Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PENDAHULUAN

EPILEPSI

I. Konsep Teori
A. Pengertian
Epilepsi merupakan sindrom yang ditandai oleh kejang yang terjadi berulang-
ulang. Diagnose ditegakkan bila seseorang mengalami paling tidak dua kali
kejang tanpa penyebab (Jastremski, 1988).
Epilepsi adalah penyakit serebral kronik dengan karekteristik kejang berulang
akibat lepasnya muatan listrik otak yang berlebihan dan bersivat reversibel
(Tarwoto, 2007).
Epilepsi adalah gangguan kronik otak dengan ciri timbulnya gejala-gejala
yang datang dalam serangan-serangan, berulang-ulang yang disebabkan lepas
muatan listrik abnormal sel-sel saraf otak, yang bersifat reversibel dengan
berbagai etiologi (Arif, 2000).
Epilepsi adalah sindroma otak kronis dengan berbagai macam etiologi
dengan ciri-ciri timbulnya serangan paroksismal dan berkala akibat lepas muatan
listrik neuron-neuron otak secara berlebihan dengan berbagai manifestasi klinik
dan laboratorik.

B. Anatomi dan Fisiologi

1. Sistem saraf Pusat


Sistem saraf pusat atau central nervous system (CNS) berfungsi
untuk menerima, memproses, menginterpretasikan, dan menyimpan
informasi sensoris yang datang, seperti informasi mengenai rasa, suara,
bau, warna, tekanan pada kulit, kondisi organ internal, dan lain-lain.
Sistem saraf pusat juga mengirimkan pesan untuk otot, kelenjar, dan
organ internal.Secara konseptual, sistem saraf pusat dapat dikatakan
memiliki dua komponen, yaitu otak dan saraf tulang belakan (spinal cord).
2. Sistem Saraf Perifer
Sistem saraf prifer atau PNS berfungsi menangani pesan informasi
yang masuk dan keluar dari sistem saraf pusat.Sistem saraf perifer
meliputi semua bagian dari sistem sarf yang terletak di luar otak dan saraf
tulang belakng, sampai saraf-saraf ujung jari tangan dan jari kaki.
Sistem sarat tepi adalah sistem saraf yang berada pada paling ujung
sistem saraf.Sistem saraf tepi langsung berhubungan reseptor
saraf.Sistem saraf tepi biasa juga disebut dengan sistem saraf
perifer.Kerja sistem saraf tepi ada dua macam, ada yang bekerja dalam
sistem sadar, dan ada pula diluar kesadaran otonom.Sistem saraf tepi
berada diluar sistem saraf pusat, dan tidak dilindungi oleh rangka khusus,
sehingga mudah mengalami kerusakan, seperti terpapar racun, luka
akibat benturan dan lani-lain.
Sistem saraf adalah serangkaian organ yang kompleks dan
bersambungan serta terdiri dari jaringan saraf.Dalam mekanisme sistem
saraf, lingkungan internal dan stimulus eksternal dipantau dan diatur.
Dalam hal ini diatur oleh sistem saraf dalam tiga cara utama:
 Input sensorik, sistem saraf menerima sensasi atau stimulus melalui
reseptor, yang terletak di tubuh baik eksternal (reseptor somatik)
maupun internal (reseptor viseral).
 Aktivitas integratif. Reseptor mengubah stimulus menjadi impuls listrik
yang menjalar disepanjang saraf sampai ke otak dan medulla spinalis,
yang kemudian akan menginterpretasi dan mengintegrasi stimulus,
sehingga respons terhadap informasi bisa terjadi.
 Output motorik. Impuls dari otak dan medulla spinalis memperoleh
respins yang sesuai dari otot dan kelenjar tubuh, yang disebut
sebagai efektor.
Sistem saraf berfungsi untuk mengumpulkan dan memproses
informasi, memberikan reaksi terhadap berbagai rangsangan, dan
mengatur kerja berbagai sel. Sistem saraf terdiri dari sistem saraf pusat
dan sistem saraf perifer.

