Anda di halaman 1dari 21

Paper Orthopaedi & Traumatologi

Fraktur Salter-Harris

Oleh:

Arifin M. Siregar 140100196

Pembimbing:

dr. Iman Dwi Winanto, Sp.OT (K)

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


DEPARTEMEN ORTHOPAEDI & TRAUMATOLOGI
RUMAH SAKIT PENDIDIKAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2020

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan
berkat serta karunia-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan paper yang
berjudul “Fraktur Salter-Harris” tepat pada waktunya.
Dalam penyelesaian paper ini, penyusun banyak mendapat bimbingan dan
arahan dari berbagai pihak. Untuk itu penyusun mengucapkan banyak terima kasih
kepada dr. Iman Dwi Winanto, Sp.OT (K) atas kesediaannya untuk meluangkan
waktu dan pikiran untuk membimbing, mendukung, dan memberikan masukan
kepada penyusun sehingga penyusun dapat menyelesaikan paper ini dengan sebaik-
baiknya.
Penyusun menyadari bahwa penyusunan paper ini masih jauh dari sempurna,
baik dalam isi maupun susunan bahasanya, untuk itu penyusun mengharapkan saran
dan kritik dari pembaca sebagai masukan dalam penyusunan paper selanjutnya.
Semoga paper ini dapat bermanfaat, akhir kata penyusun mengucapkan terima
kasih.

Medan, Januari 2020

Penyusun

i
DAFTAR ISI

Halaman

Kata Pengantar ..................................................................................................... i

Daftar Isi ............................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang .................................................................................................. 1


1.2 Tujuan .............................................................................................................. 2
1.3 Manfaat ............................................................................................................ 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pertumbuhan dan Perkembangan Tulang 3


2.2. Lempeng Pertumbuhan 6
2.3. Fraktur Salter Harris 7
2.3.1. Definisi dan Epidemiologi 9
2.3.2. Patofisiologi 10
2.3.3. Klasifikasi 11
2.3.4. Manifestasi Klinis 13
2.3.5. Tatalaksana 14
2.3.6. Prognosis 15
BAB III KESIMPULAN.......................................................................................17

Daftar Pustaka.......................................................................................................18

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Lempeng epifisis (lempeng pertumbuhan) merupakan suatu diskus tulang


rawan yang terletak di antara epifisis dan metafisis. Fraktur lempeng epifisis
merupakan 1/3 dari seluruh fraktur pada anak-anak.Tulang rawan lempeng epifisis
lebih lemah daripada tulang. Daerah yang paling lemah dari lempeng epifisis adalah
zona transformasi tulang rawan pada daerah hipertrofi dimana biasanya terjadi garis
fraktur.
Fraktur lempeng pertumbuhan (growth plate) dapat didefinisikan sebagai
gangguan pada fisis tulang rawan tulang panjang yang mungkin atau mungkin tidak
melibatkan tulang epifisis atau metafisis.Cedera pada lempeng pertumbuhan lebih
mungkin terjadi pada populasi anak aktif daripada sprain atau cedera ligamen, hal
ini disebabkan terutama karena ligamen dan kapsul sendi memiliki kekuatan
struktural dan integritas yang lebih besar daripada lempeng pertumbuhan. Struktur
ligamen ini dua sampai lima kali lebih kuat daripada lempeng pertumbuhan di
kedua ujung tulang panjang dan karenanya lebih jarang mengalami cedera pada
anak-anak yang menopang beban eksternal yang berlebihan pada persendian.
Cedera yang mungkin melukai ligamen pada orang dewasa akan lebih sering
melukai lempeng pertumbuhan pada tulang rangka yang bersifat imatur.
Cedera lempeng pertumbuhan biasanya dapat dibedakan dari sprain pada
pemeriksaan klinis, di mana cedera lempeng pertumbuhan teraba nyeri di atas
tulang dan sprain teraba nyeri di atas sendi itu sendiri. Ketika ada keraguan, suatu
cedera biasanya harus dianggap sebagai cedera lempeng pertumbuhan karena
potensi komplikasi jangka panjang yang serius (termasuk terhentinya atau kelainan
bentuk pertumbuhan tulang) yang dapat disebabkan oleh cedera lempeng
pertumbuhan yang tidak diketahui.
Paper ini membahas tentang beberapa aspek penting mengenai fisis, anatomi
yang relevan dan sistem klasifikasi yang paling umum digunakan dalam

