Anda di halaman 1dari 35

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Shoulder Impingement Syndrome

2.1.1 Definisi Shoulder Impingement Syndrome

Shoulder impingement syndrome adalah sindrom klinis yang paling sering

dikaitkan dengan pasien nyeri bahu. Shoulder impingement syndrome adalah

sindrom yang mencakup spektrum patologi subacromial mulai dari bursitis,

tendinitis rotator cuff, dan robekan parsial yang mengarah ke robekan penuh

rotator cuff (Singh et al, 2017).

Shoulder impingement adalah istilah yang rumit. Orang pertama yang

mendeskripsikan shoulder impingement syndrome adalah Charles Neer. Menurut

Neer, shoulder impingement adalah kompresi mekanis tendon supraspinatus,

tendon biceps long head dan bursa subacromial, yang terletak di ruang

subacromial (Koukoulithras et al, 2020). Konsep shoulder impingement

syndrome diusulkan oleh Charles Neer dalam sebuah makalah yang diterbitkan

pada tahun 1972. Istilah tersebut sekarang didefinisikan sebagai serangkaian

gejala yang pada dasarnya menggambarkan nyeri di daerah bahu yang

disebabkan oleh "benturan" mekanis pada rotator cuff yang lewat di bawah

ligamen coracoid-acromion. Jika impingement rotator cuff tidak diobati, maka

hal tersebut dapat berkembang menjadi ruptur tendon rotator cuff sebagian atau

penuh (Khan et al., 2013). Shoulder impingement syndrome juga didefinisikan

sebagai sekumpulan gejala klinis yang kompleks terkait kompresi otot dan
6
7

tendon rotator cuff (Virolainen et al., 2014). Shoulder impingement syndrome

umumnya digunakan sebagai istilah umum untuk mencakup tendinopati rotator

cuff dan robekan parsial, serta bursitis subacromial (Greenberg et al, 2014).

Selain itu, Current Care Guidelines of Finland menyatakan bahwa istilah nyeri

subacromial dapat digunakan untuk mencakup berbagai kondisi pada penyakit

tendon rotator cuff degenerative diantaranya tendinopati, impingement, painful

arc pain, dan bursitis. Shoulder impingement syndrome saat ini adalah label untuk

sekelompok kondisi yang beragam dengan berbagai penyebab dan mekanisme

tetapi presentasi klinis dan kombinasi gejala yang serupa.

2.1.2 Anatomi dan Biomekanik Shoulder Complex

2.1.2.1 Anatomi Shoulder Complex

2.1.2.1.1 Humerus proksimal

Terdiri dari caput humeri, tuberculum majus dan minus, collum humerus,

dan sulcus bicipital. Caput humeri berbentuk bulat bertemu dengan cavitas

glenoidalis scapulae membentuk glenohumeral joint. Tuberculum majus terletak

pada bagian lateral humerus proksimal dan merupakan tempat insersio dari tendon

supraspinatus, infraspinatus, dan teres minor. Tuberculum minus terletak di

bagian anterior humerus proksimal dan di medial dari tuberculum majus.

Tuberculum minus adalah tempat bagi tendon subscapularis. Collum anatomicum

membentuk lingkar miring dibawah caput humerus dan memisahkan caput dari

tuberculum. Collum chirurgicum membentuk lingkar aksial humerus di bagian

distal dari tuberculum. Sulcus antara dua tuberculum di sepanjang permukaan


8

anterior humerus dikenal sebagai sulcus intertuberkular atau bicipital dan dilalui

tendon bisep caput longum.

2.1.2.1.2 Scapula

Scapula adalah tulang besar, datar, berbentuk segitiga yang terletak di

posterior dinding dada antara tulang rusuk kedua sampai ketujuh. Tulang ini

menghubungkan akromial klavikula dan kepala humerus. Beberapa fitur utama

dari scapula adalah tiga garis perbatasan yaitu margo superior, margo medialis,

dan margo lateralis. Kemudian ada tiga sudut ujung yaitu angulus superior,

angulus inferior, dan angulus lateral. Kemudian terdapat dua permukaan yaitu

fascies dorsalis dan fascies costalis. Selanjutnya ada tiga tonjolan tulang besar

yaitu spina scapula, akromion, dan processus coracoideus.

2.1.2.1.3 Clavicula

Clavicula juga dikenal sebagai “tulang selangka”, Klavikula

menghubungkan ekstremitas atas dan dada. Clavicula merupakan tulang pertama

yang memulai pengerasan pada minggu kelima kehamilan. Klavikula terletak di

bawah kulit dan mudah teraba di seluruh bagiannya panjangnya. Tulang ini

terletak di antara tulang sternum dan tulang scapula dan terletak horizontal dari

leher sampai ke bahu. Clavicula berbentuk S. Ujung medial clavicula bersendi

dengan tulang sternum membentuk sendi sternoclavicularis dan di ujung lateral

bersendi dengan acromion membentuk sendi acromioclavicularis. (Wineski,

2013).
9

5 6 7 8 9
10

1
2

3
4

Gambar. 2.1
Tulang penyusun sendi bahu (Charalambos 2018)
Keterangan gambar 2.2:
1. Caput humeri 6. Acromion
2. Tuberkulum minus 7. Proscescus coracoideus
3. Bicipital groove 8. Scapular notch
4. Shaft humeri 9. Spina scapula
5. Tuberkulum mayus 10. Sendi acromioclavicula

2.1.2.2 Persendian sendi bahu

Fungsi utama sendi bahu adalah menggerakkan lengan dan tangan ke

hampir semua posisi. Karena hal tersebut, sendi bahu memiliki mobilitas yang

tinggi, sedangkan stabilitasnya lebih rendah. Hal ini terlihat dari bentuk struktur

tulangnya dimana caput humeri yang besar bergabung dengan cavitas

glenoidalis scapula yang hampir rata. Stabilisator utama sendi bahu adalah

ligamen, tendon, dan otot sedangkan tulang dan kapsul sendi bersifat stabilisator

sekunder. Berikut adalah sendi penyusun sendi bahu antara lain:


10

2.1.2.2.1 Sendi glenohumeral

Sendi glenohumeral dideskripsikan sebagai sendi ball and socket antara

humerus proksimal dengan cavitas glenoidalis dari scapula.

