Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.

LATAR BELAKANG
Trombosis adalah terjadinya bekuan darah di dalam sistem kardiovaskuler

termasuk arteri, vena, ruangan jantung dan mikrosirkulasi. Menurut Robert


Virchow, terjadinya trombosis adalah sebagai akibat kelainan dari pembuluh
darah, aliran darah dan komponen pembekuan darah (Virchow triat).
Trombus dapat terjadi pada arteri atau pada vena, trombus arteri di sebut
trombus putih karena komposisinya lebih banyak trombosit dan fibrin, sedangkan
trombus vena di sebut trombus merah karena terjadi pada aliran daerah yang
lambat yang menyebabkan sel darah merah terperangkap dalam jaringan fibrin
sehingga berwarna merah.
Trombosis vena dalam adalah satu penyakit yang tidak jarang ditemukan
dan dapat menimbulkan kematian jika tidak di kenali dan di obati secara efektif.
Kematian terjadi sebagai akibat lepasnya trombus vena, membentuk
emboli yang dapat menimbulkan kematian mendadak apabila sumbatan terjadi
pada arteri di dalam paru-paru (emboli paru).
Pada kasus-kasus yang mengalami trombosis vena perlu pengawasan dan
pengobatan yang tepat terhadap trombosisnya dan melaksanakan pencegahan
terhadap meluasnya trombosis dan terbentuknya emboli di daerah lain, yang dapat
menimbulkan kematian.
1.2.
1.
2.
3.
4.

TUJUAN
Untuk mengetahui anatomi fisiologi pembuluh darah vena.
Untuk mengetahui histologi dari pembuluh darah vena.
Untuk mengetahui pengertian trombosis dan patogenesisnya .
Untuk mengetahui pengertian trombosis vena dalam

serta

epideminologinya.
5. Untuk mengetahui etiologi dari trombosis vena dalam.
6. Untuk mengetahui patofisiologi dari trombosis vena dalam.

7. Untuk mengetahui manifestasi klinis dari trombosis vena dalam serta


faktor resikonya.
8. Untuk mengetahui Pemeriksaan yang dilakukan untuk menentukan
trombosis vena dalam.
9. Untuk mengetahui komplikasi dari trombosis vena dalam.
10. Untuk mengetahui tatalaksana dari trombosis vena dalam.
11. Untuk mengetahui Prognosis dari trombosis vena dalam.
1.3.
MAMFAAT
Mamfaat dari penulisan makalah ini adalah untuk menambah wawasan tentang
trombosis vena dalam.

BAB II
PEMBAHASAN
2

1. Anatomi fisiologi vena


Vena merupakan pembuluh darah yang dilewati sirkulasi darah kembali
menuju jantung sehingga disebut juga pembuluh darah balik. Dibandingkan
dengan arteri, dinding vena lebih tipis dan mudah melebar. Kurang lebih
70% volume darah berada dalam sirkuit vena dengan tekanan yang relatif
rendah. Kapasitas dan volume sirkuit vena ini merupakan faktor penentu
penting dari curah jantung karena volume darah yang diejeksi oleh jantung
tergantung pada alir balik vena
Sistem vena khususnya pada ekstremitas bawah terbagi menjadi 3
subsistem :

Subsistem vena permukaan


Subsistem vena dalam
Subsistem penghubung ( saling ber hubungan)
Vena permukaan terletak di jaringan subkutan tungkai dan menerima
aliran vena dari pembuluh pembuluh darah yang lebih kecil di dalam kulit,
jaringan subkutan dan kaki. Sistem permukaan terdiri dari: Vena
Magna

Safena

dan Vena Safena Parva. Vena Safena Magna merupakan vena

terpanjang di tubuh, yang berjalan dari malleolus naik ke bagian medial betis
dan paha, bermuara ke vena femoralistepat di bawah selangkangan. Vena
safena magna mengalirkan darah dari bagian anteromedial betis dan paha. Vena
safena parva berjalan sepanjang sisi lateral dari mata kaki melalui betis menuju
lutut, mendapatkan darah dari bagian posterolateral dan mengalirkan darah ke
vena politea titik pertemuan keduanya disebut Safenopoplitea. Diantara Vena
Safena Magna dan Parva banyak didapat anastomosis, hal ini merupakan
rute aliran kolateral yang memilki peranan penting saat terjadi obstruksi vena.

(Gambar 1.1. Pembuluh vena tungkai bawah)


Sistem vena dalam membawa sebagian besar darah dari ekstremitas
bawah yang terletak

di dalam kompartemen otot. Vena vena dalam

menerima aliran darah dri venula kecil dan pembuluh intramaskuler. System
vena dalam cenderung berjalan sejajar dengan pembuluh arteri tungkai bawah
dan diberi nama sama dengan arteri tersebut. Sebagai akibatnya, termasuk
dalam system ini adalah vena tibialis anterior dan posterior, peroneus,
popliteal, femoralis profunda dan pembuluh pembuluh darah betis yang tidak
diberi nama. Vena iliaca juga dimsukkan di dalam system vena dalam
ekstremitas bawah karena aliran vena dari tungkai ke vena cava tergantung
pada patensi dan integritas dari pembuluh pembuluh ini. Subsistem vena
vena dalam dan permukaan di hubungkan oleh saluran saluran pembuluh
darah yang disebut vena penghubung yang membentuk subsistem penghubung
ektremitas bawah. Aliran biasanya dari vena dalam selanjutnya ke vena cava
inferior.
Pada struktur anatomi vena di dapatkan katup katup semilunaris satu
arah yang tersebar di seluruh system vena. Katup katup tersebut adalah
lipatan dari lapisan intima yang terdiri dari lapisan endotel dan kolagen,
berfungsi untuk mencegah terjadinya aliran balik, mengarahkan aliran kea rah
proksimal dan system permukaan melalui penghubung. Kemampuan katup
untuk menjalankan fungsinya merupakan factor yang sangat penting, sebab
aliran darah dari ekstremitas menuju jantung berjalan melawan grevitasi.

