Tugas ini disusun untuk Memenuhi Mata Kuliah Praktik Klinik Dasar
OLEH :
Tugas ini disusun untuk Memenuhi Mata Kuliah Praktik Klinik Dasar
Oleh :
Mengetahui,
A. Latar Belakang
Beraktivitas merupakan hal yang selalu dilakukan oleh manusia, aktivitas
sendiri merupakan kemampuan manusia untuk melakukan kebutuhan untuk dirinya
sendiri seperti makan, minum, bekerja, bersosialisasi dengan masyarakat dan
sebagainya. Banyaknya aktivitas yang dilakukan tanpa disadari dapat menimbulkan
berbagai macam gangguan yang dialami, akibatnya menimbulkan masalah keamanan
anggota gerak tubuh terhadap pola gerak yang dilakukan, misalnya kesalahan posture
yang buruk saat beraktivitas seperti duduk, mengangkat barang yang memiliki bobot
yang berat dan sebagainya. Akibatnya dapat menimbulkan keluhan baru berupa nyeri,
terutama nyeri pada punggung bawah atau Low Back Pain (LBP)
Low Back Pain (LBP) adalah nyeri yang dirasakan didaerah punggung bawah,
diantara sudut iga paling bawah sampai sakrum (Fitrina, 2018). Salah satu penyebab
dari Low Back Pain karena adanya kelainan pada tulang belakang yang disebut Lumbal
Spinal Stenosis (LSS).
Lumbar Spinal Stenosis di tulang belakang merupakan penyakit yang terjadi
karena adanya penyempitan kanal pada tulang yang mengelilingi saraf. Hal ini dapat
terjadi dikarenakan adanya faktor dari trauma atau penuaan. Penyempitan yang terjadi
di bagian bawah punggung disebut lumbar stenosis, yang menekan saraf dan dapat
menyebabkan rasa sakit, mati rasa, atau kelemahan pada bokong, hingga kaki si
penderita. Ketika penderita melakukan ekstensi trunk, ruang di sekitar saraf semakin
sempit dan membuat gejala yang dirasakan semakin memburuk. Dan apabila
melakukan flexi trunk (pungung bawah) akan membuka ruang dan dapat membuat
gejala yang dirasakan lebih baik (Permanente, 2015).
Di Amerika LSS menjadi salah satu masalah yang sering ditemukan, yang
merupakan penyakit degeneratif pada tulang belakang yang terjadi pada orang berusia
lanjut dengan prevalensi dari 1000 orang berusia diatas 50 tahun. Menjadi penyakit
terbanyak yang melakukan pembedahan pada spinal pada usia lebih dari 60 tahun dan
lebih dari 125.000 prosedure laminektomi dilakukan pada kasus Lumbal Spinal
Stenosis dengan insiden tertinggi terjadi pada pria daripada wanita (Apsari et al., 2016).
B. Rumusan Masalah
“Bagaimanakah asuhan keperawatan pada pasien Spinal Canal Stenosis Lumbal
dilakukan tindakan operasi Dekompresi dengan Anestesi General di IBS/Bangsal
RSUD dr. Soedono Madiun?”
