Anda di halaman 1dari 38

BAGIAN ILMU BEDAH MAKALAH I

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN

SPONDYLOLISTHESIS

OLEH:
dr. Adi Wijayanto

PEMBIMBING:
DR. dr. Nasrullah M., Sp.BS

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS PPDS I


BAGIAN ILMU BEDAH FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018

i
DAFTAR ISI

Halaman Judul ................................................................................................... i

Daftar isi ............................................................................................................ ii

BAB I Pendahuluan .......................................................................................... 1

BAB II Isi .......................................................................................................... 3

BAB II.1 Anatomi Umum ................................................................................. 3

BAB II.2 Definisi ............................................................................................... 13

BAB II.3 Epidemiologi ...................................................................................... 14

BAB II.4 Etiologi dan klasifikasi ....................................................................... 15

BAB II.5 Patofisiologi ....................................................................................... 17

BAB II.6 Gambaran klinis ................................................................................. 21

BAB II.7 Diagnosis ............................................................................................ 22

BAB II.8 Penatalaksanaan ................................................................................. 25

BAB II.9 Prognosis ............................................................................................ 31

BAB III ............................................................................................................. 33

DAFTAR ISI ..................................................................................................... 35

ii
BAB I

PENDAHULUAN

Seiring dengan perkembangan jaman yang diiringi dengan majunya ilmu

pengetahuan dan teknologi yang pesat serta keadaan gizi yang membaik dinegara-

negara maju, diperkirakan akan menurunkan angka kecelakaan/trauma. Hal ini

dikarenakan karena berbagai fasilitas publik seperti transportasi yang aman dan

cenderung murah, dan tingkat kesadaran yang tinggi dari masyarakat membuat

harapan hidup menjadi lebih baik.

Indonesia yang merupakan negara berkembang yang sedang menuju

menjadi negara maju akan menghadapi peningkatan penyakit-penyakit degeneratif

seperti spondylolisthesis, scoliosis, lordosis, kiposis, dan lain-lain.

Spondylolisthesis menunjukkan suatu pergeseran ke depan satu korpus vertebra

bila dibandingkan dengan vertebra yang terletak dibawahnya. Umumnya

diklasifikasikan ke dalam lima bentuk : kongenital atau displastik, isthmus,

degeneratif, traumatik, dan patologis.

Spondylolisthesis mengenai 5-6% populasi pria, dan 2-3% wanita. Kira-

kira 82% kasus isthmic spondylolisthesis terjadi di L5-S1. Spondylolisthesis

kongenital (tipe displastik) terjadi 2 kali lebih sering terjadi pada perempuan

dengan permulaan gejala muncul pada usia remaja.

Etiologi spondylolisthesis adalah multifaktorial. Predisposisi kongenital

tampak pada spondylolisthesis tipe 1 dan tipe 2, dan postur, gravitasi, tekanan

1
rotasional dan stres/tekanan kosentrasi tinggi pada sumbu tubuh berperan penting

dalam terjadinya pergeseran tersebut.

Gambaran klinis spondylolisthesis sangat bervariasi dan bergantung pada

tipe pergeseran dan usia pasien. Gejala jarang berhubungan dengan derajat

pergeseran (slippage), meskipun sangat berkaitan dengan instabilitas segmental

yang terjadi. Pasien dengan spondylolisthesis degeneratif biasanya pada orang tua

dan muncul dengan nyeri tulang belakang (back pain), radikulopati, klaudikasio

neurogenik, atau gabungan beberapa gejala tersebut.

Diagnosis ditegakkan dengan gambaran klinis, pemeriksaan fisik, dan

pemeriksaan radiologis. Nyeri punggung (back pain) pada regio yang terkena

merupakan gejala khas. Pada banyak pasien, lokalisasi nyeri disekitar defek dapat

sangat mudah diketahui bila pasien diletakkan pada posisi lateral dan meletakkan

kaki mereka keatas seperti posisi fetus (fetal position).

Melalui referat ini, penulis ingin menjelaskan lebih lanjut tentang

Spondylolisthesis. Referat ini disusun sebagai bahan informasi bagi pembaca,

khususnya bagi kalangan medis agar dapat mendiagnosa dan memberikan

penatalaksanaan yang tepat pada kasus spondylolisthesis.

2
BAB II

ISI

1. Anatomi Umum

Columna vertebralis merupakan poros tulang rangka tubuh yang

memungkinkan untuk bergerak. Terdapat 33 columna vertebralis, meliputi 7

columna vertebra cervical, 12 columna vertebra thoracal, 5 columna vertebra

lumbal, 5 columna vertebra sacral dan 4 columna vertebra coccygeal. Vertebra

sacral dan cocygeal menyatu menjadi sacrum-coccyx pada umur 20 sampai 25

tahun. Columna vertebrales juga membentuk saluran untuk spinal cord. Spinal

cord merupakan struktur yang sangat sensitif dan penting karena menghubungkan

otak dan sistem saraf perifer.

Canalis spinalis dibentuk di bagian anterior oleh discus intervertebralis

atau corpus vertebra, di lateral oleh pediculus, di posterolateral oleh facet joint

dan di posterior oleh lamina atau ligament kuning. Canalis spinalis mempunyai

dua bagian yang terbuka di lateral di tiap segmen, yaitu foramina intervertebralis.

Recessus lateralis adalah bagian lateral dari canalis spinalis. Dimulai di

pinggir processus articularis superior dari vertebra inferior, yang merupakan

bagian dari facet joint. Di bagian recessus inilah yang merupakan bagian

tersempit. Setelah melengkung secara lateral mengelilingi pediculus, lalu berakhir

di caudal di bagian terbuka yang lebih lebar dari canalis spinalis di lateral, yaitu

3
foramen intervertebralis. Dinding anterior dari recessus lateralis dibatasi oleh

discus intervertebralis di bagian superior, dan corpus verterbralis di bagian

inferior.

Facet Joint adalah persendian kecil yang menghubungkan tulang vertebra

dengan yang lainnya. Sendi faset merupakan sendi diartrosis yang membolehkan

tulang belakang bergerak. Oleh karena kelenturan dari kapsul sendi, tulang

belakang mampu bergerak dalam batas wajar dengan arah yang berbeda-beda.

