Anda di halaman 1dari 70

ASUHAN KEPERAWATAN PERIANESTESI PADA Ny.

S DIAGNOSA
FRAKTUR COLUM FEMUR DEXTRA DILAKUKAN TINDAKAN
PARCIAL HIP HEMI-ARTHOPLASTY DENGAN REGIONAL ANESTESI
DI IBS RSUD BENDAN
Disusun untuk memenuhi Tugas Kelompok Praktik Klinik Anestesi Komprehensif
(PK-V)
Dosen Pembimbing: Dr.Catur Budi Susilo,S.Pd.,S.Kp.,M.Kes.

Pembimbing Lapangan: Alif Achmad Fahrizal, S.Tr.Kep

Disusun Oleh:
1. Geraldini Olga Fortuna Ambarita (P07120319009)
2. Salwa Azzarah (P07120319010)
3. Diva Azalia Karangan (P07120319018)
4. Amalia Nadia Mustika (P07120319019)

POLTEKKES KEMENKES YOGYAKARTA


JURUSAN KEPERAWATAN
PRODI SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN ANESTESIOLOGI
2022
LEMBAR PENGESAHAN
ASUHAN KEPERAWATAN ANESTESI PADA Ny.S DIAGNOSA
FRAKTUR COLUM FEMUR DEXTRA DILAKUKAN TINDAKAN
PARCIAL HIP HEMI-ARTHOPLASTY DENGAN REGIONAL ANESTESI
DI IBS RSUD BENDAN
Diajukan untuk disetujui pada:
Hari :
Tanggal :
Tempat :

Mengetahui

Pembimbing Pendidikan Pembimbing Lapangan

Dr.Catur Budi Susilo,S.Pd.,S.Kp.,M.Kes. Alif Achmad Fahrizal, S.Tr.Kep


KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan asuhan
keperawatan perianestesi dengan judul “ASUHAN KEPERAWATAN
PERIANESTESI PADA Ny.S DIAGNOSA FRAKTUR COLUM FEMUR
DEXTRA DILAKUKAN TINDAKAN PARCIAL HIP HEMI-ARTHOPLASTY
DENGAN REGIONAL ANESTESI DI IBS RSUD BENDAN
”. Laporan ini disusun untuk memenuhi tugas kelompok Praktik Klinik
AnestesiKomprehensif (PK-V). Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada:
1. Bondan Palestin, SKM, M.Kep., Sp.Kom., selaku Ketua Jurusan Keperawatan
Poltekkes Kementerian Kesehatan Yogyakarta dan Pembimbing Pendidikan.
2. Dr. Catur Budi Susilo, S.Pd., S.Kp., M.Kes., selaku Ketua Prodi S. Tr.
Keperawatan Anestesiologi Poltekkes Kementerian Kesehatan Yogyakarta.
3. Dr. Catur Budi Susilo, S.Pd., S.Kp., M.Kes selaku pembimbing akademik
yang telah memberikan dukungan dan bimbingan demi terselesainya laporan
ini.
4. Alif Achmad Fahrizal, S.Tr.Kep selaku pembimbing lapangan yang telah
memberikan masukan serta bimbingan demi terselesainya laporan ini.

Penulis berharap semoga laporan ini dapat membantu pembaca untuk lebih mengetahui
tentang asuhan keperawatan perianestesi pada ASUHAN KEPERAWATAN
PERIANESTESI PADA Ny.S DIAGNOSA FRAKTUR COLUM FEMUR
DEXTRA DILAKUKAN TINDAKAN PARCIAL HIP HEMI-ARTHOPLASTY
DENGAN REGIONAL ANESTESI DI IBS RSUD BENDAN
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan laporan ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharap dan saran dari berbagai pihak agar laporan
ini lebih sempurna.

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas dari tulang. Fraktur dibagi atas dua,
yaitu fraktur tertutup dan fraktur terbuka. Fraktur tertutup (simple) yaitu bila
kulit yang tersisa diatasnya masih intak (tidak terdapat hubungan antara
fragmen tulang dengan dunia luar), sedangkan fraktur terbuka (compound)
yaitu bila kulit yang melapisinya tidak intak dimana sebagian besar fraktur
jenis ini sangat rentan terhadap kontaminasi dan infeksi.
Fraktur neck femur adalah tempat yang paling sering terkena fraktur pada
usia lanjut. Ada beberapa variasi insiden terhadap ras. Fraktur neck femur lebih
banyak pada populasi kulit putih di Eropa dan Amerika Utara. Insiden
meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Sebagian besar pasien adalah
wanita berusia tujuh puluh dan delapan puluhan.
Namun fraktur collum femur bukan semata-mata akibat penuaan. Fraktur
neck femur cenderung terjadi pada penderita osteopenia diatas rata-rata,
banyak diantaranya mengalami kelainan yang menyebabkan kehilangan
jaringan tulang dan kelemahan tulang, misalnya pada penderita osteomalasia,
diabetes, stroke, dan alkoholisme. Beberapa keadaan tadi juga menyebabkan
meningkatnya kecenderungan terjatuh. Selain itu, orang lanjut usia juga
memiliki otot yang lemah serta keseimbangan yang buruk sehingga
meningkatkan resiko jatuh
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian fraktur colum femur?
2. Bagaimana anatimi, Mekanisme Terjadinya Fraktur, epidemologi,
penatalaksanaan, gambaran klinis, klasifikasi, serta pemeriksaan
penunjang fraktur colum femur?
3. Bagaimana konsep regional anestesi?
4. Bagaimana konsep dari spinal anestesi?
5. Bagaimana konsep Hip Hemi-Arthoplasty?
6. Bagaimana penatalaksanaan anestesi pada Ny.S dengan diagnosa medis
fraktur colum femur dextra yang menjalani tindakan oprerasi parcial HIP
Hemi-Arthoplasty?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui Apa pengertian fraktur colum femur
2. Bagaimana anatimi, Mekanisme Terjadinya Fraktur, epidemologi,
penatalaksanaan, gambaran klinis, klasifikasi, serta pemeriksaan
penunjang fraktur colum femur
3. Untuk mengetahui konsep regional anestesi
4. Untuk mengetahui konsep dari spinal anestesi
5. Untuk mengetahui konsep Parcial Hip Hemi-Arthoplasty
6. Untuk mengetahui penatalaksanaan anestesi pada Ny.S dengan diagnosa
medis fraktur colum femur dextra yang menjalani tindakan oprerasi parcial
HIP Hemi-Arthoplasty

D. Manfaat
1. Bagi pasien
Memberi edukasi dan informasi pada pasien dan keluarga pasien
tentang pentingnya kesiapan fisik maupun psikis sebelum dilakukan
tindakan pembiusan pada operasi dengan tindakan parcial HIP Hemi-
Arthopalsty dengan teknik Regional Anestesi.
2. Bagi penulis
Mendapatkan pengalaman serta dapat menerapkan apa yang di dapat
dalam perkuliahan.
3. Bagi institusi Pendidikan
Sebagai bahan kepustakaan tentang asuhan keperawatan perianestesi
pada Ny.S dengan diagnosa medis fraktur neck femur dextra yang
menjalani tindakan oprerasi HIP Hemi-Arthoplasty
4. Bagi lahan praktik
Memberikan masukan terhadap tenaga kesehatan untuk
mempertahankan dan menguatkan serta meningkatkan asuhan keperawatan
secara profesional agar terhindar dari komplikasi yang mungkin timbul.

E. Cara Pengumpulan Data


Data didapatkan dengan cara observasi perioperative, pemeriksaan fisik,
dan studi dokumen rekam medis.

F. Waktu dan Tempat


1. Waktu : 28 Oktober 2022
2. Tempat : IBS RSUD BENDAN
BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Konsep Dasar fraktur neck femur


1. Anatomi
Femur merupakan tulang terpanjang dan terberat dalam tubuh,
meneruskan berat tubuh dari os coxae ke tibia sewaktu kita berdiri. Caput
femoris ke arah craniomedial dan agak ke ventral sewaktu bersendi dengan
acetabulum. Ujung proksimal femur terdiri dari sebuah caput femoris dan
dua trochanter (trochanter mayor dan trochanter minor)

Gambar 1. Anatomi Femur


Area intertrochanter dari femur adalah bagian distal dari collum femur
dan proksimal dari batang femur. Area ini terletak di antara trochanter
mayor dan trochanter minor. Caput femoris dan collum femoris
membentuk sudut (1150-1400) terhadap poros panjang corpus femoris,
sudut ini bervariasi dengan umur dan jenis kelamin. Corpus femoris
berbentuk lengkung, yakni cembung ke arah anterior. Ujung distal femur,
berakhir menjadi dua condylus, epicondylus medialis dan epicondylus
lateralis yang melengkung bagaikan ulir.
Caput femoris mendapatkan aliran darah dari tiga sumber, yaitu
pembuluh darah intramedular di leher femur, cabang pembuluh darah
servikal asendens dari anastomosis arteri sirkumfleks media dan lateral
yang melewati retinakulum sebelum memasuki caput femoris, serta
pembuluh darah dari ligamentum teres.

Gambar 2. Varkulatisasi femur.


Pada saat terjadi fraktur, pembuluh darah intramedular dan pembuluh
darah retinakulum mengalami robekan bila terjadi pergeseran fragmen.
Fraktur transervikal adalah fraktur yang bersifat intrakapsuler yang
mempunyai kapasitas yang sangat rendah dalam penyembuhan karena
adanya kerusakan pembuluh darah, periosteum yang rapuh, serta hambatan
dari cairan sinovial.
Sendi panggul dan leher femur ini dibungkus oleh capsula yang di
medial melekat pada labrum acetabuli, di lateral, ke depan melekat pada
linea trochanterika femoris dan ke belakang pada setengah permukaan
posterior collum femur. Capsula ini terdiri dari ligamentum iliofemoral,
pubofemoral, dan ischiofemoral. Ligamentum iliofemoral adalah sebuah
ligamentum yang kuat dan berbentuk seperti huruf Y terbalik. Dasarnya
disebelah atas melekat ada spina iliaca anterior inferior, dibawah kedua
lengan Y melekat pada bagian atas dan bawah linea intertrochanterica.
Ligament ini berfungsi untuk mencegah ekstensi berlebihan selama
berdiri. Ligamentum pubofemoral berbentuk segitiga. Dasar ligamentum
melekat pada ramus superior ossis pubis, dan apex melekat di bawah pada
bagian bawah linea intertrochanterica. Ligament ini berfungsi untuk
membatasi gerak ekstensi dan abduksi. Ligamentum ischifemoral
berbentuk spiral dan melekat pada corpus ossis ischia dekat margo
acetabuli dan di bagian bawah melekat pada trochanter mayor. Ligament
ini membatasi gerak ekstensi.

