Anda di halaman 1dari 62

MAKALAH SEMINAR KASUS ISCHIALGIA

DI RSUD BANYUMAS

Disusun oleh :
Falderama B.M P27226023322

PROGRAM STUDI PROFESI FISIOTERAPI


JURUSAN FISIOTERAPI
POLTEKNIK KESEHATAN KEMENTRIAN KESEHATAN SURAKARTA
2024
HALAMAN PENGESAHAN
Makalah dengan judul “Makalah Seminar Kasus Ischialgia di RSUD Banyumas”
ini telah disetujui dan disahkan oleh pembimbing lahan untuk memmenuhi tugas praktik
komprehensif profesi fisioterapi.

Hari :
Tanggal :

Banyumas, Februari 2024


Pembimbing lahan

NIP.
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Di era globalisasi ini masyarakat dituntut untuk bekerja dengan cepat dan

tepat agar mampu memenuhi kebutuhan finansialnya untuk dapat bertahan hidup.

Namun, masyarakat sering kali mengabaikan posisi ergonomis ketika bekerja. Hal

ini dapat menimbulkan beberapa keluhan nyeri, salah satunya adalah nyeri

pinggang yang menjalar dari tungkai hingga telapak kaki.

Nyeri pinggang merupakan alasan paling umum kedua untuk kunjungan

perawatan primer yang paling mahal di Amerika Serikat, dengan pengeluaran

sekitar $134 miliar yang dihabiskan pada tahun 2016. Prevelensi ischialgia di

Amerika Serikat berkisar 15-20% (Fritz J et al, 2021). Sedangkan di Indonesia

prevelensi ischialgia sebesar 18-21%, pada laki-laki sebesar 13,6% dan pada

perempuan sebesar 18,2%. Perempan beresiko tinggi mengalami ischialgia

daripada laki-laki. Hal ini karena perempuan memiliki aktivitas yang monoton

dengan posisi statis, misalnya dalam penggunaan high heels atau pada ibu-ibu

yang terbiasa menggendong anaknya (Wardoyo, 2017).

Ischialgia adalah suatu kelainan pada nervus ischiadicus yang ditandai

dengan adanya nyeri hebat di area punggung bawah yang menjalar dari paha

1
2

belakang sampai ke kaki. Ischialgia juga dapat disebabkan oleh beberapa kondisi

yang mendasari misalnya discus intervertebralis, stenosis tulang belakang,

spondylolisthesis, spondylosis, sindroma piriformis, tumor maupun trauma. Secara

anatomis ischialgia disebabkan oleh kompresi pada nervus isciadicus, yang

muncul dari radiks posterior L4-S2 dan piriformis (Hijayanti S, 2021).

Fisioterapis merupakan pelayanan kesehatan yang ditujukan kepada

individu atau kelompok untuk mengembangkan, memelihara dan memulihkan

gerak serta fungsi tubuh dengan menggunakan penanganan secara manual,

peningkatan gerak dengan pelatihan fungsi serta komunikasi (Permenkes, 2015).

Modalitas fisioterapi yang dapat digunakan untuk menangani kasus tersebut antara

lain Micro Wave Diathermy (MWD), Short Wave Diathermy (SWD), Terapi

Latihan, Terapi manipulasi, Transcutaneus Electrical Stimulation (TENS).

Transcutaneus Electrical Stimulation (TENS) merupakan modalitas atau

alat terapi fisik yang berfungsi untuk mengurangi nyeri dengan menggunakan arus

listrik ringan. TENS akan merangsang sistem saraf melalui elektroda luar yang di

aplikasikan pada kulit pasien (Yanik et all 2014). TENS secara selektif akan

mengaktifkan serabut saraf yang berdiameter besar (Aβ), dan menghasilkan

subtansi analgesik segmental yang secara cepat disekresikan oleh otak menuju ke

vertebra yang bekerja pada sistem saraf pusat dan saraf perifer untuk mengurangi

rasa nyeri pada ischialgia (Yulifah et all, 2013).

Terapi latihan metode Williams flexion exercise adalah latihan fleksi

lumbal yang digunakan untuk membuka foramen intervertebralis dan facet sendi,
3

serta mengulur fleksor panggul dan ekstensor lumbal, memperkuat otot perut dan

otot gluteus untuk meningkatkan mobilitas gerakan serta mengurangi tekanan

pada posterior lumbosakral joint (Permadi AW, et.all, 2016). Latihan ini

merupakan latihan penguluran otot yang berfungsi untuk merileksasikan otot dan

fleksibilitas otot meningkat sehingga terjadi penurunan rasa nyeri (Khalid, 2013).

Berdasarkan latar belakang diatas, penulis mengambil judul karya tulis ilmiah

penatalaksanaan fisioterapi pada kaus ischialgia dengan modalitas transcutaneus

electrical nerve stimulation (TENS) dan terapi latihan.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah duraikan, maka penulis

merumuskan masalah sebagai berikut : (1) bagaimana pemeriksaan fisioterapi

pada kasus ischialgia?, (2) Bagaimanakah penatalaksanaan terapi dengan

Transcutaneu electrical nerve stimulation (TENS) dan William Flexion Exercise

pada kasus ischialgia?.

C. Tujuan Penulisan Makalah

Tujuan yang ingin dicapai penulisan dalam karya tulis ilmiah ini adalah

sebagai berikut : (1) Untuk mengetahui pemeriksaan fisioterapi pada kasus

ischialga. (2) Untuk mengetahui penatalakasanaan terapi dengan transcutaneus

electrical nerve stimulation (TENS) dan terapi latihan pada kasus ischialgia.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Ischialgia

1. Definisi

Ischialgia merupakan kondisi medis dimana pasien merasakan nyeri

pinggang yang menjalar di sepanjang nervus ischiadicus hingga ke tungkai.

Nervus ischiadicus terdiri dari L4-S2 dengan diameter 2 cm dan merupakan saraf

terbesar pada tubuh manusia. Rasa nyeri pada kasus ischialgia biasanya muncul

ketika fleksi lumbal, rotasi trunk, dan batuk (Davis D, 2021). Ischialgia dapat

disebabkan karena hernia nucleus pulposus (HNP), discopathy lumbal, spinal

stenosis, spondilolisthesis, dan peningkatan tekanan pada punggung pasien

obesitas. Tanda-tanda ischialgia lainnya adalah pasien merasakan kesemutan dan

rasa seperti terbakar di area kaki (Adriana dan Nicoleta, 2012).

Menurut Wibowo (2013) ischialgia timbul karena adanya riwayat trauma

dan juga faktor usia. Pada kondisi ischialgia biasanya pasien akan mengeluh

adanya rasa nyeri, kekuatan otot menurun, serta gerakan fungsional yang

terganggu. Untuk mendiagnosis dapat dilakukan pemeriksaan dengan magnetic

resonance imaging (MRI), computerized tomography (CT), electromyography

(EMG), dan pemeriksaan konduksi saraf untuk mengidentifikasi pengaruh dari

derajat nyeri yang ditimbulkan (Moley, 2019).

5
6

2. Anatomi Fungsional

a. Struktur columna vertebralis

Columna vertebralis adalah rangkaian struktur tulang yang bersifat lentur,

dan berfungsi sebagai penopang tubuh manusia agar tubuh tetap tegak dan

seimbang. Pada setiap dua ruas tulang pada vertebra terdapat bantalan tulang

rawan yang disebut dengan discus intervertebralis. Columna vertebralis terdiri

dari 33 ruas vertebra yang terbagi atas 7 vertebra cervicalis, 12 vertebra

torakalis, 5 vertebra lumbalis, 5 sacrum, dan 4 cocygeal (Pearce, 2016).

Gambar 2. 1
Columna Vertebralis (Sobotta, 2013)
Keterangan :
1. Vertebra cervical 5. Os coccygeus
2. Vertebra thorakal 6. Vertebra prominens
3. Vertebra lumbal 7. Foramina intervertebralis
4. Os sacrum 8. Promontorium
7

b. Struktur Tulang Vertebra Lumbal

Vertebra lumbal terletak dibagian distal vetebra thoracalis, yang memiliki

5 vertebral body dan 4 diskus invertebralis yang biasa disebut L1-L5. Regio ini

jika dilihat dari sisi sagital, akan membentuk kurva lordosis. Sealain itu, Vertebra

lumbal juga berperan sebagai center of gravity (COG) tubuh manusia, yang

menyebabkan regio ini menerima beban mekanik yang lebih besar. Dilihat dari

bentuk dan strukturnya regio ini merupakan regio yang paling cepat dan mudah

mengalami degenerasi (Suyasa, 2018).

Menurut Pearce (2018) struktur tulang vertebra lumbalis terdiri dari :

1) Corpus

Vertebra lumbalis memiliki corpus yang besar dibandingkan dengan

corpus pada vertebra lainnya. Corpus vertebra lumbalis mempunyai karakteristik

besar dan berbentuk silinder serta pada sisi sampingnya terlihat lebih lebar.

2) Arcus

Merupakan lengkung simetris kanan-kiri yang dibentuk oleh sepasang

pedikel dan lamina. Lamina vertebra lumbalis biasanya berbentuk lebar dan

pendek. Lamina ini membentuk bagian posterior pada arcus vertebra serta

menghubungkan pedikulus pada setiap vertebra.

3) Prosesus spinosus

Prosesus spinosus pada vertebra lumbal berbentuk seperti kapak kecil yang

memiliki karakteristik yang tebal dan lebar serta berbentuk sedikit persegi.
8

4) Prosesus transversus

Prosesus tranversus pada vertebra lumbal memiliki karakteristik panjang

dan ramping. Tetapi, pada L5 bentuk prosesus transversus lebih besar dan

sedikit berbentuk kerucut yang berfungsi untuk bersendi dengan sacrum dan

sebagai perlekatan ligamen iliolumbalis.

5) Foramen vertebralis

Foramen intervertebralis lumbal lebih kecil daripada foramen cervical

tetapi lebih besar daripada foramen thorakal. Foramen ini memiliki

karakteristik yang terlihat berbentuk seperti segitiga jika dilihat dari sisi

superior. Kanal tulang belakang terbentuk di foramen intervertebralis lumbal

dan berfungsi untuk melindungi sumsum tulang belakang.

