PNEUMOPERITONEUM
I. Konsep Teori
A. Definisi
Pneumoperitoneum adalah gambaran udara bebas / free airpada
intraperitoneal / kavum peritoneum. Normalnya udara tidak terdapat pada kavum
peritoneum, ekstraperitoneal, dinding usus, maupun sistem bilier. Pemeriksaan
foto polos abdomen maupun thoraks dapat mendeteksi adanya udara bebas /
free air intrapertioneal, namun apabila jumlahnya sedikit hanya dapat terdeteksi
pada pemeriksaan CT – Scan. Sebagian kasus pneumoperitoneum merupakan
kasus yang tidak berbahaya, akan tetapi sering juga merupakan indikasi bedah
emergensi untuk menangani perforasi organ berongga intraabdomen.
Gambar 2
Gambar visera abdomen dan refleksi peritoneum mayor
(Diambil dari Diagnostic imaging abdomen)
C. Etiologi
Penyebab yang paling umum pneumoperitoneum adalah perforasi organ
berongga abdomen, terutama perforasi ulkus peptikum, tumor, trauma iatrogenik,
maupun trauma tumpul abdomen. Pneumoperitoneum bisa juga terjadi setelah
proses pembedahan abdomen, manipulasi transperitoneal, maupun needle
biopsi pada abdomen. Penyebab yang lain bisa berhubungan dengan kelainan
pada thoraks seperti diseksi pneumomediastinum. Pneumoperitoneum juga
dapat disebabkanmasuknya udara melalui traktus genitalia wanita.
Penyebab pneumoperitoneum juga tergantung pada usia. Pada neonatus
sering disebabkan oleh perforasi usus sebagai efek sekunder pada kasus
enterokolitis nekrotikans dan ileus obstruktif. Juga bisa disebabkan iatrogenik
misalnya pada perforasi gaster oleh karena nasogastric tube maupun ventilasi
mekanik
Pada bayi dan anak – anak pneumoperitoneum juga dapat disebabkan oleh
trauma tumpul abdomen yang menyebabkan ruptur organ berongga, trauma
penetrasi, perforasi traktus gastrointestinal (ulkus peptikum, stress ulcer, kolitis
ulseratif dengan toksik megakolon, Crohn disease, ileus obstruktif), terapi steroid,
infeksi pada peritoneum oleh organisme penghasil gas atau oleh karena ruptur
abses.
Gambaran pneumoperitoneum pada pasien dengan nyeri abdomen akut
merupakan tanda yang penting, karena lebih dari 90 % penyebab
pneumoperitoneum akan membutuhkan tindakan pembedahan segera.
Pneumoperitoneumjuga dapat timbul pada 60 % pasien paska laparoromi. Pada
sebagian besar pasien ini free airakan diserap dalam waktu 5 – 7 hari, namun
sering pula free air baru diserap semua pada hari ke 24 paska laparotomi.
E. Patofisiologi
Pneumoperitoneum pada akhirnya merupakan hasil iskemia jaringan,erosi,
infeksi, atau cedera mekanis dan atau termal
Udara bebas atau pneumoperitoneum terbentuk jika udara keluar dari sistem
gastrointestinal. Hal ini terjadi setelah perforasi lambung, bagian duodenum dan
usus besar.
F. Pathway
Perubahan nutrisi
kurang dari
kebutuhan
F. Data Penunjang
1. TEKNIK PEMERIKSAAN RADIOLOGI
Pemeriksaan radiografi yang optimal sangat penting, pada waktu kita
mencurigai adanya perforasi organ intra abdomen. Idealnya pemeriksaan X-
foto polos yang dilakukan adalah foto thoraks posisi tegak (erek), abdomen
supine, erek, serta posisi left lateral dekubitus.