C. Etiologi
Penyebab pada kejang epilepsi sebagian besar belum diketahui
(idiopatik), sering terjadi pada:
1. Trauma lahir, Asphyxia neonatorum
2. Cedera Kepala, Infeksi sistem syaraf
3. Keracunan CO, intoksikasi obat/alkohol
4. Demam, ganguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia, hiponatremia)
5. Tumor Otak
6. Kelainan pembuluh darah (Tarwoto, 2007).
Faktor etiologi berpengaruh terhadap penentuan prognosis. Penyebab
utama, ialah epilepsi idopatik, remote simtomatik epilepsi (RSE), epilepsi
simtomatik akut, dan epilepsi pada anak-anak yang didasari oleh kerusakan
otak pada saat peri- atau antenatal. Dalam klasifikasi tersebut ada dua jenis
epilepsi menonjol, ialah epilepsi idiopatik dan RSE. Dari kedua tersebut
terdapat banyak etiologi dan sindrom yang berbeda, masing-masing dengan
prognosis yang baik dan yang buruk.
Dipandang dari kemungkinan terjadinya bangkitan ulang pasca-awitan,
definisi neurologik dalam kaitannya dengan umur saat awitan mempunyai
nilai prediksi sebagai berikut:
Apabila pada saat lahir telah terjadi defisit neurologik maka dalam waktu
12 bulan pertama seluruh kasus akan mengalami bangkitan ulang, Apabila
defisit neurologik terjadi pada saat pascalahir maka resiko terjadinya
bangkitan ulang adalah 75% pada 12 bulan pertama dan 85% dalam 36
bulan pertama. Kecuali itu, bangkitan pertama yang terjadi pada saat terkena
gangguan otak akut akan mempunyai resiko 40% dalam 12 bulan pertama
dan 36 bulan pertama untuk terjadinya bangkitan ulang. Secara keseluruhan
resiko untuk terjadinya bangkitan ulang tidak konstan. Sebagian besar kasus
menunjukan bangkitan ulang dalam waktu 6 bulan pertama.
Perubahan bisa terjadi pada awal saat otak janin mulai berkembang, yakni
pada bulan pertama dan kedua kehamilan. Dapat pula diakibatkan adanya
gangguan pada ibu hamil muda seperti infeksi, demam tinggi, kurang gizi
(malnutrisi) yang bisa menimbulkan bekas berupa kerentanan untuk
terjadinya kejang. Proses persalinan yang sulit, persalinan kurang bulan atau
telat bulan (serotinus) mengakibatkan otak janin sempat mengalami
kekurangan zat asam dan ini berpotensi menjadi ''embrio'' epilepsi. Bahkan
bayi yang tidak segera menangis saat lahir atau adanya gangguan pada otak
seperti infeksi/radang otak dan selaput otak, cedera karena benturan
fisik/trauma serta adanya tumor otak atau kelainan pembuluh darah otak juga
memberikan kontribusi terjadinya epilepsi.
Tabel 01. Penyebab- penyebab kejang pada epilepsi
Bayi (0- 2 th) Hipoksia dan iskemia paranatal
  Cedera lahir intrakranial
Infeksi akut
Gangguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia,
hipomagnesmia, defisiensi piridoksin)
Malformasi kongenital
Gangguan genetic
Anak (2- 12 th) Idiopatik
Infeksi akut
Trauma
Kejang demam
Remaja (12- 18 th) Idiopatik
Trauma
Gejala putus obat dan alcohol
Malformasi anteriovena
Dewasa Muda (18- Trauma
35 th) Alkoholisme
Tumor otak
Dewasa lanjut (> 35) Tumor otak
Penyakit serebrovaskular
Gangguan metabolik (uremia, gagal hepatik, dll )
Alkoholisme

