Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN PENDAHULUAN

PNEUMOPERITONEUM

I. Konsep Teori
A. Definisi
Pneumoperitoneum adalah gambaran udara bebas / free airpada
intraperitoneal / kavum peritoneum. Normalnya udara tidak terdapat pada kavum
peritoneum, ekstraperitoneal, dinding usus, maupun sistem bilier. Pemeriksaan
foto polos abdomen maupun thoraks dapat mendeteksi adanya udara bebas /
free air intrapertioneal, namun apabila jumlahnya sedikit hanya dapat terdeteksi
pada pemeriksaan CT – Scan. Sebagian kasus pneumoperitoneum merupakan
kasus yang tidak berbahaya, akan tetapi sering juga merupakan indikasi bedah
emergensi untuk menangani perforasi organ berongga intraabdomen.

B. Anatomi dan Fisiologi


1. PERITONEUM
Peritoneum adalah membran serosa paling besar, semipermeabel
yang membentuk garis batas dari kavum abdomen. Luas lapisan peritoneum
sekitar 1- 2 m2. Peritoneum melapisi sebagian besar organ intraabdomen.
Peritoneum terdiri dari 2 lapisan yaitu peritoneum parietal dan viseral.
Peritoneum parietal merupakan lapisan peritoneum luar dan melekat pada
dinding abdomen. Peritoneum viseral merupakan lapisan dalam peritoneum,
terletak diantara organ – organ yang berada intraperitoneal.
Peritoneum parietal dari diafragma dan dinding posterior abdomen
serta dari supraumbilikal dan dinding anterior abdomen pada tempat tertentu
melipat ke arah visera dan membungkus visera tersebut sehingga disebut
dengan peritoneum viseral. Bangunan – bangunan yang dibentuk peritoneum
akibat suatu bangunan ekstraperitoneal yang mendorong peritoneum parietal
kearah dalam pada masa pertumbuhan embrional dapat berupa plika
(lipatan), kantung (saccus), cekungan (fossa atau recessus).
Beberapa lipatan atau refleksi peritoneum akibat suatu bangunan
visera yang dihubungkan ke dinding abdomen, secara umum disebut sebagai
plika, yang dapat pula berupa ligamentum, mesenterium, maupun omentum.
Omentum majus, mesenterium, mesocolon transversum, mesoapendiks,
mesokolon sigmoid, merupakan lipatan yang lebih besar. Nama – nama
ligamentum sesuai dengan 2 struktur / organ yang dihubungkan. Ligamentum
yang salah satunya melekat pada gaster disebut dengan omentum.
Sedangkan mesenterium, menghubungkan usus dengan dinding posterior
abdomen.
Pada dinding anterior abdomen lipatan peritoneum ke arah hepar
membentuk ligamentum falsiforme yang didalamnya berisi obliterasi vena
umbilikalis. Pada linea mediana di kaudal umbilikus dapat ditemukan lipatan
peritoneum parietal yang disebabkan oleh obliterasi urachus (ligamentum
umbilkal medial) yang disebut plika umbilikalis mediana. Disebelah lateralnya
terdapat plika umbilikalis medialis yang ditimbulkan oleh obliterasi arteri
umbilikalis. Sedangkan disebelah lateralnya lagi terdapat plika umbilikalis
lateralis (yang ditimbulkan oleh vasa epigastrika inferior).
2. RONGGA PERITONEUM
Ruang potensial diantara 2 lapisan peritoneum disebut dengan rongga
peritoneum, yang secara normal berisi 50 - 100 ml cairan serosa yang
memungkinkan kedua lapisan saling bergerak bebas satu sama lain. Rongga
peritoneum merupakan kantung tertutup pada laki – laki, sedangkan pada
wanita berhubungan dengan ekstraperitoneal melalui tuba uterina. Rongga
peritoneum potensial dan lipatan peritoneum membentuk ligamentum
peritoneal, mesenterium, dan omentum yang bisa membentuk lingkaran
proses patologi dan juga bisa menjadi jalur penyebaran penyakit.

Gambar 2
Gambar visera abdomen dan refleksi peritoneum mayor
(Diambil dari Diagnostic imaging abdomen)

Rongga peritoneum terbagi oleh lipatan peritoneum menjadi beberapa


kompartemen dan resessus yang menjadi dasar anatomi dalam memahami
aliran dinamis dari cairan intraperitoneal dan lokasi tertentu pada asites,
abses, metastase, dan cairan maupun udara bebas akibat proses trauma.
Pada imaging rongga peritoneum tidak dapat terlihat kecuali bila terdistensi
oleh cairan.

C. Etiologi
Penyebab yang paling umum pneumoperitoneum adalah perforasi organ
berongga abdomen, terutama perforasi ulkus peptikum, tumor, trauma iatrogenik,
maupun trauma tumpul abdomen. Pneumoperitoneum bisa juga terjadi setelah
proses pembedahan abdomen, manipulasi transperitoneal, maupun needle
biopsi pada abdomen. Penyebab yang lain bisa berhubungan dengan kelainan
pada thoraks seperti diseksi pneumomediastinum. Pneumoperitoneum juga
dapat disebabkanmasuknya udara melalui traktus genitalia wanita.
Penyebab pneumoperitoneum juga tergantung pada usia. Pada neonatus
sering disebabkan oleh perforasi usus sebagai efek sekunder pada kasus
enterokolitis nekrotikans dan ileus obstruktif. Juga bisa disebabkan iatrogenik
misalnya pada perforasi gaster oleh karena nasogastric tube maupun ventilasi
mekanik
Pada bayi dan anak – anak pneumoperitoneum juga dapat disebabkan oleh
trauma tumpul abdomen yang menyebabkan ruptur organ berongga, trauma
penetrasi, perforasi traktus gastrointestinal (ulkus peptikum, stress ulcer, kolitis
ulseratif dengan toksik megakolon, Crohn disease, ileus obstruktif), terapi steroid,
infeksi pada peritoneum oleh organisme penghasil gas atau oleh karena ruptur
abses.
Gambaran pneumoperitoneum pada pasien dengan nyeri abdomen akut
merupakan tanda yang penting, karena lebih dari 90 % penyebab
pneumoperitoneum akan membutuhkan tindakan pembedahan segera.
Pneumoperitoneumjuga dapat timbul pada 60 % pasien paska laparoromi. Pada
sebagian besar pasien ini free airakan diserap dalam waktu 5 – 7 hari, namun
sering pula free air baru diserap semua pada hari ke 24 paska laparotomi.

