkinkan terjadi proses difusi, osmosis
dan ultrafiltrasi karena terdapat cairan dialysate didalam dialyzer. Proses
dalam mesin hemodialisa merupakan proses yang komplek yang mencakup
kerja dari deteksi udara, kontrol alarm mesin dan monitor data proses
hemodialisa (Misra, 2005)

30
2) Ginjal Buatan (dialyzer)

Dialyzer atau ginjal buatan adalah tabung yang bersisi membrane


semipermiabel dan mempunyai dua bagian yaitu bagian untuk cairan
dialysate dan bagian yang lain untuk darah (Levy,dkk., 2004). Beberapa
syarat dialyzer yang baik (Heonich & Ronco, 2008) adalah volume priming
atau volume dialyzer rendah, clereance dialyzer tinggi sehingga bisa
menghasilkan clearance urea dan creatin yang tinggi tanpa membuang
protein dalam darah, koefesien ultrafiltrasi tinggi dan tidak terjadi tekanan
membrane yang negatif yang memungkinkan terjadi back ultrafiltration,
tidak mengakibatkan reaksi inflamasi atau alergi saat proses hemodialisa
(hemocompatible), murah dan terjangkau, bisa dipakai ulang dan tidak
mengandung racun. Syarat dialyzer yang baik adalah bisa membersihkan
sisa metabolisme dengan ukuran molekul rendah dan sedang, asam amino
dan protein tidak ikut terbuang saat proses hemodialisis, volume dialyzer
kecil, tidak mengakibatkan alergi atau biocompatibility tinggi, bisa dipakai
ulang dan murah harganya (Levy, dkk., 2004)
3) Dialysate
Dialysate adalah cairan elektrolit yang mempunyai komposisi seperti cairan
plasma yang digunakan pada proses hemodialisis (Hoenich & Ronco, 2006).
Cairan dialysate terdiri dari dua jenis yaitu cairan acetat yang bersifat asam

31
dan bicarbonat yang bersifat basa. Kandungan dialysate dalam proses
hemodialisis menurut Reddy & Cheung ( 2009 )
Tabel 2. Kandungan dialysate
Elektrolit/zat yang lain Konsentrasi (mmol/l)
Sodium 135-145
Potasium 0-4
Calsium 1,5
Magnesium 0,25-0,5
Clorida 102-106
Bicarbonat 30-39
Dextrose 11
Acetat 2.0-4.0

4) Blood Line (BL) atau Saluran Darah

Blood line untuk proses hemodialisa terdiri dari dua bagian yaitu bagian
arteri berwarna merah dan bagian vena berwarna biru. BL yang baik harus
mempunyai bagian pompa, sensor vena, air leakdetector (penangkap udara),
karet tempat injeksi, klem vena dan arteri dan bagian untuk heparin (Misra,
2005). Fungsi dari BL adalah menghubungkan dan mengalirkan darah
pasien ke dialyzer selama proses hemodialisis
5) Fistula Needles

32
Fistula Needles atau jarum fistula sering disebut sebagai ArteriVena Fistula
(AV Fistula) merupakan jarum yang ditusukkan ke tubuh pasien PGK yang
akan menjalani hemodialisa. Jarum fistula mempunyai dua warna yaitu
warna merah untuk bagian arteri dan biru untuk bagian vena

e. Prosedur
Hemodialisa mencakup shunting / pengalihan arus darah dari tubuh pasien ke
dialisator dimana terjadi difusi dan ultrafiltrasi dan kemudian kembali ke sirkulasi
pasien. Untuk pelaksanaan hemodialisa terjadi yang masuk ke darah pasien, suatu
mekanisme yang mentraspor darah ke dan dari dialisator, dan dialisator
(daerah dimana terjadi pertukaran larutan elektrolit dan produk-produk sisa
berlangsung). Pengobatan dialisis berlangsung 3 sampai 5 jam tergantung
kepada tipe dialisator yang dipakai dan jumlah waktu yang yang diperlukan demi
koreksi cairan,elektrolit, asam basa dan masalaah produk sisa yang ada. Dialise
untuk masalah yang akut harus dilaksanakan tiap hari atau lebih sering
berdasarkan kondisi pasien yang masih menjamin. Hemodialisa bagi orang
dengan gaggal ginjal kronik biasanya dikerjakan dua atau tiga kali seminggu.
(Long, 1996).