D. Tanda dan Gejala


Menurut Commusion of Classification andf Terminologi of the
International League against Epilepsi (ILAE) tahun 1981, klasifikasi epilepsi
sebagai berikut:
1. Sawan parsial (fokal,local)
a) Sawan parsial sederhana: sawan parsial dengan tetap kesadaran
normal
- Dengan gejala motorik
1) Fokal motorik tidak menjalar: sawan terbatas pada satu bagian
tubuh saja
2) Fokal motorik menjalar: sawan dimulai dari satu bagian tubuh
dan menjalar meluas kebagian lain. Disebut juga epilepsi
Jacksen
3) Versif: sawan disertai gerakan memutar kapala, mata, tubuh
4) Postural sawan disertaidengan lengat atau tungkai kaku dalam
sikap tertentu
5) Disertai gangguan fonasi: sawan disertai arus bicara yang
terhenti atau pasien mengeluarkan bunyi-bunyi tertentu
- Dengan gejala somatosensoris atau sensoris spesial: sawan
disertai halusinasi sederhana yang mengenai kalima panca indra
dan bangkitan yang disertai vertigo
1) somatosensorik: timbul rasa kesemutan atau seperti ditusuk-
tusuk jarum
2) visual: terlihat cahaya
3) auditoris: terdengar sesuatu
4) olfaktoris: tercium sesuatu
5) gustatoris: terkecap sesuatu
6) disertai vertigo
- Dengan gejala atau tanda gangguan saraf otonom (sensasi
epigastrium, pucat, berkeringat, membera, piloereksi, dilatasi
pupil)
- Dengan gejala psikis (gangguan fungsi luhur)
1) Disfasia: ganguan bicara misalnya mengulang suatu suku
kata, kata atau bagian kalimat
2) Dismnesia: gangguan proses ingatan misalnya merasa seperti
sudah mengalami, mendengar, melihat,atau sebaliknya tidak
pernah mnegalami,mendangar, melihat, mengetahui sesuatu.
Mungkin mendadak mengingat suatu peristiwa dimasa lalu,
merasa seperti melihat lagi.
3) Kognitif: gangguan orientasi waktu, merasa diri berubah.
4) Afektif: merasa sangat senang, susah, marah, takut.
5) Ilusi: perubahan persepsi benda yang dilihat tampak lebih kecil
atau lebih besar
6) Halusinasi kompleks (berstruktur): mendengar ada yang
bicara, musik melihat sesuatu fenomena tertentu dan lain-lain
2. Sawan parsial komplek
- Serangan parsial sederhana diikuti gangguan kesadaran: kesadaran
mula-mula baik kemudian baru menurun.
a) Dengan gejala parsial sederhana A1-A4; gejala-gejala seperti
golongan A1-A4 diikuti dengan menurunnya kesadaran.
b) Dengan automatisme. Automatisme yaitu gerakan-geraka,
perilaku yang timbul dengan sendirinya, misalnya gerakan
mengunyah-ngunyah, menelan-nelan, wajah muka berubah
seringkali seperti ketakutan, menata-nata sesuatu, memegang-
megang kancing baju, berjlan, mengembara tak menentu,
berbicara dan lain-lain.
- Dengan penurunan kesadaran sejak serangan: kesadaran menurun
sejak permulaan serangan.
a) Hanya dengan penurunan kesadaran.
b) Dengan automatisme.
- Sawan parsial yang berkembang menjadi bangkitan umum (tonik-
klonik, tonik, klonik)
a) Sawan parsial sederhana yang berkembang menjadi bangkitan
umum.
b) Sawan parsial kompleks yang berkembang menjdi bangkitan
umum.
c) Sawan parsial sederhana yang menjadi bangkitan parsial komplek
selalu berkembang menjadi bangkitan umum.
3. Sawan umum (konfulsif atau non konfulsif)
a) Sawan Lena (Absance)
Pada sawan ini, kegiatan yang sedang dikerjakan terhenti,
muka tampak menbengong, bola mata dapat memutar ke atas, tak
ada reaksi bila diajak bicara. Biasanya sawan ini berlangsung selama
¼ - ½ menit dan biasanya dijumpai pada anak.
1) Hanya penurunan kesadaran.
2) Dengan komponen klonik ringan. Gerakan klonis ringan biasanya
dijumpai pada kelopak mata atas, sudut mulut, atau otot-otot 
lainnya bilateral.
3) Dengan komponen atonik. Pada sawan ini, dijumpai otot-otot
leher, lengan tangan, tubuh mendadak melemas sehingga tampak
lunglai.
4) Dengan komponen tonik. Pada sawan ini, dijumpai otot-otot
ekstrenitas, leher atau punggung mendadak mengejang, kepala,
badan menjadi melengkung ke belakang, lengan dapat mengentul
atau mengendang.
5) Dengan automatisme.
6) Dengan komponen autonom.
2 hingga 6 dapat tersendiri atau kombinasi
Lena tak khas (atypical absence)
Dapat disertai:
1) Gangguan tonus yang lebih jelas.
2) Permulaan dan berakhirnya bangkitan tidak mendadak.
4. Sawan Mioklonik
Pada sawan mioklonik terjadi kontraksi mendadak, sebentar, dapat
kuat atau lemah sebagian otot atau semua otot, sekali atau berulang-
ulang. Bangkitan ini dapat dijumpai pada semua umur.
5. Sawan klonik
Pada sawan ini  tidak ada komponen tonik, hanya terjadi kejang
kelonjot. Dijumpai tertutama sekali pada anak.
6. Sawan tonik
Pada sawan ini tidak ada komponen klonik, otot-otot hanya menjadi
kaku, juga terdapat pada anak.
7. Sawan tonik-klonik
Sawan ini sering dijumpai pada umur diatas balita yang terkenala
dengan nama grandmal. Serangan dapat diawali dengan aura yaitu
tanda-tanda yang mendahului suatu sawan. Pasien mendadak jatuh
pingsan, otot-otot seluruh badan kaku. Kejang kaku berlangsung kira-kira
¼ - ½ menit diikuti kejang otot-otot seluruh badang. Bangkitan ini
biasanya berhenti sendiri. Tarikan nafas menjadi dlam beberapa saat
lamanya. Bila pembentukan ludah ketika kejang meningkat, mulut
menjadi berbusa karena hembusan nafas. Mungkin pula pasien kencing
ketika mendapat serangan. Setelah kejang berhenti pasien tidur beberapa
lamanya, dapat pula bangun dengan kesadaran yang masih rendah atau
langsung menjadi sadar dengan keluhan badan pegal-pegal, lelah, nyeri
kepala.
8. Sawan atonik