2.1.2.2.2 Sendi akromioklavikularis

Sendi akromioklavikularis adalah persendian yang terbentuk oleh

sambungan acromion dengan clavicula. Sendi acromioclavicular adalah satu-

satunya artikulasi antara clavicula dan scapula. stabilitas anteroposterior sendi

akromioklavikularis dikendalikan oleh ligamen akromioklavikularis dan stabilitas

vertikal dikendalikan oleh ligamen coracoclavicular (conoid dan trapezoid).

2.1.2.2.3 Sendi sternoklavikularis

Sendi sternoklavikularis yaitu merupakan persendian antara sternum dan

clavicula. Ujung medial klavikula terletak dalam kontak dengan sudut

superolateral dari manubrium sterni membentuk sendi sternoklavikula. Sendi

sternoklavikularis bergerak sepanjang semua sumbu dan hampir setiap gerakan

skapula dan lengan dikaitkan dengan beberapa gerakan di sendi ini.

2.1.2.2.4 Sendi subacromial

Sendi subacromial atau ruang antar bagian atas akromion dan kepala

humerus, termasuk dua tuberositas. Sendi subacromial adalah lokasi bagian dalam

dari bursa subdeltoid.

2.1.2.2.5 Sendi scapulothoracic

Sendi scapulothoracic atau scapulothoracic gliding mechanism adalah

sendi yang dibentuk oleh fossa anterior scapula, yang meluncur di dinding thoraks

bagian posterior (Tamin, 2020).


11

5
4
3
2

Gambar. 2.2
Persendian penyusun sendi bahu (Tamin 2020)
Keterangan gambar 2.2:
1. Sendi scapulothoracic
2. Sendi glenohumeral
3. Sendi subacromial
4. Sendi acromioclavicula
5. Sendi sternoclavicula

2.1.2.3 Otot Rotator Cuff

Otot-otot rotator cuff bahu terdiri atas supraspinatus, infraspinatus, teres

minor, dan subscapularis. Tiga otot pertama bertindak terutama sebagai rotator

eksternal bahu, sedangkan subscapularis bertindak sebagai rotator internal bahu.

Otot-otot rotator cuff juga merupakan stabilisator aktif atau dinamis dari sendi

glenohumeral bersama dengan otot bahu lainnya (Gumina, 2017).

2.1.2.3.1 Otot teres minor

Otot teres minor berasal dari margo lateralis scapula dan berinsersio di

inferior tuberculum majus humeri. Otot ini dipersarafi oleh nervus aksilaris. Teres

minor berperan dalam gerakan eksternal rotasi sendi bahu (Charalambous, 2018).
12

2.1.2.3.2 Otot supraspinatus

Otot supraspinatus berfungsi dalam gerakan abduksi bahu hingga 30

derajat, serta untuk menstabilkan sendi glenohumeral. Sekitar 70% dari serat otot

menempel ke tendon intramuskular, sedangkan 30% menempel langsung ke

tendon ekstramuskular. Otot ini dikategorikan sebagai otot cirkum pennate. Otot

ini juga berfungsi sebagai stabilisator aktif sendi bersama otot-otot sekitar sendi

bahu yang lain. Otot supraspinatus diinnervasi oleh Saraf suprascapular (C4-6)

(Tamin, 2020).

2.1.2.3.3 Otot subscapularis

Subscapularis adalah otot yang berasal dari permukaan anterior corpus

scapula atau biasa disebut fossa subscapularis dan berinsersio di tuberkulum

minus humeri. Otot ini dipersarafi oleh nervus subscapularis. Otot subscapularis

berperan dalam gerakan internal rotasi sendi bahu (Charalambous, 2018).

2.1.2.3.4 Otot Infraspinatus

Otot infraspinatus berasal dari fossa infraspinous dan berinsersio di sisi

posterior tuberkulum majus kaput humerus. Otot nni disarafi oleh saraf

suprascapular. Berperan dalam gerakan eksternal rotasi dan horizontal abduksi

sendi bahu (Charalambous, 2018).


13
4 4

3
2
2 5
1 6
Gambar. 2.3
Rotator cuff (Charalambos 2018)
Keterangan gambar 2.3:
1. Otot subscapularis
2. Otot teres mayor
3. Tendon biceps long head
4. Otot supraspinatus
5. Otot teres minor
6. Otot infraspinatus

2.1.2.4 Biomekanik sendi bahu

2.1.2.4.1 Osteokinematik dan artrokinematik sternoklavikula

Gerakan triaksial klavikula diantara lain adalah elevasi dan depresi yang

terjadi pada sumbu anterior-posterior, protraksi dan retraksi yang terjadi pada

sumbu superior-inferior, dan rotasi anterior dan posterior yang terjadi pada sumbu

longitudinal. Gerakan klavikula pada sendi sternoklavikula ini berhubungan

dengan gerakan skapula dan sangat penting untuk fungsi bahu yang normal.

Elevasi terjadi saat permukaan artikular cembung dari kepala klavikula

rolling ke arah superior dan slide ke arah inferior sedangkan depresi terjadi saat

kepala klavikula rolling ke arah inferior dan slide ke arah superior. Protraksi
14

terjadi saat permukaan artikular cekung dari klavikula rolling dan slide ke arah

anterior pada permukaan cembung sternum sedangkan retraksi terjadi saat

permukaan artikular cekung dari klavikula rolling dan slide ke arah posterior.

