Anda di halaman 1dari 39

REFERAT

REHABILITASI MEDIK PADA FRAKTUR SUB TROCHANTER FEMUR

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan


Program Profesi Dokter Stase Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi
Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta

Pembimbing :
dr. Siswarni, Sp. KFR

Diajukan Oleh:
Andi Irawan, S. Ked (J510170028)
Denny Setyawan, S. Ked (J510170112)
Wahyu Dwi Tanjung Sari (J510170109)

KEPANITERAAN KLINIK
ILMU KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI MEDIK
RUMAH SAKIT ORTOPEDI PROF. DR. R. SOEHARSO SURAKARTA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2018
REFERAT
REHABILITASI MEDIK PADA FRAKTUR FEMUR

Diajukan Oleh :

Andi Irawan, S.Ked (J510170028)


Denny Setyawan, S.Ked (J510170112)
Wahyu Dwi Tanjung Sari, S.Ked (J510170109)

Telah disetujui dan disahkan oleh Bagian Program Pendidikan Profesi Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
Pada hari

Pembimbing :
dr. Siswarni, Sp. KFR (………………………)

KEPANITERAAN KLINIK
ILMU KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI MEDIK
RUMAH SAKIT ORTOPEDI PROF. DR. R. SOEHARSO SURAKARTA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2018

2
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas struktur tulang atau tulang rawan
bisa komplet atau inkomplet atau diskontinuitas tulang yang disebabkan oleh gaya
yang melebihi elastisitas tulang (Apley, 1995). Fraktur juga melibatkan jaringan
otot, saraf, dan pembuluh darah di sekitarnya. Secara klinis, fraktur dibagi
menjadi fraktur terbuka (open/compound fracture), yaitu jika patahan tulang itu
menembus kulit sehingga berhubungan dengan udara luar, dan fraktur tertutup
(simple fracture), yaitu jika fragmen tulang tidak berhubungan dengan dunia luar
atau kulit di lokasi fraktur masih intak (Oglen, 2000).
Salah satu fraktur yang paling sering terjadi adalah pada bagian paha
(tulang femur). Dari 45.987 orang dengan kasus fraktur ekstremitas bawah akibat
kecelakaan, 19.629 orang mengalami fraktur pada tulang femur, 14.027 orang
mengalami fraktur cruris, 3.775 orang mengalami fraktur tibia, 970 orang
mengalami fraktur pada tulang-tulang kecil di kaki dan 336 orang mengalami
fraktur fibula (DEPKES RI,2007).
Fraktur dapat terjadi baik dari distal sampai ke proksimal femur.Fraktur femur
proksimal adalah fraktur yang paling banyak terjadi pada pasien usia lebih dari 50
tahun. Di seluruh duniaprevalensinya diperkirakan 4,5 juta, 740.000 kematian,
dan 1,75 juta kecacatan di dunia per tahun (Flierl, 2010). Fraktur femur proksimal
terdiri dari fraktur collum femur, fraktur intertrochanter femur, dan fraktur
subtrochanter (Marinella, 2009).
Insidensi fraktur collum femur tertinggi pada usia 15 tahun, kemudian
pada usia diatas 65 tahun. Sedangkan insidensi dari fraktur trochanter sangat
jarang terjadi pada usia anak-anak, tetapi meningkat dengan tajam pada usia > 35
tahun, dan mencapai puncaknya pada umur 65 tahun karena kelemahan tulang dan
osteopoosis (ObaidurRahman,2013).

3
Penanganan fraktur terdiri atas penanganan preoperatif, intra operatif dan
pascaoperatif (Apley,1995). Untuk mengatasi berbagai pemasalahan yang akan
timbul akibat trauma tersebut baik pre operasi maupun post operasi maka
diperlukan juga kerjasama yang melibatkan berbagai rehabilitasi medis antara lain
dokter, fisioterapi, okupasi terapi, yang secara bersama-sama bertugas
memperbaiki, menjaga dan memulihkan organ-organ yang terkena
(Hoppenfeld, 2000).

B. Batasan Masalah
Referat ini membahas tentang anatomi femur, definisi, etiologi, klasifikasi
dan manifestasi klinis, diagnosis, penatalaksanaan fraktur femur dan komplikasi.

C. Tujuan Penulisan
1. Memahami anatomi femur, definisi, etiologi, klasifikasi dan manifestasi
klinis, diagnosis, penatalaksanaan fraktur femur dan komplikasi.
2. Meningkatkan kemampuan dalam penulisan karya ilmiah dibidang ilmu
kedokteran.
3. Memenuhi salah satu syarat kelulusan Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu
Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi medik RSO Prof. dr. R Soeharso.

D. Metode Penulisan
Metode penulisan referat ini adalah menggunakan metode tinjauan pustaka
dengan mengacu kepada beberapa literatur.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi Femur
Femur adalah tulang terpanjang dan terberat dalam tubuh, meneruskan
berat tubuh dari os coxae kepada tibia sewaktu kita berdiri. Caput femoris
menganjur ke arah kraniomedial dan agak ke ventral sewaktu bersendi dengan
acetabulum. Ujung proksimal femur terdiri dari sebuah caput femoris, collum
femoris, dan dua trochanter (trochanter major dan trochanter minor). Caput
femoris dan collum femoris membentuk sudut (115-140o) terhadap poros panjang
corpus femoris; sudut ini bervariasi dengan umur dan jenis kelamin. Jika sudut ini
berkurang, keadaanya dikenal sebagai coxa vera; jika sudut bertambah, keadaan
disebut coxa valga. Meski arsitektur demikian memungkinkan daya gerak femur
pada articulatio coxae yang lebih besar pada collum femoris. Corpus femoris
berbentuk lengkung, yakni cembung ke arah anterior. Ujung distal femur berakhir
menjadi dua condylus yaitu epicondylus medialis dan epicondylus lateralis yang
melengkung bagaikan ulir.

5
Caput membentuk dua pertiga dari bulatan dan bersendi dengan
acetabulum os coxae. Pada pusat caput terdapat lekukan kecil yang disebut fovea
capitis, yang berguna sebagai tempat melekatnya ligamentun capitis femoris.
Sebagian suplai darah untuk caput femoris dari arteri obturatoriadihantarkan
melalui ligamentum ini dan memasuki tulang melalui fovea capitis.
Collum yang menghubungkan caput dengan corpus berjalan ke bawah,
belakang, dan lateral serta membentuk sudut 125° dan lebuh kecil pada
perempuan dengan sumbu panjang corpus femoris. Besarnya sudut ini dapat
berubah karena adanya penyakit.
Trochanter mayor dan minor merupakan tonjolan yang besar pada taut
antara collum dan corpus. Linea intertrocanterica menghubungkan kedua trocanter
ini di bagian anterior, tempat melekatnya ligamentum iliofemorale dan di bagian
posterior oleh crista intertrochanterica yang menonjol, pada crista ini terdapat
tuberculum quadratum.
Corpus femoris permukaan anteriornya lebih licin dan bulat, sedangkan
permukaan posterior mempunyai rigi yang disebut linea asoera. Pada linea ini

