Anda di halaman 1dari 23

KEPERAWATAN KEGAWATDARURATAN

PROSEDUR PEMASANGAN COLLAR NECK, BALUT BIDAI


DAN TRANSPORTASI

KELOMPOK 9 :

1. Suci Anggun Pratiwi (201821035)


2. Triya Ageta Seviani (201821036)
3. Maria Vriska H.G (201821037)

PRODI DIII KEPERAWATAN


STIKES ST. ELISABETH SEMARANG
2019/2020
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Aplikasi pemberian neck collar adalah sebagai fiksasi, untuk
membatasi terjadinya pergerakan yang berlebihan pada tulang leher,
mengurangi beban kerja dari otot-otot leher, memberikan alignment yang
baik pada tulang leher dan memberikan stabilisasi pada cervical spine.
Pemakaian neck collar memberikan penyanggaan pada leher sehingga
diperoleh penurunan kerja dari otot-otot statik. Kondisi ini memungkinkan
terjadinya relaksasi sehingga akan didapatkan pengurangan nyeri dan
penurunan disabilitas dari fungsi leher. Disamping itu pemakaian neck
collar bermanfaat untuk mencegah terjadinya gerakan leher yang
berlebihan sehingga mencegah terjadinya cidera ulang dan memberikan
kesempatan pada proses penyembuhan jaringan. Manfaat dari pemakaian
neck collar yang lain adalah mengurangi beban intradiskal sehingga
menurunkan resiko terjadinya cidera yang lebih berat. Pembatasan gerakan
yang terjadi melalui proses proses sensory feed back yang mengingatkan
untuk tidak melakukan gerakan yang lebih dari gerakan yang dibatasi.
Neck collar dapat membatasi gerakan dari kepala. ”Pemakaian neck collar
dapat membantu meminimalkan keluhan akibat penekanan syaraf”3
Tulang vertebra servikal dapat beristirahat dan terbatas pergerakannya
oleh karena adanya neck collar. Pemakaian neck collar dapat membantu
memaksimalkan pembukaan dari foramen intervertebral dan
mempertahankan kepala pada posisi netral atau sedikit fleksi leher.
Hampir setiap hari di Rumah Sakit banyak terjadi pemindahan /
pengangkatan pasien yang darurat atau kiritis, terutama di Unit Gawat
Darurat dan juga di Instalasi Rawat Jalan, serta di Instalasi pelayanan
pasien lainnya. Karena itu pemindahan/pengangkatan pasien
membutuhkan cara-cara tersendiri, baik teknik maupun keperluan/tujuan
pemindahan/pengangkatan pasien, Setiap hari banyak penderita diangkat
dan dipindahkan, banyak petugas kesehatan yang terlibat,sarana yang
digunakan serta teknik yang digunakan, kadang juga terjadi salah
mengangkat, salah teknik, dan harus diulang bahkan ada pula yang cedera.
Kondisi ekseternal lain seperti kondisi tempat, sarana dan cuaca yang
menyertai penderita / petugas beraneka ragam dan tidak ada satu kondisi
atau rumus yang pasti bagaimana mengangkat dan memindahkan penderita
saat mengangkat dan memindahkan penderita.Tranportasi bukanlah
sekedar mengantar pasien ke rumah sakit, memindahkan dari satu unit
pelayanan ke unit lainnya. Serangkaian tugas harus dilakukan sejak pasien
dimasukkan ke dalam ambulans, dipindahkan kea lat transport pasien
hingga diambil alih oleh pihak lain. Pasien yang menjalani rawat inap di
rumah sakit, pasti akan mengalami proses pemindahan dari ruang
perawatan ke ruang lain seperti untuk keperluan medical check up, ruang
operasi, dll. Hal ini akan mengakibatkan resiko low back point baik bagi
pasien maupun bagi perawat. Bila pasien akan melakukan operasi biasanya
akan dipindahkan ke ruang transit sebelum masuk ke ruang operasi.
B. Tujuan
a) Tujuan Umum

Agar mahasiswa mengerti tentang prosedur pemasangan collar


neck, balut bidai dan transportasi dapat menambah wawasan bagi
mahasiswa keperawatan dan masyarakat umum.