Rotasi posterior dan rotasi anterior terjadi saat kepala klavikula spin di sekitar

permukaan lateral diskus artikularis. Klavikula rotasi ke posterior pada elevasi

bahu sedangkan rotasi anterior terjadi pada depresi bahu (Yeşilyaprak, 2020).

4
5

Gambar. 2.4.
Osteokinematik Clavikula (tampak anterior) (Yeşilyaprak, 2020).
Keterangan gambar 2.4:
1. Depresi
2. Protraksi
3. Elevasi
4. Retraksi
5. Posterior rotasi

2.1.2.4.2 Osteokinematik dan artrokinematik acromioklavikula

Gerak artrokinematik acromioklavikula mengikuti gerak osteokinematik

dikarenakan pada sendi tersebut yang bergerak adalah acromion yg merupakan


15

permukaan konkaf, yaitu saat elevation terjadi translasi acromion ke cranial dan

saat depression terjadi translasi acromion ke caudal. Demikian pula saat

protraction terjadi translasi acromion ke ventral dan saat retraction terjadi translasi

acromion ke dorsal. Gerak arthrokinematic Traction nya selalu kearah lateral

searah acromion ditarik (Yeşilyaprak, 2020).

2.1.2.4.3 Osteokinematik dan artrokinematik skapulotoraks

Gerakan yang terjadi pada sendi scapulothoracic adalah elevasi dan

depresi sesuai dengan translasinya, abduksi dan adduksi sesuai dengan

translasinya, rotasi ke bawah dan ke atas, rotasi internal dan eksternal, dan tilting

skapula ke arah anterior dan posterior.

Elevasi skapula menggambarkan gerakan superior skapula pada toraks.

Depresi skapula adalah gerakan terbalik. Elevasi scapulothoracic adalah hasil dari

elevasi sternoklavikularis. Abduksi (protraksi) menggambarkan gerakan lateral

skapula pada dada bergerak menjauh dari tulang belakang. Adduksi (retraksi)

adalah gerakan mundur yang terjadi pada saat melakukan aktivitas seperti menarik

suatu benda ke arah tubuh. Abduksi dan adduksi adalah hasil dari protraksi dan

retraksi sternoklavikularis (Yeşilyaprak, 2020).


16

superior inferior axis


anterior posterior axis
longitudinal axis

Gambar. 2.5.
Axis gerak pada sendi Acromioclavicular (Yeşilyaprak, 2020).

1
1
2

3
6 5 3
4

Gambar. 2.6.
Osteokinematik sendi Acromioclavicula (Yeşilyaprak, 2020).
Keterangan gambar 2.6:
1. Internal rotasi
2. Eksternal rotasi
3. Upward rotasi
4. Downward rotasi
5. Anterior tilt
6. Posterior tilt
17

Gambar. 2.7.
Gerak Elevasi Scapulothoracic (Yeşilyaprak, 2020).

Gambar. 2.8.
Gerak Abduksi Scapulothoracic (Yeşilyaprak, 2020).

Gambar. 2.9.
Gerak upward rotasi Scapulothoracic (Yeşilyaprak, 2020).
18

Gambar. 2.10.
Gerak posterior tilt scapula pada thoraks (Yeşilyaprak, 2020).

2.1.2.4.4 Osteokinematik dan artrokinematik glenohumeral

Gerakan utama pada sendi glenohumeral adalah fleksi, ekstensi, abduksi,

adduksi, rotasi internal dan rotasi eksternal. Gerakan sekunder sendi adalah

abduksi horizontal dan adduksi horizontal. Gerak fisiologis Abduction dalam

bidang frontal gerak arthokinematic nya berupa translasi ke caudal. Gerak

fisiologis Internal rotation dalam bidang tranversal dan gerak arthokinematicnya

berupa translasi ke dorsal. Gerak fisiologis External rotation dalam bidang

tranversal dengan gerak arthokinematic nya berupa translasi ke ventral. Gerak

fisiologis Horizontal Abduction dan Horizontal Adduction dalam bidang

trasversal. Gerak arthokinematic nya berupa ventral translation dan dorsal

translation (Yeşilyaprak, 2020).


19

Ruang subacromial

Gambar. 2.11.
Ruang subacromial saat abduksi (Yeşilyaprak, 2020).

4 5
2
3

Gambar. 2.12.
Osteokinematik Glenohumeral (Yeşilyaprak, 2020).
Keterangan gambar 2.4:
1. Adduksi
2. Abduksi
3. Flexi
4. Eksternal rotasi
5. Internal rotasi
6. Ekstensi
20

20o retraksi 180o abduksi


SC Joint
35o-40o shoulder
eksternal
120o abduksi
rotasi
glenohumeral
glenohumeral

25o posterior rotasi


20o
SC joint
posterior
tilt
30o upward rotasi
25o elevasi AC joint
SC joint
0o-5o
eksternal
60o upward rotasi rotasi
scapulothoracic

Gambar. 2.13.
Scapulohumeral rhythm (Yeşilyaprak, 2020).

2.1.3 Etiologi Shoulder Impingement Syndrome

Dua teori utama telah dijelaskan untuk mendefinisikan etiologi shoulder

impingement syndrome: teori mekanik (ekstrinsik) dan degeneratif (intrinsik).