D. Tanda dan Gejala


1. Sakit perut
2. Muntah
3. Perut kembunng
4. Sembelit
5. Demam
6. Diare
7. Takikardia
8. Hipotensi
9. Keluaran urin
10. Takipnea
Gambaran klinis pasien dengan pneumoperitoneum tergantung pada
penyebabnya. Penyebab yang tidak berbahaya dapat memberikan gambaran
yang asimptomatis, atau nyeri perut yang hilang timbul. Sedangkan yang
disebabkan oleh perforasi organ berongga abdomen tergantung pada
perkembangan peritonitis. Gejala dan tanda pada berbagai penyebab
perforasi dapat berupa tanda peritoneal seperti kaku dan tegang pada
abdomen, hilangnya bising usus, nyeri epigastrik yang hebat sampai syok.

E. Patofisiologi
Pneumoperitoneum pada akhirnya merupakan hasil iskemia jaringan,erosi,
infeksi, atau cedera mekanis dan atau termal
Udara bebas atau pneumoperitoneum terbentuk jika udara keluar dari sistem
gastrointestinal. Hal ini terjadi setelah perforasi lambung, bagian duodenum dan
usus besar.
F. Pathway

Perforasi organ Tumor trauma tumpul


berongga abdomen
abdomen
Resiko
tinggi Infeksi
Iskemia infeksi Cedera
Nyeri akut
jaringan mekanis dan
Cemas atau termal
terhadap
penyakitnya
Hipoksia Kekurangan
Mual dan
volume cairan
Muntah
Ansietas
Ketidakefektifan
pola nafas Penurunan
Gangguan pola nafsu makan
tidur

Perubahan nutrisi
kurang dari
kebutuhan
F. Data Penunjang
1. TEKNIK PEMERIKSAAN RADIOLOGI
Pemeriksaan radiografi yang optimal sangat penting, pada waktu kita
mencurigai adanya perforasi organ intra abdomen. Idealnya pemeriksaan X-
foto polos yang dilakukan adalah foto thoraks posisi tegak (erek), abdomen
supine, erek, serta posisi left lateral dekubitus.
Pemeriksaan X- foto polos abdomen dan thoraks dapat memberikan
gambaran pneumoperitoneum pada 75 – 80 % kasus perforasi organ
berongga abdomen. Dengan teknik yang benar, 76 % kasus
pneumoperitoneum dapat terdeteksi pada X- foto posisi erek, sedangkan bila
ditambahkan posisi left lateral dekubitus dapat mendeteksi 90 % kasus. CT -
Scan tetap lebih sensitif dalam mendeteksi kasus pneumoperitoneum, karena
gambaran free air yang minimal dapat terdeteksi. Pemeriksaan radiogaraf
yang optimal sangat penting, pada waktu kita mencurigai adanya perforasi
organ berongga abdomen
a. Pemeriksaan X- foto polos abdomen
Pemeriksaan foto polos abdomen untuk mendeteksi adanya
pneumoperitoneum adalah posisi supine, erek / tegak, dan left lateral
dekubitus. Pada X- foto polos abdomen posisi tegak menghasilkan
gambaran oblik dari diafragma sehingga mengaburkan gambaran free air
karena sinar - X diarahkan lebih inferior dari diafragma
Posisi left lateral dekubitus lebih sensitif dalam mendeteksi free air
yang berada antara tepi bebas hepar dan dinding lateral kavum
peritoneum meskipun dalam jumlah kecil. Tekniknya harus benar, dimana
pasien harus diposisikan berbaring miring dengan sisi kiri dibawah
selama 10 menit. Pada pasien yang tidak bisa dilakukan posisi LLD dapat
juga dilakukan foto lateral abdomen cross table.
Prinsip pemeriksaan X - foto polos abdomen posisi LLD maupun
erek / semi erek adalah menggunakan sinar X arah horizontal (horizontal
beam), karena apabila ada udara akan menempati tempat tertinggi pada
kavum peritoneum.
Posisi supine juga sering dilakukan untuk mendeteksi adanya
pneumoperitoneum. Kebanyakan pasien dengan kondisi emergensi
sering tidak bisa dilakukan pemeriksaan radiograf dengan sinar
horizontal, sehingga sangat penting pula untuk mengenali tanda – tanda
pneumoperitoneum pada posisi abdomen supine
2. GAMBARAN RADIOLOGI KONVENSIONAL PNEUMOPERITONEUM
Pemeriksaan foto polos thoraks dan abdomen merupakan pilihan
pertama pada pasien emergensi dengan nyeri abdomen. Pada pasien
tersebut, biasanya didapatkan adanya udara dibawah diafragma yang hampir
sering disebabkan oleh perforasi traktus gastrointestinal. Adanya udara
bebas intraperitoneal ini akan menempati ruang – ruang potensial
intraperitoneal dan memberikan gambaran – gambaran khusus pada
pemeriksaan X- foto polos abdomen.
Gambaran pnemoperitoneum pada pemeriksaan X- foto polos
abdomen posisi supine adalah sebagai berikut :
 Upper abdomen
- Falciforme ligamentum sign
- Cupola sign
 Mid abdomen :
Rigler’s sign, Football sign
 Lower abdomen :
inverted V sign

a. DECUBITUS ABDOMEN SIGN


Pada posisi left lateral dekubitus sisi kiri abdomen berada dibawah
dan sisi kanan berada diatas. Adanya udara bebas akan menempati titik
tertinggi sehingga akan terlihat gambaran lusen yang berada antara
dinding abdomen dan hepar. Posisi ini cukup sensitif dalam mendeteksi
adanya free air, dan bisa digunakan untuk mengkonfirmasi berbagai
gambaran yang menyerupai pneumoperitoneum. Pasien perlu
ditempatkan dalam posisi ini selama 10 menit, sehingga gambaran free
air intraperitoneal yang minimal akan dapat tervisualisasi dengan baik.