Dinding lateral dibentuk oleh pediculus vertebralis. Dinding dorsal

dibatasi oleh processus articularis superior dari vertebra bagian bawah, sampai ke

bagian kecil dari lamina dan juga oleh ligamen kuning (lamina). Di bagian sempit

recessus lateralis, dinding dorsalnya hanya dibentuk oleh hanya processus

lateralis, dan perubahan degeneratif di daerah inilah mengakibatkan kebanyakan

penekanan akar saraf pada stenosis spinalis lumbalis.

Akar saraf yang berhubungan dengan tiap segmen dipisahkan dari

kantong dura setinggi ruang intervertebra lalu melintasi recessus lateralis dan

keluar dari canalis spinalis satu tingkat dibawahnya melalui foramina

intervertebralis. Di tiap-tiap titik ini dapat terjadi penekanan.

4
 Anatomi Tulang Belakang

Tulang punggung adalah sekumpulan tulang yang tersusun dalam columna

vertebralis. Garis berat tubuh manusia di kepala berawal pada vertex, diteruskan

5
melalui columna vertebralis ke tulang panggul yang selanjutnya akan

meneruskannya kembali ke tungkai melalui acetabulum. Dalam menjalankan

fungsinya menahan berat badan, tulang-tulang ini diperkuat oleh ligamen dan

otot-otot yang sekaligus juga mengatur keseimbangan dan gerakannya.

Tulang punggung ( columna vertebralis) dibentuk oleh serangkaian tulang

vertebra yang terdiri dari tujuh buah vertebrae cervicales, dua belas buah

vertebrae thoracicae, lima vertebrae lumbales, os sacrum, dan os coccygis. Os

sacrum merupakan penyatuan (fusi) dari lima buah vertebrae sacrales, dan os

coccygis ( tulang ekor) biasa terdiri dari empat vertebrae coccygeae (Wibowo dan

Paryana, 2009).

 Ciri-ciri khas masing-masing tulang vertebra

Vertebrae cervicales pada umumnya mempunyai corpus yang berbentuk

segi-empat, dengan processus transversus yang terbelah dua, dengan tuberculum

anterior dan tuberculum posterior di depan dan belakangnya. Pada processus

transversus dijumpai foramen transversarium. Processus articularis-nya

mempunyai permukaan yang hampir horizontal, miring membentuk sudut ke

depan.Foramen transversarium dari vertebrae cervicalis pertama sampai keenam

merupakan tempat lalu arteria vertebralis yang menuju kepala (lewat foramen

magnum); sedangkan pada vertebrae cervicalis ketujuh lubang ini diisi oleh vena.

Vertebra cervicalis pertama dinamakan atlas. Tulang ini berartikulasi

dengan os occipital (pada condylus occipitalis). Atlas tidak mempunyai corpus

vertebrae tetapi mempunyai massa lateralis atlantis di kiri dan kanan. Kedua

6
massa lateralis dihubungkan oleh arcus anterior atlantis dan arcus posterior

atlantis. Di pertengahan arcus anterior terdapat tuberculum anterior dan di

belakang terdapat tuberculum posterior. Pada atlas, processus transversus tidak

menunjukkan penonjolan yang dominan. Di bagian belakang tuberculum anterior

terdapat fovea dentis. Rongga yang biasa ditempati corpus akan ditempati oleh

dens axis dari vertebra cervicalis II, dan dens axis ini mempunyai permukaan

yang berhubungan dengan fovea dentis.

Vertebra cervicalis kedua atau axis mempunyai corpus yang menonjol

keatas membentuk dens axis. Processus transversus-nya relatif kecil dan

mempunyai tonjolan diujungnya. Vertebra cervicalis keenam hanya mempunyai

ciri berupa tuberculum anterior yang menonjol dinamakan tuberculum caroticum.

Vertebra cervicalis ketujuh dinamakan juga vertebra prominens, berbeda dengan

yang lain karena mempunyai processus spinosus yang panjang menyerupai

vertebra thoracica sehingga mudah diraba dari luar. Selain itu, tuberculum

anterior-nya juga kadang-kadang panjang menyerupai costa.

Vertebra thoracica mempunyai corpus yang menyerupai bentuk jantung

kartu. Processus spinosus-nya panjang dan runcing menghadap ke bawah

sehingga menyulitkan gerakan antar vertebra. Processus articularis tersusun

miring hampir vertikal. Pada bagian atas dan bawah corpus bagian lateral kiri-

kanan terdapat lekukan, fovea costalis (superior dan inferior), tempat lekat tulang

iga (costa). Lekukan serupa juga didapatkan pada processus transversus. Pada

vertebra thoracica kesepuluh sampai kedua belas hanya didapatkan satu buah

fovea costalis di kiri-kanan corpus dengan posisi lebih di tengah. Vertebra

7
thoracica ke dua belas sering menunjukkan processus spinosus yang mirip

vertebra lumbalis.

Vertebra lumbalis mempunyai corpus yang bentuknya mirip ginjal.

Pediculus dan lamina lebih tebal dan kokoh, processus spinosus berbentuk segi-

empat yang relatif besar dan kokoh. Processus transversus tidak menonjol, tetapi

pada processus transversus ini dapat dijumpai processus mammilaris dan

processus accessorius.

Corpus vertebra lumbalis mempunyai tinggi sekitar dua puluh lima milimeter,

dengan discus intervertebralis sekitar sepuluh sampai dua belas milimeter.

Os sacrum atau vertebrae sacrales masih menunjukkan sisa lima tulang

yang menyatu. Di bagian belakang pada garis tengah terdapat crista sacralis

mediana yang merupakan fusi processus spinosus, disertai crista sacralis lateralis

bekas processus transversus dan crista sacralis medialis hasil fusi processus

articularis. Di ujung caudal crista sacralis mediana terdapat ujung canalis

sacralis atau hiatus sacralis dan cornu sacrale yang berhubungan dengan os

coccygis. Hiatus ini dapat digunakan untuk penyuntikan anaesthesi pada caudal

anaesthesia. Di kiri kanan pada pars lateralis terdapat facies auricularis yang

merupakan tempat artikulasi dengan tulang panggul, dalam hal ini dengan os

ilium. Di bagian depan dan belakang terdapat empat pasang foramina sacralia

(anterior dan posterior) tempat lalu saraf spinalis rami anterior dan rami

posterior. Di bagian depan (facies pelvica) os sacrum masing-masing lubang kiri

kanan dihubungkan oleh lineae transersae bekas discus intervertebralis.

8
Os sacrum melengkung ke arah depan dan ke lateral. Pada laki-laki

lengkungan ini lebih nyata dibanding dengan wanita. Bentuk fascies pelvica yang

relatif lebih kurus menguntungkan pada wanita yang akan melahirkan.