b) Tujuan Khusus

1. Mengetahui pengertian dari pemasangan collar neck, balut bidai


dan transportasi.
2. Mengetahui Tujuan dari pemasangan collar neck, balut bidai dan
transportasi.
3. Mengetahui indikasi dan kontraindikasi dari pemasangan collar
neck, balut bidai dan transportasi.
4. Mengetahui prosedur pemasangan collar neck, balut bidai dan
transportasi.
5. Mengetahui hal-hal yang diperhatikan dalam pemasangan collar
neck, balut bidai dan transportasi.
C. Manfaat
Agar mahasiswa mengetahui tentang pemasangan collar neck, balut
bidai dan transportasi, dan mahasiswa mampu menerapkan dalam tindakan
keperawatan.
BAB II
ISI
I. Neck Collar
A. Pengertian Alat neck collar
Alat neck collar untuk immobilisasi leher (mempertahankan tulang
servikal), mencegah pergerakan tulang servik yang patah.
B. Jenis Jenis Cervical Collar
1. Soft Servical Collar

2. Hard Servical Collar

3. SOMI (Sternal Occipital Mandibular Immobilizer)


4. Xcollar Extrication Collar

C. Cara mengukur Neck Collar


1. Penggunaan ukuran yang tepat sangatlah penting. Cervical collar yang
terlalu pendek tidak akan berfungsi dengan baik sedangkan cervical
collar yang terlalu tinggi akan menyebabkan hiperekstensi.
Gunakanlah cervical collar yang paling tinggi untuk pasien tersebut
namun tidak menyebabkan hiperekstensi. Cara mengukur untuk
menentukan cervical collar yang tepat adalah mengukur jarak anatara
garis imajiner yang ditarik dari atas bahu dan bawah dagu pasien.
2. Gunakan jari-jari untuk visualisasi jarak bahu ke dagu pasien
3. Kemudian gunakan jari-jari tersebut untuk memilih cervical collar
yang sesuai dengan dimensi pengukuran
D. Tujuan tindakan
Sebagai acuan untuk menetapkan langkah-langkah dalam pemasangan
neck collar guna mencegah bertambahnya kerusakan tulang servik dan
spinal cord dan mengurangi rasa sakit.
E. Indikasi
1. Pasien cedera kepala disertai dengan penurunan kesadaran
2. Adanya jejas daerah klavikula ke arah cranial
3. Pasien multi trauma
4. Biomekanika trauma yang mendukung
5. Patah tulang leher
F. Kontraindikasi
1. Hindari posisi tengkurap dan trendelenburg.
2. Elevasi bed bagian kepala digunakan untuk menurunkan tekanan
intrakranial.
3. Kepala pasien harus berada dalm posis netral tanpa rotasi ke kiri atau
kanan, flexion atau extension dari leher.
4. Elevasi bed bagian kepala diatas 40 akan berkontribusi terhadap
postural hipotensi dan penurunan perfusi otak.
5. Meminimalisasi stimulus yang berbahaya, berikan penjelasan sebelum
menyentuh atau melakukan prosedur.
6. Rencanakan aktivitas keperawatan. Jarak antara aktivitas keperawatan
paling sedikit 15 menit.
7. Elevasi kepala merupakan kontra indikasi pada psien hipotensi sebab
akan mempengaruhi CPP.
G. Prosedur kerja
N ASPEK YANG DINILAI
O
A. PRA INTERAKSI
1. Persiapan Alat :
a. Neck collar sesuai ukuran
b. Bantal pasir
c. Handscoen
2. Persiapan pasien
a. Informed consent
b. Berikan penjelasan tentang tindakan yang dilakukan
c. Posisi pasien: terlentang, dengan posisi leher segaris atau
anatomi

B. FASE ORIENTASI
1. Mengucapkan salam
2. Memperkenalkan diri
3. menjelaskan tujuan
4. Menjelaskan langkah prosedur
5. Menanyakan kesiapan pasien

C. FASE KERJA
1. Mencuci tangan
2. Petugas menggunakan masker, handscoen
3. Pegang kepala dengan cara satu tangan memegang bagian kanan
kepala mulai dari mandibula ke arah temporal, demikian juga bagian
sebelah kiri dengan tangan yang lain dengan cara yang sama.
4. Petugas lainnya memasukkan neck collar secara perlahan kebagian
belakang leher dengan sedikit melewati leher.
5. Letakkan bagian Neck collar yang berlekuk tepat pada dagu
6. Rekatkan 2 sisi neck collar satu sama lain
7. Pasang bantal pasir di kedua sisi kepala pasien.
Pemakaian kollar leher, bantal pasir atau kantung IV untuk
mempertahankan agar leher stabil, dan menggunakan papan
punggung bila memindahkan pasien