(Gambar 1.2. Katup vena)


Fisiologi pada aliran vena yang melawan gravitasi tersebut dipengaruhi
oleh factor yang disebut pompa vena. Ada 2 (dua) pompa vena yakni perifer
dan sentral. Komponen pompa vena perifer adalah adanya kompresi saluran
vena selama kontraksi otot yang mendorong aliran maju di dalam system
vena dalam, katup kayup vena mencagah aliran retrograde atau refluks
selama otot relaksasi dan adanya sinus sinus vena kecil yang tak berkatup
atau venula yang terletrak di otot berperan sebagai reservoir darah selanjutnya
akan mengososngkan darahnya ke vena vena dalam selama terjadi kontraksi
otot.
Pada komponen pompa vena sentral yang berperan memudahkan arus
balik vena adalah pengurangan tekanan intratoraks saat inspirasi, penurunan
tekanan atrium dan ventrikel kanan setelah fase ejeksi ventrikel.
2. Histologi dari pembuluh darah vena.
a. Struktur pembuluh darah
Pembuluh darah umumnya terdiri atas lapisan atau tunika, yakni :

Tunika intima memiliki satu lapis sel endotel, yang ditopang oleh selapis tipis
subendotel jaringan ikat longgar yang kadang-kadang mengandung sel otot
polos. Pada arteri, intima dipisahkan dari tunika media oleh suatu lamina
elastica interna, yaitu komponen terluar intima. Lamina ini, yang terdiri atas
elastin, memiliki celah (fenestra) yang memungkinkan terjadinya difusi zat

untuk memberikan nutrisi ke sel-sel bagian dalam dinding pembuluh. Karena

tekanan darah dan kontraksi pembuluh darah pembuluh.


Tunika media, yaitu lapisan tengah, terutama terdiri atas lapisan konsentris selsel otot polos yang tersusun secara berpilin. Di antara sel-sel otot polos,
terdapat berbagai serat dan lamela elastin, serat retikular kolagen tipe III,
proteoglikan, dan glikoprotein yang kesemuannya dihasilkan sel-sel ini. Pada
arteri, tunika media memiliki lamela elastica yang lebih tipis, yang

memisahkannya dengan tunika adventitia.


Tunika adventitia, atau tunika eksterna terutama terdiri atas serat kolagen tipe I,
dan elastin. Lapisan adventisia berangsur menyatu dengan jaringan ikat stromal
organ tempat pembuluh darah berada.
Pembuluh besar umumnya memiliki vasa vasorum (pembuluh dari

pembuluh), yang berupa arteriol, kapiler atau venula, yang bercabang-cabang di


tunica adventitia dan tunica media bagian luar. Vasa vasorum membawa metabolik
ke sel-sel lapisan tersebut, karena pada pembuluh besar, lapisannya terlalu tebal
untuk mendapat makanan secara difusi dari darah yang mengalir didalam
lumennya. Darah dalam lumen itu sendiri menyediakan nutrien dan oksigen untuk
sel tunica intima. Karena membawa darah yang terdeoksigenasi, vena-vena besar
biasanya memiliki lebih banyak vasa vasorum ketimbang di arteri.

(Gambar 2.1. Vena besar)


Vena
Darah yang memasuki vena menerima tekanan sangat rendah dan bergerak
menuju jantung melalui kontraksi tunica media dan kompresi ekternal dari otot
disekitar dan organ lain. Katup menonjol dan tunica intima mencegah aliran balik
darah. Sebagian besar vena berukuran kecil atau sedang, dengan diameter kurang
dari 1 cm. Vena tersebut biasanya berada sejajar dengan arteri muscular
padanannya. Tunika intima umumnya memiliki lapisan subendotel tipis dan tunica
media terdiri atas berkas-berkas kecil sel otot polos yang berbaur dengan seratserat retikuler dan jalinan halus serat elastin. Lapisan tunika adventitia dengan
kolagennya berkembang dengan baik.

Pembuluh vena besar, yang berpasangan dengan arteri elastis didekat


jantung, adalah vena besar. Vena besar memiliki tunica intima yang berkembang
baik, tetapi tunica medianya relatif tipis, dengan beberapa lapisan otot polos dan
sejumlah besar jaringan ikat. Tunika adventitia adalah lapisan tebal dengan vena
besar dan sering mengandung berkas memanjang otot polos. Lapisan tunika media
dan adventitia mengandung serat elastin, tetapi lamina elastica seperti yang
terdapat di arteri tidak di jumpai.
Sebagian besar vena memiliki katup, tetapi katup tersebut paling mencolok
di vena-vena besar. Katup terdiri atas pasangan lipatan semilunar tunika intima
yang menonjol melalui bagian lumen. Katup tersebut kaya akan serat elastin dan
dilapisi dikedua sisinyaoleh endotel. Katup tersebut, yang terutama berjumlah
banyak divena tungkai, membantu menjaga aliran darah vena yang mengarah ke
jantung.

(Gambar 2.2. Dinding vena besar)

3. Pengertian trombosis dan patogenesisnya.


Trombosis merupakan proses pembentukan bekuan darah yang tidak
sesuai di dalam sistem vaskular manusia hidup, dan bekuan darah tersebut disebut
trombus. Trombus dapat terbentuk dalam sistem arteri maupun sistem vena.

Tiga pengaruh utama yang mempengaruhi terjadinya pembentukan


trombus, disebut dengan TRIAS VIRCHOW, yaitu (1) jejas endotel, (2) statis atau
turbulensi aliran darah, (3) hiperkoagulabilitas darah.

(Gambar 3.1. Trias Virchow pada trombosis. Integritas endotel


merupakan satu-satunya faktor terpenting. Jejas pada sel endotel juga
dapat mengubah aliran darah lokal dan mempengaruhi koagulabilitas.
Aliran darah abnormal (stasis dan turbulensi) selanjutnya dapat
menyebabkan jejas endotel. Faktor tersebut dapat bekerja secara
independen atau dapat bergabung menyebabkan pembentukan trombus )
a. Jejas endotel
Jejas endotel merupakan pengaruh yang menonjol dan dengan sendirinya
dapat menyebabkan trombosis. Pengaruh ini secara khusus penting dalam
pembentukan trombus pada sirkulasi jantung dan arteri. Misalnya dalam rongga
jantung jika telah terjadi jejas endokard (misalnya infark miokard atau valvulitis),
diatas plak yang mengalami ulserasi pada arteri yang mengalami ateroskelerotik
berat, atau pada lokasi terjadinya jejas vaskular akibat trauma atau peradangan.
Penting untuk diperhatikan bahwa endotel tidak perlu dikikis atau dilukai secara
fisik untuk menimbulkan trombosis; setiap terjadi gangguan dalam keseimbangan
efek protrombosis dan antitrombosis yang dinamis dapat mempengaruhi peristiwa
pembekuan lokal.