Gambar 3. Anatomi Ligament pada femur


2. Mekanisme Terjadinya Fraktur
a. Low-energy trauma: paling umum pada pasien yang lebih tua.
1) Direct: Jatuh ke trokanter mayor (valgus impaksi) atau rotasi
eksternal yang dipaksa pada ekstremitas bawah menjepit leher
osteroporotik ke bibir posterior acetabulum (yang mengakibatkan
posterior kominusi)
2) Indirect : Otot mengatasi kekuatan leher femur
b. High-energy trauma: Terjadi patah tulang leher femur pada pasien
yang lebih muda dan lebih tua, seperti kecelakaan kendaraan bermotor
atau jatuh dari ketinggian yang signifikan.
c. Cyclic loading-stress fractures: Terjadi pada atlet, militer, penari
balet, pasien dengan osteroporosis dan osteopenia berada pada risiko
tertentu.
Fraktur biasanya disebabkan oleh jatuh biasa, walaupun demikian
pada orang-orang yang mengalami osteoporosis, energi lemah dapat
menyebabkan fraktur. Pada orang-orang yang lebih muda, penyebab
fraktur umumnya karena jatuh dari ketinggian atau kecelakaan lalu lintas.
Terkadang fraktur collum femur pada dewasa muda juga diakibatkan oleh
aktivitas berat seperti pada atlit dan anggota militer
3. Epidemologi
Fraktur neck femur adalah hal yang umum terjadi, dan mencakup
sekitar 20% dari fraktur yang haris dioperasi pada bagian orthopedic,
fraktur pada neck femur merupakan tantangan besar bagi seorang ahli
orthopedic. Seiring dengan perkembangan zaman, dan meningkatnya
kualitas pelayanan kesehatan, maka angka harapan hidup akan semakin
meningkat, sehingga akan bertambah banyak jumlah pasien geriatric di
masyarakat.
Fraktur neck femur paling sering terjadi pada pasien wanita dengan
usia tua, dan jarang terjadi pada pasien usia <60 tahun. Fraktur juga
berhubungan dengan factor rasial, yaitu lebih sering terjadi pada ras kulit
putih, bila dibandingkan dengan ras kulit hitam. Angka kejadian
meningkat secara eksponensial seiring dengan bertambahnya usia.
Studi epidemologis telah berhasil mengidentifikasi beberapa hal yang
dapat menjadi factor resiko terjadinya fraktur neck femur, diantaranya:
1) Body mass index yang rendah (<18,5)
2) Paparan terhadap sinar matahari yang rendah
3) Aktifitas rekreasional yang rendah
4) Perokok
5) Riwayat fraktur akibat osteoporosis sebelumnya
6) Pengobatan menggunakan kartikosteroid dalan jangka waktu lama.
4. Penatalaksanaan
Prinsip-prinsip umum:
Optimasi pra operasi medis yang cepat: Mortalitas dikurangkan dengan
operasi dalam waktu 48 jam fiksasi yang stabil dan mobilisasi dini.
Pengobatan fraktur leher femur dapat berupa:
a. Konservatif dengan indikasi yang sangat terbatas
Non-operatif:
Indikasi: Fraktur nondisplaced pada pasien mampu memenuhi
pembatasan weight bearing.
b. Terapi operatif:
Indikasi: Displaced fraktur dan nondisplaced
Fiksasi internal diindikasikan untuk Garden Tipe I, II, III pada pasien
muda, patah tulang yang tidak jelas, dan fraktur displaced pada pasien
muda.
Bentuk pengobatan bedah yang dipilih ditentukan terutama oleh
lokasi fraktur (femoralis leher vs intertrochanteric), displacement, dan
tingkat aktivitas pasien.Kemungkinan untuk tidak reduksi adalah pada
pasien dengan stress fracture dengan kompresi pada leher femur dan
fraktur leher femur pada pasien yang tidak bisa berjalan atau
komplikasi yang tinggi.Terapi operatif hampir sering dilakukan pada
orang tua karena:
- Perlu reduksi yang akurat dan stabil
- Diperlukan mobilisasi yang cepat pada orang tua untuk mencegah
komplikasi
Jenis-jenis operasi:
a. Pemasangan pin
Pemasangan pin haruslah dengan akurasi yang baik karena
pemasangan pin yang tidak akurat (percobaan pemasangan pin
secara multiple atau di bawah trokanter) telah diasosiasi dengan
fraktur femoral sukbtrokanter.
b. Pemasangan plate dan screw
Fraktur leher femur sering dipasang dengan konfigurasi apex
distal screw atau apex proximal screw.Pemasangan screw secara
distal sering gagal berbanding dengan distal.fiksasi dengan
cannulated screw hanya bisa dilakukan jika reduksi yang baik
telah dilakukan. Setelah fraktur direduksi, fraktur ditahan dengan
menggunakan screw atau sliding screw dan side plate yang
menempel pada shaft femoralis.Sliding hip screw (fixed-angle
device) ditambah derotation screw diindikasikan untuk fraktur
cervical basal dan patah tulang berorientasi vertical.
c. Artroplasti
Dilakukan pada penderita umur di atas 55 tahun, berupa:
- Eksisi artroplasti
- Hemiartroplasti
Diindikasikan untuk pasien usia lanjut dengan fraktur
displaced risiko yang lebih rendah untuk dislokasi berbanding
artroplasti pinggul total, terutama pada pasien tidak dapat
memenuhi tindakan pencegahan dislokasi (demensia,
penyakit Parkinson). Prostesis disemen memiliki mobilitas
yang lebih baik dan kurang nyeri paha; prostesis tidak
disemen harus disediakan untuk pasien yang sangat lemah di
mana status pra cedera menunjukkan bahwa mobilitas tidak
mungkin dicapai setelah operasi.
- Artroplasti total
Indikasi:
 Untuk pasien usia lanjut yang aktif dengan fraktur
displaced.
 Pilihan untuk pasien dengan pra hip arthropathy (OA dan
RA).
 Jika pengobatan telah terlambat untuk beberapa minggu
dan curiga kerusakan acetabulum.
 Pasien dengan metastatic bone disease seperti Paget’s
Disease
 Hasil fungsional lebih baik dari pada hemiarthroplasty
 Tingkat dislokasi lebih tinggi dari hemiarthroplasty.

5. Gambaran Klinis
Biasanya terdapat riwayat jatuh, yang diikuti nyeri pinggul. Pada
fraktur dengan pergeseran, tungkai pasien terletak pada rotasi eksternal
dan terlihat pemendekan bila dibandingkan dengan tungkai yang lain.
Namun tidak semua fraktur nampak demikian jelas. Pada fraktur yang
terimpaksi pasien mungkin masih dapat berjalan dan pasien yang sangat
lemah atau cacat mental mungkin tidak mengeluh, sekalipun mengalami
fraktur bilateral. Untuk high-energy trauma harus diperiksa sesuai standar
ATLS.
Fraktur collum femur pada dewasa muda biasanya disebabkan oleh
kecelakaan lalu lintas atau jatuh dari ketinggian serta sering dikaitkan
dengan cedera multipel. Mendapatkan keterangan yang akurat mengenai
ada atau tidaknya sinkop, riwayat penyakit, mekanisme trauma dan
aktivitas keseharian sangat penting untuk menentukan pilihan terapi.
6. Klasifikasi
Lokasi anatomi:
- Subcapital (paling sering)
- Transcervical
- Basicervical
Gambar 4. Klasifikasi fraktur leher femur mengikut lokasi
anatomi.
Klasifikasi yang paling bermanfaat adalah Garden dimana
klasifikasi ini dibuat berdasarkan pergeseran yang nampak pada hasil
sinar-x sebelum reduksi.
- Garden Type I: fraktur inkomplit, termasuk fraktur abduksi dimana
caput femoris miring ke arah valgus yang berhubungan dengan collum
femoris
- Garden Type II: fraktur komplit, namun tidak terdapat pergeseran
- Garden Type III: fraktur komplit disertai pergeseran parsial
- Garden Type IV: fraktur komplit dengan pergeseran keseluruhan
Fraktur Garden I dan II dimana hanya terjadi sedikit pergeseran,
memiliki prognosis yang lebih baik untuk penyatuan dibandingkan
dengan fraktur Garden III dan IV. Hal ini tentunya memiliki pengaruh
yang penting terhadap pilihan terapi
Klasifikasi Pauwel berdasarkan sudut fraktur dari garis horizontal: -
- Tipe I : >30 derajat
- Tipe II: 50 derajat
- Tipe III: > 70 derajat
7. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan sinar-x pelvis posisi anteroposterior (AP) dan sinar-x
proksimal femur posisi AP dan lateral diindikasikan untuk kasus
curiga fraktur collum femur. Dua hal yang harus diketahui adalah
apakah ada fraktur dan apakah terjadi pergeseran. Pergeseran dinilai
dari bentuk yang abnormal dari outline tulang dan derajat
ketidaksesuaian antara garis trabekula di kaput femur, collum femur,
dan supra-asetabulum dari pelvis. Penilaian ini penting karena fraktur
terimpaksi atau fraktur yang tidak bergeser akan mengalami perbaikan
setelah fiksasi internal, sementara fraktur dengan pergeseran memiliki
angka nekrosis avaskular dan malunion yang tinggi.
2) Magnetic resonance imaging (MRI)
saat ini merupakan pilihan pencitraan untuk fraktur tanpa
pergeseran atau fraktur yang tidak nampak di radiografi biasa. Bone
scan atau CT scan dilakukan pada pasien yang memiliki
kontraindikasi MRI.