Dua teori yang sudah disebutkan sebelumnya kadang-kadang juga disebut teori

struktural dan fungsional atau ekstratendinous dan intratendinous. Menurut Neer,

impingement ekstrinsik dari akromion adalah penyebab paling umum dari

shoulder impingement. Kemajuan dalam teknologi pencitraan dan artroskopi telah

memberikan lebih banyak bukti untuk patoanatomi dan etiologi intrinsik. Namun,

penyebabnya mungkin multifaktorial, dengan kontribusi dari kompresi eksternal,

degenerasi terkait usia, dan gangguan vaskular. Istilah impingement primer

digunakan untuk menjelaskan gangguan yang disebabkan oleh kelainan bahu


21

spesifik seperti masalah yang berasal dari tendon rotator cuff itu sendiri,

sedangkan istilah impingement sekunder digunakan ketika gangguan dikaitkan

dengan, misalnya, ketidakstabilan, tendinitis kalsifikasi, dan masalah pasca

trauma atau gangguan pada sendi acromioclavicula (Ketola, 2016).

Mekanisme ekstrinsik dapat diatur dengan membagi shoulder

impingement syndrome menjadi faktor anatomis (bentuk akromion dan degenerasi

AC), dan faktor biomekanik (kinematika skapula, kinematika humerus, pengaruh

postur seperti kifosis tulang belakang thorakal, serta defisit otot, dan jaringan

lunak (Ketola, 2016).

Morfologi akromion dibagi menjadi tiga tipe (tipe I datar, tipe II cekung,

dan tipe III bengkok). Telah dikemukakan bahwa konfigurasi tipe III yang

bengkok dapat menjadi predisposisi untuk impingement eksternal. Anterior dan

lateral downsloping dari akromion juga terlibat dalam eksternal impingement,

terutama robekan pada perlekatan tendon supraspinatus. Adanya osteofit pada

permukaan bawah acromion juga diyakini sebagai penyebab eksternal

impingement akibat penyempitan ruang subacromial. Gangguan keseimbangan

kekuatan otot antara manset rotator dan deltoid menyebabkan elevasi kaput

humerus dan menyebabkan penekanan sekunder pada jaringan dibawah acromion

(Catherine et.al, 2013).

Diskinesis skapula sering dikaitkan sebagai penyebab shoulder

impingement syndrome. Studi biomekanik telah menunjukkan bahwa diskinesis

skapula dihasilkan dari kombinasi penurunan gerakan pada aspek posterior tilting,

rotasi eksternal, dan upward rotasi, dan perubahan ini menghambat elevasi
22

akromion, yang mengakibatkan peningkatan tekanan pada jaringan dibawah ruang

subakromial saat elevasi bahu. Perubahan sifat otot di sekitar skapula akibat

ketidakfleksibelan, kelemahan, kelelahan, atau cedera saraf dianggap sebagai

faktor paling umum untuk diskinesis skapula (Otoshi et al., 2014).

Pectoralis minor membantu otot serratus anterior dalam gerakan anterior

tilt, rotasi internal, dan protraksi ketika lengan berada pada abduksi <60°.

Ketidakfleksibelan dan kekakuan otot pectoralis minor dan tendon short head otot

biseps membuat tilt dan protraksi anterior karena tarikannya pada coracoid.

Bentuk paling umum dari ketidakfleksibelan jaringan lunak adalah glenohumeral

internal rotation deficit, yang menciptakan "windup" dari skapula pada thorax

(Kibler et al., 2012).

Perubahan pada keselarasan tulang belakang, seperti kyphosis toraks dan

skoliosis tulang belakang, juga telah merupakan penyebab diskinesis skapula.

Peningkatan kyphosis toraks akan menyebabkan skapula menjadi lebih

terprotraksi dan berotasi ke bawah. Protraksi skapula yang berlebihan mengubah

peran skapula dalam fungsi bahu, dan hal itu menyebabkan potensi kompresi di

bawah akromion meningkat (Otoshi et al., 2014).

Kekakuan pada kapsul posterior diduga menjadi salah satu faktor yang

berkontribusi terhadap shoulder impingement dan patologi labral. Translasi

abnormal kaput humerus yang disebabkan oleh kekakuan selektif kapsul posterior

inferior dapat mengurangi lebar ruang subakromial, yang mengakibatkan shoulder

impingement (Cools et al., 2012).


23

2.1.4 Patofiologi Shoulder Impingement Syndrome

Patologi shoulder impingement umumnya berkaitan dengan proses

mekanis berulang kronis di mana tendon sendi rotator cuff mengalami kompresi

berulang dan trauma mikro saat melewati arkus korakoakromialis. Saat lengan

diabduksi atau diputar, lebar ruang subacromial berubah dan rotator cuff menjadi

semakin tertekan(Khan et al., 2013). Kompresi berulang dan trauma mikro pada

rotator cuff adalah penyebab utama. Tendon supraspinatus adalah tendon rotator

cuff yang paling umum mengalami masalah pada kasus shoulder impingement

syndrome. Abduksi lengan > 60 derajat dan rotasi internal 45 derajat

menyebabkan lebar ruang subacromial lebih tipis dan tendon supraspinatus

menjadi tertekan oleh acromion (Koukoulithras et al, 2020). Supraspinatus berada

paling dekat dengan batas anterior inferior akromion pada gerakan abduksi lengan

90 derajat dengan rotasi internal 45 derajat. Pasien dengan impingement

cenderung memutar lengan secara eksternal untuk memungkinkan rotator cuff

menempati bagian terluas dari ruang subacromial sehingga menghilangkan gejala

dan keluhan yang timbul. Tendon supraspinatus adalah otot rotator cuff yang

paling sering terlibat dalam shoulder impingement. Otot ini memperoleh suplai

darah utama dari arteri sirkumfleksa anterior humerus dan supraskapular. Di

dalam tendon supraspinatus, di dekat insersionya pada tuberositas mayor, terdapat

zona avaskularisasi atau biasa disebut zona 'Kritis'. Di sinilah 'impingement'

biasanya terjadi dan zona ini ditemukan meningkat luas areanya seiring dengan

bertambahnya usia (Khan et al., 2013).