f. Perawatan Pra Dialisa


Sebelum prosedur pasien harus merasa terbiasa dengan melihat unit dialise. Ia
harus mendapatkan penerangan apa yang akan dikerjakan dan apa yang
akan dirasakan pada waktu pengobatan berlangsung.
Pasien biasanga ingin mengetahuhi :
a. Bentuk rasa nyeri yang bagaimana yang akan dialami selama
pengobatan
b. Berapa lama dan berapa kali dialisis akan dilakukan
c. Apakan yang dirasakn selama dan setelah pengobatan (hemodialisa)
d. Apa yang harus dikerjakan pada waktu dialise
e. Keluarga pasien dapat hadir pada waktu terapi.

33
Kegiatan pemantauan selama pada tahap ini meliputi :
a. Mencatat berat badan
b. Mengetahui garis dasar gejala vital
c. Mengakaji kebanyakan cairan (udim pada pedis, periorbital, distensi
d. vena leher kelainan bunyi nafas)
e. Pengkajian kelancaran masuk ke vaskular dan gejala infeksi
Bahan darah diambil untuk pemeriksaan kadar elektrolit dalam serum
dan produk sisa dan status fisik pasien dikaji.Harus diberitahukan kepada pasien
bahwa ia akan mengalami sedikit sakit kepala dan mual pada waktu
pengobatan dan beberapa jam sesudahnya. Sakit kepalaadalah dampak dari
perubahan cairan, asam dan basa, dan keseimbangan produk sisa selama dialisis.
Gejala-gejala tersebut tidak boleh parah dan harus menjadi kurang setelah istirahat
dan tidur, analgetik ringan atau anti piretik. Hipertensi postural bisa juuga terjadi
dialisis, sifatnya transit dan disebabkan oleh kekurangan volume sekunder
dampak dari pergeseran.hipotensi menyebabkan pusing dan kelenger. Dapat
disembuhkan dengan istirahat beberapa jam. Pasien harus diyakinkan bahwa
semua gejala tersebut adalah akan mereda, seringnya dipantau pada waktu
sedang dilakukan prosedur dapat mengendalikan tingkat perubahan yang
terjadi demikianjuga gejala-gejala tersebut. (Long, 1996)

g. Perawatan Pada Waktu Hemodialisa


Bila pada pasien dipasang shunt eksternal tidak akan timbul nyeri pada
permulaan dialise. Namun rasa nyeri sedikit akan tetap terasa bila sedang
dilakukan fungsi vena pada fistula arteriovena. Pada umumnya suka
dilakukan anesthesi dipusat-pusat dialise sebelum memasukan jarum.Asuhan
keperawatan terdiri dari peningkatan kenyamanana fisik. Berbaring tanpa
gerakan meskipun berlangsung beberapa jam dapat menimbulkan
ketidaktenangan. Pergantian posisi dapat memberi kesadaran kepada
keterbatasan gerakan.Pasien perlu berkumur bila mual dan muntah. Karena
ekstremitas atas dipertahankanimobilitas pada waktu dialisa pasien perlu
dibantu bila ada kegiatan yang dilakukan pakai kedua tangan.Aktifitas pada
34
waktu dialisis hanya merupakan pilihan dari pasien. Sementara orang terus tidur
selama pengobatan, yang lain membaca atau menegerjakan sesuatu.Makan sedang
dialise merupakan pilihan inddividu saja. Sementara orang bisa menjadi sangat
lapar, sedangkan yang lain jadi mual karena bau darah. Para pasien menghendaki
makan pada waktu dialise yang pada umumnya tidak diizinkan. Dalam praktek
yang baik mengizinkan atau memperbolehkan makan pada waktu dialise
adalah merupakan fisiologi masing-masing unit. Karena seringnya mual dan
muntah dan disequilibilibrium yang sering dialami pasien lebih baik untuk
tidak memperbolehkan makan pada waktu dialise agar dapat mencegah
aspirasi yang potensial (Long, 1996).