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mampu mendeskripsikan dan melakukan Asuhan Kepenataan Anestesi pada
pasien Spinal Canal Stenosis Lumbal di IBS/Bangsal RSUD dr. Soedono Madiun
pada tahun 2023
2. Tujuan Khusus
Berdasarkan tujuan umum dapat dibuat tujuan khusus sebagai berikut :
a. Mampu mendeskripsikan hasil pengkajian pada pasien Spinal Canal Stenosis
Lumbal di IBS/Bangsal RSUD dr. Soedono Madiun pada tahun 2023
b. Mampu mendeskripsikan hasil diagnose keperawatan pada pasien Spinal
Canal Stenosis Lumbal di IBS/Bangsal RSUD dr. Soedono Madiun pada tahun
2023
c. Mampu mendeskripsikan rencana keperawatan pada pasien Spinal Canal
Stenosis Lumbal di IBS/Bangsal RSUD dr. Soedono Madiun pada tahun 2023
d. Mampu mendeskripsikan tindakan keperawatan pada pasien Spinal Canal
Stenosis Lumbal di IBS/Bangsal RSUD dr. Soedono Madiun pada tahun 2023
e. Mampu mendeskripsikan evaluasi keperawatan pada pasien Spinal Canal
Stenosis Lumbal di IBS/Bangsal RSUD dr. Soedono Madiun pada tahun 2023
D. Metode
Dalam penulisan laporan asuhan kepenataan anestesi ini penulis menggunakan
metode deskriptif dan metode kepustakaan. Metode deskriptif yaitu tipe studi kasus
dengan pendekatan proses keperawatan, teknik yang digunakan dalam pengumpulan
data yaitu dengan wawancara, observasi dan pemeriksaan fisik. Sumber data yang
diperoleh atau digunakan adalah data primer yang didapat langsung dari klien dan data
sekunder yang didapat dari keluarga, tenaga kesehaan dan dokumen hasil pemeriksaan
penunjang lainnya. Metode kepustakaan yang digunakan oleh penulis adalah dengan
mempelajari jurnal penelitian dan buku dengan sumber yang berhubungan dengan
asuhan keperawatan yang diberikan pada klien dengan Spinal Canal Stenosis Lumbal.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
4. Klasifikasi
Putu Indah, dkk., (2016) menyebutkan bahwa kalsifikasi spinal canal stenosis
lumbar dibagi berdasarkan etiologi dan anatomi. Berdasarkan etiologi lumbar
spinal canal stenosis dapat dibagi menjadi stenosis primer dan sekunder.
a. Stenosis Primer:
1) Defek kongenital dibagi menjadi:
a) Disrapismus spinalis;
b) Segmentasi vertebra yang mengalami kegagalan;
c) Stenosis intermiten (d’Anquin syndrome).
2) Perkembangan
a) Kegagalan pertumbuhan tulang, seperti: Akondroplasia; Morculo
disease; Osteopetrosis; Eksostosis herediter multipel.
b) Idiopatik yaitu hipertrofi tulang pada arkus vertebralis.
b. Stenosis Sekunder:
1) Degeneratif yaitu degeneratif spondilolistesis;
2) Iatrogenik yaitu post-laminektomi, post-artrodesis, postdisektomi;
3) Akibat kumpulan penyakit yaitu akromegali, paget diseases, fluorosis,
ankylosing spondylitis;
4) Post-fraktur;
5) Penyakit tulang sisitemik;
6) Tumor baik primer maupun sekunder.
a. Sentral stenosis
Biasanya terjadi pada tingkat diskus sebagai hasil dari pertumbuhan berlebih
sendi facet terutama aspek inferior prosesus articularis vertebra yang lebih ke
cranial serta penebalan dan hipertrofi ligamentum falvum.
b. Lateral stenosis
Lateral stenosis dapat mengenai daerah resesus lateralis dan foramen
intervertebralis. Stenosis resesus lateralis yang terjadi sebagai akibat dari
perubahan degeneratif sama halnya dengan central spinal stenosis,
mempengaruhi kanal akar saraf pada tingkat diskus dan aspek superior
pedikel.
c. Foraminal stenosis
Foraminal stenosis paling sering terjadi di tingkat diskus, biasanya dimulai
dari bagian inferior foramen. Stenosis jenis ini menjadi penting secara klinis
walaupun hanya melibatkan aspek superiornya saja pada level intermediet,
karena pada level ini akar saraf keluar dari bagian lateral, sebelah inferior
pedikel dimana dia bisa ditekan oleh material diskus atau tulang yang
mengalami hipertrofi yang membentuk osteofit dari aspek inferior vertebra
chepalis atau dari prosesus artikularis superior vertebra caudalis.
d. Ekstraforaminal stenosis
Kebanyakan karena akar saraf pada L5 terjebak oleh osteofit, diskus,
prosesus transversus, atau articulatio sacroilliacal.
6. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan dari spinal canal stenosis lumbal dapat dilakukan dengan dua
cara yaitu dengan terapi konservatif dan terapi operatif. Berikut beberapa contoh
dari terapi konservatif dan terapi operatif menurut Putu Indah, dkk., (2016):
a. Penatalaksanaan terapi
1) Lumbar Corset-type
Korset dapat digunakan untuk mobilisasi, meskipun manfaatnya
kontroversial. Korset lumbosakral tidak memberikan keuntungan jangka
panjang. Korset dapat membatasi tekanan di cakram dan mencegah gerakan
ekstra di tulang belakang. Tetapi juga dapat menyebabkan otot punggung
dan perut melemah. Biasanya pemakaian korset dianjurkan selama satu
hingga dua minggu.
2) Obat anti-inflamasi.
Karena rasa nyeri stenosis disebabkan oleh tekanan pada saraf tulang
belakang, mengurangi inflamasi (pembengkakan) di sekitar saraf dapat
meredakan nyeri. Nonsteroid antiinflammatory drugs (NSAID) awalnya
memberikan penghilang rasa sakit. Ketika digunakan selama 5-10 hari,
mereka juga dapat memiliki efek anti inflamasi.
3) Injeksi steroid.
Kortison adalah anti inflamasi kuat. Suntikan kortison pada sekitar saraf
atau di "ruang epidural" bisa mengurangi pembengkakan dan rasa sakit.
Tetapi sebetulnya tidak dianjurkan untuk menerima ini, karena pemberian
yang lebih dari 3 kali per tahun. Suntikan ini lebih cenderung untuk
mengurangi rasa sakit dan mati rasa namun bukan mengurangi kelemahan
pada kaki.
4) Akupuntur
Akupuntur dapat membantu dalam mengobati rasa sakit untuk kasus-kasus
yang kurang parah. Meskipun sangat aman, namun kesuksesan pengobatan
ini secara jangka panjang belum terbukti secara ilmiah
b. Penatalaksanaan operatif
Terapi operatif dilakukan jika memiliki indikasi yaitu, gejala neurologis
yang bertambah berat, defisit neurologis yang progresif, ketidakamampuan
melakukan aktivitas sehari-hari dan menyebabkan penurunan kualitas hidup,
serta terapi konservatif yang gagal.
1) Laminektomi dekompresi
Prosedur yang paling standar dilakukan adalah laminektomi dekompresi.
Laminektomi adalah prosedur bedah yang dilakukan untuk mengurangi
tekanan pada sumsum tulang belakang atau akar saraf tulang belakang yang
dipengaruhi oleh stenosis tulang belakang. Kanalis tulang belakang
dipersempit oleh stenosis tulang belakang yang kemudian menimbulkan
sejumlah tekanan pada sumsum tulang belakang yang dipenuhi dengan
saraf. Prosedur ini membutuhkan pembedahan untuk mengeluarkan tulang
dan/atau jaringan yang memengaruhi seberapa banyak tekanan yang
diberikan pada tulang belakang. Selain itu, Laminektomi juga merupakan
opsi lain untuk mengobati cedera pada tulang belakang, dan piringan sendi
hernia, juga dikenal sebagai piringan sendi bergeser dan tumor tulang
belakang. Standar laminektomi dekompresi adalah membuang lamina dan
ligamentum flavum dari tepi lateral satu resesus lateralis sampai melibatkan
level transversal spina. Semua resesus lateralis yang membuat akar saraf
terperangkap harus didekompresi.
7. Komplikasi
Komplikasi Stenosis Spinal yaitu :
1) Mati rasa di tangan atau tungkai
2) Gangguan keseimbangan
3) Inkontinensia urine
4) Kelumpuhan.
