TINJAUAN PUSTAKA
A. Deskripsi Kasus
bone), humerus (upper arm bone), dan sternum. Daerah persendian bahu
secara secara sinkron. Pada sendi glenohumeral sangat luas lingkup geraknya.
Karena caput humeri tidak masuk ke dalam mangkok karena fossa glenoidalis
Sendi glenohumeral dibentuk oleh caput humeri yang bulat dan cavitas
glenoidalis scapula yang dangkal dan berbentuk buah per. Permukaan sendi
meliputi oleh rawan hyaline, dan cavitas glenoidalis diperdalam oleh adanya
klasifikasi sendi “ball and socket. Sendi ini diperkuat oleh ligament glenoidalis,
coracoacromiale, serta kapsul sendi melekat pada cavitas glenoidalis dan collum
anatomicum humeri (Snell, 1997). Seperti yang ditunjukan pada gambar 2.3.
3
4
sampai 1/4 dari besarnya caput humeri. Fossa glenoidalis dikuatkan oleh
brachii caput longum. Semua ini menyatu menjadi labrum glenoidale. Kecilnya
menjadi luas. Keadaan ini secara anatomis menyebabkan instabilitas sendi atau
dua lapisan yaitu stratum synovial dan stratum fibrosum. Stratum synovial
merupakan lapisan sebelah dalam sendi yang memproduksi cairan synovial yang
bagian luar yang terdiri dari jaringan ikat fibrosa dan berfungsi membantu
Gambar 2.3
Keterangan :
1. Sulkus Intertuberkularis
2. Colum Anatomikum
4. M. Subskapularis Tendo
5. Tuberkulum Mayus
7. Lig. Coracohumeral
8. M. Supraspinatus
10. Acromion
Gambar 2.4
Keterangan gambar :
1. Cartilago Articularis
2. Cavitas Articularis
3. Labrum Articularis
4. Linea Epiphysialisis
7. Recesus Axillaris
8. Vagina Synovialis
innervasi oleh nervus suprascapula (C5) seperti yang ditunjukan pada gambar 2.5.
innervasi oleh nervus mediale dan laterale pectorale (C5-Th1) seperti yang
ditunjukan pada gambar 2.5. Sesuai standar ISOM sendi bahu pada orang normal
innervasi oleh nervus suprascapula (C5), (C6) dan m. teres minor yang yang di
innervasi oleh nervus axilaris (C5) seperti yang ditunjukan pada gambar 2.5.
Sesuai standar ISOM sendi bahu pada orang normal dapat digerakkan eksorotasi
60° pada posisi lengan disamping tubuh dan 90° pada posisi lengan abduksi 90°
(Russe, 1975).
Penggerak utama adalah m. sub scapularis (C5), (C6) dan kemudian juga
m. latisimus dorsi dan m. teres mayor seperti yang ditunjukan pada ambar 2.5.
Sesuai standar ISOM sendi bahu pada orang normal dapat digerakkan endorotasi
8
90° pada posisi lengan disamping tubuh dan 90° pada posisi lengan abduksi 90°
(Russe, 1975).
Otot penggerak pada gerakan ini adalah m. latisimus dorsi dan m. teres
mayor, sedangkan pada gerakan hiperekstensi m. teres mayor tidak berfungsi lagi,
hanya sampai 90º dan digantikan fungsinya oleh m. deltoideus posterior seperti
yang ditunjukan pada gambar 2.5. Sesuai standar ISOM sendi bahu pada orang
ditunjukan pada gambar 2.5. Sesuai standar ISOM sendi bahu pada orang normal
Gambar 2. 5
Keterangan :
1. M. Supraspinatus
2. M. Infraspinatus
3. M. Deltoidea
4. M. Teres Minor
7. Acromion
18. M. Trapezius
berbentuk konvek dan acromion berbentuk konkaf. Sendi ini diperkuat oleh
selalu berkaitan dengan gerak pada sendi skapulothorakalis saat elevasi diatas
kepala maka terjadi rotasi klavikula mengitari sumbu panjangnya. Rotasi ini
dengan discus articularis. Gerak osteokinematika yang terjadi adalah gerak elevasi
45° dan gerak depresi 70°, serta protraksi 30° dan retraksi 30°. Sedangkan gerak
ventral dan slide ke arah ventral, (2) gerak retraksi terjadi roll klavikula ke arah
dorsal dan slide ke arah dorsal, (3) gerak elevasi terjadi roll ke arah cranial dan