(Gambar 3.2. Ilustrasi skematik beberapa aktivitas pro dan


antikoagulan sel endotel. Tidak terliihat perangkat pro dan antifibrolisis.
NO (nitrat oksidasi), PGI2 (prostasiklin), t-PA (tissue plasminogen
activator), vWF (faktor von willebrand))
Oleh karena itu, disfungsi endotel yang bermakna dapat terjadi karena
turbulen pada katup yang terdapat jaringan parut, endotoksin bakteri. Bahkan,
pengaruh yang relatif kecil, seperti homosistinuria, hiperkolestrolemia, radiasi,
atau produk yang diserap dari asap rokok dapat menjadi sumber terjadinya jejas
dan disregulasi endotel. Tanpa memperhatikan penyebab, hilangnya endotel secara
fisik mengakibatkan hilangnya pajanan kolagen subendotel (dan aktivator
trombosit lain), perlekatan trombosit, pelepasan faktor jaringan, dan deplesi PGI 2
dan PA lokal. Endotel yang mengalami disfungsi dapat menghasilkan faktor
prokoagulasi dalam jumlah yang lebih besar (misalnya, molekul adhesi untuk
mengikat trombosit, faktor jaringan, PAI, dll) dan efektor antikoagulan dalam
jumlah yang lebih kecil (misalnya, trombomodulin, PGI2, t-PA).
b. Perubahan pada aliran darah normal.
Turbulensi turut berperan pada trombosis arteri trombosis arteri dan
trombosis kardiak dengan menyebabkan cedera atau disfungsi endotel, serta
membentuk aliran kebalikan dan kantong stasis lokal; stasis merupakan faktor
utama dalam pembentukan trombus vena. Aliran darah normal adalah laminar
sedemikian rupa sehingga unsur trombosis mengalir pada bagian sentral dari

10

lumen pembuluh darah, yang terpisah dari endotel oleh suatu zona jernih plasma
yang bergerak lebih lambat. Oleh karena itu, stasis dan turbulensi akan
mengganggu (1) mengganggu aliran laminar dan melekatkan trombosit pada
endotel, (2) mencegah pengenceran faktor pembekuan yang teraktivasi oleh darah
segar yang terus mengalir, (3) menunda aliran masuk inhibitor faktor pembekuan
dan memungkinkan pembentukan trombus, (4) meningkatkan aktivasi sel endotel,
mempengaruhi pembentukan trombosis lokal, perlekatan leukosit, serta berbagai
efek sel endotel lain.
Turbulensi dan stasis turut berperan pada terjadinya trombosis dalam
sejumlah kasus klinis. PIak aterosklerotik yang mengalami ulserasi tidak hanya
memajankan ECM subendotel, tetapi juga menghasilkan turbulensi lokal. Dilatasi
aorta dan arteri abnormal yang disebut aneu risma menyebabkan stasis lokal dan
merupakan tempat yang cocok untuk terjadinya trombosis. Infark miokard tidak
hanya disertai dengan jejas endotel, tetapi juga disertai daerah miokard yang
nonkontraktil, yang menambahkan suatu unsur stasis dalam pembentukan trombus
mural. Stenosis katup mitral (misalnya, setelah penyakit jantung rematik)
mengakibatkan dilatasi atrium kiri. Dalam kaitannya dengan fibrilasi atrium,
atrium yang berdilatasi merupakan lokasi terjadinya stasis berat dan lokasi utama
terjadinya trombus. Sindrom hiperviskositas misalnya, polisitemia) meningkatkan
resistensi terhadap aliran darah dan menyebabkan stasis pembuluh darah kecil;
kelainan bentuk sel darah merah pada anemia sel bentuk sabit akan menyebabkan
oklusi pembuluh darah, yang mengakibatkan stasis sehingga mudah terjadi
trombosis.
c. Hiperkoagulabilitas
Hiperkoagulabilitas
trombosis,

tetapi

pada umumnya kurang berperan pada keadaan

merupakan

komponen

penting

(dan

menarik)

dalam

perimbangantersebut. Hiperkoagulabilitas kurang bisa ditentukan secara tegas


seperti pada setiap perubahan pada jalur pembekuan yang memudahkan terjadi
trombosis, dan gangguan ini dapat dibagi menjadi gangguan primer (genetik) dan
gangguan sekunder (didapat). Di antara penyebab hiperkoagulabilitas yang
diturunkan, yang paling lazim adalah mutasi pada gen faktor V dan gen
protrombin. Perubahan yang khas adalah faktor Va mutan yang tidak dapat

11

diinaktifkan oleh protein C; akibatnya, jalur counter regulatory antitrombosis yang


penting hilang (Gambar 3.2).
Jika seorang pasien mampu bertahan dari efek segera oleh suatu obstruksi
vaskular karena trombosis, trombus akan mengalami kombinasi tertentu dari
keempat peristiwa berikut ini yang terjadi dalam beberapa hari atau minggu
kemudian.

(Gambar 3.3. Akibat yang mungkin terjadi pada trombosis vena)


a. Propagasi. Trombus dapat menumpukkan lebih banyak trombosit dan fibrin
(memperbanyak), yang akhirnya menyumbat pembuluh darah penting tertentu.
b. Embolisasi. Trombus dapat terlepas dan diangkut ke tempat lain dalam
pembuluh darah.
c. Dissolusi. Trombus dapat dihilangkan melalui aktivitas fibrinolisis.
d. Organisasi dan rekanalisasi. Trombus dapat menginduksi inflamasi dan fibrosis
(organisasi) dan akhirnya dapat mengalami rekanalisasi (mengembalikan aliran
vaskular), atau trombus dapat bergabung ke dalam dinding vaskular yang
menebal.
4. Pengertian trombosis vena dalam serta epideminologinya.
Trombosis vena dalam merupakan suatu keadaan terjadinya gumpalan
darah (trombus) pada pembuluh darah balik (vena) dalam di daerah tungkai
bawah. Setiap tahunnya diperkirakan terdapat 1 di antara 1000 orang menderita
kelainan ini. Dari jumlah tersebut, kurang lebih satu sampai lima persen penderita
meninggal akibat komplikasi yang ditimbulkan.

