PENDAHULUAN
1
Namun hal ini bukan semata-mata akibat penuaan; fraktur cenderung
terjadi pada penderita osteopenia diatas rata-rata, banyak diantaranya mengalami
kelainan yang menyebabkan kehilangan jaringan tulang dan kelemahan tulang
misalnya osteomalasia, diabetes, stroke, alkoholisme dan penyakit kronis lain.
Beberapa keadaan tadi juga menyebabkan meningkatnya kecenderungan jatuh.
Fraktur collum femur juga dapat terjadi pada usia dewasa muda yang memiliki
aktivitas fisik yang berat. Sebaliknya, fraktur collum femur jarang terjadi pada
orang-orang negroid. (3)
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2. 1. ANATOMI FEMUR
Ujung atas femur memiliki caput, collum, trochanter major, dan trochanter
minor. Caput membentuk kira-kira dua pertiga dari bulatan daan bersendi dengan
acetabulum os coxae untuk membentuk articulatio coxae. Pada pusat caput
terdapat lekukan kecil yang disebut fovea capitis, untuk tempat melekatnya
ligamentum capitis femoris. Sebagian suplai darah untuk caput femoris dari arteri
Obturatoria dihantarkan melalui ligamentum ini dan memasuki tulang melalui
fovea capitis.
Collum, yang menghubungkan caput dengan corpus, berjalan ke bawah,
belakang, dan lateral serta membentuk sudut sekitar 125 derajat (pada perempuan
lebih kecil) dengan sumbu panjang corpus femoris. Besarnya sudut ini dapat
berubah akibat adanya penyakit.
Trochanter major dan minor merupakan tonjolan besar pada taut antara
collum dan corpus. Linea intertrochanterica menghubungkan kedua trochanter ini
di bagian anterior, tempat melekatnya ligamantum iliofemorale, dan di bagian
posterior oleh crista intertrochanterica yang menonjol, pada crista terdapat
tuberculum quadratum.
Corpus femoris permukaan anteriornya licin dan bulat, sedangkan
permukaan posteriornya mempunyai rigu, disebut linea aspera. Pada linea ini
melekat otot-otot dan septa intermuscularis. Pinggir-pinggir linea melebar ke arah
atas dan bawah. Pinggir medial berlanjut ke distal sebagai crista supracondylaris
medialis yang menuju ke tuberculum adductorum pada condylus medialis. Pinggir
lateral melanjutkan diri ke distal sebagai crista ssupracondylaris lateralis. Pada
permukaan posterior corpus, di bawah trochanter major tempat tuberositas glutea
untuk tempat melekatnya Gluteus maximus. Corpus melebar ke arah ujung
3
distalnya dan membentuk daerah segitiga dasar pada permukaan posteriornya,
disebut facies poplitea.
Ujung bawah femur mempunyai condyli medialis dan lateralis, yang di
bagian posterior dipisahkan oleh incisura intercondyaris. Permukaan anterior
condylus bersatu dengan facies articuaris patella. Kedua condyli ikut serta dalam
pembentukan articulatio genus. Di atas condyli terdapat epicondylus lateralis dan
medialis. Tuberculum adductorum dilanjutkan oleh epicondylus medialis. (4)
Beberapa otot-otot besar melekat pada femur. Di bagian proksimal, m.
gluteus medius dan minimus melekat pada trochanter mayor, mengakibatkan
abduksi pada fraktur femur. M. iliopsoas melekat pada trochanter minor,
mengakibatkan adanya rotasi internal dan eksternal pada fraktur femur. Linea
aspera (garis kasar pada bagian posterior dari corpus femoris) memperkuat
kekuatan dan tempat menempelnya m. gluteus maksimus, adductor magnus,
adductor brevis, vastus lateralis, vastus medialis, dan caput brevis m. biceps
femoris. Di bagian distal, m. adductor magnus melekat pada sisi medial,
menyebabkan deformitas apeks lateral pada fraktur femur. Caput medial dan
lateral m. gastrocnemius melekat di femoral condylus femoral posterior,
menyebabkan deformitas fleksi pada fraktur sepertiga distal femur (3)
4
Gambar 2.1. Anatomi Tulang Femur
5
2. 2. DEFINISI
6
2. 3. EPIDEMIOLOGI
7
2. 4. KLASIFIKASI
Menurut lokasi fraktur dapat berupa fraktur subkapital, transervikal dan
basal, yang kesemuanya terletak di dalam simpai sendi panggul atau
intrakapsular; fraktur intertrokanter dan subtrokanter terletak ekstrakapsuler.
