Anda di halaman 1dari 32

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Fungsional Leher

1. Tulang penyusun leher

Leher tersusun atas tujuh ruas tulang belakang cervical, yang secara

anatomis dan fungsionalnya dibagi menjadi dua kelompok berbeda yaitu bagian

atas yang terdiri dari ruas C1 (atlas) dan C2 (axis), dan lima ruas tulang belakang

cervical dibagian bawah yang terdiri dari ruas C3 sampai ruas C7 (Ombregt, 2013).

Gambar 2.1
Vertebrae cervical (Ombregt, 2013).
Keterangan gambar 2.1 :
1. Atlas
2. Axis
3. Vertebra C3-C7

8
9

Tulang vertebrae cervical pertama atau yang biasa disebut dengan tulang

atlas tidak memiliki korpus vertebrae karena telah tergabung dengan tulang axis

(C2) membentuk prosessus odontoid. Pada vertebrae cervical terdapat 6 diskus,

karena persendian diantara tulang atlas (C1) dan tulang axis (C2) ini tidak memiliki

diskus, sehingga diskus pertama terletak antara tulang axis (C2) dan tulang

vertebrae cervical ketiga kemudian berlanjut menuju persendian antara C7 dan

thoracal pertama (Ombregt, 2013).

Gambar 2.2
Vertebrae cervical pertama (atlas) (Ombregt, 2013).
Keterangan gambar 2.2 :
1. Tuberkulum anterior
2. Arkus anterior
3. Outline of the dens
4. Superior articular facet
5. Outline of transverse ligament
6. Groove for cervical artery and C1
7. Arkus posterior
8. Prosessus transversus
9. Foramen transversum
10. Vertebral foramen
11. Tuberkulum posterior
10

Gambar 2.3
Vertebrae cervical kedua (axis) (Ombregt, 2013).
Keterangan gambar 2.3 :
1. Dens (perlekatan ligamen apical)
2. Superior articular facet
3. Dens (perlekatan ligamen alar)
4. Foramen tranversum
5. Pedicle
6. Prosessus spinosus
7. Korpus vertebra
8. Prosessus transversus
9. Vertebral foramen
10. Inferior articular process
11. Lamina
11

Gambar 2.4
Vertebra C3 sampai C7 (Ombregt, 2013).
Keterangan gambar 2.4 :
1. Korpus vertebra
2. Superior articular process
3. Inferior articular process
4. Prosessus spinosus
5. Uncinate process
6. Foramen trasversum
7. Prosessus transersus
8. Pedicle
9. Vertebral foramen
10. Lamina

2. Ligamen

Tulang belakang cervical memiliki ligamen kompleks yang berfungsi

mempertahankan hubungan antar tulang. Ligamen pada regio leher terbagi menjadi

occipitoatlantoaxial complex ligament dan ligamen bagian bawah leher. Fungsi dari

occipitoatlantoaxial complex ligament adalah menstabilkan tulang belakang leher

bagian atas yang terdiri dari: (1) ligamen yang menghubungkan oksiput ke atlas;
12

anterior dan posterior atlanto-occipital membrane serta tectorial membrane, (2)

ligamen yang menghubungkan axis ke oksiput; apical ligament, bagian longitudinal

dari cruciform ligament, dan alar ligament, (3) ligamen yang menghubungkan axis

ke atlas; bagian lateral dari cruciform ligament, accessory atlantoaxial ligaments,

dan ligamentum flavum, dan (4) ligamentum nuchae yang terletak di atas tonjolan

occipital eksternal. Sedangkan ligamen bagian bawah leher terdiri atas ligamen

longitudinal anterior, ligamen longitudinal posterior, ligamentum flavum,

intertransversum ligament, interspinosum ligament, dan supraspinosum ligament

(Ombregt, 2013).
13

Gambar 2.5
Ligamen region leher (Ombregt, 2013).
Keterangan gambar 2.5 :
1. Apical ligament
2. Cruciform ligament
3. Alar ligament
4. Bagian longitudinal dari ligamen cruciform
5. Bagian lateral dari ligamen cruciform
6. Accessory atlantoaxial ligaments
7. Ligamentum nuchae
8. Ligamen longitudinal anterior
9. Ligamen longitudinal posterior
10. Supraspinosum ligament
11. Intertransversum ligament
12. Interspinosum ligament