12

(Gambar 4.1. Trombosis Vena)


Di Amerika Serikat, trombosis merupakan penyebab utama kematian
dengan kematian sekitar 2 juta penduduk setiap tahun akibat trombosis arteri,
vena atau komplikasinya. Angka kejadian trombosis vena dalam (deep venous
thrombosis/DVT) yang baru berkisar 50 per 100.000 penduduk, sedangkan pada
usia lebih dari 70 tahun diperkirakan 200 per 100.000 penduduk.
Trombosis vena dan emboli paru berkaitan dengan berbagai kondisi medis
atau prosedur bedah tertentu. Resiko tromboemboli pada pasien dengan defisiensi
antitrombin III dapat mencapai 80 %, 70% pada gagal jantung kongestif dan 40 %
pada infark miokard akut. Pada pasien yang menjalani operasi panggul atau lutut,
kejadian DVT berkisar 45-70% sedanfkan kejadian emboli paru dapat mencapai
20%; 1-3% diantaranya fatal. Pada operasi ginekologi dan obsetri, risiko DVT
berkisar 7-45% sedangkan pada operasi saraf antara 9-50%.
5. Etiologi dari trombosis vena dalam.
Ada 3 faktor yang dapat menyebabkan terjadinya trombosis vena dalam,
yaitu :
a. Cedera pada pembuluh darah balik
Pembuluh darah balik dapat cedera selama terjadinya tindakan bedah,
suntikan bahan yang mengiritasi pembuluh darah balik, atau kelainankelainan tertentu pada pembuluh darah balik.
b. Peningkatan kecenderungan terjadinya pembekuan darah

13

Terdapat beberapa kelainan yang dapat menyebabkan terjadinya


peningkatan kecenderungan terjadinya pembekuan darah. Beberapa jenis
kanker dan penggunaan kontrasepsi oral dapat memudahkan terjadinya
pembekuan darah. Kadang-kadang pembekuan darah juga dapat terjadi
setelah proses persalinan atau setelah tindakan operasi. Selain itu
pembekuan darah juga mudah terjadi pada individu yang berusia tua,
keadaan dehidrasi, dan pada individu yang merokok.
c. Melambatnya aliran darah pada pembuluh darah balik
Hal ini dapat terjadi pada keadaan seperti perawatan lama di rumah sakit
atau pada penerbangan jarak jauh. Pada keadaan-keadaan tersebut otot-otot
pada daerah tungkai bawah tidak berkontraksi sehingga aliran darah dari
kaki menuju ke jantung berkurang. Akibatnya aliran darah pada pembuluh
darah balik melambat dan memudahkan terjadinya trombosis pada vena
dalam.
Gangguan pada arteri

Gangguan pada vena

Gangguan

pada

darah/Trombosit
1

Aterosklerosis

Operasi (umum)

Sindrom

anti

Merokok

Operasi ortopedi

fosfolipid
Resistensi protein C

Hipertensi

Artroskopi

(faktor V leiden)
Sticky
platelet

Artroskopi
Trauma
Keganasan

syndrome
Gangguan protein C
Gangguan protein S
Gangguan

4
5
6

Diabetes melitus
Kolesterol LDL
Hipertrigliserida

Riwayat

pada keluarga
Gagal jantung kiri

antitrombin
Gangguan

trombosis Imobilisasi

heparin

kofaktor II
Gangguan

Sepsis

plasminogen activator
inhibitor
jantung Gangguan faktor XII

Kontrasepsi oral

Gagal

10
11
12
13

Estrogen
Lipoprotein (a)
Polisitemia
Sindrom

kongestif
Sindrom nefrotik
Obesitas
Varicose vein
Sindrom pascaflebitis

14
15

hiperviskositas
Sindrom leukostasis

Kontrasepsi oral
Estrogen

Disfibrinogenemia
Homosisteinemia

14

Tabel 5.1. Penyebab trombosis


6. Patofisiologi dari trombosis vena dalam.
Berdasarkan Triad of Virchow terdapat 3 faktor yang berperan dalam
pathogenesis terjadinya thrombosis pada arteri dan vena yaitu kelainan dinding
pembuluh darah, pembekuan aliran darah dan perubahan daya beku darah.
Thrombosis vena adalah suatu deposit intra vskuler yang terjadi dari
fibrin, sel darah merah dan beberapa komponen trombosit dan leukosit.
Pathogenesis terjadinya thrombosis vena adalah sebagai berikut:
a. Statis vena
Aliran darah pada vena cenderung lambat, bahkan dapat terjadi statis
terutama pada daerah-daerah yang mengalami immobilisasi dalam waktu yang
cukup lama.
Statis vena merupakan predisposisi untuk terjadinya thrombosis local
karena dapat menimbulkan thrombosis local karena dapat menimbulkan gangguan
mekanisme pembersih terhadap aktivitas factor pembekuan darah sehingga
memudahkan terbentuknya thrombin.
Imobilisasi (seperti yang timbul selama masa perioperasi atau pada
paralisis) menghilangkan pengaruh pompa vena perifer, meningkatkan stagnasi
dan pengumpulan darah di ekstremitas bawah. statis darah dibelakang daun katup
dapat menyebabkan penumpukan trombosit dan fibrin, yang mencetuskan
perkembangan thrombosis vena.
b. Kerusakan pembuluh darah
Kerusakan pembuluh darah dapat berperan pada pembentukan thrombosis
vena, melalui:
a. Trauma langsung yang mengakibatkan factor pembekuan.
b. Aktivasi sel endotel oleh sitokin yang dilepaskan sebagai akibat
kerusakan jaringan dan proses peradangan.
Permukaan vena yang menghadap ke lumen dilapisi oleh sel endotel.
Endotel yang utuh bersifat non-trombo genetic karena sel endotel menghasilkan
beberapa substansi seperti prostaglandin (PG12), proteoglikan, activator
plasminogen dan trombo-modulin, yang dapat mencegah terbentuknya thrombin.

