TINJAUAN PUSTAKA
Leher tersusun atas tujuh ruas tulang belakang cervical, yang secara
anatomis dan fungsionalnya dibagi menjadi dua kelompok berbeda yaitu bagian
atas yang terdiri dari ruas C1 (atlas) dan C2 (axis), dan lima ruas tulang belakang
cervical dibagian bawah yang terdiri dari ruas C3 sampai ruas C7 (Ombregt, 2013).
Gambar 2.1
Vertebrae cervical (Ombregt, 2013).
Keterangan gambar 2.1 :
1. Atlas
2. Axis
3. Vertebra C3-C7
8
9
Tulang vertebrae cervical pertama atau yang biasa disebut dengan tulang
atlas tidak memiliki korpus vertebrae karena telah tergabung dengan tulang axis
karena persendian diantara tulang atlas (C1) dan tulang axis (C2) ini tidak memiliki
diskus, sehingga diskus pertama terletak antara tulang axis (C2) dan tulang
Gambar 2.2
Vertebrae cervical pertama (atlas) (Ombregt, 2013).
Keterangan gambar 2.2 :
1. Tuberkulum anterior
2. Arkus anterior
3. Outline of the dens
4. Superior articular facet
5. Outline of transverse ligament
6. Groove for cervical artery and C1
7. Arkus posterior
8. Prosessus transversus
9. Foramen transversum
10. Vertebral foramen
11. Tuberkulum posterior
10
Gambar 2.3
Vertebrae cervical kedua (axis) (Ombregt, 2013).
Keterangan gambar 2.3 :
1. Dens (perlekatan ligamen apical)
2. Superior articular facet
3. Dens (perlekatan ligamen alar)
4. Foramen tranversum
5. Pedicle
6. Prosessus spinosus
7. Korpus vertebra
8. Prosessus transversus
9. Vertebral foramen
10. Inferior articular process
11. Lamina
11
Gambar 2.4
Vertebra C3 sampai C7 (Ombregt, 2013).
Keterangan gambar 2.4 :
1. Korpus vertebra
2. Superior articular process
3. Inferior articular process
4. Prosessus spinosus
5. Uncinate process
6. Foramen trasversum
7. Prosessus transersus
8. Pedicle
9. Vertebral foramen
10. Lamina
2. Ligamen
mempertahankan hubungan antar tulang. Ligamen pada regio leher terbagi menjadi
occipitoatlantoaxial complex ligament dan ligamen bagian bawah leher. Fungsi dari
bagian atas yang terdiri dari: (1) ligamen yang menghubungkan oksiput ke atlas;
12
dari cruciform ligament, dan alar ligament, (3) ligamen yang menghubungkan axis
dan ligamentum flavum, dan (4) ligamentum nuchae yang terletak di atas tonjolan
occipital eksternal. Sedangkan ligamen bagian bawah leher terdiri atas ligamen
(Ombregt, 2013).
13
Gambar 2.5
Ligamen region leher (Ombregt, 2013).
Keterangan gambar 2.5 :
1. Apical ligament
2. Cruciform ligament
3. Alar ligament
4. Bagian longitudinal dari ligamen cruciform
5. Bagian lateral dari ligamen cruciform
6. Accessory atlantoaxial ligaments
7. Ligamentum nuchae
8. Ligamen longitudinal anterior
9. Ligamen longitudinal posterior
10. Supraspinosum ligament
11. Intertransversum ligament
12. Interspinosum ligament
3. Otot-otot
Leher adalah salah satu area yang paling kompleks di dalam tubuh manusia,
terdapat beberapa struktur penting dan otot-otot kecil yang tidak dapat dipalpasi.
Namun, baik secara individu ataupun kelompok otot-otot tersebut berperan dalam
14
keseimbangan postur kepala dan leher (Palastanga dan Soames, 2012). Otot dalam
regio leher dapat dikelompokkan menjadi 3, yaitu kelompok otot yang terletak di
anterior, lateral dan posterior vertebrae cervical. Otot yang terletak dibagian
rectus capitis anterior dan lateralis). Sedangkan otot yang terletak di bagian
posterior adalah otot trapezius, levator scapulae, splenius capitis dan splenius
Pelaksanaan aktivitas yang berat pada posisi tubuh yang statis dan
penggunaan otot yang tidak terkontrol secara terus menerus dapat menimbulkan
gangguan pada otot rangka. Kerja otot yang statis meningkatkan tekanan pada otot,
gangguan nutrisi dan oksigen sehingga otot lebih mudah lelah saat bekerja statis
pada leher saat bekerja membutuhkan peran dari otot-otot cervical, yang memiliki
peran cukup besar dalam hal ini adalah m. upper trapezius, m. levator scapulae,
a. M. Sternocleidomastoideus
melekat pada manubrium sterni dan bagian lateral melekat pada clavicula. Insersio
otot menyatu dan melekat pada proccecus mastoideus dari tulang temporalis. Otot
akan menghasilkan gerakan lateral fleksi ipsilateral dan rotasi leher kontralateral
(Standring, 2016).