6
melekat otot-otot dan septa intermuskularis. Garis tepi linea melebar ke atas dan
ke bawah. Tepi medial berlanjut ke distal sebagai crista supracondylaris medialis
yang menuju ke tuberculum adductorum pada condylus medial. Tepi lateral
melanjutkan diri ke distal sebagai crista supracondylaris lateralis. Pada permukaan
posterior corpus, tepatnya dibawah trochanter major terdapat tuberositas glutea
sebagai tempat melekatnya musculus gluteus maximus. Corpus melebar kearah
ujung distalnya dan membentuk daerah segitiga datar pada permukaan
posteriornya yang disebut facies poplitea.
Ujung bawah femur memiliki condylus medialis dan lateralis yang bagian
posteriornya dipisahkan oleh insisura intercondylaris. Permukaan anterior
condylus ikut serta dalam pembentukan articulatio genu. Diatas condylus terdapat
epicondylus lateralis dan medialis. Tuberkulum adductorum dilanjutkan oleh
epicondylus medialis.
Ruang fascia anterior tungkai atas diisi oleh musculus sartorius, muskulus
iliacus, musculus psoas, musculus pectineus dan musculus cuadriceps femoris.
Dipersarafi oleh nervus femoralis ruang anterior facia tungkai atas dialiri
pembuluh darah arteri femoralis. Ruang fascia medial tungkai atas diisi oleh
musculus gracilis, musculus adductor longus, musculus adductor magnus,
musculus obturatorius externus dengan dipersarafi oleh nervus obturatorius ruang
fascial medial diperdarahi oleh arteri profunda femoris dan arteri obturatoria.
Ruang fascia posterior tungkai atas diisi oleh musculus biceps femoris, msculus
semitendinosus, musculus semimembranosus, dan sebagian kecil musculus
adductor magnus (otot-otot hamstring)/ dipersarafi oleh nervus ischiadicus ruang
fascia posterior tungkai atas diperdarahi oleh cabang-cabang arteri profunda
femoris.

7
B. Fraktur
1. Definisi
Fraktur adalah terputusnya hubungan/kontinuitas struktur
tulang atau tulang rawan bisa komplet atau inkomplet atau
diskontinuitas tulang yang disebabkan oleh gaya yang melebihi
elastisitas tulang. Energi yang sampai ke tulang melebihi batas
kekuatan tulang menyebabkan terjadinya fraktur (Apley, 1995).
2. Etiologi
Penyebab fraktur dapat dibagi menjadi, yaitu:

a. Cedera Traumatik
Cedera traumatik pada tulang dapat disebabkan oleh :

1) Cedera langsung berarti pukulan langsung terhadap tulang


sehingga tulang patah secara spontan. Pemukulan biasanya
menyebabkan fraktur melintang dan kerusakan pada kulit di
atasnya.

2) Cedera tidak langsung berarti pukulan langsung berada jauh


dari lokasi benturan, misalnya jatuh dengan tangan berjulur dan
menyebabkan fraktur klavikula.

3) Fraktur yang disebabkan kontraksi keras yang mendadak dari


otot yang kuat (Apley, 2010).

8
b. Fraktur Patologik
Dalam hal ini kerusakan tulang akibat proses penyakit dimana
dengan trauma minor dapat mengakibatkan fraktur dapat juga
terjadi pada berbagai keadaan berikut :

1) Tumor Tulang ( Jinak atau Ganas) : pertumbuhan jaringan baru


yang tidak terkendali dan progresif.

2) Infeksi seperti osteomielitis : dapat terjadi sebagai akibat


infeksi akut atau dapat timbul sebagai salah satu proses yang
progresif, lambat
3). Rakhitis : suatu penyakit tulang yang disebabkan oleh defisiensi
vitamin D yang mempengaruhi semua jaringan skelet lain,
biasanya disebabkan kegagalan absorbsi Vitamin D atau oleh
karena asupan kalsium atau fosfat yang rendah (Apley, 2010).
3. Klasifikasi

a. Berdasarkan penyebab

1) Non Trauma: Fraktur terjadi karena kelemahan tulang akibat


kelainan patologis didalam tulang, ini bisa karena kelainan
metabolik atau infeksi.

2) Trauma: Trauma dapat dibagi menjadi dua yaitu langsung dan


tidak langsung.

b. Berdasarkan hubungan tulang dengan jaringan dan sekitar


1) Fraktur tertutup (simple fracture). Fraktur tertutup adalah
fraktur yang fragmen tulangnya tidak menembus kulit sehingga
tempat fraktur tidak tercemar oleh lingkungan / tidak
mempunyai hubungan dengan dunia luar.
2) Fraktur terbuka (compound fracture) fraktur terbuka
merupakan suatu fraktur dimana terjadi hubungan dengan
lingkungan luar melalui kulit sehingga terjadi kontaminasi
sehingga timbul komplikasi berupa infeksi. Luka pada kulit

9
dapat berupa tusukan yang tajam keluar menembus kulit (from
within) atau dari luar oleh karena tertembus misalnya oleh
peluru atau trauma langsung (from without).

c. Berdasarkan bentuk patahan tulan

Gambar 1. Bentuk patahan tulang

1) Transversal; adalah fraktur yang garis patahnya tegak lurus


terhadap sumbu panjang tulang atau bentuknya melintang dari
tulang. Fraktur semacam ini biasanya mudah dikontrol dengan
pembidaian gips.

2) Spiral; adalah garis fraktur meluas yang mengelilingi tulang


yang timbul akibat torsi ekstremitas. Fraktur jenis ini hanya
menimbulkan sedikit kerusakan jaringan lunak.

10
3) Oblik; adalah garis fraktur yang memiliki patahan arahnya
miring dimana garis patahnya membentuk sudut terhadap
tulang.

4) Segmental; adalah dua garis fraktur berdekatan pada satu


tulang, ada segmen tulang yang retak dan ada yang terlepas
menyebabkan terpisahnya segmen sentral dari suplai darah.

5) Kominuta; adalah fraktur yang mencakup beberapa fragmen,


atau terputusnya keutuhan jaringan dengan lebih dari dua
fragmen tulang.

6) Greenstick; adalah garis fraktur tidak sempurna atau garis


patahnya tidak lengkap dimana korteks tulang sebagian masih
utuh demikian juga periosteum. Fraktur jenis ini sering terjadi
pada anak – anak.

7) Fraktur impaksi; Adalah garis fraktur yang terjadi ketika dua


tulang menumbuk tulang ketiga yang berada diantaranya,
seperti pada satu vertebra dengan dua vertebra lainnya. (Lateef,
2002).

C. Fraktur SubTrochanter Femur

1. Definisi Fraktur SubTrochanter Femur


Fraktur subtrochanter femur adalah fraktur dimana garis
patahnya berada 5 cm distal dari trochanter minor (Riza, 2011).

2. Mekanisme Terjadinya SubTrochanter Fraktur


Fraktur subtrochanter biasanya terjadi pada orang usia muda
yang disebabkan oleh trauma berkekuatan tinggi atau pada orang
lanjut usia dengan osteoporosis atau penyakit-penyakit lain yang
mengakibatkan kelemahan pada tulang (ObaidurRahman, 2013).