15

Apabila endotel mengalami kerusakan, maka jaringan sub endotel akan


terpapar. Keadaan ini akan menyebabkan system pembekuan darah diaktifkan dan
trombosit akan melekat pada jaringan sub endotel terutama serat kolagen,
membrane basalis, dan mikrofibril. Trombosit yan gmelekat ini akan melepaskan
adenosine difosfat dan tromboksan A2 yan gakan merangsang ttrombosit lain yan
gmasih beredar untuk berubah bentuk dan saling mendekat.
Kerusakan sel endotel sendiri juga akan mengaktifkan system pembekuan
darah.
c. Perubahan daya beku darah
Dalam keadaan normal terdapat keseimbangan dalam system pembekuan
darah dan system fibrinolysis. Kecenderungan terjadinya thrombosis, apabila
aktifitas pembekuan darah meningkat atau aktifitas fibrinolysis menurun.
Thrombosis vena banyak terjadi pada kasus-kasus dengan aktifitas
pembekuan darah meningkat, seperti pada hiperkoagulasi, defisiensi Anti
thrombin III, defisiensi protein C, defisiensi protein S, dan kelainan plasminogen.
Trombosis vena akan meningkatkan resistensi aliran vena dari ekstremitas
bawah. Dengan meningkatnya resistensi, pengosongan vena akan terganggu,
menyebabkan peningkatan volume dan tekanan darah vena. Thrombosis dapat
melibatkan kantong katup dan merusak fungsi katup. Katup yang tidak berfungsi
atau inkomptemen mempermudah terjadinya statis dan penimbunan darah di
ekstremitas.
Thrombus akan menjadi semakin terorganisir dan melekat pada dinding
pembuluh darah apabila thrombus semakin matang. Sebagian akibatnya, risiko
embolisasi menjadi lebih besar pada fase-fase awal thrombosis, namun demikian
juga bekuan tetap dan dapat terlepas menjadi emboli yang menuju sirkulasi paru.
Perluasan progesif juga meningkatkan derajat obstruksi vena dan melibatkan
daerah-daerah tambahan dari system vena. Pada akhirnya, patensi lumen mungkin
dapat distabilkan dalam derajat tertentu (rekanalisasi) dengan retraksi bekuan dan
lisis melalui system fibrinolitik endogen. Sebagian besar pasien memiliki lumen
yang terbuka tapi dengan daun katup terbuka dan jaringan parut, yang
menyebabkan aliran vena dua arah.
7. Manifestasi klinis dari trombosis vena dalam serta faktor resiko.

16

Trombosis vena terutama mengenai vena-vena di daerah tungkai antara


lain vena tungkai superfisialis, vena dalam di daerah betis atau lebih proksimal
seperti vena poplitea, vena femoralis dan viliaca. Sedangkan vena-vena di bagian
tubuh yang lain relatif jarang di kenai.
Trombosis vena superfisialis pada tungkai, biasanya terjadi varikositis dan
gejala klinisnya ringan dan bisa sembuh sendiri. Kadang-kadang trombosis vena
tungkai superfisialis ini menyebar ke vena dalam dan dapat menimbulkan emboli
paru yang tidak jarang menimbulkan kematian.
Manifestasi klinik trombosis vena dalam tidak selalu jelas, kelainan yang
timbul tidak selalu dapat diramalkan secara tepat lokasi / tempat terjadinya
trombosis. Trombosis di daerah betis mempunyai gejala klinis yang ringan karena
trombosis yang terbentuk umumnya kecil dan tidak menimbulkan komplikasi
yang hebat. Sebagian besar trombosis di daerah betis adalah asimtomatis, akan
tetapi dapat menjadi serius apabila trombus tersebut meluas atau menyebar ke
lebih proksimal.
Trombosis vena dalam akan mempunyai keluhan dan gejala apabila
menimbulkan : (1) bendungan aliran vena, (2) peradangan dinding vena dan
jaringan perivaskuler, (3) emboli pada sirkulasi pulmoner.
Keluhan dan gejala trombosis vena dalam dapat berupa :
a. Nyeri
Intensitas nyeri tidak tergantung kepada besar dan luas trombosis.
Trombosis vena di daerah betis menimbulkan nyeri di daerah tersebut dan bisa
menjalar ke bagian medial dan anterior paha. Keluhan nyeri sangat bervariasi dan
tidak spesifik, bisa terasa nyeri atau kaku dan intensitasnya mulai dari yang ringan
sampai hebat. Nyeri akan berkurang jika penderita istirahat di tempat tidur,
terutama posisi tungkai ditinggikan.
b. Pembengkakan
Pembengkakan disebabkan karena adanya edema. Timbulnya edema
disebabkan oleh sumbatan vena di bagian proksimal dan peradangan jaringan

17

perivaskuler. Apabila pembengkakan ditimbulkan oleh sumbatan maka lokasi


bengkak adalah di bawah sumbatan dan tidak nyeri, sedangkan apabila disebabkan
oleh peradangan perivaskuler maka bengkak timbul pada daerah trombosis dan
biasanya di sertai nyeri. Pembengkakan bertambah kalau penderita berjalan dan
akan berkurang kalau istirahat di tempat tidur dengan posisi kaki agak
ditinggikan.
c. Perubahan warna kulit
Perubahan warna kulit tidak spesifik dan tidak banyak ditemukan pada
trombosis vena dalam dibandingkan trombosis arteri. Pada trombosis vena
perubahan warna kulit di temukan hanya 17%-20% kasus. Perubahan warna kulit
bisa berubah pucat dan kadang-kadang berwarna ungu. Perubahan warna kaki
menjadi pucat dan pada perubahan lunah dan dingin, merupakan tanda-tanda
adanya sumbatan vena yang besar yang bersamaan dengan adanya spasme arteri,
keadaan ini di sebut flegmasia alba dolens.
d. Sindroma post-trombosis.
Penyebab terjadinya sindroma ini adalah peningkatan tekanan vena
sebagai konsekuensi dari adanya sumbatan dan rekanalisasi dari vena besar.
Keadaan ini mengakibatkan meningkatnya tekanan pada dinding vena dalam di
daerah betis sehingga terjadi imkompeten katup vena dan perforasi vena dalam.
Semua keadaan di atas akan mengkibatkan aliran darah vena dalam akan
membalik ke daerah superfisilalis apabila otot berkontraksi, sehingga terjadi
edema, kerusakan jaringan subkutan, pada keadaan berat dapat terjadi ulkus pada
daerah vena yang dikenai.
Manifestasi klinis sindroma post-trombotik yang lain adalah nyeri pada
daerah betis yang timbul / bertambah waktu penderitanya beraktivitas (venous
claudicatio), nyeri berkurang waktu istirahat dan posisi kaki ditinggikan, timbul
pigmentasi dan indurasi pada sekitar lutut dan kaki sepertiga bawah. (jornal)
Faktor risiko utama adalah: (1) imobilitas nyata, (2) dehidrasi, (3)
keganasan lanjut, (4) diskrasia darah, (5) riwayat DVT, (6) varises vena, dan (7)
operasi atau trauma pada anggota gerak bawah atau pelvis. Faktor predisposisi

18

lain adalah pemakaian obat kontrasepsi yang mengandung estrogen, kehamilan,


gagal jantung kongestif kronik, dan obesitas.
Factor utama yang berperan dalam terjadinya thrombosis vena adalah
status aliran darah dan meningkatnya aktivitas pembekuan darah.
Factor kerusakan dinding pembuluh darah adalah relatif berkurang
terhadap timbulnya thrombosis vena dibandingkan thrombosis arteri. Sehingga
setiap keadaan yang menimbulkan statis aliran darah dan meningkatkan aktivitas
pembentukan darah dapat menimbulkan thrombosis vena.