Ujung atas bagian depan os sacrum lebih menonjol dan dinamakan promontorium

dengan ala ossis sacri di kiri-kanan nya. Bagian ini penting karena dipergunakan

untuk mengukur diameter panggul. Os sacrum membentuk sudut 60 derajat

dengan bidang vertikal.

Os coccygis (coccyx) adalah beberapa tulang (ekor) sangat kecil di ujung

caudal os sacrum. Jumlahnya biasanya empat buah, kadang-kadang tiga buah,

yang paling atas mempunyai cornu coccygeum yang berhubungan dengan cornu

ossis sacri (Wibowo dan Paryana, 2009).

9
Gambar 1. Tulang Belakang

 Sendi pada Columna Vertebralis

 Sendi antara vertebrae di punggung

Persendian pada columna vertebralis terutama terdapat antara masing-masing

vertebra melalui suatu ‘plane-joint’ pada processus articularis superior dan

processus articularis inferior masing-masing. Sebagai suatu articulatio plana

(plane-joint), sendi ini termasuk sendi synovial.

10
Sendi synovial antar vertebra berbeda pada masing-masing kelompok cervical,

thoracica, dan lumbal. Pada vertebrae cervicales hubungan ini miring, pada

vertebrae thoracicae hubungan ini hampir vertikal pada bidang sagital, sedangkan

pada vertebrae lumbales sendi ini tegak menghadap ke lateral.

 Sendi atlanto-occipitalis

Selain itu terdapat juga persendian antara tulang atlas dengan condyles

accipitalis, yaitu articulation atlantooccipitalis. Pada sendi ini terutama terjadi

gerak ante-flexio dan dorso-flexio kepala terhadap leher. Disamping persendian

pada processus articularisnya, antara atlas dan epistropheus juga terdapat sendi

trochoida yaitu pada hubungan dens axis (dens episthropheus) dengan fovea

dentis. Sendi ini, yang dibagian posterior diperkuat oleh ligamentum transversum

atlantis, memungkinkan gerak latero-flexio kepala terhadap leher.

 Sendi costovertebralis

Articulatio costovertebralis terdapat pada vertebra thoracica yang

berhubungan dengan costa. Sendi ini juga meruakan suatu ‘plant-joint’, terdapat

antara costa dengan fovea costalis yang terdapat pada corpus dan pada processus

transversus.

 Sendi lumbosacral dan sacro-iliaca

Di bagian caudal terdapat articulatio lumbosacralis dan articulatio sacro-

iliaca antara facies articularis ossis sacri dan os illium. Sendi terakhir ini, suatu

plane-joint, merupakan jalur yang meneruskan gaya berat yang ditopang oleh

11
columna vertebralis ke tulang panggul untuk selanjutnya diteruskan ke tulang

tungkai. Fungsi ini dipermudah oleh permukaan facies articularis yang berbenjol-

benjol tidak rata, diperkuat oleh ligamentum sacroiliacum anterior dan

ligamentum sacroiliacum posterior. Disamping itu, vertebra lumbalis pada

articulatio lumbosacralis diikat juga dengan os ilium oleh ligamentum

iliolumbale.

Discus intervertebralis dibentuk oleh nucleus pulposus yang dikelilingi

dan diikat oleh annulus fibrosus yang merupakan suatu fibro cartilago. Pada

anak-anak discus ini berisi materi yang berbentuk gel, tetapi dengan pertambahan

usia, massa ini mengeras menjadi mirip jaringan rawan. Nucleus pulposus dengan

annulus fibrosus berfungsi sebagai bantalan yang menahan tubuh. Tetapi, bila

discus ini mengalami perubahan tekanan yang mendadak, serabut yang

membentuk annulus fibrosus dapat sobek sehingga nucleus pulposus menjorok

keluar. Keadaan ini dinamakan hernia nucleus pulposus. Bagian nucleus yang

keluar akan menekan serabut saraf spinal yang terdapat di sana (Wibowo dan

Paryana, 2009).

 Ligamentum pada Columna Vertebralis

Sepanjang bagian depan columna vertebralis didapati ligamentum

longitudinale anterior yang mengikat semua vertebra. Ligamentum ini dimulai

dari os occipitale dan berakhir pada os sacrum. Di bagian belakang corpus, di

dalam canalis vertebralis, didapati juga ligamentum longitudinale posterior di

dinding depan canalis vertebralis.

12
Ligamenta ini mempunyai hubungan yang erat dengan setiap discus

intervertebralis, serabut collagen-nya menyatu dengan serabut collagen yang

membentuk annulus fibrosus.

Di leher terdapat ligamentum nuchae, suatu ligamentum supra-spinale,

yang menghubungkan setiap processus spinosus dengan protuberantia occipitalis

externa. Ligamentum ini membentuk semacam lembaran yang menghubungkan

tempat perlekatannya di garis tengah. Diantara setiap processus spinosus terdapat

ligamentum interspinalia, dan diantara setiap processus transversus didapati

ligamentum intertransversaria. Lamina setiap vertebra dihubungkan satu sama

lain oleh ligamentum flavum yang menyerupai membran (Wibowo dan Paryana,

2009).

2. Definisi

Spondylolisthesis menunjukkan suatu pergeseran ke depan satu korpus

vertebra bila dibandingkan dengan vertebra yang terletak dibawahnya. Umumnya

terjadi pada pertemuan lumbosacral (lumbosacral joints) dimana L5 bergeser

(slip) diatas S1, akan tetapi hal tersebut dapat terjadi pada tingkatan yang lebih

tinggi.

Umumnya diklasifikasikan ke dalam lima bentuk : kongenital atau

displastik, isthmus, degeneratif, traumatik, dan patologis. Banyak kasus dapat

diterapi secara konservatif. Meskipun demikian, pada individu dengan

radikulopati, klaudikasio neurogenik, abnormalitas postural dan cara berjalan

13
yang tidak behasil dengan penanganan non-operatif, dan terdapatnya pergeseran

yang progresif, pembedahan dianjurkan. Tujuan pembedahan adalah untuk

menstabilkan segmen spinal dan dekompresi elemen saraf jika dibutuhkan

3. Epidemiologi

Spondylolisthesis mengenai 5-6% populasi pria, dan 2-3% wanita.