Neer menguraikan 3 tingkatan dalam shoulder impingement yaitu :


24

2.1.4.1. Grade 1

Grade pertama menggambarkan proses inflamasi akut, edema dan

perdarahan tendon sendi rotator cuff. Tahap ini sering terjadi pada pasien muda,

biasanya di bawah usia 25 tahun, dan biasanya reversible hanya dengan

pengobatan konservatif.

2.1.4.2. Grade 2

Grade 2 terutama dialami oleh pasien antara usia 25-40 tahun dan

merupakan kelanjutan dari proses yang dijelaskan pada tahap 1. Hasil tahap ini

lebih ireversibel. Saat tendon membengkak, gesekan meningkat, yang selanjutnya

memperburuk masalah. Pada tahap ini, terjadi fibrosis tendon rotator cuff dan

tendinitis.

2.1.4.3. Grade 3

Grade 3 lebih sering terjadi pada pasien usia lanjut, biasanya di atas 40

tahun. Faktor kunci pada tahap ini adalah kerusakan mekanis yang sebenarnya

dari tendon rotator cuff dalam bentuk robekan sebagian atau seluruhnya. Pada

tahap ini juga akan terjadi perubahan pada arkus coracromial, seperti terbentuknya

osteofit yang juga dapat memperkecil ruang di bawah acromion (Khan et al.,

2013).

2.1.5 Tanda dan Gejala Shoulder Impingement Syndrome

Pada kasus shoulder impingement syndrome pasien sering melaporkan

nyeri saat elevasi dan depresi lengan antara 70 ° hingga 120 °, nyeri saat gerakan

paksa di atas kepala, dan nyeri saat berbaring dengan bahu yang mengalami lesi

tertindih. Nyeri biasanya terlokalisasi di akromion anterolateral dan sering


25

menjalar ke lateral mid-humerus. Pasien biasanya mengeluhkan nyeri di malam

hari, diperburuk dengan berbaring di bahu yang terkena, atau tidur dengan lengan

di atas kepala. Aktivitas normal sehari-hari seperti menyisir rambut atau

menjangkau lemari menjadi menyakitkan, dan kehilangan kekuatan secara umum

dapat terjadi. Timbulnya nyeri bahu dan kelemahan setelah terjatuh pada individu

yang berusia di atas 40 tahun harus meningkatkan resiko terhadap terjadinya

robekan lengkap pada rotator cuff (Garving et al, 2017).

2.1.6 Pemeriksaan pada Shoulder Impingement

Pemeriksaan fisik terdiri dari inspeksi, palpasi, dan pengujian rentang

gerak pasif dan aktif bahu, dengan memperhatikan skapular dyskinesia dan

hiperlaksitas atau ketidakstabilan sendi glenohumeral. Kekuatan diuji

dibandingkan dengan sisi yang sehat. Pada shoulder impingement syndrome,

kelemahan otot terutama mempengaruhi gerakan abduksi atau eksternal rotasi.

Pengujian meliputi rentang gerak aktif dan pasif, pengujian kontraksi isometrik

pada gerakan abduksi, internal rotasi dan eksternal rotasi. Tes spesifik juga

dilakukan untuk menentukan diagnosis banding antara lain hawkins test, neer

sign, jobe test, dan painful arc.

Pemeriksaan Intepretasi
hawkins test Positif bila nyeri muncul pada gerakan rotasi internal maksimal
dengan posisi lengan 90 ° flexi serta siku flexi. Gerakan ini
mempersempit ruang subacromial antara tuberkulum mayor dan
ligamentum korakoakromial, menyebabkan timbulnya nyeri
neer sign Satu tangan memfiksasi scapula sementara yang lain mengangkat
dan memutar lengan secara internal. Hal ini menyebabkan kontak
yang menyakitkan antara tuberkulum mayus dengan acromion.
26

jobe test Kedua lengan pasien ditahan dalam posisi abduksi 90 °, fleksi 45 °,
dan rotasi internal. Pasien mencoba untuk mengangkat lengan lebih
jauh melawan tahanan pemeriksa.
painful arc Nyeri saat gerak abduksi dengan siku pada posisi ekstensi, nyeri
yang timbul pada rentang gerak antara 60 ° sampai 120 °
menunjukkan patologi diruang subacromial.
Tabel. 2.1.
Pemeriksaat spesifik pada shoulder impingement syndrome (Tamin, 2020).

2.2 Terapi Latihan

2.2.1. Definisi Terapi Latihan

Terapi latihan didefinisikan sebagai program atau rencana aktivitas fisik

yang dirancang untuk membantu pasien pulih dari penyakit dan kondisi yang

mengganggu gerak dan aktivitas sehari-hari mereka. Melalui neuro-reedukasi,

pelatihan gaya berjalan dan aktivitas terapeutik lain. Terapi latihan adalah

pelaksanaan sistematis gerakan tubuh yang direncanakan, postur atau aktivitas

yang dirancang untuk memungkinkan pasien untuk (1) mengurangi resiko cedera,

(2) meningkatkan fungsi fisik, (3) memulihkan atau mencegah cedera, (4)

mengoptimalkan kesehatan secara keseluruhan, dan (5) Meningkatkan kesehatan

dan kesejahteraan (Leelayuwat, 2017).