Factor resiko yang timbulnya thrombosis vena adalah sebagai berikut :


Defisiensi Anto Trombin III, protein C, protein S dan alfa 1 anti tripsin. Pada
kelainana tersebut, factor factor pembekuan aktif ridak dinetralisisir sehingga

kecenderungan terjadinya thrombosis vena meningkat.


Tindakan operatif
Factor resiko yang potensial terhadap timbulnya thrombosis vena adalah
operasidalam bidang ortopedi dan trauma pada bagian panggul dan tungkai
bawah. Pada operasi di daerah panggul, 54% penderita mengalami thrombosis
vena, sedangkan pada operasi di daerah abdomen terjadinya thrombosis vena
sekitar 10% 14%.
Beberapa factor mempermudah timbulnya thrombosis vena pada tindakan
operatif, adalah sebagai berikut:
a. Terlepasnya plasminogen jaringan ke dalam sirkulasi darah karena trauma
pada saat operasi.
b. Statis aliran darah kerena immobilisai selama priode preperatif, operatif
dan post operatif.
c. Menurunnya aktifitas fibtinolitik. Terutama 24 jam pertama setalah
operasi.
d. Operasi di saerah tungkai menimbulkan kerusakan vena secara langsung di

daerah tersebut.
Kehamilan dan persalinan
Selama trimester ketiga kehamilan terjadi penurunan aktifitas fibrinolitik,
statis vena karena bendungan dan peningkatan factor pembekuan VII, VII dan
IX.
Pada permulaan proses persalinan terjadi pelepasan plasenta yang
menimbulkan lepasan plasminogen jaringan ke dalam sirkulasi darah, sehingga
terjadi peningkatan koagulasi darah.

19

Infark miokard dan payah jantung


Pada infark miokard penyebabknya adalah dua komponen yaitu kerusakan
jaringan yang melepaskan plasminogen yang mengaktifkan proses pembekuan
darah dan adanya statis aliran darah karena istirahat total. Thrombosis vena
yang mudah terjadi pada payah jantung adaah sebagai akibat statis aliran drah
yang terjadi karena adanya bendungan dan proses immobilisasi pada

pengobatan payah jantung.


Immobilisasi yang lama dan paralisis ekstremitas.
Immobilisasi yang lama akan menimbulkan statis aliran darah yang

mempermudah timbulnya thrombosis vena.


Obat obatan konstrasepsi oral
Hormone estrogen yang ada dalam pil kontrasepsi menimbulkan dilatasi
vena, menurunnya aktivitas antitrombin III dan proses fibrinolitik dan
meningkatnya factor pembekuan darah. Keadaan ini akan mempermudah

terjadinya thrombosis vena.


Obesitas dan varices
Obesitas dan varices dapat menimbulka n statis aliran darah dan

penurunan aktifitas fibrinolitik yang mempermudah terjdinya thrombosis vena.


Proses keganasan
Pada jaringan yang bergenerasi maligna di temukan tissue
thromboplastin-like activity dan factor X activiting yang mengakibatkan
aktifitas koagulasi meningkt. Proses keganasan juga menimbulan menurunkan
aktifits fibrinolitik dan infiltrasi ke dinding vena. Keadaan ini mempermudah
terjadinya thrombosis. Tindakan operasi terhadap [emderita tumor ganaa
menimbulkan keadaan thrombosis 2 3 kali lipat dibandingkan penderita

biasa.
8. Pemeriksaan yang dilakukan untuk menentukan trombosis vena dalam.
Tanda-tanda klinis penyakit pembuluh darah vena tidak dapat dipercaya
sehingga sangat penting melakukan metode-metode evaluasi invasif dan
noninvasif. Tujuan pengujian ini adalah untuk mendeteksi dan mengevaluasi
obstruktif atau refluks vena melalui katup-katup yang tidak berfungsi baik.
a. Pemeriksaan fisik
Katup vena yang tidak berfungsi dengan baik dapat dievaluasi secara
klinis dengan menguji waktu pengisian vena. Tes brodie-trendelenburg dilakukan
20

dengan mengosongkan vena sefena melalui peninggian angota gerak dan


mengurangi aliran arteri melalui oklusi. Pada katup yang tidak berfungsi baik,
terlihat pengisian vena yang cepat pada saat oklusi dilepas dan kemungkinan juga
pada saat posisi berdiri. Teknik lain adalah tes kompresi manual, yaitu dengan
melakukan kompresi di sebelah proksimal vena dan palpasi di sebelah distal untuk
mengevaluasi pengisian vena retrograd karena refluks katup. Pada saat
pemeriksaan fisik, tanda-tanda klasik tidak sellau ditemukan. Gambaran klasik
DVT adalah edema tungkai unilateral, eritema, hangat, nyeri, dapat diraba
pembuluh darah superfasial, dan tanda Homan yang positif.
b. Pemeriksaan laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium hemostasis di dapatkan peningkatan Ddimer dan penurunan antitrombin, peningkatan D-dimer merupakan indikator
adanya trombosis yang aktif. Pemeriksaan ini sensitif tetapi tidak spesifik dan
sebenarnya lebih berperan untuk menyingkirkan adanya trombosis jika hasilnya
negatif. Pemeriksaan ini mempunyai sensitivitas 93%, spesivisitas 77% dan nilai
prediksi negatif 98% pada DVT proksimal, sedangkan pada DVT daerah betis
sensitivitasnya 70%. Pemeriksaan laboratorium lainnya umumnya tidak terlalu
bermakna untuk mendiagnosis adanya trombosis, tetapi dapat membantu
menentukan faktor resiko.
c. Ultrasound doppler
Teknik doppler dipakai untuk menentukan kecepatan aliran darah dan pola
aliran dalam sistem vena superfasialis dan profunda. Aliran vena dapat dibedakan
dari aliran arteri karena aliran vena tidak berpulsasi dan berubah-ubah pada saat
respirasi. Pola aliran vena normal ditandai dengan peningkatan aliran ekstremitas
bawah selama ekspirasi dan menurun selama inspirasi. Pada obstruksi vena,
variasi pernapasan fasik ini tidak terlihat. Pada vena-vena dengan obstruksi lumen
total karena trombus, tidak terdapat sinyal. Sedangkan pada vena trombosis
sebagian, puncak sinyal lebih tinggi karena peningkatan kecepatan aliran melalui
segmen yang menyempit. Selain itu, trombosis akan menurunkan aliran fasik.