35
9. Pathways
Infeksi bakteri (Escherichia Coli, Klebsiella-Enterobacter, Obstruksi urin
Pseudomonas Aerogenosa, Serratia, Entero Cocci, urolitiasis
Staphylococcus)

Infeksi saluran kemih (ISK) Gagal ginjal kronik

Gagal ginjal kronik Bakteri melekat pada sel uroepitelial Sekresi eritropoetin turun

Sekresi protein terganggu Gangguan peristaltik ureter Produksi Hb turun

Sindrom uremia Urokom Rusaknya lapisan glycoprotein mucin layer Oksihemoglobin turun
tertimbun di
kulit
Gang. Keseimbangan Membentuk koloni, menembus epitel
asam-basa
Gatal pada kulit
inflamasi Ketidakefektifan perfusi Suplai O2 turun Intoleransi
Prod.asam naik jaringan perifer aktivitas
Bakteri di saluran kemih naik ke ginjal
Resiko kerusakan Payah jantung kiri
Nausea vomiting Bendungan atrium
integritas kulit
kiri naik
pielonefritis
COP turun
Ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari Parut ginjal progresif Tek.vena pulmonalis
keb. tubuh
Iritasi lambung Aliran darah ginjal Suplai O2 otak turun
Gagal ginjal kronik turun Kapiler paru naik
infeksi perdarahan
Syncope (kehilangan
edema RAA tunun kesadaran) Edema paru
gastritis Hematemesis (kelebihan volume cairan)
melena 36

Mual, muntah Retensi Na & air naik


anemia preload naik dan beban
jantung naik
Kelebihan vol.cairan
10. Asuhan Keperawatan
1) Pengkajian
a) Biodata
Gagal ginjal kronik terjadi terutama pada usia lanjut (50-70 tahun),
usia muda dapat terjadi pada semua jenis kelamin tetapi 70% pada
pria.
b) Keluhan utama
Kencing sedikit, tidak dapat kencing, gelisah, tidak selera makan
(anoreksi),mual, muntah, mulut terasa kering, rasa lelah, nafas berbau
(ureum), gatal padakulit.
c) Riwayat penyakit sekarang
Diare, muntah, perdarahan, luka bakar, rekasi anafilaksis,renjatan
kardiogenik.
d) Riwayat penyakit dahulu
Riwayat penyakit gagal ginjal akut, infeksi saluran kemih, payah
jantung, hipertensi, penggunaan obat-obat nefrotoksik, Benign
ProstaticHyperplasia, prostatektomi, penyakit gout.
e) Riwayat penyakit keluarga
Adanya penyakit keturunan Diabetes Mellitus (DM)
f) Tanda vital
Peningkatan suhu tubuh, nadi cepat dan lemah, hipertensi, nafascepat
dan dalam (Kussmaul), dyspnea
g) Body system
(1) Pernafasan (B1: Breathing)
Gejala: nafas pendek, dispnoe nokturnal, paroksismal, batuk
dengan/tanpasputum, kental dan banyak
Tanda: takipnoe, dispnoe, peningkatan frekuensi, batuk produktif
dengan/tanpa sputum.
(2) Cardiovascular (B2: Bleeding)
Gejala: Riwayat hipertensi lama atau berat. Palpitasi nyeri dada
atau anginadan sesak nafas, gangguan irama jantung, edema.
37
Tanda: Hipertensi, nadi kuat, oedema jaringan umum, pitting pada
kaki,telapak tangan, disritmia jantung, nadi lemah halus, hipotensi
ortostatik, friction rub perikardial, pucat, kulit coklat
kehijauan,kuning.kecendrungan perdarahan.
(3) Persyarafan (B3: Brain)
Kesadaran: Disorioentasi, gelisah, apatis, letargi, somnolent sampai
koma.
(4) Perkemihan-Eliminasi Uri (B4: Bladder)
Kencing sedikit (kurang dari 400 cc/hari), warna urine kuning tua
dan pekat, tidak dapat kencing.
Gejala: Penurunan frekuensi urine, oliguria, anuria (gagal tahap
lanjut) abdomen kembung, diare atau konstipasi.
Tanda: Perubahan warna urine, (pekat, merah, coklat, berawan)
oliguria atau anuria.
(5) Pencernaan-Eliminasi Alvi (B5: Bowel)
Anoreksia, nausea, vomiting, fektor uremikum, hiccup, gastritis
erosiva dan Diare)
(6) Tulang-Otot-Integumen (B6: Bone)
Gejala: Nyeri panggul, sakit kepala, kram otot, nyeri kaki,
(memburuk saatmalam hari), kulit gatal, ada/berulangnya infeksi.
Tanda: Pruritus, demam (sepsis, dehidrasi), ptekie, area ekimoosis
padakulit, fraktur tulang, defosit fosfat kalsium,pada kulit,
jaringanlunak, sendi keterbatasan gerak sendi.
h) Pola aktivitas sehari-hari
(1) Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Pada pasien gagal ginjal kronik terjadi perubahan persepsi dan tata
laksanahidup sehat karena kurangnya pengetahuan tentang dampak
gagal ginjalkronik sehingga menimbulkan persepsi yang negatif
terhadap dirinya dan kecenderungan untuk tidak mematuhi
prosedur pengobatan dan perawatan yang lama, oleh karena itu
perlu adanya penjelasan yang benar dan mudah dimengerti pasien.
38
(2) Pola nutrisi dan metabolism
Anoreksi, mual, muntah dan rasa pahit pada rongga mulut, intake
minum yang kurang, dan mudah lelah. Keadaan tersebut dapat
mengakibatkan terjadinya gangguan nutrisi dan metabolism yang
dapat mempengaruhi status kesehatan klien.
Gejala: peningkatan berat badan cepat (oedema) penurunan berat
badan (malnutrisi) anoreksia, nyeri ulu hati, mual muntah, bau
mulut (amonia)
Penggunaan diuretic
Tanda: Gangguan status mental, ketidakmampuan berkonsentrasi,
kehilangan memori, kacau, penurunan tingkat kesadaran, kejang,
rambut tipis, kuku rapuh.
(3) Pola Eliminasi
Eliminasi uri: Kencing sedikit (kurang dari 400 cc/hari), warna
urine kuning tua dan pekat, tidak dapat kencing.
Gejala: Penurunan frekuensi urine, oliguria, anuria (gagal tahap
lanjut) abdomen kembung, diare atau konstipasi.
Tanda: Perubahan warna urine, (pekat, merah, coklat, berawan)
oliguria atau anuria.
Eliminasi alvi: Diare
(4) Pola tidur dan Istirahat: Gelisah, cemas, gangguan tidur
(5) Pola Aktivitas dan latihan: Klien mudah mengalami kelelahan dan
lemas menyebabkan klien tidak mampu melaksanakan aktivitas
sehari-hari secara maksimal.
Gejala: kelelahan ektremitas, kelemahan, malaise
Tanda: Kelemahan otot, kehilangan tonus, penurunan rentang
gerak
(6) Pola hubungan dan peran
Gejala: kesulitan menentukan kondisi (tidak mampu bekerja,
mempertahankan fungsi peran)