Pemeriksaan X- foto polos abdomen dan thoraks dapat memberikan
gambaran pneumoperitoneum pada 75 – 80 % kasus perforasi organ
berongga abdomen. Dengan teknik yang benar, 76 % kasus
pneumoperitoneum dapat terdeteksi pada X- foto posisi erek, sedangkan bila
ditambahkan posisi left lateral dekubitus dapat mendeteksi 90 % kasus. CT -
Scan tetap lebih sensitif dalam mendeteksi kasus pneumoperitoneum, karena
gambaran free air yang minimal dapat terdeteksi. Pemeriksaan radiogaraf
yang optimal sangat penting, pada waktu kita mencurigai adanya perforasi
organ berongga abdomen
a. Pemeriksaan X- foto polos abdomen
Pemeriksaan foto polos abdomen untuk mendeteksi adanya
pneumoperitoneum adalah posisi supine, erek / tegak, dan left lateral
dekubitus. Pada X- foto polos abdomen posisi tegak menghasilkan
gambaran oblik dari diafragma sehingga mengaburkan gambaran free air
karena sinar - X diarahkan lebih inferior dari diafragma
Posisi left lateral dekubitus lebih sensitif dalam mendeteksi free air
yang berada antara tepi bebas hepar dan dinding lateral kavum
peritoneum meskipun dalam jumlah kecil. Tekniknya harus benar, dimana
pasien harus diposisikan berbaring miring dengan sisi kiri dibawah
selama 10 menit. Pada pasien yang tidak bisa dilakukan posisi LLD dapat
juga dilakukan foto lateral abdomen cross table.
Prinsip pemeriksaan X - foto polos abdomen posisi LLD maupun
erek / semi erek adalah menggunakan sinar X arah horizontal (horizontal
beam), karena apabila ada udara akan menempati tempat tertinggi pada
kavum peritoneum.
Posisi supine juga sering dilakukan untuk mendeteksi adanya
pneumoperitoneum. Kebanyakan pasien dengan kondisi emergensi
sering tidak bisa dilakukan pemeriksaan radiograf dengan sinar
horizontal, sehingga sangat penting pula untuk mengenali tanda – tanda
pneumoperitoneum pada posisi abdomen supine
2. GAMBARAN RADIOLOGI KONVENSIONAL PNEUMOPERITONEUM
Pemeriksaan foto polos thoraks dan abdomen merupakan pilihan
pertama pada pasien emergensi dengan nyeri abdomen. Pada pasien
tersebut, biasanya didapatkan adanya udara dibawah diafragma yang hampir
sering disebabkan oleh perforasi traktus gastrointestinal. Adanya udara
bebas intraperitoneal ini akan menempati ruang – ruang potensial
intraperitoneal dan memberikan gambaran – gambaran khusus pada
pemeriksaan X- foto polos abdomen.
Gambaran pnemoperitoneum pada pemeriksaan X- foto polos
abdomen posisi supine adalah sebagai berikut :
Upper abdomen
- Falciforme ligamentum sign
- Cupola sign
Mid abdomen :
Rigler’s sign, Football sign
Lower abdomen :
inverted V sign
Gambar 3
Posisi LLD memperlihatkan adanya free air antara dinding
abdomen dan hepar (panah putih) dan tampak pula adanya cairan
bebas intraperitoenal (panah hitam)
(Diambil dari http://emedicine.medscape.com/article/372053-
overview))
b. CUPOLA SIGN
Cupola sign adalah gambaran lusensi bentuk arkuata yang melapisi
permukaan vertebra thorakal bawal dan diproyeksikan pada bagian
bawah jantung. Batas atasnya tegas, sedangkan batas bawahnya tidak
jelas. Istilah cupola menggambarakan lusensi yang menyerupai inverted
cup shaped. Cupola sign dapat terlihat pada posisi supine
Gambar 6
X- foto thorax AP pada 2 pasien yang berbeda memperlihatkan :
gambaran lusen bentuk arkuata batas atasnya tegas, batas bawah
tidak tegas, pada subphrenic space median.
(Diambil
darihttp://www.learningradiology.com/notes/ginotes/freeairpage.htm)
Udara pada kavum peritoneum ini akan lebih banyak berkumpul pada
bagian anterior, dibawah central tendon diafragma dan didalam ruang
subfrenik median. Central tendon diafragma terdiri dari 3 lembar : kanan,
kiri, dan tengah. Lembar tengah terletak di anterior, tempat dimana udara
berkumpul saat pasien posisi supine. Ruang subfrenik median terletak
pada anterior dari lambung dan ligamentum gastrohepatik. Jadi gambaran
cupola sign dapat terlihat sebagai lusensi linier transversal yang
menyeberangi midline dibagian bawah dari jantung.
c. FOOTBALL SIGN
Football Sign adalah gambaran bayangan bentuk oval besar yang
yang membatasi tepi perifer kavum peritoneum. Gambaran bentuk oval ini
pada regio abdomen atas terbagi sepanjang aksis longitudinalnya oleh
penyempitan soft tissue yang dibentuk oleh ligamentum falsiforme.