8. Komplikasi
a. Komplikasi Umum
Pasien yang berusia tua sangat rentan untuk menderita komplikasi
umum seperti thrombosis vena dalam, emboli paru, pneumonia dan
ulkus dekubitus.
b. Nekrosis avaskular
Nekrosis iskemik dari caput femoris terjadi pada sekitar 30 kasus
dengan fraktur pergeseran dan 10 persen pada fraktur tanpa
pergeseran. Hampir tidak mungkin untuk mendiagnosisnya pada saat
fraktur baru terjadi. Perubahan pada sinar-x mungkin tidak nampak
hingga beberapa bulan bahkan tahun. Baik terjadi penyatuan tulang
maupun tidak, kolaps dari caput femoris akan menyebabkan nyeri dan
kehilangan fungsi yang progresif.
c. Non-union
Lebih dari 30 persen kasus fraktur collum femur gagal menyatu,
terutama pada fraktur dengan pergeseran. Penyebabnya ada banyak:
asupan darah yang buruk, reduksi yang tidak sempurna, fiksasi tidak
sempurna, dan penyembuhan yang lama. Osteoartritis Nekrosis
avaskular atau kolaps kaput femur akan berujung pada osteoartritis
panggung. Jika terdapat kehilangan pergerakan sendi serta kerusakan
yang meluas, maka diperlukan total joint replacement.
B. Konsep Regional Anestesi
1. Definisi
Anestesi regional adalah hambatan impuls nyeri suatu bagian tubuh
sementara pada impuls saraf sensorik, sehingga impuls nyeri dari satu
bagian tubuh diblokir untuk sementara (reversibel). Fungsi motorik dapat
terpengaruh sebagian atau seluruhnya. Tetapi pasien tetap sadar.
Induksi anestesi regional menyebabkan hilangnya sensasi pada daerah
tubuh tertentu. Anestesi regional terdiri dari spinal anestesi, epidural
anestesi, kaudal anestesi. Metode induksi mempengaruhi bagian alur
sensorik yang diberi anestesi. Ahli anestesi memberi regional secara
infiltrasi dan lokal. Pada bedah mayor, seperti perbaikan hernia,
histerektomi vagina, atau perbaikan pembuluh darah kaki, anestesi
regional atau spinal anestesi hanya dilakukan dengan induksi infiltrasi.
Blok anestesi pada saraf vasomotorik simpatis dan serat saraf nyeri dan
motoric menimbulkan vasodilatasi yang luas sehingga klien dapat
mengalami penurunan tekanan darah.
2. Klasifikasi Anestesi Regional
a. Blok sentral (blok neuroaksial), yaitu meliputi blok spinal, epidural,
dan kaudal. Tindakan ini sering dikerjakan.
b. Blok perifer (blok saraf), misalnya anestesi topikal, infiltrasi lokal,
blok lapangan, dan analgesia regional intravena.
3. Keuntungan Anestesi Regional
a. Alat minim dan teknik relatif sederhana, sehingga biaya relatif lebih
murah.
b. Relatif aman untuk pasien yang tidak puasa (operasi emergency,
lambung penuh) karena penderita sadar.
c. Tidak ada komplikasi jalan nafas dan respirasi.
d. Tidak ada polusi kamar operasi oleh gas anestesi.
e. Perawatan post operasi lebih ringan.
4. Kerugian Anestesi Regional
a. Tidak semua penderita mau dilakukan anestesi secara regional.
b. Membutuhkan kerjasama pasien yang kooperatif.
c. Sulit diterapkan pada anak-anak.
d. Tidak semua ahli bedah menyukai anestesi regional.
e. Terdapat kemungkinan kegagalan pada teknik anestesi regional.
C. Konsep Dasar Spinal Anestesi
1. Definisi
Spinal anestesi adalah prosedur pemberian obat anestesi untuk
menghilangkan rasa sakit pada pasien yang akan menjalani pembedahan
dengan menginjeksikan obat anestesi lokal ke dalam cairan cerebrospinal
dalam ruang subarachnoid (Morgan et al., 2013). Spinal anestesi
dihasilkan bila obat analgesik local disuntikkan ke dalam ruang
subarachnoid diantara vertebra lumbal 2 dan lumbal 3, lumbal 3 dan
lumbal 4 atau lumbal 4 dan lumbal 5 (Latief dkk, 2009).
Pada penyuntikan intratekal yang dipengaruhi dahulu ialah saraf
simpatis dan parasimpatis, diikuti dengan saraf untuk rasa dingin, panas,
raba dan tekan dalam. Yang mengalami terakhir adalah serabut motoris,
rasa getar (vibratory sense) dan proprioseptif. Simpatis ditandai dengan
adanya kenaikan suhu kulit tungkai bawah. Setelah anestesi selesai,
pemulihan terjadi dengan urutan sebaliknya, yaitu fungsi motoris yang
pertama kali akan pulih. Didalam cairan serebrospinal, hidrolisis anestetik
lokal berlangsung lambat. Sebagian besar anestetik lokal meninggalkan
ruang subarachnoid melalui aliran darah vena sedangkan sebagian kecil
melalui aliran getah bening. Lamanya anestesi tergantung dari kecepatan
obat meninggalkan cairan serebrospinal (Majid, 2011).
Anestesi spinal ialah pemberian obat anestetik lokal ke dalam ruang
subarachnoid. Anestesi spinal diperoleh dengan cara menyuntikkan
anestetik lokal ke dalam ruang subarachnoid. Anestesi spinal/subaraknoid
disebut juga sebagai analgesi/blok spinal intradural atau blok intratekal.
Untuk mencapai cairan serebrospinal, maka jarum suntik akan
menembus kutis  subkutis  Lig. Supraspinosum  Lig. Interspinosum
 Lig. Flavum  ruang epidural  durameter  ruang subarachnoid.
Medula spinalis berada didalam kanalis spinalis dikelilingi oleh
cairan serebrospinal, dibungkus oleh meningens (duramater, lemak dan
pleksus venosus). Pada dewasa berakhir setinggi L1, pada anak L2 dan
pada bayi L3. Oleh karena itu, anestesi/analgesi spinal dilakukan ruang
sub arachnoid di daerah antara vertebra L2-L3 atau L3-L4 atau L4-L5
2. Tujuan
Menurut Sjamsuhidayat dan De Jong (2010), spinal anestesi dapat
digunakan untuk prosedur pembedahan, persalinan, penanganan nyeri akut
maupun kronik.
3. Anatomi Fisiologi Lumbal Vertebra
Pengetahuan yang baik tentang anatomi kolumna vertebralis
merupakan salah satu faktor keberhasilan tindakan anetesi spinal. Di
samping itu, pengetahuan tentang penyebaran analgesia lokal dalam cairan
serebrospinal dan level analgesia diperlukan untuk menjaga keamanan
tindakan anestesi spinal. Tulang belakang memiliki 5 segmen lumbal,
vertebra lumbalis merupakan vertebra yang paling penting dalam spinal
anestesi, karena sebagian besar penusukan pada spinal anestesi dilakukan
pada daerah ini. Pada saat berbaring daerah tertinggi adalah L3, sedangkan
daerah terendah adalah T5 (Morgan, 2013). Medulla spinalis dibungkus
oleh tiga jaringan ikat yaitu duramater, arakhnoid dan piameter yang
membentuk tiga ruangan: ruang epidural, ruang subdural, dan ruang
subarachnoid. Ruang subarachnoid terdiri dari trebekel, saraf spinalis dan
cairan serebrospinal (Mangku, 2010)
Otak dan korda spinalis dikelilingi oleh cairan serebrospinal (LCS)
dalam ruang subarachnoid yang sekaligus melindunginya dari rauma
akibat gerakan tiba-tiba. Sebagian besar hingga 90% LCS diproduksi dari
darah dalam plexus choroids diventrikelateral III dan IV dengan kecepatan
0,3 – 0,4 ml/menit dan diabsorpsi kembali kedalam darah oleh granulasi
arakhnoid. Volume cairan serebrospinal yang dibentuk setiap hari sekitar
150 cc. Jika cairan berkurang (misalnya karena lumbal pungsi) dapat
diproduksi lagi untuk menggantikan kehilangan tersebut (Salinas, 2009).
Suplai darah pada korda spinalis dan akar saraf berasal dari sebuah arteri
spinalis anterior dan pasangan arteri spinalis posterior. Arteri spinalis
anterior dan posterior menerima tambahan aliran darah dari arteri
interkostalis di toraks dan arteri lumbar di abdomen (Morgan, 2013).
Pada tulang belakang terdapat serabut-serabut saraf yang
menghubungkan antara otak dan organ-organ dibawahnya. Jika dilakukan
pada bagian-bagian tertentu pada medulla spinalis maka akan terjadi
bloakde pada saraf organ-organ dibawahnya (Salinas, 2009). Berikut saraf-
saraf yang diblok saat dilakukan spinal anestesi menurut Morgan (2013):
a. Saraf Spinal
Nervus lumbal bawah, sakral dan koksigea bersama-sama dengan
fillum terminale membentuk kauda equine, dibagian bawah
berakhirnya medulla spinalis. Pada bagian ini anestesi spinal dilakukan
karena jarum spinal tidak akan merusak medulla spinalis karena saraf-
saraf yang membentuk kauda equine dapat bergerak bebas dalam LCS.
Didalam ruang subarachnoid, saraf spinalis terbagi menjadi serabut-
serabut saraf yang lebih kecil dan dibungkus hanya dengan sebuah
lapisan piameter. Ini berbeda dengan yang di ruang epidural, yang
berupa gabungan saraf besar dengan banyak jaringan penghubung
didalam maupun diluar sarafnya. Hal ini menunjukkan perlunya dosis
anestesi yang lebih besar pada epidural daripada spinal anestesi.
b. Saraf Somatik
Saraf somatik mengatur semua gerakan sadar, seperti berjalan,
berbicara, dan lain-lain Semua aktivitas tubuh diatur pada dasarnya
melalui jaringan saraf dengan menghubungkan serabut saraf, yang
berasal dari sistem saraf pusat dan membuat sistem saraf perifer. Ada
tiga jenis serabut saraf; saraf sensorik, saraf motorik, dan saraf
penghubung. Saraf ini diperbolehkan untuk mentransfer impuls
sensorik dan motorik dalam sistem saraf. Spinal anestesi dapat mem
secara luas, baik pada saraf motorik dan sensorik ekstremitas bawah.
Sehingga menyebabkan parathesia dan relaksasi otot rangka yang
bersifat reversible serta menimbulkan efek analgesia yang kuat.
c. Saraf simpatis
Sistem saraf simpatis memiliki ganglion yang terletak di sepanjang
tulang belakang yang menempel pada sumsum tulang belakang,
sehingga memilki serabut pra-ganglion pendek dan serabut post
ganglion yang panjang. Serabut pra-ganglion adalah serabut saraf yang
yang menuju ganglion dan serabut saraf yang keluar dari ganglion
disebut serabut post-ganglion.
d. Saraf Parasimpatis
Saraf afferent dan efferent dari sistem saraf parasimpatis berjalan
melalui nervus kranial atau nervus sakralis ke 2, 3, 4. Nervus vagus
merupakan saraf kranial paling penting yang membawa saraf efferent
parasimpatis. Saraf parasimpatis terletak dikraniosakral sehingga
dengan adanya vertebra lumbal saraf parasimpatis tidak ikut ter.
Selama proses spinal anestesi, saraf parasimpatis memiliki peranan
dominan sehingga haemodinamik pasien cenderung menurun dan perlu
diperhatikan.
4. Tinggi Blok Analgesia Spinal Anestesi
Faktor-faktor yang mempengaruhi tinggi blok analgesia spinal anestesi
(Majid, 2011)
a. Volume obat analgetik lokal: makin besar makin tinggi daerah analgesi
b. Konsentrasi obat: makin pekat makin tinggi batas daerah analgesia
c. Barbotase: penyutikan dan aspirasi cairan serebrospinal berulang-
ulang dapat meninggikan batas daerah analgesic
d. Kecepatan: penyuntikkan yang cepat menghasilkan batas analgesia
yang tinggi. Kecepatan penyuntikkan yang dianjurkan adalah 3 detik
tiap 1 ml
e. Maneuver valsava: mengejan meninggikan tekanan serebrospinal
liquor dengan akibat batas analgesia bertambah tinggi.
f. Tempat pungsi: pengaruhnya besar pada L4-L5 obat hiperbarik
cenderung berkumpul ke kaudal (saddle blok), pungsi L2-L3 atau L3-
L4 obat cenderung menyebar ke kranial
g. Berat jenis larutan: hiperbarik, isobarik dan hipobarik
h. Tekanan abdominal yang meningkat: dengan dosis yang sams didapat
batas analgesia yang lebih tinggi
i. Waktu: setelah 15 menit dari saat penyuntikan, umumnya larutan
analgesik sudah menetap sehingga batas analgesia tidak dapat diubah
dengan posisi pasien.
5. Penyebaran Anestesi Lokal di Tulang Belakang
Banyak faktor yang dikatakan mempengaruhi mekanisme ini. menurut
Gwinnutt (2011), faktor utama dalam penyebaran anestesi lokal adalah
karakteristik fisik cerebro spinal fluid (CSF) dan sifat cairan anestesi lokal
(hiperbarik, hipobarik atau isobarik) yang disuntikkan, teknik yang
digunakan serta gambaran umum pasien. Obat-obat local anestesi
berdasarkan barisitas dan sensitas dapat di golongkan menjadi tiga
golongan menurut Gwinnutt (2011), yaitu:
a. Hiperbarik
Merupakan sediaan obat lokal anestesi dengan berat jenis obat
lebih besar daripada berat jenis cairan serebrospinal, sehingga dapat
terjadi perpindahn obat ke dasar akibat gaya gravitasi. Agar obat
anestesi lokal benar-benar hiperbarik pada semua pasien maka baritas
paling rendah harus 1,0015 gr/ml pada suhu 370 C. Contoh:
buvipakain 0,5.
b. Hipobarik