Gambar 3
Posisi LLD memperlihatkan adanya free air antara dinding
abdomen dan hepar (panah putih) dan tampak pula adanya cairan
bebas intraperitoenal (panah hitam)
(Diambil dari http://emedicine.medscape.com/article/372053-
overview))
b. CUPOLA SIGN
Cupola sign adalah gambaran lusensi bentuk arkuata yang melapisi
permukaan vertebra thorakal bawal dan diproyeksikan pada bagian
bawah jantung. Batas atasnya tegas, sedangkan batas bawahnya tidak
jelas. Istilah cupola menggambarakan lusensi yang menyerupai inverted
cup shaped. Cupola sign dapat terlihat pada posisi supine

Gambar 6
X- foto thorax AP pada 2 pasien yang berbeda memperlihatkan :
gambaran lusen bentuk arkuata batas atasnya tegas, batas bawah
tidak tegas, pada subphrenic space median.
(Diambil
darihttp://www.learningradiology.com/notes/ginotes/freeairpage.htm)

Udara pada kavum peritoneum ini akan lebih banyak berkumpul pada
bagian anterior, dibawah central tendon diafragma dan didalam ruang
subfrenik median. Central tendon diafragma terdiri dari 3 lembar : kanan,
kiri, dan tengah. Lembar tengah terletak di anterior, tempat dimana udara
berkumpul saat pasien posisi supine. Ruang subfrenik median terletak
pada anterior dari lambung dan ligamentum gastrohepatik. Jadi gambaran
cupola sign dapat terlihat sebagai lusensi linier transversal yang
menyeberangi midline dibagian bawah dari jantung.
c. FOOTBALL SIGN
Football Sign adalah gambaran bayangan bentuk oval besar yang
yang membatasi tepi perifer kavum peritoneum. Gambaran bentuk oval ini
pada regio abdomen atas terbagi sepanjang aksis longitudinalnya oleh
penyempitan soft tissue yang dibentuk oleh ligamentum falsiforme.
Gambaran ini menyerupai bentuk oval besar dari American football. Axis
memanjang dari gambaran ini berjalan sefalokaudal dengan ujung tumpul
dibatasi oleh diafragma dan dasar pelvis. Batas atas berupa opasitas
linier vertikal batas tegas pada abdomen kanan atas, dan batas bawah
berupa opasitas linier vertikal batas tegas pada midline abdomen bawah.
Gambaran radiolusen bentuk oval ini menggambarkan
pneumoperitoneum masif yang menyebabkan distensi kavum peritoneum.
Pada posisi supine, udara bebas berkumpul pada bagian anterior dari
organ intraabdomen, sehingga menimbulkan batas yang tegas dengan
peritoneum parietal

Gambar 10
X- foto abdomen supine : football sign pada neonatus dengan
perforasi rektum sebagai akibat sekunder trauma penggunaan rectal
tube. Pneumoperitoneum terlihat sebagai gambaran radiolusen bentul
oval besar dibatasi oleh peritoneum parietal (panah lengkung).
Ligamentum falsiforme (panah lurus) juga dikelilingi oleh free air.
(Diambil dari http://radiology.rsna.org/content/231/1/81)

Football sign dapat terlihat pada proyeksi abdomen supine.


Berdasarkan penelitian tanda ini dapat dijumpai sekitar 2 % kasus
pneumoperitoneum pada dewasa. Football sign lebih sering dijumpai
pada bayi, sedangkan pada anak - anak dan dewasa lebih jarang. Hal ini
disebabkan karena kejadian pneumoperitoneummasif lebih sering
dijumpai pada anak – anak dan dewasa, karena pada anak – anak dan
dewasa dapat menyampaikan gejala keluhan abdomen, sehingga bisa
mendapatkan penanganan lebih cepat. Volume pneumoperitoneum yang
minimal sampai moderat belum dapat menimbulkan football sign.
d. RIGLER’S SIGN
Rigler’s sign adalah gambaran dimana dua sisi dari dinding bowel
dapat tervisualisasi pada foto polos abdomen. Normalnya hanya
permukaan mukosa dari bowel yang dapat terlihat, karena dibatasi oleh
gas intraluminer. Permukaan serosa tidak dapat terlihat karena dikelilingi
oleh jaringan yang mempunyai densitas sama. Apabila terdapat udara
bebas pada kavum peritoneum dan intraluminer maka akan dapat terlihat
dinding dalam dan dinding luar dari usus / gaster. 13,20
Rigler’s sign pertama kali dideskripsikan oleh Leo Rigler pada tahun
1941. Dikenal juga dengan double wall sign atau bas relief sign atau
serosal sign. Rigler’s sign dapat terlihat pada foto polos abdomen supine.
Variasi dari Rigler’s sign bisa berupa terlihatnya dinding luar dari usus
karena lumen terisi oleh cairan.