1
penanganan kasus fraktur lempeng pertumbuhan, yaitu klasifikasi Salter-Harris.
Sangat penting untuk diketahui pada fraktur pertumbuhan, hal terpenting yang
harus diketahui adalah lokasi, dan waktu merupakan kunci dalam penangannya.

1.2 Tujuan

Penyusunan telaah pustaka mengenai fraktur Salter-Harris ini bertujuan untuk


mengkaji terutama mengenai anatomi lempeng pertumbuhan, patofisiologi,
klasifikasi fraktur Salter-Harris, penegakan diagnosis dan penatalaksanaan fraktur
Salter Harris yang merupakan kasus sering di bidang orthopaedi dan traumatologi
pediatrik sehingga bisa menjadi acuan dan bahan referensi untuk para tenaga
kesehatan.

1.3 Manfaat

Penyusunan telaah pustaka ini diharapkan dapat mengembangkan


kemampuan dan pemahaman penyusun serta pembaca khususnya peserta P3D
untuk lebih memahami dan mengenal fraktur Salter-Harris.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pertumbuhan dan Perkembangan Tulang


Tulang panjang (mis. femur, humerus) terdiri dari batang tebal panjang yang
disebut diafisis dan dua ujung yang disebut epifisis. Di sebelah proksimal dari
epifisis terdapat metafisis. Di antara epifisis dan metafisis terdapat daerah tulang
rawan yang tumbuh, yang disebut lempeng epifisis atau lempeng pertumbuhan.
Tulang panjang tumbuh karena akumulasi tulang rawan di lempeng epifisis.
Tulang rawan digantikan oleh sel-sel tulang yang dihasilkan oleh osteoblas, dan

Gambar 2.1. Anatomi Tulang

3
tulang memanjang. Batang dibentuk oleh jaringan tulang yang padat. Epifisis
dibentuk dari spongious bone (cancellous atau trabecular). Pada akhir tahun-tahun
remaja tulang rawan habis, lempeng epifisis berfusi, dan tulang berhenti tumbuh.
Proses pembentukan tulang telah bermula sejak umur embrio 6-7 minggu
dan berlangsung sampai dewasa. Proses terbentuknya tulang terjadi dengan 2 cara
yaitu melalui osifikasi intra membran dan osifikasi endokondral :
1. Osifikasi intra membran
Proses pembentukan tulang dari jaringan mesenkim menjadi jaringan
tulang, contohnya pada proses pembentukan tulang pipih. Pada proses
perkembangan hewan vertebrata terdapat tiga lapisan lembaga yaitu ektoderm,
medoderm, dan endoderm. Mesenkim merupakan bagian dari lapisan
mesoderm, yang kemudian berkembang menjadi jaringan ikat dan darah.
Tulang tengkorak berasal langsung dari sel-sel mesenkim melalui proses
osifikasi intramembran.
2. Osifikasi endokondral
Proses pembentukan tulang yang terjadi dimana sel-sel mesenkim
berdiferensiasi lebih dulu menjadi kartilago (jaringan rawan) lalu berubah
menjadi jaringan tulang, misal proses pembentukan tulang panjang, ruas tulang
belakang, dan pelvis. Proses osifikasi ini bertanggung jawab pada
pembentukkan sebagian besar tulang manusia. Pada proses ini sel-sel tulang
(osteoblas) aktif membelah dan muncul dibagian tengah dari tulang rawan yang
disebut center osifikasi. Osteoblas selanjutnya berubah menjadi osteosit, sel-sel
tulang dewasa ini tertanam dengan kuat pada matriks tulang.
Pembentukan tulang rawan terjadi segera setelah terbentuk tulang rawan
(kartilago). Mula-mula pembuluh darah menembus perichondrium di bagian
tengah batang tulang rawan, merangsang sel-sel perichondrium berubah
menjadi osteoblas. Osteoblas ini akan membentuk suatu lapisan tulang
kompakta, perichondrium berubah menjadi periosteum. Bersamaan dengan
proses ini pada bagian dalam tulang rawan di daerah diafisis yang disebut juga
pusat osifikasi primer, sel-sel tulang rawan membesar kemudian pecah sehingga
terjadi kenaikan pH (menjadi basa) akibatnya zat kapur didepositkan, dengan