b. M. Levator scapulae
C3-C4, sedangkan insersio terdapat pada batas medial skapula antara superior
angle dan fossa supraspinatus. Otot levator scapulae jika berkontraksi secara
bersamaan pada kedua sisi atau bilateral akan menghasilkan gerakan ekstensi leher,
dan apabila berkontraksi secara unilateral leher akan bergerak ke arah fleksi
(Standring, 2016).
c. M. Upper trapezius
bagian atas ligamen nuchae serta linea nuchea (C6-Th3), sedangkan insersio
terdapat pada posterior border dari posterior triangle leher. Otot upper trapezius
berfungsi sebagai penggerak elevasi dan abduksi dari skapula dan fleksi lateral
leher jika bekerja secara unilateral, namun jika bekerja secara bilateral akan
d. M. Scalenie
medius, dan m. scalenie posterior yang memiliki origo pada dua tulang rusuk paling
atas dan insersio dari prosesus transversus vertebrae cervical. Otot-otot ini apabila
Gambar 2.6
Otot-otot regio leher (Drake et al, 2015)
Keterangan gambar 2.6 :
1. m. sternocleudomastoideus
2. m. levator scapulae
3. m. trapezius
4. m. scalenie anterior
5. m. scalenie medius
6. m. scalenie posterior
4. Biomekanik leher
Leher merupakan regio dengan tingkat mobilitas yang paling tinggi dari
seluruh bagian tulang vertebra dan tersusun atas 3 sendi, yaitu atlanto-occipital
joint (C0-C1), atlanto-axial joint (C1-C2), dan vertebrae joints (C2-C7). Adapun
gerakan yang dihasilkan pada regio ini yaitu fleksi, ekstensi, rotasi dan lateral fleksi
fleksi cervical. Arthokinematika pada gerakan fleksi yaitu condylus yang memiliki
permukaan konvek akan slide ke arah posterior terhadap facet articularis yang
condylus yang memiliki permukaan konvek akan slide ke arah anterior terhadap
fleksi, cervical akan rolling ke sisi-sisi pada jumlah yang kecil pada condylus
occipital yang memiliki permukaan konvek terhadap facet articularis (atlas) yang
dan fleksi-ekstensi. Pada gerakan fleksi arthokinematika yang akan terjadi yakni
pivot bergerak ke arah anterior dan sedikit berputar pada atlas terhadap axis (C2)
sebesar 15o, sedangkan pada gerakan ekstensi pivot akan bergerak ke arah posterior
dan sedikit berputar pada atlas terhadap axis (C2). Pada gerakan rotasi cervical,
atlas yang berbentuk cincin akan berputar disekitar prosesus odontoid bagian
prosesus artikularis inferior atlas yang sedikit konkaf akan slide dengan arah
(Neumann, 2010).
Pada vertebrae joints terjadi gerakan fleksi-ekstensi, rotasi, dan lateral fleksi
superior yang berbentuk konkaf akan slide ke arah superior dan anterior terhadap
konkaf akan slide ke arah inferior dan posterior terhadap prosesus artikularis
superior vertebra inferior sebesar 70o. Pada gerakan rotasi akan terjadi slide pada
prosesus artikularis inferior vertebra superior ke arah posterior dan inferior pada
ipsilateral arah rotasi dan akan terjadi slide ke arah supero-anterior pada sisi
Gerakan lateral fleksi cervical, prosesus artikularis inferior vertebra superior pada
sisi ipsilateral slide ke arah inferior dan sedikit ke posterior dan pada sisi
(Neumann, 2010).