D. FASE TERMINASI
1. Merapikan pasien
2. Melakukan evaluasi
3. Menyampaikan rencana tindak lanjut
4. Berpamitan
5. Membereskan alat
6. Mencuci tangan

E. PENAMPILAN SELAMA TINDAKAN


1. Ketenangan selama melakukan tindakan
2. Melakukan komunikasi terapeutik selama tindakan
3. Ketelitian
4. Menjaga keamanan pasien
Menjaga keamanan perawat / petugas

H. Hal-hal yang perlu diperhatikan


1. Catat seluruh tindakan yang dilakukan dan respons pasien
2. Pemasangan jangan terlalu kuat atau terlalu longga
II. Balut Bidai
A. Pengertian Balut bidai
Balut bidai adalah tindakan memfiksasi /mengimobilisasi bagian tubuh
yang mengalami cidera dengan menggunakan benda yang bersifat kaku
maupun fleksibel sebagai fiksator /imobilisator.
B. Macam- macam Balut dan bidai
Macam-macam balutan :
1. Pembalut segitiga / mitella. Menurut Susilowati (2015)
pembalut mitella merupakan kain mori (tidak berkapur) putih
yang berbentuk segitiga dengan karakteristik tipis, lemas dan
kuat. Menurut Davis dkk (2016), pembalut segitiga merupakan
kain yang memiliki tiga sudut sisi dengan lebar alasnya
sepanjang empat kaki dan dapat digunakan sebanyak 32 cara

2. Pembalut pita gulung / verband

3. Pembalut elastis / elastic verband. Menurut Simmers (2009)


perban elastis termasuk mudah untuk diterapkan dan mudah
menyesuaikan dengan bentuk tubuh yang cidera. Penggunaan
perban elastis yang terlalu ketat atau longgar dapat
menghentikan atau membatasi sirkulasi darah.
4. Pembalut cepat / quick verband

Macam-macam bidai :

1. Rigid splints
Rigid splints diproduksi melalui perusahan material dan dapat
digunakan pada sisi samping, depan, atau belakang pada ekstremitas
yang terkena cidera Schottke (2016). Terdapat beberapa tipe yang
termasuk dalam rigid splints yakni padded board splints yang
merupakan potongan kayu dengan ukuran 12” x 3” dengan sudut
membuat dan dilapisi ½” busa guna kenyamanan pasien dan lapisi
dengan kain vinil supaya tahan lama dan mudah dibersihkan (Alimed,
2017), molded plastic atau aluminum maleable (SAM) splints, dan
folded cardboard splints
2. Soft splints
Soft splints merupakan bidai yang tergolong fleksibel dan mudah
digunakan pada sekitar bagian tubuh yang cidera. Adapun jenis soft
splints yang termasuk didalamnya dalah vacuum splints, air splints

3. Traction splints Menurut Caroline (2007) bidai traksi dapat


memberikan tarikan secara konstan pada tulang yang patah. Tipe
traksi yang biasa digunakan adalah sagar dan hare traction splint
C. Tujuan tindakan
1. Mencegah gerakan bagian yang stabil sehingga mengurangi nyeri dan
mencegah kerusakan lebih lanjut
2. Mempertahankan posisi yang nyaman
3. Mempermudah transportasi organ
4. Mengistirahatkan bagian tubuh yang cidera
5. Mempercepat penyembuhan
D. Indikasi
1. Adanya fraktur ,baik terbuka /tertutup
2. Adanya kecurigaan adanya fraktur
3. Dislokasi persendian
E. Kontraindikasi
1. Pembidaian baru boleh dilaksanakan jika kondisi saluran nafas,
pernafasan dan sirkulasi penderita sudah distabilkan. Jika terdapat
gangguan sirkulasi dan atau gangguan yang berat pada distal daerah
fraktur, jika ada resiko memperlambat sampainya penderita ke rumah
sakit, sebaiknya pembidaian tidak perlu dilakukan.
2. Hipermobilitas
3.  Efusi Sendi
4. Inflamasi
5. Fraktur humeri dan osteoporosis
F. Prosedur Kerja
NO ASPEK YANG DINILAI
A. PRA INTERAKSI
1. Persiapan Alat :
a. Bidai dalam bentuk jadi /bidai standart yang telah
dipersiapkan
b. Bidai sederhana (panjang bidai harus melebihi panjang
tulang dan sendi yang akan dibidai )contoh :papan kayu,
ranting pohon.
c. Bidai yang terbuat dari benda keras (kayu) sebaiknya dibalut
dengan bahan yang lebih lembut (kain, kassa, dsb). Bahan
yang digunakan sebagai pembalut pembidaian bisa berasal
dari pakaian atau bahan lainnya. Bahan yang digunakan
harus bisa membalut dengan sempurna pada ekstremitas yang
dibidai namun tidak terlalu ketat karena dapat menghambat
sirkulasi.
2. Persiapan pasien
a. Menenangkan penderita ,jelaskan bahwa akan memberikan
pertolongan.
b. Pemeriksaan mencari tanda fraktur /dislokasi - Menjelaskan
prosedur tindakan yang dilakukan - Meminimalkan gerakan
daerah luka. Jangan menggerakkan /memindahkan korban
jika keadaan tidak mendesak.
c. Jika ada luka terbuka tangani segera luka dan pendarahan
dengan menggunakan cairan antiseptik dan tekan perdarahan
dengan kassa steril
d. Jika mengalami deformitas yang berat dan adanya gangguan
pada denyut nadi ,sebaiknya dilakukan telusuran pada
ekstremitas yang mengalami deformitas. Proses pelurusan
harus hati-hati agar tidak memperberat .
e. Periksa kecepatan pengisian kapiler. Tekan kkuku pada
ekstremitas yang cedera dengan ekstremitas yang tidak
cedera secara bersamaan. Periksa apakah pengembalian
warna merah secara bersamaan /mengalami keterlambatan
pada ekstremitas yang cedera.