Gambar 24
X- foto abdomen supine memperlihatkan free air ekstensif
yang membatasi dinding luar usus diantara multipel loop usus yang
terisi udara. Panah putih menunjukkan dinding usus antara udara
intraluminer dan free air intraperitoneal.
(Diambil dari http://radiology.rsna.org/content/228/3/706)

Rigler’s sign merupakan salah satu tanda pneumoperitoneum yang


penting. Akan tetapi tanda ini tidak terlalu sensitif, dan akan muncul
apabila volume free air mencapai 1 liter ( moderat) , sehingga tanda ini
paling sering muncul pada perforasi kolon dibandingkan usus halus. Pada
keseluruhan kasus perforasi traktus gastrointestinal dapat didapatkan
tanda ini sekitar 14 – 32 %
Gambaran yang dapat memperlihatkan positif palsu Rigler’s sign perlu
untuk diketahui. Pada loop usus yang saling berdekatan, udara
intraluminer dari satu loop dapat membatasi dinding luar dari loop yang
berdekatan, sehingga seolah – olah menyerupai gambaran Rigler’s sign.
Pada pasien yang habis menjalani pemeriksaan CT - Scan, sisa kontras
yang jumlahnya sedikit dapat melapisi permukaan lumen usus sehingga
meningkatkan atenuasi yang nyata antara dinding usus, menyebabkan
gambaran pseudo Rigler sign. Pada Rigler’s sign (true posistif) biasanya
juga memperlihatkan dinding bowel yang lebih tebal dibandingkan pada
gambaran positif palsu. Pada kasus yang tidak jelas, diperlukan
pemeriksaan abdomen posisi LLD dan semi erek untuk memastikan
adanya free air
Gambar 25
X- foto polos abdomen posisi supine. Panah menunjukkan dinding usus
terlihat dengan jelas karena adanya free air
(Diambil dari Dinamic Radiology of the Abdomen)

e. ANTERIOR PERITONEAL LIGAMENT SIGN


Peritoneum parietal diindentasi pada beberapa sisinya oleh remnan
dari vaskuler embrilogi yang disebut dengan ligamen. Adanya free air
intra abdominal akan membuat struktur ligamen ini dapat terlihat,
sehingga merupakan tanda yang dapat dikenali pada pneumoperitoneum.
1) FALCIFORM LIGAMENT SIGN
Ligamentum falsiforme berasal dari remnan embriologi arteri
umbilikalis yang berjalan oblik dari umbilikus ke permukaan
anterosuperior hepar. Pada keadaan normal biasanya tidak terlihat
sebagai struktur yang terpisah dari hepar. Ligamentum ini tertutupi
oleh peritoneum viseral. Bila terdapat free air yang mengelilingi
ligamentum ini, maka akan terlihat gambaran sebagai pita vertikal
dengan densitas soft tissue yang paralel dengan batas kanan korpus
vertebra. Gambaran radiologi ini dapat ditemukan pada free air dalam
jumlah besar dan tidak sensitif

Gambar 27
Falciforme ligament sign (panah) tervisualisasi dengan jelas karena
adanya free air yang mengelilinginya
(Diambil dari Am J Roentgenol 1991; 156: 731-5)
Gambar 28
X - foto polos abdomen supine memperlihatkan
pneumoperitoneum masif. Ligamentum falsiforme (panah), tepi hepar
(kepala panah), dan Vesika felea (GB) dikelilingi oleh free air
(Diambil dari Thai J Gastroenterol 2005; 6: 3)

2) INVERTED V SIGN
Inverted V sign adalah gambaran dimana ligamentum umbilical
(umbilical fold) dapat terlihat sebagai opasitas linier bentuk huruf
Vterbalik, dibatasi oleh lusensi free air pada kavum pelvis. Secara
anatomi ada 2 lipatan pada kavum abdomen bawah yang dapat
membentuk gambaran inverted V sign, yaitu ligamentum umbilikal
medial yang berasal dari obliterasi arteri umbilikalis, dan ligamentum
umbilikal lateral yang berisi arteri epigastrika inferior

Gambar 31
Gambaran pneumoperitoneum memperlihatkan inverted V sign yang
berasal dari ligamentum umbilikal lateral, dan juga memperlihatkan
ligamentum falciforme sign
(Diambil dari Am J Roentgenol 1991; 156: 731-5)

Pada beberapa kasus dapat pula hanya satu sisi ligamentum


yang terlihat, sehingga dikenal pula dengan sebutan lateral umbilical
ligament sign. Tanda ini akan lebih terlihat pada orang kurus.
Ada beberapa pendapat tentang inverted V sign ini, pada anak
– anak tanda ini dianggap berasal dari ligamentum umbilikal medial,
pada dewasa dapat berasal dari ligamentum umbilikal lateral. Namun
pendapat lain juga mengatakan bahwa pada dewasa dapat juga
berasal dari ligamentum umbilikal medial, karena lipatannya biasanya
lebih menonjol. Inverted V sign jarang muncul sebagai tanda tunggal
dari pneumoperitoneum, biasanya disertai oleh tanda – tanda
lainnya, dan menggambarkan adanya pneumoperitoneum yang masif.

Gambar 32
Umbilicus sign, membentuk gambaran inverted V pada pasien dengan
pneumoperitoneum masif
(Diambil dari Hong Kong j.emerg.med 2005; 12: 46-9)

f. GAMBARAN YANG MENYERUPAI PNEUMOPERITONEUM


Pada X- foto polos abdomen maupun thoraks terdapat beberapa
gambaran positif palsu yang menyerupai adanya free air intraperitoneal.
Gambaran ini perlu dikenali dengan baik dan dihubungkan dengan
keadaan klinis pasien untuk mencegah tindakan yang tidak perlu bagi
pasien.
Berbagai gambaran yang meragukan tentang pneumoperitoneum
perlu dikonfirmasi dengan X- foto polos abdomen posisi LLD, karena
cukup sensitif dalam mendeteksi adanya sejumlah kecil free air apabila
dilakukan dengan persiapan yang baik.
1) Chilaiditi’s syndrom
Adalah adanya interposisi usus diantara diafragma dan hepar.
Gambaran ini dideskripsikan pertama kali oleh dr. Demetrius
Chiladaiti, seorang radiolog Yunanai pada tahun 1910. Biasanya
berasal dari distensi kolon, terutama fleksura hepatika. Seringkali
tidak menimbulkan gejala klinis, namun bisa juga disertai adanya
rasa tidak enak diperut, kembung, mual, muntah, maupun gejala
konstipasi. Insidensinya sekitar 0.025 % - 0,28 % pada populasi.
Dapat dibedakan dari gambaran pneumoperitoneum dengan melihat
adanya lipatan haustra pada lusensi dibawah diafragma