slide ke arah caudal, gerak fleksi shoulder 10° (sampai fleksi 90°) terjadi gerak
elevasi berkisasr 4°, (4) gerak depresi terjadi roll ke arah caudal dan slide
bersendi pada thorax. Gerak osteokinematika sendi ini meliputi gerakan ke arah
medial lateral yang dalam klinis disebut down ward-up ward rotasi juga gerak ke
translasi, yang meliputi gerakan: (1) gliding (2) traksi (3) kompresi, yang
kesemuanya termasuk didalam joint play movement. (1) Gliding adalah gerakan
permukaan sendi dimana hanya ada satu titik kontak pada satu permukaan sendi
yang selalu kontak dengan titik kontak yang baru (selalu berubah) pada
permukaan sendi lawannya. Arah gliding permukaan sendi sesuai dengan hukum
konkaf -konvek yaitu: jika permukaan sendi konkaf bergerak pada permukaan
sendi konvek, maka arah gliding searah dengan gerakan tulang. Sedangkan jika
permukaan sendi konvek bergerak pada permukaan sendi konkaf, maka arah
gliding berlawanan dengan gerakan tulang. Untuk sendi bahu arah gliding
berlawanan dengan gerakan tulang, karena permukaan sendi konvek bergerak pada
permukaan sendi konkaf (caput humeri dengan fossa glenoidalis), (2) Traksi
adalah gerakan translasi tulang yang arahnya tegak lurus dan menjauhi bidang
nyeri pada sendi, (3) Kompresi adalah gerakan translasi tulang yang arahnya tegak
lurus tetapi kedua permukaan sendi saling mendekat, biasanya akan menimbulkan
fleksi terjadi rolling caput humeri ke anterior, sliding ke posterior (2) gerakan
abduksi terjadi rolling caput humeri ke cranio posterior, sliding ke caudo ventral
(3) gerakan eksternal rotasi terjadi rolling caput humeri ke dorso lateral, sliding ke
ventro medial (4) gerakan internal rotasi terjadi rolling caput humeri ke ventro
End feel merupakan gerakan yang dilakukan mulai dari titik tempat
tahanan pertama dirasakan (first stop) sampai dengan tahanan terakir (final stop)
dalam lingkup gerak sendi tersebut. End feel pada hakekatnya adalah kualitas
tahanan pada akhir gerakan. End feel juga tergantung dengan karakteristik
anatomi persendian dan arah gerakan yang dilakukan. Suatu end feel dikatakan
dengan karakteristik end feel pada sendi tersebut seperti final stop terasa lebih
cepat atau lebih lambat dari normal atau kualitas tahanannya tidak sesuai dengan
ligamentum maka sendi glenohumeral termasuk end feel fisiologis atau normal
berupa end feel kapsuler atau kapsuloligamenter seperti pada saat terjadi gerakan
rotasi bahu. Pada gerakan tersebut terjadi regangan kapsul sendi atau ligamentum.
Adapun end feel fisiologis lainnya antara lain end feel lunak dan end feel keras
(Mudatsir, 2002).
semua gangguan pada sendi bahu yang menimbulkan nyeri dan pembatasan
lingkup gerak sendi baik secara aktif mapun pasif akibat capsulitis adhesiva yang
disebabkan adanya perlengketan kapsul sendi, yang sebenarnya lebih tepat untuk
Frozen shoulder adalah penyakit kronis dengan gejala khas berupa nyeri
bahu dan pembatasan lingkup gerak sendi bahu yang dapat mengakibatkan
3. Etiologi
Etiologi dari frozen shoulder masih belum diketahui dengan pasti. Adapun
fakor predisposisinya antara lain periode immobilisasi yang lama, akibat trauma,
ischemic heart disease, TB paru, bronchritis kronis dan diabetes mellitus dan
diduga penyakit ini merupakan respon autoimun terhadap rusaknya jaringan lokal
(Appley, 1993).
Orthopedic Surgeon tahun 2000 mengenai frozen shoulder, teori tersebut adalah :
a. Teori hormonal.
b. Teori genetik.
contohnya ada beberapa kasus dimana kembar identik pasti menderita pada saat
yang sama.
14
d. Teori postur.