11
3. Gejala Klinis Fraktur Sub Trochanter
 Dapat terjadi pada usia berapa saja, tetapi kebanyakan terjadi pada
pasien usia lanjut dengan osteoporosis dan osteomalasia.
 Kaki berada pada rotasi luar, bentuknya pendek, dan paha
membengkak.
 Gerakan akan terasa sangat nyeri.
 Ketidakmampuan dalam melakukan oergerakan paha dan panggul.

4. Klasifikasi Fraktur Trochanter Femur


Fraktur trochanter femur dapat dibagi menjadi dua, yaitu
fraktur intertrochanter femur dan subtrochanter femur.

a. Fraktur Intertrochanteric
Pada fraktur ini, garis fraktur melintang dari trochanter mayor
ke trochanter minor. Tidak seperti fraktur intracapsular, salah satu
tipe fraktur extracapsular ini dapat menyatu dengan lebih baik.
Resiko untuk terjadinya komplikasi non-union dan nekrosis
avaskular sangat kecil jika dibandingkan dengan resiko pada
fraktur intracapsular.
Fraktur dapat terjadi akibat trauma langsung pada trochanter
mayor atau akibat trauma tidak langsung yang menyebabkan

12
twisting pada daerah tersebut.
Berdasarkan klasifikasi Kyle (1994), fraktur intertrochanteric
dapat dibagi menjadi 4 tipe menurut kestabilan fragmen-fragmen
tulangnya.Fraktur dikatakan tidak stabil jika:
1) Hubungan antarfragmen tulang kurang baik.
2) Terjadi force yang berlangsung terus menerus yang
menyebabkan displaced tulang menjadi semakin parah.
3) Fraktur disertai atau disebabkan oleh adanya osteoporosis.

Gambar 5. menunjukkan klasifikasi Kyle untuk fraktur intertrochanteric.


b. Fraktur Subtrochanteric
Fraktur subtrochanteric biasanya terjadi pada orang usia muda
yang disebabkan oleh trauma berkekuatan tinggi atau pada orang
lanjut usia dengan osteoporosis atau penyakit-penyakit lain yang
mengakibatkan kelemahan pada tulang. Ada beberapa hal yang
perlu diperhatikan pada fraktur ini, antara lain:
1) Perdarahan yang terjadi cenderung lebih massif dibandingkan
perdarahan pada fraktur collum femur lainnya. Hal ini terjadi
karena pada daerah subtrochanteric terdapat anastomosis dari
cabang-cabang arteri femoral bagian medial dan lateral.

13
2) Fragmen fraktur dapat terextensi ke region intertrochanteric
yang mungkin menyulitkan pelaksanaan internal fixation.
3) Bagian proksimal mengalami abduksi, exorotasi, dan flexi
akibat psoas sehingga corpus femur harus diposisikan
sedemikian rupa untuk menyamai posisi tersebut. Jika tidak,
maka resiko untuk terjadinya non-union atau malunion akan
sangat tinggi.
Pada X-ray dapat ditemukan gambaran-gambaran fraktur yang
perlu diperhatikan sebagai suatu bentuk warning sign, seperti
ditunjukkan pada gambar berikut ini.

Gambar 6. Fracture Subtrochanteric – Warning sign pada X-ray

Keterangan Gambar 6.
(a) Comminution, dengan extensi ke fossa piriformis
(b) Displacement pada fragmen medial, termasuk trochanter minor
(c) Lytic lesion pada femur(Delahay, 2007).
5. Diagnosis Fraktur Femur
Pada anamnesis biasanya didapatkan adanya riwayat trauma,
baik yang hebat maupun trauma ringan diikuti dengan rasa nyeri dan
ketidakmampuan untuk menggunakan ekstremitas bawah. Anamnesis
harus dilakukan dengan cermat, karena fraktur tidak selamanya terjadi
di daerah trauma dan mungkin terjadi di daerah lain. Anamnesis

14
dilakukan untuk menggali riwayat mekanisme cedera (posisi
kejadian) dan kejadian-kejadian yang berhubungan dengan cedera
tersebut. Riwayat cedera atau fraktur sebelumnya, riwayat sosial
ekonomi, pekerjaan, obat-obatan yang dia konsumsi, merokok,
riwayat alergi dan riwayat osteoporosis serta penyakit lain. Bila tidak
ada riwayat trauma, teliti apakah ada kemungkinan fraktur patologis.
Pada pemeriksaan awal penderita, perlu diperhatikan adanya:
1. Syok, anemia atau pendarahan
2. Kerusakan pada organ-organ lain, misalnya otak, sumsum tulang
belakang atau organ-organ dalam rongga toraks, panggul dan
abdomen
3. Faktor predisposisi, misalnya pada fraktur patologis.
Pemeriksaan Lokal:
1. Inspeksi (Look)
 Bandingkan dengan bagian yang sehat
 Perhatikan posisi anggota gerak
 Keadaan umum penderita secara keseluruhan
 Ekspresi wajah karena nyeri
 Lidah kering atau basah
 Adanya tanda-tanda anemia karena pendarahan
 Apakah terdapat luka pada kulit dan jaringan lunak untuk
membedakan fraktur tertutup atau terbuka
 Ekstravasasi darah subkutan dalam beberapa jam sampai
beberapa hari
 Perhatikan adanya deformitas berupa angulasi, rotasi dan
kependekan
 Lakukan survei pada seluruh tubuh apakah ada trauma pada
organ-organ lain
 Perhatikan kondisi mental penderita
 Keadaan vaskularisasi.

15
2. Palpasi (Feel)
Palpasi dilakukan secara hati-hati oleh karena penderita biasanya
mengeluh sangat nyeri.
Hal-hal yang perlu diperhatikan :
 Temperatur setempat yang meningkat
 Nyeri tekan; nyeri tekan yang bersifat superfisial biasanya
disebabkan oleh kerusakan jaringan lunak yang dalam akibat
fraktur pada tulang
 Krepitasi; dapat diketahui dengan perabaan dan harus dilakukan
secara hati-hati
 Pemeriksaan vaskuler pada daerah distal trauma berupa palpasi
arteri radialis, arteri dorsalis pedis, arteri tibialis posterior sesuai
dengan anggota gerak yang terkena Refilling (pengisian) arteri
pada kuku, warna kulit pada bagian distal daerah trauma,
temperatur kulit.
 Pengukuran tungkai terutama pada tungkai bawah untuk
mengetahui adanya perbedaan panjang tungkai.
3. Pergerakan (Move)
Pergerakan dengan mengajak penderita untuk menggerakkan
secara aktif dan pasif sendi proksimal dan distal dari daerah yang
mengalami trauma. Kemudian dinilai adanya keterbatasan pada
pergerakan sendi tersebut(Range of movement).Pada penderita
dengan fraktur, setiap gerakan akan menyebabkan nyeri hebat
sehingga uji pergerakan tidak boleh dilakukan secara kasar,
disamping itu juga dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan
lunak seperti pembuluh darah dan saraf.
4. Pemeriksaan Neurologis
Pemeriksaan neurologis berupa pemeriksaan saraf secara sensoris
dan motoris serta gradasi kelainan neurologis yaitu neuropraksia,
aksonotmesis atau neurotmesis. Kelainan saraf yang didapatkan
harus dicatat dengan baik karena dapat menimbulkan masalah

