Anda di halaman 1dari 34

LAPORAN PENDAHULUAN

THR (TOTAL HIP REPLACEMENT)

Untuk Menyelesaikan Tugas Profesi Keperawatan Medikal


Bedah Program Profesi Ners

Disusun Oleh:
Annida Hasanah, S.Kep
11194692010059

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS SARI MULIA
BANJARMASIN
2021
LEMBAR PERSETUJUAN

JUDUL KASUS : Total Hip Replacement (THR)


NAMA MAHASISWA : Annida Hasanah, S. Kep
NIM : 11194692010059

Banjarmasin, Februari 2021

Menyetujui,

Program Studi Profesi Ners RSUD Ulin Banjarmasin


Preseptor Akademik Preseptor Klinik

M. Riduansyah, Ns., M.Kep Mahyudi, S.Kep., Ns


NIK.1166072017105 NIP. 196707281988021001
LEMBAR PENGESAHAN

JUDUL KASUS : Total Hip Replacement (THR)


NAMA MAHASISWA : Annida Hasanah, S. Kep
NIM : 11194692010059

Banjarmasin, Februari 2021

Menyetujui,

Program Studi Profesi Ners RSUD Ulin Banjarmasin


Preseptor Akademik Preseptor Klinik

M. Riduansyah, Ns., M.Kep Mahyudi, S.Kep., Ns


NIK.1166072017105 NIP. 196707281988021001

Mengetahui,
Ketua Jurusan Program Studi Profesi Ners

Mohammad Basit, S. Kep., Ns., MM


NIK. 1166102012053
LAPORAN PENDAHULUAN FRAKTUR HEAD FEMUR
DENGAN TINDAKAN THR (TOTAL HIP REPLACEMENT)

A. Konsep Fraktur Head Femur


1. Anatomi Fisiologi

Head femur atau yang biasa disebut dengan kepala femur adalah
tombol tulang dibagian atas tulang paha. Bagian ini berbentuk seperti
bola yang menghubungkan antara paha dengan panggul dan
membentuk sendi panggul. Bagian head femur ini didukung dengan
adanya cairan synovial yang memungkinkan pergerakan kesegala arah.
Femur adalah tulang paha yang merupakan tulang panjang pada
ekstremitas bagian bawah. Poros femur panjang dan silindris serta
memuncak dibagian atas dengan tiga tonjolan yang disebut dengan
trokhanter mayor, trokhanter minor, dan kepala femur atau head femur.
Kepala femur adalah bagian tengah, yang merupakan bagian terbesar
dari tonjolan tersebut dan didukung oleh sebuah cabang kecil dari tulang
yang disebut dengan leher femur atau neck femur. Leher femur
mengarah menuju ke pinggul dengan sudut sekitar 126 derajat, sehingga
dapat menghubungkan dengan acetabulum. Sebuah gerakan pada
bagian ini dengan sudut kecil yang tidak teratut atau sudut besar yang
teratur dapat menyebabkan knock-lutut atau bowleggedness. Head
femur hampir bulat, halus, dan berselubung oleh tulang rawan. Tulang
rawan ini membantu melindungi tulang paha dan panggul selama
gerakan sendi panggul.
Sendi pinggul adalah sendi sinovial, dimana ditandai dengan
membran sinovial yang mengeluarkan cairan pelumas sinovial, yang
mengisi ruang pada tulang yang disebut dengan rongga sinovial. Cairan
ini membuat lapisan tulang rawan pada kepala femoral dan acetabulum
licin untuk mencegah gesekan dan kerusakan pada tulang (Kenney,
Caitlin. 2014). Pada Head Femur terdapat beberapa ligamen yaitu :
a. Ligamentum iliofmoraleapexnya terdapat pada os. Illium di antara
dua caput muskulus rectus femoris. Ligamen yang sangat tebal ini
berujung pada trochanter major dan minor. Ligamentum iniberfungsi
mempertahankan art. coxae tetap ekstensi, menghambat rotasi
femur, mencegah batang berputar ke belakang pada waktu berdiri
sehingga mengurangi kebutuhan kontraksi otot untuk
mempertahankan posisi tegak. Ligamentum iliofemorale adalah
ligamentum terkuat yang terdapat pada sendi ini.
b. Ligamentum ischiofemorale mengelilingi caput femoris, jika dilihat
dari posterior. Ligamentum ini berfungsi mencegah rotasi interna
(endorotasi) dari caput femoris.
c. Ligamentum pubofemoralis terdapat pada bagian
inferomedialdengan origo yang lebar pada pubis dan insersionya
pada trochanter minor.Ligamentum ini berfungsi mencegah abduksi,
ekstensi, dan rotasi externa (eksorotasi).
d. Ligamentum transversum acetabuli dan Ligamentum capitifemoris.
Bagian bolong disebut zona orbicularis. Capsula articularis:
membentang dari lingkar acetabulum ke linea intertrochanterica dan
crista intertrochanterica.
e. Ligamentum teres femoris berbentuk pipih dan segitiga.
Ligamentum ini melekat melalui puncaknya pada lubang yang ada
di caput femoris dan melalui dasarnya pada ligamentum
transversum dan pinggir incisura acetabuli. Ligamentum ini terletak
pada sendi dan dan dibungkus membrana synovial
Suplai darah head femur berasal dari sumber yaitu:
Vaskularisasi sampai ujung os femur pada Art.Coxae dibentuk
oleh tiga kelompok besar:
a. Pembuluh darah yang melewati colum femoris bersama dengan
retinacula kapsularis dan memasuki caput melalui foramina besar
pada basis caput. Pembuluh darah ini berasal dari cabang arteri
sirkumfleksa femoralis melalui anastomiss dengan arteri cruciate
dan arteri trochanterica. Pada orang dewasa ini merupakan sumber
pasokan darah terpenting.
b. Pembuluh darah dalam ligamentum teres yang memasuki caput
melaluli foramina kecil pada fovea. Pembuluh ini berasal dari
cabang arteri obturatoria.
c. Melalui diafisis dari pembuluh darah femoralis nutrisia.
Pada fraktur collum femoris sering terjadi terganggunya aliran darah
ke caput femori. Pembuluh darah Retinacular superior dan pembuluh
epifisial merupakan sumber terpenting untuk suplai darah. Pada fraktur
terbuka dapat menyebabkan kerusakan jaringan sekitarnya termasuk
pembuluh darah dan sinovial (Woon, Colin dan Taylor Ben. 2014).
Sumber utama dari pasokan darah ke head femur disuplai oleh
arteri sirkumfleksa femoralis medial dan lateral. Jika arteri ini rusak,
kepala femur tergantung pada arteri kecil di ligamentum kepala femur,
atau ligamentum teres. Ligamentum ini melekat pada acetabulum di satu
ujung dan fovea kepala femur di sisi lain. Fovea adalah cekungan bulat
telur di kepala femoral, hanya sedikit di bawah pusatnya. Kerusakan di
head femur jarang terjadi, tetapi dapat terjadi dalam kasus dislokasi
pinggul (Kenney, Caitlin. 2014).
2. Definisi
Fraktur head femur adalah rusaknya kontinuitas pada tulang femur
pada bagian kaput. Fraktur ini jarang terjadi dan berkaitan dengan
adanya fraktur dislokasi hip. Lokasi dan ukuran dari fraktur serta tingkat
kominusi tergantung pada posisi pinggul saat dislokasi. Kejadian head
femur ini jarang terjadi. Fraktur head femur terjadi sebagai akibat dari
cedera misalnya karena benturan, jatuh dari ketinggian, cedera olahraga,
kecelakaan industry. 5- 15% dari dislokasi pinggul posterior berhubungan
dengan fraktur head femur karena fraktur terjadi antara head femur dan
acetabulum posterior dimana dapat mengakibatkan fraktur impaksi atau
lekukan dari head femur (Woon, Colin dan Taylor Ben. 2014).