8
Gambar 2.3. Sirkulasi darah pada kolum dan kaput femur
Keterangan gambar:
1. Arteri di ligamentum teres
2. Arteri sirkumflexa femur lateralis di simpai sendi
3. Arteri perost trokanter
4. Arteri nutrisia diafisis
Pendarahan oleh arteri di dalam ligamentum teres sangat terbatas dan dan
sering tidak berarti. Pada luksasi arteri ini robek. Epifisis dan daerah trokanter
cukup kaya pendarahannya, karena mendapat darah dari simpai sendi, periost, dan
a. nutrisia diafisis femur.
Patah tulang collum femur yang terletak intraartikuler sukar sembuh
karena bagian proksimal pendarahannya sangat terbatas, sehingga memerlukan
fiksasi kokoh untuk waktu yang cukup lama. Semua patah tulang di daerah ini
umumnya tidak stabil sehingga tidak ada cara reposisi tertutup terhadap fraktur
ini, kecuali jenis fraktur yang impaksi, baik yang subservikal atau yang basal.
9
1. Klasifikasi menurut Garden
Tingkat I : fraktur inkomlit (abduksi dan terimpaksi)
Tingkat II : fraktur lengkap tanpa pergeseran
Tingkat III : fraktur dengan pergeseran sebagian
Tingkat IV : fraktur dengan pergeseran seluruh fragmen tanpa
ada bagian segmen yang bersinggungan. (11)
10
Gambar 2.5 Skematis klasifikasi menurut Pauwel
Keterangan gambar:
A. Tipe I : Sudut yang terbentuk lebih kecil dari 300 (<300)
B. Tipe II : Sudut yang terbentuk antara 30-500
C. Tipe III : Sudut yang terbentuk lebih besar dari 700 (>700)
Pada tipe II dan III tekanan yang dialami oleh daerah fraktur lebih besar dan
prognosisnya lebih jelek
2. 5. GAMBARAN KLINIK
Pada pemeriksaan fisik, fraktur collum femur dengan pergeseran akan
menyebabkan deformitas yaitu terjadi pemendekan serta rotasi eksternal
sedangkan pada fraktur tanpa pergeseran deformitas tidak jelas terlihat. Tanpa
memperhatikan jumlah pergeseran fraktur yang terjadi, kebanyakan pasien akan
mengeluhkan nyeri bila mendapat pembebanan, nyeri tekan di inguinal dan nyeri
bila pinggul digerakkan.
11
1. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan awal penderita, perlu diperhatikan adanya tanda-
tanda syok, anemia atau pendarahan, kerusakan pada organ-organ lain,
misalnya otak, sumsum tulang belakang atau organ-organ dalam rongga
toraks, panggul dan abdomen. Apabila kondisi jiwa pasien terancam,
lakukan resusitasi untuk menstabilkan kondisi pasien.
Setelah kondisi pasien stabil, perlu diperhatikan faktor predisposisi
lain, misalnya pada fraktur patologis sebagai salah satu penyebab
terjadinya fraktur.