B. FASE ORIENTASI
1. Mengucapkan salam
2. Memperkenalkan diri
3. menjelaskan tujuan
4. Menjelaskan langkah prosedur
5. Menanyakan kesiapan pasien

C. FASE KERJA
1. Mencuci tangan
2. Petugas menggunakan masker, handscoen
3. Pembidaian meliputi 2 sendi, sendi yang masuk dalam pembidaian
adalah sendi dibawah dan diatas patah tulang .Contoh :jika tungkai
bawah mengalami fraktur maka bidai harus bisa memobilisasi
pergelangan kaki maupun lutut
4. Luruskan posisi anggota gerak yang mengalami fraktur secara
hatihati dan jangan memaksa gerakan ,jika sulit diluruskan maka
pembidaian dilakukan apa adanya
5. Fraktur pada tulang panjang pada tungkai dan lengan dapat
dilakukan traksi,tapi jika pasien merasakan nyeri ,krepitasi
sebaiknya jangan dilakukan traksi, jika traksi berhasil segara
fiksasi,agar tidak beresiko untuk menciderai saraf atau pembuluh
darah.
6. Beri bantalan empuk pada anggota gerak yang dibidai
7. Ikatlah bidai diatas atau dibawah daerah fraktur ,jangan mengikat
tepat didaerah fraktur dan jangan terlalu ketat

D. FASE TERMINASI
1. Merapikan pasien
2. Melakukan evaluasi
3. Menyampaikan rencana tindak lanjut
4. Berpamitan
5. Membereskan alat
6. Mencuci tangan

E. PENAMPILAN SELAMA TINDAKAN


1. Ketenangan selama melakukan tindakan
2. Melakukan komunikasi terapeutik selama tindakan
3. Ketelitian
4. Menjaga keamanan pasien
Menjaga keamanan perawat / petugas

