Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Akhir-akhir ini pembahasan terhadap agribisnis (agribusiness) telah berkembang
sedemikian rupa sehingga menarik perhatian banyak orang, baik dari kalangan mereka yang biasa
mempelajari bidang pertanian maupun yang bukan. Keadaan seperti ini dapat dimengerti karena
kondisi perekonomian indonesia mulai bergeser dari yang semula di dominasi oleh peranan sektor
primer khususnya pertanian. Kini peranan itu digantikan oleh sektor lain.1
Agribisnis merupakan suatu sistem yang terdiri dari sub sistem, dari mulai pengadaan
sarana produksi sampai pemasaran hasil olahan. Jenis usaha dalam bidang agribisnis juga sangat
beragam dan ukurannya juga bervariatif. Dari kondisi ini mengakibatkan banyak lembaga yang
terlibat untuk menagani. Dukungan kelembagaan agribisnis ini sangat dibutuhkan dan kemajuan
agribisnis sangat dipengaruhi oleh peran serta lembaga pendukung.
Pengembangan layanan agribisnis merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
pengembangan agribisnis secara keseluruhan. Rasionalisasi lembaga-lembaga penunjang kegiatan
agribisnis harus dilakukan sehubung dengan peningkatan efisiensi dan daya saing lembaga-
lembaga tersebut, baik dalam negeri maupun dalam pasar internasional, serta dengan
mengembangkan kepercayaan dunia usaha terhadap kemampuan dan kehandalan lembaga-
lembaga pemberi jasa tersebut dalam memberikan tunjangan terhadap kegiatan yang dilakukan.
Secara khusus lembaga penunjang yang perlu mendapat perhatian khusus adalah lembaga
pemasaran, lembaga keuangan (financial institution), khususnya dipedesaan, dan lembaga
penelitian dan pendidikan khusunya penyuluhan (Rochaeni, 2014).2
Jika dikaitkan dengan sistem agribisnis, kelembagaan termasuk subsistem jasa penunjang
dimana lembaga tersebut harus mampu berperan dalam menunjang terhadap kegiatan dalam
subsistem pengadaan sarana produksi, usahatani, pengolahan hasil pertanian dan pemasaran.
Petani sebagai pelaku utama adalah subjek dalam pembangunan agribisnis tersebut yang
merupakan konsumen dari jasa yang diberikan oleh lembaga penunjang agribisnis tersebut.
Agribisnis akan berjalan dengan baik jika tidak terjadi kesenjangan antara lembaga penunjang
dengan kegiatan usahanya.

1
Mubyarto. 1989. Pengantar Ekonomi Pertanian Edisi III. Jakarta: LP3ES. Hal.1.
2
Rochaeni, Siti. 2014. Pembangunan Pertanian Indonesia Edisi 2. Yogyakarta: Graha Ilmu. Hal. 127

1
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana peran kelembagaan Agribisnis terhadap produksi dan pendapatan petani?
2. Bagaimana tingkat kinerja kelembagaan Agribisnis terhadap produksi dan pendapatan
petani?
3. Bagaimana peran kelembagaan Agribisnis di Indonesia?
1.3 Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui peran kelembagaan Agribisnis terhadap produksi dan pendapatan
petani
2. Untuk mengetahui tingkat kinerja kelembagaan Agribisnis terhadap produksi dan
pendapatan petani
3. Untuk mengetahui peran kelembagaan Agribisnis di Indonesia