Menurut Hidalgo, et al (2017) definisi non specific neck pain adalah nyeri
pada aspek posterior dan lateral leher di antara superior nuchal line dan processus
spinosus thoracic pertama tanpa tanda atau gejala patologi struktural, serta tidak
adanya tanda kelainan saraf dan spesifik patologi seperti traumatic sprain, fraktur,
tumor, spondylolysis segmen cervical, dan lain lain. Non specific neck pain juga
biasa disebut sebagai mechanical neck pain, yaitu nyeri disekitar leher dan bahu
yang disebabkan oleh pembebanan secara mekanik akibat postur yang tidak tepat
atau adanya ketegangan pada otot di area leher. Problematika yang dirasakan oleh
19
penderita non specific neck pain berkaitan dengan keluhan nyeri, keterbatasan gerak
Non specific neck pain merupakan keluhan yang paling banyak terjadi pada
pekerja terutama para pekerja yang melakukan pekerjaanya secara berulang dalam
posisi statik dengan jangka waktu yang panjang. Gejala yang sering menyertai non
specific neck pain yakni kaku pada leher yang dapat terjadi pada unilateral atau
bilateral leher. Nyeri yang muncul murni disebabkan oleh sistem muskuloskeletal
di regio leher yang sering berhubungan dengan postur tubuh atau posisi leher yang
tidak ergonomis saat bekerja, beban kerja otot leher yang berlebihan dalam jangka
waktu tertentu serta tuntutan pekerjaan yang tinggi (Andersen et al, 2011).
Tanda dan gejala dari non specific neck pain antara lain terasa sakit di daerah
leher, kaku pada otot-otot leher, dan sakit kepala pada satu sisi atau dua sisi.
Lokalisasi nyeri dapat menjalar hingga ke belakang kepala, bahu hingga skapula
akibat nyeri pada leher berupa ketegangan otot atau spasme di daerah leher yang
fungsional leher.
20
multifaktor dimana terdapat beberapa faktor risiko yang menyebabkan nyeri leher.
Faktor risiko pada nyeri leher ini dapat dikategorikan sebagai faktor psikologis
autoimun, genetik, umur, jenis kelamin). Namun, penyebab nyeri leher yang paling
sering dialami, diantaranya: (1) posisi postur saat bekerja, (2) masalah emosi (stres,
Leher memiliki postur normal yang dapat digambarkan sebagai berikut: (1)
tidak ada aktivitas otot yang berlebihan selain fungsinya dalam menyangga kepala,
(2) diskus intervetrebralis dan nucleus pulposus berada pada posisi fisiologis, (3)
sendi zygapophyseal dalam posisi lurus dan tidak menyangga beban berlebihan, (4)
foramen intervetrebralis bebas dari sumbatan sebagai jalur akar saraf. Dalam
rangka mempertahankan postur fisiologis tubuh, maka posisi kepala harus berada
pada apex vertebrae cervical yakni satu garis dengan centre of gravity dengan kurva
lordosis vertebrae cervical, kurva kifosis vertebrae thoracal, dan kurva lordosis
vertebrae lumbal dalam batas normal (Cailliet, 1991, dikutip oleh Azizah, 2021).
Pada nyeri leher faktor risiko yang paling sering dilaporkan adalah posisi
postur saat bekerja yang tidak ergonomis, hal ini berhubungan dengan tuntutan
pekerjaan yang tinggi sehingga mempengaruhi dua aspek yaitu durasi kerja dan
beban kerja yang berat (Kazeminasab et al, 2022). Para pekerja dengan aktivitas
21
duduk yang tidak ergonomis dalam jangka waktu yang lama, seringkali posisi
postur tersebut dapat mengganggu keseimbangan otot penyangga leher, hal ini tentu
serta keterbatasan fungsional leher (Cailliet, 1991, dikutip oleh Azizah, 2021).
hiperalgesia atau respon yang berlebihan terhadap stimulus yang secara normal
atau emosi seperti stres, kecemasan dan depresi akan memperburuk tingkat nyeri,
c. Trauma eksternal
kimia pemicu nyeri. Pada umumnya nyeri akan menimbulkan reflek kontraksi
isometrik otot sebagai bentuk perlindungan dari keruskan yang terjadi. Reflek
perlindungana atau pertahanan dan hingga gerak yang terbatas (Cailliet, 1991,
Sikap kerja dengan posisi tidak ergonomis yang dilakukan dalam waktu
pada otot-otot yang memiliki peran menjaga postur normal kepala dan leher.
Pemendekan otot ini akan diikuti oleh ketegangan otot (As-syifa et al, 2020).
