Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN KASUS

Austin Moore Prothesis pada


Fraktur Collum Femur Dextra

Pembimbing:
dr. Bambang Sutanto, Sp.An

Oleh:

Adjeng Retno Bintari, S.Ked J 510165040


Dina Tistiawati, S.Ked J 510165097
Mira Candra Karuniawati, S.Ked J 510165010

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESI DAN REANIMASI


RUMAH SAKIT UMUM PKU MUHAMMADIYAH SURAKARTA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2017
LAPORAN KASUS
Austin Moore Prothesis pada
Fraktur Collum Femur Dextra

Diajukan Oleh :

Adjeng Retno Bintari, S.Ked J 510165040


Dina Tistiawati, S.Ked J 510165097
Mira Candra Karuniawati, S.Ked J 510165010

Telah disetujui dan disahkan oleh bagian Program Pendidikan Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Pembimbing:
dr. Bambang Sutanto, Sp.An (...............................)

Dipresentasikan dihadapan:
dr. Bambang Sutanto, Sp.An (...............................)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESI DAN REANIMASI


RUMAH SAKIT UMUM PKU MUHAMMADIYAH SURAKARTA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2017
BAB 1
PENDAHULUAN

Anestesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari berbagai tindakan


meliputi pemberian anestesi, penjagaan keselamatan penderita yang mengalami
pembedahan, pemberian bantuan hidup dasar, pengobatan intensif pasien gawat, terapi
inhalasi dan penanggulangan nyeri menahun (Baugh, 2011). Pada prinsipnya dalam
penatalaksanaan anestesi pada suatu operasi terdapat beberapa tahap yang harus
dilaksanakan yaitu pra anestesi yang terdiri dari persiapan mental dan fisik pasien,
perencanaan anestesi, menentukan prognosis dan persiapan pada pada hari operasi.
Sedangkan tahap penatalaksanaan anestesi terdiri dari premedikasi, masa anestesi dan
pemeliharaan, tahap pemulihan serta perawatan pasca anestesi (Muhardi et al, 1989).
Fraktur collum femur adalah tempat yang paling sering terkena fraktur pada
wanita usia lanjut. Ada beberapa variasi insidens terhadap rasial. Fraktur collum femur
lebih banyak pada population orang putih di Eropa dan Amerika Utara. Insidensi
meningkat dengan usia. Sebagian besar pasien adalah wanita berusia delapan puluh atau
sembilan puluhan, dan kaitannya dengan osteoporosis demikian nyata sehingga insidensi
fraktur leher femur digunakan sebagai ukuran osteoporosis yang berkaitan dengan umur
dalam pengkajian kependudukan (Jhon dan Saunders, 1995).
Namun hal ini bukan semata-mata akibat penuaan; fraktur cenderung terjadi pada
penderita osteopenia diatas rata-rata, banyak diantaranya mengalami kelainan yang
menyebabkan kehilangan jaringan tulang dan kelemahan tulang misalnya osteomalsia,
diabetes, stroke, alkoholisme dan penyakit kronis lain. Beberapa keadaan tadi juga
menyebabkan meningkatnya kecenderungan jatuh. Fraktur collum femur juga dapat terjadi
pada usia dewasa muda yang memiliki aktivitas fisik yang berat. Sebaliknya, fraktur
collum femur jarang terjadi pada orang-orang negroid (Apley dan Solomon, 1995).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Femur

Ujung atas femur memiliki caput, collum, trochanter major, dan trochanter
minor. Caput membentuk kira-kira dua pertiga dari bulatan daan bersendi dengan
aceraulum os coxae untuk membentuk articulatio coxae. Pada pusat caput terdapat
lekukan kecil yang disebut fovea capitis, untuk tempat melekatnya ligamentum capitis
femoris. Sebagian suplai darah untuk caput femoris dari a. Obturatoria dihantarkan
melalui ligamentum ini dan memasuki tulang melalui fovea capitis (Snell dan Richard,
2006).
Collum, yang menghubungkan caput dengan corpus, berjalan ke bawah,
belakang, dan lateral serta membentuk sudut sekitar 125 derajat (pada perempuan lebih
kecil) dengan sumbu panjang corpus femoris. Besarnya sudut ini dapat berubah akibat
adanya penyakit (Snell dan Richard, 2006).
Trochanter major dan minor merupakan tonjolan besar pada taut antara collum
dan corpus. Linea intertrochanterica menghbungkan kedua trochanter ini di bagian
anterior, tempat melekatnyaligamantum iliofemorale, dan di bagian posterior oleh
crista intertrochanterica yang menonjol, pada crista terdapat tuberculum quadratum
(Snell dan Richard, 2006).
Corpus femoris permukaan anteriornya licin dan bulat, sedangkan permukaan
posteriornya mempunyai rigu, disebut linea aspera. Pada linea ini melekat otot-otot dan
septa intermuscularis. Pinggir-pinggir linea melebar ke arah atas dan bawah. Pinggir
medial berlanjut ke distal sebagai crista supracondylaris medialis yang menuju ke
tuberculum adductorum pada condylus medialis. Pinggir lateral melanjutkan diri ke
distal sebagai crista ssupracondylaris lateralis. Pada permukaan posterior corpus, di
bawah trochanter major tempat tuberositas glutea untuk tempat melekatnyaGluteus
maximus. Corpus melebar ke arah ujung distalnya dan membentuk daerah segitiga
dasar pada permukaan posteriornya, disebut facies poplitea (Snell dan Richard, 2006).
Ujung bawah femur mempunyai condyli medialis dan lateralis, yang di bagian
posterior dipisahkan oleh incisura intercondyaris. Permukaan anterior condylus bersatu
dengan facies articuaris patella. Kedua condyli ikut serta dalam pembentukan
articulatio genus. Di atas condyli terdapat epicondylus lateralis dan medialis.
Tuberculum adductorum dilanjutkan oleh epicondylus medialis (Snell dan Richard,
2006).
Beberapa otot-otot besar melekat pada femur. Di bagian proksimal, m.gluteus
medius dan minimus melekat pada trochanter mayor, mengakibatkan abduksi pada
fraktur femur. M.iliopsoas melekat pada trochanter minor, mengakibatkan adanya
rotasi internal dan eksternal pada fraktur femur. Linea aspera (garis kasar pada bagian
posterior dari corpus femoris) memperkuat kekuatan dan tempat menempelnya m.
gluteus maksimus, adductor magnus, adductor brevis, vastus lateralis, vastus medialis,
dan caput brevis m. biceps femoris. Di bagian distal, m. adductor magnus melekat pada
sisi medial, menyebabkan deformitas apeks lateral pada fraktur femur. Caput medial
dan lateral m. gastrocnemius melekat di femoral condylus femoral posterior,
menyebabkan deformitas fleksi pada fraktur sepertiga distal femur (Connolly dan
Saunders, 1995).
B. Definisi
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang
ditentukan sesuai dengan jenis dan luasnya yang biasanya disebabkan oleh rudapaksa
atau tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap oleh tulang
(American College of Surgeon Committee of Trauma, 2008).
Kebanyakan fraktur terjadi karena kegagalan tulang menahan tekanan
membengkok, memutar dan tarikan akibat trauma yang bersifat langsung maupun tidak
langsung. Trauma langsung menyebabkan tekanan langsung pada tulang dan terjadi
fraktur pada daerah tekanan (ACSCOT, 2008).
Tulang femur adalah tulang terkuat, terpanjang, dan terberat yang dimiliki tubuh
yang berfungsi penting untuk mobilisasi atau berjalan. Tulang femur terdiri dari tiga
bagian, yaitu corpus femoris atau diafisis, metafisis proksimal, dan distal metafisis.
Corpus femoris berbentuk tubular dengan sedikit lengkungan ke arah anterior, yang
membentang dari trochanter minor melebar ke arah condylus. Selama menahan berat
tubuh, lengkung anterior menghasilkan gaya kompresi pada sisi medial dan gaya tarik
pada sisi lateral. Struktur femur adalah struktur tulang untuk berdiri dan berjalan, dan
femur menumpu berbagai gaya selama berjalan, termasuk beban aksial, membungkuk,
dan gaya torsial. Selama kontraksi, otot-otot besar mengelilingi femur dan menyerap
sebagian besar gaya (Apley dan Solomon, 1995).
Fraktur kolum femur termasuk fraktur intrakapsular yang terjadi pada bagian
proksimal femur, yang termasuk kolum femur adalah mulai dari bagian distal
permukaan kaput femoris sampai dengan bagian proksimal dari intertrokanter
(Hoppenfeld dan Murthy, 2000).

