Anda di halaman 1dari 26

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Deskripsi Kasus

1. Anatomi Fungsional Sendi Bahu

Shoulder joint merupakan sendi yang komplek pada tubuh manusia

dibentuk oleh tulang-tulang yaitu : scapula (shoulder blade), clavicula (collar

bone), humerus (upper arm bone), dan sternum. Daerah persendian bahu

mencakup empat sendi, yaitu sendi sternoclavicular, sendi glenohumeral, sendi

acromioclavicular, sendi scapulothoracal. Empat sendi tersebut bekerjasama

secara secara sinkron. Pada sendi glenohumeral sangat luas lingkup geraknya.

Karena caput humeri tidak masuk ke dalam mangkok karena fossa glenoidalis

dangkal (Sidharta, 1984).

Sendi glenohumeral dibentuk oleh caput humeri yang bulat dan cavitas

glenoidalis scapula yang dangkal dan berbentuk buah per. Permukaan sendi

meliputi oleh rawan hyaline, dan cavitas glenoidalis diperdalam oleh adanya

labrum glenoidale. Sendi glenohumeral merupakan sendi synovial, termasuk

klasifikasi sendi “ball and socket. Sendi ini diperkuat oleh ligament glenoidalis,

ligament humeral tranversum, ligament coracohumeral dan ligament

coracoacromiale, serta kapsul sendi melekat pada cavitas glenoidalis dan collum

anatomicum humeri (Snell, 1997). Seperti yang ditunjukan pada gambar 2.3.

3
4

Fossa glenoidalis tertutup cartilago dan mempunyai lebar permukaan 1/3

sampai 1/4 dari besarnya caput humeri. Fossa glenoidalis dikuatkan oleh

fibrocartilago yang menyatu di capsul dan ligamen glenohumerale dan biceps

brachii caput longum. Semua ini menyatu menjadi labrum glenoidale. Kecilnya

kontribusi tulang glenoid terhadap mangkok sendi mengakibatkan kecilnya kontak

antara kedua tulang, sehingga menyebabkan gerakan sendi glenohumerale

menjadi luas. Keadaan ini secara anatomis menyebabkan instabilitas sendi atau

menjadikan sendi kurang stabil yang bisa mengakibatkan dislokasi ataupun

subluksasi dari sendi glenohumeral.

Kapsul sendi glenohumerale adalah pembungkus sendi yang terdiri dari

dua lapisan yaitu stratum synovial dan stratum fibrosum. Stratum synovial

merupakan lapisan sebelah dalam sendi yang memproduksi cairan synovial yang

memberi nutrisi kepada cartilage sendi. Stratum fibrosum merupakan lapisan

bagian luar yang terdiri dari jaringan ikat fibrosa dan berfungsi membantu

memperkuat persendian seperti yang ditunjukkan pada gambar 2. 4.


5

Gambar 2.3

Keterangan :

1. Sulkus Intertuberkularis

2. Colum Anatomikum

3. Vagina Tendinitis Intertuberkularis

4. M. Subskapularis Tendo

5. Tuberkulum Mayus

6. Lig. Trapezoideum (Lig. Coracoclavicula)

7. Lig. Coracohumeral

8. M. Supraspinatus

9. Lig. Coraco Acromial

10. Acromion

11. Lig. Acromioclavicula (Artikulatio Acromioclavicular)

12. Clavicula extremitas Acromialis

13. Bursa Sinovialis

14. Lig. Conoideum (Lig. Coracoclavicula)

15. Lig. Tranversum Scapula Superius

16. Procesus Coracoideus

17. Recensus Axillaris

18. M. Biceps Brachii Caput Longum

19. Lig. Glenohumerale superior (Capsula Articularis)

20. Lig. Glenohumerale middle (Capsula Articularis)

21. Lig. Glenohumerale inverior (Capsula Articularis)


6

22. Crista Tuberculi Mayor

Gambar 2.4

Kapsul sendi glenohumeral (Putz, R & R. Pabst, 2002)

Keterangan gambar :

1. Cartilago Articularis

2. Cavitas Articularis

3. Labrum Articularis

4. Linea Epiphysialisis

5. Kapsul Sendi Glenohumeral Membrana Fibrosa (Stratum Fibrosum)

6. Kapsul Sendi Glenohumeral Membrana Synovialis (Stratum Synoviale)

7. Recesus Axillaris

8. Vagina Synovialis

Adapun gerakan osteokinematika yang terjadi pada sendi glenohumeral

adalah sebagai berikut


7

a. Gerakan abduksi shoulder

Gerakan ini dilakukan oleh serabut tengah otot deltoideus dimana

innervasinya oleh nervus axilaris (C5), (C6) dan m. supraspinatus yang di

innervasi oleh nervus suprascapula (C5) seperti yang ditunjukan pada gambar 2.5.