Merupakan sediaan obat lokal anestesi dengan berat jenis obat
lebih rendah dari berat jenis cairan serebrospinal sehingga obat akan
berpindah dari area penyuntikan ke atas. Densitas cairan serebrospinal
pada suhu 370 C adalah 1,003 gr/ml. Perlu diketahui variasi normal
cairan serebrospinal sehingga obat yang sedikit hipobarik belum tentu
menjadi hipobarik bagi pasien yang lainnya. Contoh: terakain.
c. Isobarik
Obat anestesi isobarik bila densitasnya sama dengan densitas
cairan serebrospinal pada suhu 370 C sehingga obat akan berada di
tingkat yang sama di tempat penyuntikan. Tetapi karena terdapat
variari densitas cairan serebrospinal, maka obat akan menjadi isobarik
untuk semua pasien jika densitasnya berada pada rentang standar
deviasi 0,999 – 1,001 gr/ml. Contoh: levobupikain 0,5 %
6. Indikasi Spinal Anestesi
Menurut Majid (2011), indikasi spinal anestesi dapat
digolongkansebagai berikut:
a.Bedah tungkai bawah, panggul dan perineum
b. Tindakan khusus seperti bedah endoskopi, urologi, rectum
c.Bedah fraktur tulang panggul
d. Bedah obstetrik – ginekologi
e.Bedah pediatrik dilakukan setelah bayi ditidurkan dengan anestesi
umum.
7. Kontraindikasi
Kontraindikasi spinal anestesi menurut Majid (2011) adalah sebagai
berikut:
a. Kontraondikasi mutlak
1) Hipovolemia berat (syok)
2) Infeksi kulit pada tempat lumbal pungsi (bakteremia)
3) Koagulopati
4) Peningkatan tekanan crani
b. Kontraindikasi absolute
1) Neuropati
2) Prior spine surgery
3) Nyeri punggung
4) Penggunaan obat-obatan preoperasi golongan OAINS
5) Pasien dengan haemodinamik tidak stabil
8. Pengaruh Spinal Anestesi Pada Tubuh
Respon spinal anestesi ditentukan oleh pengaruhnya pada saraf
afferent dan efferent somatik dan visceral. Saraf somatik berhubungan
dengan persarafan sensorik dan motorik, sedangkan saraf visceral
berhubungan dengan sistem saraf otonom Berikut sistem dalam tubuh
yang terpengaruh ketika dilakukan spinal anestesi menurut Latief (2009):
a. Sistem Kardiovaskuler
Pada anestesi spinal tinggi terjadi penurunan aliran darah jantung
dan penghantaran (supply) oksigen miokardium yang sejalan dengan
penurunan tekanan arteri rata-rata. Penurunan tekanan darah yang
terjadi sesuai dengan tinggi blok simpatis, makin banyak segmen
simpatis yang terblok makin besar penurunan tekanan darah.
b. Sistem Respirasi
Pada anestesi spinal blok motorik yang terjadi 2-3 segmen di
bawah blok sensorik, sehingga umumnya pada keadaan istirahat
pernafasan idak banyak dipengaruhi. Tetapi apabila blok yang terjadi
mencapai saraf frenikus yang mempersarafi diafragma, dapat terjadi
apnea.
c. Sistem Gastrointestinal
Serabut-serabut simpatis pada intestinum (T5 – L1) bersifat
inhibitor terhadap usus, menurunkan peristaltik, tidak ada efek
terhadap oesofagus, memelihara tonus sphincter dan menentang aksi
nervus vagus. simpatis (T5 – L1) yang disebabkan anestesi spinal
menyebabkan kontraksi usus halus meningkat karena tonus vagus
dominan.
d. Sistem Genitourinari
Spinal anestesi menurunkan 5-100% GFR, saraf yang
menyebabkan kandung kemih atonia mengakibatkan volume urin yang
banyak. Blokade simpatis afferent (T5 – L1) berakibat dalam
peningkatan tonus sphincter yang menyebabkan retensi urin. Retensi
urin post spinal anestesi mungkin secara moderat diperpanjang karena
S2 dan S3 berisi serabut-serabut otonom kecil dan paralisisnya
terlambat lebih lama daripada serabut-serabut sensoris dan motoris
yang lebih besar. Kateter urin harus dipasang jika anestesi dilakukan
dalam waktu lama. Menurut Potter & Perry (2010), normalnya dalam
waktu 6-8 jam setelah anestesi, pasien akan mendapatkan kontrol
fungsi berkemih secara volunter, tergantung pada jenis pembedah
e. Sistem Endokrin
Spinal anestesi tidak merubah fungsi endokrin atau aktifitas
metabolik saat operasi, kecuali peningkatan sedikit gula atau
penurunan katekolamin. tiap jalur afferent dan efferent atau keduanya,
bertanggungjawab terhadap penghambatan perubahan endokrin dan
metabolik oleh stress operasi. Selain mempengaruhi kelima sistem
tersebut, spinal anestesi juga mempengarui sistem muskoloskeletal,
spinal anestesi menyebabkan parathesia hingga relaksasi otot-otot
ekstremitas bawah akibat adanya motorik/somatik. Dengan
menghambat transmisi impuls nyeri dan menghilangkan tonus otot
rangka. Blok sensoris menghambat stimulus nyeri somatik atau
visceral, sedangkan blok motorik menyebabkan relaksasi otot. Efek
anestesi lokal pada serabut saraf bervariasi tergantung dari ukuran
serabut saraf tersebut dan apakah serabut tersebut bermielin atau tidak
serta konsentrasi obat (Morgan, 2013).
9. Komplikasi Spinal Anestesi
Komplikasi yang dapat terjadi dalam tindakan spinal anestesi antara
lain (Latief, 2009)
a. Komplikasi tindakan:
1) Hipotensi berat akibat blok simpatis terjadi venous pooling
2) Bradikardi terjadi akibat blok sampai T2-T3
3) Hipoventilasi akibat paralisis saraf frenikus atau hipotensi akibat
kendali nafas
4) Trauma saraf dan pembuluh darah
5) Mual muntah
b. Komplikasi pasca tindakan:
1) Nyeri tempat suntikan
2) Nyeri punggung
3) Nyeri kepala karena kecoboran liquor
4) Retensi urine
5) Meningitis
10. Penanganan
Penanganan yang dilakukan pasca spinal anestesi menurut Majid
(2011) adalah posisi berbaring terlentang (tirah baring) selama 24 jam,
hidrasi adekuat, hindari mengejan, dan bila ketiga cara tersebut tidak
berhasil, berikan epidural blood patch yakni penyuntikan darah pasien
sendiri 5-19 ml ke dalam ruang epidural. Sedangkan menurut Morgan
(2013 cara yang bisa dilakukan antara lain mobilisasi dini setelah tirah
baring 24 jam dan diet TKTP.
11. Jenis Obat Anestesi
Menurut Mulroy, et al (2009) jenis obat anestesi yang sering
digunakan yaitu:
a. Lidokain
Lidokain dianggap sebagai obat yang pendek untuk durasi
menengah agen anestesi lokal dan merupakan obat yang paling banyak
digunakan dalam spinal anestesi. Lidokain polos dengan dosis 50 mg
akan menghasilkan blok puncak T6 dengan timbulnya 2 dermatom
regresi 50 pada 120-140 menit.
b. Bupivakain
Bupivakain adalah prototipe yang paling banyak digunakan
sebagai agen anestesi lokal jangka panjang. Dalam rentang dosis klinis
yang relevan yaitu 3,75 mg – 11,25 mg merupakan bupivakain
hiperbarik 0,75%, untuk setiap tambahan miligramnya terdapat
peningkatan durasi anestesi bedah selama 10 menit dan peningkatan
selesai pemulihan setelah 21 menit. Bupivakain cenderung
menghambat sensoris disbanding motoris sehingga menyebabkan obat
ini sering digunakan untuk analgesia selama persalinan dan pasca
bedah. Pada beberapa tahun terakhir, bupivakain baik isobarik maupun
hiperbarik sudah banyak digunakan pada blok subarachnoid untuk
operasi abdominal bawah. Bila diberikan dalam dosis berulang maka
takifilaksis yang terjadi lebih ringan dibandingkan dengan lidokain.
Salah satu sifat bupivakain yang disukai selain dari kerja obat yang
panjang adalah blokade motoris yang lemah. Toksisitas dari
bupivakain kurang lebih sama dengan tetrakain. Bupivakain juga
mempunyai lama kerja yang lebih panjang daripada lidokain karena
mempunyai kemampuan yang lebih besar untuk mengikat protein.
c. Tetrakain
Tetrakain adalah prototipe jangka panjang dari amino ester agen
anestesi lokal. Tetrakain meningkatkan kelarutan lemak, sehingga
memiliki potensi yang lebih besar dan dosis dapat berkurang 20%-30%
untuk blokade setara.
12. Posisi Penyuntikan Spinal Anestesi
Menurut Muhloy, et al (2009) posisi spinal anestesi dibagi menjadi 3,
yaitu:
a. Posisi miring (Lateral decubitus position): Posisi ini sering digunakan
pada operasi ekstremitas yang lebih rendah
b. Posisi duduk: Posisi duduk di sarankan untuk pasien yang memiliki
berat badan lebih (obesitas).
c. Posisi prone jackkniff: Posisi yang digunakan pada pembedahan
seperti rektal dan perineal.
13. Teknik Spinal Anestesi
a. Teknik paramedian
Paramedian (paramedian approach) yaitu dengan cara memasukkan
jarum spinal 1-2 cm sebelah lateral dari bagian superior processus
spinosus dibawah ruang vertebre yang dipilih. Jarum diarahkan ke titik
tengah pada garis median dengan sudut sama dengan midline
approach. Pada teknik ini hanya ligamentum flavum yang tertembus
jarum, karena memiliki celah yang lebar. Setelah cairan serebrospinal
keluar, maka jarum spinal dihubungkan dengan spuit injeksi yang
berisi obat lokal anestesi. Sebelum penyuntikan obat local anestesi
dilakukan, maka perlu aspirasi cairan serebrospinal 0,1 ml untuk
memastikan posisi jarum kemudian obat diinjeksikan. Selama injeksi
juga perlu dilakukan aspirasi cairan serebrospinal untuk memastikan
jarum masih berada di ruang subaraknoid. Teknik ini menguntungkan
untuk pasien yang tidak mampu untuk melakukan posisi fleksi sama
sekali yaitu pasien hamil, lanjut usia, obesitas. Pada paramedian ada
dua ligamen yang tidak dilalui yaitu ligamen supra dan intraspinosium,
sehingga akan meminimalisir terjadinya trauma pada ligamen yang
bisa menyebabkan kebocoran liquor (Raj P. 2013).
b. Teknik median
Median (midline approach) yaitu penusukan jarum tepat digaris
tengah yang menghubungkan prosesus spinosus satu dengan yang
lainnya pada sudut 80º dengan punggung. Posisi permukaan jarum
spinal ditentukan kembali yaitu pada daerah antara vertebra lumbalis
(interlumbal). Lakukan penyuntikan jarum spinal ditempat penusukan
pada bidang medial dengan sudut 10º-30º terhadap bidang horizontal
ke arah kranial, bevel jarum diarahkan ke lateral sehingga tidak
memotong serabut longitudinal durameter. Dalam memasukkan jarum
spinal, setiap masuk ligamentum tentu bisa diidentifikasi adanya rasa
dimana flacum terasa paling keras. Jarum lumbal akan menembus
ligamentum supraspinosum, ligamentum interspinosum, ligamentum
flavum, lapisan durameter dan lapisan subaraknoid. Cabut stilet lalu
cairan serebrospinal akan menetes keluar. Suntikkan obat anestesi
lokal yang telah disiapkan ke dalam ruang subaraknoid. Pada teknik
median, obat akan melalui banyak ligamen yang menyebabkan trauma
penusukan lebih banyak karena ligamen yang dilalui, ligament supra
dan interspinosum yang bersifat elastis sehingga mudah sekali trauma
yang dikhawatirkan akan menyebabkan kebocoran dari cairan liquor
yang terdapat pada pirameter dura yang sangat sensitif (Raj P, 2013).
14. Persiapan Analgesia Spinal
Pada dasarnya persiapan untuk analgesia spinal seperti persiapan pada
anastesia umum. Daerah sekitar tempat tusukan diteliti apakah akan
menimbulkan kesulitan, misalnya ada kelainan anatomis tulang punggung
atau pasien gemuk sekali sehingga tak teraba tonjolan prosesus spinosus.
Selain itu perlu diperhatikan hal-hal di bawah ini:
a. Informed consent: Tim Medis tidak boleh memaksa pasien untuk
menyetujui anestesia spinal.
b. Pemeriksaan fisik: Tidak dijumpai kelainan spesifik seperti kelainan
tulang punggung.
c. Pemeriksaan laboratorium anjuran: Hemoglobin, Hematokrit,P
(Prothrombine Time), PTT (Partial Thromboplastine Time).
15. Penilaian Bromage Score
Penilaian kekuatan gerakan ekstremitas bawah bisa dilakukan dengan
penilaian Bromage Score sehingga bisa dilakukan moblisasi dini.
Penilaian ini bisa dilakukan oleh dokter spesialis anestesi maupun pearwat
anestesi sampai pasien mampu menggerakkan ekstremitas bawah secara
penuh. Adapun penilaian derajat blok motorik menggunakan Bromage
Score dibagai menjadi 4 skala seperti terlihat pada tabel dibawah. Jika
hasil Bromage Score kurang dari sama dengan 2, pasien bisa dipindahkan
ke ruang perawatan (Edward, 2003)
Skor Kriteria Tingkat blok
0 Gerakan penuh Nilai (0%)
1 Hanya mampu memfleksikan lutut Parsial 33%
dengan gerakan bebas dikaki
2 Belum mampu merefleksikan lutut Hanya lengkap 66%
dengan gerakan di kaki
3 Kaki tidak bisa digerakan dan lutut Lengkap 100%
tidak bisa direfleksikan