3. Otot-otot

Leher adalah salah satu area yang paling kompleks di dalam tubuh manusia,

terdapat beberapa struktur penting dan otot-otot kecil yang tidak dapat dipalpasi.

Namun, baik secara individu ataupun kelompok otot-otot tersebut berperan dalam
14

keseimbangan postur kepala dan leher (Palastanga dan Soames, 2012). Otot dalam

regio leher dapat dikelompokkan menjadi 3, yaitu kelompok otot yang terletak di

anterior, lateral dan posterior vertebrae cervical. Otot yang terletak dibagian

anterior-lateral adalah otot stenocleidomastoideus, scaleni (anterior, medius, dan

posterior), prevertebralis cervical (m. longus colli, m. longus capitits, serta m.

rectus capitis anterior dan lateralis). Sedangkan otot yang terletak di bagian

posterior adalah otot trapezius, levator scapulae, splenius capitis dan splenius

cervicis (Standring et al, 2016).

Pelaksanaan aktivitas yang berat pada posisi tubuh yang statis dan

penggunaan otot yang tidak terkontrol secara terus menerus dapat menimbulkan

gangguan pada otot rangka. Kerja otot yang statis meningkatkan tekanan pada otot,

yang dapat mengoklusi sirkulasi secara parsial maupun total menyebabkan

gangguan nutrisi dan oksigen sehingga otot lebih mudah lelah saat bekerja statis

dibandingkan saat bekerja secara dinamis. Dalam mempertahankan posisi tegak

pada leher saat bekerja membutuhkan peran dari otot-otot cervical, yang memiliki

peran cukup besar dalam hal ini adalah m. upper trapezius, m. levator scapulae,

m. sternocleidomastoideus dan m. scaleni (Kudsi, 2015).

a. M. Sternocleidomastoideus

Otot sternocleidomastoideus berorigo di dua kaput, yaitu bagian medial

melekat pada manubrium sterni dan bagian lateral melekat pada clavicula. Insersio

otot menyatu dan melekat pada proccecus mastoideus dari tulang temporalis. Otot

sternocleidomastoideus jika berkontraksi secara bersaman pada kedua sisi akan

menghasilkan gerakan fleksi leher, sedangkan jika berkontraksi secara unilateral


15

akan menghasilkan gerakan lateral fleksi ipsilateral dan rotasi leher kontralateral

(Standring, 2016).

b. M. Levator scapulae

Otot levator scapulae berorigo pada posterior tuberkel prosessus transversus

C3-C4, sedangkan insersio terdapat pada batas medial skapula antara superior

angle dan fossa supraspinatus. Otot levator scapulae jika berkontraksi secara

bersamaan pada kedua sisi atau bilateral akan menghasilkan gerakan ekstensi leher,

dan apabila berkontraksi secara unilateral leher akan bergerak ke arah fleksi

(Standring, 2016).

c. M. Upper trapezius

Otot upper trapezius berorigo pada protuberentia oksipital eksterna dan

bagian atas ligamen nuchae serta linea nuchea (C6-Th3), sedangkan insersio

terdapat pada posterior border dari posterior triangle leher. Otot upper trapezius

berfungsi sebagai penggerak elevasi dan abduksi dari skapula dan fleksi lateral

leher jika bekerja secara unilateral, namun jika bekerja secara bilateral akan

menghasilkan gerakan ekstensi kepala (Palastanga dan Soames, 2012).

d. M. Scalenie

Otot scalenie terdiri atas 3 otot yaitu m. scalenie anterior, m. scalenie

medius, dan m. scalenie posterior yang memiliki origo pada dua tulang rusuk paling

atas dan insersio dari prosesus transversus vertebrae cervical. Otot-otot ini apabila

berkontraksi bilateral akan menghasilkan gerakan fleksi leher, sedangkan apabila

berkontraksi unilateral maka akan menghasilkan gerakan fleksi lateral ipsilateral

dan rotasi kontralateral (Palastanga dan Soames, 2012).