Sesuai Iternational Standard Orthopaedic Measurement (ISOM) sendi bahu pada

orang normal dapat digerakkan abduksi sampai 180º (Russe, 1975).

b. Gerakan adduksi shoulder

Penggerak utama dari gerakan ini adalah m. pectoralis mayor yang di

innervasi oleh nervus mediale dan laterale pectorale (C5-Th1) seperti yang

ditunjukan pada gambar 2.5. Sesuai standar ISOM sendi bahu pada orang normal

dapat digerakkan adduksi 45º (Russe, 1975).

c. Gerakan eksorotasi shoulder

Gerakan ini dilakukan oleh penggerak utama m. infraspinatus yang di

innervasi oleh nervus suprascapula (C5), (C6) dan m. teres minor yang yang di

innervasi oleh nervus axilaris (C5) seperti yang ditunjukan pada gambar 2.5.

Sesuai standar ISOM sendi bahu pada orang normal dapat digerakkan eksorotasi

60° pada posisi lengan disamping tubuh dan 90° pada posisi lengan abduksi 90°

(Russe, 1975).

d. Gerakan endorotasi shoulder

Penggerak utama adalah m. sub scapularis (C5), (C6) dan kemudian juga

m. latisimus dorsi dan m. teres mayor seperti yang ditunjukan pada ambar 2.5.

Sesuai standar ISOM sendi bahu pada orang normal dapat digerakkan endorotasi
8

90° pada posisi lengan disamping tubuh dan 90° pada posisi lengan abduksi 90°

(Russe, 1975).

e. Gerakan ekstensi shoulder

Otot penggerak pada gerakan ini adalah m. latisimus dorsi dan m. teres

mayor, sedangkan pada gerakan hiperekstensi m. teres mayor tidak berfungsi lagi,

hanya sampai 90º dan digantikan fungsinya oleh m. deltoideus posterior seperti

yang ditunjukan pada gambar 2.5. Sesuai standar ISOM sendi bahu pada orang

normal dapat digerakkan ekstensi sampai 45º (Russe, 1975)

f. Gerakan fleksi shoulder

Penggerak utamanya adalah m. deltoideus bagian anterior dan

m. supraspinatus dari 0º - 90º, sedangkan untuk 90º - 180º dibantu oleh m.

pectoralis mayor, m. coraco brachialis, dan m. biceps brachii seperti yang

ditunjukan pada gambar 2.5. Sesuai standar ISOM sendi bahu pada orang normal

dapat digerakkan fleksi 180º (Russe, 197).

g. Gerakan sirkumduksi shoulder

Gerak ini merupakan suatu gerak kombinasi dari gerakan abduksi,

adduksi, eksorotasi, endorotasi, ekstensi dan fleksi shouder


9

Gambar 2. 5

Otot penggerak sendi bahu (Putz, R & R. Pabst, 2002)

Keterangan :

1. M. Supraspinatus

2. M. Infraspinatus

3. M. Deltoidea

4. M. Teres Minor

5. M. Triceps Brachii Caput Longum

6. M. Triceps Brachii Caput Laterale

7. Acromion

8. Capsula Articularis (Articulation Humeri)

9. Angulus Superior Scapula

10. Angulus Inverior Scapula

11. Spina Scapula

12. M. Romboideus Mayor

13. M. Romboideus Minor

14. M. Teres Mayor

15. M. Latissimus Dorsi

16. M. Serratus Anterior

17. M. Levator Scapula

18. M. Trapezius

19. Bursa Subdeltoidea


10

Sendi acromioclvicula merupakan sendi synovial dibentuk oleh fasies

artikularis acromioskapularis dan fasies artikularis klavikulaskapularis, klavikula

berbentuk konvek dan acromion berbentuk konkaf. Sendi ini diperkuat oleh

fibrous capsule yang tertutup oleh ligamentum acromioclaviculare superior dan

posterior, conoid dan trapezoid. Gerak osteokinematika sendi akromioklavikularis

selalu berkaitan dengan gerak pada sendi skapulothorakalis saat elevasi diatas

kepala maka terjadi rotasi klavikula mengitari sumbu panjangnya. Rotasi ini

menyebabkan elevasi klavikula, elevasi tersebut pada sendi sternoklavikularis

kemudian 30% berikutnya pada rotasi klavikula.

Sendi sternoclavicular merupakan sendi synovial dibentuk oleh

ekstremitas sternalis klavikula dengan incisura klavikularis sterni dilengkapi

dengan discus articularis. Gerak osteokinematika yang terjadi adalah gerak elevasi

45° dan gerak depresi 70°, serta protraksi 30° dan retraksi 30°. Sedangkan gerak

osteokinematikanya meliputi: (1) gerak protraksi terjadi roll klavikula ke arah

ventral dan slide ke arah ventral, (2) gerak retraksi terjadi roll klavikula ke arah

dorsal dan slide ke arah dorsal, (3) gerak elevasi terjadi roll ke arah cranial dan

slide ke arah caudal, gerak fleksi shoulder 10° (sampai fleksi 90°) terjadi gerak

elevasi berkisasr 4°, (4) gerak depresi terjadi roll ke arah caudal dan slide

klavikula ke arah cranial.

Selain bersendi pada acromioclavicular dan sternoclavicular, scapula

bersendi pada thorax. Gerak osteokinematika sendi ini meliputi gerakan ke arah

medial lateral yang dalam klinis disebut down ward-up ward rotasi juga gerak ke

arah kranial- kaudal yang dikenal dengan gerak elevasi-depresi.