4
demikian terganggulah nutrisi semua sel-sel tulang rawan dan menyebabkan
kematian pada sel-sel tulang rawan ini.
Kemudian akan terjadi degenerasi (kemunduran bentuk dan fungsi) dan
pelarutan dari zat-zat interseluler (termasuk zat kapur) bersamaan dengan
masuknya pembuluh darah ke daerah ini, sehingga terbentuklah rongga untuk
sumsum tulang. Pada tahap selanjutnya pembuluh darah akan memasuki daerah
epiphise sehingga terjadi pusat osifikasi sekunder, terbentuklah tulang
spongiosa. Dengan demikian masih tersisa tulang rawan dikedua ujung epifise
yang berperan penting dalam pergerakan sendi dan satu tulang rawan di antara
epifise dan diafise yang disebut dengan cakram epifise.
Selama pertumbuhan, sel-sel tulang rawan pada cakram epifise terus-
menerus membelah kemudian hancur dan tulang rawan diganti dengan tulang
di daerah diafise, dengan demikian tebal cakram epifise tetap sedangkan tulang
akan tumbuh memanjang. Pada pertumbuhan diameter (lebar) tulang, tulang
didaerah rongga sumsum dihancurkan oleh osteoklas sehingga rongga sumsum
membesar, dan pada saat yang bersamaan osteoblas di periosteum membentuk
lapisan-lapisan tulang baru di daerah permukaan.

Gambar 2.2. Pertumbuhan Tulang

5
2.2. Lempeng Pertumbuhan
Secara teknis, terdapat dua lempeng pertumbuhan yang ada pada tulang
panjang yang belum matang: lempeng pertumbuhan horizontal (fisis) dan lempeng
pertumbuhan bulat (memungkinkan pertumbuhan epifisis). Untuk keperluan artikel
ini, lempeng pertumbuhan horizontal merupakan jenis yang dibahas.
Lempeng pertumbuhan horizontal mudah dilihat pada radiografi tulang
panjang sebagai daerah radiolusen horizontal di dekat ujung tulang. Bagian ini juga
dapat disebut sebagai lempeng pertumbuhan tulang rawan, physis, atau lempeng
epifisis. Epifisis bukanlah lempeng pertumbuhan kartilaginosa — epifisis dan
lempeng pertumbuhan bukan sinonim — melainkan tulang dari pusat osifikasi
sekunder.

Gambar 2.3. Foto X-Ray Fisis

Zona Fisis
Fisis adalah sistem jaringan terorganisir yang terletak di ujung tulang
panjang, terdiri dari susunan kondrosit yang dikelilingi oleh matriks yang terdiri
dari agregat proteoglikan. Kondrosit fisis dibagi menjadi beberapa sistem zona
berdasarkan tahapan pematangan yang berbeda berdasarkan proses osifikasi
endokondral dan fungsinya.