Pemeriksaan status lokalis dilakukan setelah pemeriksaan skrining
awal dilakukan. Berikut adalah langkah pemeriksaan status lokalis:
a. Inspeksi (Look)
1) Bandingkan dengan bagian yang sehat
2) Perhatikan posisi anggota gerak
3) Keadaan umum penderita secara keseluruhan
4) Ekspresi wajah karena nyeri
5) Lidah kering atau basah
6) Adanya tanda-tanda anemia karena pendarahan, Lakukan survei
pada seluruh tubuh apakah ada trauma pada organ-organ lain
7) Apakah terdapat luka pada kulit dan jaringan lunak untuk
membedakan fraktur tertutup atau terbuka
8) Ekstravasasi darah subkutan dalam beberapa jam sampai beberapa
hari
9) Perhatikan adanya deformitas berupa angulasi, rotasi dan
kependekan
10) Perhatikan kondisi mental penderita
11) Keadaan vaskularisasi (3)
12
b. Palpasi/Raba (Feel)
Palpasi dilakukan secara hati-hati oleh karena penderita biasanya
mengeluh sangat nyeri. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam
melakukan palpasi adalah sebagai berikut:
1) Temperatur setempat yang meningkat
2) Nyeri tekan; nyeri tekan yang bersifat superfisial biasanya
disebabkan oleh kerusakan jaringan lunak yang dalam akibat
fraktur pada tulang
3) Krepitasi; dapat diketahui dengan perabaan dan harus dilakukan
secara hati-hati
4) Pemeriksaan vaskuler pada daerah distal trauma berupa palpasi
arteri femoralis, arteri dorsalis pedis, arteri tibialis posterior sesuai
dengan anggota gerak yang terkena Refilling (pengisian) arteri
pada kuku, warna kulit pada bagian distal daerah trauma,
temperatur kulit.
5) Pengukuran panjang tungkai untuk mengetahui adanya perbedaan
panjang tungkai
c. Pergerakan (Move)
Pergerakan dengan mengajak penderita untuk menggerakkan secara
aktif dan pasif sendi proksimal dan distal dari daerah yang mengalami
trauma. Pada penderita dengan fraktur, setiap gerakan akan
menyebabkan nyeri hebat sehingga uji pergerakan tidak boleh
dilakukan secara kasar, disamping itu juga dapat menyebabkan
kerusakan pada jaringan lunak seperti pembuluh darah dan saraf.
13
2. 7. PEMERIKSAAN NEUROLOGIS
Pemeriksaan neurologis berupa pemeriksaan saraf secara sensoris dan
motoris serta gradasi kelainan neurologis yaitu neuropraksia, aksonotmesis atau
neurotmesis. Kelainan saraf yang didapatkan harus dicatat dengan baik karena
dapat menimbulkan masalah asuransi dan tuntutan (klaim) penderita serta
merupakan patokan untuk pengobatan selanjutnya.
2. 8. PEMERIKSAAN RADIOLOGI
Dengan pemeriksaan klinik kita sudah dapat kecurigaan akan adanya
fraktur sudah dapat ditegakkan. Walaupun demikian pemeriksaan radiologis
diperlukan sebagai konfirmasi adanya fraktur, menentukan keadaan, lokasi serta
ekstensi fraktur, untuk melihat adakah kecurigaan keadaan patologis pada tulang,
untuk melihat benda asingmisalnya peluru, dan tentunya untuk menentukan
teknik pengobatan atau terapi yang tepat.
Pemeriksaan radiologis dilakukan dengan beberapa prinsip rule of two,
yaitu: dua posisi proyeksi, dilakukan sekurang-kurangnya yaitu pada antero-
posterior dan lateral; dua sendi pada anggota gerak dan tungkai harus difoto, di
atas dan di bawah sendi yang mengalami fraktur; dua anggota gerak. Pada anak-
anak sebaiknya dilakukan foto pada kedua anggota gerak terutama pada fraktur
epifisis; dua kali dilakukan foto, sebelum dan sesudah reposisi. (3)
14
2. 9. TATALAKSANA
Pengobatan fraktur collum femoralis dapat berupa terapi konservatif
dengan indikasi yang sangat terbatas dan terapi operatif. Pengobatan operatif
hampir selalu dilakukan baik pada orang dewasa muda ataupun pada orang tua
karena perlu reduksi yang akurat dan stabil dan diperlukan mobilisasi yang cepat
pada orang tua untuk mencegah komplikasi. Jenis operasi yang dapat dilakukan,
yaitu pemasangan pin, pemasangan plate dan screw, dan artroplasti yang
dilakukan pada penderita umur di atas 55 tahun, berupa: eksisi artroplasti,
herniartroplasti, dan artroplasti total (12)
Fraktur yang bergeser tidak akan menyatu tanpa fiksasi interna. Fraktur
yang terimpaksi dapat dibiarkan menyatu, tetapi selalu terdapat resiko pergeseran
pada fraktur-fraktur itu, sekalipun berada di tempat tidur; jadi fiksasi akan lebih
aman.