Gambar 34
Chilaiditi’s syndrom berupa gambaran distensi usus, flexura
hepatica colon interposisi diantara hepar dan diafragma, memberikan
gambaran pseudopneumoperitoneum
(Diambil dari http://emedicine.medscape.com/article/372053-
overview)

2) Abses subfrenik
Abses subfrenik biasanya memberikan gambaran multipel
lusen dibawah diafragma, terlokalisir, berbentuk bulat dengan tepi
ireguler, dan tidak berada dalam struktur loop usus. Abses subfrenik
ini biasanya timbul paska proses pembedahan, pada kasus elektif
maupun abdomen akut. Pada 80 % kasus memperlihatkan gambaran
diafragma letak tinggi, 70 % disertai konsolidasi atau kolaps pada
basal paru, dan 60 % disertai efusi pleura.

Gambar 38
Pasien dengan abses subdiafragma yang telah dibuktikan
dengan pemeriksaan Ct Scan. Tak tampak struktur haustra yang
mengelilingi lusensi tersebut
(Diambil dari http://emedicine.medscape.com/article/372053-
overview)
G. Tatalaksana dan Prognosis
Prinsip tatalaksana dan prognosis tergantung dari penyebab utamanya.
Ketika seorang pasien memiliki pneumoperitoneum, langkah pertama dalam
pengobatan adalah mencari tahu mengapa, dalam rangka untuk
mengembangkan pendekatan pengobatan yang tepat. Ini mungkin membutuhkan
tes diagnostik tambahan bersama dengan wawancara pasien. Dalam beberapa
kasus, pengobatan konservatif adalah program yang paling masuk akal, dengan
dokter menunggu dan melihat pendekatan untuk melihat apakah tubuh pasien
mampu menghilangkan gas sendiri. Jika pneumoperitoneum adalah komplikasi
dari infeksi, maka operasi untuk memperbaiki masalah ini diperlukan secepat
mungkin. Perforasi dan infeksi dengan cepat dapat menyebabkan kematian
dengan segera.
II. Konsep Asuhan Keperawatan
A. Pengkajian
1. Identitas
a. Nama pasien
b. Umur
c. Jenis kelamin
d. Suku /Bangsa
e. Pendidikan
f. Pekerjaan
g. Alamat
2. Keluhan utama.
Keluhan utama yang sering muncul adalah nyeri kesakitan di bagian
perut
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Pneumoperitoneum merupakan hasil iskemia jaringan,erosi, infeksi,
atau cedera mekanis dan atau termal
Saakit perut, muntah, perut kembung, demam, diare, takikardia,
takipnea, keluaran urin.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Komplikasi post operasi, operasi yang tidak steril dan akibat
pembedahan, trauma pada kecelakaan seperti ruptur limpa dan ruptur hati.
5. Riwayat Penyakit Keluarga
Apakah didalam keluarganya ada yang menderita penyakit yang sama
atau penyakit menular.
6. Pemeriksaan Fisik
a. Sistem pernafasan (B1)
Pola nafas irregular (RR> 20x/menit), dispnea, retraksi otot
bantu pernafasan serta menggunakan otot bantu pernafasan.
b. Sistem kardiovaskuler (B2)
Klien mengalami takikardi karena mediator inflamasi dan
hipovelemia vaskular karena anoreksia dan vomit. Didapatkan irama
jantung irregular akibat pasien syok  (neurogenik, hipovolemik atau
septik), akral : dingin, basah, dan pucat.
c. Sistem Persarafan (B3)
Tidak mengalami gangguan pada otak .
d. Sistem Perkemihan (B4)
Terjadi penurunan produksi urin.
e. Sistem Pencernaan (B5)
Klien akan mengalami anoreksia dan nausea. Vomit dapat
muncul akibat proses ptologis organ visceral (seperti obstruksi).
Selain itu terjadi distensi abdomen, bising usus menurun, dan gerakan
peristaltic usus turun (<12x/menit).
f. Sistem Muskuloskeletal dan Integumen (B6)
Klien mengalami letih, sulit berjalan, nyeri perut dengan
aktivitas. Kemampuan pergerakan sendi terbatas, kekuatan otot
mengalami kelelahan, dan turgor kulit menurun akibat  kekurangan
volume cairan.
g. Pengkajian Psikososial
Interaksi sosial menurun terkait dengan keikutsertaan pada
aktivitas sosial yang sering dilakukan.
h. Personal Hygiene
Kelemahan selama aktivitas perawatan diri.
1) Pengkajian Spiritual
2) Pemeriksaan penunjang