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Kelembagaan Agribisnis


Kelembagaan memiliki pengertian yang sangat luas. Kelembagaan dapat diartikan
sebagai aturan main yang dianut oleh sekelompok masyarakat dalam melakukan transaksi dengan
pihak lainnya (Hayami dan Ruttan, 1984; Binswanger dan Ruttan, 1978). Contoh kelembagaan
yang termasuk dalam pengertian tersebut adalah sistem pembayaran upah tenaga kerja dengan
cara borongan, bawon, kedokan, atau sambatan pada transaksi pasar tenaga kerja pertanian.
Kelembagaan juga dapat diartikan sebagai institusi, organisasi, atau jaringan organisasi yang
dibentuk dengan tujuan tertentu (Pakpahan, 1989; Fowler, 1992; Uphoff, 1992). Dalam konteks
agribisnis, makna kelembagaan yang termasuk kategori ini misalnya lembaga penyuluhan dan
organisasi kelompok tani yang pembentukannya ditujukan untuk mempercepat proses alih
teknologi pertanian kepada petani.
Agribisnis juga memiliki makna yang sangat luas. Agribisnis dapat didefinisikan sebagai
serangkaian kegiatan usaha yang menghasilkan produk pertanian hingga dikonsumsi oleh
konsumen (Beierlein, 1986; Downey dan Ericson, 1992; Cramer dan Jensen, 1994). Berdasarkan
definisi tersebut maka agribisnis dapat mencakup seluruh kegiatan yang berkaitan dengan
kegiatan produksi, pengolahan, pemasaran, dan konsumsi produk pertanian yang dihasilkan
petani. Di samping itu, agribisnis juga dapat mencakup kegiatan-kegiatan yang terkait dengan
pengadaan sarana produksi pertanian yang dibutuhkan petani, transfer teknologi usaha tani
kepada petani, dan penyediaan modal usaha tani bagi petani. Kegiatan usaha Kelembagaan
memiliki pengertian yang sangat luas. Kelembagaan agribisnis adalah sekelompok
masyarakatyang terkait dengan agribisnis atau bisnis pertanian yang didalam kelompok tersebut
terdapat nilai-nilai dan norma yang mengaturnya.
Kegiatan usaha pertanian yang dilakukan oleh petani tidak terlepas dari peranan
kelembagaan agribisnis yang terdapat di daerah perdesaan. Kelembagaan agribisnis di perdesaan
dapat meliputi kelembagaan sarana produksi pertanian, kelembagaan buruh tani, kelembagaan
peralatan dan mesin pertanian, kelembagaan pemasaran hasil pertanian, kelembagaan
permodalan, kelembagaan kelompok tani dan penyuluhan. Seluruh lembaga agribisnis tersebut
akan memengaruhi kegiatan usaha pertanian yang dilakukan petani melalui mekanisme yang
berbeda. Kelembagaan sarana produksi akan memengaruhi keputusan petani untuk melakukan

3
usaha komoditas pertanian tertentu melalui pengaruhnya terhadap kemudahan petani untuk
mendapatkan sarana produksi yang dibutuhkan. Keberadaan lembaga permodalan akan
memengaruhi petani untuk mengusahakan komoditas pertanian tertentu melalui pengaruhnya
terhadap kemudahan petani untuk mendapatkan pinjaman modal usaha tani. Sementara,
kelembagaan penyuluhan dan kelompok tani akan memengaruhi proses adopsi teknologi usaha
tani yang dilakukan petani.
2.2 Kelembagaan Kelompok Tani dan Penyuluhan
Kelembagaan agribisnis dapat berupa kelompok tani. Kelompok tani ini yang kemudian
menjalin kemitraan dengan pihak luar sebagai badan organisasi perkumpulan petani. Menurut
keputusan Menteri Pertanian Nomor 940 tahun 1997, kemitraan usaha pertanian merupakan suatu
bentuk kerjasama usaha diantara perusahaan dan kelompok mitra dibidang usaha pertanian.
Keberadaan kelembagaan agribisnis dalam bentuk kelompok tani memberikan peran
yang sangat berarti bagi petani. Kelompok tani ini menjadi organisasi kerjasama petani untuk
berhubungan dengan pihak luar misalnya perusahaan mitra untuk meningkatkan pendapatan
selain itu, kelompok tani ini menjadi tempat untuk mengadopsi penerapan teknologi ditingkat
petani.
Selain kelompok tani dalam kelembagaan agribisnis terdapat juga penyuluhan pertanian.
Tugas penyuluhan pertanian terutama menyangkut usaha membantu petani agar senantiasa
meningkatkan efisiensi usahatani. Sedangkan bagi petani, penyuluhan itu adalah suatau
kesempatan pendidikan diluar sekolah, dimana mereka dapat belajar sambil berbuat (learning by
doing). Para petani yang hidup dalam lingkungan sempit perlu selalu disadarkan akan adanya
berbagai praktek dan kesempatan baru yang dapat dimanfaatkan.
Praktek-praktek dan penemuan-penemuan baru dalam teknologi ini kadang-kadang
terdapat tidak jauh dari tempat tinggal petani walaupun sering juga berasal dari daerah-daerah
yang jauh atau bahkan dari luar negeri. Fungsi untuk memperkenalkan hal-hal baru ini pada para
petani setempat inilah yang merupakan masalah pokok dari penyuluhan pertanian. Tugas
penyuluhan pertanian yang murni nampak jelas bila ada suatu kebun percobaan pertanian di
tempat petani dimana berbagai penemuan dan praktek-praktek pertanian dicoba. Para penyuluh
harus selalu berusaha mendorong terus menerus para petani dengan berbagai cara.3
Dalam proses penyuluhan, penyuluh merupakan jembatan antara lembaga-lembaga
penemu hal-hal baru (Balai-balai Penelitian, petani maju dan lain-lain) dengan petani.4