21

Teknik doppler memungkinkan penilaian kualitatif terhadap kemampuan


katup pada vena profunda, vena penghubung, dan vena yang mengalami perforasi.
Obstruksi vena profunda dan superfasialis dapat diteksi, meskipun ultrasound
doppler lebih peka daripada trombosis vena proximal daripada trombosis vena
betis. Teknik ini tidak mahal dan sederhana; tetapi memerlukan kemampuan
teknik tingkat tinggi dan perlu pengalaman untuk menjamin keakuratan hasil
pemeriksaan.
d. Peminda ultrasonik dupleks
Pemakaian pemindai dupleks ultrasonik aliran bewarna. Dengan teknik ini,
obstruksi vena dan refluks katup dapat dideteksi dan dilokalisasi, dan dapat dilihat
diagram vena-vena penghubung yang tidak kompeten. Bila vena terlihat dalam
keadaan sebenarnya, contoh yang dipakai penguji untuk aliran vena, akan
melewati lumen pembuluh darah.
e. Pletismografi vena
Teknik pletismografi vena mendeteksi perubahan dalam volume darah
vena di tungkai. Obstruksi vena dan refluks katup mengubah pola normal
pengisian dan pengosongan vena ke ekstremitas. Teknik pletismografi yang umum
mencakup ; 1) Inpedance plethysmography, 2) strain gauge plethysmography, 3)
air plethysmography, dan 4) photoplethymography. Teknik-teknik ini realatif
berbeda dari metode yang dipakai untuk mendeteksi perubahan dalam volume
darah.
Pada teknik yang paling sering dipakai, yaitu inpedance plethysmography
(IPG), arus listrik lemah ditransmisikan melalui ekstremitas, dan tahanan atau
resistensi yang melewati arus ini diukur. Karena darah adalah penghantar listrik
yang baik, tahanan akan turun bila volume darah di ekstremitas meningkat
sewaktu pengisian vena. Elektroda-elektroda pada suatu sabuk yang mengelilingi
anggota gerak digunakan untuk mengukur tahanan. Pada teknik strain gauge
plethysmography (SGP), Perubahan dalam ketegangan mekanik pada elektroda
menunjukkan perubahan volume darah. Air plethysmografi mendeteksi perubahan
volume melalui perubahan tekanan dalam suatu manset berisi udara yang

22

mengelilingi anggota gerak. Sewaktu volume vena bertambah, tekanan dalam


manset akan bertambah juga. Photoplethysmography (PPG) adalah teknik terbaru
dan bergantung pada deteksi pantulan cahaya dari sinar infra merah yang
ditransmisikan ke sepanjang ekstremitas. Proporsi cahaya tersebut yang akan
dipantulkan kembali ke transduser bergantung pada volume darah vena dalam
jaringan pembuluh darah kulit.
f. Venografi
Pada penyakit vena (venografi, atau flebografi) adalah teknik standar
sebagai perbandingan untuk semua teknik lain. Bahan kontras disuntikkan secara
bolus ke dalam sistem vena untuk memberikan gambaran opak pada vena-vena di
ektremitas bawah dan pelvis. Venografi desendens dengan suntikan bahan kontras
ke dalam vena femoralis digunakan untuk menunjukkan adanya perluasan aliran
retrograd pada pasien dengan infusiensi vena-vena kronis. Venografi dianggap
sebaagai teknik yang paling dipercaya untuk mengevaluasi lokasi dan perluasan
penyakit vena. Namun, kerugian uji invasif tersebut relatif lebih banyak daripada
uji noninvasif, termasuk biaya yang lebih besar, ketidaknyamanan, dan resiko
yang lebih besar. Tinggi korelasi anatara kombinasi pengukuran obstruksi vena
noninvasif termasuk pemindai dupleks dengan aliran berwarna dan pletismografi
dengan teknik venografi invasif, menyebabkan uji noninvasif semakin sering
digunakan. Venografi dapat tetap digunakan pada kasus-kasus noninvasif yang
tidak jelas atau pada kasus-kasus noninvasif yang tidak jelas atau pada
pembedahan vena kava yang direncanakan dalam kasus emboli paru.
9. Komplikasi dari trombosis vena dalam.
Ada beberapa komplikasi dari trombosis vena dalam antara lain :
a) Perdarahan
Perdarahan diakibatkan oleh penggunaan terapi antikoagulan.
b) Emboli paru
Terjadi akibat terlepasnya trombus dari dinding pembuluh darah
kemudian trombus ini terbawa aliran darah hingga akhirnya berhenti di
pembuluh darah paru dan mengakibatkan bendungan aliran darah. Ini dapat

23

terjadi beberapa jam maupun hari setelah terbentuknya suatu bekuan darah
pada pembuluh darah di daerah tungkai. Gejalanya berupa nyeri dada dan
pernapasan yang singkat. Komplikasi dari trombosis vena dalam yakni dapat
menimbulkan emboli paru. Trombus yang terbentuk di tungkai bawah
tersebut dapat lepas dari tempatnya dan berjalan mengikuti aliran darah,
disebut dengan emboli. Emboli yang terbentuk dapat mengikuti aliran darah
hingga ke jantung dan paru. Biasanya emboli tersebut akan menyumbat di
salah satu atau lebih pembuluh darah paru, menimbulkan suatu keadaan yang
disebut dengan embolisme paru (pulmonary embolism).
Tingkat keparahan dari embolisme paru tergantung dari jumlah dan
ukuran dari emboli tersebut. Jika ukuran dari emboli kecil, maka akan terjadi
penyumbatan pada pembuluh darah paru yang kecil, sehingga menyebabkan
kematian jaringan paru (pulmonary infarction). Namun jika ukuran emboli
besar maka dapat terjadi penyumbatan pada sebagian atau seluruh darah dari
jantung kanan ke paru, sehingga menyebabkan kematian.
c) Sindrom post trombotik
Terjadi akibat kerusakan katup pada vena sehingga seharusnya darah
mengalir keatas yang dibawa oleh vena menjadi terkumpul pada tungkai
bawah. Ini mengakibatkan nyeri, pembengkakan dan ulkus pada kaki.
10. Penanganan dari trombosis vena dalam.
Tujuan penatalaksanaan DVT pada fase akut adalah :
1. Menghentikan bertambahnya trombus
2. Membatasi bengkak yang progresif pada tungkai
3. Melisiskan atau membuang bekuan darah (trombektomi) dan
mencegah disfungsi vena atau sindrom pasca trombosis (post
trombotic syndrome) di kemudian hari
4. Mencegah emboli
a. Antikoagulan
Unfractionated heparin (UFH) merupakan antikoagulan yang sudah lama
digunakkan untuk penatalaksanaan DVT pada saat awal. Mekanisme kerja utama
heparin adalah :