Pada keadaan  ini otot-otot seluruh badan melemas sehingga pasien
terjatuh. Kesadaran dapat tetap baik atau menurun sebentar. Sawan ini
terutama sekali dijumpai pada anak.
9. Sawan tak tergolongkan
Termasuk golongan ini ialah bangkitan pada bayi berupa gerakan bola
mata yang ritmik, mengunyah-ngunyah, gerakan seperti berenang,
menggigil atau pernafasan yang mendadak berhenti sementara.
Manifestasi klinis epilepsi adalah sebagai berikut (1) :
1. Gejala kejang yang spesifik akan tergantung pada macam kejangnya.
Jenis kejang dapat bervariasi antara pasien, namun cenderung serupa
pada satu individu yang sama.
2. Kejang komplek parsial dapat termasuk gambaran somatosensori atau
motor fokal
3. Kejang komplek parsial dikaitkan dengan perubahan kesadaran
4. Ketiadaan kejang dapat tampak relative ringan, dengan periode
perubahan kesadaran hanya sangat singkat (detik)
5. Kejang tonik klonik umum merupakan episode konvulsif utama dan selalu
dikaitkan dengan kehilangan kesadaran.
E. Patofisiologi
Otak merupakan pusat penerima pesan (impuls sensorik) dan
sekaligus merupakan pusat pengirim pesan (impuls motorik). Otak ialah
rangkaian berjuta-juta neuron. Pada hakekatnya tugas neuron ialah
menyalurkan dan mengolah aktivitas listrik saraf yang berhubungan satu
dengan yang lain melalui sinaps. Dalam sinaps terdapat zat yang dinamakan
neurotransmiter. Asetilkolin dan norepinerprine ialah neurotranmiter eksitatif,
sedangkan zat lain yakni GABA (gama-amino-butiric-acid) bersifat inhibitif
terhadap penyaluran aktivitas listrik sarafi dalam sinaps. Bangkitan epilepsi
dicetuskan oleh suatu sumber gaya listrik di otak yang dinamakan fokus
epileptogen. Dari fokus ini aktivitas listrik akan menyebar melalui sinaps dan
dendrit ke neron-neron di sekitarnya dan demikian seterusnya sehingga
seluruh belahan hemisfer otak dapat mengalami muatan listrik berlebih
(depolarisasi). Pada keadaan demikian akan terlihat kejang yang mula-mula
setempat selanjutnya akan menyebar ke bagian tubuh/anggota gerak yang
lain pada satu sisi tanpa disertai hilangnya kesadaran. Dari belahan hemisfer
yang mengalami depolarisasi, aktivitas listrik dapat merangsang substansia
retikularis dan inti pada talamus yang selanjutnya akan menyebarkan impuls-
impuls ke belahan otak yang lain dan dengan demikian akan terlihat
manifestasi kejang umum yang disertai penurunan kesadaran.
Selain itu, epilepsi juga disebabkan oleh instabilitas membran sel
saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan. Hal ini terjadi karena
adanya influx natrium ke intraseluler. Jika natrium yang seharusnya banyak di
luar membrane sel itu masuk ke dalam membran sel sehingga menyebabkan
ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau
elektrolit, yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi
kelainan depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan
peningkatan berlebihan neurotransmitter aksitatorik atau deplesi
neurotransmitter inhibitorik.
Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari
sebuah fokus kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu
keadaan patologik. Aktivitas kejang sebagian bergantung pada lokasi muatan
yang berlebihan tersebut. Lesi di otak tengah, talamus, dan korteks serebrum
kemungkinan besar bersifat apileptogenik, sedangkan lesi di serebrum dan
batang otak umumnya tidak memicu kejang. Di tingkat membran sel, sel
fokus kejang memperlihatkan beberapa fenomena biokimiawi, termasuk yang
berikut :
1. Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami
pengaktifan.
2. Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan muatan
menurun dan apabila terpicu akan melepaskan muatan menurun secara
berlebihan.
3. Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang
waktu dalam repolarisasi) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau
defisiensi asam gama-aminobutirat (GABA).
4. Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau
elektrolit, yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi
kelainan depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan
peningkatan berlebihan neurotransmitter aksitatorik atau deplesi
neurotransmitter inhibitorik.
Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera setelah
kejang sebagian disebabkan oleh meningkatkannya kebutuhan energi akibat
hiperaktivitas neuron. Selama kejang, kebutuhan metabolik secara drastis
meningkat, lepas muatan listrik sel-sel saraf motorik dapat meningkat menjadi
1000 per detik. Aliran darah otak meningkat, demikian juga respirasi dan
glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul di cairan serebrospinalis (CSS) selama
dan setelah kejang. Asam glutamat mungkin mengalami deplesi (proses
berkurangnya cairan atau darah dalam tubuh terutama karena pendarahan;
kondisi yang diakibatkan oleh kehilangan cairan tubuh berlebihan) selama
aktivitas kejang.
Secara umum, tidak dijumpai kelainan yang nyata pada autopsi. Bukti
histopatologik menunjang hipotesis bahwa lesi lebih bersifat neurokimiawi
bukan struktural. Belum ada faktor patologik yang secara konsisten
ditemukan. Kelainan fokal pada metabolisme kalium dan asetilkolin dijumpai
di antara kejang. Fokus kejang tampaknya sangat peka terhadap asetikolin,
suatu neurotransmitter fasilitatorik, fokus-fokus tersebut lambat mengikat dan
menyingkirkan asetilkolin. 