Gambar 2. 2
Vertebra lumbal (Sobotta, 2013)
Keterangan :

1. Corpus 4. Foramen vertebralis


2. Processus tranversus 5. Superior facet
3. Processus spinosus 6. Lamina grooove
9

c. Discus intervertebralis

Discus intervertebralis adalah bantalan sendi yang berada diantara dua

corpus vertebrae. Di bagian tengah discus teradapat cairan kenyal-kenyal yang

terbungkus jaringan fibros yang disebut dengan anulus fibrosus. Discus

intervertebralis berfungsi sebagai penyerap tekanan/shock absorber saat

gerakan vertebra, seperti fleksi, ekstensi, dan rotasi (Suyasa, 2018).

Gambar 2. 3
Discus intervertebralis (Netter, 2018)
Keterangan :
1. Annulus fibrosus
2. Nucleus pulposus

d. Stabilitas Vertebra Lumbal

Vertebrae memiliki dua macam stabilisator yaitu stabilisator pasif dan

stabilisator aktif. Stabilisator pasif pada vertebrae adalah ligamen yang

berperan dalam memfiksasi persendian columna vertebralis regio lumbal.

Ligamen merupakan jaringan fibrosa yang menghubungkan antara tulang

dengan tulang. Ligamen pada regio lumbal antara lain.


10

1) Ligament longitudinal anterior

Ligamen yang melekat pada bagian anterior vertebra yang melewati

diskus dan anterior dari corpus vertebra. Ligament ini berperan untuk

mengontrol gerakan ekstensi.

2) Ligament longitudinal posterior

Ligamen yang melekat sepanjang discus dan corpus vertebra bagian

posterior. Ligamen ini berfungsi sebangai pengontrol gerakan fleksi.

3) Ligament flavum

Ligamen yang terletak di dorsal vertebra diantara lamina, ligamin ini

berfungsi sebagai pelindung medulla spinalis dari posterior dan mencegah

cedera pada discus intervertebralis.

4) Ligament tranversum

Merupakan ligamen yang melekat pada tiap procesus tranversus, dan

berfungsi sebagai pengontrol gerakan fleksi.

5) Ligament interspinosus

Merupakan ligamen yang menghubungkan procesus spinosus di daerah

apex.

6) Ligamen supraspinosus

Merupakan ligamen yang berada di daerah apex dari vertebra cervical 7

sampai sacrum (Moore dan Dally, 2002).


11

Gambar 2. 4
Ligament columna vertebralis, potongan medial (Paulsen, 2013)
Keterangan
1. Ligamen longitudinal anterior
2. Ligamen longitudinal posterior
3. Ligamen flavum
4. Ligamen interspinale
5. Ligamen supraspinale
6. Processus articularis anterio

Sedangkan untuk stabilisator aktif pada vertebra lumbal yaitu otot yang

berfungsi sebagai penggerak lumbal yang terletak disebelah anterior, lateral,

maupun superior. Otot-otot yang teletak di sebelah anterior dan lateraal vertebra

diantaranya yaitu :

1) M. Rectus abdominis

Berfungsi sebagai otot penggerak gerakan fleksi dan side fleksi, origo

terletak pada pelvis dan insersio di costae 5-7 dibagian processus xypoideus.
12

2) M. Oblique externus abdominus

Berfungsi sebagai penggerak gerakan rotasi, fleksi, dan side fleksi

lumbal. Origo terletak pada bagian distal costae 8 dan insersio di pelvis.

3) M. Oblique internus abdominus

Berfungsi sebagai penggerak gerakan fleksi dan side fleksi lumbal.

Origo terletak pada bagian pelvis dan insersio di bagian distal costae 3 dan

linea alba.

4) M. Psoas mayor

Sebagai stabilisator lumbal dan mempertahankan postur, serta berfungsi

sebagai penggerak gerakan fleksi hip. Origo terletak di processus transversus

T12-L4 dan insersio terletak di trochanthor minor.

5) M. Quadratus Lumborum

Berfungsi sebagai penggerak gerakan fleksi, origo terletak di ligamen

iliolumbalis dan insersio terletak di processus transversus L1-L4.

Otot-otot yang terletak disebelah posterior diantaranya yaitu :

1) M. Iliocostalis thoracic

Otot ini berfungsi sebagai penggerak ekstensi dan side fleksi colum

vertebra. Berorigo pada procesus tranversus T6-T10 dan berinsersio pada

procesus spinosus C6-T4.

2) M. Latisimus dorsi

Otot yang berfungsi untuk menstabilkan punggung bawah. Origo di

prosesus spinosus T7-L5 dan insersio pada sulcus bicipitalis humerus.


13

3) M. Erector spine

Otot erector spine terdiri dari M. Illiocostalis lumborum, M. Longisimus

thoracic, dan M. spinalis thoracic. Origo terletak di processus spinosus T9-T12

dan insersio terletak pada processus transversus T1-T2. Otot ini berfungsi untuk

gerakan fleksi dan menegak batang tubuh serta penggerak ekstensi lumbal.

4) M. Multifidus

Otot yang berfungsi sebagai penggerak ekstensi columna vertebra ketika

berkontraksi secara bilateral, gerakan side fleksi serta rotasi sisi yang

berlawanan jika bergerak secara unilateral. Origo terletak pada sacrum, ilium,

processus transversus T1-T2, dan processus articularis C4-C7. Insersio terletak

pada processus spinosus pada vertebrae bagian atas yang membentang di antara

2-4 segmen (Paulsen et all, 2013).

Gambar 2. 5
Otot-otot perut (Paulsen, 2013)
Keterangan
1. M. Rectus abdominis 3. M. Obliqus internus abdomini
2. M. Oblliqus eksternus abdominis
14

Gambar 2. 6
Otot-otot punggung (Paulsen, 2013)
Keterangan

1. M. Spinalis thoracis 5. M. Iliocostalis thoracis


2. M. Iliocostalis lumborum 6. M. Latisimus dorsi
3. M. Obliqus eksternus abdominis 7. M. Erector spine
4. M. Obliqus internus abdominis

Gambar 2. 7
Otot anterior lateral (Paulsen, 2013)
Keterangan
1. M. Quadratus Lumborum
2. M. Psoas Mayor
15

e. Nervus ischiadicus

Nervus ischiadicus adalah saraf terbesar dalam tubuh manusia dan

merupakan cabang dari plexus sacralis yang mempersarafi otot-otot panggul

dan paha. Nervus ischiadicus berasal dari cabang frontal (ramus anterior) dari

saraf L4-S2 yang berjalan melalui foramen infra piriformis kemudian turun

menuju permukaan luar m. gumellus, m obturator internus, dan m. quadratus

femoris sampai bagian belakang m. adductor magnus. Selanjutnya, akan

berjalan menuju distal paha bagian posterior di bawah m. biceps femoral.

Nervus ischiadicus melewati antara group otot hamstring dan adductor magnus

(Wibowo dan Paryana 2009).

Nervus ischiadicus terbagi menjadi dua cabang terminalis yaitu nervus

tibialis dan nervus peroneus. Nervus ischiadicus mempersarafi otot posterior

paha, otot biceps femoris, semitendinosus, dan adduktor magnus. Oleh karena

itu nervus ischiadicus berfungsi sebagai penggerak flexi hip dan extensi hip,

serta berfungsi sebagai stabilisator dan moblitas kaki (Rigoard, 2017).


16

Gambar 2. 8
Nervus ischiadicus (Rigoard P , 2017) Keterangan
:
1. Lumbosacral trunk 9. Nervus cocygeal
2. Nervus gluteal superior 10. Plexus S2-S4
3. Nervus gluteal inferior 11. Gray rami
4. Nervus ke otot piriformis
5. Nervus ischiadicus
6. Nervus posterior cutaneous femoralis
7. Nervus pudendal
8. Perineal branch

f. Dermatome

Dermatom merupakan area kulit yang mengirimkan sinyal ke otak

melalui saraf tulang belakang. Sistem dermatom menutupi seluruh tubuh mulai

dari tangan dan jari hingga kaki dan jari kaki. Dermatome L4 meliputi

punggung bawah, paha depan, posterior knee, tungkai bawah bagian medial,

dan juga tumit (Han S dan Johnson J, 2020).


17

g. Biomekanika

Regio vertebra terbagi menjadi 2 bagian, yaitu bagian anteior yang

bersifat statis dan posterior bersifat dinamis. Bagian anterior ini berfungsi

sebagai pembawa beban dan peredam getaran, sedangkan bagian posterior yang

terdiri dari 2 arcus vertebrae, 2 processus transversus, 1 processus spinosus, 2

sendi facet. Sendi facet berfungsi sebagai fulcrum dan berperan sebagai

pendukung serta mengarahkan gerakan fungsional. Pada bagian posterior ini

akan membagi beban kompresif dan mempengaruhi pola gerakan pada vertebra

(Suyasa, 2018).

Gerakan osteokinematika pada vertebra lumbal yaitu :

1) Gerakan flexi dan extensi

Lingkup gerak sendi (LGS) pada saat gerakan flexi normalnya sekitar

100° dan gerakan extensi sekitar 50°. Untuk menentukan sudut pada gerakan

flexi dan extensi yaitu dengan menarik garis lurus antara acromion pada

scapula dan crista iliaca pada femur. Otot-otot yang berperan saat gerakan

flexi yaitu

m. rectus abdominus, m. obliqus internus abdominis, m. obliqus externus

abdominis, m. psoas major. Sedangkan otot yang berperan saat gerakan extensi

adalah m. iliocostalis, m. psoas major, m. splenius, m. longisimus, m. spinallis,

m. semispinalis, m. multifidus, m. trapezius dan m. levator costarum (Paulsen et

al, 2013).
18

2) Gerakan lateral flexi

Lingkup gerak sendi (LGS) pada saat gerakan lateral flexi kanan dan

kiri normalnya adalah 40°. Vertebra prominens (C7) dan S1 sebagai titik

referensi dalam menetukan sudut antara posisi tegak dan saat bergerak side

flexi maksimal. Otot-otot yang berperan sebagai pernggerak gerakan side flexi

adalah m. obliqus externus abdominis, m. obliqus internus abdominis, m.

quadratus lumborum, m. iliocostalis, m. psoas major, m. longisimus, dan m.

splenius (Paulsen et al, 2013).