24

1) Meningkatkan kerja antitrombin III sebagai inhibitor faktor


pembekuan
2) Melepaskan tissue factor pathway inhibitor (TFPI) dari dinding
pembuluh darah
Terapi ini diberikan dengan bolus 80 IU/kg berat badan (BB) intravena
dilanjutkan dengan infus 18 IU/kgBB/jam dengan pemantauan nilai Activated
Partial Thromboplastin Time (APTT) sekitar 6 jam setelah bolus untuk mencapai
target APTT 1,5-2,5 kali nilai kontrol dan kemudian dipantau sedikitnya setiap
hari. Sebelum memulai terapi heparin, APTT, masa protrombin (prothrombin
timel/PT) dan jumlah trombosit harus diperiksa, terutama pada pasien dengan
resiko perdarahan yang tinggi atau dengan gangguan hati atau ginjal.
Heparin berat molekul rendah (low molecular weight heparin/LMWH)
dapat diberikan satu atau dua kali sehari secara subkutan dan mempunyai efikasi
yang baik. Keuntungan LMWH aalah resiko perdarahan mayor yang lebih kecil
dan tidak memerlukan pemantauan laboratorium yang sering dibandingkan
dengan UFH, kecuali pada pasien-pasien tertentu seperti gagal ginjal atau sangat
gemuk.
Pemberian antikoagulan UFH atau LMWH ini dilanjutkan dengan
antikoagulan oral yang bekerja dengan menghambat faktor pembekuan yang
memerlukan vitamin K. Antikoagulan oral yang sering digunakan adalah warparin
atau coumarin atau derivatnya. Obat ini diberikan bersama-sama saat awal terapi
heparin dengan pemantauan INR (International Normalized Ratio). Heparin
diberikan selama minimal 5 hari dan dapat dihentikan bila antikoagulan oral ini
mencapai target INR yaitu 2,0-3,0 selama 2 hari berturut-turut.
Lama pemberian antikoagulan masih bervariasi, tetapi pada umumnya
bergantung pada faktor resiko DVT tersebut. Pasien yang mengalami DVT harus
mendapatkan antikoagulan selama 6 minggu hingga 3 bulan jika mempunyai
faktor resiko yang reversibel, atau sedikitnya 6 bulan jika faktor resikonya tidak
diketahui (idiopatik). Sedangkan pada pasien yang mempunyai faktor resiko
molekular yang diturunkan seperti defisiensi antitrombin III, protein C atau S,
activated protein C resistance, atau dengan lupus antikoagulan/antibodi
25

antikardiolipin, antikoagulan oral diberikan lebih lama, bahkan dapat seumur


hidup. Pemberian antikoagulan seumur hidup ini juga diindikasikan pada pasien
yang mengalami lebih dari dua kali episode trombosis vena atau satu kali
trombosis pada kanker yang aktif.
b. Terapi Trombolitik
Terapi ini bertujuan untuk melisiskan trombus secara cepat dengan cara
mengaktifkan plasminogen menjadi plasmin. Terapi ini umumnya hanya efektif
pada fase awal dan penggunaannya harus benar-benar dipertimbangkan secara
baik karena mempunyai resiko perdarahan tiga kali lipat dibandingkan dengan
terapi antikoagulan saja. Pada umumnya terapi ini hanya dilakukan pada DVT
dengan oklusi total, terutama pada iliofemoral.
c. Trombektomi
Trombektomi, terutama dengan fistula arteriovena

sementara, harus

dipertimbangkan pada trombosis vena iliofemoral akut yang kurang dari 7 hari
dengan harapan hidup lebih dari 10 tahun.
d. Filter Vena Kava Inferior
Filter ini digunakkan pada trombosis diatas lutut pada kasus dimana
antikoagulan merupakan kontraindikasi atau gagal mencegah emboli berulang.
11. Prognosis
Semua pasien dengan trombosis vena dalam pada masa yang lama
mempunyai resiko terjadinya insufisiensi vena kronik.
Kira-kira 20% pasien dengan DVT yang tidak ditangani dapat
berkembang menjadi emboli paru, dan 10-20% dapat menyebabkan
kematian. Dengan antikoagulan terapi angka kematian dapat menurun
hingga 5 sampai 10 kali.

26

BAB III
PENUTUP
a. Kesimpulan
Trombosis vena dalam adalah suatu keadaan terjadinya gumpalan
darah (trombus) pada pembuluh darah balik (vena) dalam di daerah tungkai
bawah. Trombus terjadi karena perlambatan dari aliran darah, kelainan
dinding pembuluh darah, atau gangguan pembekuan darah yang sering
dinamakan dengan trias Virchow

27

Factor

resiko

thrombosis

vena

adalah

operasi,

kehamilan,

immobilisasi, kontrasepsi oral, penyakit jantung, proses keganasa, dan


obesitas. Manifestasinya tidak spesifik sehingga memerlukan pemeriksaan
objektif lanjutan. Pengobatannya yaitu untuk mencegah timbulnya emboli
paru, mengurangi morbiditas dan keluhan post flebitis dan mencegah
timbulnya hipertensi. Pengobatan yang dianjurkan adalah pemberian heparin
dan dilanjutkan dengan anti koagulan oral.

DAFTAR PUSTAKA

1. Afif, Syarif. 2011. Trombosis Vena Dalam. Akses 4 November 2013.


<www.scribd.com>
2. Anonim. 2001. Majalah Kedokteran Andalas No.2 Volume 25 Juli-Desember
2001.
3. Anthony L. Mescher. 2011. Histologi Dasar Junqueira. Jakarta :EGC.
4. Guyton, Arthur C. 2012. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta : EGC.
5. Noer, H. M. Sjaifoellah. 2000. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 3.
Jakarta : Balai Penertbit FKUI.

28

6. Price, Sylvia A dan Wilson, Lorraine M. 2012. Patofisiolofi Konsep Klinis


Proses-Proses Penyakit Vol.1 Edisi 6. Jakarta: EGC.
7. Rambe, Pricel Celia. 2011. Trombosis Vena Dalam. Akses 4 November 2013.
www.scribd.com
8. Robbins, dkk. 2007. Buku Ajar Patologi Edisi 7 volume 1. Jakarta : EGC.

29

Anda mungkin juga menyukai