F. Pathway
G. Data Penunjang
1. CT Scan dan Magnetik resonance imaging (MRI) untuk mendeteksi lesi
pada otak, fokal abnormal, serebrovaskuler abnormal, gangguan
degeneratif serebral. Epilepsi simtomatik yang didasari oleh kerusakan
jaringan otak yang tampak jelas pada CT scan atau magnetic resonance
imaging (MRI) maupun kerusakan otak yang tak jelas tetapi
dilatarbelakangi oleh masalah antenatal atau perinatal dengan defisit
neurologik yang jelas
2. Elektroensefalogram(EEG) untuk mengklasifikasi tipe kejang, waktu
serangan
3. Kimia darah: hipoglikemia, meningkatnya BUN, kadar alkohol darah.

- mengukur kadar gula, kalsium dan natrium dalam darah


- menilai fungsi hati dan ginjal
- menghitung jumlah sel darah putih (jumlah yang meningkat
menunjukkan adanya infeksi).
- Pungsi lumbal utnuk mengetahui apakah telah terjadi infeksi otak

H. Prognosis
Prognosis epilepsi bergantung pada beberapa hal, di antaranya jenis
epilepsi faktor penyebab, saat pengobatan dimulai, dan ketaatan minum obat.
Pada umumnya prognosis epilepsi cukup menggembirakan. Pada 50-70%
penderita epilepsi serangan dapat dicegah dengan obat-obat, sedangkan
sekitar 50 % pada suatu waktu akan dapat berhenti minum obat. Serangan
epilepsi primer, baik yang bersifat kejang umum maupun serangan lena atau
melamun atau absence mempunyai prognosis terbaik. Sebaliknya epilepsi
yang serangan pertamanya mulai pada usia 3 tahun atau yang disertai
kelainan neurologik dan atau retardasi mental mempunyai prognosis relatif
jelek.

I. Penatalaksanaan
Manajemen Epilepsi :
1. Pastikan diagnosa epilepsi dan mengadakan explorasi etiologi dari
epilepsi
2. Melakukan terapi simtomatik
3. Dalam memberikan terapi anti epilepsi yang perlu diingat sasaran
pengobatan yang dicapai, yakni:

- Pengobatan harus di berikan sampai penderita bebas serangan.