3. Etiologi
a. Penyebab fraktur femur antara lain:
1) Fraktur femur terbuka
Disebabkan oleh trauma langsung pada paha
2) Fraktur femur tertutup
Disebabkan oleh trauma langsung atau kondisi tertentu, seperti
degenerasi tulang (osteoporosis) dan tumor atau keganasan
tulang paha yang menyebabkan fraktur patologis (Arif Muttaqin,
2014).
b. Terjadinya fraktur head femur yaitu :
1) 10% dapat diakibatkan dari adanya dislokasi hip posterior
2) 25%-75% dapat disebabkan karena dislokasi hip anterior

4. Klasifikasi
a. Tipe 1
Fraktur terjadi di bawah fovea, tidak melibatkan bagian berat tubuh
dari head femur.
b. Tipe 2
Fraktur terjadi diatas fovea, dan melibatkan bagian berat tubuh dari
head femur.
c. Tipe 3
Fraktur yang terjadi pada di bagian head femur dengan disertai pula
pada bagian neck femur. Pada tipe ini, dapat menyebabkan
tingginya insiden AVN (avascular necrosis).
d. Tipe 4
Fraktur pada head femur yang melibatkan bagian acetabular (Woon,
Colin dan Taylor Ben. 2014).
Biasanya diperlukan waktu trauma yang cukup ekstrim untuk
menyebabkan kerusakan tersebut dan mungkin memerlukan
pembedahan. Gangguan ke salah satu arteri utama dapat menyebabkan
nekrosis avascular, di mana sel-sel mulai mati karena kekurangan suplai
darah. Ini merupakan komplikasi serius dan dapat memerlukan
penggantian pinggul (Kenney, Caitlin. 2014).

5. Manifestasi Klinis
Gejala Trias Klinis Dari Fraktur Head Femur
a. Nyeri hebat di tempat fraktur
b. Tidak mampu menggerakkan ekstremitas bawah
c. Rotasi luar dari kaki lebih pendek
d. Diikuti tanda gejala fraktur secara umum, seperti : fungsi berubah,
bengkak, kripitasi, sepsis pada fraktur terbuka, deformitas.

6. Patofisiologi
Fraktur femur adalah gangguan pada tulang paha biasanya
disebabkan oleh trauma gangguan adanya gaya dalam tubuh yaitu
stress, gangguan fisik, gangguan metabolik, patologik. Kemampuan otot
mendukung tulang turun, baik yang terbuka ataupun tertutup. Kerusakan
pembuluh darah akan mengakibatkan pendarahan, maka volume darah
menurun. COP menurun maka terjadi perubahan perfusi jaringan.
Hematoma akan mengeksudasi plasma dan poliferasi menjadi edem
lokal maka penumpukan di dalam tubuh. Fraktur femur terbuka atau
tertutup akan mengenai serabut saraf yang dapat menimbulkan
gangguan rasa nyaman seperti nyeri. Selain itu dapat mengenai tulang
dan dapat terjadi neurovaskuler yang menimbulkan nyeri gerak sehingga
mobilitas fisik terganggu. Disamping itu fraktur terbuka dapat mengenai
jaringan lunak yang kemungkinan dapat terjadi infeksi terkontaminasi
dengan udara luar dan kerusakan jaringan lunak akan mengakibatkan
kerusakan integritas kulit. Fraktur adalah patah tulang, biasanya
disebabkan oleh trauma gangguan metabolic, patologik yang terjadi itu
terbuka atau tertutup. Pada umumnya pada pasien fraktur terbuka
maupun tertutup akan dilakukan imobilitas yang bertujuan untuk
mempertahanakan fragmen yang telah dihubungkan, tetap pada
tempatnya sampai sembuh.
Jejas yang ditimbulkan karena adanya fraktur menyebabkan
rupturnya pembuluh darah sekitar yang dapat menyebabkan terjadinya
perdarahan. Respon dini terhadap kehilangan darah adalah kompensasi
tubuh, sebagai contoh vasokontriksi progresif dari kulit, otot dan sirkulasi
visceral. Karena ada cedera, respon terhadap berkurangnya volume
darah yang akut adalah peningkatan detah jantung sebagai usaha untuk
menjaga output jantung, pelepasan katekolamin- katekolamin endogen
meningkatkan tahanan pembuluh perifer. Hal ini akan meningkatkan
tekanan darah diastolik dan mengurangi tekanan nadi (pulse pressure),
tetapi hanya sedikit membantu peningkatan perfusi organ. Hormon-
hormon lain yang bersifat vasoaktif juga dilepaskan ke dalam sirkulasi
sewaktu terjadinya syok, termasuk histamin, bradikinin beta-endorpin
dan sejumlah besar prostanoid dan sitokin-sitokin lain. Substansi ini
berdampak besar pada mikro-sirkulasi dan permeabilitas pembuluh
darah.
Sewaktu tulang patah perdarahan biasanya terjadi disekitar
tempat patah dan kedalam jaringan lunak sekitar tulang tersebut.
Jaringan lunak juga biasanya mengalami kerusakan. Reaksi peradangan
biasanya timbul hebat setelah fraktur. Sel-sel darah putih dan sel mast
berakumulasi sehingga menyebabkan peningkatan aliran darah
ketempat tersebut. Fagositosis dan pembersihan sisa- sisa sel mati
dimulai. Ditempat patah terbentuk fibrin (hematoma fraktur) dan
berfungsi sebagai jala- jala untuk melakukan aktivitas astoeblast
terangsang dan terbentuk tulang baru imatur yang disebut callus. Bekuan
fibrin direabsorbsi dan sel- sel tulang baru mengalami remodeling untuk
membentuk tulang sejati.
Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut saraf yang
berkaitan dengan pembengkakan yang tidak ditangani dapat
menurunkan asupan darah ekstremitas dan mengakibatkan kerusakan
saraf perifer. Bila tidak terkontrol pembengkakan dapat mengakibatkan
peningkatan tekanan jaringan, oklusi darah total dapat berakibat
anoreksia jaringan yang mengakibatkan rusaknya serabut saraf meupun
jaringan otot. Komplikasi ini dinamakan sindrom kompartemen (Brunner
& Suddarth, 2012).
7. Pathway