Gambaran ini menyerupai bentuk oval besar dari American football. Axis
memanjang dari gambaran ini berjalan sefalokaudal dengan ujung tumpul
dibatasi oleh diafragma dan dasar pelvis. Batas atas berupa opasitas
linier vertikal batas tegas pada abdomen kanan atas, dan batas bawah
berupa opasitas linier vertikal batas tegas pada midline abdomen bawah.
Gambaran radiolusen bentuk oval ini menggambarkan
pneumoperitoneum masif yang menyebabkan distensi kavum peritoneum.
Pada posisi supine, udara bebas berkumpul pada bagian anterior dari
organ intraabdomen, sehingga menimbulkan batas yang tegas dengan
peritoneum parietal
Gambar 10
X- foto abdomen supine : football sign pada neonatus dengan
perforasi rektum sebagai akibat sekunder trauma penggunaan rectal
tube. Pneumoperitoneum terlihat sebagai gambaran radiolusen bentul
oval besar dibatasi oleh peritoneum parietal (panah lengkung).
Ligamentum falsiforme (panah lurus) juga dikelilingi oleh free air.
(Diambil dari http://radiology.rsna.org/content/231/1/81)
Gambar 24
X- foto abdomen supine memperlihatkan free air ekstensif
yang membatasi dinding luar usus diantara multipel loop usus yang
terisi udara. Panah putih menunjukkan dinding usus antara udara
intraluminer dan free air intraperitoneal.
(Diambil dari http://radiology.rsna.org/content/228/3/706)
Gambar 27
Falciforme ligament sign (panah) tervisualisasi dengan jelas karena
adanya free air yang mengelilinginya
(Diambil dari Am J Roentgenol 1991; 156: 731-5)
Gambar 28
X - foto polos abdomen supine memperlihatkan
pneumoperitoneum masif. Ligamentum falsiforme (panah), tepi hepar
(kepala panah), dan Vesika felea (GB) dikelilingi oleh free air
(Diambil dari Thai J Gastroenterol 2005; 6: 3)
2) INVERTED V SIGN
Inverted V sign adalah gambaran dimana ligamentum umbilical
(umbilical fold) dapat terlihat sebagai opasitas linier bentuk huruf
Vterbalik, dibatasi oleh lusensi free air pada kavum pelvis. Secara
anatomi ada 2 lipatan pada kavum abdomen bawah yang dapat
membentuk gambaran inverted V sign, yaitu ligamentum umbilikal
medial yang berasal dari obliterasi arteri umbilikalis, dan ligamentum
umbilikal lateral yang berisi arteri epigastrika inferior
Gambar 31
Gambaran pneumoperitoneum memperlihatkan inverted V sign yang
berasal dari ligamentum umbilikal lateral, dan juga memperlihatkan
ligamentum falciforme sign
(Diambil dari Am J Roentgenol 1991; 156: 731-5)
Gambar 32
Umbilicus sign, membentuk gambaran inverted V pada pasien dengan
pneumoperitoneum masif
(Diambil dari Hong Kong j.emerg.med 2005; 12: 46-9)
Gambar 34
Chilaiditi’s syndrom berupa gambaran distensi usus, flexura
hepatica colon interposisi diantara hepar dan diafragma, memberikan
gambaran pseudopneumoperitoneum
(Diambil dari http://emedicine.medscape.com/article/372053-
overview)
2) Abses subfrenik
Abses subfrenik biasanya memberikan gambaran multipel
lusen dibawah diafragma, terlokalisir, berbentuk bulat dengan tepi
ireguler, dan tidak berada dalam struktur loop usus. Abses subfrenik
ini biasanya timbul paska proses pembedahan, pada kasus elektif
maupun abdomen akut. Pada 80 % kasus memperlihatkan gambaran
diafragma letak tinggi, 70 % disertai konsolidasi atau kolaps pada
basal paru, dan 60 % disertai efusi pleura.