7. Pemeriksaan Laboratorium
a. Complete Blood Count (CBC), umumnya pasien dengan infeksi intra
abdomen menunjukan adanya luokositosis (>11.000 sel/ µL) dengan
adanya pergerakan ke bentuk immatur pada differential cell count. Namun
pada pasien dengan immunocompromised dan pasien dengan beberapa
tipe infeksi (seperti fungal dan CMV) keadaan leukositosis dapat tidak
ditemukan atau malah leucopenia
b. PT, PTT dan INR
c. Test fungsi hati jika diindikasikan
d. Amilase dan lipase jika adanya dugaan pancreatitis
e. Urinalisis untuk mengetahui adanya penyakit pada saluran kemih (seperti
pyelonephritis, renal stone disease)
f. Cairan peritoneal, cairan peritonitis akibat bakterial dapat ditunjukan dari
pH dan glukosa yang rendah serta peningkatan protein dan nilai LDH
8. Pemeriksaan Radiologi
a Foto polos
b USG
c CT Scan (eg, gallium Ga 67 scan, indium In 111–labeled autologous
leucocyte scan, technetium Tc 99m-iminoacetic acid derivative scan).
d Scintigraphy
e MRI
f Pemeriksaan radiologis merupakan pemeriksaan penunjang untuk
pertimbangan dalam memperkirakan pasien dengan abdomen akut.
9. X. Ray
Foto polos abdomen 3 posisi (anterior, posterior, lateral), didapatkan :
a. Illeus merupakan penemuan yang tak khas pada peritonitis.
b. Usus halus dan usus besar dilatasi.
c. Udara bebas dalam rongga abdomen terlihat pada kasus perforasi.

B. Diagnosa

1. Ketidakefektifan pola nafasberhubungan dengan Penurunan kedalaman


pernafasan sekunder distensi abdomen dan menghindari nyeri
2. Nyeri Akut berhubungan dengan Agen injury biologis.
3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan Anoreksia
dan mual
4. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan volume cairan
aktif.
5. Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan Trauma jaringan.
6. Ansietas berhubungan dengan Perubahan status kesehatan.
7. Gangguan pola tidur berhubungan Hambatan lingkungan

C. Intervensi
1. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan Penurunan kedalaman
pernafasan sekunder distensi abdomen dan menghindari nyeri
Tujuan: Pola nafas efektif, ditandai bunyi nafas normal, tekanan O2 dan
saturasi O2 normal.
Kriteria Hasil:
a. Pernapasan tetap dalam batas normal
b. Pernapasan tidak sulit
c. Istirahat dan tidur dengan tenang
d. Tidak menggunakan otot bantu napas
Intervensi Keperawatan:

Tindakan Intervensi Rasional


2. Nyeri Mandiri:   Akut
berhubungan
1. Pantau hasil analisa gas darah 1. Indikator hipoksemia;
dengan Agen
dan indikator hipoksemia: hipotensi, takikardi,
injury
hipotensi, takikardi, hiperventilasi, gelisah,
biologis.
hiperventilasi, gelisah, depresi depresi SSP, dan
SSP, dan sianosis. sianosis penting untuk
mengetahui adanya syok
  akibat inflamasi
(peradangan).
2. Auskultasi paru untuk mengkaji
2. Gangguan pada paru
ventilasi dan mendeteksi
(suara nafas tambahan)
komplikasi pulmoner.
lebih mudah dideteksi
3. Pertahankan pasien pada
dengan auskultasi.
posisi semifowler.
3. Posisi membantu

  memaksimalkan
ekspansi paru dan
  menurunkan upaya
pernafasan, ventilasi
 
maksimal membuka area
atelektasis dan
 
meningkatkan gerakan

  sekret kedalam jalan


nafas besar untuk
  dikeluarkan.
4. Oksigen membantu
4. Berikan O2 sesuai program
untuk bernafas secara
optimal.

Tujuan: Nyeri klien berkurang


Kriteria hasil :
a. Laporan nyeri hilang/terkontrol
b. Menunjukkan penggunaan ketrampilan relaksasi.
c. Metode lain untuk meningkatklan kenyamanan

Intervensi Keperawatan
Tindakan/Intervensi Rasional
Mandiri:  

1. Selidiki laporan nyeri, catat 1. Perubahan pada


lokasi, lama, intensitas (skala lokasi/intensitas tidak umum
0-10) dan karakteristiknya tetapi dapat menunjukkan
(dangkal, tajam, konstan)  terjadinya komplikasi. Nyeri
2. Pertahankan posisi semi cenderung menjadi konstan,
Fowler sesuai indikasi lebih hebat, dan menyebar
3. Berikan tindakan ke atas, nyeri dapat lokal
kenyamanan, contoh pijatan bila terjadi abses.
punggung, napas dalam, 2. Memudahkan drainase
latihan relaksasi atau cairan/luka karena gravutasi
visualisasi. dan membantu
4. Berikan perawatan mulut meminimalkan nyeri karena
dengan sering. Hilangkan gerakan.
rangsangan lingkunagan 3. Meningkatkan relaksasi dan
yang tidak menyenangkan mungkin meningkatkan
kemampuan koping pasien
denagn memfokuskan
kembali perhatian.
4. Menurunkan mual/muntah
yang dapat meningkatkan
tekanan atau nyeri
intrabdomen.

Kolaborasi:  

Berikan obat sesuai indikasi: Menurunkan laju metabolik dan


iritasi usus karena toksin
1. Analgesik, narkotik sirkulasi/lokal, yang membantu
2. Antiemetik, contoh hidroksin menghilangkan nyeri dan
(Vistaril) meningkatkan penyembuhan.
3. Antipiretik, contoh
asetaminofen (Tylenol) Catatan: Nyeri biasanya berat dan
memerlukan pengontrol nyeri
narkotik, analgesik dihindari dari
proses diagnosis karena dapat
menutupi gejala.