11

Sedangkan pada arthrokinematika sendi bahu, gerakan yang terjadi adalah

translasi, yang meliputi gerakan: (1) gliding (2) traksi (3) kompresi, yang

kesemuanya termasuk didalam joint play movement. (1) Gliding adalah gerakan

permukaan sendi dimana hanya ada satu titik kontak pada satu permukaan sendi

yang selalu kontak dengan titik kontak yang baru (selalu berubah) pada

permukaan sendi lawannya. Arah gliding permukaan sendi sesuai dengan hukum

konkaf -konvek yaitu: jika permukaan sendi konkaf bergerak pada permukaan

sendi konvek, maka arah gliding searah dengan gerakan tulang. Sedangkan jika

permukaan sendi konvek bergerak pada permukaan sendi konkaf, maka arah

gliding berlawanan dengan gerakan tulang. Untuk sendi bahu arah gliding

berlawanan dengan gerakan tulang, karena permukaan sendi konvek bergerak pada

permukaan sendi konkaf (caput humeri dengan fossa glenoidalis), (2) Traksi

adalah gerakan translasi tulang yang arahnya tegak lurus dan menjauhi bidang

terapi sehingga terjadi peregangan permukaan sendi, biasanya dapat mengurangi

nyeri pada sendi, (3) Kompresi adalah gerakan translasi tulang yang arahnya tegak

lurus tetapi kedua permukaan sendi saling mendekat, biasanya akan menimbulkan

nyeri (Mudatsir, 2002)

Gerakan arthrokinematika pada sendi gleno humeral yaitu : (1) gerakan

fleksi terjadi rolling caput humeri ke anterior, sliding ke posterior (2) gerakan

abduksi terjadi rolling caput humeri ke cranio posterior, sliding ke caudo ventral

(3) gerakan eksternal rotasi terjadi rolling caput humeri ke dorso lateral, sliding ke

ventro medial (4) gerakan internal rotasi terjadi rolling caput humeri ke ventro

medial dan sliding ke dorso lateral (Mudatsir, 2002).


12

End feel merupakan gerakan yang dilakukan mulai dari titik tempat

tahanan pertama dirasakan (first stop) sampai dengan tahanan terakir (final stop)

dalam lingkup gerak sendi tersebut. End feel pada hakekatnya adalah kualitas

tahanan pada akhir gerakan. End feel juga tergantung dengan karakteristik

anatomi persendian dan arah gerakan yang dilakukan. Suatu end feel dikatakan

patologis tempatnya berubah atau kualitasnya berubah sehingga tidak sesuai

dengan karakteristik end feel pada sendi tersebut seperti final stop terasa lebih

cepat atau lebih lambat dari normal atau kualitas tahanannya tidak sesuai dengan

karakteristik dari sendi tersebut. Sesuai dengan karakteristik anatomi persendian

glenohumeral yang mempunyai kapsul sendi didalamnya dan diperkuat

ligamentum maka sendi glenohumeral termasuk end feel fisiologis atau normal

berupa end feel kapsuler atau kapsuloligamenter seperti pada saat terjadi gerakan

rotasi bahu. Pada gerakan tersebut terjadi regangan kapsul sendi atau ligamentum.

Adapun end feel fisiologis lainnya antara lain end feel lunak dan end feel keras

(Mudatsir, 2002).

2. Definisi Frozen Shoulder

Frozen shoulder merupakan suatu istilah yang merupakan wadah untuk

semua gangguan pada sendi bahu yang menimbulkan nyeri dan pembatasan

lingkup gerak sendi baik secara aktif mapun pasif akibat capsulitis adhesiva yang

disebabkan adanya perlengketan kapsul sendi, yang sebenarnya lebih tepat untuk

menggolongkannya di dalam kelompok periarthritis (Sidharta, 1984).


13

Frozen shoulder adalah penyakit kronis dengan gejala khas berupa nyeri

bahu dan pembatasan lingkup gerak sendi bahu yang dapat mengakibatkan

gangguan aktivitas kerja sehari-hari (AAOS, 2000).

3. Etiologi

Etiologi dari frozen shoulder masih belum diketahui dengan pasti. Adapun

fakor predisposisinya antara lain periode immobilisasi yang lama, akibat trauma,

over use, injuri atau operasi pada sendi, hyperthyroidisme, penyakit

kardiovaskuler, clinical depression dan Parkinson (AAOS, 2000)

Frozen shoulder dapat disebabkan oleh trauma, imobilisasi lama,

imunologi, serta hubungannya dengan penyakit lainnya, misal hemiparese,

ischemic heart disease, TB paru, bronchritis kronis dan diabetes mellitus dan

diduga penyakit ini merupakan respon autoimun terhadap rusaknya jaringan lokal

(Appley, 1993).

Adapun beberapa teori yang dikemukakan American Academy of

Orthopedic Surgeon tahun 2000 mengenai frozen shoulder, teori tersebut adalah :

a. Teori hormonal.