G. Hal-hal yang perlu diperhatikan


1. Bebaskan area pembidaian dari benda-benda (baju, cincin, jam, gelang
dll).
2. Periksalah denyut nadi distal dan fungsi saraf sebelum dan sesudah
pembidaian dan perhatikan warna kulit ditalnya.
3. Pembidaian minimal meliputi 2 sendi (proksimal dan distal daerah
fraktur). Sendi yang masuk dalam pembidaian adalah sendi di bawah
dan di atas patah tulang. Sebagai contoh, jika tungkai bawah
mengalami fraktur, maka bidai harus bisa mengimobilisasi
pergelangan kaki maupun lutut.
4. Luruskan posisi korban dan posisi anggota gerak yang mengalami
fraktur maupun dislokasi secara perlahan dan berhati-hati dan jangan
sampai memaksakan gerakan. Jika terjadi kesulitan dalam meluruskan,
maka pembidaian dilakukan apa adanya. Pada trauma sekitar sendi,
pembidaian harus mencakup tulang di bagian proksimal dan distal.
5. Fraktur pada tulang panjang pada tungkai dan lengan, dapat terbantu
dengan traksi atau tarikan ringan ketika pembidaian. Jika saat
dilakukan tarikan terdapat tahanan yang kuat, krepitasi, atau pasien
merasakan peningkatan rasa nyeri, jangan mencoba untuk melakukan
traksi. Jika anda telah berhasil melakukan traksi, jangan melepaskan
tarikan sebelum ekstremitas yang mengalami fraktur telah terfiksasi
dengan baik, karena kedua ujung tulang yang terpisah dapat
menyebabkan tambahan kerusakan jaringan dan beresiko untuk
mencederai saraf atau pembuluh darah.
6. Beri bantalan empuk dan penopang pada anggota gerak yang dibidai
terutama pada daerah tubuh yang keras/peka(lutut,siku,ketiak,dll),
yang sekaligus untuk mengisi sela antara ekstremitas dengan bidai.
7. ikatlah bidai di atas dan bawah luka/fraktur. Jangan mengikat tepat di
bagian yang luka/fraktur. Sebaiknya dilakukan sebanyak 4 ikatan pada
bidai, yakni pada beberapa titik yang berada pada posisi :
a. superior dari sendi proximal dari lokasi fraktur,
diantara lokasi fraktur dan lokasi ikatan pertama,
b. inferior dari sendi distal dari lokasi fraktur ,
diantara lokasi fraktur dan lokasi ikatan ketiga (point c)
8. Pastikan bahwa bidai telah rapat, namun jangan terlalu ketat sehingga
mengganggu sirkulasi pada ekstremitas yang dibidai. Pastikan bahwa
pemasangan bidai telah mampu mencegah pergerakan atau peregangan
pada bagian yang cedera.
9. Pastikan bahwa ujung bidai tidak menekan ketiak atau pantat.
Jika mungkin naikkan anggota gerak tersebut setelah dibidai;
a. Harus selalu diingat bahwa improvisasi seringkali diperlukan
dalam tindakan pembidaian. Sebagai contoh, jika tidak ditemukan
bahan yang sesuai untuk membidai, cedera pada tungkai bawah
seringkali dapat dilindungi dengan merekatkan tungkai yang
cedera pada tungkai yang tidak terluka. Demikian pula bisa
diterapkan pada fraktur jari, dengan merekatkan pada jari
disebelahnya sebagai perlindungan sementara
III.Transportasi
A. Pengertian Transportasi Pasien
Transportasi Pasien adalah sarana yang digunakan untuk
mengangkut penderita/korban dari lokasi bencana ke sarana kesehatan
yang memadai dengan aman tanpa memperberat keadaan penderita ke
sarana kesehatan yang memadai. Selain itu juga Transportasi pasien
dilakukan untuk terlaksananya proses rujukan, transfer, dan pemulangan
pasien rawat inap atau rawat jalan.
B. Tujuan tindakan
1. Untuk memindahkan penderita/korban bencana dengan aman tanpa
memperberat keadaan penderita ke sarana kesehatan yang memadai.
2. Meningkatkan keamanan untuk menjaga kesehatan pasien.
3. Meningkatkan mutu pelayanan.
C. Indikasi
1. Pasien dengan diagnosis yang potensial kearah yang buruk
2. Pasien yang memerlukan monitoring ketat dan intervensi medis segera
3. Pasien yang memerlukan
D. Kontraindikasi
Tidak ada
E. Jenis-jenis Transportasi
1. Transportasi Gawat Darurat
2. Transportasi Pasien Kritis
3. Transport Pasien Rujukan
F. Prosedur Kerja

NO ASPEK YANG DINILAI


A. PRA INTERAKSI
1. Persiapan Alat :
a. Transport monitor
b. Blood pressure reader
c. Oksigen
d. Ventilator manual
e. Pleura drainase (WSD)
f. Urin bag dan drai yang lain
g. Defibrilator lengkap monitor 
h. Pace maker biasanya external pacing
i. Cairan infus
j. Alat dialisis (CAVH, CVVH)
k. Pulse oksimetri
l. Termogulation (pelindung dan hawa dingin)
m. Emergency kit
n. Cadangan baterai
o. Alat monitor

B. FASE ORIENTASI
1. Mengucapkan salam
2. Memperkenalkan diri
3. menjelaskan tujuan
4. Menjelaskan langkah prosedur
5. Menanyakan kesiapan pasien