Prinsip terapi adalah reduksi yang tepat, fiksasi secara erat dan aktivitas
dini. Bila pasien di bawah anestesi, pinggul dan lutut difleksikan dan paha yang
mengalami fraktur ditarik ke atas, kemudian dirotasikan secara internal, lalu
diekstensikan dan diabduksi; akhirnya kaki diikat pada footpiece. Pengawasan
15
dengan sinar-X diguanakan untuk memastikan reduksi pada foto anteroposterior
dan lateral. Diperlukan reduksi yang tepat pada fraktur stadium III dan IV; fiksasi
pada fraktur yang tak tereduksi hanya mengundang kegagalan. Kalau fraktur
stadium III dan IV tidak dapat direduksi secara tertutup, dan pasien berumur
dibawah 60 tahun, dianjurkan untuk melakukan reduksi terbuka melalui
pendekatan anterolateral.
Tetapi, pada pasien tua (yang berusia lebih dari 70 tahun) cara ini jarang
diperbolehkan; kalau dua usaha yang cermat untuk melakukan reduksi tertutup
gagal, lebih baik dilaksanakan pergantian prostetik.
Sekali direduksi, fraktur dipertahankan dengan pen atau skrup berkanula
atau, kadang-kadang dengan sekrup kompresi geser (sekrup pinggul yang
dinamis) yang ditempelkan pada batang femur. Insisi lateral digunakan untuk
membuka femur bagian atas. Kawat pemandu, yang disisipkan di bawah kendali
fluoroskopik, digunakan untuk memastikan bahwa penempatan alat pengikat telah
tepat. Dua sekrup berkanula sudah mencukupi; keduanya harus terletak sejajar dan
memanjang sampai plat tulang subkondral; pada foto lateral keduanya berada di
tengah-tengah pada kaput dan leher, tetapi pada foto anteroposterior sekrup distal
terletak pada dengan korteks inferior leher.
Bila tidak dilakukan operasi ini cara konservatif terbaik adalah langsung
immobilisasi dengan pemberian anastesi dalam sendi dan bantuan tongkat.
Mobilisasi dilakukan agar terbentuk pseudoartrosis yang tidak nyeri sehingga
penderita diharapkan bisa berjalan dengan sedikit rasa sakit yang dapat ditahan,
serta sedikit pemendekan.
Sejak hari pertama pasien harus duduk di tempat tidur atau kursi. Dia
dilatih melakukan latihan pernafasan, dianjurkan berusaha sendiri dan memulai
berjalan (dengan alat penopang atau alat berjalan) secepat mungkin. Secara
teoritis, idealnya adalah menunda penahanan beban, tetapi ini jarang dapat
dipraktekkan.
Jenis-jenis operasi :
1) Pemasangan pin
16
2) Pemasangan plate and screw
Beberapa ahli mengusulkan bahwa prognosis untuk fraktur stadium III dan
IV tak dapat diramalkan sehingga penggantian prostetik selalu lebih baik. Karena
itu, kebijaksanaan kita adalah mencoba reduksi dan fiksasi pada semua pasien
yang berumur dibawah 75 tahun dan mempersiapkan penggantian untuk pasien
yang sangat tua dan sangat lemah dan pasien yang gagal menjalani reduksi
tertutup. Penggantian yang paling sedikit traumanya adalah prostesis femur atau
prostesis bipolar tanpa semen yang dimasukkan dengan pendekatan posterior.
Penggantian pinggul total mungkin lebih baik kalau terapi telah tertunda selama
beberapa minggu dan dicurigai ada kerusakan asetabulum, atau pada pasien
dengan penyakit metastatik atau penyakit paget.