6
a. Reserve/resting zone
Zona cadangan / istirahat berbatasan langsung dengan epifisis dan terdiri dari
kondrosit yang tersebar tidak teratur dengan laju proliferasi yang rendah. Lapisan
ini memasok sel-sel tulang rawan yang sedang berkembang dan menyimpan bahan-
bahan yang diperlukan (misalnya, lipid, glikogen, dan agregat proteoglikan) untuk
pertumbuhan selanjutnya, dan cedera pada lapisan ini menghasilkan penghentian
pertumbuhan.

b. Zona proliferatif
Di zona ini, kondrosit dipipihkan dan ditumpuk satu sama lain dalam suatu
kolom yang berbatas tegas. Sel-sel ini menghasilkan matriks yang diperlukan dan
bertanggung jawab untuk pertumbuhan tulang memanjang melalui pembelahan sel
aktif.

c. Zona hipertrofi
Di zona hipertrofi, yang berdekatan dengan metafisis (yang selanjutnya
dibagi lagi menjadi zona maturasi, degenerasi, dan kalsifikasi sementara), sel-sel
bertambah besar ukurannya, mengakumulasi kalsium dalam mitokondria sel-
selnya, dan mengalami degenerasi. Hasil akhirnya adalah kematian sel, yang
melepaskan kalsium dari vesikel matriks, mengisi matriks dengan garam kalsium
(proses yang diperlukan untuk invasi pembuluh darah metafisis, pertumbuhan
chondroclasts dan osteblast, penghancuran sel-sel tulang rawan, dan pembentukan
tulang di sepanjang dinding matriks tulang rawan yang mengalami kalsifikasi).
Tidak ada pertumbuhan aktif yang terjadi di lapisan ini. Kolom sel yang memanjang
ke arah metafisis berada pada berbagai tahap pematangan. Bagian ini adalah bagian
terlemah dari fisis dan biasanya merupakan lokasi fraktur atau kelainan (misalnya
pelebaran, seperti pada rakitis).

d. Metafisis
Metafisis, berdekatan dengan fisis, terdiri dari lapisan spongiosa primer dan
sekunder. Spongiosa primer termineralisasi untuk membentuk tulang anyaman

7
(woven bone) dan kemudian dimodifikasi untuk membentuk spongiosa sekunder.
Cabang-cabang dari arteri metafisis dan arteri yang membawa nutrisi masuk ke
dalam spongiosa sekunder dan membentuk simpul kapiler tertutup pada spongiosa
primer.

e. Pinggiran fisis
Pinggiran fisis terdiri dari dua elemen berikut:
- Groove of Ranvier
- Perichondrial ring (of Lacroix)
Alur Ranvier adalah zona sel berbentuk baji yang berdekatan dengan epifisis di
bagian perifer. Bagian ini memasok kondrosit ke pinggiran fisis, memungkinkan
pertumbuhan lateral atau penambahan lebar fisis. Langenskiold berspekulasi
bahwa sel-sel dari zona cadangan bermigrasi ke wilayah alur Ranvier. Cincin
perichondrial adalah cincin berserat padat yang mengelilingi fisis dan sangat
penting untuk stabilitas keseluruhan lempeng pertumbuhan. Efek menstabilkan
cincin perichondrial dapat hilang dalam kondisi patologis seperti pada slipped
capital femoral epiphysis (SCFE).

8
Gambar 2.4. Anatomi Lempeng Pertumbuhan

2.3. Fraktur Salter Harris


2.3.1. Definisi dan Epidemiologi
Fraktur lempeng pertumbuhan (growth plate) dapat didefinisikan sebagai
gangguan pada fisis tulang rawan tulang panjang yang mungkin atau mungkin tidak
melibatkan tulang epifisis atau metafisis.Cedera pada lempeng pertumbuhan lebih
mungkin terjadi pada populasi anak aktif daripada sprain atau cedera ligamen, hal
ini disebabkan terutama karena ligamen dan kapsul sendi memiliki kekuatan
struktural dan integritas yang lebih besar daripada lempeng pertumbuhan. Struktur
ligamen ini dua sampai lima kali lebih kuat daripada lempeng pertumbuhan di
kedua ujung tulang panjang dan karenanya lebih jarang mengalami cedera pada
anak-anak yang menopang beban eksternal yang berlebihan pada persendian.