Trauma (langsung/ tidak langsung) Fraktur patologis

Fraktur (terbuka atau tertutup)

Kehilangan integritas Perubahan fragmen tulang, Fraktur terbuka ujung


tulang kerusakan pada jaringan dan tulang menembus otot
pembuluh darah dan kulit

Ketidaksetabilan posisi Perdarahan lokal


fraktur apabila organ luka
fraktur digerakkan

Hematoma pada
Fragmen tulang yang daerah fraktur
patah menusuk organ Gangguan
sekitar panggul integritas kulit

Nyeri Akut
Aliran darah ke Port de entry
daerah distal kuman
berkurang atau
Kompartemen terhambat
sindrom, Resiko infeksi
keterbatasan
aktifitas
Warna jaringan
pucat, nadi lemah, Perfusi Perifer
sianosis, Tidak Efektif
Defisit perawatan kesemutan
diri

Kerusakan neuro
muskular

Gangguan fungsi
organ distal

Gangguan
mobilitas fisik

Tindakan Operasi
Total Hip
Replacement (THR)

Pre Operatif Intra Operatif Post Operatif

Rencana Pasca anastesi


Pembedahan Pembiusan Kesadaran
diturunkan
Gangguan perfusi
Kurang Informasi Insisi pembedahan termoregulasi
Kelemahan otot
pernapasan
Risiko hipotermia
Ansietas Terputusnya perioperatif
kontinuitas
Reflek batuk dan
jaringan pembuluh
menelan menurun
darah

Terakumulasi
Risiko
sekret
Perdarahan

Bersihan jalan
napas tidak
efektif

Lidah jatuh

Menutup
jalan napas
8. Penatalaksanaan Medis
a. Non operatif
1) Hip reduction
Indikasi:
a) Dislokasi akut
b) Mengurangi terjadinya dislokasi pinggul dalam waktu 6 jam
2) TDWB x 4-6 minggu, membatasi adduksi dan rotasi internal
Indikasi:
a) Fraktur head femur tipe 1
b) Fraktur head femur tipe 2 dengan laserasi tulang <1 mm
c) Fragmen tidak stabil
d) Sendi pinggul dalam kondisi stabil
b. Operatif
1) ORIF (Open Reduction Internal Fixation)
2) THR (Total Hip Replacement)

B. Konsep THR (Total Hip Replacement)


1. Definisi Total Hip Replacement

Total hip replacement  adalah penggantian panggul yang


rusak berat dengan sendi buatan (Smeltzer & Bare, 2009). Sendi
buatan ini terdiri dari 3 bagian yaitu mangkuk (acetabular), caput
dan batang (stem) (Sulaiman, 2011). Bagian luar acetabular
terbuat dari logam sementara bagian luar terbuat dari plastik. 
Berdasarkan berbagai definisi diatas, dapat disimpulkan
bahwa total hip replacement atau artroplasti hip adalah
penggantian panggul yang rusak berat dengan sendi buatan
untuk memberikan stabilitas dan gerakan yang dilakukan pada
penderita penyakit atau trauma sendi.
Pasien yang dilakukan THR umumnya berusia lebih dari 60
tahun dengan nyeri yang tak tertahankan atau kerusakan sendi
pinggul yang ireversibel. Pasien muda dengan kerusakan panggul
berat yang sangat nyeri dapat menjalani penggantian total
panggul (Smeltzer & Brunner, 2009).

2. Indikasi dan Kontraindikasi THR


a. Indikasi
Nyeri kronis hebat yang progresif disertai dengan buruknya
fungsi harian yang termasuk berjalan, menaiki tangga-tangga, dan
bahkan bangun dari posisi duduk, akhirnya menjadi sebab untuk
mempertimbangkan penggantian total pinggul. Karena sendi-sendi
pinggul yang diganti dapat gagal seiring dengan waktu, apakah dan
kapan untuk melakukan penggantian total pinggul adalah keputusan-
keputusan yang tidak mudah, terutama pada pasien-pasien yang
lebih muda. Penggantian umumnya dipertimbangkan setelah nyeri
menjadi begitu parah sehingga ia menghalangi fungsi yang normal
meskipun dengan penggunaan obat-obat anti peradangan dan/atau
nyeri. Penggantian total sendi pinggul adalah prosedur memilih, yang
berarti bahwa ia adalah pilihan yang dipilih di antara alternatif-
alternatif lain. Penggantian panggul total adalah keputusan yang
dibuat berdasarkan pemahaman resiko dan manfaat-manfaat yang
menguntungkan. Mengetahui keduanya adalah hal penting sebelum
mengambil keputusan.
Pergantian panggul total akan lebih bermanfaat apabila
dilakukan kepada klien atau pasien yang mengalami hal sebagai
berikut :
1) Panggul sakit terus sambil istirahat, baik siang atau malam hari.
2) Kekakuan dalam panggul membatasi kemampuan klien untuk
memindahkan atau mengangkat kaki klien.
3) Klien telah menggunakan pereda nyeri sedikit dari obat anti-
inflamasi atau glukosamin sulfat.
4) Klien memiliki efek samping yang berbahaya atau tidak
menyenangkan dari obat pinggul Klien
5) Perawatan lainnya seperti terapi fisik atau menggunakan alat
bantu kiprah seperti tongkat tidak menghilangkan rasa sakit
pinggul.
6) Sendi panggul sudah aus dan robek akibat proses penuaan
alami, trauma atau penyakit rematik.
7) Fraktur atau nekrosis iskemik
8) Pascaoperasi prosedur operasi sebelumnya, misalnya:
rekonstruksi bersama (osteotomy), arthrodesis, segmental atau
total penggantian pinggul (THR).
b. Kontraindikasi : pasien yang ada pus di daerah persendian panngul,
pasien dengan nanah dipersendian panggul, lansia yang menderita
osteoporosis.

3. Pemeriksaan Penunjang
Secara umum, pemeriksaan laboratorium atau diagnostik sangat
penting dilakukan untuk membantu menentukan diagnosa, memantau
perjalanan penyakit serta menentukan prognosa. Informasi yang
bermanfaat tentang pasien ortopedi dapat diperoroleh dari berbagai
prosedur diagnostik. Masing-masing prosedur mungkin tidak
diindikasikan untuk semua pasien. Akan tetapi, secara umum
pemeriksaan yang spesifik menunjukkan data yang paling penting
mengenai kondisi pasien. Pembagian pemeriksaan diagnostik dibagi
menjadi pemeriksaan diagnosik noninvasif dan invasif.
a. Pemeriksaan diagnostik noninvasif antara lain rontgen, MRI, dan
CT.
b. Pemeriksaan diagnostik invasif antara lain antrogram
c. Mielogram
d. Skan tulang
e. Aspirasi sendi
f. Biopsi
g. Artroskopi
h. Elektromiografi
i. Pemeriksaan laboratorium rutin
Pemeriksaan darah rutin, seperti hitung darah lengkap, kadar
elektrolit serum, dan pemeriksaan pembekuan darah, sering
diperlukan untuk pasien ortopedi. Pemeriksaan diagnostik khusus
akan dilakukan sesuai dengan kondisi medis pasien dan diagnosis
yang spesifik.