39
(7) Pola sensori dan kognitif
Klien dengan gagal ginjal kronik cenderung mengalami
neuropati/mati rasa pada luka sehingga tidak peka terhadap adanya
trauma. Klien mampu melihat dan mendengar dengan baik/tidak,
klien mengalami disorientasi/tidak.
(8) Pola persepsi dan konsep diri
Adanya perubahan fungsi dan struktur tubuh akan menyebabkan
penderita mengalami gangguan pada gambaran diri. Lamanya
perawatan, banyaknya biaya perawatan dan pengobatan
menyebabkan pasien mengalami kecemasan dan gangguan peran
pada keluarga (self esteem).
(9) Pola seksual dan reproduksi
Angiopati dapat terjadi pada sistem pembuluh darah di organ
reproduksi sehingga menyebabkan gangguan potensi seksual,
gangguan kualitas maupun ereksi, serta memberi dampak pada
proses ejakulasi serta orgasme.
Gejala: Penurunan libido, amenorea, infertilitas.
(10) Pola mekanisme/penanggulangan stress dan koping
Lamanya waktu perawatan, perjalanan penyakit yang kronik,
faktor stress, perasaan tidak berdaya, tak ada harapan, tak ada
kekuatan, karena ketergantungan menyebabkan reaksi psikologis
yang negatif berupa marah, kecemasan, mudah tersinggung dan
lain-lain, dapat menyebabkan klien tidak mampu menggunakan
mekanisme koping yang konstruktif/adaptif.
Gejala: faktor stress, perasaan tak berdaya, tak ada harapan, tak
ada kekuatan
Tanda: menolak, ansietas, takut, marah, mudah terangsang,
perubahan kepribadian