Banyak studi yang belum diyakini bahwa berdiri lama dan berpostur tegap
4. Patologi
statis vena dan kongesti sekunder bersama dengan vasospastik, ini akan
fibrous sehingga kapsul sendi akan kontraktur serta hilangnya lipatan inferior
sendi, fibrosis kapsul sendi meningkat sehingga mudah robek saat humeri
bergerak abduksi dan rotasi. Fibrous pada kapsul sendi ini akan mengakibatkan
adhesi antara lapisan bursa subdeltoidea, adhesi ekstra artikuler dan intra
menjadi terbatas.
terjadi peradangan atau degenerasi yang meluas ke sekitar dan ke dalam kapsul
sendi dan mengakibatkan terjadinya reaksi fibrous. Adanya reaksi fibrous dapat
istirahat, gerak sendi bahu menjadi terbatas selama 2-3 minggu dan masa akut ini
kekakuan atau perlengketan yang nyata dan keterbatasan gerak dari glenohumeral
yang di ikuti oleh keterbatasan gerak scapula. Fase ini berakhir 4-12 bulan.
nyeri dan tidak ada synovitis tetapi terdapat keterbatasan gerak karena
perlengketan yang nyata. Fase ini berakhir 6-24 bulan atau lebih.
Tanda dan gejala klinis yang sering timbul pada penderita frozen shoulder
a. Nyeri
Pasien berumur 40-60 tahun, dapat memiliki riwayat trauma, sering kali
ringan, diikuti sakit pada bahu dan lengan. Nyeri berangsur-angsur bertambah
berat dan pasien sering tidak bisa tidur pada sisi yang terkena, setelah beberapa
bulan nyeri mulai berkurang, tetapi sementara itu kekakuan semakin menjadi,
berlanjut terus selama 6-12 bulan setelah nyeri menghilang. Secara berangsur-
angsur pasien dapat bergerak kembali, tetapi tidak lagi normal (Appley, 1993).
Nyeri dirasakan pada daerah otot deltoideus. Bila terjadi pada malam hari
mengangkat lengan yang sakit yaitu saat fleksi dan abduksi sendi bahu di atas 90º
atau disebut dengan shrugging mechanism. Juga dapat dijumpai adanya atropi otot
biasanya dalam batas normal (Kuntono, 2004). Suatu arthritis pada bahu
keterbatasan lingkup gerak sendi glenohumeral yang nyata, baik gerakan aktif
maupun pasif. Sifat nyeri dan keterbatasan gerak sendi bahu dapat menunjukkan
pola yang spesifik, yaitu pola kapsuler. Pola kapsuler sendi bahu yaitu gerak
eksorotasi paling nyeri dan terbatas kemudian diikuti gerak abduksi dan
endorotasi, atau dengan kata lain gerak eksorotasi lebih nyeri dan terbatas
Gambar 2.6
Gambar 2.7
mechanism. Juga dapat dijumpai adanya atropi otot gelang bahu (dalam berbagai
tingkatan) (Kuntono, 2004). Biasanya tidak ada yang terlihat pada saat dilakukan
Dengan adanya beberapa tanda dan gejala klinis yang ditemukan pada
keterbatasan LGS, penurunan kekuatan otot dan atropi maka secara langsung akan
6. Komplikasi.
Pada kondisi frozen shoulder akibat capsulitis adhesiva yang berat dan
tidak dapat mendapatkan penanganan yang tepat dalam jangka waktu yang lama,
18
maka akan timbul problematik yang lebih berat antara lain : (1) Kekakuan sendi
Potensial terjadinya deformitas pada sendi bahu (4) Atropi otot-otot sekitar sendi