3) Gerakan rotasi

Lingkup gerak sendi (LGS) pada saat gerakan rotasi anterior ke

posterior bilateral sekitar 40°. Yang digunakan sebagai titik referensi pada

gerakan rotasi adalah dengan menarik garis lurus yang menghubungkan

acromion scapula di kedua sisi. Otot-otot yang berperan dalam gerakan rotasi

lateral tubuh adalah m. obliqus internus abdominis, m. iliocostalis, m.

longisimus, m. splenius. Sedangkan otot-otot yang berperan saat gerakan rotasi

kontralateral adalah m. obliqus externus abdominis, m. semispinalis, m.

multifidus, m. rotatores, m. levator costarum (Paulsen et al, 2013).

Gerakan antrokinematika pada vertebra lumbal tidak dapat terlihat

secara langsung yang terjadi pada permukaan sendi. Gerakan tersebut berupa

gerakan slide dan glide. Pada regio lumbal, pada saat gerakan flexi discus

intervertebralis bagian anterior terjadi kompresi dan bagian posterior akan

merenggang. Pada saat gerakan side flexi discus intervertebralis juga akan
19

terjadi kompresi pada sisi yang searah dengan gerakan. Misalnya, saat terjadi

gerakan side flexi kanan maka discus intervertebralis pada bagian sisi kanan

akan terjadi kompresi dan bagaian sisi kiri akan merenggang begitupun dengan

sebaliknya (Paulsen et al, 2013).

h. Etiologi

Penyebab ischialgia belum diketahui dengan pasti tetapi tampaknya

multifaktoral. Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap radikulopati dan

ischialgia yaitu seperti mengangkat beban berat, membungkuk atau berlutut.

Selain itu, gaya hidup juga dapat beresiko menyebabkan terjadinya ischialgia.

Ischialgia juga dapat disebabkan karena adanya penyakit yang mendasarinya

seperti herniasi discus, stenosis tulang vertebra, spondylolisthesis, syndrome

piriformis, tumor maupun trauma (Shiri et al,2014).

Menurut Baloh (2019) ada empat gangguan utama pada tulang belakang

yang menyebabkan ischialgia diantaranya yaitu herniasi discus, osteoarthritis,

spondylosis dan spndylolisthesis. Keempat kasus ini akan menyebabkan

terjadinya kompresi pada nervus spinalis yang berada di cauda equina atau

kanal tulang di tulang vertebra. Herniasi discuc biasanya terjadi pada usia

paruh baya dan lanjut usia (usia 30-60 tahun). Osteoarthritis terjadi pada orang

tua yaitu dengan usia >60 tahun, dan untuk spondylolisthesis terjadi pada orang

yang lebih muda <30 tahun. Sedangkan sebanyak 15% kasus lain penyebab

ischialgia adalah kompresi pada nervus spinalis oleh tumor, kista, dan infeksi.
20

Penyebab ischialgia dengan onset cepat yaitu :

a. Herniasi discus

Pada discus intervertebralis terdapat nucleus pulposus yang dikelilingi

oleh annulus fibrosus dan pada bagian luarnya dilindungi oleh ligament yang

sangat kuat. Ketika terjadi trauma pada discus intervertebralis, penuaan, dan

degenerasi arthritis, nukleus pulposus perlahan-lahan akan kehilangan air dan

mengeras. Diskus cenderung rata mengakibatkan peningkatan tekanan pada

sendi facet yang menyebabkan hipertrofi sendi. Protraksi diskus( terjadi ketika

nucleus pulposus menggembung ke annulus fibrosus namun masih belum

melewati annular ligament) terjadi lebih dari 50% pada orang normal,

umumnya terjadi pada kasus nyeri punggung bawah.

b. Spondylolistesis

Pergeseran korpus vertebra (biasanya kearah anterior) terhadap vertebra

di bawahnya disebabkan proses degeneratif dan inflamasi pada tulang belakang

melibatkan ruang antar diskus, sendi facet, dan ligamen intraspinal dan

paraspinal. Kondisi ini paling sering terjadi pada segmen L4 dan L5, atau antara

L5 dan sakrum. Pergeseran dari segmen tulang vertebra memberikan

manifestasi pada kompresi diskus dan medula spinalis, yang akan berperan

sebagai stimulus nyeri pada keluhan nyeri punggung bawah.

c. Infeksi

Infeksi yang terjadi pada tulang vertebra dan pelvic dapat menyebabkan

ischialgia karena dapat mempengaruhi akar saraf, misalnya abses dan herpes

zoster. Infeksi herpes zoster pada nervus ischiadicus menyerupai herniasi


21

discus dimana pasien akan merasakan nyeri yang sangat hebat tanpa adanya

gejala sistemik. Untuk mendiagnosis herpes zoster dengan mengidentifikasi

adanya ruam vaskuelr pada kulit yang muncul selama beberapa hari setelah

adanya nyeri pada tungkai.

Penyebab ischialgia dengan onset bertahap diantaranya yaitu :

a. Spondylosis

Proses penuaan dan degenerasi tidak hanya terjadi pada diskus saja

tetapi juga terjadi pada sendi, ligament, dan tulang yang ada disekitarnya tulang

vertebra. Stenosis foramen merupakan penyempitan pada kanal tulang yang

menjadi tempat keluarnya saraf pada tulang vertebra. Sedangkan spinal stenosis

adalah terjadinya penyempitan pada ruas tulang belakang. Kedua kondisi

tersebut akan terasa sangat nyeri ketika melakukan gerakan membungkuk ke

belakang. Ischialgia yang disebabkan karena osteoarthritis berkembang lebih

lambat dan bertahap berbeda dengan herniasi discus yang berkembang dengan

onset yang sangat cepat. Stenosis pada tulang vertebra menyebabkan terjadinya

kompresi pada cauda equina dan biasanya menyebabkan gejala neurologis

seperti kelemahan, mati rasa, disfungsi usus dan kandung kemih.

b. Tumor

Tumor jinak atau ganas juga dapat menekan saraf pada tulang vertebra

sehingga dapat menyebabkan ischialgia. Tumor jinak paling umum yang dapat

menyebabkan ischialgia adalah schwannoma. Schwannoma adalah suatu

kondisi yang menyebabkan terjadinya pemisahan lapisan pada saraf. Gangguan

genetic neurofibromatosis tipe II (disebut NF2) merupakan penyebab terjadinya


22

schwannoma di seluruh tubuh. Tumor ganas yang dapat menyebabkan

ischialgia diantaranya yaitu metastasis dari kanker ginjal, paru-paru, payudara,

dan tulang. Selain itu, ischialgia juga dapat menjadi salah satu gejala adanya

tumor di panggul seperti kista pada ovarium, dan kanker rahim.

c. Nerve Entrapment

Nyeri akibat terjepitnya saraf oleh otot dan ligamen dapat menimbulkan

nyeri yang luar biasa. Ischialgia juga dapat terjadi setelah melahirkan yang

disebabkan karena adanya peregangan saraf yang berkepanjangan ketika

tungkai bergerak eksorotasi. Pada sindroma piriformis, nervus ischiadicus

terjepit diantara otot dan jaringan yang ada disekitarnya. Gejala khas yang

muncul pada sindroma piriformis adalah nyeri dibagian tengah pantat, nyeri

menjadi lebih parah ketika melakukan gerakan eksorotasi hip, adanya nyeri

tekan didaerah takik sciatic, dan nyeri akan meningkat ketika duduk terlalu

lama.

i. Patofisiologi

Nervus ischiadicus terdiri dari akar saraf L4-S2 yang keluar dari rongga

pelvis melalui foramen ischiadicum dan berjalan ke inferior dan anterior

menuju otot piriformis. Nervus ischiadicus berjalan ke posterior menuju

gemellus superior, gemellus inferior, obturator internus, dan quadratus

femoris. Kemudian nervus ischiadicus berjalan menuju paha bagian posterior

melalui biceps femoris. Nervus ischiadicus berakhir di posterior lutut yaitu di

fossa poplitea yang terbagi menjadi nervus tibialis dan nervus peroneal. Gejala
23

ischialgia terjadi ketika adanya patologi disepanjang jalur persarafan nervus

ischiadicus (Davis et al, 2021).

Patofisiologi ischialgia sangat kompleks yang melibatkan beberapa

faktor yaitu kompresi, peradangan, dan sistem imun. Discus intervertebralis

yang menekan akar nervus ischiadicus menyebabkan gejala ischialgia.

Bahwasanya kelainan patologis discus intervertebralis dan stenosis kanalis

yang dapat menyebabkan neuropati dan sering terjadi pada pasien tanpa gejala.

Di sisi lain, pasien dengan HNP simtomatik dapat mengalami perbaikan klinis

yang signifikan tanpa adanya perubahan kelainan patologis pada diskus.

Terdapat korelasi positif antara kompresi dan neuropati praoperasi, hal ini

menunjukkan bahwa kompresi lebih mungkin berkontribusi terhadap gangguan

fungsional daripada nyeri (Eko P, 2010).

Spondylosis adalah penyebab umum terjadinya nyeri punggung,

terutama pada orang berusia di atas 50 tahun. Nyeri punggung bagian bawah

tersebut bersifat pegal, ngilu, kaku dan lelah pada daerah pinggang. Spondylosis

adalah penyakit degeneratif yang disebabkan oleh berkurangnya elastisitas

diskus, yang kemudian menipis dan diikuti oleh lipatan ligamen di sekitar

tulang belakang, seperti ligamen longitudinal, kemudian terjadi kalsifikasi pada

lipatan tersebut dan terbentuklah osteofit (Permadi, 2016).

j. Tanda dan Gejala

Ada beberapa gejala umum yang dapat dijumpai pada kasus ischialgia,

diantara yaitu : pasien akan merasakan nyeri pada bagian punggung bawah atau

tungkai, mati rasa, kesemutan ringan, nyeri tumpul, muncul sensasi seperti
24

terbakar dibagian belakang betis atau telapak kaki, nyeri terasa lebih parah

ketika sedang berbaring atau bangun tidur. Ischialgia biasanya terjadi pada satu

tungkai kaki dan terkadang ada sensasi seperti sengatan listrik yang dirasakan

disepanjang jalur persarafan. Nyeri yang dirasakan dapat berupa nyeri ringan

hingga berat. Nyeri juga akan terasa ketika batuk, bersin, berjalan ke kamar

mandi, atau ketika duduk yang menjadi penyebab nyeri punggung bawah

(Kumar et al, 2011).

k. Prognosis

Sebagian besar kasus ischialgia sembuh dalam waktu 4-6 minggu tanpa

adanya komplikasi jangka panjang bahkan tanpa tindakan medis. Pada kasus

yang lebih parah dan terdapat neuropati, mungkin pasien akan mengalami

pemulihan yang lebih lama. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa

mekanika kerja yang buruk, depresi mental, dan status sosial ekonomi yang

buruk kemungkinan besar dapat menyebabkan terjadinya peningkatan kasus

ischialgia yang berulang (Davis et al, 2021).

l. Komplikasi

Pada kasus ischialgia jika tidak dilakukan tindakan untuk mengurangi

tekanan yang diakibatkan oleh nervus ischiadicus dapat menyebabkan

terjadinya komplikasi. Komplikasi yang terjadi diantaranya yaitu : (1) rasa sakit

yang meningkat dari waktu ke waktu; (2) parestesia pada kaki yang sakit; (3)

hilangnya kekuatan otot di kaki yang sakit; (4) hilangnya fungsi usus dan

kandung kemih; (5) terjadi kerusakan saraf permanen (Davis et al, 2021).
25

B. Problematika Fisioterapi

Problematika fisioterapi pada kasus ischialgia terbagi menjadi 3 hal

yaitu impairment, functional limitation, dan participation retriction.