Karena gejala yang diakibatkan olehnya bervariasi, kelainan tersebut sering

ditandai dengan nyeri pada bagian belakang (low back pain), nyeri pada paha dan

tungkai. Sering penderita mengalami perasaan tidak nyaman dalam bentuk spasme

otot, kelemahan, dan ketegangan otot betis (hamstring muscle).

Meskipun demikian, banyak penelitian menyebutkan bahwa terdapat

predisposisi kongenital dalam terjadinya spondilolisthesis dengan prevalensi

sekitar 69% pada anggota keluarga yang terkena. Lebih lanjut, kelainan ini juga

berhubungan dengan meningkatnya insidensi spina bifida sacralis

Kira-kira 82% kasus isthmic spondylolisthesis terjadi di L5-S1. 11.3%

terjadi di L4-L5. Kelainan kongenital, seperti spina bifida occulta berkaitan

dengan munculnya isthmic spondylolisthesis.

Degeneratif spondylolisthesis terjadi lebih sering terjadi seiring

bertambahnya usia. Vertebrae L4-L5 terkena 6-10 kali lebih sering dibanding

lokasi lainnya. Sakralisasi L5 sering terlihat pada degenerative spondylolisthesis

L4-L5. Tipe ini biasanya muncul 5 kali lebih sering pada wanita dibanding pria,

dan sering pada usia lebih dari 40 tahun.

14
Spondylolisthesis kongenital (tipe displastik) terjadi 2 kali lebih sering

terjadi pada perempuan dengan permulaan gejala muncul pada usia remaja. Tipe

ini biasanya terjadi sekitar 14-21% dari semua kasus spondylolisthesis.

4. Etiologi dan klasifikasi

Etiologi spondylolisthesis adalah multifaktorial. Predisposisi kongenital

tampak pada spondylolisthesis tipe 1 dan tipe 2, dan postur, gravitasi, tekanan

rotasional dan stres/tekanan kosentrasi tinggi pada sumbu tubuh berperan penting

dalam terjadinya pergeseran tersebut.

Terdapat lima tipe utama spondylolisthesis:

a. Tipe I disebut dengan spondylolisthesis displastik (kongenital) dan terjadi akibat

kelainan kongenital pada permukaan sacral superior dan permukaan L5 inferior

atau keduanya dengan pergeseran vertebra L5.

b. Tipe II, isthmic atau spondilolitik, dimana lesi terletak pada bagian isthmus atau

pars interartikularis, mempunyai angka kepentingan klinis yang bermakna pada

individu di bawah 50 tahun. Jika defeknya pada pars interartikularis tanpa adanya

pergeseran tulang, keadaan ini disebut dengan spondilolisis. Jika satu vertebra

mengalami pergeseran kedepan dari vertebra yang lain, kelainan ini disebut

dengan spondylolisthesis.

Tipe II dapat dibagi kedalam tiga subkategori:

- Tipe IIA yang kadang-kadang disebut dengan lytic atau stress spondilolisthesis

dan umumnya diakibatkan oleh mikro-fraktiur rekuren yang disebabkan oleh

15
hiperketensi. Juga disebut dengan stress fracture pars interarticularis dan paling

sering terjadi pada laki-laki.

- Tipe IIB umumnya juga terjadi akibat mikro-fraktur pada pars interartikularis.

Meskipun demikian, berlawanan dengan tipe IIA, pars interartikularis masih tetap

intak akan tetapi meregang dimana fraktur mengisinya dengan tulang baru.

- Tipe IIC sangat jarang terjadi dan disebabkan oleh fraktur akut pada bagian pars

interartikularis. Pencitraan radioisotope diperlukan dalam menegakkan diagnosis

kelainan ini.

c. Tipe III, merupakan spondylolisthesis degeneratif, dan terjadi sebagai akibat

degenerasi permukaan sendi lumbal. Perubahan pada permukaan sendi tersebut

akan mengakibatkan pergeseran vertebra ke depan atau ke belakang. Tipe

spondylolisthesis ini sering dijumpai pada orang tua. Pada tipe III,

spondylolisthesis degeneratif pergeseran vertebra tidak melebihi 30%.

d. Tipe IV, spondylolisthesis traumatik, berhubungan dengan fraktur akut pada

elemen posterior (pedikel, lamina atau permukaan/facet) dibandingkan dengan

fraktur pada bagian pars interartikularis.

16
e. Tipe V, spondylolisthesis patologik, terjadi karena kelemahan struktur tulang

sekunder akibat proses penyakit seperti tumor atau penyakit tulang lainnya

5. Patofisiologi

Sekitar 5-6% pria dan 2-3% wanita mengalami spondylolisthesis.

Pertama sekali tampak pada individu yang terlibat aktif dengan aktivitas fisik

yang berat seperti angkat besi, senam dan sepak bola. Pria lebih sering

menunjukkan gejala dibandingkan dengan wanita, terutama diakibatkan oleh

tingginya aktivitas fisik pada pria. Meskipun beberapa anak-anak dibawah usia 5

tahun dapat mengalami spondylolisthesis, sangat jarang anak-anak tersebut

didiagnosis dengan spondylolisthesis. Spondylolisthesis sering terjadi pada anak

usia 7-10 tahun.

Peningkatan aktivitas fisik pada masa remaja dan dewasa sepanjang

aktivitas sehari-hari mengakibatkan spondylolisthesis sering dijumpai pada remaja

dan dewasa.

Spondylolisthesis dikelompokkan ke dalam lima tipe utama dimana

masing-masing mempunyai patologi yang berbeda. Tipe tersebut antara lain tipe

displastik, isthmik, degeneratif, traumatik, dan patologik. Spondylolisthesis

displatik merupakan kelainan kongenital yang terjadi karena malformasi

lumbosacral joints dengan permukaan persendian yang kecil dan inkompeten.

Spondylolisthesis displastik sangat jarang terjadi, akan tetapi cenderung

berkembang secara progresif, dan sering berhubungan dengan defisit neurologis

berat. Sangat sulit diterapi karena bagian elemen posterior dan prosesus

17
transversus cenderung berkembang kurang baik, meninggalkan area permukaan

kecil untuk fusi pada bagian posterolateral.