7. Prognosis.
sendinya. Pada usia lanjut LGS bahu tidak dapat kembali sempurna, tetapi hal ini
normal melihat usianya. Adanya penyakit penyerta seperti diabetes mellitus dapat
8. Diagnosis banding.
a. Tendinitis supraspinatus
humeri, akan melewati terowongan pada daerah bahu yang dibentuk oleh kaput
humeri sebagai alasnya, serta acromion dan ligamen korako acromialis sebagai
penutup bagian atasnya. Disini tendon tersebut akan saling bertumpang tindih
dengan tendon dari kaput longus biceps. Adanya gesekan berulang-ulang serta
dalam jangka waktu yang lama oleh tendon biceps ini akan mengakibatkan
supraspinatus 0-60 derajat keterbatasan gerak sendi bahu terutama abduksi dan
eksorotasi, nyeri tekan pada sekitar tendon otot supraspinatus, tes Appley stratch
b. Tendinitis bisipitalis
akibat jatuh atau dipukul pada bahu, dengan lengan dalam posisi adduksi serta
lengan bawah dalam posisi supinasi atau dapat juga terjadi pada orang-orang yang
bekerja keras pada posisi di atas secara berulang kali. Pemeriksaan fisik pada
nyeri tekan pada tendo otot biceps, tes Yergason disamping timbul nyeri juga
otot biceps tergelincir dan berada diluar sulkus bicipitalis sehingga terjadi
c. Bursitis subakromialis
yang dirasakan adalah pada lengan atas atau tepatnya pada insersio otot deltoideus
di tuberositas deltoidea humeri. Nyeri ini merupakan nyeri rujukan dari bursitis
subacromialis yang khas, ini dibuktikan dengan tidak adanya nyeri tekan pada
tuberkulum humeri. Pada pemeriksaan fisik dijumpai adanya painfull arc sub
acromialis 70º-120º, tes fleksi siku melawan tahanan pada posisi fleksi 90º
merasakan nyeri di daerah persendian bahu dan atasnya. Hal ini umum terjadi
20
pada anak atau orang dewasa muda. Tetapi pada orang jompo, mereka tidak
merasakan nyeri, melainkan datang dengan keluhan bahwa lengannya lemas tidak
bisa berabduksi (Sidharta, 1984). Pada orang tua, ruptur dapat terjadi karena
trauma yang ringan saja, disebabkan oleh adanya degenerasi pada rotator cuff.
Pada pemeriksaan fisik penderita dapat melakukan abduksi sampai 90º, namun
bila meneruskan abduksi tersebut tidak dapat dan lengan jatuh atau dengan
dilakukan tes lengan jatuh (drop arm test). Gerakan pasif tidak terdapat nyeri atau
1. Impairment
ditimbulkan antara lain adanya nyeri pada bahu, keterbatasan lingkup gerak sendi
2. Functional limitation
shoulder adalah keterbatasan gerak dan nyeri, oleh karena itu dalam keseharian
dompet dari saku belakang kesulitan memakai pakaian dalam bagi wanita dan
3. Participation restriction
pasien tersebut tidak percaya diri dan merasa kurang berguna dalam masyarakat,
kecacatan.
1. TENS Konvensional
yang besar sehingga menghambat transmisi implus nyeri pada level medulla
spinalis, sesuai dengan teori gerbang nyeri dan pada medulla oblongata dengan
pelepasan opioid endogen. Aplikasi elektroda tens dapat pada daerah paling nyeri
atau menurut dermatom, saraf perifer, motor point atau titik akupuntur. Bentuk
tens yang konvensoanal adalah arus berfrekensi tinggi dan durasi pendek (short
duration high frequency), sedangkan jenis baru dengan frekuensi rendah dan
durasi panjang (low frequency long duration). TENS diindikasikan pada nyeri
akut, kronis, dan spasme otot. TENS merupakan suatu cara penggunaan energy
segmental yaitu dengan jalan mengaktivasi serabut Abeta yang selanjutnya akan
pada teori gerbang control(gate control theory) yang dikemukakan oleh melzack
22
dan wall (1965) yang menyatakan bahwa gerbang terdiri dari sel internunsial yang
bersifat inhibisi yang dikenal sebagai substansia gelatinosa dan yang terletak di
kornu posterior dan sel T yang merelai informasi dari pusat yang lebih tinggi.
Tingkat aktivitas sel T ditentukan oleh keseim bangan asupan dari serabut
berdiameter besar A-β dan A-δ serta serabut berdiameter kecil A delta dan serabut
C. Asupan dari serabut saraf berdiameter kecil akan mengaktivasi sel T yang
hal ini juga akan mengaktifkan sel T. Namun pada saat yang bersamaan impuls
tersebut juga dapat memicu sel SG yang berdampak pada penurunan asupan
terhadap sel T yang berasal dari serabut berdiameter besar maupun kecil dengan
kata lain asupan impuls dari serabut berdiameter besar akan menutup gerbang dan
akan membloking transmisi impuls dari serabut aferen nociceptor sehingga nyeri
berkurang atau hilang. Pada penelitian yang dilakukan oleh Sjolund, (1985),
Woolf Mitchel dan barrett, (1980) woolf,Thompson dan king (1988) terhadap
datangnya dari otak. Garrison dan foreman (1994) menunjukkan bahwa TENS
secara bermakna mengurangi aktivitas sel nociceptor di kornu dorsalis saat TENS
diaplikasikan pada area somatic. Ini semua menunjukkan bahwa analgesia yang
analgesia yang ditimbulkan oleh TENS frekuensi tinggi ( High Frequensy TENS )
menghasilkan transmitter non opioid yang juga dapat bekerja sebagai inhibitor
Studi yang dilakukan oleh Duggan dan Foong (1985 ) terhadap binatang
tetapi tidak bertahan lama adalah sejalan dengan modal inhibisi sinapsis di tingkat
segmental.