C. FASE KERJA
1. Menghubungi Rumah Sakit Rujukan.
2. Menanyakan tempat perawatan yang sesuai dengan kondisi pasien.
3. Persiapkan pasien yang akan di Transfer.
4. Lakukan pendekatan yang sistematis dalam proses transfer pasien
5. Awali dengan pengambilan keputusan untuk melakukan transfer.
Kemudian melakukan stabilisasi pre-transfer dan manajemen
transfer.
6. Pengambilan keputusan untuk melakukan transfer harus
dipertimbangkan dengan matang pertimbangan resiko dan
keuntungan dilakukannya transfer.
7. Pertimbangan resiko dan keuntungan dilakukannya transfer.
8. Jika resikonya lebih besar, sebaiknya jangan melakukan transfer.
9. Dalam transfer pasien, diperlukan personil yang terlatih dan
kompeten, peralatan dan kendaraan Khusus.
10. Pengambilan keputusan harus melibatkan DPJD / Dokter senior
(Biasanya seorang Konsultan) dan dokter ruangan.
11. Menyiapkan ambulance dan petugas yang akan mendampingi
pasien.
12. Melengkapi dokumen pasien yang akan di transfer / dirujuk dan
mengonsultasikannya selama transfer pasien berjalan

D. FASE TERMINASI
1. Merapikan pasien
2. Melakukan evaluasi
3. Menyampaikan rencana tindak lanjut
4. Berpamitan
5. Membereskan alat
6. Mencuci tangan

E. PENAMPILAN SELAMA TINDAKAN


1. Ketenangan selama melakukan tindakan
2. Melakukan komunikasi terapeutik selama tindakan
3. Ketelitian
4. Menjaga keamanan pasien
Menjaga keamanan perawat / petugas

G. Hal- hal yang diperhatikan


1. Alat-alat resusitasi harus lengkap dan siap pakai
2. Perhatikan pada saat memindahkan pasien ke dalam ambulance
3. Jangan memutar tubuh saat mengangkat pasien
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pemberian Alat neck collar untuk immobilisasi leher (mempertahankan tulang
servikal), mencegah pergerakan tulang servik yang patah. Tujuan sebagai
acuan untuk menetapkan langkah-langkah dalam pemasangan neck collar
guna mencegah bertambahnya kerusakan tulang servik dan spinal cord dan
mengurangi rasa sakit. Balut bidai adalah tindakan memfiksasi
/mengimobilisasi bagian tubuh yang mengalami cidera dengan menggunakan
benda yang bersifat kaku maupun fleksibel sebagai fiksator /imobilisator.
Tujuan tindakan Mencegah gerakan bagian yang stabil sehingga mengurangi
nyeri dan mencegah kerusakan lebih lanjut, Mempertahankan posisi yang
nyaman, dll. Transportasi Pasien adalah sarana yang digunakan untuk
mengangkut penderita/korban dari lokasi bencana ke sarana kesehatan yang
memadai dengan aman tanpa memperberat keadaan penderita ke sarana
kesehatan yang memadai.
B. Saran
Untuk Mahasiswa Keperawatan agar dapat melakukan tindakan pemberian
neck collar, Balut bidai dan Transportasi dengan baik dalam rangka
meningkatkan asuhan pelayanan keperawatan
Daftar Pustaka

1. Rosid Achmad. PEMASANGAN NECK COLLAR. RS Dharma Husada


Probolinggo. SOP/02.01/074. 18 Februari 2011.
2. SRI MURYATI. ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN
PADA PASIEN SPINAL CORD INJURY VERTEBRA CERVIKAL C3-
C7 DENGAN STABILISASI PENGGUNAAN NECK COLLAR
TERHADAP PENURUNAN INTENSITAS NYERI DI RUANG
INTENSIVE CARE UNIT (ICU) RSUD ABDUL WAHAB SJAHRANIE
SAMARINDA TAHUN 2015. SAMARINDA. 2015. Hal 20-23.
3. Jarot Suandono. Atik Maftuhah. Reiva Ermawan. Dll. Buku Panduan
Keterampilan Klinis PEMBEBATAN DAN PEMBIDAIAN. Surakarta :
Fakultas Kedokteran Univertas Sebelas Maret Surakarta. 2019. Hal 1-14.
4. http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/27992/6.%20BAB
%20II.pdf?sequence=6&isAllowed=y
Diakses pada 24 Agustus 2020, pkl 07.20.
5. Tuti Perwati Merati, Ketut Agus Somia. Made Sucila Utama. Dll. BUKU
PEDOMAN DIAGNOSIS DAN TERAPI BIDANG KEDOKTERAN
WISATA. Pendidikan Kedokteran Fakultas Kedokteran UNIVERSITAS
UDAYANA. 2012. Hal 119-123.

Anda mungkin juga menyukai