Spondylolisthesis displatik terjadi akibat defek arkus neural pada sacrum

bagian atas atau L5. Pada tipe ini, 95% kasus berhubungan dengan spina bifida

occulta. Terjadi kompresi serabut saraf pada foramen S1, meskipun pergeserannya

(slip) minimal. Spondylolisthesis isthmic merupakan bentuk spondylolisthesis

yang paling sering. Spondylolisthesis isthmic (juga disebut dengan

spondylolisthesis spondilolitik) merupakan kondisi yang paling sering dijumpai

dengan angka prevalensi 5-7%. Fredericson et al menunjukkan bahwa defek

spondylolistesis biasanya didapatkan pada usia 6 - 16 tahun, dan pergeseran

tersebut sering terjadi lebih cepat.

Ketika pergeseran terjadi, jarang berkembang progresif, meskipun suatu

penelitian tidak mendapatkan hubungan antara progresifitas pergeseran dengan

terjadinya gangguan diskus intervertebralis pada usia pertengahan. Telah

dianggap bahwa kebanyakan spondylolisthesis isthmik tidak bergejala, akan tetapi

insidensi timbulnya gejala tidak diketahui. Suatu studi/penelitian jangka panjang

yang dilakukan oleh Fredericson et al yang mempelajari 22 pasien dengan

mempelajari perkembangan pergeseran tulang vertebra pada usia pertengahan,

mendapatkan bahwa banyak diantara pasien tersebut mengalami nyeri punggung,

akan tetapi kebanyakan diantaranya tidak mengalami/tanpa spondylolisthesis

isthmik.

Secara kasar 90% pergeseran ishmus merupakan pergeseran tingkat

rendah(low grade: kurang dari 50% yang mengalami pergeseran) dan sekitar 10%

18
bersifat high grade ( lebih dari 50% yang mengalami pergeseran).

Sistem pembagian/grading untuk spondylolisthesis yang umum dipakai adalah

sistem grading Meyerding untuk menilai beratnya pergeseran. Kategori tersebut

didasarkan pengukuran jarak dari pinggir posterior dari korpus vertebra superior

hingga pinggir posterior korpus vertebra inferior yang terletak berdekatan

dengannya pada foto x ray lateral. Jarak tersebut kemudian dilaporkan sebagai

panjang korpus vertebra superior total:

- Grade 1 adalah 0-25%

- Grade 2 adalah 25-50%

- Grade 3 adalah 50-75%

- Grade 4 adalah 75-100%

- Spondiloptosis- lebih dari 100%

19
Faktor biomekanik sangat penting perannya dalam perkembangan

spondilosis menjadi spondylolisthesis. Tekanan/kekuatan gravitasional dan

postural akan menyebabkan tekanan yang besar pada pars interartikularis.

Lordosis lumbal dan tekanan rotasional dipercaya berperan penting dalam

perkembangan defek litik pada pars interartikularis dan kelemahan pars

inerartikularis pada pasien muda. Terdapat hubungan antara tingginya aktivitas

selama masa kanak-kanak dengan timbulnya defek pada pars interartikularis.

Pada tipe degeneratif, instabilitas intersegmental terjadi akibat penyakit

diskus degeneratif atau facet arthropaty. Proses tersebut dikenal dengan

spondilosis. Pergeseran tersebut terjadi akibat spondilosis progresif pada 3

20
kompleks persendian tersebut. Umumnya terjadi pada L4-5, dan wanita usia tua

yang umumnya terkena. Cabang saraf L5 biasanya tertekan akibat stenosis resesus

lateralis sebagai akibat hipertropi ligamen atau permukaan sendi.

Pada tipe traumatik, banyak bagian arkus neural yang terkena/mengalami

fraktur, sehingga menyebabkan subluksasi vertebra yang tidak stabil.

Spondylolisthesis patologis terjadi akibat penyakit yang mengenai tulang, atau

berasal dari metastasis atau penyakit metabolik tulang, yang menyebabkan

mineralisasi abnormal, remodeling abnormal serta penipisan bagian posterior

sehingga menyebabkan pergeseran (slippage). Kelainan ini dilaporkan terjadi pada

penyakit Pagets, tuberkulosis tulang, Giant Cell Tumor, dan metastasis tumor.

6. Gambaran Klinis

Gambaran klinis spondylolisthesis sangat bervariasi dan bergantung pada

tipe pergeseran dan usia pasien. Selama masa awal kehidupan, gambaran

klinisnya berupa back pain yang biasanya menyebar ke paha bagian dalam dan

bokong, terutama selama aktivitas tinggi. Gejala jarang berhubungan dengan

derajat pergeseran (slippage), meskipun sangat berkaitan dengan instabilitas

segmental yang terjadi. Tanda neurologis berhubungan dengan derajat pergeseran

dan mengenai sistem sensoris, motorik dan perubahan refleks akibat dari

pergeseran serabut saraf (biasanya S1). Progresifitas listesis pada individu dewasa

muda biasanya terjadi bilateral dan berhubungan dengan gambaran klinis/fisik

berupa:

21
- Terbatasnya pergerakan tulang belakang.

- Kekakuan otot hamstring

- Tidak dapat mengfleksikan panggul dengan lutut yang berekstensi penuh.

- Hiperlordosis lumbal dan thorakolumbal.

- Hiperkifosis lumbosacral junction.

- Pemendekan badan jika terjadi pergeseran komplit (spondiloptosis).

- Kesulitan berjalan

Pasien dengan spondylolisthesis degeneratif biasanya pada orang tua dan

muncul dengan nyeri tulang belakang (back pain), radikulopati, klaudikasio

neurogenik, atau gabungan beberapa gejala tersebut. Pergeseran tersebut paling

sering terjadi pada L4-5 dan jarang terjadi L3-4. Gejala radikuler sering terjadi

akibat stenosis resesus lateralis dan hipertropi ligamen atau herniasi diskus.

Cabang akar saraf L5 sering terkena dan menyebabkan kelemahan otot ekstensor

hallucis longus. Penyebab gejala klaudikasio neurogenik selama pergerakan

adalah bersifat multifaktorial. Nyeri berkurang ketika pasien memfleksikan tulang

belakang dengan duduk. Fleksi memperbesar ukuran kanal/saluran dengan

menegangkan ligamentum flavum, mengurangi overriding lamina dan pembesaran

foramen. Hal tersebut mengurangi tekanan pada cabang akar saraf, sehingga

mengurangi nyeri yang timbul

7. Diagnosis

Diagnosis ditegakkan dengan gambaran klinis, pemeriksaan fisik, dan

pemeriksaan radiologis.

22
1. Gambaran klinis

Nyeri punggung (back pain) pada regio yang terkena merupakan gejala

khas. Umumnya nyeri yang timbul berhubungan dengan aktivitas. Aktivitas

membuat nyeri makin bertambah buruk dan istirahat akan dapat menguranginya.