- Pengobatan hendaknya tidak mengganggu fungsi susunan syaraf
pusat yang normal.
- Penderita dpat memiliki kualitas hidup yang optimal.
Penatalaksanaan medis ditujukan terhadap penyebab serangan. Jika
penyebabnya adalah akibat gangguan metabolisme (hipoglikemia,
hipokalsemia), perbaikan gangguan metabolism ini biasanya akan ikut
menghilangkan serangan itu.
Pengendalian epilepsi dengan obat dilakukan dengan tujuan
mencegah serangan. Ada empat obat yang ternyata bermanfaat untuk ini:
fenitoin (difenilhidantoin), karbamazepin, fenobarbital, dan asam valproik.
Kebanyakan pasien dapat dikontrol dengan salah satu dari obat tersebut di
atas.
Cara menanggulangi kejang epilepsi :
1. Selama Kejang
a) Berikan privasi dan perlindungan pada pasien dari penonton yang
ingin tahu
b) Mengamankan pasien di lantai jika memungkinkan
c) Hindarkan benturan kepala atau bagian tubuh lainnya dari bendar
keras, tajam atau panas. Jauhkan ia dari tempat / benda berbahaya.
d) Longgarkan bajunya. Bila mungkin, miringkan kepalanya kesamping
untuk mencegah lidahnya menutupi jalan pernapasan.
e) Biarkan kejang berlangsung. Jangan memasukkan benda keras
diantara giginya, karena dapat mengakibatkan gigi patah. Untuk
mencegah gigi klien melukai lidah, dapat diselipkan kain lunak disela
mulut penderita tapi jangan sampai menutupi jalan pernapasannya.
f) Ajarkan penderita untuk mengenali tanda2 awal munculnya epilepsi
atau yg biasa disebut "aura". Aura ini bisa ditandai dengan sensasi
aneh seperti perasaan bingung, melayang2, tidak fokus pada
aktivitas, mengantuk, dan mendengar bunyi yang melengking di
telinga. Jika Penderita mulai merasakan aura, maka sebaiknya
berhenti melakukan aktivitas apapun pada saat itu dan anjurkan untuk
langsung beristirahat atau tidur.
g) Bila serangan berulang-ulang dalam waktu singkat atau penyandang
terluka berat, bawa ia ke dokter atau rumah sakit terdekat.
2. Setelah Kejang
a) Penderita akan bingung atau mengantuk setelah kejang terjadi.
b) Pertahankan pasien pada salah satu sisi untuk mencegah aspirasi.
Yakinkan bahwa jalan napas paten.
c) Biasanya terdapat periode ekonfusi setelah kejang grand mal
d) Periode apnea pendek dapat terjadi selama atau secara tiba- tiba
setelah kejang
e) Pasien pada saaat bangun, harus diorientasikan terhadap lingkungan
f) Beri penderita minum untuk mengembalikan energi yg hilang selama
kejang dan biarkan penderita beristirahat.
g) Jika pasien mengalami serangan berat setelah kejang (postiktal),
coba untuk menangani situasi dengan pendekatan yang lembut dan
member restrein yang lembut
h) Laporkan adanya serangan pada kerabat terdekatnya. Ini penting
untuk pemberian pengobatan oleh dokter.
Penanganan terhadap penyakit ini bukan saja menyangkut
penanganan medikamentosa dan perawatan belaka, namun yang lebih
penting adalah bagaimana meminimalisasikan  dampak yang muncul
akibat penyakit ini bagi penderita dan keluarga maupun merubah stigma
masyarakat tentang penderita epilepsi. 
II. Konsep Asuhan Keperawatan
A. Pengkajian
1. Identitas Pasien
Pada tahap ini meliputi nama, umur, jenis kelamin, alamat rumah,
agama atau kepercayaan, suku bangsa, bahasa yang dipakai, status
pendidikan dan pekerjaanpasien.
2. Keluhan Utama
Untuk keluhan utama, pasien atau keluarga biasanya ketempat
pelayanan kesehatan karena klien yang mengalami penurunan kesadaran
secara tiba-tiba disertai mulut berbuih. Kadang-kadang klien / keluarga
mengeluh anaknya prestasinya tidak baik dan sering tidak mencatat. Klien
atau keluarga mengeluh anaknya atau anggota keluarganya sering
berhenti mendadak bila diajak bicara..
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Kejang, terjadi aura, dan tidak sadarkan diri.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
- Trauma lahir, Asphyxia neonatorum
- Cedera Kepala, Infeksi sistem syaraf
- Ganguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia, hiponatremia)
- Tumor Otak
- Kelainan pembuluh darah
- demam,
- stroke
- gangguan tidur
- penggunaan obat
- hiperventilasi
- stress emosional
5. Riwayat Penyakit Keluarga
Pandangan yang mengatakan penyakit ayan merupakan penyakit
keturunan memang tidak semuanya keliru, sebab terdapat dugaan terdapat
4-8% penyandang ayan diakibatkan oleh faktor keturunan.
6. Riwayat Psikososial
Meliputi perasaan pasien terhadap penyakitnya, bagaimana cara
mengatasinya serta bagaimana perilaku pasien terhadap tindakan yang
dilakukan terhadap dirinya.
7. Pengkajian Pola Fungsi
 Pola persepsi dan tatalaksana hidupsehat
 Adanyatindakanmedisdanperawatandirumahsakitmempengaruhi
perubahan persepsi tentang kesehatan, tapi kadang juga memunculkan
persepsi yang salah terhadap pemeliharaan kesehatan.
 Kemungkinan adanya riwayat kebiasaan merokok, minum alcohol dan
penggunaan obat-obatan bias menjadi faktor predisposisi
timbulnyapenyakit.
 Pola nutrisi danmetabolism
 Dalam pengkajian pola nutrisi dan metabolisme, kita perlu melakukan
pengukuran tinggi badan dan berat badan untuk mengetahui status
nutrisipasien.
 Perlu ditanyakan kebiasaan makan dan minum sebelum dan selama
MRS pasien dengan effusi pleura akan mengalami penurunan nafsu
makan akibat dari sesak nafas dan penekanan pada struktur abdomen.
8. Pola eliminasi
Dalam pengkajian pola eliminasi perlu ditanyakan mengenai
kebiasaan
defekasisebelumdansesudahMRS.Karenakeadaanumumpasienyang
lemah, pasien akan lebih banyak bedrest sehingga akan menimbulkan
konstipasi, selain akibat pencernaan pada struktur abdomen menyebabkan
penurunan peristaltik otot-otot tractusdigestivus.