1. Impairment

Impairment adalah suatu masalah yang timbul pada body function dan

body structure yang dapat menimbulkan suatu kerugian (ICF, 2002).

Impairment yang sering ditemukan pada pasien ischialgia adalah (1) nyeri pada

punggung bawah (b28013) dan ekstermitas bawah (b28015), (2) keterbatasan

lingkup gerak sendi lumbrosakral (s76002), (3) spasme otot quadratus luborum

(b7800).

2. Functional Limitation

Functional limitation adalah segala kesulitan yang mungkin dialami

oleh pasien ischialgia dalam melakukan aktivitas sehari-hari (ICF, 2002).

Functional limitation pada kasus ischialgia adalah (1) pasien akan mengalami

kesulitan ketika berjalan jauh (d4501), (2) kesulitan untuk melakukan gerakan

dari jongkok ke berdiri (d4108).

3. Paricipant Restriction

Paricipant Restriction adalah masalah yang mungkin dialami seseorang

dalam situasi kehidupan (ICF, 2002). Paricipant Restriction yang terjadi pada

kasus ischialgia adalah pasien mengalami kesulitan dalam melakukan kegiatan

sehari-hari seperti (1) melakukan pekerjaan (d859), hobi (d9204), dan

melakukan aktivitas di masyarakat (d9109).


26

C. Transcutaneus Electrical Nerve Stimulation

1. Pengertian TENS

Menurut American Physical Therapy Association (APTA) TENS

merupakan metode stimulasi saraf dengan menggunakan arus listrik pada kulit

area punggung bawah yang bertujuan untuk menghilangkan nyeri. Frekuensi,

intensitas, dan durasi yang digunakan sangat bervariasi (Okonknow et al, 2018).

Mekanisme TENS dalam mengurangi nyeri menurut gate control teori. TENS

akan mengaktivasi serabut saraf Aβ yang kemudian menginhibisi neuron

nosiseptif di cornu dorsalis medula spinalis. Sehingga terjadi penutupan

gerbang berupa substansia gelatinosa (SG). Akibatnya impuls nyeri yang

dibawa saraf Aδ dan C yang kemudian akan ditransmisikan ke sel T terboklir

dan nyeri menjadi berkurang atau hilang. Mekanisme lain melalui rangsangan

morfin endogen, stimulus listrik pada kulit dan saraf dapat menyebabkan tubuh

mengeluarkan zat endorfin. Endorfin merupakan zat transmiter endogenus yang

diproduksi secara alamiah di dalam otak dan kelenjar hipofisis (Khatri, 2018).

Dalam penelitian telah menunjukkan bahwa TENS dapat mengurangi

nyeri pada lumbosakral yang umumnya disertai dengan nyeri yang menjalar

hingga tungkai atau sering disebut dengan ischialgia. Namun, penggunaan

TENS menunjukkan hasil yang lebih baik dalam menghilangkan rasa nyeri jika

dikombinasikan dengan intervensi dan modalitas lainnya seperti terapi latihan.

Mekanisme pereda nyeri oleh TENS pada kasus ischialgia terletak pada

stimulasi serabut saraf aβ yang dapat meredakan nyeri. Proses stimulasi bekerja
27

menurunkan nyeri dengan cara penutupan gerbang transmisi nyeri (Okonknow

et al, 2018).

Gambar 2. 9
Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation (Khatri, 2018).

2. Jenis-jenis TENS

1) Conventional TENS

Tujuan convensional TENS adalah untuk mengaktivasi serabut saraf

berdiameter besar (Aβ) tanpa mengaktivasi serabut saraf berdiameter kecil (Aδ

dan C). Convensional TENS menghasilkan analgesia segmental dengan onset

dan offset yang cepat terlokalisasi di dermatom. Secara teoretis, arus frekuensi

tinggi dan intensitas rendah paling efektif dalam mengaktifkan serat

berdiameter besar secara selektif, meskipun dalam praktiknya hal ini akan

dicapai apabila pengguna TENS merasakan paresthesia yang nyaman di bawah

elektroda. Metode ini biasa dikenal sebagai TENS dengan frekuensi tinggi

amplitudo rendah. Parameter metode konvensional untuk durasi pulsa berkisar


28

50-125 µs, frekuensi pulsa 50-110 µs, amplitudo submotorik menghasilkan

parestesia atau sensasi kesemutan.

2) Acupuncture-like TENS (AL-TENS)

AL-TENS didefinisikan sebagai induksi kontraksi otot fasik yang kuat

tetapi tidak menyakitkan pada miotom terkait dengan asal mula nyeri. Tujuan

ALTENS adalah untuk secara selektif mengaktifkan saraf berdiameter kecil (Aδ

atau grup III) yang timbul dari otot (ergoreseptor) oleh induksi gerakan otot

fasik. TENS dihantarkan melalui motor point untuk mengaktifkan eferen Aα

untuk menghasilkan gerakan otot fasik mengakibatkan aktivitas ergoreseptor.

Klien mungkin merasakan ketidaknyamanan saat pulsa frekuensi rendah

digunakan untuk menghasilkan gerakan otot sehingga burst pulse digunakan

sebagai gantinya. AL-TENS menghasilkan analgesik ekstrasegmental melalui

aktivasi 21 inhibisi descending pain pathways. Saraf Aβ juga akan teraktivasi

pada ALTENS sehingga juga akan terjadi analgesik segmental.

3) Intense TENS

Tujuan dari intense TENS adalah untuk mengaktifkan aferen diameter

kecil Aδ dengan memberikan intense TENS di atas pesarafan tepi dari lokasi

nyeri dengan intensitas yang dapat ditoleransi oleh klien. Dengan demikian,

intense TENS digunakan di atas lokasi nyeri atau di sepanjang persarafan yang

timbul nyeri menggunakan frekuensi tinggi dan arus intensitas tinggi yang

dapat ditoleransi klien. Intense TENS merupakan counterirritant yang dapat

dihantarkan dalam waktu singkat. Aktivitas di aferen Aδ yang diinduksi oleh


29

intense TENS menghasilkan blokade perifer pada aktivitas aferen nosiseptif,

analgesik segmental dan analgesik ekstrasegmental.

3. Metode TENS

Pada kasus ischialgia menggunakan TENS dengan metode konvensional

yang mengaktifkan saraf berdiameter besar. TENS konvensional memberikan

efek analgesik dominan pada mekanisme segmental dengan mengaktifkan saraf

aβ dan menginhibisi aktivasi second order nociceptive pada kornu dorsalis

medula spinalis. TENS konvensional dirancang untuk memberikan sensasi

kesemutan yang nyaman pada sensori tingkat submotorik. (Khatri, 2018).

4. Efek dan Tujuan TENS

Efek analgesik dari TENS konvensional terlokalisasi pada sumsum

tulang belakang dan kemungkinan besar menghambat pereda nyeri prasinaptik

dan pascasinaps. Metode ini memiliki efek relaksasi pada pasien karena

dirancang untuk menginduksi gerakan kulit stimultan yang dianggap sebagai

pijatan. Gerakan simultan ini dapat mempengaruhi hipotalamus untuk

melepaskan endorfin yang diproduksi oleh sistem saraf pusat dan kelenjar

pituitari. Endorfin merupakan senyawa kimia neuropeptida opioid lokal dan

hormon peptida yang memilki efek menenangkan pada tubuh. Pada kasus ini,

TENS efektif meredakan nyeri dan mengurangi kesemutan yang menjalar pada

kaki (Hayes dan Hall, 2014).


30

5. Indikasi TENS

TENS umumnya diberikan pada kondisi nyeri akut dan nyeri kronis

seperti nyeri post operasi, desminore primer, nyeri pasca melahirkan, nyeri

muskuloskeletal, gangguan saraf, dan peradangan sendi seperti arthritis

reumatoid, ostheoarthritis dan lain-lain (Khatri, 2018).

6. Kontraindikasi TENS

Kontraindikasi TENS yaitu pada pasien menggunakan alat pancu pada

jantung (pace maker), kehamilan, epilepsi, gangguan dermatologi pada area

punggung bawah, adanya pendarahan, dan gangguan sensibilitas (Khatri, 2018).

7. Dosis TENS

Dosis pemberian TENS pada kasus ischialgia yaitu, (1) tingkat

analgesik untuk rasa nyeri dengan frekuensi 10-100 Hz, (2) durasi 10-15 menit

dengan intensitas yang disesuaikan dengan toleransi pasien (Khatri, 2018).

D. William Flexion Exercise

1. Definisi William Flexion Exercise

William flexion exercise merupakan latihan penguluran pada otot

paravertebral agar otot menjadi rileks dan meningkatan fleksibilitas otot,

sehingga nyeri berkurang dan terjadi penurunan disabilitas (Khalid et al, 2013).

Latihan ini pertama kali dikembangkan oleh Dr. Paul William’s pada tahun

1937 untuk pasien dengan keluhan nyeri punggung bawah kronis. Latihan ini

bertujuan untuk mengurangi nyeri, memberikan stabilitas lumbal yang secara

aktif dapat meningkatkan otot-otot abdominal, gluteus maximus, dan


31

hamstring, untuk meningkatkan fleksibilitas / elastisitas kelompok otot fleksor

dan ekstensor postural (Kumar, 2015).