40
(11) Pola tata nilai dan kepercayaan
Adanya perubahan status kesehatan dan penurunan fungsi tubuh
serta gagalg injal kronik dapat menghambat klien dalam
melaksanakan ibadah maupun mempengaruhi pola ibadah klien.
(12) Pemeriksan fisik
(a) Kepala: Edema muka terutama daerah orbita, mulut bau khas
ureum
(b) Dada: Pernafasan cepat dan dalam, nyeri dada
(c) Perut: Adanya edema anasarka (ascites)
(d) Ekstrimitas: Edema pada tungkai, spatisitas otot
(e) Kulit: Sianosis, akral dingin, turgor kulit menurun,
hiperpigmentasi akibat penumpukan urea, kering, dan
bersisik
(13) Pemeriksaan penunjang
Tujuan pemeriksaan laboratorium yaitu memastikan dan menentukan
derajat penurunan faal ginjal (LFG), identifikasi etiologi dan menentukan
perjalanan penyakit termasuk semua faktor pemburuk faal ginjal.
Pemeriksaan penunjang diagnosis harus selektif sesuai dengan tujuannya.
Menurut Suhardjono (2002), pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada
pasien penyakit ginjal kronik yaitu:
(1) Pemeriksaan laboratorium
Untuk menentukan ada tidaknya kegawatan, menentukan derajat PGK,
menentukan gangguan sistem, dan membantu menetapkan etiologi.
Blood ureum nitrogen (BUN) atau kreatinin meningkat, kalium
meningkat, magnesium meningkat, kalsium menurun, protein menurun.
(2) Pemeriksaan Elektrokardiogram (EKG)
Untuk melihat kemungkinan hipertrofi ventrikel kiri, tanda-tanda
perikarditis, aritmia, gangguan elektrolit (hiperkalemia, hipokalsemia).
Kemungkinan abnormal menunjukkan ketidakseimbangan elektrolit dan
asam/basa.
41
(3) Ultrasonografi (USG)
Untuk mencari adanya faktor yang reversibel seperti obstruksi oleh
karena batu atau massa tumor, dan untuk menilai apakah proses sudah
lanjut.
(4) Foto polos abdomen
Sebaiknya tanpa puasa, karena dehidrasi akan memperburuk fungsi
ginjal. Menilai bentuk dan besar ginjal dan apakah ada batu atau
obstruksi lain.
(5) Pieolografi Intra-Vena (PIV)
Dapat dilakukan dengan cara intravenous infusion pyelography, untuk
menilai sistem pelviokalises dan ureter.
(6) Pemeriksaan Pielografi Retrograd
Dilakukan bila dicurigai ada obstruksi yang reversibel.
(7) Pemeriksaan foto dada
Dapat terlihat tanda-tanda bendungan paru akibat kelebihan air (fluid
overload), efusi pleura, kardiomegali dan efusi perikadial.
(8) Pemeriksaan radiologi tulang
Mencari osteodistrofi dan kalsifikasi metastatik.

2) Diagnosa Keperawatan
a) Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan haluran urin dan
retensi cairan dan natrium
b) Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan hipermetabolisme, nausea, vomitting, intake kurang
c) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan keletihan, anemia, retensi produk
sampah dan prosedur dialisis.
d) Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan penurunan
suplai O2 dan nutrisi ke jaringan sekunder.
e) Kerusakan intregitas kulit berhubungan dengan akumulasi toksik
dalam kulit, gangguan turgor kulit atau uremia, pruritus.