C. Epidemiologi
Fraktur stress pada collum femur sangat jarang, tetapi menghasilkan dampak
yang buruk, 5-10% fraktur stress terjadi dikarenakan fraktur pada collum femur.
Kelompok tertentu seperti atlet, termasuk pelari jarak jauh yang tiba-tiba menambah
atau mengubah aktivitas memiliki prevalensi yang tinggi dibandingkan populasi pada
umumnya (Lakstein et al, 2013).
Brukner melaporkan bahwa perempuan memiliki tingkat yang lebih tinggi dari
fraktur stres dibandingkan pria, kesalahan Pelatihan merupakan faktor risiko yang
paling umum, termasuk peningkatan mendadak dalam jumlah atau intensitas pelatihan
dan pengenalan aktivitas baru (Lakstein et al, 2013).
Sejumlah faktor mempengaruhi populasi lansia untuk patah tulang, termasuk
osteoporosis, gizi buruk, penurunan aktivitas fisik, gangguan penglihatan, penyakit
neurologis, keseimbangan yang buruk, dan atrofi otot. Patah tulang panggul yang
umum dan sering mengenai pada populasi geriatri (Lakstein et al, 2013).
Koval dan Zuckerman mencatat kejadian yang disesuaikan menurut umur fraktur
collum femur di Amerika Serikat adalah 63,3 kasus per 100.000 orang-tahun untuk
perempuan dan 27,7 kasus per 100.000 orang-tahun untuk pria (Koval et al, 1994).
Umur fraktur collum femur pada pasien usia lanjut terjadi paling umum setelah jatuh
ringan atau cedera memutar, dan mereka lebih sering terjadi pada wanita. Selain itu,
Joshi et al mencatat fraktur stres collum femoralis ipsilateral sebagai konsekuensi
langka artroplasti lutut total (Joshi et al, 2005).
Di Indonesia sendiri dari penelitian yang dilakukan di RS dr. Soetomo Surabaya
dapat dilihat bahwa sebagian besar penderita fraktur collum femur berjenis kelamin
laki laki. Hal ini besar kaitannya dengan sebagian besar penyebab fraktur collum femur
yang disebabkan oleh trauma, baik trauma karena kecelakaan lalu lintas maupun
kecelakaan kerja. Dari usia penderita tidak ditemukan adanya kelompok usia yang
menonjol, namun yang jelas adalah hampir semuanya dalam usia produktif sehingga
penanganan yang optimal sangat diperlukan supaya dapat kembali ke produktivitasnya
semula (Iwan dan Sjarwani, 2010).

D. Klasifikasi
Menurut lokasi fraktur dapat berupa fraktur subkapital, transervikal dan basal,
yang kesemuanya terletak di dalam simpai sendi panggul atau intrakapsular; fraktur
intertrokanter dan subtrokanter terletak ekstrakapsuler (Brinker, 2001).
Patah tulang intrakapsuler umumnya sukar mengalami pertautan dan cenderung
terjadi nekrosis avaskular kaput femur. Perdarahan kolum yang terletak intraartikuler
dan pendarahan kaput femur berasal dari proksimal a. sirkumfleksa femoris lateralis
melalui simpai sendi. Sumber pendarahan ini putus pada patah tulang intraartikuler.

Pendarahan oleh arteri di dalam ligamentum teres sangat terbatas dan dan sering
tidak berarti. Pada luksasi arteri ini robek. Epifisis dan daerah trokanter cukup kaya
pendarahannya, karena mendapat darah dari simpai sendi, periost, dan a. nutrisia
diafisis femur (Brinker, 2001).
Patah tulang collum femur yang terletak intraartikuler sukar sembuh karena
bagian proksimal pendarahannya sangat terbatas, sehingga memerlukan fiksasi kokoh
untuk waktu yang cukup lama. Semua patah tulang di daerah ini umumnya tidak stabil
sehingga tidak ada cara reposisi tertutup terhadap fraktur ini, kecuali jenis fraktur yang
impaksi, baik yang subservikal atau yang basal (Brinker, 2001).
1. Klasifikasi menurut Garden
Tingkat I : fraktur inkomlit (abduksi dan terimpaksi)
Tingkat II : fraktur lengkap tanpa pergeseran
Tingkat III : fraktur dengan pergeseran sebagian
Tingkat IV : fraktur dengan pergeseran seluruh fragmen tanpa ada bagian
segmen yang bersinggungan (Brinker, 2001).