Spasme otot dan kekakuan dalam pergerakan tulang belakang merupakan ciri

spesifik. Gejala neurologis seperti nyeri pada bokong dan otot hamstring tidak

sering terjadi kecuali jika terdapatnya bukti adanya subluksasi vertebra. Keadaan

umum pasien biasanya baik dan masalah tulang belakang umumnya tidak

berhubungan dengan penyakit atau kondisi lainnya.

2. Pemeriksaan fisik

Postur paisen biasanya normal, bilamana subluksasio yang terjadi bersifat

ringan. Dengan subluksasi berat, terdapat gangguan bentuk postur.

Pergerakan tulang belakang berkurang karena nyeri dan terdapatnya spasme otot.

Penyangga badan kadang-kadang memberikan rasa nyeri pada pasien, dan nyeri

umumnya terletak pada bagian dimana terdapatnya pergeseran/keretakan, kadang

nyeri tampak pada beberapa segmen distal dari level/tingkat dimana lesi mulai

timbul.

Ketika pasien diletakkan pada posisi telungkup (prone) di atas meja

pemeriksaan, perasaan tidak nyaman atau nyeri dapat diidentifikasi ketika palpasi

dilakukan secara langsung diatas defek pada tulang belakang. Nyeri dan kekakuan

otot adalah hal yang sering dijumpai. Pada banyak pasien, lokalisasi nyeri

disekitar defek dapat sangat mudah diketahui bila pasien diletakkan pada posisi

lateral dan meletakkan kaki mereka keatas seperti posisi fetus (fetal position).

23
Defek dapat diketahui pada posisi tersebut. Fleksi tulang belakang seperti itu

membuat massa otot paraspinal lebih tipis pada posisi tersebut. Pada beberapa

pasien, palpasi pada defek tersebut kadang-kadang sulit atau tidak mungkin

dilakukan.

Pemeriksaan neurologis terhadap pasien dengan spondylolisthesis

biasanya negatif. Fungsi berkemih dan defekasi biasanya normal, terkecuali pada

pasien dengan sindrom cauda equina yang berhubungan dengan lesi derajat tinggi.

3. Pemeriksaan radiologis.

Foto polos vertebra lumbal merupakan modalitas pemeriksaan awal

dalam diagnosis spondilosis atau spondylolisthesis. X ray pada pasien dengan

spondylolisthesis harus dilakukan pada posisi tegak/berdiri. Film posisi AP,

Lateral dan oblique adalah modalitas standar dan posisi lateral persendian

lumbosacral akan melengkapkan pemeriksaan radiologis. Posisi lateral pada

lumbosacral joints, membuat pasien berada dalam posisi fetal, membantu dalam

mengidentifikasi defek pada pars interartikularis, karena defek lebih terbuka pada

posisi tersebut dibandingkan bila pasien berada dalam posisi berdiri. Pada

beberapa kasus tertentu studi pencitraan seperti Bone scan atau CT scan

dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis. Pasien dengan defek pada pars

interartikularis sangat mudah terlihat dengan CT scan.

Bone scan ( SPECT scan) bermanfaat dalam diagnosis awal reaksi

stress/tekanan pada defek pars interartikularis yang tidak terlihat baik dengan foto

polos. Scan positif menunjukkan bahwa proses penyembuhan tulang telah

24
dimulai, akan tetapi tidak mengindikasikan bahwa penyembuhan yang definitif

akan terjadi.

CT scan dapat menggambarkan abnormalitas pada tulang dengan baik,

akan tetapi MRI sekarang lebih sering digunakan karena selain dapat

mengidentifikasi tulang juga dapat mengidentifikasi jaringan lunak ( diskus,

kanal, dan anatomi serabut saraf) lebih baik dibandingkan dengan foto polos.

8. Penatalaksanaan

Sering dokter menggunakan satu pengobatan atau kombinasi beberapa

jenis pengobatan dalam rencana terapi pada pasien, dengan pemberian analgetik

untuk mengontrol nyeri. Hal tersebut bervariasi dari pemberian ibuprofen hingga

acetaminofen, akan tetapi pada beberapa kasus berat, NSAIDs digunakan untuk

mengurangi pembengkakan dan inflamasi yang dapat terjadi. Jadi terapi untuk

spondylolisthesis tingkat rendah masih bersifat konservatif, dengan

25
istirahat/immobilisasi pasien dan pemberian anti-inflamasi secara bersamaan.

Meskipun demikian, pada beberapa kasus, intervensi bedah mungkin dibutuhkan.

1. Terapi konservatif

Terapi konservatif ditujukan untuk mengurangi gejala dan juga termasuk:

- Modifikasi aktivitas, bedrest selama eksaserbasi akut berat.

- Analgetik (misalnya NSAIDs).

- Latihan dan terapi penguatan dan peregangan.

- Bracing

Angka keberhasilan terapi non-operatif sangat besar, terutama pada

pasien muda. Pada pasien yang lebih tua dengan pergeseran ringan (low grade

slip) yang diakibatkan oleh degenerasi diskus, traksi dapat digunakan dengan

beberapa tingkat keberhasilan. Salah satu tantangan adalah dalam terapi pasien

dengan nyeri punggung hebat dan menunjukkan gambaran radiografi abnormal.

Pasien tersebut mungkin memiliki penyakit degeneratif pada diskus atau bahkan

pergeseran ringan (low grade slip, <25%), dan biasanya nyeri yang terjadi tidak

sesuai dengan pemeriksaan fisik dan gambaran radiografi.

Nyeri punggung merupakan masalah kesehatan utama dan penyebab

disabilitas yang paling sering. Adalah sangat penting untuk mempertimbangkan

faktor tingkah laku dan psikososial yang berperan terhadap timbulnya disabilitas

pada pasien tersebut.

26
2. Terapi pembedahan

Terapi pembedahan hanya direkomendasikan bagi pasien yang sangat

simtomatis yang tidak berespon dengan perawatan non-bedah dan dimana

gejalanya menyebabkan suatu disabilitas.

Jika gejala dapat secara langsung diketahui akibat dari defek pada pars

interartikularis, dan kemudian repair secara pembedahan terhadap defek tersebut,

melalui beberapa prosedur pembedahan, akan dapat mengurangi nyeri yang

disebabkan oleh defek tersebut. Tujuan terapi adalah untuk dekompresi elemen

neural dan immobilisasi segmen yang tidak stabil atau segmen kolumna

vertebralis. Umumnya dilakukan dengan eliminasi pergerakan sepanjang

permukaan sendi(facets joints) dan diskus intervertebralis melalui arthrodesis

(fusi).