16
asuransi dan tuntutan (klaim) penderita serta merupakan patokan
untuk pengobatan selanjutnya.
5. Pemeriksaan radiologi
6. Proses Penyembuhan Fraktur

Fraktur akan menyatu baik dibebat atau tidak, tanpa suatu


mekanisme alami untuk menyatu. Namun tidak benar bila dianggap
bahwa penyatuan akan terjadi jika suatu fraktur dibiarkan tetap
bergerak bebas. Sebagian besar fraktur dibebat, tidak untuk
memastikan penyatuan, tetapi untuk meringankan nyeri, memastikan
bahwa penyatuan terjadi pada posisi yang baik dan untuk melakukan
gerakan lebih awal dan mengembalikan fungsi (Okoro, 2006).
Proses penyembuhan fraktur beragam sesuai dengan jenis
tulang yang terkena dan jumlah gerakan di tempat fraktur.
Penyembuhan dimulai dengan lima tahap, yaitu sebagai berikut:

17
a. Tahap kerusakan jaringan dan pembentukan hematom
Pada tahap ini dimulai dengan robeknya pembuluh darah dan
terbentuk hematoma di sekitar dan di dalam fraktur. Tulang pada
permukaan fraktur, yang tidak mendapat persediaan darah, akan
mati sepanjang satu atau dua milimeter. Hematom ini kemudian
akan menjadi medium pertumbuhan sel jaringan fibrosis dan
vaskuler sehingga hematom berubah menjadi jaringan fibrosis
dengan kapiler di dalamnya.

b. Tahap radang dan proliferasi seluler


Setelah pembentukan hematoma terdapat reaksi radang akut
disertai proliferasi sel di bawah periosteum dan di dalam saluran
medula yang tertembus. Ujung fragmen dikelilingi oleh jaringan
sel yang menghubungkan tempat fraktur. Hematoma yang
membeku perlahan-lahan diabsorbsi dan kapiler baru yang halus
berkembang ke dalam daerah tersebut.

c. Tahap pembentukan kalus


Sel yang berkembangbiak memiliki potensi kondrogenik dan
osteogenik, bila diberikan keadaan yang tepat, sel itu akan mulai
membentuk tulang dan dalam beberapa keadaan, juga kartilago.
Populasi sel juga mencakup osteoklas yang mulai membersihkan
tulang yang mati. Massa sel yang tebal, dengan pulau-pulau tulang
yang imatur dan kartilago, membentuk kalus atau bebat pada
permukaan periosteal dan endosteal. Sementara tulang fibrosa
yang imatur menjadi lebih padat, gerakan pada tempat fraktur
semakin berkurang pada empat minggu setelah fraktur menyatu.

d. Osifikasi
Kalus (woven bone) akan membentuk kalus primer dan secara
perlahan–lahan diubah menjadi tulang yang lebih matang oleh
aktivitas osteoblas yang menjadi struktur lamellar dan kelebihan
kalus akan di resorpsi secara bertahap. Pembentukan kalus dimulai

18
dalam 2-3 minggu setelah patah tulang melalui proses penulangan
endokondrial. Mineral terus menerus ditimbun sampai tulang
benar-benar bersatu.

e. Konsolidasi
Bila aktivitas osteoklastik dan osteoblastik berlanjut, fibrosa
yang imatur berubah menjadi tulang lamellar. Sistem itu sekarang
cukup kaku untuk memungkinkan osteoklas menerobos melalui
reruntuhan pada garis fraktur, dan dekat di belakangnya osteoblas
mengisi celah-celah yang tersisa antara fragmen dengan tulang
yang baru. Ini adalah proses yang lambat dan mungkin perlu
sebelum tulang cukup kuat untuk membawa beban yang normal.

f. Tahap menjadi tulang dewasa


Fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang yang padat.
Selama beberapa bulan, atau bahkan beberapa tahun, pengelasan
kasar ini dibentuk ulang oleh proses resorpsi dan pembentukan
tulang akan memperoleh bentuk yang mirip bentuk normalnya.
(Buckley, 2017).
6. Komplikasi Fraktur
Komplikasi setelah fraktur adalah syok yang berakibat fatal
dalam beberapa jam setelah cedera, emboli lemak, yang dapat terjadi
dalam 48 jam atau lebih, dan sindrom kompartemen, yang berakibat
kehilangan fungsi ekstremitas permanent jika tidak ditangani segera.
Adapun beberapa komplikasi dari fraktur femur yaitu:

a. Syok
Syok hipovolemik atau traumatik akibat pendarahan (baik
kehilangan darah eksterna maupun interna) dan kehilangan cairan
ekstrasel ke jaringan yang rusak dapat terjadi pada fraktur
ekstremitas, toraks, pelvis, dan vertebra karena tulang merupakan
organ yang sangat vaskuler, maka dapat terjadi kehilangan darah

19
dalam jumlah yang besar sebagai akibat trauma, khususnya pada
fraktur femur pelvis.
b. Emboli lemak
Setelah terjadi fraktur panjang atau pelvis, fraktur multiple atau
cedera remuk dapat terjadi emboli lemak, khususnya pada pria
dewasa muda 20-30 tahun. Pada saat terjadi fraktur globula lemak
dapat termasuk ke dalam darah karna tekanan sumsum tulang lebih
tinggi dari tekanan kapiler atau karna katekolamin yang di
lepaskan oleh reaksi stres pasien akan memobilitasi asam lemak
dan memudahkan terjadiya globula lemak dalam aliran darah.
Globula lemak akan bergabung dengan trombosit membentuk
emboli, yang kemudian menyumbat pembuluh darah kecil yang
memasok otak, paru, ginjal dan organ lain. Awitan dan gejalanya
yang sangat cepat, dapat terjadi dari beberapa jam sampai satu
minggu setelah cidera gambaran khasnya berupa hipoksia,
takipnea, takikardia, dan pireksia.

c. Sindrom kompartemen (Volkmann's Ischemia)


Sindrom kompartemen adalah suatu kondisi dimana terjadi
peningkatan tekanan interstisial di dalam ruangan yang terbatas,
yaitu di dalam kompartemen osteofasial yang tertutup. Peningkatan
tekanan intra kompartemen akan mengakibatkan berkurangnya
perfusi jaringan dan tekanan oksigen jaringan, sehingga terjadi
gangguan sirkulasi dan fungsi jaringan di dalam ruangan tersebut.
Ruangan tersebut terisi oleh otot, saraf dan pembuluh darah yang
dibungkus oleh tulang dan fascia serta otot-otot individual yang
dibungkus oleh epimisium. Sindrom kompartemen ditandai dengan
nyeri yang hebat, parestesi, paresis, pucat, disertai denyut nadi
yang hilang. Secara anatomi sebagian besar kompartemen terletak
di anggota gerak dan paling sering disebabkan oleh trauma,
terutama mengenai daerah tungkai bawah dan tungkai atas.