16

Gambar 2.6
Otot-otot regio leher (Drake et al, 2015)
Keterangan gambar 2.6 :
1. m. sternocleudomastoideus
2. m. levator scapulae
3. m. trapezius
4. m. scalenie anterior
5. m. scalenie medius
6. m. scalenie posterior

4. Biomekanik leher

Leher merupakan regio dengan tingkat mobilitas yang paling tinggi dari

seluruh bagian tulang vertebra dan tersusun atas 3 sendi, yaitu atlanto-occipital

joint (C0-C1), atlanto-axial joint (C1-C2), dan vertebrae joints (C2-C7). Adapun

gerakan yang dihasilkan pada regio ini yaitu fleksi, ekstensi, rotasi dan lateral fleksi

cervical (Neumann, 2010).


17

a. Atlanto-occipital joint (C0-C1)

Atlanto-occipital joint berperan dalam gerakan fleksi-ekstensi dan lateral

fleksi cervical. Arthokinematika pada gerakan fleksi yaitu condylus yang memiliki

permukaan konvek akan slide ke arah posterior terhadap facet articularis yang

memiliki permukaan konkaf sebesar 10 o. Sedangkan pada gerakan ekstensi,

condylus yang memiliki permukaan konvek akan slide ke arah anterior terhadap

facet articularis yang berpermukaan konkav sebesar 17 o. Pada gerakan lateral

fleksi, cervical akan rolling ke sisi-sisi pada jumlah yang kecil pada condylus

occipital yang memiliki permukaan konvek terhadap facet articularis (atlas) yang

berpermukaan konkaf sebesar 5o (Neumann, 2010).

b. Atlanto-axial joint (C1-C2)

Atlanto-axial joint memiliki gerakan utama berupa gerakan rotasi cervical

dan fleksi-ekstensi. Pada gerakan fleksi arthokinematika yang akan terjadi yakni

pivot bergerak ke arah anterior dan sedikit berputar pada atlas terhadap axis (C2)

sebesar 15o, sedangkan pada gerakan ekstensi pivot akan bergerak ke arah posterior

dan sedikit berputar pada atlas terhadap axis (C2). Pada gerakan rotasi cervical,

atlas yang berbentuk cincin akan berputar disekitar prosesus odontoid bagian

prosesus artikularis inferior atlas yang sedikit konkaf akan slide dengan arah

sirkuler (melingkar) terhadap prosesus artikularis superior axis sebesar 45 o

(Neumann, 2010).

c. Vertebrae joints (C2-C7)

Pada vertebrae joints terjadi gerakan fleksi-ekstensi, rotasi, dan lateral fleksi

cervical. Saat gerakan fleksi, permukaan prosesus artikularis inferior vertebra


18

superior yang berbentuk konkaf akan slide ke arah superior dan anterior terhadap

prosesus atrikularis superior vertebra inferior sebesar 40 o. Sedangkan pada gerakan

ekstensi, permukaan prosesus artikularis inferior vertebra superior yang berbentuk

konkaf akan slide ke arah inferior dan posterior terhadap prosesus artikularis

superior vertebra inferior sebesar 70o. Pada gerakan rotasi akan terjadi slide pada

prosesus artikularis inferior vertebra superior ke arah posterior dan inferior pada

ipsilateral arah rotasi dan akan terjadi slide ke arah supero-anterior pada sisi

kontralateral terhadap prosesus artikularis superior vertebra inferior sebesar 45 o.