4. Penatalaksanaan Total Hip Replacement


Hingga saat ini para ilmuwan dan ahli bedah telah berusaha keras
untuk mendapatkan desain dan fixation terbaik antara femur dan
artificial hip joint. Sampai sekarang, ada dua metode yang digunakan
untuk memasang artificial hip joint, metode ini adalah cemented (dengan
semen tulang) dan cementless (tanpa semen tulang) total hip
replacement (THR).
a. Cemented Total Hip Replacement
Pada metode pemasangan ini, semen tulang digunakan untuk
merekatkan artificial hip joint ke dalam tulang femur. Semen tulang
tidak berfungsi seperti lem, melainkan sebagai material pengisi.
Hingga saat ini material dari semen tulang yang banyak digunakan
adalah polymethylmethacrylate (PMMA), dimana diperkenalkan oleh
Sir John Chanrley pada awal tahun 1960.

Cement THR

b. Cementless Total Hip Replacement


Cementless THR, juga disebut dengan uncemented THR
diperkenalkan pada awal 1980. Metode THR ini berkembang karena
pada cemented THR memiliki kekurangan. Pertama, pengisian
semen tulang kedalam tulang femur selama operasi dapat
menyebabkan gangguan pada sirkulasi dan dapat menghalangi
aliran darah. Kedua, semen tulang membutuhkan rata-rata 10 menit
untuk mengeraas. Dalam waktu ini, ada kemungkinan artificial hip
joint berubah posisi. Ketiga, semen tulang bisa retak dan
menyebabkan pergeseran dari implan. Untuk cementless artificial
hip joint, permukaan dari sistem artificial hip joint dibuat kasar. Hal
ini untuk menghasilkan gesekan yang baik antara artificial hp joint
dan kortikal sehingga lebih dapat terpasang dengan stabil. Pada
metode ini juga terdapat kekurangan. Pertama, ketika artificial hip
joint terpasang pada tulang, substansi tulang akan terdorong
sampai sistem sirkulasi darah dan menghalangi sirkulasi darah.
Femur dapat patah selama operasi karena beban yang besar.

Cementless THR

c. Hybrid Total Hip Replacement


Pada metode ini, menggabungkan antara metode cementeless
dan cemented THR. Kombinasi ini menghasilkan cementless
acetabular cup dengan femoral stem dipasang dengan
menggunakan semen. Metode dapatmengurangi kerusakan atau
kegagalan stem dari 30-40% sampai 3-4%

5. Teknik Operasi
Komponen THR yang umum diberikan:
a. Unipolar endoprosthesis
Disebut juga endoprosthesis Moore atau Austin-Moore.
Merupakan komponen logam campuran tunggal bermesin (single,
machined metal alloy) yang terdiri atas bagian femoral stem (batang),
leher, dan kepala. Kepala implan diartikulasi dengan kartilago
asetabulum asal.
Prosthesis ini umumnya digunakan pada pasien usia lanjut
dengan mobilitas minimal, yang mengalami fraktur collum femur
intrakapsular (subkapital) yang mengalami pergeseran (displaced).
b. Bipolar endoprosthesis
Endoprosthesis bipolar terdiri atas komponen asetabulum
dengan bahan logam campuran bersaput (polished metal alloy), yang
secara anatomis disamakan dengan asetabulum agar dapat
memberikan pembebanan permukaan (surface bearing). Kepala
komponen ini berbentuk sferikal serta berukuran besar. Di dalam
komponen terdapat pelapis polyethylene (polyethylene liner),
sehingga padanya dapat dipasang komponen femoral.
Struktur ini menyebabkan terjadinya pembebanan luar (outer
bearing interface) antara permukaan implan dan asetabulum asal;
serta pembebanan dalam (inner bearing interface) antara lapisan
polyethylene dan komponen femoral. Desain seperti ini secara teori
mengurangi gerakan pada asetabulum asal (pertemuan kartilago-
metal), dengan cara meningkatkan pergerakan pada bagian
prosthetik yang bebas bergerak (moveable); dan dengannya
mengurangi pembebanan (stress), aus (wear), atau erosi.
Penggunaan endoprosthesis bipolar sama dengan unipolar, atau
dapat pula digunakan pada arthroplasti revisi (revision arthroplasty).
c. True total hip components (komponen femoral & asetabular terpisah)
Komponen THA terdiri atas femoral stem (dalam berbagia
ukuran dan bentuk), leher femoral (dalam berbagai sudut dan
panjang), serta mangkuk (cup) asetabular dengan pelapis
polyethylene dalam berbagai ukuran dan inklinasi. Komposisi ini
memungkinkan dilakukannya pelapisan ulang (resurfacing) kedua sisi
pada sendi panggul, serta memungkinkan pencetakan individual
dalam ketepatan tertinggi.
Dibanding endoprosthesis lainnya, komponen THA merupakan
alat yang paling kompleks untuk dipasang secara benar, namun
merupakan teknik yang paling sering digunakan.
6. Jenis Implan Pada THR
a. Metal

Metal memiliki cakupan yang luas dalam aplikasiannya,


diantaranya fixasi patah tulang, penggantian tulang, external spints,
braces dan traction apparatus. Modulus elastis dantitik luluh
digabungkan dengan keuletan metal membuat material jenis ini cocok
untukmenopang beban tanpa mengakibatkan deformasi. Tiga
material yang biasa digunakan adalah Titanium, Stainless Steel dan
Paduan Cobalt-Chromium. Titanium dan paduanTitanium memiliki
kelebihan yaitu modulus elastisitas rendah dan resistansi korosi
tinggi,selain itu juga adanya lapisan oksida pada Titanium memiliki
pengaruh yang sangat signifikan terhadap pengintegrasian metal ini
pada jaringan tulang.
b. Polimer

Polimer adalah rangkaian panjang dari material dengan berat


molekul tinggi yang terdiridari pengulangan unit monomer. Polimer
memiliki sifat fisik yang mendekati jaringanhalus, oleh karena itu
polimer banyak digunakan untuk menggantikan kulit, tendon,tulang
rawan, pembuluh darah dll. Polimer mengalami degradasi pada
lingkungan tubuhdikarenakan faktor biokimia dan mekanik. Hal ini
menyebabkan adanya serangan ion,pembentukan ion hidroksil dan
terlarutnya oksigen sehingga terjadi iritasi pada jaringandan
menurunnya properti mekanik.
c. Keramik

Keramik adalah senyawa inorganik yang dalam biomaterial


diklasifikasikan menjadi 5kategori berdasarkan karakter makroskopis
permukaan ataupun stabilitas kimia padalingkungan tubuh yaitu:
karbon, alumina, zirconia, keramik gelas dan kalsium
fosfat.Keterbatasan dari keramik adalah kekuatan tarik dan
ketangguhan akan patah yangrendah sehingga aplikasinya terbatas.
Hasil dari tes ex-vivo mengindikasikan bahwakeramik gagal berikatan
karena lemahnya jaringan yang terbantuk pada system.