9
Cedera yang mungkin melukai ligamen pada orang dewasa akan lebih sering
melukai lempeng pertumbuhan pada tulang rangka yang bersifat imatur.
Mann dan Rajmaira mengumpulkan data tentang 2650 patah tulang panjang,
30% di antaranya melibatkan fisis. Neer dan Horowitz mengevaluasi 2500 fraktur
pada fisis dan menyimpulkan bahwa jari-jari distal adalah tempat cedera paling
sering (44%), diikuti oleh humerus distal (13%), fibula distal, tibia distal, ulna
distal, humerus proksimal, femur distal, tibia proksimal, dan fibula proksimal.
Menurut sebuah analisis retrospektif tahun 1972 dari 330 cedera fisis akut
yang diamati selama 20 tahun, laki-laki mengalami fraktur jenis ini lebih dari dua
kali lebih sering daripada perempuan. Perempuan paling sering terkena pada usia
yang lebih muda daripada laki-laki (11-12 tahun vs 12-14 tahun). Temuan ini sesuai
dengan proses pertumbuhan (ketika fisis paling lemah) dari masing-masing jenis
kelamin dan dengan tingginya kemungkinan laki-laki untuk terlibat dalam kegiatan
berisiko tinggi. Dalam populasi ini, cedera ekstremitas atas lebih sering terjadi
daripada cedera ekstremitas bawah secara keseluruhan

2.3.2. Patofisiologi
Gambaran histologis dari fisis sangat penting untuk memahami prognosis
fraktur fisis. Lapisan germinal tulang rawan berada diatas epiphisis dan
menguraikan nutrisi dari bejana epiphyseal. Sel tulang rawan tumbuh dari epiphysis
menuju metaphysis, yang kemudian terjadi degeneratif, fragmentasi dan mengalami
hipertrofi. Fragmentasi sel kemudian termineralisasi. Ini merupakan zona
pengerasan sementara yang membentuk pembatas metaphyseal, dan bukan tulang
rawan.
Neovaskularisasi terjadi dari metaphysic menuju epiphysis. Sel endothelial
berubah menjadi osteoablast dan menggunakan puing-puing sel yang mengalami
degeneratif untuk membentuk tulang muda primer. Tulang muda ini secara
progresif dibentuk kembali menjadi tulang dewasa dan pembentukan ini kemudian
menjadi tulang harversian dewasa. Kerusakan baik pada saluran vascular
epiphyseal maupun metaphyseal menggangu pertumbuhan tulang, akan tetapi
kerusakan lapisan tulang rawan munkin tidak signifikan jika permukaannya tidak

10
terganggu dan saluran vascular ke tulang rawan tidak terganggu secara permanent.
Jika kedua dasar vascular saling bersentuhan, fisis tersebut tertutup dan tidak ada
lagi pertumbuhan tulang berikutnya yang terjadi.
Daerah piringan epiphyseal merupakan bagian tulang rawan yang
mengeras, dan jika terjadi fraktur yang melibatkan piringan epiphyseal, biasanya
garis pemisah berjalan melintang melalui lapisan hipertrofik atau lapisan kapur
pada lempeng pertumbuhan, dan sering masuk kedalam metafisis pada salah satu
tepi dan mencakup bibir segitiga dari tulang. Ini tidak memberikan banyak efek
terhadap pertumbuhan longitudinal yang terjadi dalam lapisan germinal fisis dan
lapisan fisis yang sedang berkembang biak.
Tetapi kalau fraktur melintasi lapisan sel reproduksi pada lempeng dapat
mengakibatkan penulangan premature pada bagian yang mengalami cidera dan
menyebabkan gangguan pertumbuhan tulang. Selain itu suplai darah piringan
epiphyseal yang masuk dari permukaan epiphyseal dapat kehilangan pasokan
darahnya sehingga dapat mengakibatkan piringan tersebut menjadi nekrotis dan
tidak tumbuh lagi. Pada beberapa tempat suplai darah pada epiphyseal tidak rusak
pada saat terjadi luka karena pada epiphyseal femoral proximal dan epiphyseal
radial proximal pembuluh darah mengalir melalui leher tulang dan memotong
sekeliling epiphyseal.