3
Mubyarto. 1989. Pengantar Ekonomi Pertanian Edisi III. Jakarta: LP3ES. Hal, 56.
4
Meneth Ginting et al., Penyuluhan Petani, Departemen Sosial Ekonomi, (Medan: Fakultas Pertanian USU, 1970),
Hal. 6.

4
2.3 Kelembagaan Permodalan
Untuk melaksanakan kegiatan usaha taninya petani membutuhkan berbagai jenis input
usaha tani seperti tenaga kerja, benih, pupuk, insektisida, pestisida, dan herbisida. Sebagian dari
kebutuhan input usaha tani tersebut dalam batas tertentu dapat disediakan oleh petani sendiri
sehingga petani tidak harus mengeluarkan biaya untuk dapat memenuhi kebutuhan jenis input
usaha tani tersebut. Misalnya, kebutuhan benih pada petani tertentu sering kali dipenuhi dari hasil
produksi petani sendiri sehingga petani tidak selalu harus menyediakan modal untuk pembelian
benih. Begitu pula untuk kegiatan pemupukan dan penyemprotan petani, biasanya tidak
membutuhkan tenaga kerja upahan yang harus dibayar karena kedua kegiatan tersebut dapat
dilakukan oleh petani sendiri dan anggota keluarganya. Kebutuhan biaya tunai untuk pembayaran
ongkos tenaga kerja pada kedua jenis kegiatan tersebut biasanya hanya dilakukan apabila lahan
garapan petani relatif luas, sedangkan tenaga kerja keluarga yang tersedia relatif sedikit
Beberapa kegiatan usaha tani yang biasanya tidak bisa dilakukan oleh petani sendiri dan
harus menggunakan tenaga upahan adalah kegiatan pengolahan lahan, penanaman, dan panen.
Petani umumnya harus mengeluarkan biaya pengolahan lahan karena kegiatan tersebut
membutuhkan tenaga kerja cukup banyak sehingga biasanya dilakukan dengan tenaga traktor atau
tenaga hewan yang tidak dimiliki oleh sebagian besar petani. Sementara, kegiatan penanaman
umumnya tidak dapat dilakukan oleh petani sendiri dan harus membayar tenaga upahan karena
kegiatan tersebut harus dilakukan secara cepat untuk mengejar waktu tanam sesuai dengan jadwal
pasokan air ke lahan petani. Hal yang sama juga terjadi pada kegiatan panen di mana petani
umumnya harus menggunakan tenaga upahan akibat keterbatasan tenaga kerja keluarga yang
tersedia, sedangkan kegiatan panen harus dilakukan secara serentak. Di samping untuk
membiayai kebutuhan tenaga kerja seperti tersebut di atas petani juga harus menyediakan dana
untuk pembelian input usaha tani
2.4 Kelembagaan Pemasaran Hasil Panen
Dengan luas penguasaan lahan garapan yang terbatas peningkatan produktivitas usaha
tani merupakan upaya penting bagi peningkatan pendapatan petani. Pengalaman selama ini
membuktikan hal tersebut di mana peningkatan pendapatan petani padi berlangsung secara
paralel dengan peningkatan produktivitas usaha tani padi yang dirangsang oleh inovasi teknologi
usaha tani padi. Namun, akhir-akhir ini upaya peningkatan produktivitas padi dan komoditas
pertanian lainnya semakin sulit diwujudkan akibat langkanya terobosan teknologi usaha tani yang
dapat meningkatkan produktivitas komoditas pertanian secara signifikan. Pada situasi demikian