2. Prinsip william flexion exercise dalam penurunan nyeri

Prinsip dasar dari latihan william flexion exercise merupakan gerakan

yang bertujuan untuk meregangkan otot-otot daerah punggung dan memperkuat

otot-otot abdominal serta dapat memperbaiki postur yang salah. Latihan ini

dapat meningkatkan stabilitas tulang vertebra lumbal. Secara aktif melatih otot

abdominal, gluteus maximus, dan hamstring, sehingga dapat mengurangi

hiperlordosis lumbal dan mengurangi tekanan pada discus intervertebralis

(Zahratur dan Priatna, 2019).

3. Efek William Flexion Exercise

Efek terapeutik dari william flexion exercise adalah mengurangi spasme

otot-otot erector spine, dapat mengurangi nyeri, mengurangi kekakuan sendi

discus intervertebralis, dan dapat memperbaiki postur tubuh yang salah.

William flexion exercise lebih dominan gerakan flexi karena dapat mengurangi

beban atau pada sendi facet (Permadi, 2016).

4. Indikasi dan Kontraindikasi William Flexion Exercise

Indikasi william flexion exercise yaitu pada gangguan nyeri punggung

bawah kronis yang disebabkan oleh peradangan dan terbatasnya jaringan lunak,

serta disfusi sendi facet. Sedangkan untuk kontraindikasi william flexion

exercise yaitu adanya gangguan pada discus seperti bulging, heniasi discus,

atau protusi discus (Frans, 2018).


32

5. Teknik William Flexion Exercise

Pada pelaksanaan terapi gerakan William Flexion Exercise ada 6

diantaranya yaitu :

1) Pelvic Tilting

Posisi pasien tidur terlentang dengan lutut flkesi dan kaki menumpu rata

diatas bed. Tekan punggung ke bawah (rata dengan bed) tanpa bantuan tungkai

bawah. Kemudian tahan selama 5-10 detik, dan gerakan diulangi 8-10x/sesi.

Gambar 2. 10
Pelvic Tilting (Kumara, 2015)

2) Single Knee To Chest

Posisi pasien tidur terlentang, salah satu lutut ditekuk dan kaki lainnya

lurus diatas bed. Secara perlahan lutut kanan ditarik kearah bahu dan ditahan 5-

10 detik. Kemudian lakukan pada lutut kiri dan tahan 5-10 detik. Gerakan

diulangi 8-10x/sesi.
33

Gambar 2. 11
Single Knee To Chest (Kumara, 2015)

3) Double Knee To Chest

Posisi pasien sama seperti latihan sebelumnya, pasien diminta untuk

menekuk kedua lututnya dan ditarik kearah dada. Tahan selama 5-10 detik, lalu

turunkan secara perlahan. Gerakan diulangi 8-10x/sesi.

Gambar 2. 12
Double Knee To Chest (Kumara, 2015)

4) Hamstring Stretch

Posisi pasien masih sama dengan gerakan sebelumnya yaitu posisi tidur

terlentang diatas bed. Salah satu tungkai diangkat lurus ke atas, kedua tangan

menopang pada bagian belakang paha. Kemuadian tahan 5-10 detik, ulangi

gerakan 8-10x/sesi.
34

Gambar 2. 13
Hamstring Stretch (Kumara, 2015)

5) Partial Sit-up

Posisi pasien seperti gerakan sebelumnya yaitu tidur terlentang dan

kedua lutut fleksi dan kaki menumpu di bed. Secara perlahan angkat kepala dan

bahu dari bed, pertahankan selama 5-10 detik. Kemudian secara perlahan

kembali ke posisi awal, gerakan diulangi 8-10x/sesi.

Gambar 2. 14
Partial Sit-up (Kumara, 2015)

6) Squat

Posisi pasien bediri didepan permukaan datar dengan posisi kaki

membuka sejajar dengan bahu. Kemudian secara perlahan pasien menurunkan

badan sampai kedua lutut flexi. Gerakan ini ditahan selama 5-10 detik dan

ulangi 8-10x/sesi.
35

Gambar 2. 15
Squat (Kumara, 2015).
BAB III

PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI

A. Pengkajian Fisioterapi

Untuk mengetahui suatu penyakit maka perlu dilakukan pengkajian

tentang riwayat penyakit sebelumnya. Pemeriksaan dilakukan dengan tepat

dan terstruktur yang berguna untuk menetapkan diagnosis dalam

pelaksanaan terapi. Sistematika pemeriksaan yang perlu dilakukan pada

kasus Ischialgia et causa spondilosis antara lain :

1. Anamnesis

Anamnesis merupakan pemeriksaan berupa tanya jawab atau

wawancara mengenai penyakit yang sedang diderita oleh pasien. Pada kasus

ischiagia dilakukan anamnesis secara langsung kepada pasien

(autoanamnesis) yang meliputi anamnesis umum, anamnesis khusus, dan

anamnesis sistem, dan didapatkan hasil sebagai berikut :

a. Anamnesis umum

Anamnesis umum berisi tentang identitas pasien secara lengkap.

Pasien bernama Tn. S, Usia : 50 tahun, jenis kelamin : laki-laki, agama :

islam, pekerjaan : tukang mebel, alamat : Nusa Wungu

36
37

b. Anamnesis khusus

Anamnesis khusus dilakukan untuk memperoleh data yang lebih

lengkap mengenai penyakit yang diderita oleh pasien saat ini. Anamnesis

khusus meliputi :

1) Keluhan utama

Pasien mengeluhkan nyeri pada punggung bawah menjalar sampai ke

tumgkai kiri,saat batuk nyeri sedikit bertambah.

2) Riwayat penyakit sekarang

Pasen merasakan nyeri pada punggung bawah sudah lama dan nyeri

yang dirasakan hilang timbul, pasien merasakan nyeri yang tertahankan pada

punggung bawah dan akhirnya pasien memutuskan untuk berobat ke RS dan

mendapat rujukan untuk untuk dilakukan fisioterapi.

3) Riwayat penyakit dahulu

Pasien tidak ada riwayat penyakit yang diderita sebelumnya.

4) Riwayat penyakit penyerta

Pasien tidak ada keluhan lain selain nyeri punggung bawah yang

menjalar hingga ke tungkai.


38

5) Riwayat pribadi dan keluarga

Pekerjaan sehari-hari pasien sebagai tukang mebel dan pasien sering

angkat-angkat berat. Tidak ada riwayat penyakit herediter pada keluarga pasien

dan keluarga pasien tidak ada yang menderita penyakit serupa.

c. Anamnesis sistem

Dari anamnesis sistem ini didapatkan hasil sebagai berikut : (1) kepala

dan leher : pasien tidak mengeluhkan seperti pusing dan kaku leher, (2)

kardiovaskuler : pasien tidak mengeluhkan nyeri dada dan jantung berdebar-

debar, (3) respirasi : pasien tidak mengeluhkan sesak napas, pilek, dan batuk,

(4) gastrointestinaslis : pasien tidak mengeluhkan mual, muntah, BAB lancar

dan terkontrol, (5) urogenitalis : tidak ada keluhan, (6) muskuloskeletal : pasien

mengeluhkan nyeri pada punggung bawah dan terdapat spasme otot pada otot

quadratus lumborum, (7) nervorum : pasien merasakan nyeri yang menjalar

sampai ke tungkai kiri seperti kesemutan.

2. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik merupakan sebuah proses pemeriksaan pada tubuh

pasien untuk menemukan tanda klinis pada penyakit yang dilakukan secara

langsung. Pemeriksaan fisik terdiri dari :

a. Vital sign

Pemeriksaan vital sign terdiri dari : (1) tekanan darah 120/80 mmHg, (2)

denyut nadi 72 kali/menit, (3) pernafasan 22 kali/menit, (4) temperatur 36°C,

(5) berat badan 65 kg, (6) tinggi badan 160 cm.


39

b. Inspeksi

Inspeksi statis : Bahu tampak simetris antara bahu kanan dan bahu kiri,

tidak nampak kemerahan pada punggung bawah pasien, lumbal tampak

hiperlordosis saat pasien tidur tengkurap, tungkai tampak simetris antara

tungkai kanan dan tungkai kiri saat pasien tidur terlentang. Sedangkan inspeksi

dinamis : Pasien mampu berjalan secara mandiri tanpa menggunakan alat bantu

dan tidak mengalami kesulitan.

c. Palpasi

Pada kasus ini didapatkan hasil yaitu adanya nyeri tekan pada punggung

bawah (L4 dan L5) pada facet jointnya, adanya spasme pada otot quadratus

lumborum, suhu pada punggung bawah normal saat dibandingkan dengan suhu

disekitarnya.

d. Perkusi

Pada kasus ischialgia pemeriksaan perkusi tidak dilakukan.

e. Auskultasi

Pada kasus ischialgia pemeriksaan auskultasi tidak dilakukan.

f. Pemeriksaan Gerak Dasar

1) Gerakan Aktif

Pemeriksaan gerak aktif bertujuan untuk mendapatkan data informasi

tentang lingkups gerak sendi (LGS), serta rasa nyeri yang timbul.
40

TABEL 3.1

PEMERIKSAAN GERAK AKTIF


Sendi Gerakan ROM Nyeri

Fleksi Tidak full ROM Ada

Ekstensi Tidak full ROM Ada

Side fleksi kanan Full ROM Ada

Side fleksi kiri Full ROM Ada


Lumbal
Side fleksi kiri tiga dimensi Tidak full ROM Ada

side fleksi kanan tiga dimensi Tidak full ROM Ada

Rotasi kanan Full ROM Tidak ada

Rotasi kanan Full ROM Tidak ada

Hip Ekstensi hip sinistra Full ROM Tidak ada

Fleksi hip sinistra Full ROM Ada

Abduksi hip sinistra Full ROM Tidak ada

Adduksi hip sinistra Full ROM Tidak ada

Endorotasi hip sinistra Full ROM Tidak ada

Eksorotasi hip sinistra Full ROM Tidak ada

Sumber : Data Primer, 2022


41

Dari pemeriksaan gerak aktif didapatkan hasil adanya keterbatasan

gerak saat gerakan fleksi, ekstensi, side fleksi kanan, dan kiri tiga dimensi

lumbal tidak full ROM dengan disertai nyeri yang muncul diakhir gerakan.

Untuk side fleksi kanan dan kiri lumbal full ROM dengan disertai yang muncul

diakhir gerakan. Sedangkan pada gerakan fleksi hip full ROM disertai nyeri

yang muncul diakhir gerakan.