20
d. Nekrosis avaskular tulang
Cedera, baik fraktur maupun dislokasi, seringkali mengakibatkan
iskemia tulang yang berujung pada nekrosis avaskular. Nekrosis
avaskuler ini sering dijumpai pada kaput femoris, bagian proksimal
dari os. Scapphoid, os. Lunatum, dan os. Talus.

e. Atrofi otot
Atrofi adalah pengecilan dari jaringan tubuh yang telah mencapai
ukuran normal. Mengecilnya otot tersebut terjadi karena sel-sel
spesifik yaitu sel-sel parenkim yang menjalankan fungsi otot
tersebut mengecil. Pada pasien fraktur, atrofi terjadi akibat otot
yang tidak digerakkan (disuse) sehingga metabolisme sel otot,
aliran darah tidak adekuat ke jaringan otot (Armis, 2003)..
7. Penatalaksanaan Fraktur
Prinsip penanganan fraktur adalah mengembalikan posisi
patahan tulang ke posisi semula (reposisi) dan mempertahankan posisi
itu selama masa penyembuhan patah tulang (imobilisasi) (Armis,
2003).

a. Reposisi
Tindakan reposisi dengan cara manipulasi diikuti dengan
imobilisasi dilakukan pada fraktur dengan dislokasi fragmen yang
berarti seperti pada fraktur radius distal. Reposisi dengan traksi
dilakukan terus-menerus selama masa tertentu, misalnya beberapa
minggu, kemudian diikuti dengan imobilisasi. Tindakan ini
dilakukan pada fraktur yang bila direposisi secara manipulasi akan
terdislokasi kembali dalam gips. Cara ini dilakukan pada fraktur
dengan otot yang kuat, misalnya fraktur femur.
Reposisi dilakukan secara non-operatif diikuti dengan
pemasangan fiksator tulang secara operatif, misalnya reposisi patah
tulang pada fraktur kolum femur. Fragmen direposisi secara non-

21
operatif dengan meja traksi, setelah tereposisi, dilakukan
pemasangan prosthesis secara operatif pada kolum femur.
Reposisi diikuti dengan imobilisasi dengan fiksasi luar (OREF)
dilakukan untuk fiksasi fragmen patahan tulang, dimana digunakan
pin baja yang ditusukkan pada fragmen tulang, kemudian pin baja
disatukan secara kokoh dengan batangan logam di kulit luar.
Beberapa indikasi pemasangan fiksasi luar antara lain fraktur
dengan rusaknya jaringan lunak yang berat (termasuk fraktur
terbuka), dimana pemasangan internal fiksasi terlalu berisiko untuk
terjadi infeksi, atau diperlukannya akses berulang terhadap luka
fraktur di sekitar sendi yang cocok untuk internal fiksasi namun
jaringan lunak terlalu bengkak untuk operasi yang aman, pasien
dengan cedera multiple yang berat, fraktur tulang panggul dengan
perdarahan hebat, atau yang terkait dengan cedera kepala, fraktur
dengan infeksi.
Reposisi secara operatif dikuti dengan fiksasi patahan tulang
dengan pemasangan fiksasi interna (ORIF), misalnya pada fraktur
femur, tibia, humerus, atau lengan bawah. Fiksasi interna yang
dipakai bisa berupa pen di dalam sumsum tulang panjang, bisa juga
plat dengan skrup di permukaan tulang. Keuntungan reposisi
secara operatif adalah dapat dicapai reposisi sempurna, dan bila
dipasang fiksasi interna yang kokoh, sesudah operasi tidak
diperlukan pemasangan gips lagi dan segera bisa dilakukan
imobilisasi. Indikasi pemasangan fiksasi interna adalah fraktur
tidak bisa di reduksi kecuali dengan operasi, fraktur yang tidak
stabil dan cenderung terjadi displacement kembali setelah reduksi
fraktur dengan penyatuan yang buruk dan perlahan (fraktur femoral
neck), fraktur patologis, fraktur multiple dimana dengan reduksi
dini bisa meminimkan komplikasi, fraktur pada pasien dengan
perawatan yang sulit (paraplegia, pasien geriatri).

22
b. Imobilisasi
Pada imobilisasi dengan fiksasi dilakukan imobilisasi luar
tanpa reposisi, tetapi tetap memerlukan imobilisasi agar tidak
terjadi dislokasi fragmen. Contoh cara ini adalah pengelolaan
fraktur tungkai bawah tanpa dislokasi yang penting. Imobilisasi
yang lama akan menyebabkan mengecilnya otot dan kakunya
sendi. Oleh karena itu diperlukan upaya mobilisasi secepat
mungkin.

c. Rehabilitasi
Rehabilitasi berarti upaya mengembalikan kemampuan anggota
yang cedera atau alat gerak yang sakit agar dapat berfungsi
kembali seperti sebelum mengalami gangguan atau cedera.
8. Rehabilitasi Medik (RM) pada fraktur
Tujuan utama program dalam bidang rehabilitasi medik adalah
perbaikan dan peningkatan fungsi, dengan cara mencegah atau
mengurangi dampak impairment, disability dan handicap. Sedangkan
hal-hal tersebut merupakan ruang lingkup kerja RM yaitu :
impairment adalah penyakit atau kelainan pada tingkat organ,
disabilitas adalah kelainan pada tingkat individu yang mengakibatkan
seseorang tidak dapat melakukan kegiatan atau aktifitas sehari-hari
serta handicap yang merupakan gangguan atau hambatan melakukan
kegiatan atau aktifitas dalam lingkungan sosialnya.
Terapi yang digunakan pada kasus fraktur dapat berupa terapi
latihan maupun terapi dengan modalitas. Terapi dengan modalitas
yang sering digunakan yaitu traksi, yang dapat mereposisi kembali
tulang yang fraktur, sekaligus juga dapat mengurangi nyeri yang
timbul pada daerah fraktur.
Penanganan rehabilitasi dapat berupa:
1) Fisioterapi
Teknologi Fisioterapi yang digunakan adalah terapi latihan. Terapi
latihan adalah usaha pengobatan dalam fisioterapi yang

23
pelaksanaannya menggunakan latihan-latihan gerakan tubuh, baik
secara aktif maupun pasif (Kisner, 1996). Pada umumnya, sebelum
dan setelah pelaksanaan terapi latihan, bagian yang mengalami
operasi, dalam keadaan dielevasikan sekitar 30º.
1. Static Contraction
Terjadi kontraksi otot tanpa disertai perubahan panjang otot
dan tanpa gerakan pada sendi. Latihan ini dapat meningkatkan
tahanan perifer pembuluh darah, vena yang tertekan oleh otot
yang berkontraksi menyebabkan darah di dalam vena akan
terdorong ke proksimal yang dapat mengurangi oedem, dengan
oedem berkurang, maka rasa nyeri juga dapat berkurang.
Ditambahkan elevasi sehingga dengan pengaruh gravitasi akan
semakin memperlancar aliran darah pada pembuluh darah vena.
Static Contraction bermanfaat untuk mereleksasikan otot-
ototmelancarkan peredaran darah dan menjaga fisiologi otot
(Kisner,1996).
a). Otot gatrocnemius tungkai kanan
Pasienposisi tidur terlentang, tangan terapis diletakkan

pada bawah tumitkanan pasien. Lalu pasien diminta untuk

menekankan tumitnya kebawah dilakukan pengulangan 8

kali.