Dengan adanya ketegangan otot (mucle tension) pada leher akan meningkatkan
tekanan intramuscular yang dapat mengurangi sirkulasi pada otot sehingga akan
terjadi peningkatan jaringan kolagen yang menyilang satu sama lain. Hal ini akan
maka sirkulasi darah yang kaya akan oksigen pada otot akan berkurang, hal ini
elastisitas dan fleksibilitas, dimana otot tidak mampu untuk memanjang atau
mengulur dengan maksimal sehingga terdapat hambatan pada bagian tubuh untuk
bergerak dan terjadi penurunan kemampuan leher untuk melakukan aktivitas sesuai
secara isometrik pada otot agonis atau antagonis yang disadari oleh individu
tersebut pada arah yang terkontrol dan melawan gaya atau tahanan yang diberikan
oleh terapis. Muscle energy technique dapat digunakan pada kasus disfungsi
somatik yang mengalami hipertonus, nyeri, dan penurunan lingkup gerak sendi.
tahanan minimal 20 – 30% dari kekuatan otot, melibatkan breathing control dari
melakukan kontraksi isometrik dan diakhiri dengan stretching atau penguluran pada
otot agonis dan antagonis yang bertujuan untuk meningkatkan tonus otot yang
jaringan yang lebih lanjut serta menurunkan nyeri dan meningkatkan fungsi
(PIR) mengacu pada penurunan tonus otot agonis yang terjadi setelah kontraksi
isometrik. Penurunan tonus otot terjadi akibat dari peregangan reseptor atau golgi
tendon organ pada otot agonis yang mengirim impuls aferen melewati spinal cord
menuju inhibitor motor neuron, lalu menghentikan pelepasan impuls efferent motor
neuron dan mencegah kontraksi lebih lanjut, sehingga tonus otot menurun dan
menghasilkan efek rileksasi (Cailliet, 2014, dikutip oleh Jehaman et al, 2020).
memiliki prinsip ketika otot agonis berkontraksi dan memendek, maka otot
antagonis rileks dan memanjang sehingga terjadi gerakan dibawah pengaruh otot
agonis. Proprioceptive pada muscle spindle akan merangsang serabut saraf aferen
dan bertemu dengan rangsangan motor neuron pada otot agonis dan pada saat yang
secara lanjut, sehingga menghasilkan otot agonis yang berkontraksi dan memendek,
fungsional
Muscle energy technique (MET) memiliki dua teknik yaitu teknik isometric
muscle energy technique atau post isometric relaxation (PIR) dan isotonic muscle
energy technique atau reciprocal inhibition (RI). Namun pada penelitian ini,
peneliti memeilih menggunakan teknik PIR yang mengacu pada penurunan tonus
otot agonis yang terjadi setelah kontraksi isometrik. Pemberian PIR akan
menstimulasi golgi tendon organ (GTO) sebagai reseptor otot, impuls dari golgi
tendon organ akan dilanjutkan oleh saraf afferent menuju spinal cord bagian dorsal
kontraksi yang lebih lanjut sehingga terjadi rileksasi otot. Rileksasi yang terjadi
pada otot akan meningkatkan sirkulasi darah dan metabolisme tubuh sehingga nyeri
berkurang (Cailliet, 2014, dikutip oleh Jehaman et al, 2020). Dengan berkurangnya
bergerak dengan lingkup gerak sendi yang maksimal dan kemampuan aktivitas
spasme, spastisitas, dan pemendekan atau kontraktur pada soft tissue (otot dan
fascia), (2) terdapat malposisi pada struktur tulang, (3) meningkatkan luas gerak
26
sendi pada jaringan otot yang mengalami kelemahan, dan (4) perbaikan gerakan
muskuloskeletal akut, (2) fraktur tulang, (3) osteoporosis, dan (4) terdapat
Dalam pelakasanaan MET pada kasus non specific neck pain, dilakukan
pada otot utama sebagai penyangga leher, yakni otot sternocleidomastoideus, otot
subjek dalam keadaan tidur terlentang dengan kepala disanggah dalam posisi netral
oleh salah satu tangan terapis dan bahu dalam kondisi rileks, (2) berikan bantal atau
handuk di bawah area thoraks agar posisi leher ekstensi 10-15o saat diletakkan di
atas tempat tidur, (3) letakkan lengan sisi kolateral subjek di atas dada sebagai
otot secara isometrik dengan mengangkat kepala selama 5-7 detik dan mengontrol
selama minimal 30 detik, hal ini dilakukan secara bersamaan saat subjek
Gambar 2.7
Pelaksanaan MET pada otot sternocleidomastoideus kanan (Chaitow, 2013).