2) Gerakan Pasif

Pemeriksaan ini bertujuan untuk mendapatkan informasi ada tidaknya

keterbatasan lingkup gerak sendi (LGS), endfeel, dan nyeri saat digerakkan.

TABEL 3.2

PEMERIKSAAN GERAK PASIF


Gerakan ROM Nyeri Endfeel
Fleksi lumbal Full ROM Ada Firm

Ekstensi lumbal Full ROM Ada Firm

Side fleksi kanan lumbal Full ROM Ada Firm

Side fleksi kiri lumbal Full ROM Ada Firm

Rotasi kanan lumbal Full ROM Tidak ada Firm

Rotasi kiri lumbal Full ROM Tidak ada Firm

Side fleksi kiri lumbal tiga dimensi Full ROM Ada Firm

Side fleksi kanan lumbal tiga dimensi Full ROM Ada Firm

Ekstensi hip sinistra Full ROM Tidak ada Firm

Fleksi hip sinistra Full ROM Ada Firm


42

Abduksi hip sinistra Full ROM Tidak ada Firm

Adduksi hip sinistra Full ROM Tidak ada Firm

Endorotasi hip sinistra Full ROM Tidak ada Elastic

Eksorotasi hip sinistra Full ROM Tidak ada Elastic

Sumber : Data Primer, 2022

Dari hasil pemeriksaan gerak pasif pada lumbal didapatkan hasil tidak

ada keterbatasan gerak saat gerakan fleksi, ekstensi, side fleksi kanan dan kiri,

side fleksi kanan, dan kiri tiga dimensi full ROM dengan disertai nyeri yang

muncul diakhir gerakan dengan endfeel firm. Sedangkan untuk fleksi hip full

ROM dengan disertai nyeri yang muncul diakhir gerakan dengan endfeel firm.

g. Pemeriksaan Kognitif, Intrapersonal, dan Interpersonal

Kognitif : pasien mampu menceritakan kronologi kejadian dan waktu

dengan baik. Intrapersonal : pasien memiliki motivasi yang tinggi untuk

sembuh dan pasien semangat untuk melakukan terapi. Interpersonal : pasien

mampu berkomunikasi dengan terapis secara baik.

h. Pemeriksaan Kemampuan Fungsional dan Lingkungan Aktivitas

Kemampuan fungsional : (1) Pasien mampu merubah posisi dari tidur

terlentang kemudian miring ke kanan-kiri lalu tengkurap, (2) pasien mampu

merubah posisi dari tidur ke duduk kemudian bangkit dari duduk ke berdiri lalu

berjalan tanpa menggunakan alat bantu dan tanpa adanya nyeri. Aktivitas

Fungsional : (1) Pasien mampu berjalan tanpa menggunakan alat bantu, (2)

dalam aktivitas perawatan diri dan toileting pasien dapat melakukan secara

mandiri.
43

Lingkungan Aktivitas : Pasien bekerja sebagai tukang mebel yang setiap

harinya suka angkat-angkat berat dan berdiri terlalu lama. Hal itu yang

memperburuk penyakit pasien.

3. Pemeriksaan Spesifik

Pemeriksaan spesifik adalah pemeriksaan yang bertujuan untuk

menegakkan diagnosis utama terhadap diagnosis banding yang ada.

Pemeriksaan spesifik dilakukan berdasarkan informasi anamnesis yang

didapatkan sebelumnya. Pada kasus ischialgia perlu dilakukan pemeriksaan

spesifik, diantaranya yaitu :

a. Pemeriksaan Derajat Nyeri dengan Numeric rating scale

Pemeriksaan derajat nyeri dilakukan dengan menggunakan numeric

rating scale (NRS). Skala ini menggunakan angka 0-10 untuk menggambarkan

tingkat nyeri yang dirasakan oleh pasien. Nilai 0 menggambarkan tidak ada

nyeri dan nilai 10 menggambarkan nyeri yang tak tertahankan. Kemudian

pasien diminta untuk memilih bilangan bulat 0-10 yang mencerminkan

intensitas rasa nyeri yang dirasakan (Mardana dan Aryasa, 2017).

Gambar 3. 1
Numeric Ranting Scale (NRS)
44

TABEL 3.3

PEMERIKSAAN DERAJAT NYERI DENGAN NRS


Nyeri Nilai Interpretasi

Nyeri diam saat duduk dan tengkurap 2 Nyeri ringan

Nyeri gerak saat gerak fleksi lumbal 5 Nyeri sedang

Nyeri tekan pada otot paralumbal dan facet joint 6 Nyeri sedang

Sumber : Data Primer, 2022

Dari hasil pemeriksaan nyeri didapatkan hasil nyeri diam saat duduk dan

tengkurap 2, nyeri gerak 5 saat gerakan fleksi lumbal dan nyeri tekan 6 pada

facet joint.

b. Pemeriksaan Lingkup Gerak Sendi (LGS) dengan Modified

Schober Test

Modified schober test adalah salah satu metode salah satu alat ukur yang

berguna untuk menilai mobilisasi dari vertebra khusnya pergerakan lumbal dan

kelengkungan lumbal. Pengukuran ini menggunakan dua tanda. Satu tanda,

ditandai pada titik yang menghubungkan antara kedua posterior superior iliac

spine (PSIS) dan satu tanda lainnya adalah 15 cm diatas tanda pertama.

Modifikasi pada modified schoober test dilakukan utuk mengurangi resiko

kesalahan dari identifikasi pergerakan lumbosacral dan memastikan bahwa

pegukuran fleksibilitas melibatkan seluruh region lumbal. Interpretasi dari

pengukuran ini adalah jika hasil pengukuran pada saat fleksi lumbal kurang dari
45

5cm dan ekstensi kurang dari 3cm maka diindikasikan ada keterbatasan lingkup

gerak sendi lumbosakral (Malik, dkk.2016).

TABEL 3.4
PEMERIKSAAN LGS LUMBAL DENGAN MODIFIED SCHOBER TEST

Posisi Nilai

Normal (L1-SIPS) 15 cm

Fleksi Lumbal 17 cm

Ekstensi Lumbal 2 cm

Sumber : Data Primer, 2022

Dari hasil pemeriksaan lingkup gerak sendi dengan modified schober

test didapatkan hasil terdapat keterbatasan lingkup gerak sendi pada saat

gerakan fleksi lumbal dan ekstensi lumbal.

c. Pemeriksaan Khusus

1) Lassegue test

Pemeriksaan dilakukan dengan posisi pasien tidur terlentang dan terapis

berada disamping tungkai pasien yang akan diperiksa. Kemudian, terapis secara

perlahan mengangkat tungkai pasien sampai ke sudut 70° apabila pasien sudah

merasakan nyeri maka turunkan tungkai pasien secara perlahan-lahan. Pada

pemeriksaan ini didapatkan hasil tes negatif.


46

2) Bragard test

Gerakan dan posisi awal seperti lassegue test, tetapi ditambah dengan

gerakan dorsi flexi kaki. Pada pemeriksaan ini didapatkan hasil tes positif.

3) Neri test

Gerakan dan posisi awal masih sama dengan lassegue test, tetapi

ditambah dengan gerakan flexi leher. Pada pemeriksaan ini didapatkan hasil tes

positif.

4) Faber test

Posisi pasien tidur terlentang, kemudian pada kaki pasien yang sakit

lutut ditekuk dan tumit atau maleolus lateralis diletakkan di atas lutut tungkai

yang lainnya dan diberi tekanan pada bagian posterior lutut yang ditekuk. Pada

pemeriksaan ini didapatkan hasil tes negatif.

TABEL 3.5
TES PROVOKASI NYERI ISCHIALGIA

Tes spesifik Kanan Kiri

Tes laseque - -

Tes bragard - +

Tes neri - +

Faber test - -

Sumber : Data Primer, 2022

5) Pemeriksaan Fungsional dengan Oswestry Disability Index (ODI)

Oswestry disability index (ODI) merupakan alat ukur berupa kuesioner


47
yang di desain untuk membantu fisioterapis dalam pemeriksaan pada kasus

ischialgia. Kuesioner ini digunakan untuk mengetahui tentang bagaiman nyeri

punggung bawah dapat berdampak pada kemampuan aktivitas fungsional.

Kuesioner terdiri atas 10 item berupa : intensitas nyeri, perawatan diri,

mengangkat, berjalan, duduk, berdiri, tidur, kehidupan sosial, bepergian, dan

pekerjaan rumah tangga. Pada setiap item diikuti oleh 6 pernyataan yang

bernilai 0-5. Nilai 0 menunjukkan intensitas gangguan paling rendah,

sedangkan nilai 5 menunjukkan intensitas gangguan paling parah. Hasil dapat

diketahui dengan menghitung semua jumlah poin kemudian dibagi 50 dan

dikali 100%. Berikut hasil pemeriksaan kemampuan fungsional pasien :

TABEL 3.6

OSWETRY DISABILITY INDEX

Indikator Nilai

Intensitas nyeri 3

Perawatan diri (mandi,berpakaian, dll) 0

Aktivitas mengangkat 1

Berjalan 1

Duduk 2

Berdiri 2

Tidur 1

Kehidupan sosial 1

Bepergian 1

Jumlah nilai 12

Sumber : Data primer, 2022


48

Dari hasil pemeriksaan Oswestry Disability Index (ODI) didapatkan

jumlah hasil 12 dengan skor 24% (disabilitas minimal) yaitu pasien memiliki

hambatan pada intesitas nyeri, saat duduk dan saat berdiri.

TABEL 3.7

INTERPRETASI OSWESTRY DISABIILTY INDEX

No Presentasi ketergantungan Interpretasi

1 0 - 20% Ketergantungan sangat ringan

2 21 - 40% Ketergantungan ringan

3 41 - 60% Ketergantungan sedang

4 61 - 80% Ketergantungan berat

5 81 - 100% Ketergantungan sangat berat

Sumber : Data Pimer, 2022

B. Problem Fisioterapi

Berdasarkan pemeriksaan diatas, didapatkan hasil problematika

fisioterapi sebagai berikut :

1. Impairment

Impairment adalah suatu masalah yang timbul pada body function dan

body structure yang dapat menimbulkan suatu kerugian (ICF, 2002).

Impairment yang sering ditemukan pada pasien ischialgia adalah nyeri pada

punggung bawah (b28013) dan ekstermitas (b28015), (2) keterbatasan lingkup

gerak sendi lumbrosakral (s76002), (3) spasme otot quadratus luborum (b7800).
49

2. Functional Limitation

Functional limitation adalah segala kesulitan yang mungkin dialami

oleh pasien ischialgia dalam melakukan aktivitas sehari-hari (ICF, 2002).