Static contraction otot gastrocnemius

24
b). Otot Quadriceps femoris dextra.
Pasien posisi tidur terlentang tangan terapis diletakkan

pada bawah lutut kanan, lalu pasien diminta untuk

menekankan lutut ke bawah dilakukan pengulangan

hingga 8 kali.

Static contraction otot quadriceps


c). Otot Gluteus
Pasien posisi tidur terlentang tangan terapis diletakkan

pada bawah gluteal untuk mengecek lalu pasien diminta

untuk merapatkan pantatnya seperti menahan buang air

besar dilakukan pengulangan hingga 8 kali.

Static contraction otot gluteus


2. Passive Movement
Passive movement adalah gerakan yang ditimbulkan oleh
adanya kekuatan dari luar sementara itu otot pasien

25
lemas.Relaxed Passive Movement merupakan gerakan pasif
yang hanya dilakukan sebatas timbul rasa nyeri. Bila pasien
sudah merasa nyeri pada batas lingkup gerak sendi tertentu,
maka gerakan dihentikan (Kisner, 1996).
a) Passive movement sendi pergelangan kaki untuk gerakan
dorsal dan plantar flexi.Posisi pasien tidur terlentang, posisi
terapis disebelah kanan bed dengan tangan kiri memfiksasi
pada pergelangan kaki pasien, sedangkan tangan kanan
menggerakkan ankle kearah dorsal dan plantar flexi
dilakukan pengulangan 8 kali

Gerakan pasif untuk sendi pergelangan kaki


b) Passive movement sendi lutut untuk gerakan flexi-extensi
knee.Posisi pasien tidur terlentang, posisi terapis memfiksasi
pada sendi pergelangan kaki sedangkan tangan satunya
berada di bawah lutut kemudian digerakkan flexi- extensi
sendi knee gerakan dilakukan dengan hati-hati sebatas
toleransi pasien dilakukan pengulangan 8 kali.

Gerakan pasif untuk sendi lutut

26
c) Passive movement sendi panggul untuk gerakan flexi-extnesi
Posisi pasien tidur terlentang, posisi terapis berada disamping
kanan bed tangan kiri terapis memegang lutut kanan pasien
dan tangan kanan terapis memfiksasi pada tumit kanan pasien
kemudian terapis menggerakan tungkai kanan pasien kearah
flexi sebatas nyeri kemudian ke posisi semula pengulangan 8
kali.

Gerakan pasif untuk sendi panggul


d) Passive Movement sendi panggul untuk gerkaan abduksi-
adduksi.Posisi pasien tidur terlentang, posisi terpis berada
disaping kanan bed, tangan kiri terapis menyangga dibawah
lutut kanan pasien tangan kanan memegang tumit kanan
pasien kemudian terapis menggerakan tungkai kanan kearah
luar abduksi kemudian ke arah semula abduksi disarankan
tidak melewati midline dilakukan pengulangan 8 kali

Gerakan pasif untuk sendi panggul


3. Active Movement
Latihan gerak aktif merupakan gerakan yang timbul dari
kekuatan kontraksi otot pasien sendiri secara volunter /
sadar.Pada kondisi oedem, gerakan aktif ini dapat menimbulkan
“pumping action” yang akan mendorong cairan bengkak

27
mengikuti aliran darah ke proksimal. Latihan ini juga dapat
digunakan untuk tujuan mempertahankan kekuatan otot, latihan
koordinasi dan mempertahankan mobilitas sendi. Active
Movement terdiri dari :
a. Assisted Active Movement
Assisted active movement yaitu suatu gerakan aktif yang
dilakukan oleh adanya kekuatan otot dengan bantuan
kekuatan dari luar. Bantuan dari luar dapat berupa tangan
terapis, papan maupun suspension. Terapi latihan jenis ini
dapat membantu mempertahankan fungsi sendi dan kekuatan
otot setelah terjadi fraktur.
1) Assisted Active Movement sendi pergelangan kaki
untuk gerakan dorsal dan plantar flexi.Posisi pasien
tidur terlentang, posisi terapis berdiri di samping kanan
bed, tangan kiri terapis memfiksasi pada pergelangan
kaki dan tangan kanan terapis berada dipunggung kaki
kanan pasien diminta untuk mengerakkan ankle kearah
dorsal dan plantar flexi dan terapis membantu
menggerakannya. Dilakukan pengulangan 8 kali.

Gerakan Assisted Active Movement sendi pergelangan kaki


2). Assisted Active Movement sendi lutut untuk gerakan
flexi dan extensi. Posisi pasien tidur terlentang, posisi
terapis beridri disamping bed. Tangan kiri terapis
memfiksasi pada sendi lutut sedangkan tangan kanan
berada dipergelangan kaki kemudian pasien diminta

28
untuk fleksi lutut kemudian diluruskan kembali dan
terapis membantu menggerakannya. Dilakukan
pengulangan 8 kali.

Gerakan Assisted Active Movoment untuk sendi lutut


3). Assisted Active Movement sendi panggul untuk
gerakan flexi-extensi. Posisi pasien tidur terlentang,
posisi terapis berada di samping kanan bed. Tangan
kiri terapis menyangga dibawah lutut sedangkan
tangan kanan terapis menyangga dibawah tumit kanan
pasien diminta untuk menggerkan tungkai kanan flexi
semampu pasien kemudian ke bawah extensi terapis
mambantu menggerakan dilakukan pengulangan 8 kali.

Gerakan Assisted Active Movoment untuk sendi panggul


4). Assisted Active Movement sendi panggul untuk
gerakan abduksi-adduksi.Posisi pasien tidur terlentang,
posisi terapis berdiri disamping bed. Tangan kanan
terapis menyangga di bawah tumit kanan pasien dan
tangan kanan menyangga di bawah lutut kanan,
kemudian pasien diminta untuk menggerakkan tungkai
kanan keluar (abduksi) kemudian ke posisi semula dan

29
terapis membantu menggerakkan dilakukan
pengulangan 8 kali.

Gerakan Assisted Active Movement untuk sendi panggul.


b. Free Active Movement
Free active movement merupakan suatu gerakan aktif yang
dilakukan oleh adanya kekuatan otot tanpa bantuan dan
tahanan kekuatan dari luar, gerakan yang dihasilkan oleh
kontraksi dengan melawan pengaruh gravitasi.Gerakan
dilakukan sendiri oleh pasien, hal ini dapat meningkatkan
sirkulasi darah sehingga oedem akan berkurang, jika oedem
berkurang maka nyeri juga dapat berkurang. Gerakan ini
dapat menjaga lingkup gerak sendi dan memelihara kekuatan
otot (Kisner, 1996)..
2) Latihan Duduk
Selama kurang lebih 3 hari post operasi pasien mulai
pertama beri latihan duduk tetapi pasien diposisikan half lying ±
300 atau setengah duduk. Apabila pasien dalam posisi half lying
mengalami gangguan yaitu masih terasa pusing maka posisi half
lying dikembalikan seperti semula (diturunkan lagi). Latihan
dilanjutkan lagi dan dilakukan setiap hari. Tahap berikutnya
melihat pasien agar duduk ongkang-ongkang di tepi bed yang akan
diuraikan pelaksanaannya. Posisi pertama pasien tidur terlentang
(half ± 300) kemudian lutut yang sehat ditekuk ± 450 juga,
kemudian tangan pasien menarik tubuhnya dibantu terapis sampai
tepi bed dalam posisi duduk (half lying ± 300) ongkang-ongkang.