17
Gambar 2.8 Terapi pada Fraktur Collum Femur, Penggantiann prostetik
2) Kalau reduksi atau fiksasi salah dan tidak terdapat tanda-tanda nekrosis,
sekrup itu pantas dibuang, fraktur direduksi, sekrup yang baru disisipkan
dengan bener dan juga menyisipkan cangkokan fibula pada fraktur itu;
3) Kalau kaput bersifat avaskular, kaput ini dapat diganti dengan prostesis
logam; kalau sudah terdapat atritis, diperlukan pergantian total.
18
Pada pasien yang berusia lanjut, hanya dua proses yang harus dipertimbanagkan,
yaitu ;
1. Kalau nyeri tidak hebat, pengangkatan tumit dan penggunaan tongkat yang
kuat atau kruk penopang siku sering sudah mencukupi.
2. Kalau nyerimya hebat, maka tak peduli apakah caput avaskular atau tidak,
kaput ini terbaik dibuang; kalau pasien cukup sehat, dilakukan pergantian
sendi total.
2. 10. KOMPLIKASI
19
3) Nonunion
Lebih dari 1/3 penderita dengan fraktur leher femur tidak dapat
mengalami union terutama pada fraktur yang bergeser. Komplikasi
lebih sering pada fraktur dengan lokasi yang lebih ke proksimal. Ini
disebabkan karena vaskularisasi yang jelek, reduksi yang tidak
adekuat, fiksasi yang tidak adekuat dan lokasi fraktur adalah intra-
artikuler.
4) Osteoartritis
Osteoartritis sekunder terjadi karena adanya kolaps kaput femur atau
nekrosis avaskuler. Kalau terdapat banyak kehilangan gerakan sendi
dan kerusakan meluas ke permukaan sendi, diperlukan pergantian
sendi total.
5) Anggota gerak memendek
6) Malunion
7) Malrotasi berupa rotasi eksterna
8) Koksavara (14)
2. 11. PROGNOSIS
Fraktur collum femur juga dilaporkan sebagai salah satu jenis fraktur
dengan prognosis yang tidak terlalu baik, disebabkan oleh anatomi collum femur
itu sendiri, vaskularisasinya yang cenderung ikut mengalami cedera pada cedera
neck femur, serta letaknya yang intrakapsuler menyebabkan gangguan pada
proses penyembuhan tulang. (15)
20
BAB III
KESIMPULAN
21
DAFTAR PUSTAKA
1. Staff Pengajar Bagian Ilmu Bedah FKUI Jakarta. Kumpulan kuliah ilmu bedah.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2004.p.484-7.
2. Fractures and dislocations: closed management, Volume 2, John F. Connolly,
Saunders; 1995
3. Apley GA, Solomon L. Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur Sistem Apley. Edisi ke-
7. Jakarta, 1995. Widya Medika
4. Snell, Richard S. Anatomi Klinik Ed.6. EGC; Jakarta. 2006
5. American College of Surgeon Committee of Trauma (ACSCOT). 2008.
Advanced Trauma Life Support for Doctor. Chicago: ATLS Student Course
Manual.
6. Hoppenfeld S, Murthy VL. Treatment & Rehabilitation of Fractures.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2000.
7. Lakstein D, Hendel D, Haimovich Y, Feldbrin Z. Changes in the pattern of
fractures of the hip in patients 60 years of age and older between 2001 and 2010:
A radiological review. Bone Joint J. 2013 Sep. 95-B(9):1250-4
8. Koval KJ, Zuckerman JD. Hip fractures: I. Overview and evaluation and
treatment of femoral-neck fractures.J Am Acad Orthop Surg. 1994 May.
2(3):141-149.
22
13. Fractures of the Femoral Neck, t. Lein, p. Bula, j. Jeffries, k. Engler, f. Bonnaire,
acta chirurgiae orthopaedicae et traumatologiae echosl., 78, 2011, p. 1019
14. Rasjad, C. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Edisi ke-3. Jakarta: Yarsif
Watampone; 2007
15. Leighton RK, Fractures of the Neck of the Femur. Rockwood and Greens
Fracture in Adults, 6 th edition, 2006, Lippincot William and Wilkins, pp 1754-
1788
16. Nayagam S, Injuries of the Hip and Femur. Apleys System of Orthopedic and
Fractures. Hodder Arnold, London, United Kingdom 2010 pp 843-874
23