Pelaksanaan MET pada otot levator scapula yakni: (1) posisikan subjek
dalam keadaan tidur terlentang dengan lengan subjek lurus sepanjang trunk, (2)
tangan terapis yang kontralateral dengan sisi lesi menopang leher subjek dalam
keadaan fleksi penuh, lateral fleksi dan rotasi kontralateral, (3) tangan terapis
satunya berada di bawah bahu pada scapula subjek dan mendorongnya ke arah
melawan arah tahanan dari terapis tanpa adanya gerakan atau secara isometrik
selama 5-7 detik serta mengontrol pernapasan, dan (5) terapis melonggarkan
tahanan dan melakukan stretching selama minimal 30 detik, hal ini dilakukan
Gambar 2.8
Pelaksanaan MET pada otot levator scapula kanan (Chaitow, 2013).
Pelaksanaan MET pada otot upper trapezius yakni: (1) posisikan subjek
dalam keadaan tidur terlentang dengan leher lateral fleksi penuh dan sedikit rotasi
kontralateral, (2) tangan terapis berada pada bahu subjek sedangkan tangan yang
berada pada sisi lesi menopang vertebrae cervical daerah atlanto-occipital, (3)
subjek diminta untuk melawan tahanan dari terapis secara isometrik selama 5-7
detik dan mengontrol pernapasan, (4) terapis melonggarkan tahanan dan melakukan
stretching selama minimal 30 detik, hal ini dilakukan secara bersamaan saat subjek
Gambar 2.9
Pelaksanaan MET pada otot upper trapezius kanan (Chaitow, 2013).
29
Pelaksanaan MET pada otot scaleni yakni: (1) posisikan subjek dalam
keadaan tidur terlentang dengan bantal di bawah area thoraks agar posisi leher
sedikit ekstensi, (2) gerakkan kepala ke arah lateral fleksi dan rotasi kontralateral
penuh, (3) tangan terapis yang kontralateral dengan sisi lesi menopang kepala atau
leher subjek sedangkan tangan satunya berada di dahi subjek untuk menahan
kontraksi isometrik, (4) subjek diberi intruksi untuk melawan tahanan terapis
selama 5-7 detik dan mengontrol pernapasan, (4) terapis melonggarkan tahanan dan
melakukan stretching selama minimal 30 detik, hal ini dilakukan secara bersamaan
Gambar 2.10
Pelaksanaan MET pada otot scaleni kanan (Chaitow, 2013).
30
D. Myofascial Release
ikatan antar fascia dengan kulit, otot, dan tulang, dengan tujuan mengurangi nyeri,
al, 2017). Menurut Ringgs dan Grant (2008), myofascial release adalah terapi yang
memanjangkan struktur otot dan myofascia dengan tujuan melepas adhesion atau
fungsional
vasodilatasi pada area yang diberi terapi sehingga timbul efek menenangkan yang
dapat mengurangi nyeri serta terlepasnya zat serotonin. Dengan adanya vasodilatasi
akan membuat aliran darah kembali normal serta kebutuhan oksigen dan nutrisi
yang terpenuhi sehingga otot menjadi rileks dan nyeri akan berkurang (Werenski,
2011). Adanya pengurangan nyeri pada otot maka akan menimbulkan gerakan yang
31
tender points, (2) fibromyalgia, (3) myofascial pain dysfunction, (4) dizziness dan
(2) fraktur tulang, (3) inflamasi atau kulit yang hipersensitif, (4) infeksi pada kulit,
(5) osteoporosis, (6) osteomyelitis, (7) terapi kortison atau pengencer darah, (8)
deep vain thrombosis, dan (9) patologi keganasan dan radioterapi (Duncan, 2014).
tekniknya, yaitu direct myofascial release, indirect myofascial release dan self
tekniknya langsung bekerja pada jaringan fascia yang terbatas. Pada teknik ini,
praktisi bisa menggunakan jari-jari tangan, siku atau alat lain untuk perlahan-lahan
myofascial release adalah sebuah metode dengan penguluran pada fascia dengan
32
cara meregangkan fascia secara gentle, kemudian menahan uluran 5 menit sampai
fascia terulur dengan sendirinya. Sedangkan, self myofascial release adalah teknik
yang digunakan pada individu sendiri dengan bantuan alat seperti bola atau foam
roller sebagai alat bantu dan mengandalkan gravitasi sebagai tekanan (Shah dan
Bhalara, 2012).