42
3) Intervensi Keperawatan
No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Keperawatan Rasional
Keperawatan
1. Kelebihan Setelah dilakukan tindakan Fluid management
volume cairan keperawatan selama 1x24 1. Ukur masukan dan haluaran, 1. Menunjukkan status volume sirkulasi,
berhubungan diharapkan pasien menunjukkan catat keseimbangan positif terjadinya atau perbaikan perpindahan
dengan pengeluaran urin tepat dengan (pemasukan melebihi pengeluaran). cairan, dan respon terhadap terapi.
penurunan pemasukan Timbang berat badan tiap hari, dan Keseimbangan positif/peningkatan berat
haluaran urin, catat peningkatan lebih dari 0,5 badan sering menunjukkan retensi cairan
diet berlebih, NOC: kg/hari. lanjut. Mengetahui pemasukan dan
serta resistensi 1. Electrolit and acid base baance pengeluaran dari cairan.
cairan dan 2. Fluid balance 2. Awasi tekanan darah dan CVP. 2. Peningkatan tekanan darah biasanya
natrium Hydration Catat JVD/Distensi vena. berhubungan dengan kelebihan volume
sekunder Kriteria Hasil : cairan, mungkin tidak terjadi karena
terhadap 1. Terbebas dari edema, efusi, 3. Auskultasi paru, catat perpindahan cairan keluar area vaskuler.
penurunan anasarka penurunan/tak adanya bunyi nafas Distensi juguler eksternal dan vena
fungsi ginjal 2. Bunyi nafas bersih, tidak ada dan terjadinya bunyi tambahan abdominal sehubungan dengan kongesti
dyspneu/orthopneu (contoh krekels). vaskuler.
3. Terbebas dari distensi vena 3. Peningkatan kongesti pulmonal
jugularis, reflek hepatojugular 4. Awasi disritmia jantung. mengakibatkan konsolidasi, gangguan
(+) Auskultasi bunyi jantung, catat pertukaran gas, dan komplikasi, (contoh
4. Memelihara tekanan vena terjadinya irama gallop S3/S4. edema paru).
sentral, tekanan kapiler paru, 4. Mungkin disebabkan oleh GJK,
output jantung dan vital sign 5. Kaji derajat perifer atau edema penurunan perfusi arteri koroner, dan
alam batas normal dependen. ketidakseimbangan elektrolit.
5. Terbebas dari kelelahan, 5. Perpindahan cairan pada jaringan sebagai
kecemasan atau kebingungan akibat retensi natrium dan air, penurunan
3. Menjelaskan indikator kelebihan albumin, dan penurunan ADH.
43
cairan 6. Kolaborasikan dengan tim medis 6. Digunakan dengan perhatian untuk
pemberian diuretic (spironolakton mengontrol edema dan asites.
(Aldakton); furosemid (lasix). Menghambat efek aldosteron,
meningkatkan ekskresi air sambil
menghemat kalium, bila terapi
konservatif dengan tirah baring dan
pembatasan natrium tidak mengatasi.

2 Ketidakseimban Setelah dilakukan tindakan Nutritional management


gan nutrisi: keperawatan selama 2x24 jam 1. Kaji status nutrisi. 1. Mengetahui status nutrisi pasien.
kurang dari diharapkan pasien mempertahankan 2. Ukur masukan diet harian dengan 2. Memberikan informasi tentang
kebutuhan tubuh status nutrisi adekuat jumlah kalor. kebutuhan pemasukan/defisiensi
berhubungan 3. Bantu dan dorong pasien untuk 3. Diet yang tepat penting untuk
dengan NOC: makan, jelaskan alasan tipe diet. penyembuhan. Pasien mungkin makan
katabolisme 1. Nutritional status: food and fluid Beri makan pasien bila pasien lebih baik bila keluarga terlibat dan
protein, intake mudah lelah atau biarkan orang makanan yang disukai sebanyak
pembatasan diet, 2. Nutritional status: nutrient terdekat membantu pasien. mungkin.
perubahan intake Pertimbangkan pemilihan makanan
membran 3. Weight control yang disukai. 4. Membantu meningkatkan nafsu makan
mukosa mulut, Kriteria Hasil : 4. Berikan makanan sedikit tapi pasien, Buruknya toleransi terhadap
peningkatan 1. Adanya peningkatan berat badan sering, sajikan makanan kesukaan makan banyak mungkin berhubungan
metabolisme, sesuai dengan tujuan pasien kecuali kontraindikasi. dengan peningkatan tekanan intra-
anoreksia, mual 2. Berat badan ideal sesuai dengan 5. Berikan makanan halus, hindari abdomen /asites.
dan muntah tinggi badan makanan kasar sesuai indikasi. 5. Perdarahan dari varises esofagus dapat
3. Mampu mengidentifikasi 6. Timbang BB tiap hari. terjadi pada serosis berat.
kebutuhan nutrisi 6. Membantu pasien untuk mendapatkan
4. Tidak ada tanda-tanda BB ideal/normal.
malnutrisi 7. Kebersihan dan kesegaran mulut dapat
44
5. Menunjukkan peningkatan 7. Lakukan perawatan mulut, berikan meningkatkan nafsu makan pasien.
fungsi pengecapan dari menelan penyegar mulut. 8. Glukosa menurun karena gangguan
6. Tidak terjadi penurunan berat 8. Awasi pemeriksaan laboratorium glikogenesis, penurunan simpanan
badan yang berarti (contoh: glukosa serum, albumin, glikogen atau masukan tak adekuat.
total protein, amonia). Protein menurun karena gangguan
metabolisme, penurunan sistesis hepatik,
atau kehilangan ke rongga peritoneal
(asites). Peningkatan kadar amonia perlu
pembatasan masukan protein untuk
mencegah komplikasi serius.