2. Teknik
Katzung (2015) membagi anestesi umum menjadi tiga sesuai sediaan obat,
yaitu:
a. Anestesi Inhalasi
Anestetik volatil (halotan, enfluran, isofluran, desfluran, sevfluran)
memiliki tekanan uap yang rendah dan titik didih demikian tinggi sehingga
mereka mereka mencair pada suhu kamar (20℃), sedangkan anestesi gas
(nitrous oxide, xenon). Anestesi volatil diperlukannya alat penguap
(vaporizer) dikarenakan memiliki karakteristik khusus. Anestesi inhalasi
yaitu agen volatil serta gas diambil melalui pertukaran gas dialveoli paru-
paru
b. Anestesi intravena
Anestesi intravena digunakan untuk memfasilitasi induksi cepat dan telah
menggantikan anestesi inhalasi sebagai metode yang disukai untuk anestesi
pediatrik. Anestesi intravena yang digunakan untuk induksi anestesi umum
bersifat limfolik (otak, sumsum tulang belakang), yang mampu
menyumbang onset yang cepat. Agen anestesi intravena yang biasa
digunakan yaitu: dexametason, etomidat, ketamin, benzodiazepam
(diazepam, lorazepam, midazolam), propofol, dan barbiturat (tiopental,
methohexital)
c. Anestesi seimbang
Anestesi seimbang mirip dengan anestesi inhalasi, anestesi intravena yang
tersedia saat ini bukan merupakan anestesi yang ideal untuk menimbulkan
lima efek yang diinginkan. Sehingga digunakan anestesi seimbang dengan
beberapa obat (anestesi inhalasi, sedatif, hipnotik, opioid, dan agen
neuromuscular blocking) untuk meminimalkan efek yang tidak diinginkan.
4. Komplikasi
Menurut Butterworth, Mackey & Wasnick (2013), Pramono (2015) dan
Gwinnutt (2011) komplikasi pasca general anestesi yang dapat terjadi yaitu:
a. Komplikasi pernapasan
Komplikasi paru pasca operasi atau Post Operative Pulmonary
Complication (PPC) merupakan komplikasi terkait dengan sistem
pernafasan. Komplikasi ini merupakan keadaan yang dapat menyebabkan
perawatan lanjut setelah operasi seperti perawatan di unit perawatan intensif
atau memperpanjang waktu perawatan di rumah sakit setelahoperasi
(Hadder, 2013).
1) Hipoventilasi
Hipoventilasi dapat terjadi akibat adanya seperti: kelebihan cairan atau
emboli paru, henti jantung, atelektasis, komplikasi yang mendasarinya
penyakit pernapasan seperti asma atau COPD. Pasien yang mengalami
hipoventilasi berlanjut akan menyebabkan komplikasi hiposekmia
akibat kurangnya suplai oksigen yang ada dalam darah (Hadder, 2013).
2) Ateletaksis paru
Atelektasis paru, kolaps atau gangguan fungsi paru merupakan keadaan
yang sering terjadi pada pasien pasca general anestesi. Atelektasis
menghasilkan pengurangan kapasitas residu fungsional, yang berkurang
terhirup volume oksigen. Atelektasis dapat menyebabkan komplikasi
pneumotoraks (Kuukasjärvi, Laurikka & Tarkka 2010).
3) Aspirasi paru
Keadaan ini dapat terjadi pada kondisi pasien pasca general anestesi
umum. Faktor-faktor risiko ini termasuk operasi darurat, anestesi umum,
ahli anestesi dan pasien yang tidak berpengalaman alasan tergantung
seperti kurang puasa, pengosongan lambung tertunda atau hipersekresi
lambung (Murola, 2014)
b. Komplikasi kardiovaskuler
Komplikasi kardiovaskuler yang dapat terjadi yaitu: hipotensi, aritmia,
bradikardi, dan hipertensi pulmonal. Hipotensi disebabkan akibat
hipovolemia yang disebabkan oleh perdarahan, overdosis obat anestetika,
penyakit kardiovaskuler seperti infark miokard, aritmia, hipertensi, dan
relaksasi hipersensitivitas obat induksi, obat pelumpuh otot dan reaksi
transfusi (Butterworth, Mackey & Wasnick 2013).
c. Komplikasi neurologi
Cedera saraf perifer yang paling sering terjadi adalah neuropati ulnar.