Menurut Duncan (2014), teknik myofascial release meliputi: (1) cross hand
release, (2) longitudinal plane release, (3) compression release, (4) transverse
plane release, (5) myofascial unwinding, (6) myofascial rebounding, dan (7)
scapula, otot upper trapezius, dan otot scaleni selama 30 detik dengan 5x
Gambar 2.11
Pelaksanaan direct myofascial release (dokumen pribadi, 2022).
E. Aktivitas Fungsional
bekerja, mengemudi, tidur, dan rekreasi (Putra et al, 2020). Adapun aktivitas
oleh lingkup gerak sendi, fleksibilitas jaringan dan adanya nyeri (Trisnowiyanto,
2017).
semaksimal mungkin sehingga tubuh dapat bergerak dengan lingkup gerak sendi
yang maksimal tanpa disertai rasa nyeri. Fleksibilitas yang baik tidak akan
menghambat tubuh untuk bergerak, maka dari itu memelihara fleksibilitas otot juga
ketahanan statis dan dinamis, memelihara luas gerak sendi dan kelenturan leher,
fungsional pada leher adalah menggunakan kuesioner neck disability index (NDI).
NDI merupakan kuesioner yang mengevaluasi intensitas nyeri dan aktivitas sehari -
NDI memiliki tingkat reliabilitas dengan nilai 0.859, sedangkan untuk validitas alat
ukur adalah (0.61. < r ≤ 0.80) sehingga dapat disimpulkan bahwa alat ukur NDI
memiliki nilai reliabilitas dan validitas yang tinggi (Putra et al, 2020).
34
specific neck pain” dengan jumlah subjek yang diteliti sebanyak 44 peserta yang
peserta, empat keluar dengan alasan tidak menyelesaikan terapi hingga akhir.
Penelitian ini berlangsung selama 4 minggu, dengan NPRS untuk mengukur skala
nyeri, NDI untuk mengukur keterbatasan aktivitas sehari-hari dan AROM yang
diperiksa sebelum dan setelah penelitian. Hasil penelitian menunjukan bahwa tidak
ada perbedaan yang signifikan antara kedua kelompok, namun kelompok dengan
intervensi muscle energy technique lebih unggul dalam mengurangi nyeri dan
energy technique in the rehabilitative treatment for acute and chronic non-specific
neck pain: a systematic review”. Jumlah literatur yang sesuai dan sudah memenuhi
bahasan tentang pengaruh muscle energy technique pada kasus non specific acute
neck pain dan 6 literatur lainnya pada kasus non specific chronic neck pain. Dalam
technique pada non specific neck pain baik akut maupun kronis efektif dalam
with chronic mechanical neck pain: a randomized controlled trial” dengan jumlah
terapi latihan berupa stretching dan strengthening, dengan jumlah subjek masing-
masing kelompok sebanyak 20 peserta. Penelitian ini dilakukan tiga kali per-
minggu selama 4 minggu serta dilakukan pre-test dan post-test menggunakan alat
ukur VAS, cervical ROM, dan NDI. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
neck pain.
in patients with chronic neck pain: a randomized controlled trial”. Penelitian ini
dilakukan pada 40 subjek, terbagi menjadi dua kelompok secara random yaitu
aktivitas fungsional.
36
G. Kerangka Pikir
Gambar 2.12
Kerangka pikir
37
H. Kerangka Konsep
Gambar 2.13
Kerangka konsep
Keterangan gambar 2.13 :
Subjek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi akan dibagi menjadi 2
kelompok. Kelompok MET akan diberikan intervensi muscle energy technique,
sedangkan kelompok MR akan diberikan intervensi myofascial release. Dalam
memberikan perlakuan faktor-faktor yang dapat dikendalikan oleh terapis adalah
39
dosis dan keterampilan terapis, sedangkan faktor yang tidak dapat dikendalikan
oleh terapis adalah medikamentosa yang diberikan oleh dokter, aktivitas yang
dilakukan oleh subjek serta faktor psikologis dan sosial subjek. Hasil dari tindakan
tersebut berupa peningkatan aktivitas fungsional yang kemudian dibandingkan
antara kelompok muscle energy technique dan kelompok myofascial release.
I. Hipotesis
penelitian ini adalah: (1) ada pengaruh muscle energy technique terhadap
peningkatan aktivitas fungsional pada non specific neck pain, (2) ada pengaruh
neck pain, (3) muscle energy technique lebih efektif terhadap peningkatan aktivitas