Menurunkan mual/munta, yang


dapt meningkatkan nyeri abdomen

Menurunkan ketidaknyamanan
sehubungan dengan demam atau
menggigil.
3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan anoreksia dan
mual
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan nafsu makan dapat timbul
kembali danstatus nutrisi terpenuhi.
Kriteria Hasil:
a. Status nutrisi terpenuhi
b. Nafsu makan klien timbul kembali
c. Berat badan normal
d. Jumlah Hb dan albumin normal

Intervensi Keperawatan :

Tindakan Intervensi Rasional


Mandiri:  

1. Awasi haluan selang NG, 1. Jumlah besar dari aspirasi


dan catat adanya muntah gaster dan  muntah atau
atau diare. diare diduga terjadi obstruksi
2. Timbang berat badan tiap usus, memerlukan evaluasi
hari. lanjut.
3. Auskultasi bising usus, catat 2. Kehilangan atau peningkatan
bunyi tak  ada atau dini menunjukkan perubahan
hiperaktif. hidrasi tetapi kehilangan
4. Catat kebutuhan kalori yang lanjut diduga ada defisit
dibutuhkan. nutrisi.
5. Monitor Hb dan albumin 3. Meskipun bising usus sering
6. Kaji abdomen dengan tak ada, inflamasi atau iritasi
sering untuk kembali ke usus dapat                
bunyi yang lembut, menyertai hiperaktivitas usus,
penampilan bising usus penurunan absorpsi air dan
normal, dam kelancaran diare.
flatus. 4. Adanya kalori (sumber
energi) akan mempercepat
proses penyembuhan.
5. Indikasi adekuatnya protein
untuk sistem imun.
6. Menunjukan kembalinya
fungsi usus ke normal

 
Kolaborasi:  

1. Kolaborasi pemasangan 1. Agar nutrisi klien tetap


NGT jika klien tidak dapat terpenuhi.
makan dan minum peroral. 2. Tubuh yang sehat tidak
2. Kolaborasi dengan ahli gizi mudah untuk terkena infeksi
dalam diet. (peradangan).
3. Berikan informasi tentang 3. Klien dapat berusaha untuk
zat-zat  makanan  yang memenuhi kebutuhan makan
sangat penting bagi dengan makanan yang
keseimbangan metabolisme bergizi.
tubuh

4. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan volume cairan


aktif.
Tujuan: Mengidentifikasi intervensi untuk memperbaiki keseimbangan cairan
dan meminimalisir proses peradangan untuk meningkatkan kenyamanan.
Kriteria hasil:
a. Keluaran urine adekuat dengan berat jenis normal,
b. Tanda vital stabil
c. Membran mukosa lembab
d. Turgor kulit baik
e. Pengisian kapiler meningkat
f. Berat badan dalam rentang normal.

Intervensi keperawatan:

Tindakan Intervensi Rasional


Mandiri:  

1. Pantau tanda vital, catat 1. Membantu dalam evaluasi


adanya hipotensi (termasuk derajat defisit
perubahan postural), cairan/keefektifan
takikardia, takipnea, penggantian terapi cairan dan
demam. Ukur CVP bila ada. respons terhadap
2. Pertahankan intake dan pengobatan.
output yang adekuat lalu 2. Menunjukkan status hidrasi
hubungkan dengan berat keseluruhan.
badan harian. 3. Untuk mencukupi kebutuhan
3. Rehidrasi/ resusitasi cairan cairan dalam tubuh
4. Ukur berat jenis urine (homeostatis).
5. Observasi kulit/membran 4. Menunjukkan status hidrasi
mukosa untuk kekeringan, dan perubahan pada fungsi
turgor, catat edema ginjal.
perifer/sacral. 5. Hipovolemia, perpindahan
6. Hilangkan tanda cairan, dan kekurangan
bahaya/bau dari lingkungan. nutrisi mempeburuk turgor
Batasi pemasukan es batu. kulit, menambah edema
7. Ubah posisi dengan sering jarinagan.
berikan perawatan kulit 6. Menurunkan rangsangan
dengan sering, dan pada  gaster dan respons
pertahankan tempat tidur muntah.
kering dan bebas lipatan. 7. Jaringan edema dan adanya
gangguan sirkulasi
cenderung merusak kulit

Kolaborasi:  

1. Awasi pemerikasaan 1. Memberikan informasi


laboratorium, contoh Hb/Ht, tentang  hidrasi dan fungsi
elektrolit, protein, albumin, organ.
BUN, kreatinin. 2. Mengisi/mempertahankan
2. Berikan plasma/darah, volume sirkulasi dan
cairan, elektrolit. keseimbangan elektrolit.
3. Pertahankan puasa dengan Koloid (plasma, darah)
aspirasi membantu menggerakkan air
nasogastrik/intestinal ke dalam area intravaskular
dengan meningkatkan
tekanan osmotik.
3. Menurunkan hiperaktivitas
usus dan kehilangan dari
diare.

5. Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan trauma jaringan.


Tujuan: Mengurangi infeksi yang terjadi, meningkatkan kenyamanan pasien.
Kriteria hasil:
a. Meningkatnya penyembuhan pada waktunya, bebas  drainase purulen
atau eritema, tidak demam.
b. Menyatakan pemahaman penyebab individu / faktor resiko.

Intervensi Keperawatan
Tindakan  Intervensi Rasional
Mandiri:

1. Catat faktor risiko individu 1. Mempengaruhi pilihan


contoh trauma abdomen, intervensi
apendisitis akut, 2. Tanda adanya syok septik,
2. Kaji tanda vital dengan endotoksin sirkulasi
sering, catat tidak menyebabkan vasodilatasi,
membaiknya atau kehilangan cairan dari sirkulasi,
berlanjutnya hipotensi, dan rendahnya status curah
penurunan tekanan nadi, jantung.
takikardia, demam, 3. Hipoksemia, hipotensi, dan
takipnea. asidosis dapat menyebabkan
3. Catat perubahan status penyimpangan status mental.
mental (contoh bingung, 4. Hangat, kemerahan, kulit
pingsan). kering adalah tanda dini
4. Catat warna kulit, suhu, septikemia. Selanjutnya
kelembaban. manifestasi termasuk dingin,
5. Awasi haluaran urine. kulit pucat lembab dan sianosis
6. Pertahankan teknik aseptik sebagai tanda syok.
ketat pada perawatan drein 5. Oliguria terjadi sebagai akibat
abdomen, luka penurunan perfusi ginjal, toksin
insisi/terbuka, dan sisi dalam sirkulasi mempengaruhi
invasif. Bersihkan dengan antibiotik.
Betadine atau larutan lain 6. Mencegah meluas dan
yang tepat kemudia bilas membatasi penyebaran
dengan PZ. organisme infektif/kontaminasi
7. Observasi drainase pada silang.
luka. 7. Memberikan informasi tentang
8. Pertahankan teknik steril status infeksi.
bila pasien dipasang 8. Mencegah penyebaran,
kateter, dan berikan membatasi pertumbuhan
perawatan kateter/ atau bakteri pada traktus urinarius.
kebersihan perineal rutin. 9. Menurunkan resiko terpajan
9. Awasi/batasi pengunjung pada/menambah infeksi
dan staf sesuai kebutuhan. sekunder pada pasien yang
Berikan perlindungan mengalami tekanan imun.
isolasi bila diindikasikan.