2.3.3. Klasifikasi
Klasifikasi fraktur piringan epiphyseal Salter Haris berdasarkan pada
mekanisme fraktur dan juga hubungan garis patahan terhadap sel tumbuh piringan
epiphyseal, selain itu, ini berkaitan dengan metode perawatan dan juga prognosis
luka yang berhubungan dengan gangguan pertumbuhan.

11
Gambar 2.2. Klasifikasi Salter-Harris

1. Tipe I
Terdapat pemisahan total epiphysis sepanjang tulang tanpa patah tulang, sel
piringan epiphyseal yang tumbuh masih melekat pada epiphysis. Jenis luka ini
akibat gaya gunting, lebih umum terjadi pada bayi yang baru lahir ( dari luka
kelahiran ) dan pada anak-anak yang masih muda dimana piringan epiphyseal
masih relative tebal.
2. Tipe II
Garis pemisah patah tulang memanjang sepanjang piringan epiphyseal
hingga jarak tertentu dan kemudian keluar melalui bagian metaphysis sehingga
mengakibatkan fragmentasi metaphyseal berbentuk triangular. Sel tumbuh pada
piringan tersebut masih melekat pada epiphysis. Jenis fraktur ini, akibat dari gaya
gunting dan tekuk, basanya terjadi pada anak-anak yang lebih besar dimana
piringan epiphyseal relatif tipis. Periosteum tersobek pada sisi cembung angulasi
tersebut tetapi melekat pada sisi cekung sehingga engsel periosteal utuh dan selalu
berada pada sisi potongan mataphyseal.

12
3. Tipe III
Patah tulang tersebut adalah intra-articular, mamanjang dari permukaan
sambungan hingga bagian dalam piringan epiphyseal dan kemudian sepanjang
piringan tersebut hingga sekelilingnya. Jenis fraktur yang tidak umum ini
disebabkan oleh gaya gunting intra artikular dan biasanya terbatas pada epiphysis
tibia distal.
4. Tipe IV
Patah tulang yang intra-articular, mamanjang dari permukaan sambungan
malalui epiphysis memotong ketebalan piringan epiphyseal dan melalui bagian
metaphysic. Contoh yang paling umum dari fraktur tipe IV ini adalah patah tulang
condyle lateral tulang lengan bagian atas.
5. Tipe V
Fraktur yang relatif kurang umum ini diakibatkan oleh gaya tekan yang
keras yang terjadi pada epiphysis menuju ke piringan epiphyseal. Tidak ada fraktur
yang kelihatan tetapi lempeng pertumbuhan remuk dan ini mungkin mengakibatkan
terhentinya pertumbuhan. Seperti juga yang terjadi pada daerah lutut dan
pergelangan kaki.

2.3.4. Manifestasi Klinis


Fraktur ini lebih sering ditemukan pada anak laki-laki daripada anak
perempuan dan biasanya ditemukan pada masa bayi atau diantara usia 10-12 tahun.
Defomitas biasanya sedikit sekali, tetapi setiap cedera pada anak yang diikuti
dengan rasa nyeri dan nyeri tekan di dekat sendi harus dicurigai, dan pemeriksaan
dengan sinar X penting dilakukan.
Sinar X fisis sendiri bersifat radiolusen dan penulangn epipisis mungkin
belum lengkap, ini membuat sulit mengatakan apakah ujung tulang telah rusak atau
mengalami deformasi. Lebih muda si anak lebih kecil bagian epifisis yang kelihatan
sehingga lebih sukar menegakkan diagnosis maka perbandingan dengan sisi yang
normal dapat sangat membantu. Tanda-tanda yang memberi petunjuk adalah
pelebaran dari celah fisis , ketidaksesuaian sendi atau miringnya poros epiphysis.
Kalau terdapat pergeseran yang nyata diagnosinya jelas, tapi fraktur tipe IV