7. Perawatan Post Operasi


Drainase dengan menggunakan suction digunakan untuk mencegah
terjadinya hematoma. Dapat dilepas setelah 24 – 36 jam setelah operasi.
Fisioterapi yang dapat dilakukan post operasi fraktur head femur adalah
terapi latihan, dimana untuk melatih gerak dari femur. Terapi latihan
adalah usaha pengobatan dalam fisioterapi yang pelaksanaannya
menggunakan latihan-latihan gerakan tubuh, baik secara aktif maupun
pasif. Terapi yang dapat dilakukan post operasi yaitu:
a. Static Contraction
Terjadi kontraksi otot tanpa disertai perubahan panjang otot
dan tanpa gerakan pada sendi. Latihan ini dapat meningkatkan
tahanan perifer pembuluh darah, vena yang tertekan oleh otot yang
berkontraksi menyebabkan darah di dalam vena akan terdorong ke
proksimal yang dapat mengurangi oedem, dengan oedem
berkurang, maka rasa nyeri juga dapat berkurang. Latihan ini dapat
dilakukan pada hari pertama post op. cara melakukannya yaitu,
posisi pasien berbaring terlentang, ditujukan untuk otot quadriceps
femoris. Tangan terapis berada di bawah fossa poplitea sisi yang
sakit, lalu pasien diminta menekan tangan terapis selama 6 kali
hitungan. Latihan ini dilakukan sekali sehari dengan pengulangan
10-12 kali dan dilakukan setiap hari. Latihan ini diharapkan dapat
mengurangi oedem dan nyeri.
b. Passive Movement
Passive movement adalah gerakan yang ditimbulkan oleh
adanya kekuatan dari luar sementara itu otot pasien lemas. Passive
movement ada 2, yaitu :
1) Relaxed Passive Movement
Gerakan pasif hanya dilakukan sebatas timbul rasa nyeri. Bila
pasien sudah merasa nyeri pada batas lingkup gerak sendi
tertentu, maka gerakan dihentikan.
2) Forced Passive Movement
Forced Passive Movement bertujuan untuk menambah lingkup
gerak sendi. Tekniknya hampir sama dengan relaxed passive
movement, namun di sini pada akhir gerakan diberikan
penekanan sampai pasien mampu menahan rasa nyeri
c. Active Movement
Merupakan gerakan yang dilakukan oleh otot anggota gerak
tubuh pasien itu sendiri. Pada kondisi oedem, gerakan aktif ini dapat
menimbulkan “pumping action” yang akan mendorong cairan
bengkak mengikuti aliran darah ke proksimal. Latihan ini juga dapat
digunakan untuk tujuan mempertahankan kekuatan otot, latihan
koordinasi dan mempertahankan mobilitas sendi. Active Movement
terdiri dari :
1) Free Active Movement
Gerakan dilakukan sendiri oleh pasien, hal ini dapat
meningkatkan sirkulasi darah sehingga oedem akan berkurang,
jika oedem berkurang maka nyeri juga dapat berkurang.
Gerakan ini dapat menjaga lingkup gerak sendi dan
memelihara kekuatan otot.
2) Assisted Active Movement
Gerakan ini berasal dari pasien sendiri, sedangkan terapis
memfasilitasi gerakan dengan alat bantu, seperti sling, papan
licin ataupun tangan terapis sendiri. Latihan ini dapat
mengurangi nyeri karena merangsang relaksasi propioseptif.
3) Ressisted Active Movement
Ressisted Active Movement merupakan gerakan yang
dilakukan oleh pasien sendiri, namun ada penahanan saat otot
berkontraksi. Tahanan yang diberikan bertahap mulai dari
minimal sampai maksimal. Latihan ini dapat meningkatkan
kekuatan otot.
d. Hold Relax
Hold Relax adalah teknik latihan gerak yang mengkontraksikan
otot kelompok antagonis secara isometris dan diikuti relaksasi otot
tersebut. Kemudian dilakukan penguluran otot antagonis tersebut.
Teknik ini digunakan untuk meningkatkan lingkup gerak sendi.
e. Latihan Jalan
Latihan transfer dan ambulasi penting bagi pasien agar pasien
dapat kembali ke aktivitas sehari-hari. Latihan transfer dan ambulasi
di sini yang penting untuk pasien adalah latihan jalan. Mula-mula
latihan jalan dilakukan dengan menggunakan dua axilla kruk secara
bertahap dimulai dari non weight bearing atau tidak menumpu berat
badan sampai full weight bearing atau menumpu berat badan.
Metode jalan yang digunakan adalah swing, baik swing to ataupun
swing through dan dengan titik tumpu, baik two point gait, three
point gait ataupun four point gait. Latihan ini berguna untuk pasien
agar dapat mandiri walaupun masih menggunakan alat bantu.