Pada umumnya frozen shoulder terjadi 60% pada wanita bersamaan

dengan datangnya menopause.

b. Teori genetik.

Beberapa studi mempunyai komponen genetik dari frozen shoulder,

contohnya ada beberapa kasus dimana kembar identik pasti menderita pada saat

yang sama.
14

c. Teori auto immuno.

Diduga penyakit ini merupakan respon auto immuno terhadap hasil-hasil

rusaknya jaringan lokal.

d. Teori postur.

Banyak studi yang belum diyakini bahwa berdiri lama dan berpostur tegap

menyebabkan pemendekan pada salah satu ligamen bahu.

4. Patologi

Immobilisasi yang lama pada lengan karena nyeri merupakan awal

terjadinya frozen shoulder. Lengan yang immobilisasi lama akan menyebabkan

statis vena dan kongesti sekunder bersama dengan vasospastik, ini akan

menimbulkan reaksi timbunan protein, oedema, eksudat dan akhirnya terjadi

fibrous sehingga kapsul sendi akan kontraktur serta hilangnya lipatan inferior

sendi, fibrosis kapsul sendi meningkat sehingga mudah robek saat humeri

bergerak abduksi dan rotasi. Fibrous pada kapsul sendi ini akan mengakibatkan

adhesi antara lapisan bursa subdeltoidea, adhesi ekstra artikuler dan intra

arthrikuler. Perlengketan kapsul sendi akan mengakibatkan gerakan sendi bahu

menjadi terbatas.

Capsulitis adhesiva merupakan kelanjutan dari lesi rotator cuff, karena

terjadi peradangan atau degenerasi yang meluas ke sekitar dan ke dalam kapsul

sendi dan mengakibatkan terjadinya reaksi fibrous. Adanya reaksi fibrous dapat

diperburuk akibat terlalu lama membiarkan lengan dalam posisi impingement

yang terlalu lama (Appley, 1993).

Menurut Kisner (1996) frozen shoulder dibagi dalam 3 tahapan, yaitu


15

a. Pain (Freezing) : ditandai dengan adanya nyeri hebat bahkan saat

istirahat, gerak sendi bahu menjadi terbatas selama 2-3 minggu dan masa akut ini

berakhir ampai 10- 36 minggu.

b. Stiffness (Frozen) : ditandai dengan rasa nyeri saat bergerak,

kekakuan atau perlengketan yang nyata dan keterbatasan gerak dari glenohumeral

yang di ikuti oleh keterbatasan gerak scapula. Fase ini berakhir 4-12 bulan.

c. Recovery (Thawing) : pada fase ini tidak ditemukan adanya rasa

nyeri dan tidak ada synovitis tetapi terdapat keterbatasan gerak karena

perlengketan yang nyata. Fase ini berakhir 6-24 bulan atau lebih.

5. Tanda dan gejala klinis

Tanda dan gejala klinis yang sering timbul pada penderita frozen shoulder

akibat capsulitis adhesiva adalah sebagai berikut :

a. Nyeri

Pasien berumur 40-60 tahun, dapat memiliki riwayat trauma, sering kali

ringan, diikuti sakit pada bahu dan lengan. Nyeri berangsur-angsur bertambah

berat dan pasien sering tidak bisa tidur pada sisi yang terkena, setelah beberapa

bulan nyeri mulai berkurang, tetapi sementara itu kekakuan semakin menjadi,

berlanjut terus selama 6-12 bulan setelah nyeri menghilang. Secara berangsur-

angsur pasien dapat bergerak kembali, tetapi tidak lagi normal (Appley, 1993).

Nyeri dirasakan pada daerah otot deltoideus. Bila terjadi pada malam hari

sering sampai mengganggu tidur. Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya

kesukaran penderita dalam mengangkat lengannya (abduksi), sehingga penderita

akan melakukan gerakan kompensasi dengan mengangkat bahu saat gerakan


16

mengangkat lengan yang sakit yaitu saat fleksi dan abduksi sendi bahu di atas 90º

atau disebut dengan shrugging mechanism. Juga dapat dijumpai adanya atropi otot

gelang bahu (dalam berbagai tingkatan). Sedangkan pemeriksaan neurologik

biasanya dalam batas normal (Kuntono, 2004). Suatu arthritis pada bahu

(capsulitis adhesiva) meskipun menimbulkan rasa nyeri, biasanya tidak diiringi

oleh kelainan di dalam foto rongent (Wolf, 1990).

b. Keterbatasan Lingkup Gerak Sendi

Frozen shoulder karena capsulitis adhesiva ditandai dengan adanya

keterbatasan lingkup gerak sendi glenohumeral yang nyata, baik gerakan aktif

maupun pasif. Sifat nyeri dan keterbatasan gerak sendi bahu dapat menunjukkan

pola yang spesifik, yaitu pola kapsuler. Pola kapsuler sendi bahu yaitu gerak

eksorotasi paling nyeri dan terbatas kemudian diikuti gerak abduksi dan

endorotasi, atau dengan kata lain gerak eksorotasi lebih nyeri dan terbatas

dibandingkan dengan gerak endorotasi (Kuntono, 2004).