2.2.2. Manfaat Terapi Latihan

Menurut Leelayuwat (2017) terapi latihan memiliki beberapa manfaat

antara lain (1) mempromosikan aktivitas fisik dan meminimalkan efek dari

kurangnya aktivitas fisik serta peningkatan kemandirian pasien, (2) meningkatkan

rentang gerak atau lingkup gerak sendi normal, (3) meningkatkan kekuatan otot-
27

otot yang lemah, (4) meningkatkan kinerja dalam kegiatan sehari-hari,

(5)Aktifkan ambulasi, (6) melemaskan otot, tendon, dan fasia yang kencang, (7)

meningkatkan sirkulasi darah, (8) meningkatkan kapasitas pernapasan, (9)

meningkatkan koordinasi, (10) mengurangi kekakuan, (11) meningkatkan

keseimbangan, (12) relaksasi, (13) peningkatan fungsi motorik atau sensorik, (14)

pengurangan obat,pengurangan kunjungan rumah sakit, dan peningkatan

kesehatan secara keseluruhan.

2.2.3. Jenis Terapi Latihan

Prosedur latihan terapeutik mencakup berbagai macam kegiatan, tindakan,

dan teknik. Teknik yang dipilih Untuk program latihan terapeutik individual

didasarkan pada penentuan fisioterapis terkait penyebab yang mendasari atau

penyebab gangguan pasien, keterbatasan aktivitas, dan pembatasan partisipasi

(pembatasan fungsional atau cacat) (Kisner dan Colby, 2012). Jenis-jenis

intervensi latihan terapeutik tersebut antara lain (1) aerobic conditioning dan

reconditioning, (2) muscle performance exercises: strength, power, dan

endurance training, (3) Stretching techniques termasuk muscle-lengthening

procedures dan joint mobilization/manipulation techniques, (4) neuromuscular

control, inhibition, facilitation techniques dan posture awareness training, (5)

postural control, body mechanics, dan stabilization exercises, (6) balance

exercises dan Agility training, (7) relaxation exercises, (8) Breathing exercises

dan ventilatory muscle training, dan (9) task-specific functional training.


28

2.2.4. Terapi Latihan Pada Shoulder Impingement Syndrome

Ada banyak bukti ilmiah menunjukkan bahwa terapi latihan yang

bertujuan untuk mengembalikan gerakan skapula dan bahu lebih efektif daripada

plasebo atau tanpa pengobatan terkait pengurangan nyeri dan peningkatan fungsi

dalam jangka pendek, menengah dan jangka panjang. Ada bukti moderat bahwa

terapi latihan lebih baik daripada plasebo atau tanpa pengobatan untuk

meningkatkan jangkauan gerak (Haik et al., 2016). Lewis et al, (2015)

menyarankan agar pasien tidak menjalani pembedahan sebelum perawatan dengan

terapi latihan yang ditujukan untuk memulihkan keseimbangan otot, fleksibilitas

dan kekuatan rotator cuff dan otot penggerak skapula. Selain itu, rehabilitasi

dengan terapi latihan adalah prosedur terapi yang mudah diterapkan, berbiaya

rendah, dan berisiko rendah bagi pasien karena merupakan pengobatan non-

invasif.

Dalam pendekatan konservatif, terapi latihan sering digunakan dan

memiliki peran penting dalam rehabilitasi bahu. Wawasan baru dalam rehabilitasi

bahu menekankan stabilisasi dinamis skapula sebagai bagian penting dari

manajemen karena kemampuan untuk memposisikan dan kontrol gerak skapula

sangat penting untuk fungsi ekstremitas atas yang optimal. Ketika skapula gagal

melakukan peran stabilisasinya, fungsi bahu menjadi tidak efisien, yang dapat

mengakibatkan tidak hanya penurunan kinerja neuromuskular, tetapi juga dapat

mempengaruhi individu untuk cedera bahu (Moezy et al, 2014). Sebuah studi

menunjukkan bahwa penurunan mobilitas skapula berkorelasi terhadap

penyempitan ruang acromiohumeral selama gerakan abduksi bahu dan akan


29

meningkatkan risiko shoulder impingement syndrome. Perubahan posisi skapula

dan motor kontrol dianggap sebagai faktor penting untuk penyembuhan shoulder

impingement syndrome. Program terapi latihan yang didasarkan pada prinsip-

prinsip kontrol motorik untuk: sendi scapulothoracic, telah dianjurkan untuk

pengobatan shoulder impingement syndrome. Penggabungan terapi latihan

berbasis kontrol skapula dan program penguatan eksentrik untuk otot rotator cuff

bisa efektif dalam mengurangi rasa sakit dan meningkatkan fungsi pada pasien

dengan gejala shoulder impingement syndrome (F. Struyf et al., 2013).

2.2.5 Ilustrasi Pelaksanaan Terapi Latihan Pada Shoulder Impingement

Syndrome

Protokol terapi latihan dapat terdiri dari latihan stabilisasi skapula, latihan

penguatan rotator cuff eccentric dan stretching. Latihan eccentric rotator cuff

yang dilakukan adalah fleksi, abduksi, rotasi medial, dan rotasi lateral bahu.

Selama setiap latihan, pasien diminta untuk bergerak cepat ke arah yang

diinginkan dan kemudian perlahan kembali ke posisi awal. Setiap latihan

penguatan dengan theraband dilakukan sebanyak 3 set dengan 15 kali

pengulangan dengan waktu istirahat 2 menit antara setiap set. Pada akhir setiap

minggu, pasien dievaluasi dan dikembangkan ke tingkat resistensi yang lebih

tinggi berikutnya menggunakan pita kuning (tipis), merah (sedang), hijau (berat),

biru (ekstra-berat) dan Hitam (sangat berat) (F. Struyf et al., 2013).
30

Gambar. 2.14.
Latihan Eccentric Rotator Cuff (Struyf et.al, 2013).