2. Klasifikasi menurut Pauwel


Tipe I : fraktur dengan garis fraktur 30 dengan bidang horizontal pada
posisi tegak
Tipe II : fraktur dengan garis fraktur 50 dengan bidang horizontal pada
posisi tegak
Tipe III : fraktur dengan garis fraktur 70 dengan bidang horizontal pada
posisi tegak (Brinker, 2001).
E. Gambaran klinik
Pada pemeriksaan fisik, fraktur collum femur dengan pergeseran akan
menyebabkan deformitas yaitu terjadi pemendekan serta rotasi eksternal sedangkan
pada fraktur tanpa pergeseran deformitas tidak jelas terlihat. Tanpa memperhatikan
jumlah pergeseran fraktur yang terjadi, kebanyakan pasien akan mengeluhkan nyeri
bila mendapat pembebanan, nyeri tekan di inguinal dan nyeri bila pinggul digerakkan
(Apley dan Solomon, 1995).

F. Pemeriksaan Fraktur Femur


Diagnosis fraktur femur dapat ditegakkan dengan anamnesis yang lengkap
mengenai kejadian trauma meliputi waktu, tempat, dan mekanisme trauma;
pemeriksaan fisik yang lengkap dan menyeluruh, serta pemeriksaan imaging
menggunakan foto polos sinar-x.
1. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan awal penderita, perlu diperhatikan adanya tanda-tanda syok,
anemia atau pendarahan, kerusakan pada organ-organ lain, misalnya otak, sumsum
tulang belakang atau organ-organ dalam rongga toraks, panggul dan abdomen.
Apabila kondisi jiwa pasien terancam, lakukan resusitasi untuk menstabilkan
kondisi pasien.
Setelah kondisi pasien stabil, perlu diperhatikan faktor predisposisi lain,
misalnya pada fraktur patologissebagai salah satu penyebab terjadinya fraktur.
Pemeriksaan status lokalis dilakukan setelah pemeriksaan skrining awal
dilakukan. Berikut adalah langkah pemeriksaan status lokalis:
a. Inspeksi (Look)
1. Bandingkan dengan bagian yang sehat
2. Perhatikan posisi anggota gerak
3. Keadaan umum penderita secara keseluruhan
4. Ekspresi wajah karena nyeri
5. Lidah kering atau basah
6. Adanya tanda-tanda anemia karena pendarahan, Lakukan survei pada
seluruh tubuh apakah ada trauma pada organ-organ lain
7. Apakah terdapat luka pada kulit dan jaringan lunak untuk membedakan
fraktur tertutup atau terbuka
8. Ekstravasasi darah subkutan dalam beberapa jam sampai beberapa hari
9. Perhatikan adanya deformitas berupa angulasi, rotasi dan kependekan
10. Perhatikan kondisi mental penderita
11. Keadaan vaskularisasi (Apley dan Solomon, 1995).
b. Palpasi/Raba (Feel)
Palpasi dilakukan secara hati-hati oleh karena penderita biasanya mengeluh
sangat nyeri. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan palpasi adalah
sebagai berikut:
1. Temperatur setempat yang meningkat
2. Nyeri tekan; nyeri tekan yang bersifat superfisial biasanya disebabkan oleh
kerusakan jaringan lunak yang dalam akibat fraktur pada tulang
3. Krepitasi; dapat diketahui dengan perabaan dan harus dilakukan secara hati-
hati
4. Pemeriksaan vaskuler pada daerah distal trauma berupa palpasi arteri
femoralis, arteri dorsalis pedis, arteri tibialis posterior sesuai dengan
anggota gerak yang terkena Refilling (pengisian) arteri pada kuku, warna
kulit pada bagian distal daerah trauma, temperatur kulit.
5. Pengukuran panjang tungkai untuk mengetahui adanya perbedaan panjang
tungkai (Apley dan Solomon, 1995).
c. Pergerakan (Move)
Pergerakan dengan mengajak penderita untuk menggerakkan secara aktif dan
pasif sendi proksimal dan distal dari daerah yang mengalami trauma. Pada
penderita dengan fraktur, setiap gerakan akan menyebabkan nyeri hebat sehingga
uji pergerakan tidak boleh dilakukan secara kasar, disamping itu juga dapat
menyebabkan kerusakan pada jaringan lunak seperti pembuluh darah dan saraf
(Apley dan Solomon, 1995).

G. Pemeriksaan neurologis
Pemeriksaan neurologis berupa pemeriksaan saraf secara sensoris dan motoris
serta gradasi kelainan neurologis yaitu neuropraksia, aksonotmesis atau neurotmesis.
Kelainan saraf yang didapatkan harus dicatat dengan baik karena dapat menimbulkan
masalah asuransi dan tuntutan (klaim) penderita serta merupakan patokan untuk
pengobatan selanjutnya (Apley dan Solomon, 1995).