9. Pola aktivitas dan latihan


 Akibat sesak nafas, kebutuhan O2 jaringan akan kurangterpenuhi.
 Pasien akan cepat mengalami kelelahan pada aktivitasminimal.
 Disamping itu pasien juga akan mengurangi aktivitasnya akibat adanya
nyeridada.
 Untuk memenuhi kebutuhan ADL nya sebagian kebutuhan pasien dibantu
oleh perawat dankeluarganya.
10. Pola tidur dan istirahat
 Adanya nyeri dada, sesak nafas dan peningkatan suhu tubuh akan
berpengaruh terhadap pemenuhan kebutuhan tidur danistirahat.
 Selain itu, akibat perubahan kondisi lingkungan dari lingkungan rumah
yang tenang ke lingkungan rumah sakit, dimana banyak orang yang
mondar - mandir, berisik dan lainsebagainya.
11. Pemeriksaan Fisik
Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhan-keluhan
klien, pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung data dari
pengkajian anamnesis.Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan secara per
sistem (B1-B6) dengan fokus pemeriksaan fisik pada pemeriksaan B3 (Brain)
yang terarah dan dihubungkan dengan keluhan-keluhan dari klien.
 B1 (Breathing)
Pada inspeksi didapatkan klien batuk, peningkatan produksi sputum,
sesak napas, penggunaan otot bantu napas, dan peningkatan frekuensi
pernapasan. Auskultasi bunyi napas tambahan seperti ronkhi pada klien
dengan peningkatan produksi sekret dan kemampuan batuk yang menurun
yang sering didapatkan pada klien stroke dengan penurunan tingkat
kesadaran koma.
Pada klien dengan tingkat kesadaran compos mends, pengkajian
inspeksi pernapasannya tidak ada kelainan. Palpasi toraks didapatkan
taktil premitus seimbang kanan dan kiri.Auskultasi tidak didapatkan bunyi
napas tambahan.
 B2 (Blood)
Pengkajian pada sistem kardiovaskular didapatkan renjatan (syok
hipovolemik) yang sering terjadi pada klien stroke.Tekanan darah biasanya
terjadi peningkatan dan dapat terjadi hipertensi masif (tekanan darah >200
mmHg).
 B3 (Brain)
Stroke menyebabkan berbagai defisit neurologis, bergantung pada
lokasi lesi (pembuluh darah mana yang tersumbat), ukuran area yang
perfusinya tidak adekuat, dan aliran darah kolateral (sekunder atau
aksesori).Lesi otak yang rusak tidak dapat membaik
sepenuhnya.Pengkajian B3 (Brain) merupakan pemeriksaan fokus dan
lebih lengkap dibandingkan pengkajian pada sistem lainnya.
 B4 (Bladder)
Setelah stroke klien mungkin mengalami inkontinensia urine
sementara karena konfusi, ketidakmampuan mengomunikasikan
kebutuhan, dan ketidakmampuan untuk mengendalikan kandung kemih
karena kerusakan kontrol motorik dan postural. Kadang kontrol sfingter
urine eksternal hilang atau berkurang.Selama periode ini, dilakukan
kateterisasi intermiten dengan teknik steril.Inkontinensia urine yang
berlanjut menunjukkan kerusakan neurologis luas.
 B5 (Bowel)
Didapatkan adanya keluhan kesulitan menelan, nafsu makan
menurun, mual muntah pada fase akut.Mual sampai muntah disebabkan
oleh peningkatan produksi asam lambung sehingga menimbulkan masalah
pemenuhan nutrisi.Pola defekasi biasanya terjadi konstipasi akibat
penurunan peristaltik usus.Adanya inkontinensia alvi yang berlanjut
menunjukkan kerusakan neurologis luas.
 B6 (Bone)
Stroke adalah penyakit UMN dan mengakibatkan kehilangan kontrol
volunter terhadap gerakan motorik. Oleh karena neuron motor atas
menyilang,gangguan kontrol motor volunter pada salah satu sisi tubuh
dapat menunjukkan kerusakan pada neuron motor atas pada sisi yang
berlawanan dari otak. Disfungsi motorik paling umum adalah hemiplegia
(paralisis pada salah satu sisi) karena lesi pada sisi otak yang berlawanan.
Hemiparesis atau kelemahan salah satu sisi tubuh, adalah tanda yang lain.
Pada kulit, jika klien kekurangan 02 kulit akan tampak pucat dan jika
kekurangan cairan maka turgor kulit akan buruk. Selain itu, perlu juga
dikaji tanda-tanda dekubitus terutama pada daerah yang menonjol karena
klien stroke mengalami masalah mobilitas fisik.
Adanya kesulitan untuk beraktivitas karena kelemahan, kehilangan
sensori atau paralise/ hemiplegi, serta mudah lelah menyebabkan masalah
pada pola aktivitas dan istirahat.
12. Pengkajian Tingkat Kesadaran
Kualitas kesadaran klien merupakan parameter yang paling mendasar
dan parameter yang paling penting yang membutuhkan pengkajian.Tingkat
keterjagaan klien dan respons terhadap lingkungan adalah indikator paling
sensitif untuk disfungsi sistem persarafan.Beberapa sistem digunakan untuk
membuat peringkat perubahan dalam kewaspadaan dan keterjagaan.
Pada keadaan lanjut tingkat kesadaran klien stroke biasanya berkisar
pada tingkat letargi, stupor, dan semikomatosa.Jika klien sudah mengalami
koma maka penilaian GCS sangat penting untuk menilai tingkat kesadaran
klien dan bahan evaluasi untuk pemantauan pemberian asuhan.