Program terapi latihan selanjutnya adalah untuk menargetkan otot

periskapular untuk meningkatkan stabilisasi skapula. Latihan ini dilakukan pada

bola swiss berukuran sedang. Latihan scapular-clock adalah latihan lain yang

digunakan untuk memfasilitasi gerakan skapula elevasi, depresi, protraksi, dan

retraksi serta kinestesia sendi dan rentang gerak. Pasien berdiri di samping alas

dan meletakkan tangannya di atas sebuah bola dan menggerakkannya untuk

menunjukkan pukul 3, 6, 9 atau 12 berdasarkan jam imajiner yang ada di

pikirannya. Latihan ini juga dilakukan dengan cara menekan bola dan

meletakkannya di dinding (Moezy et.al, 2014).


31

Gambar. 2.15.
Latihan scapular-clock pada meja (Moezy et.al, 2014).

Gambar. 2.16.
Latihan scapular-clock pada dinding (Moezy et.al, 2014).

Terapi latihan stabilisasi skapula yang lain adalah latihan T to Y, pasien

diposisikan telungkup di atas bola swiss dengan lengan abduksi hingga 90ᵒ (huruf

T); Kemudian pasien diminta untuk menekuk siku hingga 90ᵒ, menarik skapula

dan memutar lengannya ke luar sambil menahan lengannya dalam posisi abduksi
32

90ᵒ. Mempertahankan retraksi skapula, pasien mengangkat lengannya di atas

kepala dan menjulurkan siku sementara lengan tertekuk dan abduksi ke 120ᵒ

(huruf Y). Gerakan selanjutnya adalah T to Y to W, pasien diposisikan tengkurap

di atas bola swiss dan membentuk huruf T (seperti uraian sebelumnya) Kemudian

pasien mengubah posisinya menjadi huruf Y dengan jempol ke atas. Kemudia

pasien diminta menarik dan menekan skapula sambil mengangkat lengannya 10-

15 cm. Saat pasien mempertahankan retraksi skapula, pasien menekuk siku dan

menjulurkan bahu membentuk huruf W. Latihan selanjutnya adalah scapular

protraction, pasien diposisikan telungkup dengan jari kaki dan lengan bawah

menopang tubuh, Kemudian dia mendorong 1-2cm dan menjulurkan skapula

(Moezy et.al, 2014).

Gambar. 2.17.
Latihan T ke Y ke W di atas swiss ball (Moezy et.al, 2014).
33

Latihan fleksibilitas terdiri dari sleeper stretch, cross arm stretch,

peregangan sudut dan peregangan dada yang bertujuan untuk memanjangkan

Pectoralis mayor dan otot-otot kecil sekitar sendi bahu dan peregangan kapsul

bahu. Dua set latihan peregangan dilakukan dengan minimal 10 pengulangan

selama 30 detik (Moezy et.al, 2014).

Gambar. 2.18.1.
Crossed Arm Stretch (Moezy et.al, 2014).

Gambar. 2.18.2.
Sleeper Stretch (Moezy et.al, 2014).
34

Gambar. 2.18.3.
Corner Stretch (Moezy et.al, 2014).

Gambar. 2.18.4.
Pectorals Stretches (Moezy et.al, 2014).

Pelatihan kontrol motor skapula dengan penekanan pada latihan orientasi

skapula. Pasien diinstruksikan dan dicontohkan untuk mempertahankan posisi

netral scapula antara rentang gerak upward and downward rotation, external and

internal rotation, posterior and anterior rotation (posterior–anterior tilting) dan

kemudian diajarkan untuk menemukan posisi netral itu sendiri (F. Struyf et al.,

2013).
35

Gambar. 2.19.1.
Latihan orientasi skapula tampak lateral (F. Struyf et al., 2013).

Gambar. 2.19.2.
Latihan orientasi skapula tampak posterior (F. Struyf et al., 2013).

2.2.6 Mekanisme Pengurangan Nyeri Dengan Terapi Latihan

Cedera pada tendon rotator cuff dan jaringan lunak di ruang subacromial

adalah penyebab paling umum dari munculnya nyeri akibat shoulder impingement

syndrome. Pemeriksaan histologis cedera tendon supraspinatus pada pasien

dengan shoulder impingement syndrome telah menunjukkan perubahan pada

tendon yang menyerupai pada pasien dengan cedera serupa pada tendo patela dan

tendon Achilles. Tendinopati patela dan Achilles adalah dua jenis cedera tendon

di mana latihan eksentrik intensitas tinggi telah terbukti efektif, tidak hanya dalam
36

mengurangi rasa sakit tetapi juga dalam merangsang regenerasi jaringan dan

memulihkan fungsi karena pertumbuhan kolagen pada tendon cenderung

mencapai puncaknya 24 hingga 72 jam setelah latihan serta memungkinkan

neovaskularisasi pada jaringan tendon yang mengalami kerusakan (Larsson et al,

2019).

Terapi latihan yang berfokus pada stabilisasi gerak scapula juga dapat

berperan mengurangi nyeri dengan mekanisme perbaikan gerak kinematik scapula

akibat kelemahan otot-otot penggerak scapula yang bisa mengakibatkan benturan

berulang pada ruang subacromial. Hal tersebut terjadi melalui program latihan

khusus yang ditujukan untuk aktivitas otot, peningkatan kekuatan, fleksibilitas,

dan fungsi bahu dalam rehabilitasi shoulder impingement syndrome

(Ravichandran et al., 2020). Studi juga menunjukkan terapi latihan menstimulasi

perubahan dalam sistem opioid endogen di otak yaitu peningkatan betaendorphin

dan met-enkephalin (Lesnak & Sluka, 2020).