H. Pemeriksaan radiologi
Dengan pemeriksaan klinik kita sudah dapat kecurigaan akan adanya fraktur
sudah dapat ditegakkan. Walaupun demikian pemeriksaan radiologis diperlukan
sebagai konfirmasi adanya fraktur, menentukan keadaan, lokasi serta ekstensi fraktur,
untuk melihat adakah kecurigaan keadaan patologis pada tulang, untuk melihat benda
asing misalnya peluru, dan tentunya untuk menentukan teknik pengobatan atau terapi
yang tepat (Apley dan Solomon, 1995).
Pemeriksaan radiologis dilakukan dengan beberapa prinsip rule of two, yaitu:
dua posisi proyeksi, dilakukan sekurang-kurangnya yaitu pada antero-posterior dan
lateral; dua sendi pada anggota gerak dan tungkai harus difoto, di atas dan di bawah
sendi yang mengalami fraktur; dua anggota gerak. Pada anak-anak sebaiknya
dilakukan foto pada ke dua anggota gerak terutama pada fraktur epifisis; dua kali
dilakukan foto, sebelum dan sesudah reposisi (Apley dan Solomon, 1995).
I. Tatalaksana
Pengobatan fraktur collum femoralis dapat berupa terapi konservatif dengan
indikasi yang sangat terbatas dan terapi operatif. Pengobatan operatif hampir selalu
dilakukan baik pada orang dewasa muda ataupun pada orang tua karena perlu reduksi
yang akurat dan stabil dan diperlukan mobilisasi yang cepat pada orang tua untuk
mencegah komplikasi. Jenis operasi yang dapat dilakukan, yaitu pemasangan pin,
pemasangan plate dan screw, dan artroplasti yang dilakukan pada penderita umur di
atas 55 tahun, berupa: eksisi artroplasti, herniartroplasti, dan artroplasti total
(Weissleder et al, 2007).
Austin Moore Prothease (AMP) adalah merupakan salah satu tindakan operasi
dengan mengganti caput femoralis yang sli dengan prothease yaitu dengan bahan bisa
dari logam atau plastik. Jenis operasi yang di butuhkan ada dua tipe yaitu cemented
dan cemenless. Pada tipe cemented fiksasi tulang akan di bantu dengan bahan cement
yang di masukan ke kanalis femuralis untuk memperkuat prothese, sedangkan tipe
cementlessfiksasi awal protheasse dilakukan dengan prees fit technique. Tipe
cementless biasanya dilakukan pada penderita dengan usia relative lebih muda dimana
pada tekhnik awal pemasangan fiksasi implant maksiamal belum akan tercapai, hingga
akan didapatkan pertumbuhan jaringan. Indikasi Pemasangan Austin-Moore Prothesis
1. Kondisi Lokal :
a. Trauma akut seperti: Fraktur sub capital
b. Trauma terdahulu (fraktur, dislokasi yang tidak direduksi atau reposisi )
c. Infeksi arthritis (Pyogenic)
d. Artritis seperti remathoid dan osteoartrosis
e. Tuberculosis sendi Hip
f. Tumor Jaringan lunak sebagaimana atau menyeluruh
Indikasi yang mutlak seperti :
a. Kekakuan kedua sendi Hip
b. Keterbatasan salah satu fungsi tungkai karena nyeri dan kaku pada
sebagaimana atau seluruh sendi (multiple stiff Joint)
2. Kondisi Umum
Luasnya nyeri, gerak dan keterbatasan fungsi atau mungkin ketiganya dan salah
satunya menjadi pertimbangan operasi.
Kontra Indikasi Operasi Austin-Moore Prothese adalah sepsis yang tersembunyi /
laten adalah kontra indikasi utama terhadap pergantian sendi. Arthroplasti yang
terinfeksi merupakan bencana. Pasien dibawah usia 60 Tahun dipertimbangkan
hanya kalau operasi lain tidak dapat dilakukan (Lein et al, 2011).
Pengobatan operatif hampir selalu dilakukan pada penderita fraktur leher femur
baik orang dewasa muda maupun dewasa tua secara teoritis, idealnya adalah menunda
penahanan beban, tetapi ini jarang dapat dipraktekkan. Jenis-jenis operasi :
1. Pemasangan pin
2. Pemasangan plate and screw (Lein et al, 2011).
Beberapa ahli mengusulkan bahwa prognosis untuk fraktur stadium III dan IV tak
dapat diramalkan sehingga penggantian prostetik selalu lebih baik. Karena itu,
kebijaksanaan kita adalah mencoba reduksi dan fiksasi pada semua pasien yang
berumur dibawah 75 tahun dan mempersiapkan penggantian untuk pasien yang sangat
tua dan sangat lemah dan pasien yang gagal menjalani reduksi tertutup. Penggantian
yang paling sedikit traumanya adalah prostesis femur atau prostesis bipolar tanpa
semen yang dimasukkan dengan pendekatan posterior. Penggantian pinggul total
mungkin lebih baik kalau terapi telah tertunda selama beberapa minggu dan dicurigai
ada kerusakan asetabulum, atau pada pasien dengan penyakit metastatik atau penyakit
paget (Lein et al, 2011).

J. Komplikasi
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi adalah :
1. Komplikasi yang bersifat umum ; trombosis vena, emboli paru, pneumonia,
dekubitus
2. Nekrosis avaskuler kaput femur
Nekrosis avaskular terjadi pada 30% penderita dengan fraktur yang disertai
pergeseran dan 10% pada fraktur tanpa pergeseran.tidak ada cara untuk
mendiagnosis hal ini pada saat terjadi fraktur. Beberapa minggu kemudian, scan
nanokoloid dapat memperlihatkan berkurangnya vaskularitas. Perubahan pada
sinar-X, meningkatnya kepadatan pada kaput femoris mungkin tidak nyata selama
berbualan-bulan atau bahkan bertahun-tahun. Baik fraktur itu menyatu atau tidak,
kolapsnya kaput femoris akan menyebabkan nyeri dan semakin hilangnya fungsi.
Apabila lokalisasi fraktur lebih ke proksimal maka kemungkinan untuk terjadi
nekrosis avaskular lebih besar.
Penanganan nekrosis avaskular kaput femur dengan atau tanpa gagal pertautan juga
dengan eksisi kaput dan leher femur dan kemudian diganti dengan protesis metal.
3. Nonunion
Lebih dari 1/3 penderita dengan fraktur leher femur tidak dapat mengalami union
terutama pada fraktur yang bergeser. Komplikasi lebih sering pada fraktur dengan
lokasi yang lebih ke proksimal. Ini disebabkan kareana vaskularisasi yang jelek,
reduksi yang tidak adekuat, fiksasi yang tidak adekuat dan lokasi fraktur adalah
intra-artikuler.
Tulang di tempat fraktur remuk, fragmen terpecah dan paku atau sekrup menjebol
keluar dari tulang atau terjulur ke lateral. Pasien mengeluh nyeri, tungkai
memendek dan sukar berjalan. Metode pengobatan nekrosis avaskuler tergantung
penyebab terjadinya nonunion dan umur penderita.
4. Osteoartritis
Osteoartritis sekunder terjadi karena adanya kolaps kaput femur atau nekrosis
avaskuler. Kalau terdapat banyak kehilangan gerakan sendi dan kerusakan meluas
ke permukaan sendi, diperlukan pergantian sendi total.
5. Anggota gerak memendek
6. Malunion
7. Malrotasi berupa rotasi eksterna
8. Koksavara (Rasjad, 2007).