D. Konsep Hip Hemi-Arthoplasty


Hip Arthroplasty merupakan suatu tindakan penggantian sendi pinggul
dengan prostesis yang bertujuan untuk mengurangi rasa sakit dan
mengembalikan fungsi sendi panggul seperti semula. Nyeri setelah tindakan
hip arthroplasty dirasakan membaik selama minimal 3 bulan, sedangkan
setidaknya butuh 1 tahun untuk kembali ke fungsi normal tubuh. Hip
Arthroplasty terbagi menjadi dua jenis, yaitu Total Hip Arthroplasty dan
Hemiarthroplasty.
Hemiarthroplasty pinggul adalah prosedur yang digunakan untuk
mengobati patah tulang pinggul yang seperti penggantian pinggul total tetapi
hanya sebagian pinggul yang diganti. Meskipun prosedur ini digunakan untuk
mengobati patah tulang pinggul, prosedur ini juga digunakan untuk mengobati
radang sendi pinggul. Proses pemulihan sangat mirip dengan penggantian
pinggul total. Anda harus menjalani terapi fisik untuk mendapatkan kembali
kekuatan dan fleksibilitas di pinggul. Jika operasi berhasil dan tidak ada
komplikasi, Anda harus menikmati penggunaan pinggul baru Anda yang
panjang dan sehat.

E. Rencana Keperawatan
1. Diagnosa Keperawatan yang Mungkin Muncul
a. Pre anestesi
1) Risiko disfungsi neorovaskuler perifer b.d fraktur, penekanan mekanis
(balutan)
2) Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik
b. Intra anestesi
1) Risiko perdarahan b.d tindakan pembedahan
2) Hipotermi b.d terpapar suhu lingkungan rendah
c. Post anestesi
1) Risiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasive
2) Gangguan mobilitas fisik b.d kerusakan integritas struktur tulang
3) Gangguan integritas kulit/jaringan b.d kelembaban

2. Rencana Keperawatan

a. Pre-Anestesi

No SDKI SLKI SIKI


1. Risiko Disfungsi a. Sirkulasi vena a. Monitoring
Neorovaskuler membaik tromboflebitis
perifer b.d fraktur, b. Sirkulasi arteri dan
penekanan mekanis membaik tromboemboli
(balutan) c. Tingkat nyeri vena
menurun b. Kolaborasi
d. Tingkat pemberian
perdarahan analgetik
menurun c. Monitoring
e. Tekanan darah status hidrasi
membaik (frekuensi nadi,
kekuatan nadi,
akral, pengisian
kapiler,
kelembapan
mukosa, turgor
kulit, dan
tekanan darah)
d. Monitor status
hemodinamik
2. Nyeri akut b.d agen a. Keluhan nyeri a. Identifikasi skala
pencedera fisik menurun nyeri
b. Gelisah menurun b. Monitor efek
c. Kesulitan tidur samping
menurun penggunaan
d. Frekuensi nadi analgetic
membaik c. Berikan teknik
non
farmakologis
untuk
mengurangi rasa
nyeri
Kolaborasi
pemberian analgetic

b. Intra-Anestesi

No SDKI SLKI SIKI


1. Risiko perdarahan a. Tekanan darah a. Monitor tanda
b.d tindakan membaik dan gejala
pembedahan b. Denyut nadi atau perdarahan
heart rate b. Monitor status
membaik cairan (input dan
c. Suhu tubuh output, turgor
membaik kulit, dan CRT)
d. Turgor kulit c. Monitor
membaik frekuensi dan
kekuatan nadi
d. Monitor hasil
pemeriksaan
serum
(osmolaritas
serum,
hematokrit,
natrium, kalium,
dan BUN)
e. Identifikasi
tanda-tanda
hypovolemia
(frekuensi nadi
meningkat, nadi
teraba lemah,
tekanan darah
menurun, dan
turgor kulit
menurun)
f. Kolaborasi
pemberian
transfuse darah
2. Hipotermi b.d a. Suhu tubuh a. Monitoring suhu
terpapar suhu membaik tubuh
lingkungan rendah b. Cappillary refill b. Identifikasi
time membaik penyebab
c. Nadi atau heart hipotermia
rate membaik c. Lakukan
penghangatan
aktif eksternal
(pemberian
selimut hangat)

c. Post-Anestesi

No SDKI SLKI SIKI


1. Gangguan mobilitas a. Pergerakan a. Monitor kondisi
fisik b.d kerusakan ekstremitas umum selama
integritas struktur meningkat melakukan
tulang b. Tingkat ambulasi
kecemasan b. Fasilitasi
menurun melakukan
c. Saturasi oksigen mobilitas fisik
meningkat

2. Gangguan integritas a. Kerusakan - Identifikasi


kulit/jaringan b.d jaringan menurun penyebab
kelembaban b. Kerusakan lapisan gangguan
kulit menurun integritas kulit
c. Perdarahan - Periksa lokasi
menurun insisi adanya
d. Hematoma dan kemerahan,
kemerahan bengkak,
menurun dehisen atau
eviserasi
- Identifikasi
karakteristik
drainase
- Monitor tanda
dan gejala
infeksi
3. Implementasi Keperawatan
Implementasi merupakan realisasi rencana keperawatan untuk mencapai
tujuan yang telah ditetapkan, kegiatan pada tahap ini yaitu mengumpulkan data
berkelanjutan, mengobservasi respon pasien selama dan sesudah diberi tindakan
(Konzier, 2016). Tujuan dari implementasi adalah membantu pasien dalam
mencapai tujuan yang telah ditetapkan yang mencakup peningkatan kesehatan,
pencegahan penyakit, pemulihan kesehatan, dan manifestasi koping.
4. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi merupakan penilaian dengan cara membandingkan perubahan
keadaan pasien (hasil yang diamati) dengan tujuan dan kriteria hasil yang dibuat
pada tahap perencanaan (Potter and Perry, 2016). Meskipun tahap evaluasi
diletakkan pada akhir proses keperawatan tetapi tahap ini merupakan bagian
integral pada setiap tahap proses keperawatan. Pengumpulan data perlu direvisi
untuk menentukan kecukupan data yang telah dikumpulkan dan kesesuaian
perilaku yang diobservasi. Evaluasi diperlukan pada tahap intervensi untuk
menentukan apakah tujuan intervensi tersebut dapat dicapai secara efektif
(Nursalam, 2016).