Gerakan lateral fleksi cervical, prosesus artikularis inferior vertebra superior pada

sisi ipsilateral slide ke arah inferior dan sedikit ke posterior dan pada sisi

kontralateral akan slide ke arah superior dan sedikit ke anterior sebesar 35 o

(Neumann, 2010).

B. Non Spesific Neck Pain

1. Definisi non specific neck pain

Menurut Hidalgo, et al (2017) definisi non specific neck pain adalah nyeri

pada aspek posterior dan lateral leher di antara superior nuchal line dan processus

spinosus thoracic pertama tanpa tanda atau gejala patologi struktural, serta tidak

adanya tanda kelainan saraf dan spesifik patologi seperti traumatic sprain, fraktur,

tumor, spondylolysis segmen cervical, dan lain lain. Non specific neck pain juga

biasa disebut sebagai mechanical neck pain, yaitu nyeri disekitar leher dan bahu

yang disebabkan oleh pembebanan secara mekanik akibat postur yang tidak tepat

atau adanya ketegangan pada otot di area leher. Problematika yang dirasakan oleh
19

penderita non specific neck pain berkaitan dengan keluhan nyeri, keterbatasan gerak

sendi, dan keterbatasan saat melakukan aktivitas keseharian yang dapat

mempengaruhi kualitas hidup (Nugraha et al., 2019).

Non specific neck pain merupakan keluhan yang paling banyak terjadi pada

pekerja terutama para pekerja yang melakukan pekerjaanya secara berulang dalam

posisi statik dengan jangka waktu yang panjang. Gejala yang sering menyertai non

specific neck pain yakni kaku pada leher yang dapat terjadi pada unilateral atau

bilateral leher. Nyeri yang muncul murni disebabkan oleh sistem muskuloskeletal

di regio leher yang sering berhubungan dengan postur tubuh atau posisi leher yang

tidak ergonomis saat bekerja, beban kerja otot leher yang berlebihan dalam jangka

waktu tertentu serta tuntutan pekerjaan yang tinggi (Andersen et al, 2011).

2. Tanda dan gejala non specific neck pain

Tanda dan gejala dari non specific neck pain antara lain terasa sakit di daerah

leher, kaku pada otot-otot leher, dan sakit kepala pada satu sisi atau dua sisi.

Lokalisasi nyeri dapat menjalar hingga ke belakang kepala, bahu hingga skapula

(As-syifa et al, 2020). Menurut Trisnowiyanto (2017) gejala yang ditimbulkan

akibat nyeri pada leher berupa ketegangan otot atau spasme di daerah leher yang

mengakibatkan keterbatasan gerak leher sehingga akan menghambat aktivitas

fungsional leher.
20

3. Faktor risiko non specific neck pain

Menurut Kazeminasab, et al (2022) nyeri leher merupakan penyakit

multifaktor dimana terdapat beberapa faktor risiko yang menyebabkan nyeri leher.

Faktor risiko pada nyeri leher ini dapat dikategorikan sebagai faktor psikologis

(stres, depresi, kecemasan, gangguan tidur, perilaku, social support, personalitas)

dan faktor individu atau biologis (gangguan neuromuskuloskeletal, postur,

autoimun, genetik, umur, jenis kelamin). Namun, penyebab nyeri leher yang paling

sering dialami, diantaranya: (1) posisi postur saat bekerja, (2) masalah emosi (stres,

kecemasan, depresi), dan (3) trauma eksternal.

a. Posisi postur saat bekerja

Leher memiliki postur normal yang dapat digambarkan sebagai berikut: (1)

tidak ada aktivitas otot yang berlebihan selain fungsinya dalam menyangga kepala,