13
sekalipun mula-mula dapat sedikit pergeserannya sehingga garis fraktur sulit dilihat
dan kalau terdapat kecurigaan yang sedikitpun mengenai adanya fraktur fisis,
pemeriksaan ulang sinar X setelah 4 atau 5 hari perlu dilakukan.

2.3.5. Tatalaksana
Fraktur yang tidak bergeser dapat diterapi dengan membebat bagian itu
dalam gips atau suatu slab gips yang ketat selama 2-4 minggu (tergantung tempat
cedera dan anak umur itu). Tetapi pada fraktur tipe 3 dan tipe 4 yang tak bergeser,
pemeriksaan sinar X setelah 4 hari dan sekali lagi sekitar 10 hari kemudian wajib
dilakukan agar pergeseran yang terjadi belakangan tidak terlewatkan.
Pada tipe I reduksi tertutup tidak sulit karena perlekatan periosteal utuh
disekitar lingkarannya dan kemudian dibebat dengan erat selama 5-6 minggu.
Prognosis untuk masa yang akan datang sangat dipengaruhi oleh suplai darah pada
epiphysis, dimana biasanya pada tempat selain epiphysis femoral femoral proximal
dan epiphysis radial proximal.
Pada tipe II reduksi tertutup relatif mudah didapatkan begitu juga dengan
perawatannya karena engsel periosteal utuh dan potongan metaphysis terlindung
selama reduksi. Prognosis selama perkembangan yang sempurna dengan suplai
darah pada epiphisis adalah baik, yang hampir selalu berada pada tempat dimana
fraktur tipe II terjadi.
Penanganan pada tipe III membutuhkan reduksi anatomis yang sempurna.
Dapat dilakukan usaha untuk mencapai hasil ini dengan manipulasi secara pelan-
pelan dibawah anestesi umum, kalau ini berhasil tungkai ditahan dengan gips
selama 4-8 minggu. Kalau tidak dapat direduksi dengan tepat dengan manipulasi
tertutup, reduksi terbuka biasanya dibutuhkan segera untuk mengembalikan
permukaan sambungan normal yang sempurna. Tungkai kemudian dibebat selama
4-6 minggu, tetapi diperlukan waktu selama itu lagi sebelum anak siap untuk
melanjutkan aktivitas tanpa batasan. Prognosis untuk pertumbuhan adalah suplai
darah yang baik yang diberikan pada bagian epiphysis yang terpisah.
Penanganan tipe IV yaitu reduksi terbuka dan fiksasi internal dengan kawat
Kirschner diperlukan dimana tidak hanya untuk mengembalikan permukaan