Kolaborasi:  

1. Ambil contoh/awasi hasil 1. Mengidentifikasikan


pemeriksaan seri darah, mikroorganisme dan
urine, kultur luka. membantu dalam mengkaji
2. Bantu dalam aspirasi keefektifan prigram
6. Ansietas berhubungan dengan Perubahan status kesehatan.
Tujuan: Mengurangi ansietas klien
Kriteria hasil:
a. Mengakui dan mendiskusikan masalah
b. Penampilan wajah tampak rileks
c. Mampu menerima kondisinya

Intervensi:

Tindakan Intervensi Rasional

1. Evaluasi tingkat 1. Untuk mengetahui tingkat


pemahaman klien/orang pengetahuan klien
terdekat tentang 2. Untuk mengetahui perasaan
diagnosa. klien sekarang
2. Akui rasa takut/masalah 3. Agar tidak terjadi
klien dan dorong kesalahpahaman oleh klien
mengekspresikan 4. Untuk menghargai klien
perasaan. dalam memberikan
3. Berikan kesempatan pendapat
untuk bertanya dan 5. Agar tingkat pengetahuan
jawab dengan jujur. dan pemahaman klien
Yakinkan bahwa klien 6. Agar klien merasa rileks
dan perawat mempunyai 7. Yakinkan klien agar tetap
pemahaman yang sama. percaya diri dan
4. Terima penyangkalan bersemangat
klien tetapi jangan 8. Agar klien tidak salah
dikuatkan. terhadap infomasi yang
5. Catat komentar perilaku didapatkan
yang menunjukkan
menerima dan/atau
mengurangi strategi
efektif menerima situasi.
6. Berikan kenyamanan
fisik klien
7. Pasien dan orang
terdekat mendengar dan
mengasimilasi informasi
baru yang meliputi
perubahan ada
gambaran diri dan pola
hidup.
8. Membuat kepercayaan
dan menurunkan
kesalahan
persepsi/interpretasi
terhadap informasi.

7. Gangguan pola tidur berhubungan Hambatan lingkungan


Tujuan: Kebutuhan tidur dalam batas normal
Kriteria hasil :
a. Kesulitan tidur berkurangan
b. Mata tidak terlihat sayu

Intervensi Keperawatan

Tindakan Intervensi Rasional


1. Kaji pola tidur atau istirahat 1.
normal pasien yang normal pada pasien
2. Ciptakan lingkungan yang dan dapat
nyaman menentukankelamaan
3. Jelaskan pentingnya tidur yang tidur
cukup 2.
4. Anjurkan pasien untuk nyaman dan tenang
melakukan ritual sebelum tidur. dalam beristirahat
5. Kolaborasi dalam pemberian 3.
terapi obat pentingnya tidur
4.
membantu meningkatkan
tidur pasien
5.
penyembuhan penyakit
D. Implementasi
Implementasi atau pelaksanaan adalah inisiatif dari rencana tindakanuntuk
mencapai tujuan yang spesifik. Tahap implementasi di mulai setelah rencana
tindakan di susun dan di tujukan pada rencana strategi untuk membantu
mencapai tujuan yang di harapkan. Olehsebab itu, rencana tindakan yang
spesifik di laksanakan untuk memodifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi
masalah kesehatan. Tujuan dari implementasi adalah membantu dalam
mencapai tujuan yang telah di tetapkan, yang mencakup peningkatan kesehatan,
pencegahan penyakit, pemulihan kesehatan dan memfasilitasi koping (Harahap,
2019)

E. Evaluasi
Tahap penilaian atau evaluasi adalah perbandingan yang sistematis dan
terencana tentang kesehatan klien dengan tujuan yang telah ditetapkan,
dilakukan dengan cara bersinambungan dengan melibatkan klien, keluarga, dan
tenaga kesehatan lainnya. Tujuan evaluasi adalah untuk melihat kemampuan
klien dalam mencapai tujuan yang disesuaikan dengan kriteria hasil pada tahap
perencanaan (Harahap, 2019)
Daftar Pustaka
Bruno, L. (2019). Buku Ajar Anatomi Dan Fisiologi. Journal of Chemical
Information and Modeling (Vol. 53).
http://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004
PPNI, T. P. S. D. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi
dan Indikator Diagnostik (1st ed.). Jakarta: DPP PPNI.
Malgras B. (2016) Natural History of Pneumoperitoneum After Laparotomy:
Findings on Multidetector-Row Computed Tomography. World Jurnal of Surgery
Khan AN. (2016). Pneumoperitoneum Imaging. Medscape
Amin Huda Nurarif.2015.Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis dan Nanda Nic-Noc Jilid 2.Jogjakarta : MediAction
Bulechek, Butcher, Dochterman, Wagner. 2013. Nursing Interventions
Classification (NIC). Edisi ke-6. Jakarta: Mocomedia
Nurarif & Kusuma. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis & NANDA NIC NOC Jilid 1. Jakarta:EGC

Anda mungkin juga menyukai