(2) diskus intervetrebralis dan nucleus pulposus berada pada posisi fisiologis, (3)

sendi zygapophyseal dalam posisi lurus dan tidak menyangga beban berlebihan, (4)

foramen intervetrebralis bebas dari sumbatan sebagai jalur akar saraf. Dalam

rangka mempertahankan postur fisiologis tubuh, maka posisi kepala harus berada

pada apex vertebrae cervical yakni satu garis dengan centre of gravity dengan kurva

lordosis vertebrae cervical, kurva kifosis vertebrae thoracal, dan kurva lordosis

vertebrae lumbal dalam batas normal (Cailliet, 1991, dikutip oleh Azizah, 2021).

Pada nyeri leher faktor risiko yang paling sering dilaporkan adalah posisi

postur saat bekerja yang tidak ergonomis, hal ini berhubungan dengan tuntutan

pekerjaan yang tinggi sehingga mempengaruhi dua aspek yaitu durasi kerja dan

beban kerja yang berat (Kazeminasab et al, 2022). Para pekerja dengan aktivitas
21

duduk yang tidak ergonomis dalam jangka waktu yang lama, seringkali posisi

kepala cenderung ke depan (melebihi centre of gravity) dan Nampak kurva

hiperlordosis vertebrae cervical dan hiperkifosis vertebrae thoracal. Dengan

postur tersebut dapat mengganggu keseimbangan otot penyangga leher, hal ini tentu

memberikan dampak pada sistem muskuloskeletal yang dapat menimbulkan nyeri

serta keterbatasan fungsional leher (Cailliet, 1991, dikutip oleh Azizah, 2021).

b. Masalah psikologis atau emosi

Masalah emosi seperti stres, kecemasan, dan depresi dapat menstimulasi

nyeri sentral di spinal brainstem pada level cortical, sehingga menimbulkan

hiperalgesia atau respon yang berlebihan terhadap stimulus yang secara normal

menimbulkan nyeri. Nyeri muskuloskeletal yang disertai dengan masalah psikologi

atau emosi seperti stres, kecemasan dan depresi akan memperburuk tingkat nyeri,

disalibiltas dan kualitas hidup (Kazeminasab et al, 2022).

c. Trauma eksternal

Gerakan yang berlebihan pada segmen vertebrae cervical menjadi penyebab

terjadinya trauma eksternal yang memicu perubahan jaringan bahkan kerusakan

jaringan. Adanya kerusakan jaringan akan merangsang pengeluaran bahan-bahan

kimia pemicu nyeri. Pada umumnya nyeri akan menimbulkan reflek kontraksi

isometrik otot sebagai bentuk perlindungan dari keruskan yang terjadi. Reflek

neuromuskular ini disebut sebagai protective spasm yang dimanifestasikan dengan

perlindungana atau pertahanan dan hingga gerak yang terbatas (Cailliet, 1991,

dikutip oleh Azizah, 2021).


22

4. Patofisiologi non specific neck pain

Sikap kerja dengan posisi tidak ergonomis yang dilakukan dalam waktu

lama dapat menyebabkan ketidakseimbangan otot karena terjadi pemendekkan

pada otot-otot yang memiliki peran menjaga postur normal kepala dan leher.

Pemendekan otot ini akan diikuti oleh ketegangan otot (As-syifa et al, 2020).

Dengan adanya ketegangan otot (mucle tension) pada leher akan meningkatkan

tekanan intramuscular yang dapat mengurangi sirkulasi pada otot sehingga akan

terjadi peningkatan jaringan kolagen yang menyilang satu sama lain. Hal ini akan

mengakibatkan penumpukan subtansi P pada otot serta terjadi perlengketan aktin

dan myosin sehingga menimbulkan nyeri (Trisnowiyanto, 2017).