Gambar 2.6

Pola kapsuler (Kuntono, 2004)


17

Gambar 2.7

Pola non kapsuler (Kuntono, 2004)

c. Penurunan kekuatan otot dan atropi otot

Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya kesukaran penderita dalam

mengangkat lengannya (abduksi) karena adanya penurunan kekuatan otot,

sehingga penderita akan melakukan gerakan kompensasi dengan shrugging

mechanism. Juga dapat dijumpai adanya atropi otot gelang bahu (dalam berbagai

tingkatan) (Kuntono, 2004). Biasanya tidak ada yang terlihat pada saat dilakukan

inspeksi hanya ditemukan sedikit pengecilan otot (Appley, 1993).

d. Gangguan aktifitas fungsional

Dengan adanya beberapa tanda dan gejala klinis yang ditemukan pada

penderita frozen shoulder akibat capsulitis adhesiva seperti adanya nyeri,

keterbatasan LGS, penurunan kekuatan otot dan atropi maka secara langsung akan

mempengaruhi (mengganggu) aktifitas fungsional yang dijalaninya.

6. Komplikasi.

Pada kondisi frozen shoulder akibat capsulitis adhesiva yang berat dan

tidak dapat mendapatkan penanganan yang tepat dalam jangka waktu yang lama,
18

maka akan timbul problematik yang lebih berat antara lain : (1) Kekakuan sendi

bahu (2) Kecenderungan terjadinya penurunan kekuatan otot-otot bahu (3)

Potensial terjadinya deformitas pada sendi bahu (4) Atropi otot-otot sekitar sendi

bahu (5) Adanya gangguan aktivitas fungsional.

7. Prognosis.

Sekitar 60 - 90% frozen shoulder dapat kembali normal lingkup gerak

sendinya. Pada usia lanjut LGS bahu tidak dapat kembali sempurna, tetapi hal ini

normal melihat usianya. Adanya penyakit penyerta seperti diabetes mellitus dapat

menghambat proses penyembuhan. Proses penyembuhan akan lebih cepat jika

dilakukan penanganan sejak awal untuk menghancurkan jaringan fibrous.

8. Diagnosis banding.

a. Tendinitis supraspinatus

Tendon otot supraspinatus sebelum berinsersio pada tuberkulum mayus

humeri, akan melewati terowongan pada daerah bahu yang dibentuk oleh kaput

humeri sebagai alasnya, serta acromion dan ligamen korako acromialis sebagai

penutup bagian atasnya. Disini tendon tersebut akan saling bertumpang tindih

dengan tendon dari kaput longus biceps. Adanya gesekan berulang-ulang serta

dalam jangka waktu yang lama oleh tendon biceps ini akan mengakibatkan

kerusakan pada tendo otot supraspinatus dan berlanjut sebagai tendinitis

supraspinatus. Pada pemeriksaan gerak dijumpai adanya painfull arc

supraspinatus 0-60 derajat keterbatasan gerak sendi bahu terutama abduksi dan

eksorotasi, nyeri tekan pada sekitar tendon otot supraspinatus, tes Appley stratch

dan tes Mosley positif (Kuntono, 2004).


19

b. Tendinitis bisipitalis

Tendinitis bisipitalis biasanya merupakan reaksi terhadap adanya trauma

akibat jatuh atau dipukul pada bahu, dengan lengan dalam posisi adduksi serta

lengan bawah dalam posisi supinasi atau dapat juga terjadi pada orang-orang yang

bekerja keras pada posisi di atas secara berulang kali. Pemeriksaan fisik pada

penderita tendinitis bisipitalis didapatkan adanya: adduksi sendi bahu terbatas,

nyeri tekan pada tendo otot biceps, tes Yergason disamping timbul nyeri juga

didapati penonjolan disamping medial tuberkulum minus humeri, berarti tendo

otot biceps tergelincir dan berada diluar sulkus bicipitalis sehingga terjadi

penipisan tuberkulum (Kuntono, 2004).

c. Bursitis subakromialis

Bursitis subakromialis merupakan peradangan dari bursa sub akromialis,

keluhan pertamanya adalah tidak dapat mengangkat lengan ke samping (abduksi

aktif), tepapi sebelumnya sudah merasakan pegal-pegal di bahu. Lokasi nyeri

yang dirasakan adalah pada lengan atas atau tepatnya pada insersio otot deltoideus

di tuberositas deltoidea humeri. Nyeri ini merupakan nyeri rujukan dari bursitis

subacromialis yang khas, ini dibuktikan dengan tidak adanya nyeri tekan pada

tuberkulum humeri. Pada pemeriksaan fisik dijumpai adanya painfull arc sub

acromialis 70º-120º, tes fleksi siku melawan tahanan pada posisi fleksi 90º

menjadikan rasa nyeri (Kuntono, 2004).

d. Ruptur rotator cuff

Otot rotator cuff dapat robek akibat kecelakaan, penderita langsung

merasakan nyeri di daerah persendian bahu dan atasnya. Hal ini umum terjadi
20

pada anak atau orang dewasa muda. Tetapi pada orang jompo, mereka tidak

merasakan nyeri, melainkan datang dengan keluhan bahwa lengannya lemas tidak

bisa berabduksi (Sidharta, 1984). Pada orang tua, ruptur dapat terjadi karena

trauma yang ringan saja, disebabkan oleh adanya degenerasi pada rotator cuff.