30
Fiksasi fisioterapi pada tungkai yang sakit yaitu pada ankle dengan
posisi selalu ekstensi.

Latihan strengthening m. quadriceps dimulai hari ke-4


dengan posisi pasien duduk half lying 450. Fiksasi fisioterapi pada
knee dan ankle. Penderita diminta untuk menggerakkan ke arah
ekstensi kemudian terapis member tahanan. Dosis latihan 8-10 kali
gerakan.

3) Latihan berdiri
Setelah pasien berada dalam posisi ongkang-ongkang
kemudian dilanjutkan dengan turun dari bed. Adapun
pelaksanaannya pasien turun dari bed dengan hati-hati, sedangkan
terapis memfiksasi tungkai yang sakit agar dalam posisi abduksi
eksternal rotasi dan ekstensi. Setelah mendirikan pasien perlu
sekali dilakukan koreksi postur atau koreksi sikap badan. Sikap
berdiri yang dikoreksi adalah: 1) berat nadan bertumpu pada salah

31
satu tumit, 2) tulang punggung sedikit condong ke depan dengan
kedua tangan berpegangan pada hand crutch, 3) kedua crutch
berada disisi anterolateral, 4) kepala lurus tegak ke depan, 5)
tungkai yang sakit harus berada dalam posisi abduksi eksternal
rotasi dan saat latihan berdiri tidak ditapakkan. Lama berdiri pasien
tergantung pada berat tidaknya kondisi yang dialaminya. Pasien
bisa berdiri di atas kakinya selama 2 menit atau mungkin 10 menit
pada hari pertama. Lama waktu berdiri bisa ditingkatkan secara
bertahap, karena hal ini sangat penting agar memungkinkan
peredaran darahnya mampu beradaptasi dengan efek rasa sakit
yang diderita oleh pasien tersebut.
4) Ortotik prostetik
Latihan jalan dilakukan bila penderita sudah mampu dan
keseimbangannya sudah baik. Latihan jalan dapat dilakukan
dengan kruk menggunakan cara partial weight bearing (PWB)
yaitu pasien berjalan dengan menumpu sebagian berat badan,
yang kemudian ditingkatkan dengan cara fullweight bearing
(FWB) yaitu pasien berjalan dengan menumpu berat badan
penuh.Latihan berjalan dilakukan dengan metode swing
through. Dimana swing through merupakan latihan berjalan
dengan cara kruk diayunkan lebih dulu kemudian kaki
melangkah melebihi kruk.
Pasien diperbolehkan berjalan Non-Weight Bearing
mulai dari ke-7 sampai 10 selama 4-6 minggu, kemudian Partial
Weight Bearing 6 minggu berikutnya. Full weight bearing
diperbolehkan setelah 12 minggu. Operasi pengangkatan fiksasi
interna dilakukan paling cepat setelah 12 bulan bila konsolidasi
telah sempurna dan bila diperlukan dapat ditunggu sampai 2
tahun
Prosedur latihan jalan menggunakan orthosis dan prosthesis
adalah suatu prosedur yang dilakukan agar pasien mampu

32
mengkoordinasikan gerakan berjalan gerakan berjalan dengan
menggunakan alat bantu, baik berupa orthosis, protesis ataupun
alat bantu kruk (Heri, 1985).
Pola latihan berjalan dengan kruk:
a. Point Gait
 Four Point Gaits
Pola berjalan terdiri dari kruk disebelah kanan, kaki kiri, kruk
disebelah kiri dan kaki kanan.Ini merupakan pola jalan yang
paling stabil karena ada 3 titik yang selalu kontak dengan
lantai. Tehnik ini dugunakan oleh pasien dengan ataxia dan
kelemahan anggota gerak bawah
.

 Three Point Gaits


Hanya 3 titik yang mengalami kontak dengan lantai dan
membutuhjab jeseimbangan tubuh yang baik.Tehnik ini
digunakan oleh pasien dengan fraktur atau amputasi pada
anggota gerak bawah. Rangkaian pola jalannya kedua kruk
bergerak kedepan secara bersamaan diikuti oleh kaki yang
mengalami kelemahan, berat tubuh berpindah tertumpu pada
kruk dan kaku yang sehat melangkah ke depan

33
 Two Point Gaits
Pola jalannya gerakan bersamaan/serentak antara kruk sebelah
kanan dan kaki kiri, diikuti oleh gerakan serentak/bersamaan
antara kruk sebelah kiri dan kaki kanan.Pola jalannya ini lebih
cepat dari four point gaits.Pola jalan ini digunakan pada pasien
ataxia dan untuk mengurangi berat tubuh pada anggota gerak
bawah.

 Tripod (drag to) Gaits


Untuk pasien paraplegi. Ketika memperbaiki keseimbangan
tubuh mereka, berlanjut dengan swing gaits. Tripod gaits
stabil tapi lamban dan melelahkan. Pada tipe tripod alternate
gait, rangkaian pola jalannya terdiri dari kruk sebelah kanan,
kruk sebelah kiri dan kedua anggota gerak bawah ditarik
kearah kruk, sedangkan pada tripod gaits simultaneous gait,
rangkaian berjalannya terdiri dari kedua kruk bergerak secara
bersamaan dan kemudian diikuti oleh kedua anggota gerak
bawah yang ditarik kearah kruk.
b. Swing Gait
 Swing To Gaits
Pola jalan dengan kedua kruk bergerak kedepan secara
bersamaan, tangan menekan ke bawah dan kedua anggota
gerak bawah diangkat dan diayun kearah kruk.

34
 Swing Through Gait
Pola jalannya kedua kruk bergerak kedepan secara bersamaan,
tangan menekan ke bawah dan kedua anggota gerak bawah
diangkat dan diayun kedepan melebihi kruk.Tehnik ini
menggunakan energi yang besar dan sulit dilakukan.Perlu
keseimbangan tubuh yang baik dan kekuatan otot abdomen
serta anggota gerak atas yang kuat.

Pola berjalan untuk aktivitas seperti menaiki tangga adalah


kaki yang sehat diikuti oleh gerakan kedua kruk secara
bersamaan dan kemudian diikuti oleh kaki yang mengalami
kelemahan, pada saat menuruni tangga rangkaian pola
jalannya dilakukan kebalikannya.

2) Terapi okupasi
Terapi okupasi meliputi koordinasi aktivitas kehidupan sehari-hari
(AKS) untuk meberikan latihan dan pengembalian fungsi sehingga
penderita bisa melakukan pekerjaan / kegiatan normalnya.