Gejala-gejala awal sebagian besar seringkali terlihat lebih dari 24 jam
setelah prosedur pembedahan dan mungkin telah terjadi saat pasien yang
berada pada bangsal rumah sakit saat pasien sedang tertidur. Cedera saraf
perifer lainnya lebih berhubungan dekat dengan pengaturan posisi atau
prosedur pembedahan. Cedera ini terjadi pada saraf peroneus, pleksus
brakialis, atau saraf femoralis dan skiatika. Kemudian penekanan eksternal
pada saraf dapat membahayakan perfusinya, merusak integritas selularnya,
dan pada akhirnya menimbulkan edema, iskemia, dan nekrosis (Pramono,
2015)
d. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit
Gangguan ketidakseimbangan cairan dan elektrolit dapat terjadi akibat
adanya hipovolemia, perdarahan, mual muntah pada saat intra anestesi
(Akhtar, dkk, 2013). Gangguan hipovolemia dapat mengakibatkan
terjadinya takikardi, ketidakedekauatan urine output serta hipotensi
(Gwinnut, 2011).
e. Komplikasi gastrointestinal
Mual muntah pasca general anestesi atau PONV (Post Operative Nausea
And Vomitus) merupakan komplikasi terbanyak pascaanestesia. Keadaan ini
terjadi akibat penggunaan anestesi inhalasi sehingga menimbulkan mual
muntah pasca bedah (Butterworth, 2013). Kondisi ini menyebabkan
penundaan pemulangan pasien dari rumah sakit sehingga meningkatkan
biaya perawatan pasien sehingga PONV harus ditangani secara serius untuk
mencegah terjadinya komplikasi yang dapat terjadi (Gwinnutt, 2011).
3. Rencana intervensi
a. Pre anestesi
1) Dx : Ansietas berhubungan dengan ancaman actual atau persepsi ancaman
terhadap integritas biologis, sekunder akibat prosedur invasive
Tujuan : NOC: Tingkat ansietas, koping, kendali impuls
Kriteria hasil:
• Verbalisasi khawatir akibat kondisi yang dihadapi menurun
• Perilaku gelisah menurun
• Perilaku tegang menurun
• Konsentrasi membaik
• Pola tidur membaik
• TTV dalam rentang normal
Intervensi : NIC: Penurunan Ansietas, Pengendalian Impuls
O:
• Kaji vital sign pada pasien
• Kaji tingkat kecemasan pada pasien (ringan, sedang, berat, atau panik)
• Monitor tanda-tanda ansietas (verbal dan nonverbal)
• Identifikasi saat tingkat ansietas berubah (mis: kondisi, waktu, stresor)
T:
• Ciptakan suasana terapeutik untuk menumbuhkan kepercayaan
• Temani pasien untuk mengurangi kecemasan, jika memungkinkan
• Pandu pasien untuk mengalihkan kecemasan dengan teknik distraksi
dan relaksasi (mendengarkan musik yang disukai, meditasi, napas
dalam, relaksasi otot progresif)
E:
• Jelaskan tujuan, manfaat, Batasan, dan jenis relaksasi yang tersedia
(mis: musik, meditasi, napas dalam, relaksasi otot progresif)
• Anjurkan keluarga untuk tetap Bersama pasien, jika perlu
• Berikan informasi dan penjelasan tentang diagnose, prognosis dan
tindakan
C:
• Kolaborasi dengan dokter terkait pemberian obat-obatan untuk
mengurangi kecemasan (antiansietas)
2) Dx : Gangguan rasa nyaman yeri akut berhubungan dengan trauma jaringan
dan spasme otot refleks akibat gangguan muskuloskeletal gangguan spinalis
Tujuan : NOC : Tingkat Nyeri, Pengendalian Nyeri
Kriteria hasil :
• Keluhan nyeri menurun
• Meringis menurun
• Gelisah menurun
• TTV dalam batas normal
Intervensi : NIC: Penatalaksanaan Nyeri, Penatalaksanaan Medikasi
O:
• Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas
nyeri.