Jika terjadinya subluksasi ringan dan degenerasi diskus yang dapat

diidentifikasi dengan MRI, fusi spinal , biasanya bersaman dengan instrumentasi

spinal merupakan pilihan terapi. Karena pilihan terapi terbaik untuk beberapa

pasien bervariasi diantara beberapa ahli bedah berpengalaman, konsultasi dengan

ahli bedah tersebut merupakan pendekatan terbaik bagi pasien yang simtomatis,

sebagai second opinion.3

Pada pasien dengan spondylolisthesis derajat tinggi (high grade

spondilolysthesis) dengan gejala yang menetap dan dengan deformitas

spinal/vertebra berat, intervensi pembedahan dengan berbagai pendekatan

mungkin dibutuhkan. Hal tersebut termasuk spinal instrumentation dan fusi.

Usaha untuk meningkatkan alignment spinal/kesejajaran vertebra didasarkan pada

27
beratnya deformitas spinal pada pasien tersebut dan risiko yang terjadi akibat

penggunan pendekatan pembedahan tersebut.1

Indikasi fusi spinal berbeda antara populasi pediatrik dan populasi

dewasa. Pada pasien yang lebih muda, faktor dibawah ini diketahui berhubungan

dengan meningkatnya progresifitas pergeseran vertebra (slip progression):

- Usia muda (< 15 tahun).

- Listesis grade tinggi (high grade listhesis>50%).

- Jenis kelamin perempuan.

- Tipe displastik.

- Hipermobilitas lumbosacral.

- Ligamentous laxity.

Meskipun demikian banyak pasien muda diterapi dengan immobilisasi

atau modifikasi aktivitas saja, dengan angka keberhasilan yang signifikan. Dengan

tidak adanya tingkat pergeseran yang berat (high grade slip), gejala yang ringan,

fusi biasanya tidak diindikasikan pada populasi tersebut.

Sebelum operasi dipertimbangkan pada pasien dewasa dengan

spondylolisthesis degeneratif, tanda neurologis minimal, atau hanya nyeri

punggung mekanik (mechanical back pain), terapi konservatif harus diberikan

pertama sekali, dan pertimbangan faktor psikososial dan sosial harus

dipertimbangkan.

Meskipun demikian banyak pasien muda diterapi dengan immobilisasi

atau modifikasi aktivitas saja, dengan angka keberhasilan yang signifikan. Dengan

28
tidak adanya tingkat pergeseran yang berat (high grade slip), gejala yang ringan,

fusi biasanya tidak diindikasikan pada populasi tersebut.

Sebelum operasi dipertimbangkan pada pasien dewasa dengan

spondylolisthesis degeneratif, tanda neurologis minimal, atau hanya nyeri

punggung mekanik (mechanical back pain), terapi konservatif harus diberikan

pertama sekali, dan pertimbangan faktor psikososial dan sosial harus

dipertimbangkan.

Indikasi intervensi bedah (fusi) pada pasien dewasa adalah:

1. Tanda neurologis- radikulopaty (yang tidak berespon dengan terapi konsrvatif)

2. klaudikasio neurogenik.

3. Pergeseran berat(high grade slip > 50%)

4. Pergeseran tipe I dan Tipe II, dengan bukti adanya instabilitas, progresifitas

listesis, dan kurang berespon dengan terapi konservatif.

5. Spondylolisthesis traumatik.

6. Spondylolisthesis iatrogenik.

7. Listesis tipe III (degeneratif) dengan instabilitas berat dan nyeri hebat.

8. Deformitas postural dan abnormalitas gaya berjalan(gait abnormality).

I. Fusi

Terdapat berbagai metode untuk mendapatkan fusi intersegmental pada tulang

lumbosacral. Berbagai metode tersebut antara lain:

1. Posterolateral (intratransversus): umumnya arthrodesis bersamaan dengan

penggunaan autograft crista iliaka atau dengan allograft. Instrumentasi spinal

29
segmental membuat fiksasi kaku pada segmen fusi dan kemungkinan

dilakukannya reduksi segmen dengan listesis tersebut.

2. Lumbar interbody fusion: hal tersebut dapat meningkatkan stabilitas segmen

spinal/vertebra dengan ,menempatkan/meletakkan bone graft untuk kompresi

kolumna anterior dan media dan meningkatkan permukaan fusi tulang secara

keseluruhan.

3. Repair pars interartikularis: umumnya dengan menggunakan teknik Scott Wiring

technique atau modifikasi Van Darm.

II. Fiksasi

Meskipun pemakaian/penggunaan instrumentasi spinal pada pasien dengan

skeletal immature dipertimbangkan sebagai pilihan terapi bagi beberapa pasien

dengan spondylolisthesis isthmic, banyak ahli bedah vertebra/spinal yakin bahwa

fiksasi kaku tersebut dibutuhkan untuk mendapatkan fusi solid yang valid. Untuk

spondylolisthesis degeneratif, fiksasi menunjukkan angka arthrodesis solid yang

tinggi.

III. Dekompresi

Biasanya digunakan pada spondylolisthesis traumatik atau degeneratif,

dekompresi elemen neural baik sentral maupun perifer, diatas serabut saraf

diindikasikan. Dekompresi optimal biasanya didapatkan melalui laminectomy

posterior atau facetectomy total dengan dekompresi radikal serabut saraf(misalnya

Gill prosedure).

IV. Reduksi

Beberapa ahli bedah berupaya mengurangi spondylolisthesis untuk meningkatkan

30
alignment(kesejajaran) sagital dan memperbaiki biomekanik vertebra/spinal. Hal

tersebut memiliki manfaat dalam memperbaiki posisi saat berdiri dan mengurangi

tekanan/kekakuan pada massa fusi posterior sehingga mengurangi insidensi

nonunion dan progresifitas spondylolisthesis.

9. PROGNOSIS

Fusi lumbal sebagai salah satu terapi pembedahan pada spondylolisthesis

telah sering digunakan di Amerika Serikat, dengan berbagai variasi pertimbangan.