K. Prognosis
Fraktur collum femur juga dilaporkan sebagai salah satu jenis fraktur dengan
prognosis yang tidak terlalu baik, disebabkan oleh anatomi collum femur itu sendiri,
vaskularisasinya yang cenderung ikut mengalami cedera pada cedera neck femur, serta
letaknya yang intrakapsuler menyebabkan gangguan pada proses penyembuhan tulang
(Leighton, 2006)

L. Tata Laksana Anestesia Dan Reanimasi Pada Operasi Di Regio Femoralis


Penatalaksanaan anestesi pada pasien dengan kasus fraktur collum femur bisa
dilakukan dengan tehnik General Anestesi Atau Regional Anestesi, tapi untuk lebih
baiknya dilakukan regional anestesi.
Masalah anestesi dan reanimasi pada fraktur femur:
1. Posisi miring pada tulang femur.
2. Perdarahan luka operasi (pada patah tulang multipel).
3. Operasi berangsung lama (pada patah tulang multipel).
4. Kerusakan jaringan lunak.
5. Nyeri yang hebat.
6. Pada beberapa kasus operasinya bersifat darurat.
7. Bahaya emboli lemak pada patah tulang panjang.

1. Anestesia regional.
Anestesi regional adalah penggunaan analgetik lokal untuk menghambat
hantaran saraf sensorik, sehingga impuls nyeri dari suatu bagian tubuh diblokir
untuk sementara (reversible). Fungsi motorik dapat terpengaruh sebagian atau
seluruhnya. Penderita tetap sadar. Anestesi regional dibagi menjadi 2 yaitu:
1. Blok sentral (blok neuroaksial), yaitu meliputi blok spinal, epidural dan
kaudal.
2. Blok perifer (blok saraf), misalnya blok pleksus brakialis, aksilaris, analgesia
regional intravena, dan lain-lain.
Analgesia spinal ialah pemberian obat anestetik lokal ke dalam ruang
subaraknoid. Persiapan analgesia spinal pada dasarnya sama seperti persiapan
pada anestesi umum. Daerah tempat tusukan diteliti apakah akan menimbulkan
kesulitan atau tidak. Selain itu perlu diperhatikan hal-hal dibawah ini:
1. Persetujuan dari pasien (Informed consent).
2. Pemeriksaan fisik.
Tidak dijumpai kelainan spesifik seperti kelainan tulang punggung dan lain-
lainnya.
3. Pemeriksaan laboratorium yang dianjurkan.
Hemoglobin, hematokrit, PT (prothrombine time) dan PTT ( partial
thromboplastie time).