3 Intoleransi Setelah dilakukan tindakan Activity therapy


aktivitas keperawatan selama 1x24 jam 1. Kaji kemampuan ADL pasien. 1. Mempengaruhi pilihan
berhubungan diharapkan pasien dapat 2. Kaji kehilangan atau gangguan intervensi/bantuan.
dengan meningkatkan aktivitas yang dapat keseimbangan, gaya jalan dan
penurunan diltoleransi kelemahan otot.
produksi energi 3. Observasi tanda-tanda vital
metabolik, NOC: sebelum dan sesudah aktivitas. 2. Menunjukkan perubahan neurology
anemia, retensi 1. Energy conservation 4. Berikan lingkungan tenang, batasi karena defisiensi vitamin B12
produk sampah 2. Activity tolerance pengunjung, dan kurangi suara mempengaruhi keamanan pasien/risiko
dan prosedur 3. Self care: ADLs bising, pertahankan tirah baring cedera.
dialisa Kriteria Hasil : bila di indikasikan. 3. Manifestasi kardiopulmonal dari upaya
1. Berpartisipasi dalam aktivitas 5. Gunakan teknik menghemat energi, jantung dan paru untuk membawa
fisik tanpa disertai peningkatan anjurkan pasien istirahat bila jumlah oksigen adekuat ke jaringan.
tekanan darah, nadi, dan RR terjadi kelelahan dan kelemahan, 4. Meningkatkan istirahat untuk
2. Mampu melakukan aktivitas anjurkan pasien melakukan menurunkan kebutuhan oksigen tubuh
sehari-hari (ADLs) secara aktivitas semampunya (tanpa dan menurunkan regangan jantung dan
mandiri memaksakan diri). paru.
45
3. Tanda-tanda vital normal 5. Meningkatkan aktivitas secara bertahap
4. Energy psikomotor sampai normal dan memperbaiki tonus
5. Level kelemahan otot/stamina tanpa kelemahan.
6. Mampu berpindah dengan atau Meingkatkan harga diri dan rasa
tanpa bantuan alat terkontrol
7. Status kardiopulmunari adekuat
8. Sirkulasi status baik
9. Status respirasi: pertukaran gas
dan ventilasi adekuat
4 Intoleransi Setelah dilakukan tindakan NIC: 1. mengetahui perkembangan pasien terkait
Aktivitas keperawatan selama 1x24 jam 1. Lakukan pengkajian komprehensif perfusi jaringan perifer
diharapkan pasien dapat terhadap sirkulasi perifer 2. mengetahui perkembangan pasien terkait
2. Pantau perbedaan ketajaman atau
meningkatkan aktivitas yang dapat perfusi jaringan perifer
ketumpulan, panas atau dingin
diltoleransi 3. Pantau parestesia, kebas, 3. mengetahui perkembangan pasien terkait
kesemutan, hiperestesia dan perfusi jaringan perifer
NOC: hipoestesia 4. supaya pasien memiliki batas suhu yang
Status sirkulasi 4. Ajarkan pasien dan keluarga normal
Perfusi jaringan: perifer tentang: Menghindari suhu yang 5. darah dapat dengan mudah kembali
eksterm pada ekstremitas kejantung
5. letakkan ekstremitas pada posisi
Kriteria Hasil : 6. masalah gangguan perfusi jaringan
menggantung, jika perlu
Menunjukkan tidak ada gangguan 6. beri obat antitrombosit atau perifer dapat teatasi
pada: antikoagulan, jika perlu
1. tekanan darah
2. nadi perfier
3. turgor kulit
4. suhu, sensasi, elastisitas,
hidrasi, keutuhan dan
ketebalan kulit
46
5. pengisian ulang kapiler
6. warna kulit integritas kulit
5. Resiko Setelah dilakukan tindakan NIC: 1. Mengetahui keadaan kulit pasien jika
kerusakan keperawatan selama 1x24 jam Pressure management mengalami kerusakan integritas jaringan
intregitas kulit diharapkan kerusakan integritas 1. Inspeksi kulit terutama pada 2. Pasien merasa nyaman untuk keadaan
berhubungan tulang-tulang yang menonjol dan tirah baring yang lama
kulit tidak terjadi
dengan titik-titik tekanan ketika merubah 3. Meminimalkan resiko kerusakan
akumulasi NOC: intergritas kulit
posisi pasien.
toksik dalam Tissue integrity: skin and mucous 4. Kelembapan dan kebersihan kulit tetap
2. Anjurkan pasien untuk
kulit, gangguan membranes menggunakan pakaian yang terjaga
turgor kulit atau Kriteria Hasil : longgar 5. Tidak terjadi komplikasi ulkus dekubitus
uremia, pruritus 1. Integritas kulit yang baik bisa 3. Hindari kerutan pada tempat tidur akibat tirah baring
dipertahankan 4. Jaga kebersihan kulit agar tetap 6. Mengetahui kondisi kulit pasien
2. Melaporkan adanya gangguan bersih dan kering
sensasi atau nyeri pada daerah 5. Mobilisasi pasien (ubah posisi
kulit yang mengalami gangguan pasien) setiap dua jam sekali
3. Mampu melindungi kulit dan 6. Monitor kulit akan adanya
mempertahankan kelembapan kemerahan
kulit dan perawatan alami