Functional limitation pada kasus ischialgia adalah (1) pasien akan mengalami

kesulitan ketika berjalan jauh (d4501), (2) kesulitan untuk melakukan gerakan

dari jongkok ke berdiri (d4108).

3. Participant Restriction

Paricipant Restriction adalah masalah yang mungkin dialami seseorang

dalam situasi kehidupan (ICF, 2002). Paricipant Restriction yang terjadi pada

kasus ischialgia adalah pasien tidak mengalami kesulitan dalam melakukan

pekerjaan (d859), hobi (d9204), dan aktivitas di masyarakat (d9109).

C. Tujuan Fisioterapi

Tujuan fisioterapis adalah tujuan yang akan dilakukan sesuai dengan

problematika dan diagnosa fisioterapi yang dialami oleh pasien. Tujuan

fisioterapi dibagi menjadi dua yaitu tujuan jangka pendek dan tujuan jangka

panjang. Tujuan jangka pendek yaitu (1) mengurangi derajat nyeri yang

menjalar sampai tungkai, (2) mengurangi nyeri diam, tekan dan gerak pada

vertebra lumbal, (3) meningkatkan lingkup gerak sendi vertebra lumbal.

Sedangkan untuk tujuan jangka panjang yaitu meningkatkan kemampuan

aktivitas fungsional pasien.


50

D. Teknologi Intervensi Alternatif

Teknologi intevensi alternatif yang dapat digunakan untuk menangani

kasus ischialgia diantaranya yaitu transcutaneus electrical nerve stimulation

(TENS), infrared (IR), terapi latihan, terapi manipulasi, dan massage. Selain itu

dapat juga menggunakan modalitas mobilisasi saraf, latihan penguatan, dan

sebagainya.

E. Penatalaksanaan Tindakan Fisioterapi

Penatalaksanaan tindakan fisioterapi untuk mencapai tujuan fisioterapi

yang telah ditetapkan. Pada kasus ischialgia modalitas yang digunakan adalah

transcutaneus electrical nerve stimulation (TENS) dan terapi latihan.

1. Transcutaneus Electrical Stimulation (TENS)

a. Persiapan alat

Persiapan alat yang harus dilakukan oleh fisioterapi sebelum

memberikan intervensi, antara lain : (1) pastikan semua alat bersih dan

berfungsi dengan baik, (2) memastikan kabel tidak melilit dan tidak

mengelupas, serta jauhkan dari sumber air, (3) pastikan pad electrode dalam

keadaan lembab, (4) siapkan perekat dan pemberat pad jika diperlukan.

b. Persiapan pasien

Sebelum memberikan intervensi pastikan kondisi paisen aman dan tidak

ada kontraindikasi untuk dilakukan terapi. Terapis memberikan penjelasan

tentang intervensi, manfaat dari intervensi tersebut, indikasi dan kontraindikasi,


51

serta memberitahu apa saja yang akan dirasakan oleh pasien saat diberikan

intervensi tersebut. Terapis melakukan tes sensibilitas pada pasien. Tes

sensibilitas dilakukan pada area lumbal, apabila pasien mengalami gangguan

sensibilitas maka terapi tidak dilanjutkan. Tes sensibilitas dilakukan dengan

menggunakan dua tabung reaksi yang berisi air panas dan dingin. Kemudian

posisikan pasien untuk tidur tengkurap dengan senyaman mungkin. Bebaskan

area punggung bawah pasien dari baju atau kain yang menempel dan bersihkan

area punggung bawah dengan menggunakan alkohol swab.

c. Pelaksanaan terapi

Sebelumnya melakukan tindakan terapi, terapis meminta

izin/memberitahu pasien bahwa terapi akan segera dimulai. Pada kasus ini

digunakan conventional TENS dengan menggunakan 2 channel 4 electrode.

Electrode channel 1 dipasang pada segmen vertebra lumbal 4-5 dan electrode

channel 2 dipasang pada posterior hip kiri atas dan bawah sesuai dengan jalur

nervus ischiadicus diikat dengan pengikat supaya aman. Kemudian nyalakan

alat dan terapis mengatur dosis pada TENS dengan frekuensi 100 Hz. Durasi

yang digunakan untuk terapi yaitu 15 menit dengan metode segmental. Untuk

intensitas disesuaikan dengan toleransi pasien, dan setelah terapi selesai

matikan mesin dan rapikan alat kembali seperti semula.


52

2. Terapi Latihan William Flexion Exercise

a. Persiapan alat

Alat yang dipakai untuk terapi latihan william flexion exercise adalah

matras atau bed yang tidak empuk atau cenderung keras tapi tetap nyaman

untuk pasien.

b. Persiapan pasien

Sebelum dilakukan terapi harus dilakukan pemeriksaan vital sign dalam

keadaan normal atau tidak. Tanyakan pada pasien apakah pasien merasa pusing,

mual atau jantung berdebar-debar. Sebaiknya pasien diminta untuk memakai

pakaian yang longgar agar dapat leluasa melakukan latihan.

c. Pelaksanaan terapi

1) Pelvic Tilting

Posisi pasien tidur terlentang dengan lutut flkesi dan kaki menumpu rata

diatas bed. Tekan punggung ke bawah (rata dengan bed) tanpa bantuan tungkai

bawah. Kemudian tahan selama 5-10 detik, dan gerakan diulangi 8-10x/sesi.
53

2) Single Knee To Chest

Posisi pasien tidur terlentang, salah satu lutut ditekuk dan kaki lainnya

lurus diatas bed. Secara perlahan lutut kanan ditarik kearah bahu dan ditahan 5-

10 detik. Kemudian lakukan pada lutut kiri dan tahan 5-10 detik. Gerakan

diulangi 8-10x/sesi.

3) Double Knee To Chest

Posisi pasien sama seperti latihan sebelumnya, pasien diminta untuk

menekuk kedua lututnya dan ditarik kearah dada. Tahan selama 5-10 detik, lalu

turunkan secara perlahan. Gerakan diulangi 8-10x/sesi.

4) Hamstring Stretch

Posisi pasien masih sama dengan gerakan sebelumnya yaitu posisi tidur

terlentang diatas bed. Salah satu tungkai diangkat lurus ke atas, kedua tangan

menopang pada bagian belakang paha. Kemuadian tahan 5-10 detik, ulangi

gerakan 8-10x/sesi.

5) Partial Sit-up

Posisi pasien seperti gerakan sebelumnya yaitu tidur terlentang dan

kedua lutut fleksi dan kaki menumpu di bed. Secara perlahan angkat kepala dan

bahu dari bed, pertahankan selama 5-10 detik. Kemudian secara perlahan

kembali ke posisi awal, gerakan diulangi 8-10x/sesi.


54

6) Squat

Posisi pasien bediri didepan permukaan datar dengan posisi kaki

membuka sejajar dengan bahu. Kemudian secara perlahan pasien menurunkan

badan sampai kedua lutut flexi. Gerakan ini ditahan selama 5-10 detik dan

ulangi 8-10x/sesi.

E. Edukasi

Terapis memberikan edukasi kepada pasien, pada kasus ini antara lain

(1) menganjurkan kepada pasien untuk mengurangi aktivitas mengangkat benda

yang berat, (2) menganjurkan pasien untuk mengurangi aktivitas bediri terlalu

lama, (3) menganjurkan pasien untuk duduk dengan kursi yang tidak terlalu

empuk dan tidak terlalu keras serta kursi yang ada sandarannya, (4)

mengajarkan cara mengangkat dan mengangkut beban yang benar, yaitu pada

waktu mengambil benda dilantai dengan cara menekuk lutut bukan

membungkuk serta saat membawa benda, usahakan beban tersebut berada dekat

dengan tubuh.

F. Home Program

Pasien diminta untuk melakukan latihan william flexion exercise yang

terdiri dari 6 gerakan yaitu : pelvic tilting, single knee to chest, double knee to

chest, hamstring stretch, partial sit up, dan squat ditahan 5-10 detik dan

diulangi 8-10x/sesi. Latihan dilakukan 2 kali sehari.


55
G. Evaluasi

Evaluasi yang dilakukan pada kasus ini adalah mencatat perbandingan

dari hasil pemeriksaan sebelum dan sesudah dilakukan intervensi VAS, LGS,

dan Oswestry Disability Index (ODI).

1. Evaluasi nyeri dengan Numeric Rating Scale (NRS)

TABEL 3.8

EVALUASI DERAJAT NYERI DENGAN NRS

Jenis nyeri T0 T1 T2 T3

Nyeri diam saat duduk dan tengkurap 2 2 2 2

Nyeri gerak (fleksi lumbal) 5 5 4 4

Nyeri tekan pada facet joint 6 6 6 5

Sumber : Data Primer, 2022

Berdasarkan tabel diatas setelah dilakukan terapi dengan

Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation (TENS) dan terapi latihan pada

pasien ischialgia et causa spondyosis selama 3 kali terapi menunjukkan bahwa

terjadi penurunan pada nyeri tekan dan juga nyeri gerak.

2. Evaluasi lingkup gerak sendi dengan Modified schober test

TABEL 3.9

EVALUASI LGS DENGAN MODIFIED SCHOBER TEST

Gerak T0 T1 T2 T3
Fleksi Lumbal 17 cm 17 cm 18 cm 18 cm
Ekstensi Lumbal 2 cm 2 cm 2 cm 3,5 cm
Sumber : Data Primer, 2022

Berdasarkan tabel diatas mennunjukkan bahwa terdapat peningkatan


56
LGS pada gerakan fleksi dan ekstensi lumbal setelah dilakukan terapi dengan

Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation (TENS) dan terapi latihan pada

pasien ischialgia et causa spondyosis selama 3 kali terapi.

3. Evaluasi kemampuan fungsional dengan Oswestry Disability Index

(ODI).

