Anda di halaman 1dari 13

REFERAT ORTOPEDI DAN TRAUMATOLOGI

MENISCUS TEAR

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat


Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik di Bagian Bedah
RSUD Panembahan Senopati Bantul

Diajukan Kepada :
dr. Leonardus Hartoko Budiriantoro, Sp OT(K)

Disusun Oleh :
Novada Indra Roesdiana 20204010104

ILMU BEDAH
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
RSUD PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL
2021
HALAMAN PENGESAHAN

REFERAT ORTOPDEDI DAN TRAUMATOLOGI

MENISCUS TEAR

Disusun oleh :
NOVADA INDRA ROESDIANA 20204010104

Telah disetujui dan dipresentasikan


pada tanggal 2021

Pembimbing

dr. Leonardus Hartoko Budiriantoro, Sp OT(K)


DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN.........................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.....................................................................................................2
A. Definisi.................................................................................................................................2
B. Patofisiologi..........................................................................................................................3
C. Manajemen dan tatalaksana..................................................................................................4
D. Komplikasi............................................................................................................................6
1) Fat emboli.........................................................................................................................6
REFERENSI....................................................................................................................................9
BAB I
PENDAHULUAN

Politrauma merupakan suatu istilah yang digunakan pada suatu trauma yang
mengenai banyak sistem organ. Merupakan suatu sindrom trauma multipel dengan Injury
Severity Score (ISS) > 17. Politrauma tidak hanya menimbulkan kerusakan pada sistem organ
yang terkena, namun juga menimbulkan reaksi inflamasi sistemik yang dapat menimbulkan
kegagalan multiorgan. Politrauma merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas
pada negara maju dan berkembang. Penyebab utama kematian pada penduduk di bawah usia
45 tahun, angka insiden politrauma semakin mengalami peningkatan (Pape, et al., 2014)

Politrauma sering merupakan hasil dari cedera energi tinggi. Salah satu komponen
utama dalam politrauma adalah fraktur. Cedera pada tulang dan jaringan lunak memberikan
kontribusi stres, nyeri dan perdarahan. Stress dan nyeri merupakan rangsangan yang poten
menyebabkan perubahan neuroendokrin, neuroimunologi dan metabolic. Stres pada
politrauma menyebabkan pengaktifan mekanisme mediator inflamasi dan hypothalamic-
pituitary axis (HPA). Perubahan neuroendokrin muncul akibat pelepasan contraregulatory
hormone seperti glukagon, growth hormone, cathecolamine, glucorticoid, baik secara
endogen maupun eksogen (Frink, et al., 2017)

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Politrauma yaitu trauma dengan skor Abbreviated Injury Scale (AIS) lebih dari atau
sama dengan tiga (3) pada dua (2) atau lebih regio tubuh serta adanya satu atau lebih
parameter fisiologis seperti: 1) Hipotensi (tekanan sistolik kurang dari atau sama dengan
90 mm Hg), 2) penurunan kesadaran (GCS kurang dari atau sama dengan delapan), 3)
asidosis (Base excess kurang dari atau sama dengan enam), 4) koagulopati (PTT lebih
dari atau sama dengan 40 atau INR lebih dari atau sama dengan 1.4), dan 5) umur tua
(lebih dari atau sama dengan 70 tahun).
Politrauma sering diselewengkan dengan multiple trauma/ multiple injury. Multiple
trauma/ injury adalah kondisi lebih dari atau sama dengan 2 luka dan ter dapat 1 atau
lebih kombinasi dari luka tersebut yang dapat membahayakan nyawa korban. (Pape, et
al., 2014)
Gambar 1. Skor Abbreviated Injury Scale (AIS)

2
B. Patofisiologi
Pada teori terdahulu, respon imun dibedakan menjadi early innate dengan delayed
adaptive immunity, tetapi sebenarnya kedua system berkontribusi dalam rekognisi,
aktivasi, diskriminasi, regulasi dan eradikasi dari sinyal damage/pathogen secara efektif.
(Lenz, et al. 2007)
Respon imun innate merupakan perlindungan tubuh lini pertama, berupa barrier yang
melindungi tubuh dari invasi eksogen. Barrier tersebut berupa keutuhan epitel mukosa
atau epitel kulit. Ketika barrier tersebut berupa keutuhan epitel mukosa atau epitel kulit.
Ketika barrier tersebut berhasil dijebol/dilewati, barulah sel innate immune (netrofil,
makrofag, natural killer, dan sel dendritic) akan merekognisi antigen dan
mengeradikasinya. Hasil dari eradikasi ini salah satunya adalah sitokin inflamasi dan anti
inflamasi.
Respon imun adaptif berupa aktivasi T helper oleh antigen yang dijelaskan di atas.
Aktivasi ini juga akan memproduksi sitokin inflamasi/anti-inflamasi.
Pada politrauma, terjadi suatu badai sitokin yang menyebabkan respon inflamasi yang
berlebih sehingga menyebabkan suatu sindrom yang disebut Systemic Inflammatory
Response Syndrome (SIRS). Tanda-tanda SIRS berupa peningkatan nadi hingga lebih
dari 90 kali per menit, leukositosis (lebih dari 12,000/mm3) atau leukopenia (kurang dari
4,000/mm3) atau lebih dari 10% peningkatan polimorfonuklear, pernapasan lebih dari 20
kali per menit atau tekanan parsial karbondioksida kurang dari 32 mm Hg, hipertermia
atau hipotermia. (Frink, et al., 2017)
Gambar 2. Grafik respons SIRS dan CARS