14
sambungan normal tetapi juga untuk mendapatkan pengembalian posisi piringan
epiphyseal, kecuali jika permukaan patah piringan epiphyseal dibiarkan tereduksi
maka penyembuhan patahan tulang terjadi sepanjang piringan tersebut dan
selanjutnya memberikan pertumbuhan longitudinal yang tidak mungkin. Prognosis
untuk pertumbuhan pada tipe IV ini jelek kecuali jika reduksi sempurna dicapai dan
terjaga.
Karena epiphysis tersebut biasanya tidak tergeser, diagnosis fraktur tipe V
sulit untuk dilakukan. Beban ringan harus diabaikan paling tidak tiga minggu
dengan harapan untuk menjaga tekanan selanjutnya pada epiphyseal. Prognosis
fraktur tipe V kurang diperhatikan karena gangguan pertumbuhan hampir tidak
terlihat.
Dari penanganan diatas dapat dikatakan bahwa luka yang melibatkan
piringan epiphyseal harus dirawat dengan hati-hati dan secepatnya. Fraktur tipe I
dan II hampir dapat selalu dirawat dengan reduksi tertutup. Fraktur tipe III biasanya
membutuhkan reduksi terbuka dan tipe IV selalu membutuhkan reduksi terbuka dan
fiksasi internal. Periode immobilisasi yang dibutuhkan pada fraktur tipe I, II, dan
III hanya setengah dari yang dibutuhkan untuk patah tulang mataphysis pada tulang
yang sama pada anak dengan usia yang sama. Selanjutnya perlu diteliti secara klinis
dan radiologi dengan cemat dalam interval yang teratur paling tidak satu tahun dan
kadang lebih untuk mendeteksi adanya gangguan pertumbuhan.

2.3.6. Prognosis
Faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam memperkirakan prognosis
fraktur piringan epiphyseal pada anak antara lain:
1. Tipe fraktur.
Prognosis untuk masing-masing dari kelima tipe klasifikasi fraktur piringan
epiphyseal telah dibahas diatas.
2. Usia anak.
Anak dengan usia yang lebih muda pada saat mengalami fraktur akan
mempunyai gannguan pertumbuhan yang lebih besar.
3. Suplai darah pada epiphysis

15
Gangguan suplai darah pada epiphysis berhubungan dengan prognosis
jelek.
4. Metode Reduksi
Manipulasi yang sangat besar pada epiphysis yang tergeser dapat
merusakan piringan epiphyseal tersebut dan oleh karenanya dapat
meningkatkan gangguan pertumbuhan.
5. Luka terbuka atau tertutup
Fraktur piringan epiphyseal terbuka dapat mengakibatkan infeksi yang pada
akhirnya akan merusak piringan tersebut dan mengakibatkan berhentinya
proses pertumbuhan sebelum waktunya.

16
BAB III
KESIMPULAN

1. Salter Haris merupakan jenis patah tulang yang sering terjadi pada anak-anak
yaitu patah tulang yang melibatkan cedera piringan epiphyseal.
2. Fraktur piringan epiphyseal Salter Haris berdasarkan pada mekanisme fraktur
dan juga hubungan garis patahan terhadap sel tumbuh piringan epiphyseal
diklasifikasikan dalam 5 type.
3. Penanganan tipe I dan II dengan reduksi tertutup, tipe III dengan reduksi terbuka
dan tipe IV dengan reduksi terbuka dan fiksasi internal.
4. Tipe V diagnosanya sulit ditegakkan karena epiphisis biasanya tidak bergeser.
Penanganannya dengan mengurangi tekanan paling tidak selama tiga minggu.
5. Prognosis fraktur piringan epiphyseal pada anak tergantung pada tipe fraktur,
usia, suplai darah pada epiphysis, metode reduksi, dan luka terbuka atau tertutup.

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Apley G., Solomon L., 1993, apley’s System of Orthopedies and


Fractures, 7th edition: 432 – 438, Butterworth-Heinemann Ltd., Oxford.
2. De Jong W., Sjamsuhidajat R., 1997, Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi Revisi : 1140,
Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
3. Moore W., 2003, http//www. eMedicine - Salter-Harris Fractures Article,.htm
4. National Institutes of Health, 2001, http//www. Epiphyseal Plate Injury
– Questions and Answers About Growth Plate Injuries. htm
5. Nugroho E., 1995, Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur Sistem Apley, ED. 7, hal 281-
282, Widya Medika, Indonesia.
6. Terrell WD., 2001, What is a fracture?Fracture Description and
Classification, Hughston Sport Medicine foundation, Auburn, Alabama

18

Anda mungkin juga menyukai