Gambar 38
Pasien dengan abses subdiafragma yang telah dibuktikan
dengan pemeriksaan Ct Scan. Tak tampak struktur haustra yang
mengelilingi lusensi tersebut
(Diambil dari http://emedicine.medscape.com/article/372053-
overview)
G. Tatalaksana dan Prognosis
Prinsip tatalaksana dan prognosis tergantung dari penyebab utamanya.
Ketika seorang pasien memiliki pneumoperitoneum, langkah pertama dalam
pengobatan adalah mencari tahu mengapa, dalam rangka untuk
mengembangkan pendekatan pengobatan yang tepat. Ini mungkin membutuhkan
tes diagnostik tambahan bersama dengan wawancara pasien. Dalam beberapa
kasus, pengobatan konservatif adalah program yang paling masuk akal, dengan
dokter menunggu dan melihat pendekatan untuk melihat apakah tubuh pasien
mampu menghilangkan gas sendiri. Jika pneumoperitoneum adalah komplikasi
dari infeksi, maka operasi untuk memperbaiki masalah ini diperlukan secepat
mungkin. Perforasi dan infeksi dengan cepat dapat menyebabkan kematian
dengan segera.
II. Konsep Asuhan Keperawatan
A. Pengkajian
1. Identitas
a. Nama pasien
b. Umur
c. Jenis kelamin
d. Suku /Bangsa
e. Pendidikan
f. Pekerjaan
g. Alamat
2. Keluhan utama.
Keluhan utama yang sering muncul adalah nyeri kesakitan di bagian
perut
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Pneumoperitoneum merupakan hasil iskemia jaringan,erosi, infeksi,
atau cedera mekanis dan atau termal
Saakit perut, muntah, perut kembung, demam, diare, takikardia,
takipnea, keluaran urin.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Komplikasi post operasi, operasi yang tidak steril dan akibat
pembedahan, trauma pada kecelakaan seperti ruptur limpa dan ruptur hati.
5. Riwayat Penyakit Keluarga
Apakah didalam keluarganya ada yang menderita penyakit yang sama
atau penyakit menular.
6. Pemeriksaan Fisik
a. Sistem pernafasan (B1)
Pola nafas irregular (RR> 20x/menit), dispnea, retraksi otot
bantu pernafasan serta menggunakan otot bantu pernafasan.
b. Sistem kardiovaskuler (B2)
Klien mengalami takikardi karena mediator inflamasi dan
hipovelemia vaskular karena anoreksia dan vomit. Didapatkan irama
jantung irregular akibat pasien syok (neurogenik, hipovolemik atau
septik), akral : dingin, basah, dan pucat.
c. Sistem Persarafan (B3)
Tidak mengalami gangguan pada otak .
d. Sistem Perkemihan (B4)
Terjadi penurunan produksi urin.
e. Sistem Pencernaan (B5)
Klien akan mengalami anoreksia dan nausea. Vomit dapat
muncul akibat proses ptologis organ visceral (seperti obstruksi).
Selain itu terjadi distensi abdomen, bising usus menurun, dan gerakan
peristaltic usus turun (<12x/menit).
f. Sistem Muskuloskeletal dan Integumen (B6)
Klien mengalami letih, sulit berjalan, nyeri perut dengan
aktivitas. Kemampuan pergerakan sendi terbatas, kekuatan otot
mengalami kelelahan, dan turgor kulit menurun akibat kekurangan
volume cairan.
g. Pengkajian Psikososial
Interaksi sosial menurun terkait dengan keikutsertaan pada
aktivitas sosial yang sering dilakukan.
h. Personal Hygiene
Kelemahan selama aktivitas perawatan diri.