F. Persiapan Tindakan Reginal Anestesi


1. Pre-anestesi
a. Anamnesa History Taking
History taking bisa dimulai dengan menanyakan adakah riwayat alergi
terhadap makanan, obat-obatan dan suhu, alergi (manifestasi dispneu atau
skin rash) harus dibedakan dengan intoleransi (biasanya manifestasi
gastrointestinal). Riwayat penyakit sekarang dan dahulu juga harus digali
begitu juga riwayat pengobatan (termasuk obat herbal), karena adanya
potensi terjadi interaksi obat dengan agen anestesi. Riwayat operasi dan
anestesi sebelumnya bisa menunjukkan komplikasi anestesi bila ada.
Pertanyaan tentang review sistem organ juga penting untuk mengidentifikasi
penyakit atau masalah medis lain yang belum terdiagnosis
b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dan history taking melengkapi satu sama lain.
Pemeriksaan yang dilakukan pada pasien yang sehat dan asimtomatik
setidaknya meliputi tanda-tanda vital (tekanan darah, nadi, respiratory rate,
suhu) dan pemeriksaan airway, jantung, paru-paru, dan sistem
musculoskeletal. Pemeriksaan neurologis juga penting terutama pada
anestesi regional sehingga bisa diketahui bila ada defisit neurologis sebelum
diakukan anestesi regional.
Klasifikasi status fisik ASA bukan alat perkiraan risiko anestesi, karena
efek samping anestesi tidak dapat dipisahkan dari efek samping
pembedahan. Penilaian ASA diklasifikasikan menjadi 5 kategori. Kategori
ke-6 selanjutnya ditambahkan untuk ditujukan terhadap brain-dead organ
donor. Status fisik ASA secara umum juga berhubungan dengan tingkat
mortalitas perioperatif. Karena underlying disease hanyalah satu dari banyak
faktor yang berkontribusi terhadap komplikasi perioperatif, maka tidak
mengherankan apabila hubungan ini tidak sempurna. Meskipun begitu,
klasifikasi satus fisik ASA tetap berguna dalam perencanaan manajemen
anestesi, terutama teknik monitoring.

Kelas I Pasien sehat tanpa kelainan organik, biokimia, atau


psikiatri.
Kelas II Pasien dengan penyakit sistemik ringan sampai
sedang, tanpa limitasi aktivitas sehari-hari.

Kelas III Pasien dengan penyakit sistemik berat, yang


membatasi aktivitas normal.
Kelas IV Pasien dengan penyakit sistemik yang melemahkan
dan merupakan ancaman konstan terhadap
kehidupan
Kelas V Pasien sekarat yang diperkirakan tidak bertahan
selama 24 jam dengan atau tanpa operasi

E Operasi emergensi, statusnya mengikuti kelas I – VI


diatas.
Tabel 1. Status Fisik ASA
c. Pemeriksaan Penunjang
Dasar dan luas cakupan pemeriksaan preanestesi tergantung pada umur
pasien, ada tidaknya kondisi co-morbid saat ini, sama seperti dasar dan luas
dari prosedur bedah yang direncanakan

Pemeriksaan Indikasi
rutin
Urinalisis Pada semua pasien (periksa konsentrasi
glukosa darah jika glukosa urine
positif)
FBC Pada semua wanita: pria > 40 tahun;
semua bedah mayor
Ureum, Bedah mayor
Creatinin,
Elektrolit
ECG Umur > 50 tahun
Foto Torak Umur > 60 tahun
Tes fungsi hati Bedah mayor pada pasien umur > 50
(Liver Function tahun.
Test)
Tabel 2. Pemeriksaan Penunjang

No Test Indikasi

1. Darah Lengkap Anemia dan penyakit hematologik lainnya


Penyakit ginjal
Pasien yang menjalani kemoterapi
2. Ureum, creatinin Penyakit ginjal
dan konsentrasi Penyakit metabolik misalnya; diabetes mellitus
elektrolit Nutrisi abnormal
Riwayat diare, muntah
Obat-obatan yang merubah keseimbangan
elektrolit atau menunjukkan efek toksik dari
adanya abnormalitas elektrolit seperti digitalik,
diuretic, antihipertensi, kortikosteroid,
hipoglikemik agent.
3. Konsentrasi Diabetes Mellitus
glukosa darah Penyakit hati yang berat
4. Elektrokardiografi Penyakit jantung, hipertensi atau penyakit paru
kronik Diabetes Mellitus
5. Chest X-ray Penyakit respirasi
Penyakit kardiovaskuler
6. Arterial blood Pasien sepsis
gases Penyakit paru
Pasien dengan kesulitan respirasi
Pasien obesitas
Pasien yang akan thorakotomi
7. Test fungsi paru Pasien yang akan operasi thorakotomi
Penyakit paru sedang sampai berat seperti COPD,
bronchiectasis
8. Test fungsi paru Penyakit hematologic
Penyakit hati yang berat
Koagulopati Terapi antikoagulan, misal:
antikoagulan oral (warfarin) atau heparin
9. Test fungsi hati Penyakit hepatobilier
Riwayat penyahgunaan alcohol
Tumor dengan metastase ke hepar
10. Tes fungsi thyroid Bedah thyroid
Riwayat penyakit thyroid
Curiga abnormalitas endokrin seperti tumor
pituitary
Tabel 3. Pemeriksaan Laboratorium

Hasil pemeriksaan normal adalah valid selama periode waktu, jarak dari
yang 1 minggu (FBC, ureum, creatinin, konsentrasi elektrolit, glukosa
darah), 1 bulan (ECG), sampai 6 bulan (chest X-ray). Pemeriksaan sebaiknya
diulang dalam keadaan berikut;
1) Timbul gejala seperti nyeri dada, diare, muntah
2) Penilaian untuk efektivitas terapi seperti suplemen potassium untuk
hipokalemia, terapi insulin untuk hiperglikemia, dialysis untuk pasien
dengan gagal ginjal, produk darah untuk koreksi koagulopati.
d. Persiapan Alat dan Bahan
1) Peralatan monitor: tekanan darah, nadi, saturasi oksigen, EKG, dll.
2) Peralatan resusitasi
3) Jarum spinal Jarum spinal dengan ujung tajam (ujung bambu
runcing/quinckebacock) atau jarum spinal dengan ujung pinsil ( pencil
point whitecare).
e. Obat Induksi
2. Intra-anestesi
Hal-hal yang perlu dimonitor ketika durante operasi, antara lain :
a. Tekanan Darah
b. Frekuensi Nadi
c. SpO2
d. Intake dan output cairan
e. Jumlah Perdarahan
3. Post-anestesi
Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi dan
anestesi yang biasanya dilakukan di ruang pulih sadar atau recovery room yaitu
ruangan untuk observasi pasien pasca atau anestesi. Ruang pulih sadar
merupakan batu loncatan sebelum pasien dipindahkan ke bangsal atau masih
memerlukan perawatan intensif di ICU. Dengan demikian pasien pasca operasi
atau anestesi dapat terhindar dari komplikasi yang disebabkan karena operasi
atau pengaruh anestesinya.

No Kriteria Skor

1. Dapat mengangkat tungkai bawah 0

2. Tidak dapat menekuk lutut tetapi dapat mengangkat 1


kaki

3. Tidak dapat mengangkat tungkai bawah tetapi masih 2


dapat menekuk lutut

4. Tidak dapat mengangkat kaki sama sekali 3

Pasien dapat dipindahkan ke bangsal jika score kurang dari 2


Tabel 4. Bromage Score
G. WOC

7
BAB III

TINJAUAN KASUS

A. Pengkajian
1. Identitas Pasien
Nama : Ny.S
Umur : 79 tahun
Jenis Kelamin : perempuan
Agama : Islam
Suku Bangsa : Jawa
Alamat : Jl. Diponegoro 56, RT 03/15, Brebes, Jawa
Tengah
No. R : 00-02xxxxx
Dx. Pre Operasi : fraktur colum Femur Dextra
Tindakan Operasi : parcial HIP Hemi-Artopasthy
Tanggal Operasi : 28 Oktober2022
Dokter Bedah : dr Yusuf, Sp.OT
Dokter Anestesi : dr Windy Kusuma, Sp.An
2. Identitas Penanggungjawab
Nama : Ny.F
Umur : 50 tahun
Pekerjaan : IRT
Hubungan : Anak
3. Anamnesa
a. Keluhan Utama
Pasien datang ke RSUD Bendan pada tanggal 26 Oktober 2022 dengan
kondisi lemas dan nyeri pada kaki kanan. Pasien dengan post jatuh dari
tempat tidur 1 bulan lalu

P Nyeri pada kaki kanan ketika digerakkan

8
Q Kualitas nyeri yang dirasakan seperti pukulan benda
tajam
R Lokasi nyeri pada kaki kanan
S Skala nyeri 6
T Nyeri hilang timbul ketika kaki digerakkan

b. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien dengan Fraktur Neck Femur Dextra
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien tidak memiliki riwayat penyakit
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Pasien menyatakan dari keluarga tidak ada riwayat penyakit keturunan.
e. Alasan Masuk Rumah Sakit
Pasien lemas dan nyeri pada kaki kanan
4. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum
Kesadaran pasien composmentis GCS E4V5M6. Keadaan umum pasien
merasa kesakitan pada kaki kanan.
b. Tanda-tanda Vital
1) TD : 178/114 mmHg
2) Nadi : 98x/menit
3) RR : 18x/menit
4) SpO2 : 100%
c. Status Gizi
1) BB : 55 kg
2) TB : 158 cm
3) IMT : 22,03 kg/m2
d. Pemeriksaan Fisik
1) Kepala
Simteris, tidak ada benjolan
2) Leher

9
Normal, tidak ada pembesaran pada kelenjar tyroid
3) Dada
a) Inspeksi : Simetris, tidak ada lesi
b) Auskultasi: Tidak terdapat suara nafas tambahan
c) Perkusi : Suara sonor
d) Palpasi : Fremitus sama pada dada bagian kanan dan kiri,
tidak ada benjolan

B1(Breahting) - Klien tidak sesak nafas


- Suara nafas vesikuler
- Tidak tampak pernafasan cuping
hidung
- Kemampuan membuka mulut
>3cm
- Mallampati skor: II

B2 (Blood) - Tekanan darah dalam rentang


hipertensi 178/114 mmHg
- HR normal = 98x/menit

B3 (Brain) - GCS kesadaran composmentis


E4V5M6

B4 (Bladder) - Eliminasi normal


- Terpasang kateter urine

B5 (Bowel) - Pasien puasa 8 jam


- Tidak ada pembesaran hepar dan
abdolmen

B6 (Bone) - Terdapat fraktur neck femur


dextra

10
- Pasien dengan riwayat stroke
terdapat gangguan pergerakan
pada tubuh bagian kiri

e. Pemeriksaan Psikologis
Pasien terlihat lemas dan nyeri.
f. Pemeliharaan Cairan

1) Kebutuhan cairan basal (M)

Kebutuhan cairan basal (M) = 3 cc x 10 kgBB1

= 3 cc x 10 kg

= 30 cc

= 2 cc x 10 kgBB2

= 20 cc

= 1 cc x kgBB

= 1 cc x 35

= 35 cc

Total = 30 cc + 20 cc + 35 cc = 85
cc

2) Pengganti puasa (PP)