Persiapan analgesia spinal meliputi beberapa hal, antara lain peralatan


monitor, peralatan resusitasi atau anestesi umum dan jarum spinal. Jarum spinal
dengan ujung tajam (Quicke-Babcock) atau jarum spinal dengan ujung pinsil(
pencil point, whitecare).
Tehnik analgesia spinal dapat dilakukan dengan posisi duduk atau posisi tidur
lateral dekubitus dengan tusukan pada garis tengah ialah posisi yang paling sering
dikerjakan. Perubahan posisi berlebihan dalam 30 menit pertama akan
menyebabkan menyebarnya obat. Tehnik analgesia spinal diantaranya:
1. Setelah dimonitor posisikan pasien, misalnya dalam posisi dekubitus lateral.
Beri bantal kepala. Buat pasien membungkuk maksimal agar prosesus spinosus
mudah teraba. Posisi lain ialah duduk.
2. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua krista iliaka dengan
tulang punggung ialah L4 atau L4-L5. Tentukan tempat tusukan misalnya L2-3,
L3-4 atau L4-5.
3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadin dan alkohol.
4. Beri anestetik lokal pada tempat tusukan, misalnya dengan lidokain 1-2% 2-
3ml.
5. Cara tusukan median atau paramedian. Pungsi lumbal dilakukan dengan
menyuntikan jarum lumbal no.22 (atau lebih halus 23, 25 atau 26) pada bidang
median dengan arah 10-30 derajat terhadap bidang horizontal kearah kranial
pada ruang antar vertebra lumbalis yang sudah dipilih. Jarum lumbal akan
menembus berturut-turut beberapa ligamen, yang terakhir ditembus ialah
duramater-subarachnoid. Setelah stilet dicabut cairan likuor serebrospinalis
akan menetes keluar. Selanjutnya disuntikan larutan obat analgesi lokal
kedalam ruang subarachnoid tersebut.
Komplikasi analgesia spinal dibagi menjadi komplikasi dini dan komplikasi
yang terjadi kemudian. Komplikasi dini berupa gangguan pada sirkulasi, respirasi
dan gastrointestinal. Gangguan pada sirkulasi berupa hipotensi karena vasodilatasi
akibat blok simpatis, makin tinggi blok makin berat hipotensi. Pencegahan
hipotensi dilakukan dengan memberikan infus cairan kristaloid secara cepat
sebanyak 15 - 20 ml/kgBB dalam 10 menit segera setelah penyuntikan analgesia
spinal.
Fungsi kandung kemih merupakan bagian yang fungsinya kembali paling
akhir pada analgesia spinal, umumnya hanya berlangsung 24 jam. Kerusakan saraf
permanen (chronic adhesive arachnoiditis) merupakan komplikasi yang sangat
jarang terjadi.
b. Standar Pemantauan Dasar Operatif.
Bertujuan untuk meningkatkan kewalitas penatalaksanaan pasien selama
operasi berangsung dengan teratur dan kontinyu selama pemberian anestesia-
anelgesia, jalan nafas, oksigenasi, ventilasi, dan sirkulasi dan suhu tubuh selalu
dievaluasi.
c. Pengelolaan Pasca Operatif.
Pulih dari anestesia umum atau anestesia regional secara rutin dikelola dikamar
pulih atau unit perawatan pasca anestesi (Recovery Room, atau Post Anestesia
Care Unit). Idealnya pasien bangun dari anestesi secara bertahap, tanpa keluhan.
Kenyataannya sering dijumpai hal-hal yang tidak menyenangkan akibat stress
pasca bedah atau pasca anestesia yang berupa gangguan napas, kardiovaskuler,
gelisah, kesakitan, mual-muntah, menggigil dan kadang-kadang perdarahan.
Gangguan pernapasan berupa obstruksi napas parsial (napas bunyi) atau total,
tak ada ekspirasi paling sering dialami pada pasien pasca anestesia umum yang
belum sadar, karena lidah jatuh menutup faring atau oleh edema laring. Penyebab
lain ialah kejang laring (spasme laring) pada pasien menjelang sadar, karena laring
terangsang benda asing, darah, ludah sekret atau ketidakmampuanmenelan atau
sebelumnya ada kesulitan intubasi trakhea.
Lakukanlah manuver tripel pada penyebab obstruksi karena pasien masih dalam
anestesi dan lidah menutup faring. Pasang jalan napas mulut-faring, hidung-faring
dan tentunya berikan Oksigen 100%. Kalau tidak menolong, pasang sungkup
laring.
Obstruksi karena kejang laring atau edema laring selain perlu oksigen 100%
bersihkan jalan nafas, berikan preparat kortikosteroid (oradekson) dan kalau tidak
berhasil perlu pertimbangan memberikan pelumpuh otot.
Obstruksi napas mungkin tidak terjadi, tetapi pasien sianosis (hiperkarbi,
hiperkapni, PaCO2 >45 mmHg) atau saturasi Oksigen menurun (Hipoksemi, SaO2
<90 mmHg). Hal ini disebabkan pernapasan pasien lambat dan dangkal
(hipoventilasi). Pernapasan lambat sering akibat kebanyakan opioid dan dangkal
sering akibat pelumpuh otot masih bekerja. Kalau akibat jelas karena opioid dapat
diberikan nalokson dan kalau akibat pelumpuh otot berikan prostigmin-atropin.
Hipoventilasi yang berlanjut akan menyebabkan asidosis, hipertensi, takikardi yang
berakhir dengan depresi sirkulasi dan henti jantung.
Gelisah pasca anestesia dapat disebabkan karena hipoksia, asidosis, hipotensi,
kesakitan, efek samping dar obat misalnya ketamin atau buli-buli penuh. Setelah
disingkirkan sebab-sebab tersebut, pasien dapat diberikan penenang midazolam
0.05 - 0,1 mg/kgBB.
Nyeri pasca bedah dikategorikan sebagai nyeri berat, sedang dan ringan. Untuk
meredam nyeri pasca bedah pada analgesi regional pasien dewasa, diberikan
morfin 0,05 - 0,10 mg. Untuk nyeri yang bersifat sedang dan ringan diperlukan
tambahan opioid dan analgesik golongan AINS (Anti Inflamasi Non Steroid)
misalnya ketorolac 10-30 mg iv atau im.
Mual-muntah pasca anestesi sering terjadi setelah anestesi umum terutama
pada penggunaan opioid, bedah intra abdomen, hipotensi dan pada analgesia
regional. Obat mual-muntah yang sering digunakan pada perianestesia adalah:
1. Dehydrobenzperidol (droperidol) 0,05- 0,1 mg/kgBB i.m atau i.v
2. Metoklopramid ( primperan ) 0,1 mg/kgBB i.v
3. Ondansetron 0,05-0,1 mg/kgBB i.v.
4. Cyclizine 25-50 mg.
Menggigil (shivering) terjadi akibat hipotermia atau efek obat anestesia. Hipotermi
terjadi akibat suhu ruang operasi, cairan infus dingin, cairan irigasi dingin, bedah
abdomen luas dan lama. Terapi petidin 10-20 mg i.v pada dewasa sering dapat membantu
menghilangkan menggigil. Selain itu perlu selimut hangat, infus hangat dengan infusion
warmer, lampu penghangat untuk menaikkan suhu tubuh.
Selama di Recovery room pasien dinilai tingkat pulih-sadarnya untuk kriteria
pemindahan ke ruang perawatan biasa.

Tabel 1 Skala pulih dari anestesia

Nilai 2 1 0

Kesadaran Sadar, orientasi baik Dapat dibangunkan Tak dapat dibangunkan

Warna Merah muda Pucat Sianosis


Tanpa O2 SaO2>92% atau Dengan O2 SaO2
kehitaman tetap <90%
Perlu O2
agar
SaO2>90%

Aktivitas 4 2 ekstermitas Tak


ekstermitas bergerak ada
bergerak ekstermitas
bergerak
Dapat napas dalam Napas dangkal Apnu
Batuk Sesak napas atau
Respirasi obstruksi
Kardiovaskuler Tekanan darah Berubah Berubah 50%
berubah <20% 20-30%
STATUS PASIEN

A. IDENTITAS PASIEN
1. Nama : Ny. S
2. Usia : 82 tahun
3. Jenis kelamin : Perempuan
4. Agama : Islam
5. Alamat : Kartasura
6. No RM : 0359xxx
7. Tanggal MRS : 29 Juli 2017 , Pkl. 17.00 WIB

B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Pasien mengeluhkan sakit pada kaki kanan.
2. Riwayat Penyakit Sekarang
10 hari setelah jatuh di kamar mandi. Kaki kanan terasa sakit bila di gerakan.
Badan terasa lemas (+), demam (-).
3. Riwayat Penyakit Dahulu
a. Riwayat Hipertensi : disangkal
b. Riwayat asma : disangkal
c. Riwayat alergi : disangkal
d. Riwayat mondok di rumah sakit : disangkal
e. Riwayat DM : disangkal
f. Riwayat penyakit jantung : disangkal
g. Riwayat trauma : disangkal