• Identifikasi skala nyeri
• Identifikasi respon nyeri non verbal
• Identifikasi faktor yang memperberat dan meringankan nyeri
• Identifikasi TTV
• Monitor keberhasilan terapi yang sudah diberikan
• Monitor efek samping penggunaan analgetik
T:
• Berikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
misalnya dengan teknik distraksi atau relaksasi
• Kontrol lingkungan yang memperberat rasanyeri (mis. Suhu ruangan,
pencahayaan,kebisingan)
• Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan strategi
meredakan nyeri
E:
• Jelaskan strategi meredakan nyeri
• Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
• Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat
• Ajarkan Teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
C:
• Kolaborasi dengan dokter terkait dengan pemberian analgetik, jika
diperlukan
3) Dx : Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan
neuromuscular cedera medula spinalis
Tujuan : NOC : Pergerakan Sendi : Aktif, Tingkat Mobilitas
Kriteria hasil :
• Pasien mampu memperagakan penggunaan alat bantu
• Pasien mengerti tujuan dari peningkatan mobilisasi
•
Intervensi : NIC: Ambulasi
O:
• Monitor TTV pasien
• Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik lainnya
• Identifikasi toleransi fisik melakukan ambulasi
• Monitor frekuensi jantung dan tekanan darah sebelum memulai
ambulasi
• Monitor kondisi umum selama melakukan ambulasi
T:
E:
C:
4. Implementasi
Implementasi merupakan tindakan yang sudah direncanakan dalam perencana
perawatan. Tindakan keperawatan mencakup tindakan mandiri yaitu aktivitas
perawat yang didasarkan pada kesimpulan atau keputusan sendiri dan bukan
merupakan petunjuk atau perintah dari petugas Kesehatan lain, dan tindakan
kolaborasi merupakan tindakan yang didasarkan hasil dari keputusan Bersama,
seperi dokter dan petugas Kesehatan yang lain (Wartonah, 2015).
5. Evaluasi
Evaluasi merupakan tahap akhir yang bertujuan untuk menilai apakah tindakan
keperawatan yang telah dilakukan tercapai atau tidak untuk mengatasi suatu
masalah. (Meirisa, 2013). Pada tahap evaluasi, perawat dapat mengetahui seberapa
jauh diagnosa keperawatan, rencana tindakan, dan pelaksanaan telah tercapai.
Kemungkinan yang akan terjadi pada fase evaluasi adalah, saat tujuan tercapai,
klien akan menunjukkan perubahan yang sesuai standart yang diharapkan. Jika
tujuan masih sebagian yang tercapai, klien akan menunjukkan perubahan pada
sebagian kriteria yang di harapkan. Dan jika belum tercapai, maka klien tidak akan
menunjukkan perubahan dan tidak ada kemajuan sama sekali.
D. Daftar Pustaka
Gwinnutt, Carl L. (2011). Catatan Kuliah Anestesi Klinis (3rd ed) (Diana Susanto,
Penerjemah). Jakarta: EGC
Kuukasjärvi, P., Laurikka, J., & Tarkka, M. (2010). Rintakehän ja pleuran kirurgia. In
PJ.
e) Riwayat kesehatan
- Sebelumnya pernah masuk rumah sakit? Ya/Tidak
- Apakah pasien mendapatkan transfusi darah? Ya/Tidak
- Apakah pasien pernah mengalami penyakit menular? Ya/Tidak
f) Riwayat pengobatan/konsumsi obat
- Obat yang pernah dikonsumsi : (-)
b) Pesiapan mesin
1) Mesin anestesi dalam keadaan baik dan siap untuk digunakan
● Pastikan tabung tabung tersi gas oksigen dan N₂0 serta pastikan
kabel Oksigen dan N₂o terhubung pada mesin anestesi
● Pastikan sodalime masih layak digunakan
● Pastikan bahwa vaporizer terisi oleh volatile agent
● Pastikan bag valve mask tidak bocor
2) Siapkan mesin suction dan bedside monitor, pastikan mesin-mesin
tersebut berfungsi dengan baik
c) Penatalaksanaan Anestesi
- Pasien dilakukan Sign in Pada pukul 09.00 dan telah diberikan
premedikasi
- Pukul 11.00 time out Pasien diberikan antibiotik ceftriaxone 2 mg
- Pada pukul 14.00 Pasien sign out/ selesai operasi dan dibawa ke ruang
RR.