2. SWD
oleh arus bolak-balik frekuensi tinggi.Frekuensi yang sering digunakan adalah 27,
peningkatan aliran pembuluh darah hingga 30ml per 100 gram dari jaringan lunak
(Michel, 2003)
3. Terapi Manipulasi
amplitudo kecil dan pasien tidak bisa mencegah gerakan yang terjadi, terapi
mobilisasi sendi adalah untuk mengembalikan fungsi sendi normal dan tanpa
nyeri. Secara mekanis, tujuannya adalah untuk memperbaiki joint play movement
dan dengan demikian memperbaiki roll-gliding yang terjadi selama gerakan aktif.
Terapi manipulasi harus diakhiri apabila sendi telah mencapai LGS maksimal
tanpa nyeri dan pasien dapat melakukan gerakan aktif dengan normal. Sebelum
permukaan sendi concave dan convex sebagai dasar arthrokinematik. Pada sendi
Sedang sendi yang berpermukaan concave arah gliding (sliding) searah dengan
tulang yang bergerak. Untuk traksi sendi bahu arahnya adalah ke lateral, ventral
cranial atau tegak lurus untuk permukaan sendi pada posisi loose packed position.
(Kuntono, 2004).
Gerakan translasi (traksi dan gliding) dibagi menjadi tiga gradasi. Gradasi
sehingga tidak sampai terasa adanya geseran permukaan sendi. Kekuatan gaya
tarik yang diberikan sebatas cukup untuk menetralisir gaya kompresi yang bekerja
pada sendi. Kombinasi antara tegangan otot, gaya kohevisitas kedua permukaan
c) Grade III Traksi dan Gliding dilakukan sampai diperoleh slack taken up
kemudian diberi gaya lebih besar lagi sehingga jaringan di sekitar persendian
saat melakukan terapi manipulasi adalah sebagai berikut : (1) Pasien diposisikan
nyaman sehingga otot-ototnya rileks dan sendi diposisikan pada maximaly loose
packed position (MLPP) atau actual resting position, untuk MLPP sendi bahu
60 fleksi dan 60 abduksi, (2) Posisi terapis harus ergonomi berdiri disamping
pasien sedekat mungkin dengan pasien. Kedua kaki terapis harus stabil dan
melebar selain itu usahakan gunakan gravitasi atau berat tubuh untuk mendorong
atau menarik, (3) Fiksasi bisa dengan tangan terapis atau dengan sabuk atau
difiksasi orang lain dan harus dilakukan sedekat mungkin dengan ruang sendi
tanpa menyebabkan nyeri, (4) Tangan terapis yang aktif atau yang bergerak
memegang bagian tubuh sedekat mungkin dengan ruang sendi untuk digerakkan
dan untuk mengurangi nyeri pegangan kadang-kadang dirubah, (5) Arah gerakan
dilakukan pada posisi maximaly loose packed position (MLPP) atau kalau tidak
kekakuan sendi selalu diawali dengan traksi-mobilisasi dan harus dilakukan tanpa
lain untuk mengurangi nyeri. Apabila terapi pertama tersebut ada perbaikan maka
2002).
3. Terapi Latihan
secara pasif maupun aktif. Atau dapat di definisikan sebagai suatu usaha untuk
mepercepat penyembuhan dari suatu cedera atau penyakit tertentu. Prinsip dasar
dalam melakukan terapi latihan adalah dengan dilakukan dengan tehnik yang
latihan adalah untuk mengulur jaringan lunak sekitar sendi yang mengalami
a. Active exercise
28
gerak sendi. Disini penulis memberikan latihan dengan menggunakan metode free
active exercise. Gerakan dilakukan oleh kekuatan otot penderita itu sendiri dengan
tidak menggunakan suatu bantuan dan tahanan yang berasal dari luar, kecuali
grafitasi. Efek yang dihasilkan dari free active exercise yaitu (1) relaksasi otot,
gerakan yang bergantian antara kontraksi dan relaksasi dapat membuat relaksasi
pada grup- grup otot tertentu, (2) meningkatkan koordinasi, dapat dikembangkan
dengan latihan yang berulang karena latihan yang membutuhkan konsentrasi dan
sirkulasi darah, saat exercise berlangsung kapiler darah pada otot melebar
dan pembuangan zat- zat yang tidak berguna menjadi lancar, (4) memelihara LGS
(Priatna, 1985). Latihan ini bisa dilakukan kapanpun dan dimanapun penderita
berada.