5
maka salah satu upaya yang dapat ditempuh untuk meningkatkan pendapatan petani padi adalah
dengan mendorong petani untuk melakukan cara penjualan hasil panen petani yang dapat
memberikan harga jual yang lebih menguntungkan.
Secara umum, terdapat dua cara penjualan hasil panen petani, yaitu (1) secara tebasan,
ijon atau borongan; dan (2) per satuan unit produk yang dihasilkan. Penjualan hasil panen secara
tebasan cenderung merugikan petani karena harga jual yang diperoleh petani biasanya lebih
murah dibanding harga pasar yang berlaku akibat perilaku pedagang yang berusaha
memaksimumkan keuntungannya. Dengan cara penjualan tebasan tersebut petani juga kehilangan
peluang untuk mendapatkan nilai tambah yang dapat diperoleh melalui penanganan pascapanen
sesuai dengan kebutuhan konsumen. Akan tetapi, cukup banyak petani yang menjual hasil
panennya secara tebasan atau ijon dan cara penjualan tersebut semakin banyak dilakukan oleh
petani.

2.5 Peran Kelembagaan Agribisnis dalam Peningkatan Produksi Pertanian


Kelembagaan sarana produksi pertanian dapat meliputi para pedagang benih/bibit,
pedagang pupuk, pedagang pestisida/herbisida, dan pedagang input usaha tani lainnya. Dalam
rangka peningkatan produksi pertanian, pengembangan kelembagaan sarana produksi pertanian
memiliki peranan penting karena akan memengaruhi kemudahan petani untuk mendapatkan
sarana produksi yang dibutuhkan. Oleh karena itu, pengembangan kelembagaan sarana produksi
pada umumnya ditujukan untuk meningkatkan aksesibilitas petani terhadap sarana produksi yang
dibutuhkan, baik secara fisik maupun secara finansial agar petani mampu mengadakan input
usaha tani sesuai dengan kebutuhannya.
Pengalaman pada masa Revolusi Hijau telah membuktikan pentingnya pengembangan
kelembagaan input usaha tani untuk mendorong peningkatan produksi padi. Dengan dibangunnya
industri pupuk dan pengaturan tata niaga pupuk maka pupuk semakin tersedia di tingkat petani
dan petani semakin mudah memperoleh pupuk yang dibutuhkan. Dengan kata lain, aksesibilitas
petani terhadap pupuk secara fisik semakin baik. Begitu pula dengan diberlakukannya subsidi
harga pupuk maka petani secara finansial semakin mampu menyediakan pupuk yang dibutuhkan
karena harga pupuk yang harus dibayar petani menjadi lebih murah dibanding harga pasar.
Faktor produksi memang sangat menentukan besar kecilnya produksi yang diperoleh.
Namun demikian seringkali pula ditemui adanya kendala dalam proses peningkatan produksi

6
pertanian. Menurut Gomez (dalam Soekartawi, 1980), maka beberapa kendala yang sering
mempengaruhi produksi pertanian di klasifikasi menjadi:5
a. Kendala yang mempengaruhi yield gap I yang terdiri dari variabel diluar kemampuan
manusia, sehingga ia sulit melakukan transfer teknologi yang disebabkan karena
perbedaan agroklimat dan teknologi yang sulit diadopsi
b. Kendala yang mempengaruhi yield gap II yang terdiri dari variabel teknis-biologis
(bibit, pupuk, obat-obatan, lahan, dll) dan variabel sosial-ekonomi (harga, risiko,
ketidakapastian, kredit, adat, dan lain-lainnya.

Kegiatan usaha pertanian yang dilakukan oleh petani tidak terlepas dari peranan
kelembagaan agribisnis yang terdapat di daerah perdesaan. Kelembagaan agribisnis di perdesaan
dapat meliputi kelembagaan sarana produksi pertanian, kelembagaan buruh tani, kelembagaan
peralatan dan mesin pertanian, kelembagaan pemasaran hasil pertanian, kelembagaan
permodalan, kelembagaan kelompok tani dan penyuluhan. Seluruh lembaga agribisnis tersebut
akan memengaruhi kegiatan usaha pertanian yang dilakukan petani melalui mekanisme yang
berbeda. Kelembagaan sarana produksi akan memengaruhi keputusan petani untuk melakukan
usaha komoditas pertanian tertentu melalui pengaruhnya terhadap kemudahan petani untuk
mendapatkan sarana produksi yang dibutuhkan. Sementara, kelembagaan penyuluhan dan
kelompok tani akan memengaruhi proses adopsi teknologi usaha tani yang dilakukan petani.