Pada pemeriksaan fisik penderita dapat melakukan abduksi sampai 90º, namun

bila meneruskan abduksi tersebut tidak dapat dan lengan jatuh atau dengan

dilakukan tes lengan jatuh (drop arm test). Gerakan pasif tidak terdapat nyeri atau

pembatasan lingkup gerakan (Kuntono, 2004).

C. Deskripsi Problematika Fisioterapi.

Adapun berbagai macam gangguan yang ditimbulkan dari frozen shoulder

adalah sebagai berikut:

1. Impairment

Pada kasus frozen shoulder akibat capsulitis adhesiva permasalahan yang

ditimbulkan antara lain adanya nyeri pada bahu, keterbatasan lingkup gerak sendi

dan penurunan kekuatan otot di sekitar bahu.

2. Functional limitation

Masalah-masalah yang sering ditemui pada kondisi-kondisi frozen

shoulder adalah keterbatasan gerak dan nyeri, oleh karena itu dalam keseharian

sering ditemukan keluhan-keluhan seperti tidak mampu untuk menggosok

punggung saat mandi, menyisir rambut, kesulitan dalam berpakaian, mengambil

dompet dari saku belakang kesulitan memakai pakaian dalam bagi wanita dan

gerakan-gerakan lain yang melibatkan sendi bahu (Apley, 1993).


21

3. Participation restriction

Pasien yang mengalami frozen shoulder akan menemukan hambatan untuk

melakukan aktifitas sosial masyarakat karena keadaannya, hal ini menyebabkan

pasien tersebut tidak percaya diri dan merasa kurang berguna dalam masyarakat,

tapi pada umumnya frozen shoulder jarang menimbulkan disability atau

kecacatan.

D. Teknologi Intervensi Fisioterapi

1. TENS Konvensional

TENS adalah bentuk stimulasi listrik yang mengurangi dan

menghilangkan nyeri. Cara kerjanya adalah perangsangan serabut saraf afferen

yang besar sehingga menghambat transmisi implus nyeri pada level medulla

spinalis, sesuai dengan teori gerbang nyeri dan pada medulla oblongata dengan

pelepasan opioid endogen. Aplikasi elektroda tens dapat pada daerah paling nyeri

atau menurut dermatom, saraf perifer, motor point atau titik akupuntur. Bentuk

tens yang konvensoanal adalah arus berfrekensi tinggi dan durasi pendek (short

duration high frequency), sedangkan jenis baru dengan frekuensi rendah dan

durasi panjang (low frequency long duration). TENS diindikasikan pada nyeri

akut, kronis, dan spasme otot. TENS merupakan suatu cara penggunaan energy

listrik untuk merangsang system saraf melalui permukaan kulit. TENS

konvensional menghasilkan efek analgesia terutama melalui mekanisme

segmental yaitu dengan jalan mengaktivasi serabut Abeta yang selanjutnya akan

menginhibisi neuron nosiseptif di kornu dorsalis medulla spinalis. Ini mengacu

pada teori gerbang control(gate control theory) yang dikemukakan oleh melzack
22

dan wall (1965) yang menyatakan bahwa gerbang terdiri dari sel internunsial yang

bersifat inhibisi yang dikenal sebagai substansia gelatinosa dan yang terletak di

kornu posterior dan sel T yang merelai informasi dari pusat yang lebih tinggi.

Tingkat aktivitas sel T ditentukan oleh keseim bangan asupan dari serabut

berdiameter besar A-β dan A-δ serta serabut berdiameter kecil A delta dan serabut

C. Asupan dari serabut saraf berdiameter kecil akan mengaktivasi sel T yang

kemudian dirasakan sebagai keluhan nyeri.Jika serabut berdiameter teraktivasi,

hal ini juga akan mengaktifkan sel T. Namun pada saat yang bersamaan impuls

tersebut juga dapat memicu sel SG yang berdampak pada penurunan asupan

terhadap sel T yang berasal dari serabut berdiameter besar maupun kecil dengan

kata lain asupan impuls dari serabut berdiameter besar akan menutup gerbang dan

akan membloking transmisi impuls dari serabut aferen nociceptor sehingga nyeri

berkurang atau hilang. Pada penelitian yang dilakukan oleh Sjolund, (1985),

Woolf Mitchel dan barrett, (1980) woolf,Thompson dan king (1988) terhadap

binatang percobaan menunjukkan bahwa aktivasi pada serabut aferen bermielin

tebal atau berdiameter besar mampu menginhibisi reflek nociceptif meskipun

telah dilakukan transeksi spinal terhadap jalanan inhibisi desenderan yang

datangnya dari otak. Garrison dan foreman (1994) menunjukkan bahwa TENS

secara bermakna mengurangi aktivitas sel nociceptor di kornu dorsalis saat TENS

diaplikasikan pada area somatic. Ini semua menunjukkan bahwa analgesia yang

dihasilkan TENS konvensional terjadi di medulla spinalis dalam bentuk inhibisi

pre dan post sinapsis (Garrison dan Foramen,1996). Penelitian menggunakan

reseptor antagonis opioid berupa nalokson tidak berhasil mengurangi efek


23

analgesia yang ditimbulkan oleh TENS frekuensi tinggi ( High Frequensy TENS )

ini menunjukkan bahwa pada penggunaan TENS frekuensi tinggi juga

menghasilkan transmitter non opioid yang juga dapat bekerja sebagai inhibitor

sinapsis (Thompson 1989).