Pengganti puasa (PP) = 2 cc x jam puasa x BB

= 2 cc x 8 jam x 55 kg

= 880 cc

11
3) Stress operasi

Stress operasi = Jenis operasi (b/s/k) x BB

= 6 cc x 55

= 330 cc

4) Kebutuhan cairan

Jam I = M + ½ PP + SO
= 85 cc + 440 cc + 330 cc
= 855 cc

Jam II = M + ¼ PP + SO
= 85 cc + 220 cc + 330 cc
= 635 cc

Jam III = M + ¼ PP + SO
= 85 cc + 220 cc + 330 cc
= 635 cc

Jam IV = M + SO
= 85 cc + 330 cc
= 415 cc

g. Pemeriksaan Penunjang
1) Rapid Antigen SARS Cov-2: Negative
2) Labolatorium

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal

HEMATOLOGI

12
CBC + Diff

CBC

Hemoglobin 12.8 g/dL 11.0-15.0

Leukosit 5.98 103ul 4.0-10.0

Hematrokit 38.3 % 37.0-47.0

Trombosit 303 103ul 150-30.0

Eritrosit 4.39 106ul 3.50-5.00

RDW 14.5 % 11.0-16.0

MCW 87.2 fL 80.0-100.0

MCH 29.2 pg 27.0-34.0

MCHC 33.5 g/dL 32.0-36.0

Diff

Neutrofil % 72.4 % 50.0-70.0

Limfosit % 17.3 % 20.0-40.0

Monosit % 6.0 % 3.0-12.0

Eosinofil % 3.4 % 0.5-5.0

Basofil% 0.9 % 0.0-1.0

Limfosit # 1.03 % 0.80-4.00

Neutrofil # 4.32 % 2.00-7.00

NLR 4.18 % < 3.13

13
Kimia Klinik

Glukosa Sewaktu 91.72 mg/dL > 140

Ureum 41.6 mg/dL 19.0-44.0

Creatinin 2.41 mg/dL 0.70-1.30

SGOT 15 U/L < 35

SGPT 12 U/L < 46

Elektrolit

Natrium 139.6 mmoI/I 135-145

Kalium 4.31 mmoI/I 3.3-5.1

Clorida 111.3 mmoI/I 96-106

Imunologi

HIV Rapid- Non Reaktif Non Reaktif


Oncorprobe

Serologi

HBsAg Kualitatif Negative Negative

3) Rontgen

14
h. Diagnosis Anestesi
Pasien didiagnosa mengalami Fraktur colum Femur. Pasien
direncakan tindakan Hip Hemi-Arthoplasty dengan regional
anesthesia. Pasien status fisik ASA 1

B. Persiapan penatalaksanaa anestesi


1. Persiapan Pasien
a. Mengecek kelengkapan status pasien
b. Pasien telah berganti baju operasi, memakai topi operasi, dan masker medis
sebelum memasuki ruang operasi
c. Menanyakan keluhan pasien saat di ruang penerimaan pasien
d. Menanyakan kesiapan untuk dioperasi dan berapa lama puasa pasien
e. Pasien telah terpasang infus RL 20 tpm pada tangan kanan
f. Mengecek kelancaran tetesan infus pada pasien
g. Membawa pasien ke ruang operasi
h. Memindahkan pasien ke meja operasi lalu memposisikan pasien
i. Memasang tensimeter dan pulse oxymeter
2. Persiapan Mesin dan Alat
a. Persiapan Mesin
1) Mengecek sumber gas
2) Mengecek isi volatile agent
3) Mengecek kondisi absorber
4) Melakukan kalibrasi mesin
b. Persiapan Alat
1) Kom steril
2) Handscoon steril
3) Spinocain 26G
4) Spuit 1cc, 3cc, 5cc
5) Octenix (Alcohol)
3. Persiapan Obat

15
a. Obat induksi
Bunascan 15 mg
Fentanyl 25 mg
b. Antiemetic
Ondansentron 4 mg 1 ampul
c. Analgetik
Paracetamol inf 1 g
Ketorolac 30 mg 3 ampul
Tramadol 100 mg 1 ampul
Phetidine 100 mg
d. Antifibrinolitik
Asam traneksamat sediaan 1000 mg

C. Pengkajian Intra Anestesi


1. Anestesi Mulai : 08.15
2. Anestesi Selesai : 09.45
3. Operasi Mulai : 08.30
4. Operasi Selesai : 09.40
5. Jumlah Perdarahan : ± 150cc

No Waktu TD HR SpO2 Tindakan

1 08.10 100/80mmHg 128 96% - Pasien masuk


kamar operasi
- Pasien
dipasang pulse
oximeter pada
tangan kanan
- Pasien
dipasang tensi
pada tangan

16
kiri

2 08.15 120/78 mmHg 125 100% - Pasien


diposisikan
duduk untuk
tindakan
spinal

- Anestesi
dimulai
dengan spinal
menggunakan
spinocan 26G,
Bupivacain
(Bunascan) 15
mg + Fentanyl
25 mg

- Pasien
diinjeksi
antiemetic
Ondansentron
8mg

- Pasien di
pasang O2
mask dengan
O2 8 lpm

3 08.30 100/65mmHg 110 100% - insisi


pembedahan
dimulai

17
- Injeksi
ondancentron
8 mg

4 08.45 150/86mmHg 92 100% - Injeksi


paracetamol 1
g infus

5 09.00 120/60mmHg 108 100% -

6 09.15 115/71mmHg 110 100% -

7 09.30 100/70 mmHg 140 99% - Ketorolac 60


mg (IV)

- Pethidine
40mg

8 09.40 120/84mmHg 100 100% - Pembedahan


selesai

- Injeksi
dexametason 5
mg

9. 09.45 90/60mmHg 105 100% - Pasien


dipindahkan
ke RR

- Pasien
diinjeksi
ephedrine
10mg

18
D. Pengkajian Post Anestesi
1. Post Anestesi -Pemantauan di Recovery Room
Masuk Recovery Room : 09.45
Dipindahkan ke rawat inap : 10.05
2. Pengkajian SBAR
a. Situation
Kesadaran pasien Apatis dengan skor GCS E4V5M4 dan masih dalam
pengaruh obat anestesi serta analgetik ketorolac 30 mg yang didrip
pada RL
b. Background
Pasien post operasi parcial HIP Hemi-Arthoplasty dengan perdarahan
durante operasi ±150cc
c. Assesment
TTV normal dengan, TD: 90/60 mmHg, N: 105x/menit, SPO2: 100%,
RR: 16x/menit.
d. Recommendation
1) Posisi tidur head up
2) Monitoring vital sign hingga stabil
3) Latihan mobilisasi tidak biasa dilakukan karna pasien post operasi
parcial Hip Hemi-Arthoplasty pada kaki kanan
4) Monitoring keadaan umum dan vital sign hingga stabil
E. Analisis Data
Data Masalah Penyebab

Pre-Anestesi

DS: Nyeri Akut Agen Pencedera


Fisiologis (fraktur neck
- (SDKI D.0077,
femur dextra)
P: Nyeri pada kaki Halaman 172)
kanan ketika

19
digerakkan

Q: Kualitas nyeri yang


dirasakan seperti
pukulan benda tajam

R: Lokasi nyeri pada


kaki kanan

S: Skala nyeri 6

T: Nyeri hilang timbul


saat kaki digarakkakan

DO:

- Pasien tampak
menahan sakit

- TTV:

TD: 100/180mmHg

N: 115x /menit

RR: 16x /menit

SPO2: 96%

DS: Gangguan Mobilitas Kerusakan Integritas


Fisik Struktur Tulang
- Pasien mengatakan
jatuh dari tempat (SDKI D.0054,
tidur ± 1 bulan halaman 124)
DO:

- Ftraktur neck femur

20
pada kaki kanan

- TTV:

TD: 100/80mmHg

N: 115x /menit

RR: 16x /menit

SPO2: 96%

Intra-Anestesi

DS: Risiko Hipotermia Suhu Lingkungan


Perioperative Rendah
- Pasien mengatakan
dingin (SDKI D.0141,
DO:
Halaman 303)
- Telapak tangan
pasien dingin

- Suhu ruangan AC =
18oC dan 20oC

- Suhu tubuh pasien =


34oC

- TTV:

TD: 115/82 mmHg

N: 96x/menit

RR:16x/menit

21
SPO2: 100%

Post-Anestesi

DS: Risiko Alergi Terpapar Zat Alergen,


(SDKI D.0134, Agen Farmakologis
- Pasien mengatakna
halaman 292) (pethidine 100mg)
gatal-gatal
- Muka terasa panas

DO:

- Muncul ruam
kemerahan di
bagian muka
- TTV:

TD: 100/71 mmHg

N: 102x/menit

RR:16x/menit

SPO2: 100%

F. Diagnosa Keperawatan dan Prioritas Masalah


1. Pre-Anestesi
a. Nyeri Akut berhubungan dengan Agen Pencedera Fisiologis (fraktur
colum femur dextra)
b. Gangguan Mobilitas Fisik berhubungan dengan Kerusakan Integritas
Struktur Tulang (fraktur colum femur dextra)
2. Intra Anestesi

22
a. Risiko hipotermia perioperative dibuktikan dengan suhu lingkungan
rendah
3. Post Anestesi
a. Risiko Alergi berhubungan dengan Terpapar Zat Alergen, Agen
Farmakologis (Pethidine 40 mg )

23
G. Perencanaan, Pelaksanaan, dan Evaluasi
Hari : jumat
Tanggal : 28 Oktober 2022
Tempat : IBS RSUD BENDAN

No Diagnosa Tujuan Intervensi Implementasi Evaluasi

Pre Anestesi

1 Nyeri Akut 28 Oktober 28 Oktober 28 Oktober 28 Oktober


berhubungan Pukul 08.00 WIB Pukul 08.00 WIB Pukul 08.00 WIB Pukul 08.00 WIB
dengan Agen
Pencedera Setelah dilakukan S:
Fisiologis tindakan keperawatan - Identifikasi lokasi - Mengidentifikasi - Pasien mengatakan nyeri
(fraktur colum preoperasi selama 10 dan skala nyeri lokasi dan skala pada kaki sudah sedikit
femur dextra) menit diharapkan nyeri - Identifikasi respon nyeri berkurang
akut dapat teratasi nyeri non verbal - Mengidentifikasi O:
dengan kriteria hasil: - Ajarkan teknik skala nyeri - Lokasi nyeri berada di
non farmakologis - Mengidentifikasi

24
- Keluhan nyeri dengan relaksasi respon nyeri non kaki kanan
menurun nafas dalam verbal - Pasien melokalisir nyeri
- Meringis menurun - Mengajarkan teknik - Skala nyeri menggunakan
- Pola napas, tekanan (SIKI Manajemen non farmakologis VAS menunjukan nyeri
darah, dan frekuensi Nyeri I.08238, dengan relaksasi sedang yaitu skala 5
nadi membaik halaman 201) nafas dalam - Pasien dapat mengikuti
- Kemampuan dan melakukan dengan
kontrol mandiri teknik relaksasi
menggunakan nafas dalam
teknik - TTV:
nonfarmakologis TD: 100/800mmHg
meningkat
N: 115x /menit

(SLKI Tingkat Nyeri RR: 16x /menit


L.08066, halaman 145)
SPO2: 96%
A:
Masalah teratasi sebagian
P:

25
Lanjutkan intervensi saat
(salwa,geral,amal insisi
diva) (salwa,geral,amal diva)
2. Gangguan 28 Oktober 2022 28 Oktober 2022 28 Oktober 2022 28 Oktober 2022
Mobilitas Fisik Pukul 08.00 WIB Pukul 08.00 WIB Pukul 08.00 WIB Pukul 08.00 WIB
berhubungan
dengan Setelah dilakukan - Identifikasi - Mengidentifikasi S:
Kerusakan tindakan keperawatan adanya nyeri atau adanya nyeri atau - Pasien mengatakan kaki
Integritas preoperasi selama 10 keluhan fisik keluhan fisik masih kaku dan sakit saat
Struktur menit diharapkan lainnya lainnya digerakkan
Tulang mobilitas fisik pasien (SIKI Dukungan O:
(fraktur neck meningkat dapat Mobilisasi I.05173,
- Skala nyeri 5
femur dextra) teratasi dengan kriteria halaman 30)
- TTV:
hasil:
TD: 100/80mmHg
- Nyeri menurun
- Gerakan terbatas N: 115x /menit
menurun
RR: 16x /menit
- Kelemahan fisik
menurun SPO2: 96%

26
- Tentang geral ROM
meningkat A: Masalah teratasi sebagian
- Kekuatan otot
P: Intervensi dilanjutkan
meningkat
- Pergerakan
ekstemitas otot
meningkat

(SLKI Mobilitas Fisik (salwa,geral,amal,div


a) (salwa,geral,amal,diva)
L.05042, halaman 65)

Intra Anestesi

1. Risiko 28 Oktober 2022 28 Oktober 2022 28 Oktober 2022 28 Oktober 2022


hipotermia Pukul 08.20 WIB Pukul 08.20 WIB Pukul 08.20 WIB Pukul 08.20 WIB
perioperative
dibuktikan Setelah dilakukan - Identifikasi - Mengidentifikasi S:
dengan suhu tindakan keperawatan penyebab penyebab - Pasien mengatakan sudah
lingkungan anestesi pasca operasi, hipotermi hipotermia tidak dingin
rendah risiko hipotermi - Monitor tanda dan - Monitoring tanda O:
perioperative dapat dan gejala

27
teratasi dengan kriteria gejala hipotermia hipotermia - Suhu tubuh pasien 35oC
hasil: - Monitor suhu - Monitoring suhu - Pasien tidak menggigil
- Tidak menggigil tubuh tubuh - Akral hangat
- Kulit tidak pucat - Sediakan Menyediakan - AC di kamar operasi
- Suhu tubuh baik lingkungan hangat lingkungan hangat sudah disetting ulang
- Tekanan darah baik - Berikan dengan manikin menjadi 18OC dan 210C
penghangatan - TTV:
(SLKI Termoregulasi pasif (selimut) TD: 150/82 mmHg
L.14134, halaman 129)
N: 96x/menit
(SIKI Manajemen
RR:16x/menit
Hipotermia L.14507,
halaman 183) SPO2: 100%

A:
- Masalah teratasi
P:
(Salwa,geral,amal,div Intervensi dilanjutkan
a) (Salwa,geral,amal,diva)

28
Post Anestesi

29
1. Risiko Alergi 28 Oktober 2022 28 Oktober 2022 28 Oktober 2022 28 Oktober 2022
berhubungan Pukul 09.50 WIB Pukul 09.50 WIB Pukul 09.50 WIB Pukul 09.50 WIB
dengan
Terpapar Zat Setelah dilakukan - Identifikasi - Identifikasi riwayat S:
Alergen, Agen tindakan keperawatan riwayat alergi alergi - Pasien mengatakan gatal
Farmakologis anestesi pasca operasi, - Hentikan paparan - Hentikan paparan sudah mulai berkurang
(Pethidine 40 risiko alergi dapat allergen allergen O:
mg ) teratasi dengan kriteria - Kolaborasi dengan - Kolaborasi dengan
- Injeksi Dexametason 5
hasil: tenaga kesehatan tenaga kesehatan
mg/IV
dalam pencegahan dalam pencegahan
- Gatal seluruh tubuh - TTV:
alergi alergi
menurun TD:90/74
( SIKI Pencegahan
- Bintik-bintik merah Nadi: 100
Nyeri I. 14535)
menurun RR:16 x/menit
(SLKI Respon SPO2: 100%
Alergi Sistemik
A:
L.14132, halaman
- Masalah teratasi
103)
P:
Intervensi dilanjutkan
(Salwa,geral,amal,div
(Salwa,geral,amal,diva)
a)
30
31
BAB IV

ANALISIS JURNAL TERKAIT

A. Identitas Jurnal
Judul Hasil Fungsi Klinis Pasien Fraktur Proksimal
Femur Yang Diterapi Dengan Hemiarthroplasty
Nama Jurnal Jurnal Ilmu Kedokteran Dan Kesehatan
Volume dan Halaman Jurnal Ilmu Kedokteran Dan Kesehatan,
Tahun 2021
Penulis Asagabe Rizki Sianturi, Rico Alexander, Linda
Chiuman

B. Review Jurnal
Latar Belakang Hasil Fungsi Klinis Fraktur Proksimal Femur
Penelitian Yang Diterapi Dengan Hemiarthroplasty Fraktur
proksimal femur merupakan ketidaksinambungan
batang femur yang disebabkan oleh trauma secara
langsung. Menurut lokasinya fraktur femur
proksimal dibagi menjadi fraktur leher femur,
fraktur intertrochanter dan subtrochanter.
Tatalaksana fraktur proksimal femur terdiri dari
konservatif dan operasi. Terapi operasi biasanya
menggunakan internal fiksasi dan
Hemiarthroplasty. Hemiarthroplasty merupakan
salah satu jenis arthroplasty yaitu tindakan
pengambilan caput femur dan collum femur yang
diganti dengan prostesis. Tetapi acetabulum tetap
dipertahankan lalu menggantinya dengan tulang
palsu yang ukurannya sama
Isi Jurnal Penelitian ini membahas tentang pengertian dari
fraktur neck femur, tatalaksana fraktur, klasifikasi

32
fraktur neck femur, serta manifestasi klinis dari
fraktur neck femur
Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian pada pasien fraktur
proksimal femur yang diterapi dengan
hemiarthroplasty di Rumah Sakit Royal Prima
Medan menunjukkan hasil, usia yang paling sering
mengalami fraktur proksimal femur adalah usia
60-80 tahun yaitu sebanyak 10 orang. Dari hasil
analisis data didapatkan hasil fungsi klinis pasien
good sebanyak 12 pasien (55%), mildmoderate
sebanyak 6 pasien (27%), dan moderate-severe
sebanyak 4 pasien (18%). Hasil fungsi
menunjukkan hasil yang baik. Didapatkan rata-rata
pada jenis kelamin laki-laki adalah 54,9 tahun dan
pada perempuan 61,7 tahun. Tidak terdapat
perbedaan hasil fungsi antara laki-laki dan
perempuan dapat dilihat dari nilai p= 1,000 (p >
0,05)
Kelebihan Penelitian ini menjelaskan secara rinci prevalesi
kejadian dari fraktur neck femur
Kelemahan Pada penelitian ini tidak terdapan penjelasan
tentang hemiarthroplasty

33
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan
Fraktur colum femur adalah tempat yang paling sering terkena fraktur
pada usia lanjut. Ada beberapa variasi insiden terhadap ras. Fraktur colum
femur lebih banyak pada populasi kulit putih di Eropa dan Amerika Utara.
Insiden meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Sebagian besar pasien
adalah wanita berusia tujuh puluh dan delapan puluhan
Pada kasus Ny.S dengan diagnosa medis fraktur colum femur dextra yang
menjalani tindakan oprerasi parcial HIP Hemi-Arthoplasty dengan regional
anestesi diperoleh diagnosa keperawatan anestesi pada pre, intra, dan post
operasi sebagai berikut.
1. Pre-Anestesi
a. Nyeri Akut berhubungan dengan Agen Pencedera Fisiologis (fraktur
colum femur dextra)
b. Gangguan Mobilitas Fisik berhubungan dengan Kerusakan Integritas
Struktur Tulang (fraktur colum femur dextra)
2. Intra Anestesi
a. Risiko hipotermia perioperative dibuktikan dengan suhu lingkungan
rendah
3. Post Anestesi
a. Risiko Alergi berhubungan dengan Terpapar Zat Alergen, Agen
Farmakologis (Pethidine 40 mg )
Berdasarkan masalah keperawatan yang muncul, penulis mencari diagnosa
keperawaran berdasarkan SDKI, perencanaan keperawatan berdasarkan SIKI,
dan kriteria hasil berdasarkan SLKI. Setelah dilakukan intervensi sebagian
masalah keperawatan teratasi sepenuhnya.
Terkait dengan review jurnal yang berkaitan dengan kasus dapat
disimpulkan bahwa sangat penting bagi tenaga medis termasuk penata anestesi

34
unntuk mengetahu bagaimana manajemen anetrsi pada pasien dengan kasus
fraktur colum femur tindakan oprerasi parcial HIP Hemi-Arthoplasty.
B. Saran
1. Bagi Institusi rumah sakit dan tenaga Kesehatan
- Diharapkan institusi dan tenaga kesehatan dapat mempertahankan dan
mengembangkan Standard Operation Procedure (SOP) pada pasien
perioperative untuk meningkatkan pelayanan anestesi yang optimal.
- Diharapkan seluruh tim Instalasi Bedah Sentral, khusunya penata
anestesi dapat melakukan pengkajian, merumuskan diagnosa,
melaksanakan implementasi, dan mengevaluasi respon pasien pada
tahap pre hingga pasca anestesi.
2. Bagi Mahasiswa
- Mahasiswa harus dapat berfikir kritis dalam memberikan asuhan
keperawatan perianestesi.
- Mahasiswa harus mengkajian asuhan keperawatan anestesi secara
sistematis dan komprehensif untuk memperoleh data yang akurat untuk
menegakan asuhan keperawatan anestesi.

35
DAFTAR PUSTKA

Keperawatan, A., Ny, P., & Diagnosa, K. D. (2019). Program diii keperawatan
akademi keperawatan kerta cendekia sidoarjo 2019.

Egol, K dkk. Femoral Neck Fractures; Handbook of Fractures, 3rd Ed. Lippincott
Williams & Wilkins, 2002. Hal: 319-28

Solomon, L dkk. Fractures of the Femoral Neck; Apley’s System of Orthopaedic


and Fractures, 8th Ed. Arnold, 2001. Hal: 847-52.
Ramadany, Pujarini, C. (2013). Hubungan Diabetes Melitus Dengan Kejadian
Stroke Iskemik. Jurnal Biomedika, 5(2), 12–14.

Tuntun, M. (2018). Difference Hemoglobin Levels, Value Of Hematocrit And


Amount Of Erythrocytes On Hemorrhagic Stroke And Non Hemorrhagic
Stroke In RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung. Jurnal Analis
Kesehatan, 7(2), 725.

Wicaksana,Wati, M. (2017). Perbedaan Jenis Kelamin Sebagai Faktor Risiko


Terhadap Keluaran Klinis Pasien Stroke Iskemik. Jurnal Kedokteran
Diponegoro, 6(2), 656. Yaris. (2004). Pola Kadar Glukosa Darah Pada
Stroke Akut[skripsi]. Universitas Diponegoro.

36

Anda mungkin juga menyukai