2.6 Peran Kelembagaan Agribisnis dalam Peningkatan Pendapatan Petani


Barangkali kita pernah menjumpai adanya kasus petani yang membongkar saawahnya
dari yang semula ditanami padi diagnti dengan tanaman jeruk, atau mendengar berita petani yang
membongkar tanaman cengkehnya karena dianggap terlalu lama menghasilkan keuntungan, atau
menjumpai petani yang meninggalkan pekerjaan utama bertani kemudain pergi ke kota besar
untuk mengadu nasib agar memperoleh pendapatan yang lebih besar.
Sering dikatakan bahwa keterbatasan teknologi modern dan rendahnya tingkat
pendidikan petani merupakan dua sumber penting kemiskinan disektor pertanian di Indonesia.
Keterbatasan akan dua faktor produksi, yang sifatnya komplementer satu sama lainnya
mengakibatkan rendahnya tingkat produkitivitas yang pada akhirnya juga membuat rendahnya
tingkat pendapatan riil petani.
Keterbatasan teknologi modern dan rendahnya pendidikan petani juga membuat pola
produksi pertanian yang diterapkan sangat sederhana yang tidak menghasilkan produksi yang
optimal. Selain itu, pendidikan seorang petani yang rendah atau pengetahuannya yang rendah

5
Soekartawi. 2004. Agribisnis: Teori dan Aplikasinya. Jakarta: Rajawali Pers. Hlm. 46.

7
mengenai potensi dan perubahan pasar juga mempengaruhi pemilihan komoditi usaha utamanya
(diversifikasi produksi).
Sumber penyebab lainnya yang membuat rendahnya pendapatan petani di Indonesia
adalah peluang pasar yang tidak semua petani mampu memanfaatkannya, maka posisi produsen
atau petani adalah yang paling lemah. Didalam pemasaran komoditi pertanian, seringkali di
jumpai adanya rantai pemasaran yang panjang (bahkan dapat dikatakan terlalu panjang).
Akibatnya adalah terlalu besarnya keuntungan pemasaran (Imarketing margin) yang diambil oleh
para pelaku pemasaran tersebut. Beberapa sebab mengapa terjadi rantai pemasaran hasil pertanian
yang panjang dan produsen (petani) sering dirugikan adalah, antara lain sebagai berikut:
a) Pasar yang tidak bekerja secara sempurna
b) Lemahnya informasi pasar
c) Lemahnya produsen (petani) memanfaatkan peluang pasar
d) Lemahnya posisi produsen (petani) untuk melakukan penawaran untuk mendapatkan
harga yang baik
e) Produsen (petani) melakukan usahtani tidak didasarkan pada permintaan pasar,
melainkan karena usahatani yang diusahakan secara turun menurun.

Untuk itu, peran kelembagaan agribisnis dalam peningkatan pendapatan petani antara
lain:

a) Menyediakan Modal, Untuk melaksanakan kegiatan usaha taninya petani membutuhkan


berbagai jenis input usaha tani seperti tenaga kerja, benih, pupuk, insektisida, pestisida,
dan herbisida. Sebagian dari kebutuhan input usaha tani tersebut dalam batas tertentu
dapat disediakan oleh petani sendiri sehingga petani tidak harus mengeluarkan biaya
untuk dapat memenuhi kebutuhan jenis input usaha tani tersebut. Misalnya, kebutuhan
benih pada petani 6tertentu sering kali dipenuhi dari hasil produksi petani sendiri
sehingga petani tidak selalu harus menyediakan modal untuk pembelian benih. Secara
umum, modal usaha tani diperoleh petani dengan cara menyisihkan sebagian pendapatan
dari hasil panen usaha taninya. Beberapa petani yang lahannya luas, dan punya usaha
sampingan, melakukan peminjaman modal ke bank. Umumnya para petani harus
sedikitnya menyisihkan sekitar sepertiga bagian dari hasil perolehan dari penjualan hasil
panen untuk dijadikan modal agar dapat melakukan kegiatan usaha tani musim tanam
berikutnya. Modal usaha bisa berasal dari uang pribadi, uang kolektif dari beberapa