3
4
Ketika terjadi pajaran trauma hebat atau multitrauma pertama, tubuh akan melepaskan
sitokin inflamasi dan dapat memicu suatu respon SIRS. SIRS pada fase akut dapat
menyebabkan early organ failure dan dapat berujung kematian apabila tidak ditangani
dengan baik. Pada suatu respons normal, SIRS diikuti oleh Compensatory Inflammatory
Response Syndrome (CARS) yang bersifat mensupresi/menekan efek inflamasi dari
SIRS, menciptakan suatu respon yang homeostatis. Pada keadaan ketidakseimbangan
akibat pendarahan multiple trauma yang ada, terjadi proses lingkaran berulang berupa
hipotermia, koagulopati, dan asidosis yang saling memperparah satu sama lainnya.
Peristiwa ini disebut Lethal triad.
Gambar 3. Lethal triad

C. Manajemen dan tatalaksana


Pasien yang mengalami sindrom politrauma harus ditangani sesuai dengan Damage
Control Rescucitation (DCR) dan Damage Control Orthopaedics (DCO). DCR yaitu suatu
ketentuan khusus terhadap penanganan resusitasi untuk mencegah perburukan
homeostasis oleh Lethal triad. DCR berupa penyesuaian pemberian cairan resusitasi yang
disesuaikan berdasarkan respons (stabil, borderline, unstable, dan in-extremis) dan
transfusi berupa perbandingan rasio 1:1:1 dari PRC, FFP, dan TC. Penilaian respons
tersebut dapat dinilai dengan mudah menggunakan parameter saturasi oksigen (SpO 2 lebih
dari 95% dan stabil), serum laktat (<2 mmol/L), temperatur, dan output urin (<1
mL/kgBB/jam).

5
DCO yaitu sebuah pendekatan untuk menyeimbangkan dan menstabilkan kerusakan
ortopedik untuk memperbaiki kondisi fisiologis pasien serta mencegah perburukan oleh
second hit. Peristiwa second hit terjadi akibat badai sitokin lanjutan oleh trauma yang
disebabkan operasi ortopedi yang bersifat invasif dan hemoragik. Second hit akan
memperparah kondisi lethal triad.
Maka akibat pencegahan second hit, telah ditemukan suatu window period (hari ke 5-
10) dimana waktu tersebut adalah kesempatan untuk melakukan intervensi ortopedik
kuratif yang invasif. Sampai window period tersebut dicapai, penanganan politrauma
hanyalah sebatas DCO dan DCR, yaitu seperti stabilisasi fraktur sementara/eksternal dan
transfusi yang adekuat.
Gambar 5. Bagan penatalaksanaan politrauma

6
Gambar 6. Daftar status fisiologis, waktu, dan intervensi

D. Komplikasi
1) Fat emboli

Embolisi Lemak (FE) dapat diartikan sebagai adanya gumpalan lemak yang
terdapat pada sistem peredaran darah dengan atau tanpa gejala klinis. FE ini paling
sering ditemukan pada daerah yang terdapat banyak mirkovaskular, contohnya pada
paru-paru (pulmonary FE) dan otak (cerebral FE). Fat embolism syndrome (FES)
merupakan manifestasi klinis emboli lemak pada sirkulasi yang ditandai dengan tanda
dan gejala spesifik (Aggarwal, et al., 2019).

FE cukup umum terjadi, lebih dari 90% pada pasien patah tulang Panjang, tetapi
tidak semua kasus emboli lemak mengarah pada sindrom embolisi lemak. Kejadian
pada FES sangat beragam, mulai dari <1% dalam studi retrospectif dan 11%-29%
dalam studi prospektif dan biasanya terdiri dari tiga serangkai gejala neurologis, paru,
dan kulit. FES biasanya terjadi setelah trauma ortopaedi seperti patah pada tulang
panjang, pelvis atau fraktur multipel. Akan tetapi, dapat juga ditemukan dalam
kondisi non-traumatis seperti artoplasti pinggul atau lutut, luka bakar, pankreatitis,
liposuction dan transplantasi sumsum tulang.