C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Vital signs
- Keadaan umum : sedang
- Tekanan darah : 143/64
- Nadi : 77 x/menit
- Respirasi rate : 27 x/menit
- Suhu : 36,6C
2. Pemeriksaan fisik
Cranium : dalam batas normal.
Leher : dalam batas normal.
Thorax : SDV (-/-), Rho (-/-), Wheezing (-/-), Bunyi Jantung I-II reguler
Abdomen : dalam batas normal
Ekstremitas :Akral hangat pada ke empat extremitas. Edema pada region
femoralis dextra.
Urogenital : BAK dalam batas normal.
BAB : dalam batas normal.
Genitalia : dalam batas normal

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Hematologi
29 Juli 2017
Hasil Nilai Rujukan Keterangan
Leukosit 15,4 3.6-11.0 High
Eritrosit 3,85 3.80-5.20
Hemoglobin 9,7 11.7-15.5 Low
Hematokrit 28,4 35-47 Low
MCV 74 80-100
MCH 24,6 26-34
Limfosit 15,3 25-40 Low
MCHC 33,4 32-36
Trombosit 412 140-440
Monosit 6,6 2-8
Netrofil 78,1 50-70 High
MPV 7,3 9.0-13.0 Low
Golongan darah + rhesus
Golongan darah A
Rhesus Positif
Kimia Klinik
SGOT 15 < 27
SGPT 13 < 34
ureum 40.0 13.0-43.0
Kreatinin 0.70 0,6-1.1 Low
Glukosa sewaktu 128.8 70-140
Waktu perdarahan/pembekuan

Waktu pendarahan 2 menit 1-5

Waktu pembekuan 4 menit 2-6

Sero imunologi

HbsAg 0.00 <0,13 nonreaktif

>= 0,13 reaktif

2. Foto Pelvis AP Supinasi

E. DIAGNOSIS
Fraktur collum femur dextra
F. TINDAKAN/PENATALAKSANAAN
1. Tindakan operasi pemasangan Austin Moore Prothesis ( AMP) hari senin jam 10.38
2. Puasa 6 jam preoperasi
3. Konsul ke dokter anestesi
4. Pemberian antibiotik
5. O2 3 liter permenit
6. Ketorolac 30mf
7. Inf RL 20 tpm
8. Transfuse PRC 1 kolf

G. ASSESMENT MEDIS ANESTESI DAN SEDASI


Diagnosa preoperatif : Basis Collum Femoris Dextra
Macam operasi : Austin Moore Prothesis ( AMP) / ORIF
Tanggal operasi : 31 juli 2017
1. Keadaan Prainduksi
Berat badan : 60
Tekanan darah : 132/54
Respirasi : 18x/menit
Tinggi badan : 157 cm
Nadi : 86 x/menit
SpO2 : 98%
Alergi : tidak
Golongan darah :A
Suhu : 36,0oC
GCS : 15
Rh : positif
Hb : 10,1
AL : 15,4
2. Pemeriksaan Fisik
Jalan nafas : normal
Anamnesis : autoanamnesis
3. Status fisik ASA
ASA 2
4. Teknik anestesi
Regional Anestesia:
Tipe : Subarachnoid Blok
Posisi puncture : Duduk
Jenis jarum : spinocan no.26G
Daerah puncture: L3-4
LCS: (+)
Barbotage: (+)
Obat
Lidokain 100 mg
Catapres 75 mcg
5. Monitoring durante operasi
Obat obatan : ondancentron 4 mg (08.20)
Ketorolac 30 mg (09.45)
Ketamine (10.10)
Milodazolam 2mg (10.10)
Infus / darah : RL
Keterangan : induksi jam 08.08
Pasien siap insisi 08.24
Insisi mulai jam 08.25
Opersi selesai 10.23
Pasien keluar kamar operasi 10.28
6. Pemantauan Tanda Vital
7. Intruksi pasca anestesi dan sedasi
Posisi : setengah duduk
Analgesia : ketorolac 30 mg iv
Antimuntah : ondancentron 4 mg iv
Infus : RL 24 tpm
Makan/minum : post operasi sadar penuh tidak mual pasien boleh minum
Pemantauan tensi, nadi, napas tiap 15 menit selama 6 jam.

H. LAPORAN PEMBEDAHAN
1. Dokter Bedah I : dr.Sutopo S., Sp. OT
2. Dokter Bedah II :-
3. Dokter Anestesi : dr. Ricka L., Sp. An.
4. Diagnosis Pra Bedah : basis collum femoris dextra
5. Diagnosis Pasca Bedah : basis collum femoris dextra
6. Nama Prosedur
i. Austin Moore Prothesis ( AMP)
ii. -
7. Jenis Pembedahan : Bersih
8. Operasi ke :1
9. Profilaksis : Ya
10. Jenis Antibiotik : Ceftriaxone
11. Waktu Pemberian : 1 jam sebelum operasi
12. Uraian Pembedahan
Sesuai dengan instruksi kerja
a. Pasien miring
b. Disinfeksi lapangan operasi
c. letak sayatan ( incision) .
d. anterolateral : antara tensor fasia latae gluteus.
e. posterolateral : melalui bagian belakang kapsul.
f. Lateral: dengan charnley mendekati trocahnter mayor memotong
dan fiksasi dengan wire.
g. Caput femur dipindahkan dan diganti dengan protese.
h. Kontrol bleeding
i. Jahit, lapis demi lapis
j. Fiksasi dengan semen
k. Selesai
13. Komplikasi :-
BAB III
PEMBAHASAN