2.3 Penelitian Yang Relevan

Sebuah studi melaporkan bahwa latihan bahu secara progresif yang

dilakukan secara mandiri atau dikombinasikan dengan latihan bahu berbasis home

program efektif dalam rentang waktu jangka pendek untuk pengelolaan shoulder

impingement dengan durasi variabel (program latihan 8 minggu) (Abdulla et al.,

2015). Sebuah studi lain melaporkan terapi latihan sebagai pengobatan yang ideal

pada tahap awal shoulder impingement (Dong et al., 2015). Untuk shoulder

impingement yang persisten, latihan penguatan progresif yang diawasi dan

berbasis home program menghasilkan hasil yang sama seperti operasi dekompresi
37

bahu dalam jangka panjang (Abdulla et al., 2015). Latihan penguatan dan

peregangan yang diawasi memberikan manfaat jangka pendek yang serupa dengan

injeksi kortikosteroid tunggal atau program multimodal untuk pengelolaan nyeri

bahu nonspesifik tingkat rendah dengan durasi yang bervariasi (Bury et al., 2016).

Bury et al 2016 dan Saito et al 2018 juga melaporkan bahwa pendekatan terapi

latihan yang berfokus pada skapula lebih efektif dibandingkan pendekatan umum

pada tindak lanjut jangka pendek (4-6 minggu) menunjukkan bahwa nyeri dan

fungsi bahu membaik secara signifikan. Untuk pekerja konstruksi dengan

shoulder impingement, ada bukti bahwa terapi latihan efektif untuk mengurangi

rasa sakit dan mempercepat waktu untuk kembali bekerja bila dibandingkan

dengan intervensi pada grup kontrol atau plasebo (Desmeules et al, 2016). Terapi

latihan efektif untuk memberikan perbaikan terhadap skor nyeri, rentang gerak

aktif, dan fungsi bahu secara keseluruhan pada jangka pendek (6-12 minggu)

(Haik et al., 2016) dan jangka panjang tindak lanjut (lebih dari 3 bulan) (Steuri et

al., 2017). Berbagai bentuk latihan dilaporkan bermanfaat untuk shoulder

impingement: latihan stabilitas skapula, penguatan rotator cuff, dan latihan

fleksibilitas bahu (Pieters et al., 2020).


38

2.20 Kerangka Pikir

1. GIRD
2. Kifosis
3. Pemendekan otot 1. Bentuk akromion dan
pectoralis tumbuhnya osteofit
4. Imbalance otot penggerak 2. Elevasi caput humeri
scapula

Impingement Penyempitan ruang


Diskinesis scapula subacromial
subacromialis

Tendinitis supraspinatus atau


bursa subacromialis

Inflamasi

Release prostaglandin dan histamin

Nyeri nosiseptif

Pemberian treatment Terapi Latihan

1. Regenerasi tendon rotator cuff


2. Perbaikan vaskularisasi
3. Peningkatan kekuatan, stabilitas dan
felxibitas otot rotator cuff dan otot
penggerak scapula
4. Perbaikan gerak kinematik scapula
5. Peningkatan betaendorphin dan met-
enkephalin

Penurunan Nyeri

Gambar 2.20 Kerangka pikir


Keterangan gambar 2.20
39

Shoulder Impingement dapat disebabkan oleh dua faktor yaitu faktor

eksternal dan internal. Faktor eksternal yaitu (1) kinematika skapula (2)

kinematika humerus (3) Kifosis tulang belakang thorakal (4) Defisit otot dan

jaringan lunak (5) Trauma dan Benturan, sedangkan faktor internal yaitu (1)

Bentuk akromion (2) Degenerasi, (3) Perubahan fisiologis jaringan tendon, (4)

Penurunan vaskularisasi, (5) Genetik. Faktor-faktor ini akan mempengaruhi

kondisi dari tendon rotator cuff yang melintasi celah subacromial sehingga terjadi

micro injury yang selanjutnya akan menjadi tendinitis rotator cuff sehingga terjadi

inflamasi dan merelease algogenic pain seperti prostaglandin dan bradikinin yang

selanjutnya akan menimbulkan presepsi nyeri nosiseptif. Terapi latihan berperan

dalam stimulasi (1) Regenerasi tendon rotator cuff, (2) Perbaikan vaskularisasi,

(3) Peningkatan kekuatan, stabilitas dan fleksibilitas otot rotator cuff dan otot

penggerak scapula, (4) Perbaikan gerak kinematik scapula, dan (5) Peningkatan

beta-endorphin dan met-enkephalin sehingga terjadi penurunan nyeri.

2.21 Kerangka Konsep

Pelaksanaan penelitian

Jurnal penelitian Jurnal penelitian Hasil


yang memenuhi dengan intervensi penelitian Kesimpulan
kriteria inklusi terapi latihan

Gambar 2.21 Kerangka konsep


40

Keterangan gambar 2.21


= batasan penelitian

- =A hal yang tidak diteliti


k
= hal yang diteliti
t
= ialur penelitian
v
Jurnal
i penelitian yang memenuhi kriteria inklusi akan diseleksi kembali
t
berdasarkan
a jenis perlakuan penelitian yaitu jurnal penelitian dengan intervensi
s
terapi latihan.Hasil dari perlakuan berupa terapi latihan dalam jurnal penelitian ini

s
akan disimpulkan untuk melihat pengaruh perlakuan terhadap penurunan nyeri.
e
Dalam perlakuan
h ini, hal yang tidak dikendalikan dan mungkin dapat
a
mempengaruhi hasil adalah pelaksanaan penelitian pada masing masing jurnal
r
i
penelitian.
-
h
2.6
a Hipotesis
r
i
Hipotesis pada penelitian ini adalah ada pengaruh terapi latihan terhadap

- P nyeri pada shoulder impingement syndrome.


penurunan
o
l
a

m
a
k
a
n

Anda mungkin juga menyukai