1) Pengkajian Spiritual
2) Pemeriksaan penunjang
7. Pemeriksaan Laboratorium
a. Complete Blood Count (CBC), umumnya pasien dengan infeksi intra
abdomen menunjukan adanya luokositosis (>11.000 sel/ µL) dengan
adanya pergerakan ke bentuk immatur pada differential cell count. Namun
pada pasien dengan immunocompromised dan pasien dengan beberapa
tipe infeksi (seperti fungal dan CMV) keadaan leukositosis dapat tidak
ditemukan atau malah leucopenia
b. PT, PTT dan INR
c. Test fungsi hati jika diindikasikan
d. Amilase dan lipase jika adanya dugaan pancreatitis
e. Urinalisis untuk mengetahui adanya penyakit pada saluran kemih (seperti
pyelonephritis, renal stone disease)
f. Cairan peritoneal, cairan peritonitis akibat bakterial dapat ditunjukan dari
pH dan glukosa yang rendah serta peningkatan protein dan nilai LDH
8. Pemeriksaan Radiologi
a Foto polos
b USG
c CT Scan (eg, gallium Ga 67 scan, indium In 111–labeled autologous
leucocyte scan, technetium Tc 99m-iminoacetic acid derivative scan).
d Scintigraphy
e MRI
f Pemeriksaan radiologis merupakan pemeriksaan penunjang untuk
pertimbangan dalam memperkirakan pasien dengan abdomen akut.
9. X. Ray
Foto polos abdomen 3 posisi (anterior, posterior, lateral), didapatkan :
a. Illeus merupakan penemuan yang tak khas pada peritonitis.
b. Usus halus dan usus besar dilatasi.
c. Udara bebas dalam rongga abdomen terlihat pada kasus perforasi.
B. Diagnosa
C. Intervensi
1. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan Penurunan kedalaman
pernafasan sekunder distensi abdomen dan menghindari nyeri
Tujuan: Pola nafas efektif, ditandai bunyi nafas normal, tekanan O2 dan
saturasi O2 normal.
Kriteria Hasil:
a. Pernapasan tetap dalam batas normal
b. Pernapasan tidak sulit
c. Istirahat dan tidur dengan tenang
d. Tidak menggunakan otot bantu napas
Intervensi Keperawatan:
memaksimalkan
ekspansi paru dan
menurunkan upaya
pernafasan, ventilasi
maksimal membuka area
atelektasis dan
meningkatkan gerakan
Intervensi Keperawatan
Tindakan/Intervensi Rasional
Mandiri:
Kolaborasi:
Menurunkan ketidaknyamanan
sehubungan dengan demam atau
menggigil.
3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan anoreksia dan
mual
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan nafsu makan dapat timbul
kembali danstatus nutrisi terpenuhi.
Kriteria Hasil:
a. Status nutrisi terpenuhi
b. Nafsu makan klien timbul kembali
c. Berat badan normal
d. Jumlah Hb dan albumin normal
Intervensi Keperawatan :
Kolaborasi:
Intervensi keperawatan:
Kolaborasi:
Intervensi Keperawatan
Tindakan Intervensi Rasional
Mandiri:
Kolaborasi:
Intervensi:
Intervensi Keperawatan
E. Evaluasi
Tahap penilaian atau evaluasi adalah perbandingan yang sistematis dan
terencana tentang kesehatan klien dengan tujuan yang telah ditetapkan,
dilakukan dengan cara bersinambungan dengan melibatkan klien, keluarga, dan
tenaga kesehatan lainnya. Tujuan evaluasi adalah untuk melihat kemampuan
klien dalam mencapai tujuan yang disesuaikan dengan kriteria hasil pada tahap
perencanaan (Harahap, 2019)
Daftar Pustaka
Bruno, L. (2019). Buku Ajar Anatomi Dan Fisiologi. Journal of Chemical
Information and Modeling (Vol. 53).
http://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004
PPNI, T. P. S. D. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi
dan Indikator Diagnostik (1st ed.). Jakarta: DPP PPNI.
Malgras B. (2016) Natural History of Pneumoperitoneum After Laparotomy:
Findings on Multidetector-Row Computed Tomography. World Jurnal of Surgery
Khan AN. (2016). Pneumoperitoneum Imaging. Medscape
Amin Huda Nurarif.2015.Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis dan Nanda Nic-Noc Jilid 2.Jogjakarta : MediAction
Bulechek, Butcher, Dochterman, Wagner. 2013. Nursing Interventions
Classification (NIC). Edisi ke-6. Jakarta: Mocomedia
Nurarif & Kusuma. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis & NANDA NIC NOC Jilid 1. Jakarta:EGC