47
DAFTAR PUSTAKA

Aryulina, D., dkk. 2004. Biologi 2 SMA dan MA untuk Kelas XI. Jakarta: Esis
Baradero, Mary. 2008. Klien Gangguan Ginjal. Jakarta: EGC.
Guyton dan Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi II. Jakarta: EGC
Johnson, M., et all. 2002. Nursing Outcomes Classification (NOC) Second
Edition. New Jersey: Upper Saddle River Mangunkusuma, Vidyapati W,
1988, Penanganan Cidera Mata dan Aspek Sosial Kebutaan, Universitas
Indonesia, Jakarta
Junizaf H. 1994. Infeksi Saluran Kemih Pada Wanita. Jakarta: Balai Pustaka.
Junqueira, L.C, Carneiro, J. 2007. Histologi Dasar. Edisi 10. Jakarta : EGC
Grace & Borley.2007.At a Glance Ilmu Bedah. edisi ketiga.Jakarta: Erlangga.
McCloskey, Joanne C. dkk. 2004. IOWA Intervention Project Nursing
Intervention Classifcation (NIC), Second edition. USA: Mosby.
Moore, K.L., & Agur, A.M.R. 2002. Anatomi Klinis Dasar. Jakarta: Hipokrates
NANDA. 2012. Diagnosis Keperawatan NANDA: Definisi dan Klasifikasi
National Kidney Foundation. 2002. Clinical Practice Guidelines for
Chronic Kideny Disease: Evaluation, Classification and Stratification.
New York: National Kidney Foundation, Inc.
National Kidney Foundation, 2002. Clinical Practice Guidelines For
ChronicKidney Disease: Evaluation, Classification and Stratification. In
New York:National Kidney Foundation, Inc., p. 4
Purnomo, Basuki B. 2003. Dasar-Dasar Urologi. Malang : Fakultas Kedokteran
Universitas Brawijaya
Price, S. A., dan Wilson, L. M. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Edisi 6 Volume 2. Jakarta: EGC.
Sloane, Ethel. 2003. Anatomi dan fisiologi untuk pemula. Jakarta: EGC
Sherwood,Lauralee. 2001. Fisiologi manusia : dari sel ke sistem . Jakarta : EGC
Smeltzer, S. C., dan Bare, B. G. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah
Brunner & Suddarth. Edisi 8 Volume 2. Jakarta: EGC.
Sudoyo A, et al. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: FKUI
48
Suwitra, K. 2006. Buku Ajar Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
Syamsir, Alam dkk. 2007. Gagal Ginjal. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.

49

Anda mungkin juga menyukai