8. Komplikasi
a. Risiko Dislokasi
Dislokasi merupakan risiko tertinggi yang dapat terjadi pada
minggu pertama, khhususnya mereka yang pernah memiliki
jaringan periartikular yang lemah, tindakan pembedahan revisi, atau
riwayat dislokasi sebelumnya. Karena itu tindakan pencegahan dan
edukasi pasien memegang peranan yang sangat
penting.Kebanyakan ahli bedah melakukan pendekatan
posterolateral pada sendi panggul, dan mendislokasi sendi tersebut
dengan hiperfleksi, adduksi, dan rotasi internal. Setelah dilakukan
hip replacement, kombinasi ketiga gerakan di atas dapat berisiko
menyebabkan re-dislokasi. Karena itu “bantal-abduksi” atau baji
(wedge) harus diletakkan di antara kedua kaki untuk
mempertahankan kedudukan (alignment) yang aman. Pasien
diajarkan untuk tidak melakukan fleksi panggul saat melakukan
gerakan meraih / menjangkau benda. Selain itu perlu disediakan
alat-bantu adaptif untuk melakukan perawatan anggota tubuh
segmen bawah. Selanjutnya dudukan toilet dan/atau bathub perlu
ditinggikan untuk mencegah fleksi panggul di atas 90 derajat.
Pengawasan ketat untuk mencegah dislokasi harus dilakukan
sedikitnya selama 6 minggu. Pada beberapa kondisi, dapat
diberikan abduction hip brace untuk mencegah redislokasi panggul.
Namun hal ini dapat menyebabkan keterbatasan gerak yang berat,
keterbatasan untuk melakukan aktivitas di kamar mandi (toiletting,
bathing, etc.) dan juga hambatan mobilitas.
b. Leg-Length Discrepancy (LLD)
Tidak jarang pasien merasakan adanya LLD pasca THR.
Karena itu pada tahap awal perlu disingkirkan kemungkinan
dislokasi. LLD didiagnosis bila terdapat perbedaan sedikitnya ¾
inchi atau lebih. Pada LLD yang besar, sementara dapat diberikan
peninggian alas kaki (lifts). Namun perlu dilihat pula penyebabnya,
apakah dapat diperbaiki dengan berjalannya terapi.
Beberapa kasus LLD terjadi sebagai konsekuensi adanya
ketidak-seimbangan pada pelvic obliquity yang terjadi dari imbalans
otot atau kontraktur panggul (mis: adductor tightness).
c. Risiko Deep Vein Thrombosis
DVT dapat terjadi setiap saat pada waktu operasi, atau dalam
6 minggu pertama pasca operasi. Insidens DVT pada THR tanpa
profilaksis adalah 40% - 70%. Insidens proximal clot (trombosis
pada vena popliteal atau bagian yang lebih proksimal) adalah 10% -
20%. Risiko emboli paru fatal adalah 0,5% - 5%.
Profilaksi ideal adalah dengan pemberian warfarin, dan
mempertahankan INR dalam nilai 2 – 3. Namun kebanyakan ahli
orthopedi merasa khawatir dengan risiko perdarahan, dan memilih
untuk mempertahankan INR dalam nilai 1,8 – 2.
Pilihan profilaksis lain yaitu enoxaparin, dapat diberikan 30 mg
subkutan per 12 jam. Bekuan tungkai bawah (calf clots) yang
menjalar dapat diatasi dengan pemberian antikoagulan selama 6
minggu – 3 bulan. Sedangkan DVT yang nyata diberikan
antikoagulan selama 3-6 bulan.

C. Konsep Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian
a. Data Biografi
Identitas pasien seperti umur, jenis kelamin, alamat, agama,
penaggung jawab, status perkawinan.
b. Riwayat Kesehatan
1) Riwayat medis dan kejadian yang lalu
2) Riwayat kejadian cedera, seperti kapan terjadi dan penyebab
terjadinya
c. Pemeriksaan fisik
1) Aktivitas/istirahat
Tanda: Keterbatasan/kehilangan fungsi pada bagian yang terkena
(mungkin segera, fraktur itu sendiri, atau terjadi secara sekunder,
dari pembengkakan jaringan, nyeri).
2) Sikulasi
Tanda: Hipertensi (kadang-kadang terlihat sebagai respon
terhadap nyeri/ansietas) atau hipotensi (kehilangan darah).
Takikardia (respon stres, hipovolemia). Penurunan/tak ada nadi
pada bagian distal yang cedera, pengisian kapiler lambat, pucat
pada bagian yang terkena. Pembengkakan jaringan atau massa
hematoma pada sisi cedera.
3) Neurosensori
Gejala: hilang gerakan/sensasi, spasme otot, kebas/kesemutan
(parestesis).
Tanda: deformitas lokal, angulasi abnormal, pemendekan, rotasi,
krepitasi (bunyi berderit), spasme otot, terlihat kelemahan/hilang
fungsi. Agitasi (mungkin berhubungan dengan nyeri/ansietas atau
trauma lain).
4) Nyeri/kenyamanan
Gejala : nyeri berat tiba-tiba pada saat cedera (mungkin
terlokalisasi pada area jaringan/kerusakan tulang, dapat berkurang
pada imobilisasi), tidak ada nyeri akibat kerusakan saraf.
Spasme/kram otot (setelah imobilisasi)
5) Keamanan
Tanda: laserasi kulit, avulsi jaringan, perdarahan, perubahan
warna. Pembengkakan lokal (dapat meningkat secara bertahap
atau tiba-tiba).
6) Keadaan Lokal
5 P yaitu Pain, Palor, Parestesia, Pulse, Pergerakan. Pemeriksaan
pada sistem muskuloskeletal adalah harus diperhitungkan
keadaan proksimal serta bagian distal terutama mengenai status
neurovaskuler (untuk status neurovaskuler)
a) Look (inspeksi)
Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain:
 Cicatriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan
seperti bekas operasi).
 Fistulae. 
 Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau
hyperpigmentasi.
 Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal
yang tidak biasa (abnormal).
 Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas)
 Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa)
b) Feel (palpasi) 
Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi pasien
diperbaiki mulai dari posisi netral (posisi anatomi). Pada
dasarnya ini merupakan pemeriksaan yang memberikan
informasi dua arah, baik pemeriksa maupun pasien. Yang perlu
dicatat adalah: Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan
kelembaban kulit, apabila ada pembengkakan apakah terdapat
fluktuasi atau oedema terutama disekitar persendian, nyeri
tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan.
Otot: tonus pada waktu relaksasi atau kontraksi, benjolan yang
terdapat di permukaan atau melekat pada tulang. Selain itu
juga diperiksa status neurovaskuler. Apabila ada benjolan,
maka sifat benjolan perlu dideskripsikan permukaannya,
konsistensinya, pergerakan terhadap dasar atau
permukaannya, nyeri atau tidak, dan ukurannya.
c) Move (pergerakan terutama lingkup gerak)
Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian diteruskan
dengan menggerakan ekstrimitas dan dicatat apakah terdapat
keluhan nyeri pada pergerakan. Pencatatan lingkup gerak ini
perlu, agar dapat mengevaluasi keadaan sebelum dan
sesudahnya. Gerakan sendi dicatat dengan ukuran derajat, dari
tiap arah pergerakan mulai dari titik 0 (posisi netral) atau dalam
ukuran metrik. Pemeriksaan ini menentukan apakah ada
gangguan gerak (mobilitas) atau tidak. Pergerakan yang dilihat
adalah gerakan aktif dan pasif.
7) Pemeriksaan Diagnostik
a) Pemeriksaan Radiologi
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah
“pencitraan” menggunakan sinar rontgen (x-ray). Untuk
mendapatkan gambaran 3 dimensi keadaan dan kedudukan
tulang yang sulit, maka diperlukan 2 proyeksi yaitu AP atau PA
dan lateral. Dalam keadaan tertentu diperlukan proyeksi
tambahan (khusus) ada indikasi untuk memperlihatkan
pathologi yang dicari karena adanya superposisi. Perlu disadari
bahwa permintaan x-ray harus atas dasar indikasi kegunaan
pemeriksaan penunjang dan hasilnya dibaca sesuai dengan
permintaan.
 Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi
struktur yang lain tertutup yang sulit divisualisasi. Pada
kasus ini ditemukan kerusakan struktur yang kompleks
dimana tidak pada satu struktur saja tapi pada struktur lain
juga mengalaminya.
 Myelografi: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal
dan pembuluh darah di ruang tulang vertebrae yang
mengalami kerusakan akibat trauma.
 Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang
rusak karena ruda paksa.
 Computed Tomografi-Scanning: menggambarkan potongan
secara transversal dari tulang dimana didapatkan suatu
struktur tulang yang rusak.
 MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.
b) Pemeriksaan Laboratorium
 Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap
penyembuhan tulang.
 Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan
menunjukkan kegiatan osteoblastik dalam membentuk
tulang.
 Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase
(LDH-5), Aspartat Amino Transferase (AST), Aldolase yang
meningkat pada tahap penyembuhan tulang.
c) Pemeriksaan lain-lain
 Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas:
didapatkan mikroorganisme penyebab infeksi.
 Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama
dengan pemeriksaan diatas tapi lebih dindikasikan bila
terjadi infeksi.
 Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang
diakibatkan fraktur.
 Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau
sobek karena trauma yang berlebihan.
 Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya
infeksi pada tulang.

2. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik
b. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan faktor mekanis
c. Perfusi perifer tidak efektif berhubungan dengan trauma
d. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan integritas
struktur tulang
e. Defisit perawatan diri berhubungan dengan gangguan
muskuloskeletal
f. Ansietas berhubungan dengan krisis situasional
g. Bersihan jalan napas tidak efektif Bersihan jalan napas tidak efektif
berhubungan dengan sekresi yang tertahan
h. Risiko perdarahan dibuktikan dengan factor risiko tindakan
pembedahan
i. Risiko hipotermia perioperatif dibuktikan dengan faktor risiko
prosedur pembedahan

3. Diagnosa Keperawatan
No Diagnosa keperawatan SLKI SIKI
1. Nyeri akut (D.0077) Tingkat Nyeri (L.08066) Manajemen Nyeri (I.08238)
Setelah dilakukan Observasi
tindakan keperawatan 1 x 1. Identifikasi lokasi,
24 jam tingkat nyeri dapat karakteristrik, durasi,
menurun dengan kriteria frekuensi, kualiats dan
hasil : intensitas nyeri
1. Kemampuan 2. Identitas skala nyeri
menuntaskan aktivitas 3. Identifikasi faktor yang
meningkat memperberat nyeri
2. Keluhan nyeri
menurun Terapeutik
3. Meringis menurun 1. Berikan tehnik non
4. Gelisah menurun farmakologis dalam
5. Kesulitan tidur menangani nyeri
menurun 2. Kontrol lingkungan yang
memperberat rasa nyeri
3. Fasilitasi istirahat dan tidur

Edukasi
1. Jelaskan strategi
mengurangi nyeri
2. Ajarkan tehnik non
farmakologis untuk
mengurangi nyeri

Kolaborasi
Kolaborasi pemberian
analgetik, jika perlu
2. Gangguan Integritas Integritas Kulit dan Perawatan Integritas Kulit
Kulit/ Jaringan Jaringan (L.14125) (I.11353)
(D.0129) Setelah dilakukan Observasi
tindakan keperawatan 1 x 1. Identifikasi penyebab
24 jam diharapkan gangguan integritas kulit
integritas kulit dan
jaringan dapat meningkat Terapeutik
dengan kriteria hasil : 1. Ubah posisi tiap 2 jam jika
1. Elastisitas meningkat tirah baring
2. Hidrasi meningkat 2. Lakukan pemijatan pada
3. Kerusakan jaringan area penonjolan tulang,
menurun jika perlu
4. Kerusakan lapisan 3. Gunakan produk berbahan
kulit menurun petrolium atau minyak
5. Kemerahan menurun pada kulit kering
6. Nyeri menurun 4. Gunakan produk berbahan
7. Suhu kulit membaik ringan/ alami hipoalergik
8. Sensasi membaik pada kulit sensitif
9. Tekstur membaik 5. Hindari produk berbahan
dasar alkohol pada kulit
kering

Edukasi
1. Anjurkan menggunakan
pelembab
2. Anjurkan minum air yang
cukup
3. Anjurkan meningkatkan
asupan nutrisi
4. Anjurkan meningkatkan
asupan buah dan sayur
5. Anjurkan mandi dan
menggunakan sabun
secukupnya
3. Perfusi Perifer Tidak Perfusi Perifer (L.14125) Perawatan Sirkulasi (I.02079)
Efektif (D.0009) Setelah dilakukan Observasi
tindakan keperawatan 1 x 1. Periksa sirkulasi perifer
24 jam diharapkan perfusi 2. Identifikasi faktor risiko
perifer dapat meningkat gangguan sirkulasi
dengan kriteria hasil : 3. Monitor panas,
1. Denyut nadi perifer kemerahan, nyeri atau
meningkat bengkak pada ekstremitas
2. Warna kulit pucat
menurun Terapeutik
3. Pengisian kapiler 1. Hindari pemasangan infus
membaik atau pengambilan darah di
4. Akral membaik area keterbatasan perfusi
5. Turgor kulit membaik 2. Hindari pengukuran
6. Tekanan darah sistolik tekanan darah pada
membaik ekstremitas dengan
7. Tekanan darah keterbatasan perfusi
diastolic membaik 3. Lakukan pencegahan
infeksi
4. Lakukan perawatan kaki
dan kuku
5. Lakukan hidrasi

Edukasi
1. Anjurkan menggunakan
obat penurun tekanan
darah, antikoagulan dan
penurun kolestrol
2. Informasikan tanda dan
gejala darurat yang harus
dilaporkan
4. Gangguan Mobilitas Mobilitas Fisik (L.05042) Dukungan Mobilisasi
Fisik (D.0054) Setelah dilakukan (I.05173)
tindakan keperawatan 1 x Observasi
24 jam diharapkan 1. Identifikasi adanya nyeri
mobilitas fisik dapat atau keluhan fisik lainnya
meningkat dengan kriteria 2. Identifikasi toleransi fisik
hasil : melakukan pergerakan
1. Pergerakan 3. Monitor frekuensi jantung
ekstremitas meningkat dan tekanan darah
2. Kekuatan otot sebelum memulai
meningkat mobilisasi
3. Rentang gerak (ROM) 4. Monitor kondisi umum
meningkat selama melakukan
4. Nyeri menurun mobilisasi
5. Kecemasan menurun
6. Kaku sendi menurun Terapeutik
7. Gerakan terbatas 1. Fasilitasi aktivitas
menurun mobilisasi dengan alat
8. Kelemahan fisik bantu/fasilitasi melakukan
menurun pergerakan
2. Libatkan keluarga untuk
membantu pasien dalam
meningkatkan pasien
dalam meningkatkan
pergerakan