Studi yang dilakukan oleh Duggan dan Foong (1985 ) terhadap binatang

percobaan membuktikan bahwa transmitter inhibitor gamma aminobutyric acid

(GABA) ikut berperan dalam menginhibisi nyeri. Observasi klinis yang

menunjukkan bahwa TENS menghasilkan analgesia yang terjadi dengan cepat

tetapi tidak bertahan lama adalah sejalan dengan modal inhibisi sinapsis di tingkat

segmental.

KARAKTERISTIK ARUS TENS KONVENSIONAL (Parjoto, 2006)

1. Target arus : mengaktifasi syaraf berdiameter besar

2. Serabut yang teraktifasi : A beta, mekanoreseptor

3. Sensasi yang timbul ; parestesia yang kuat sedikit kontraksi

4. Karakteristik fisika ; frekuensi tinggi, Intensitas rendah pola continue.

5. Durasi : 100 – 200 mikrodetik

6. Frekuensi : 10 – 200 pps

7. Posisi electrode : pada titik nyeri dermatom

8. Profil analgetik : terasa < 30 menit setelah dinyalakan dan menghilang , 30

menit setelah alat dipadamkan

9. Durasi terapi ; secara terus menerus saat nyeri terjadi

10. Mekanisme analgetik ; tingkat segmental


24

2. SWD

SWD (Short Wave Diathermy) 7 Short Wave Dhiatermy(SWD)

merupakan alat terapi yang menggunakan energi elektromagnetik yang dihasilkan

oleh arus bolak-balik frekuensi tinggi.Frekuensi yang sering digunakan adalah 27,

33 MHz dengan panjang gelombang 11m atau sering disebut energi

elektromagnetik 27 MHz (Sujatno dkk, 2002). Teori vaskular menyatakan bahwa

aplikasi terapi panas dapat menginduksi vasodilatasi, kemudian terjadi

peningkatan aliran pembuluh darah hingga 30ml per 100 gram dari jaringan lunak

(Michel, 2003)

3. Terapi Manipulasi

Terapi manipulasi adalah suatu gerakan pasif dengan kecepatan tinggi,

amplitudo kecil dan pasien tidak bisa mencegah gerakan yang terjadi, terapi

manipulasi ini dapat menghancurkan phatological limitation pada sendi yang

mengalami keterbatasan (Kisner, 1996).

Terapi manipulasi merupakan salah satu modalitas yang tepat untuk

mengurangi nyeri dan memperbaiki disfungsi sendi, karena terapi manipulasi

dapat meregangkan jaringan lunak sekitar sendi yang memendek. Tujuan

mobilisasi sendi adalah untuk mengembalikan fungsi sendi normal dan tanpa

nyeri. Secara mekanis, tujuannya adalah untuk memperbaiki joint play movement

dan dengan demikian memperbaiki roll-gliding yang terjadi selama gerakan aktif.

Terapi manipulasi harus diakhiri apabila sendi telah mencapai LGS maksimal

tanpa nyeri dan pasien dapat melakukan gerakan aktif dengan normal. Sebelum

melakukan mobilisasi sendi bahu maka harus dipahami tentang pengertian


25

permukaan sendi concave dan convex sebagai dasar arthrokinematik. Pada sendi

bahu, glenohumeral berpermukaan convex sementara cavitas glenoidalis bersifat

concave. Gliding akan berlawanan dengan arah gerak tulang (osteokinematik).

Sedang sendi yang berpermukaan concave arah gliding (sliding) searah dengan

tulang yang bergerak. Untuk traksi sendi bahu arahnya adalah ke lateral, ventral

cranial atau tegak lurus untuk permukaan sendi pada posisi loose packed position.

Pelaksanaan traksi bisa ke segala arah menurut daerah keterbatasan sendi

(Kuntono, 2004).

Gerakan translasi (traksi dan gliding) dibagi menjadi tiga gradasi. Gradasi

gerakan ini ditentukan berdasarkan tingkat kekendoran (slack) sendi yang

dirasakan fisioterapis saat melakukan gerakan pasif (Mudatsir, 2002).

Tingkat gradasi yang di maksud sebagai berikut :

a) Grade I Traksi merupakan gerakan dengan amplitudo sangat kecil

sehingga tidak sampai terasa adanya geseran permukaan sendi. Kekuatan gaya

tarik yang diberikan sebatas cukup untuk menetralisir gaya kompresi yang bekerja

pada sendi. Kombinasi antara tegangan otot, gaya kohevisitas kedua permukaan

sendi dan tekanan atmosfer menghasilkan gaya kompresi pada sendi.

b) Grade II Traksi dan Gliding dilakukan sampai terjadi slack taken up

jaringan di sekitar persendian menjadi meregang.

c) Grade III Traksi dan Gliding dilakukan sampai diperoleh slack taken up

kemudian diberi gaya lebih besar lagi sehingga jaringan di sekitar persendian

manjadi semakin teregang.