6
Rochaeni, Siti. 2014. Pembangunan Pertanian Indonesia Edisi 2. Yogyakarta: Graha Ilmu. Hlm. 26.

8
pribadi atau kelompok, uang lembaga, pinjaman komersial dari bank, penyertaan modal
dari lembaga ventura atau bank syari’ah, penjualan saham bagi perusahaan yang sudah go
public, pinjaman lunak (loan), pinjaman sangat lunak (soft loan), dan hibah (grant)
(Rahardi, 2003).
b) Meningkatkan daya saing harga melalui pencapaian skala usaha yang lebih
optimal, selain sebagai penyedia modal bagi petani, kelembagaan agribisnis juga
berperan dalam membantu meningkatkan daya saing harga dengan cara diversifikasi.
Diversifikasi atau penganekaragaman pertanian adalah usaha untuk mengganti atau
meningkatkan hasil pertanian yang monokultur (satu jenis tanaman) ke arah pertanian
yang bersifat multikultur (banyak macam). Diversifikasi yang demikian diversifikasi
horisontal. Selain itu dikenal pula diversifikasi vertikal yaitu usaha untuk memajukan
industri-industri pengolahn hasil-hasil pertanian. Bentuk diversifikasi produk diharapkan
mampu meningkatkan pendapatan petani karena harga jual produk diversifikasi jauh
lebih tinggi. Selain itu, dengan adanya diversifikasi produk mampu menyerap tenaga
kerja dan menambah lowongan bagi petani yang sedang tidak bekerja.
c) Membantu penjualan hasil panen, salah satu upaya yang dapat ditempuh untuk
meningkatkan pendapatan petani adalah dengan mendorong petani untuk melakukan cara
penjualan hasil panen petani yang dapat memberikan harga jual yang lebih
menguntungkan. Nilai tambah hasil pertanian sesungguhnya berada pada kegiatan hilir
yaitu, di industri pengolahan dan pemasarannya. Industri pengolahan skala besar banyak
yang undercapacity bahkan idle. Hal ini disebabkan oleh kekurangan bahan baku, dan
adanya komoditas pertanian yang diekspor dalam bentuk bahan mentah, dan berdampak
pada industri dalam negeri yang tidak kebagia bahan baku. Juga industri pengolahan
skala kecil yang diyakini dapat membantu petani, belum berkembang secara signifikan
(Rianse, 2009).7

7
Rianse, Usman. 2009. Membangun Agribisnis Terpadu dan Berkelanjutan. Kendari: Unhalu Press.

9
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Agribisnis merupakan suatu sistem yang terdiri dari sub sistem, dari mulai pengadaan
sarana produksi sampai pemasaran hasil olahan. Jenis usaha dalam bidang agribisnis juga sangat
beragam dan ukurannya juga bervariatif. Dari kondisi ini mengakibatkan banyak lembaga yang
terlibat untuk menagani. Dukungan kelembagaan agribisnis ini sangat dibutuhkan dan kemajuan
agribisnis sangat dipengaruhi oleh peran serta lembaga pendukung.
Kelembagaan Agribisnis telah menjalankan kinerjanya dengan cukup baik dengan
memberikan bantuan berupa modal, penyuluhan, dll, dalam meningkatkan produksi dan
pendapatan petani.

3.2 Saran
Kelembagaan Agribisnis masih perlu dintingkatkan lagi karena meskipun telah
memberikan banyak bantuan kepada para petani, untuk meningkatkan kinerja dari fungsi
kelembagaan agribisnis agar mampu mengahadapi tantang yang akan datang seiring bergantinya
zaman. Perlu adanya peningkatan kelompok tani untuk penguatan kemandirian petani dengan
pemberian pelatihan penerapan inovasi teknologi.

10
DAFTAR PUSTAKA

Andi Nuhung, Iskandar. 2014. Strategi dan Kebijakan Pertanian dalam Perspektif Daya Saing. Jakarta:
PT. Rineka Cipta.

Mubyarto. 1989. Pengantar Ekonomi Pertanian Edisi III. Jakarta: LP3ES.

Rochaeni, Siti. 2014. Pembangunan Pertanian Indonesia Edisi 2. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Soekartawi. 2004. Agribisnis: Teori dan Aplikasinya. Jakarta: Rajawali Pers.

Rianse, Usman. 2009. Membangun Agribisnis Terpadu dan Berkelanjutan. Kendari: Unhalu Press.

11

Anda mungkin juga menyukai