Edukasi
1. Jelaskan tujuan dan
prosedur mobilisasi
2. Anjurkan melakukan
mobilisasi dini
3. Ajarkan mobilisasi
sederhana yang harus
dilakukan
5. Defisit Perawatan Diri Perawatan Diri (L.11103) Dukungan Perawatan Diri
(D.0109) Setelah dilakukan (I.11348)
tindakan keperawatan 1 x Observasi
24 jam diharapkan 1. Identifikasi kebiasaan
perawatan diri klien aktivitas perawatn diri
meningkat dengan kriteria sesuai usia
hasil : 2. Monitor tingkat
1. Kemampuan mandi kemandirian
meningkat 3. Identifikasi kebutuhan alat
2. Kemampuan bantu kebersihan diri,
mengenakan pakaian berpakaian, berhias dan
meningkat makan
3. Kemampuan makan
meningkat Terapeutik
4. Kemampuan ke toilet 1. Sediakan lingkungan yang
meningkat terapeutik
5. Verbalisasi keinginan 2. Siapkan keperluan pribadi
melakukan perawatn 3. Dampingi perawatan diri
diri meningkat sampai mandiri
6. Minat melakukan 4. Fasilitasi untuk menerima
perawatan diri keadaan ketergantungan
meningkat 5. Fasilitasi kemandirian,
7. Mempertahankan bantu jika tidak mampu
kebersihan diri melakukan perawatan diri
meningkat 6. Jadwalkan rutinitas
8. Mempertahankan perawatan diri
kebersihan mulut
meningkat Edukasi
Anjurkan melakukan
perawatan diri secara
konsisten sesuai kemampuan
6. Ansietas (D.0080) Tingkat Ansietas Reduksi Ansietas (I.09314)
(L.09093) Observasi
Setelah dilakukan 1. Identifikasi saat tingkat
tindakan keperawatan 1 x ansietas berubah
24 jam diharapkan tingkat 2. Identifikasi kemampuan
ansietas menurun dengan mengambil keputusan
kriteria hasil: 3. Monitor tanda- tanda
1. Verbalisasi ansietas
kebingungan
menurun Terapeutik
2. Verbalisasi khawatir 1. Ciptakan suasana
akibat kondisi yang terapeutik untuk
dihadapi menurun menumbuhkan
3. Perilaku gelisah kepercayaan
menurun 2. Temani pasien untuk
4. Perilaku tegang mengurangi kecemasan
menurun 3. Pahami situasi yang
5. Keluhan pusing membuat ansietas
menurun 4. Dengarkan dengan penuh
6. Pucat menurun perhatian
7. Pola tidur membaik 5. Gunakan pendekatan
tenang dan meyakinkan

Edukasi
1. Jelaskan prosedur,
termasuk sensasi yang
mungkin dialami
2. Informasikan secara
faktual mengenai
diagnosis, pengobatan dan
prognosis
3. Anjurkan keluarga untuk
tetap bersama pasien
4. Anjurkan mengungkapkan
perasaan dan persepsi
5. Latih kegiatan pengalihan
untuk mengurangi
ketegangan
6. Latih teknik relaksasi

Kolaborasi
Kolaborasi pemberian obat
antiansietas, jika perlu
7. Bersihan Jalan Napas Bersihan Jalan Napas Manajemen Jalan Napas
Tidak Efektif (D.0001) (L.01001) (I.01011)
Setelah dilakukan Observasi
tindakan keperawatan 1. Monitor pola napas
selama 1 x 24 2. Monitor bunyi napas
diharapkan bersihan jalan 3. Monitor sputum
napas klien meningkat
dengan kriteria hasil : Terapeutik
1. Produksi sputum 1. Pertahankan kepatenan
menurun jalan napas
2. Mengi menurun 2. Lakukan penghisapan
3. Wheezing menurun lendir kurang dari 15 detik
4. Dispnea menurun 3. Berikan oksigen
5. Batuk efektif
meningkat Edukasi
Kolaborasi pemberian
bronkodilator, ekspektoran,
mukolitik
8. Risiko Perdarahan Tingkat Perdarahan Pencegahan Syok (I.02068)
(D.0012) (L.02017) Observasi
Setelah dilakukan 1. Monitor status
tindakan keperawatan 1 x kardiopulmonal
24 jam diharapkan tingkat 2. Monitor status oksigenasi
perdarahan klien menurun 3. Monitor status cairan
dengan kriteria hasil : 4. Periksa tingkat kesadaran
1. Kelembaban dan respon pupil
membrane mukosa
meningkat Terapeutik
2. Kelembabpan kulit 1. Berikan oksigen untuk
meningkat mempertahankan saturasi
3. Perdarahan pasca oksigen >94 %
operasi menurun 2. Persiapkan intubasi dan
4. Hemoglobin membaik ventilasi mekanis
5. Hematocrit membaik 3. Lakukan penekanan
6. Tekanan darah langsung pada perdarahan
membaik eksternal
7. Suhu tubuh membaik 4. Pasang jalur IV berukuran
besar
5. Pasang kateter urin untuk
menilai produksi urin

Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian IV
2. Kolaborasi pemberian
transfusi
9. Risiko Hipotermia Termoregulasi (L.14134) Manajemen Hipotermia
Perioperatif (D.0141) Setelah dilakukan (I.14507)
tindakan keperawatan 1 x Observasi
24 jam diharapkan 1. Monitor suhu tubuh
termoregulasi dapat 2. Identifikasi penyebab
membaik dengan kriteria hipotermia
hasil : 3. Monitor tanda dan gejala
1. Menggigil menurun akibat hipotermia
2. Kulit merah menurun
3. Kejang menurun Terapeutik
4. Pucat menurun 1. Sediakan lingkungan yang
5. Dasar kuku sianosis hangat
menurun 2. Ganti pakaian atau linen
6. Suhu tubuh membaik yang basah
7. Suhu kulit membaik 3. Lakukan penghangatan
8. Tekanan darah pasif
membaik 4. Lakukan penghangatan
aktif

DAFTAR PUSTAKA
Caitlin Kenney. 2014. Femoral Head Fracture. Jakarta: Salemba Medika

Colin Woon, Ben Taylor. 2014. Femoral Head Fracture Nealon, Thomas F. 2015.

Ketrampilan Pokok Ilmu Bedah ED.4. Jakarta: EGC

Eden, Greg. 2011. Total Hip Replacement. YPO. New Zealand.

PPNI. 2016. Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia Definisi dan Indikator

Diagnostik Edisi 1. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat PPNI

PPNI. 2016. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia Definisi dan Tindakan

Keperawatan Edisi 1. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat PPNI

PPNI. 2016. Standar Luaran Keperawatan Indonesia Definisi dan Kriteria Hasil

Keperawatan Edisi 1. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat PPNI

Smeltzer, Suzanne C. 2009. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &

Suddarth, Edisi 8, Volume 3. Jakarta : EGC

Syaifuddin. 2016. Anatomi Fisiologi untuk Mahasiswa Keperawatan. Jakarta:

EGC.

Anda mungkin juga menyukai