3) Psikologi
Untuk memberikan motivasi dan penanaman sugesti positif
terhadap pasien agar mendapatkan kembali kepercayan dirinya
untuk melakukan kegiatan sehari-hari.

35
4) Sosial medik
Tujuannya adalah untuk menyelesaikan, memecahkan masalah
social yang berkaitan dengan penyakit penderita, seperti masalah
penderita dalam keluarga maupun lingkungan masyarakat.
8. Rehabilitiasi Medik Fraktur Subthrochanter Femur
a. 1hari – 1minggu
Active range of motion Hip, serta fleksi dan ekstensi knee di
tempat tidur. Isometric gluteal exercise.
b. 1minggu – 2minggu
Active dan Assisted Active Range Of Motion Hip, knee, dan ankle.
Isometric gluteal, hamstring, dan quadriceps strengthening
exercise. Lakukan weight bearing sesuai fraktur.
c. 4minggu – 6minggu
Lanjutkan untuk meningkatkan Active, Assisted Active Range Of
Motion, dan passive assisted active range of motion fleksi dan
ekstensi hip, dan mulai abduksi dan adduksi. Lanjutkan isometric
exercise untuk dan tingkatkan weight bearing sesuai stabilitas
fraktur.
d. 8minggu – 12 minggu
Secara bertahap dapat dilakukan resistive exercise pada hip dan
knee.
e. 12minggu – 16 minggu
Progressive resistive exercise pada hip dan knee (Hoppenfeld,
2000).

36
BAB III
KESIMPULAN

Penanganan fraktur subtrochanter femur secara umum yaitu


reposisi, imobilisasi dan rehabilitasi. Secara khusus dibahas mengenai
penanganan rehabilitasi medik pada pasien fraktur femur meliputi
fisioterapi,Ortotik prostetik, terapi okupasi, psikologi dan sosial medis
perlu dilakukan. Hal ini bertujuan untuk mencegah komplikasi dan
mempercepat proses perbaikan aktivitas kehidupan harian
pasien.Dimulai dengan Active range of motion Hip, serta fleksi dan
ekstensi knee di tempat tidur. Isometric gluteal exercise sampai
minggu pertama, Active dan Assisted Active Range Of Motion Hip,
knee, dan ankle. Isometric gluteal, hamstring, dan quadriceps
strengthening exercise. Lakukan weight bearing sesuai fraktur pada
minggu kedua..Lanjutkan untuk meningkatkan Active, Assisted Active
Range Of Motion, dan passive assisted active range of motion fleksi
dan ekstensi hip, dan mulai abduksi dan adduksi. Lanjutkan isometric
exercise untuk dan tingkatkan weight bearing sesuai stabilitas fraktur
dari minggu ke 4 sampai minggu ke 6.. Kemudian secara bertahap
dapat dilakukan resistive exercise pada hip dan knee pada minggu ke 8
sampai minggu ke 12, dilanjutkan progressive resistive exercise pada
hip dan knee dari minggu ke 12 sampai minggu ke 16.
. Operasi pengangkatan fiksasi interna dilakukan paling cepat
setelah 12 bulan bila konsolidasi telah sempurna dan bila diperlukan
dapat ditunggu sampai 2 tahun.

37
DAFTAR PUSTAKA

1. Apley, A.Graham. Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur Sistem APLEY. Ed.7.
Jakarta :Widya Medika.1995.
2. Apley's System of Orthopaedics and fractures, 9th edition. 2010.
3. Armis, Prinsip-pinsip Umur Fraktur dalam Trauma Sistem Muskuloskeletal,
FKUGM, Yogyakarta
4. Bucholz, R.W., Heckman, J.D., Court-Brown, C.M., Tornetta, P. Rockwood
andGreen’s Fracture in Adults, 7th Edition. Lippincott Williams & Wilkins.
2010; 47: 1562.
5. Buckley R, Panaro CDA. General Principles of Fracture Care [online].
[cited 2017 Januari 30]; Available from: URL:
http://www.emedicine.com/orthoped/topic636.html.
6. Delahay JN, Sauer S. Skeletal Trauma. In: Wiesel S, Delahay JN, editor.
Essentials of orthopedic surgery. 3rd ed..Washington: Springer; 2007. p.40-
83.
7. Department of Orthopaedic Surgery University of Stellenbosch. External
fixator [online]. 2016 [cited 2018 maret 14]; Available from: URL:
http://www0.sun.ac.za/ortho/webct-ortho/general/exfix/exfix.html
8. Depkes R.I. (2007). Riset Kesehatan Dasar. Diunduh 30 Januari 2017 .
http://www.depkes.co.id
9. Fisher A.A., Srikusanalukul, W., Davis, M.W., Smith, P.N. Clinical Profiles
andRisk Factors for Outcomes in Older Patients with Cervical
andTrochanteric Hip Fracture: Similarities and Differences. Journal of
Trauma Management and Outcomes. 2012; 6: 2-12.
10. Flierl, M.A., Gerhardt, D.C., Hak, D.J., Morgan, S.J., Stahel, P.F. Key
Issues andControversies in the Acute Management of Hip Fractures.
Orthopedics.Februari 2010 (3): 2; 102.
11. Heri Priatna, 1985; Exercise Theraphy; Akademi Fisioterapi Surakarta.
12. Hoppenfeld, Stanley and Nasantha Murthy. 2000. Treatment and
Rehabilitation of Fractures. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkin.

38
13. Kisner, C and Colby, L. A, 1996; Therapeutik Exercise Foundation and
Thecniques; Third Edition, F. A. Davis Company, Philadelphia, hal 163.
14. Lateef F. Riding motorcycles: is it a lower limb hazard? Singapore Med J
2002;43(11):566-9.
15. McRae E. The diagnosis of fractures and principles of treatment. In: McRae
E, Esser R, editor. Practical fracture treatment. 4th ed. Churchil Livingstone.
p.25-54.
16. ObaidurRahman, Adnan RM, Khan R, et al, 2013. Pattern of femoral
fractures. Journal of Rawalpindi Medical.
17. Oglen. JA.2000. Skeletal Injury in The Child Second Edition. New York:
W.B Saunders Company. Pg 857-72.
18. Okoro OI, Ohadugha OC. The anatomic pattern of fractures and dislocations
among accident victims in Owerri,Nigeria. Nigerian J of Surg Res
2006;8:54-6.
19. Rasjad C. Trauma. Dalam: Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Makassar:
Bintang Lamumpatue; 2000. h.343-536.
20. Ropyanto CB. Tesis Analisis faktor-faktor yang berhubungan dengan status
fungsional pasien paska ORIF fraktur ekstremitas bawah di RS ortopedi
Prof. Soeharto Surakarta. 2011.
21. Skinner H, Smith W, Shank J, Diao E, Lowenberg D. Musculoskeletal
Trauma Surgery. In: Skinner H, editor. Current diagnosis and treatment in
orthopedics. 3rd ed. New York: McGraw-Hill; 2003. p.76-150.
22. WHO, (2011). Decade of Action on Road Safety : Indonesia. 30 Januari 2017.
www.who.searo/int

39

Anda mungkin juga menyukai