TABEL 3.10

EVALUASI KEMAMPUAN FUNGSIONAL DENGAN ODI

No Indikator T0 T1 T2 T3
1 Intensitas nyeri 3 3 2 2
2 Perawatan diri (mandi,berpakaian, dll) 0 0 0 0
3 Aktivitas mengangkat 1 1 1 1
4 Berjalan 1 1 1 1
5 Duduk 2 2 1 1
6 Berdiri 2 2 2 1
7 Tidur 1 1 1 1
8 Kehidupan sosial 1 1 1 1
9 Bepergian 1 1 1 1
Total 12 12 10 9
ODI 24% 24% 20% 18%

Sumber : Data Primer, 2022

Berdasarkan tabel diatas menunjukkan bahwa terdapat peningkatan

kemampuan fungsional setelah dilakukan terapi selama 3 kali menunjukkan

bahwa terdapat peningkatan kemampuan aktivitas fungsional pada terapi


57

pertama skor pasien 24% sedangkan pada terapi ketiga skor kemampuan

fungsional sebesar 18%.

4. Evaluasi spasme otot dengan palpasi

Setelah dilakukan terapi sebanyak 3 kali terapi didapatkan hasil terdapat

sedikit penurunan spasme otot quadratus lumborum.

H. Hasil Terapi

Pasien bernama Tn. S berusia 50 tahun, dengan diagnosa ischalgia et

causa HNP lumbal. Setelah dilakukan tindakan fisioterapi sebanyak 3 kali,

dengan intervensi berupa pemberian TENS dan William Flexion Exercise

terjadi perubahan meskipun belum sembuh total dengan didapatkan hasil yaitu

terjadi penurunan nyeri diam, nyeri tekan, dan nyeri gerak pada punggung

bawah. Terjadi peningkatan lingkup gerak sendi lumbal, dan juga peningkatan

aktivitas fungsional pasien.


DAFTAR PUSTAKA

Andriana, C., Nicoleta, M. 2018. Effects of Physical Therapy In Patients With


Sciatica. ARS Medica Tomitana. 18(4): 174-178.

Baloh, R.W. 2019. Sciatica and Chronic Pain. Los Angeles. Springer
International Publishing AG. Diakses dari
https://dl.uswr.ac.ir/bitstream/Hannan/32419/1/9783319939032.pdf

Davis, D., Maini, K. and Vasudevan, A. 2021 Sciatica. StatPearls. Diakses dari
https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/

Dressendorfer R. 2016. Clinical Review Sciatica. Cinahl Information System.


Diakses dari https://www.ebscohost.com/assets-sample-
content/Sciatica.pdf

Eko, P.T. 2010. PATOFISIOLOGI SKIATIKA. 27 (4). Diakses dari


http://www.neurona.web.id/paper-detail.do?id=742

Fritz, J., Lane, E., McFadden, M. 2021. Physical therapy referral from primary
care for acute back pain with sciatica. Annals of Internal Medicine.
174(1): 8-17. Diakses dari
https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/33017565/

Fitriani., Diana, L. R., & Aprilia, R. 2014. Physiotherapy Study Ischialgia in


Mintoharjo Hospital. International Journal of Pharmacy Teaching &
Practice. 5 (3): 1100-1104.

Galuh R, Tambajong. Harold F, Lalenoh. Diana. 2016. Gambaran Skala Visual


Analog Dan Hemodinamik Pada Pasien Yang Diberikan Kombinasi
Tramadol Dan Ketorolac Pasca Bedah Laparotomi. Jurnal e-Clinic.
4 (1).

Hayes, K. D., & Hall, K. D. 2018. Agens Modalitas untuk Praktik Fisioterapi.
Jakarta. EGC.

Hijayanti S. 2021. Pengaruh Pemberian TENS Dan William Fleksi Pada


Kondisi Ischialgia Sinistra E.C Spondyloarthrosis. Jurnal Syntax
Fussion. Vol. 1: 96-106.

Hudaya, P. 2012. Modul Perkuliahan: Pemeriksaan Fisioterapi Satu. Surakarta:


Poltekkes Kemenkes Surakarta.

68
69

ICF. 2002. Towards a common language for functioning, disability and health
ICF. Geneva. World Health Organization. Diakses dari
https://www.who.int/publications/m/item/icf-beginner-s-guide-
towards-a-common-language-for-functioning-disability-and-health

Khalid, M., Rafiq, M., Zehra, N. 2013. Effectiveness of William’s flexion


exercises in management of low back pain. Pakistan Journal of
Medicine and Dentistry. 1(1): 21-33.

Khatri Subhash, M., 2018. Elektroterapi. Edisi 2. Buku Kedokteran EGC.


Jakarta.

Kumar, M., Garg, Gaurav., Singh, L.R., Singh, Talever., dan Tyagi, L.K. 2011.
Epidemiology, Pathophysiology and Symptomatic Treatment of
Sciatica : A Review. 2(4). 1050–1061. Diakses dari
https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S1297319X05000
801

Luklukaningsih, Zuyina., 2014. Anatomi, Fisiologi dan Fisioterapi. Nuha


Medika. Yogyakarta.

Magee, D. J. 2014. Orthopedic Physical Assesment. Edisi 6. In Missouri.


Elsevier. Diakses dari https://www.elsevier.com/books/orthopedic-
physical-assessment/major/978-0-323-52299-1

Mardan, I.K.R.P. dan Aryasa. T. 2017. Penilaian Nyeri. Denpasar. FAKULTAS


KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA. Diakses dari
https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_penelitian_1_dir/0a3e5b2c21
e3b90b485f882c78755367.pdf

Moley, P.J.. 2019. SCIATICA.Journal of Portfolio Management. Diakses dari


https://jamanetwork.com/journals/jama/article-abstract/184229

Moore, K. L., Dalley, A.F. 2004. Chlinical Orianted Anatomy. seventh edition.
lippicott Williams & Wilkins. Philadelpia.

Mufti. Galuh R, Tambajong. Harold F, Lalenoh. Diana. 2016. Gambaran Skala


Visual Analog Dan Hemodinamik Pada Pasien Yang Diberikan
Kombinasi Tramadol Dan Ketorolac Pasca Bedah Laparotomi.
Jurnal e-Clinic. 4 (1).

Netter, Frank H. 2016. Atlas Anatomi Manusia. Edisi 6. Elseiver. Singapore.


70

Okonkwo, U. P., Ibeneme, S.C., Ihegihu, E.Y., Egwuonwu, A.V., Ezema, I.C.,
Maruf, A.F., Okoye, E.C., Ibikunle, O.P., dan Ezekwu, A.O. 2018.
Effects of transcutaneous electrical nerve stimulation in the
Management of PostInjection Sciatic Pain in a non-randomized
controlled clinical trial in Nnewi. Nigeria’. 8(310): 1–11. Diakses
dari https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/30477485/

Paulsen, F., dan Waschke, J. 2013. Jilid 1 Sobotta Atlas Anatomi Manusia:
Anatomi Umum Dan Sistem Musculoskeletal. Buku Kedokteran
EGC. Jakarta.

Pearce, E.C. 2017. Anatomi dan fisiologi untuk paramedis. Edisi 46. Jakarta:
PT 72 Gramedia Pustaka Utama Anggota IKAPI.

Pemerintah Indonesia. 2015. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia


Nomor 65 Tahun 2015 Tentang Standar Pelayanan Fisioterapi.
Jakarta. Sekretaris Negara.

Permadi, A. W. 2018 Fisioterapi : manajemen komprehensif praklinik. Buku


Kedokteran EGC. Jakarta.

Permadi, A., Syatibi, M., Purbo, H. 2016. Beda Pengaruh Latihan Fleksi
William Dengan Gapping Segmental Setelah Pemberian
Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation (TENS) Terhadap
Pengurangan nyeri Punggung Bawah Akibat Spondylosis. Jurnal
Virgin. 2 (1): 64-83.

Putz, R dan Pabst, R. 2005. Sobotta Atlas of Human Anatomy. 12. Berilustrasi.
Williams & Wilkins. 1997. Vol 2.

Rigoard, P. 2017. Atlas of Anatomy of Peripheral Nerves. Student edition.


Cham: Springer. Hal 226. Diakses dari
https://www.pdfdrive.com/atlas-ofanatomy-of-the-peripheral-
nerves-the-nerves-of-the-limbs-student-editione184714909.html

Saladin, K. 2018. Anatomy and Physiology. The Unity of Form and Function.
8th Edition. New York. McGraw-Hill Primis. Diakses dari
https://book.asia
Shiri, R., Lalluka, T., Karppinen, J. and. Juntura, E.V. 2014. Systematic Review
and MetaAnalyses. American Journal of Epidemiology. 179 (9): 1-
4.

Sidharta, P. 2012. Tata Pemeriksaan Klinis dalam Neurologi. Jakarta. Dian


Rakyat.
71

Suyasa, I. K. 2018. Penyakit Degenerasi Lumbal Diagnosis dan Tata Laksana


Denpasar. Udayana University Press. Diakses dari
https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_penelitian_1_dir/df53e72e27
7c90e39b 521d2485c10057.pdf

Trisnowiyanto, Bambang. 2012. Instrument Pemeriksaan Fisioterapi Dan


Penelitian Kesehatan. Nuha Medika. Yogyakarta.

Wardoyo P, Tandya L. 2017. Mengurangi Nyeri Ischialgia Dengan Akupunktur


Metode Jin’s 3 Needles. Jurnal Kesehatan Hesti Wira Sakti. 5(2):
100-107. Diakses dari https://jurnal.poltekkes-soepraoen.ac.id/

Wibowo, D.S dan Paryana. W. 2009. Anatomi Tubuh Manusia. Elsevier.


(Singapore) Pte Ltd. Singapore.

Wibowo, D. 2013. Anatomi Fungsional Elementer dan Penyakit yang


Menyertainya. Jakarta. Gramedia Widiasarana Indonesia, anggota
IKAPI.

Yanikyuli, Patemah, Amalia W, dan Jayanti N.D. 2014. IMPLEMENTASI


METODE TRANSCUTANEOUS ELECTRICAL NERVE
STIMULATION (TENS) UNTUK MENGATASI NYERI
PERSALINAN KALA I FASE AKTIF PADA IBU BERSALIN.
Jurnal Ilmiah Kesehatan Media Husada. 02(2): 53-60.

Yulifah, R., Moersintowati, B. N., & Purnomo, W. 2013 Penggunaan stimuli


transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS) dapat
menurunkan nyeri dan tingkat kecemasan pada persalinan kala I.
The Indonesian Journal od Public Health. (5): 119-123.

Zahratur, A,. & dan Priatna, H. 2019. Perbedaan Efektivitas Antara William
Flexion Exercise Dan Core Stability Exercise Dalam
Meningkatkan. Jurnal Fisioterapi 19 (1): 1–9.

Anda mungkin juga menyukai