B. Diagnosa Keperawatan
1. Perfusi jaringan tidak efektif berhubungan dengan Syok
2. Jalan napas tidak efektif berhubungan dengan Gangguan saraf otonom
3. Hipertermia berhubungan dengan Proses Penyakit (Demam Meningkat)
4. Risiko cedera berhubungan dengan Kejang yang tidak terkontrol
5. Risiko tinggi terhadap trauma berhubungan dengan Gangguan saraf otonom

C. Implementasi
Implementasi adalah berkesinambungan dan interaktif dengan komponen
lain dari proses keperawatan. Selama implementasi, perawat mengkaji kembali
pasien, modifikasi rencana asuhan, dan menuliskan kembali hasil yang
diharapkan sesuai kebutuhan. Untuk implementasi yang efektif, perawat harus
berpengetahuan banyak tentang tipe-tipe intervensi,
proses implementasi dan metode implementasi. Ada tiga fase
implementasi keperawatan yaitu :
1. Fase persiapan, meliputi pengetahuan tentang rencana, validasi rencana,
pengetahuan dan keterampilan mengimplementasikan rencana, persiapan
pasien dan lingkungan.
2. Fase operasional, merupakan puncak implementasi dengan berorientasi
dengn tujuan. Implementasi apat dilakukan dengan intervensi indeoenden,
dependen atau interdependen
3. Fase terminasi, merupakan terminasi perawat dengan pasien setelah
implementasi dilakukan
(potter and pery, 2005)

D. EVALUASI secara TEORITIS


Fase terakhir proses keperawatan adalah evaluasi terhadap asuhan
keperawatan yang diberikan. Hal yang dievaluasi adalah keakuratan dan kualitas
data, teratasi atau tidaknya maslah pasien, serta pencapaian tujuan serta
ketepatan ntervensi keperawatan.
Tujuan evaluasi adalah untuk memberikan umpan balik rencanaa
keperawatan, menilai dan meningkatkan mutu pelayanan keperawatan melalui
perbandingan pelayanan keperawatan mutu pelayanan keperawatan yang
diberikan serta hasilnya dengan standar yang telah ditentukan terebih dahulu
Evaluasi disusun dengan menggunakan SOAP yang operasional dengan
pengertian S (subjektif) adalah informasi berupa ungkapan yang didapat dari
pasien setelah tindakan diberikan. O (objektif) adalah informasi yang didapat
berupa hasil pengamatan, penilaian, pengukuran yang dilakukan oleh perawat
setelah tindakan dilakukan. A (analisis) adalah membandingkan antara informasi
subjektif dan objektif dengan tujuan dan kriteria hasil, kemudian diambil
kesimpulan bahwa masalah teratasi, teratasi sebagian, atau tidak teratasi. P
(planning) adalah rencana keperawatan lanjutan yang akan dilakukan
berdasarkan hasil analisa (Kozier, 2011).

Daftar Pustaka
PPNI, T. P. S. D. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi
dan Indikator Diagnostik (1st ed.). Jakarta: DPP PPNI.
Amin Huda Nurarif.2015.Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis dan Nanda Nic-Noc Jilid 2.Jogjakarta : MediAction
Bulechek, Butcher, Dochterman, Wagner. 2013. Nursing Interventions
Classification (NIC). Edisi ke-6. Jakarta: Mocomedia
Nurarif & Kusuma. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis & NANDA NIC NOC Jilid 1. Jakarta:EGC
Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan
Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika

Anda mungkin juga menyukai