Pasien 82 Tahun mengeluhkan sakit pada kaki kanannya. Pasien mengatakan


sakit pada kaki kanan kurang lebih sejak 10 hari yang lalu dikarenakan jatuh pada kamar
mandi, dan kaki kanan juga terasa sakit saat digerakan. Dan juga pasien mengeluh badan
terasa lemas.
Pada pemeriksaan fisik khusunya pada daerah os. Coxae didapatkan tanda tanda
inflamasi seperti edema, kalor, rubor, dan functio lesia. Pada pemeriksaan penunjang
foto pelvis Ap. supinasi didapatkan gambaran fraktur pada caput femoris dextra. Pasien
tersebut dilakukan tindakan bedah Austin Moore Prothesis (AMP) karena ada indikasi
yang mendasari yaitu adanya trauma akut. Pengobatan operatif hampir selalu dilakukan
baik pada orang dewasa muda ataupun pada orang tua karena perlu reduksi yang akurat
dan stabil dan diperlukan mobilisasi yang cepat pada orang tua untuk mencegah
komplikasi. Austin Moore Prothease (AMP) adalah merupakan salah satu tindakan
operasi dengan mengganti caput femoralis yang sli dengan prothease yaitu dengan
bahan bisa dari logam atau plastik.
Teknik anastesi yang dilakukan adalah reginonal anastesia. Penatalaksanaan
anestesi pada pasien dengan kasus fraktur collum femur bisa dilakukan dengan tehnik
General Anestesi Atau Regional Anestesi, tapi untuk lebih baiknya dilakukan regional
anestesi. Indikasi dilakukan regional anastesi atau dalam kasus ini menggunakan
anastesi spinal karena indikasi bedah pada ekstremitas bawah atau panggul dalam
(fraktur collum femur). Pemberian anastesi menggunakan anastesi lokal seperti lidokain,
catapres 75 mcg ( fungsi pemberian catapres dengan lidokain (versifat isobarik) untuk
memperpanjang durasi anastesi dan fungsi lain catapres yaitu untuk menurunkan tensi )
Penatalaksanaan anestesi yang diberikan untuk pasien ini adalah pemberian O2
3 liter permenit, Infus RL 20 tpm, pemberian obat obatan seperti ondancentron 4 mg
sebagai anti emetiknya, Ketorolac 30 mg sebagai anti nyeri yang diberikan saat durante
operasi dan ketamin sebagai analgesik dan hipnotik, dan miloz yang mengandung
midazolam diberikan sebagai obat sedative.
BAB IV
KESIMPULAN

Fraktur collum femoris adalah terputusnya tulang pada daerah collum femur.
Fraktur collum femoris sering terjadi pada usia diatas 60 tahun dan lebih sering terjadi
pada wanita. Pada umumnya disebabkan oleh kerapuhan tulang akibat kombinasi proses
penuaan dan osteoporosis pasca menopause. Tidak jarang juga fraktur collum femoris
ini terjadi akibat trauma kecil yaitu pada saat berjalan, dimana gaya dari berat badan
dibebankan pada satu tungkai yang diteruskan kebagian sentral tubuh.
Penyebab fraktur collum femur sendiri meliputi osteoporosis, gizi buruk,
penurunan aktivitas fisik, gangguan penglihatan, penyakit neurologis, keseimbangan
yang buruk, atrofi otot dan sering mengenai pada populasi geriatr dan mereka lebih
sering terjadi pada wanita
Tindakan anestesia yang dilakukan pada operasi Austin Moore Prothesis (AMP)
dilakukan dengan tehnik General Anestesi Atau Regional Anestesi. Masalah anestesi
dan reanimasi yang perlu diperhatikan terhadap pasien adalah posisi miring pada tulang
femur, perdarahan luka operasi (pada patah tulang multipel), operasi berangsung lama
(pada patah tulang multipel), kerusakan jaringan lunak, nyeri yang hebat ataupun bahaya
emboli lemak pada patah tulang panjang. Maka dari itu perlu standar pemantauan dasar
operatif yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas penatalaksanaan pasien selama
operasi berangsung dengan teratur dan kontinyu selama pemberian anestesia-anelgesia,
jalan nafas, oksigenasi, ventilasi, dan sirkulasi dan suhu tubuh selalu dievaluasi, serta di
berikan pengelolaan pasca operatif yang dikelola dikamar pulih atau unit perawatan
pasca anestesi (Recovery Room, atau Post Anestesia Care Unit).
DAFTAR PUSTAKA

American College of Surgeon Committee of Trauma (ACSCOT). 2008. Advanced


Trauma Life Support for Doctor. Chicago: ATLS Student Course Manual.

Apley GA, Solomon L. Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur Sistem Apley. Edisi ke-7.
Jakarta, 1995.Widya Medika.

Baugh RF et al. Clinical Practice Guideline: Tonsillectomy in Children . Otolaryngology


Head and Neck Surgery 2011; 144 (15): 1-30.

Brinker. Review of Orthopaedic Trauma, Pennsylvania: Saunders Company, 2001. 53-


63.

Fractures and dislocations: closed management, Volume 2, John F. Connolly, Saunders;


1995.

Fractures of the Femoral Neck, t. Lein, p. Bula, j. Jeffries, k. Engler, f. Bonnaire, acta
chirurgiae orthopaedicae et traumatologiae echosl., 78, 2011, p. 1019.

Hoppenfeld S, Murthy VL. Treatment & Rehabilitation of Fractures. Philadelphia:


Lippincott Williams & Wilkins; 2000.

Joshi N, Pidemunt G, Carrera L, Navarro-Quilis A. Stress fracture of the femoral neck


as a complication of total knee arthroplasty. J Arthroplasty. 2005 Apr.
20(3):392-5.

Koval KJ, Zuckerman JD. Hip fractures: I. Overview and evaluation and treatment of
femoral-neck fractures.J Am Acad Orthop Surg. 1994 May. 2(3):141-149.

Lakstein D, Hendel D, Haimovich Y, Feldbrin Z. Changes in the pattern of fractures of


the hip in patients 60 years of age and older between 2001 and 2010: A
radiological review. Bone Joint J. 2013 Sep. 95-B(9):1250-4.

Leighton RK, Fractures of the Neck of the Femur. Rockwood and Greens Fracture in
Adults, 6 th edition, 2006, Lippincot William and Wilkins, pp 1754- 1788.
Long Term Follow Up Evaluation Fibular Auto Strut Graft In Femoral Neck Fracture At
Soetomo General Hospital Surabaya, Iwan Sutanto, A. Sjarwani. Journal Unair.
2010.
Muhardi, M, dkk. (1989). Anestesiologi, Bagian Anastesiologi dan Terapi Intensif,
FKUI. Jakarta: CV Infomedia.

Rasjad, C. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Edisi ke-3. Jakarta: Yarsif Watampone;
2007.

Snell, Richard S. Anatomi Klinik Ed.6. EGC; Jakarta. 2006.

Weissleder, R., Wittenberg, J., Harisinghani, Mukesh G., Chen, John W.


th
Musculoskeletal Imaging in Primer of Diagnostic Imaging, 4 Edition. Mosby
Elsevier. United States. 2007. Page 408-410.

Anda mungkin juga menyukai