LINGKUP GERAK SENDI


26

Grade I Grade II Grade III

Kendor/Slack Tegang/Slack taken up Teregang/Stretch

Pada titik ini terjadi


ketegangan maksimum
sehingga mulai terjadi
regangan
Gambar 2.8

Gradasi gerakan untuk traksi dan gliding (Mudatsir, 2002)

Manurut Mudatsir (2002) aturan-aturan yang harus diperhatikan terapis

saat melakukan terapi manipulasi adalah sebagai berikut : (1) Pasien diposisikan

nyaman sehingga otot-ototnya rileks dan sendi diposisikan pada maximaly loose

packed position (MLPP) atau actual resting position, untuk MLPP sendi bahu

60 fleksi dan 60 abduksi, (2) Posisi terapis harus ergonomi berdiri disamping

pasien sedekat mungkin dengan pasien. Kedua kaki terapis harus stabil dan

melebar selain itu usahakan gunakan gravitasi atau berat tubuh untuk mendorong

atau menarik, (3) Fiksasi bisa dengan tangan terapis atau dengan sabuk atau

difiksasi orang lain dan harus dilakukan sedekat mungkin dengan ruang sendi

tanpa menyebabkan nyeri, (4) Tangan terapis yang aktif atau yang bergerak

memegang bagian tubuh sedekat mungkin dengan ruang sendi untuk digerakkan

dan untuk mengurangi nyeri pegangan kadang-kadang dirubah, (5) Arah gerakan

translasi selalu tegak lurus atau sejajar dengan bidang terapi.

Traksi dapat digunakan untuk mengurangi nyeri atau sebagai traksi

mobilisasi untuk memperbaiki mobilitas sendi. Traksi untuk mengurangi nyeri


27

dilakukan pada posisi maximaly loose packed position (MLPP) atau kalau tidak

memungkinkan dapat diposisikan actual resting position sedangkan untuk

kekakuan sendi selalu diawali dengan traksi-mobilisasi dan harus dilakukan tanpa

menimbulkan nyeri, dan apabila memungkinkan diberikan modalitas fisioterapi

lain untuk mengurangi nyeri. Apabila terapi pertama tersebut ada perbaikan maka

dilakukan dengan pemberian glide-mobilisasi ke arah gerakan terbatas (Mudatsir,

2002).

Pada kondisi frozen shoulder akibat capsulitis adhesiva dilakukan sliding

ke antero medial untuk memperbaiki ke eksorotasi, kemudian sliding ke postero

lateral untuk memperbaiki endorotasi, dan sliding ke caudal untuk memperbaiki

abduksi (Kisner, 1996).

3. Terapi Latihan

Terapi latihan merupakan salah satu usaha pengobatan dalam fisioterapi

yang dalam pelaksanaannya menggunakan latihan–latihan gerakan tubuh baik

secara pasif maupun aktif. Atau dapat di definisikan sebagai suatu usaha untuk

mepercepat penyembuhan dari suatu cedera atau penyakit tertentu. Prinsip dasar

dalam melakukan terapi latihan adalah dengan dilakukan dengan tehnik yang

benar, teratur, berulang-ulang dan berkesinambungan. Tujuan pemberian terapi

latihan adalah untuk mengulur jaringan lunak sekitar sendi yang mengalami

pemendekan serta meningkatkan lingkup gerak sendi dan mengurangi nyeri

sehingga dapat meningkatkan kemampuan fungsional (Priatna, 1985).

Adapun metode yang digunakan adalah :

a. Active exercise
28

Latihan aktif disini bertujuan untuk menjaga serta menambah lingkup

gerak sendi. Disini penulis memberikan latihan dengan menggunakan metode free

active exercise. Gerakan dilakukan oleh kekuatan otot penderita itu sendiri dengan

tidak menggunakan suatu bantuan dan tahanan yang berasal dari luar, kecuali

grafitasi. Efek yang dihasilkan dari free active exercise yaitu (1) relaksasi otot,

gerakan yang bergantian antara kontraksi dan relaksasi dapat membuat relaksasi

pada grup- grup otot tertentu, (2) meningkatkan koordinasi, dapat dikembangkan

dengan latihan yang berulang karena latihan yang membutuhkan konsentrasi dan

kerja otot dapat mengembangkan neuromuscular coordination, (3) meningakatkan

sirkulasi darah, saat exercise berlangsung kapiler darah pada otot melebar

sehingga kapasitas darah bertambah, dengan demikian pertukaran cairan jaringan

dan pembuangan zat- zat yang tidak berguna menjadi lancar, (4) memelihara LGS

(Priatna, 1985). Latihan ini bisa dilakukan kapanpun dan dimanapun penderita

berada.

Anda mungkin juga menyukai