7
Meskipun mekanisme yang tepat dalam FES tidak diketahui, komponen
mekanikal dan biokemikal dapat berkontribusi terhadap patologi dan fisikal
manifestasi dari FES. Teori mekanik menjelaskan bahwa kekuatan mekanis dari luar
seperti cedera traumatis atau operasi invasive menyebabkan FES dari sumsum tulang
atau jaringan adiposa memasuki sirkulasi vena. Sel-sel lemak ini mennjukkan sifat
inflamasi dan trombotik yang dapat menghasilkan agregasi platelet dan terbentuknya
fibrin saat beredar melalu vena. Kemudian dapat memasuki sistem pernafasan dan
menumpuk pada tepi kapiler pulmonal paru- paru, menyebabkan distress pernafasan
dari pendarahan intrerstitial dan pembengkakan, kolaps alveolar, dan vasokonstriksi
sekunder pada defisiensi oksigen. Gejala non-pulmonal, pateki, dan perubahan
neurologis seperti pusing, diduga timbul dari sel lemak yang masuk pada sistem
arterial melalui paten foramen ovale atau tepi kapiler pulmonal. Teori biokemikal
menduga bahwa hilangnya lemak dari sumsum tulang pada fraktur tulang panjang
melalui lipolisis, membentuk gliserol dan racun asam lemak bebas, menyebabkan
edema pulmonal dan pendarahan. Pelepasan dari asam lemak bebas (FFAs) dalam
sirkulasi juga merangsang pelepasan mediator inflamasi, seperti c-reaktif protein yang
menyebabkan agegrasi FFA dan gumpalan lemak. Ini menyebabkan distres sindrom
pernapasan akut (ARDS), disfungsi kontraktilitas jantung dan meningkatnya plasma
konsentrasi lipase dan juga dapat memicu disfungsi dan gagal multiorgan. Secara
khusus, di paru-paru, kerusakan karna FFAs langsung menyerang sel edotelial
pulmonal, menyebabkan pembengkakan alveolar dan kemungkinan pendarahan.
Lebih jauh lagi, kerusakan ini memicu aktifnya proinflamasi kaskade sitokin yang
mampu menyebabkan vaskulitis, pneumonitis, dan hipoksia, dan memungkinkan
terjadinya cidera paru akut (ALI), ARDS, dan gagal nafas (Fukomoto, et al., 2018.)

Karena diagnosis terkadang masih sulit ditentukan,Wilson mengusulkan kriteria


diagnostik untuk emboli lemak. Kriteria tersebut meliputi 3 kriteria mayor, 5 minor,
dan 2 laboratorium (ditunjukkan pada Tabel 1). Diagnosis sindrom emboli lemak
dapat diasumsikan dengan adanya 1 kriteria mayor, 4 kriteria minor, dan
makroglobulus lemak dalam urin. Tidak ada tes diagnostik tervalidasi standar untuk

8
FES. Berbagai penulis telah mencoba untuk menentukan kriteria diagnostik seperti
kriteria Gurd, Schonfeld dan Lindeque.

9
REFERENSI

Pape H.C., Lefering R., Butcher N., Peitzman A., Leenen L., Marzi I., Lichte P., Josten C.,
Bouillon B., Schmucker U., et al. The definition of polytrauma revisited: An
international consensus process and proposal of the new ‘Berlin definition’ J. Trauma
Acute Care Surg. 2014;77:780–786. doi: 10.1097/TA.0000000000000453

Frink, M., Lechler, P., Debus, F., & Ruchholtz, S. (2017). Multiple Trauma and Emergency
Room Management. Deutsches Arzteblatt international, 114(29-30), 497–503.
https://doi.org/10.3238/arztebl.2017.0497

Aggarwal R., Banerjee A, Soni K, dev Kumar A, Anjan T. Clinical characteristics and
management of patients with fat embolism syndrome in level I Apex Trauma Centre.
Chinese Journal of Traumatology. 2019;22:172e176.

Lenz, A., Franklin, G. A., & Cheadle, W. G. (2007). Systemic inflammation after trauma.
Injury, 38(12), 1336–1345. https://doi.org/10.1016/j.injury.2007.10.003

Fukumoto LE, Fukumoto KD. Fat Embolism Syndrome. Nursing Clinics of North America
2018;53(3):335–347.

Alqarni SAM, Aloraini LI, Al Habib MS, Alsulami AF, Alyssa AM, et al. Incidence of Fat
Embolism after Long Fracture Fixation Operations: Review Article. The Egyptian
Journal of Hospital Medicine. 2017;69(4):2361-2365.

10

Anda mungkin juga menyukai