Variasi tersebut bergantung pada banyak faktor, dari tersedianya instrumentasi

yang baik hingga pemahaman tentang penyembuhan tulang. Kurangnya indikasi

jelas dalam dilakukannya fusi lumbal juga merupakan faktor lain yang juga ikut

berperan dalam menentukan perlu tidaknya fusi lumbal. Bukti yang mendukung

perlunya fusi pada spondylolisthesis tipe I,II,III, dan IV dan spondylolisthesis

iatrogenik sangat kuat. Akan tetapi terdapat beberapa kontroversi pada beberapa

individu dengan tipe spondylolisthesis degenratif (tipe III), skoliosis degeneratif

dan nyeri punggung mekanik(mechanical back pain).

Hasil terapi terhadap spondylolisthesis tipe isthmic yang merupakan

spondylolisthesis yang banyak terjadi belumlah menjanjikan. Banyak peneliti

melaporkan angka outcome yang baik sekitar 75-90%. Pasien yang mendapatkan

pembedahan melaporkan peningkatan kualitas hidup dan berkurangnya

rasa/tingkatan nyeri yang dialami. Menariknya, luaran/outcome yang didapatkan

tidak berhubungan dengan derajat spondylolisthesis atau besarnya sudut

pergeseran yang terjadi. Beberapa penelitian yang memfokuskan pada follow up

31
jangka panjang mendukung terapi konservatif terhadap anak-anak dan dewasa

dengan spondylolisthesis yang asimptomatik (tipe I, tipe II), meskipun demikian

banyak peneliti menyarankan untuk dilakukannya tindakan fusi bilamana

pergeseran tersebut bersifat simptomatik, tidak berespon dengan terapi konservatif

dan jika pergeseran yang terjadi berada dalam derajat tinggi (high grade

spondylolisthesis).

32
BAB III

KESIMPULAN

Spondylolisthesis menunjukkan suatu pergeseran ke depan satu korpus

vertebra bila dibandingkan dengan vertebra yang terletak dibawahnya. Kira-kira

82% kasus isthmic spondylolisthesis terjadi di L5-S1. 11.3% terjadi di L4-L5.

Terdapat lima tipe utama spondylolisthesis yaitu tipe I disebut dengan

spondylolisthesis displastik (kongenital), tipe II isthmic atau spondilolitik, tipe III

merupakan spondylolisthesis degenerative, tipe IV spondylolisthesis traumatic,

tipe V spondylolisthesis patologik.

Progresifitas listesis pada individu dewasa muda biasanya terjadi bilateral

dan berhubungan dengan gambaran klinis/fisik berupa: terbatasnya pergerakan

tulang belakang, kekakuan otot hamstring, tidak dapat mengfleksikan panggul

dengan lutut yang berekstensi penuh, hiperlordosis lumbal dan thorakolumbal,

hiperkifosis lumbosacral junction, pemendekan badan jika terjadi pergeseran

komplit (spondiloptosis), kesulitan berjalan.

Diagnosis ditegakkan dengan gambaran klinis, pemeriksaan fisik, dan

pemeriksaan radiologis. Penatalaksanaan spondylolisthesis dibagi menjadi terapi

konservatif dan terapi bedah.

Pasien yang mendapatkan pembedahan melaporkan peningkatan kualitas

hidup dan berkurangnya rasa/tingkatan nyeri yang dialami. Banyak peneliti

menyarankan untuk dilakukannya tindakan fusi bilamana pergeseran tersebut

33
bersifat simptomatik, tidak berespon dengan terapi konservatif dan jika pergeseran

yang terjadi berada dalam derajat tinggi.

34
DAFTAR PUSTAKA

1. An, Howard S. Synopsis of Spine Surgery. Thierne, 2008.

2. Hadley, Henry G.1940. Diagnosis Of Spondylolisthesis. Journal Of The National

Medical Association Vol. XXXII, No. 2 : 68-70

3. Herman, et al. 2003. Spondylolysis And Spondylolisthesis In The Child And

Adolescent Athlete. Orthop Clin N Am 34 (2003) 461-467

4. Hu, et al. 2008. Spondylolisthesis and Spondylolysis. J Bone Joint Surg Am.

2008;90: 656-671

5. Jacobsen, et al. 2007. Degenerative Lumbar Spondylolisthesis : An

Epidemiological Perspective. SPINE Volume 32, Number 1, pp 120-125

6. Linda J. Vorvick, MD.Spondylolisthesis. Dalam http://www.ncbi.nlm.nih.gov

/pubmedhealth/PMH0002240/. Diakses tanggal 20 November 2011

7. Love, et al. 1999. Degenerative Spondylolisthesis. J Bone Joint Surg [Br]

1999;81-B:670-674

8. Mc Donald J, Management of Spondilolysthesis Dalam: www.bmjjournals.com.

Diakses Tanggal 20 November 2011

9. Meade, et al. 2006. Orthoic Treatment of Degenerative Disk Disease with

Degenerative Spondylolistthesis: A Case Study. JPO Journal of Prosthetics and

Orthotics Volume 18 Number 1 : 8-14

35
10. Nau, et al. 2008. Spinal Conditioning for Athletes With Lumbar Spondylolysis and

Spondylolisthesis. Strength and Conditioning Journal Volume 30 Number 2April

2008:43-45

11. Puschak, Thomas J dan Rick C. Sasso. 2003. Spondylolysis-Spondylolisthesis.

American Academy of Orthopaedic Surgeons. pp:553-563

12. R.Sjamsuhidajat. Buku Ajar Ilmu Bedah. Wim de Jong. Edisi ke-2. EGC. 2005

13. Sengupta D, Herkowitz H. 2003. Lumbar Spinal Stenosis Treatments Strategies

And Indications For Surgery. Orthop Clin North Am 2003;34:281-295

14. Thompson, John T. Netter’s Consice Orthopaedic Anatomy. Philadelpia Saunder

Elsevier, 2010.

15. Vookshoor A, Spondilolisthesis, spondilosis and spondilysis Dalam:

http://emedicine.medscape.com/article/1266860-overview. Diakses Tanggal 20

November 2011

16. Wibowo, D dan Paryana, W. 2009. Anatomi Tubuh Manusia. Yogyakarta : Graha

Ilmu

17. Wiltse, Leon L. 1980. Classification, Terminology And Measurements In

Spondylolisthesis. The Iowa Orthopaedic Journal. Volume I, Number 1:53-57

18. Woolfson, Tony. 2008. Spondylolisthesis: Synopsis of Causation. Medical Text,

Edinburgh. Pp 1-13

36

Anda mungkin juga menyukai