h. Analisa Data
2. DS : Hambatan Hambatan
- Pasien mengatakan susah Mobilitas Fisik Mobilitas Fisik
untuk menggerakan kaki dan berhubungan
bagian punggung dengan
- pasien mengatakan jika kerusakan
berpindah harus dibantu oleh neuromuscular
keluarga cedera medula
DO : spinalis
- Pasien tampak kesusahan
menggerakan bagian kaki dan
bagian punggung
- Pasien dibantu oleh keluarga
untuk memenuhi kebutuhan
3. DS : Ansietas Ansietas
- Pasien mengatakan khawatir berhubungan
dan gelisah karena baru
dengan
pertama kali menjalani
operasi ancaman
DO : aktual atau
- TTV
persepsi
TD : 130/70 mmHg, N : 100
ancaman
x/mnt, T : 36,2 C, RR : 24x/m,
terhadap
SPO2 : 98%.
integritas
- Pasien tampak gelisa
biologis,
sekunder
akibat
prosedur
invasif
Post Operasi
1. DS : Nyeri akut Nyeri Akut
- P : Pasien mengeluhkan nyeri berhubungan
dibagian punggung bekas dengan trauma
dilakukannya operasi jaringan dan
- Q : Nyeri seperti ditusuk spasme otot
tusuk, hilang timbul refleks akibat
- R : Nyeri pada bagian operasi
punggung
- S : Skala Nyeri 6
- T : Nyeri berlangsung terus
menerus
- pasien mengatakan nyeri pada
bagian punggung
DO :
- TTV
TD : 110/20 mmHg, N :
85x/m, T : 36,2 C, RR :
20x/m, SPO2 : 98%.
- skala nyeri 5
- pasien tampak menahan nyeri
2. DS : Risiko jatuh Resiko Jatuh
- Keluarga pasien mengatakan berhubungan
pasien agak sedikit pusing dengan efek
ketika hendak duduk. sedative obat-
- Pasien mengatakan hendak obatan anestesi
akan muntah dan merasakan
mual
DO :
- TTV
TD : 125/50 mmHg, N :
85x/m, T : 36,2 C, RR :
20x/m, SPO2 : 98%.
B. Problem
1. Pre anestesi
● Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan dan spasme otot refleks akibat
gangguan muskuloskeletal gangguan spinalis
● Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuromuscular cedera
medula spinalis
2. Intra anestesi
-
3. Pasca anestesi
● Nyeri Akut berhubungan dengan trauma jaringan dan spasme otot refleks
akibat operasi
● Resiko Jatuh berhubungan dengan efek sedative obat-obatan anestesi
C. Rencana Intervensi, Implementasi dan Evaluasi
Pre Anestesi
ASSESMEN PRA INDUKSI/ RE-ASSESMEN
Tanggal : 16 Maret 2023
Kesadaran : Composmentis Pemasangan IV line Siap/Baik
Tekanan darah : 127/71 mmHg Nadi : 87 x/mnt Kesiapan mesin anestesi Siap/Baik
RR : 20 x/mnt Suhu : 36°C , Saturasi: 98 % Kesiapan sumber gas medik Siap/Baik
Gambaran EKG : Kesiapan volatile agent Siap/Baik
Kesiapan obat anestesi parenteral Siap/Baik
Kesiapan obat anestesi emergensi Siap/Baik
Post anestesi
Kesadaran
(Gilang Caesar)