Rasa nyeri akan mengurangi kemampuan seseorang untuk menggerakkan

sendi leher sehingga memicu terjadinya imobilisasi. Dengan adanya imobilisasi

maka sirkulasi darah yang kaya akan oksigen pada otot akan berkurang, hal ini

dapat menimbulkan kontraktur. Kontraktur pada jaringan akan menurunkan

elastisitas dan fleksibilitas, dimana otot tidak mampu untuk memanjang atau

mengulur dengan maksimal sehingga terdapat hambatan pada bagian tubuh untuk

bergerak dan terjadi penurunan kemampuan leher untuk melakukan aktivitas sesuai

fungsinya (As-syifa et al., 2020).


23

C. Muscle Energy Technique

1. Definisi muscle energy technique

Muscle energy technique (MET) adalah metode terapi manipulatif yang

digunakan dalam kasus disfungsi muskuloskeletal yang melibatkan kontraksi otot

secara isometrik pada otot agonis atau antagonis yang disadari oleh individu

tersebut pada arah yang terkontrol dan melawan gaya atau tahanan yang diberikan

oleh terapis. Muscle energy technique dapat digunakan pada kasus disfungsi

somatik yang mengalami hipertonus, nyeri, dan penurunan lingkup gerak sendi.

Muscle energy technique mempunyai prinsip memanipulasi secara halus dengan

tahanan minimal 20 – 30% dari kekuatan otot, melibatkan breathing control dari

pasien dan dilakukan dengan repetisi yang optimal (Chaitow, 2013).

Muscle energy technique adalah teknik relaksasi otot dengan cara

melakukan kontraksi isometrik dan diakhiri dengan stretching atau penguluran pada

otot agonis dan antagonis yang bertujuan untuk meningkatkan tonus otot yang

lemah, mengurangi hipertonus otot, mengulur ketegangan otot dan fascia,

meningkatkan sirkulasi lokal, mobilisasi pada sendi dengan keterbatasan gerak, ,

memfasilitasi proprioceptive neuromuscular sehingga terhindar dari kerusakan

jaringan yang lebih lanjut serta menurunkan nyeri dan meningkatkan fungsi

muskuloskeletal (Franke et al, 2016).


24

2. Jenis-jenis muscle energy technique

Menurut Chaitow (2006), muscle energy technique dapat dibedakan

menjadi dua kategori berdasarkan tekniknya, yaitu:

a. Isometric muscle energy technique

Teknik isometric muscle energy technique atau post isometric relaxation

(PIR) mengacu pada penurunan tonus otot agonis yang terjadi setelah kontraksi

isometrik. Penurunan tonus otot terjadi akibat dari peregangan reseptor atau golgi

tendon organ pada otot agonis yang mengirim impuls aferen melewati spinal cord

menuju inhibitor motor neuron, lalu menghentikan pelepasan impuls efferent motor

neuron dan mencegah kontraksi lebih lanjut, sehingga tonus otot menurun dan

menghasilkan efek rileksasi (Cailliet, 2014, dikutip oleh Jehaman et al, 2020).

b. Isotonic muscle energy technique

Teknik isotonic muscle energy technique atau reciprocal inhibition (RI)

memiliki prinsip ketika otot agonis berkontraksi dan memendek, maka otot

antagonis rileks dan memanjang sehingga terjadi gerakan dibawah pengaruh otot

agonis. Proprioceptive pada muscle spindle akan merangsang serabut saraf aferen

dan bertemu dengan rangsangan motor neuron pada otot agonis dan pada saat yang

bersamaan menghambat motor neuron otot antagonis untuk mencegah kontraksi

secara lanjut, sehingga menghasilkan otot agonis yang berkontraksi dan memendek,

sedangkan otot antagonis rileksasi dan memanjang (Chaitow, 2006).


25

3. Mekanisme muscle energy technique dalam meningkatkan aktivitas

fungsional

Muscle energy technique (MET) memiliki dua teknik yaitu teknik isometric

muscle energy technique atau post isometric relaxation (PIR) dan isotonic muscle

energy technique atau reciprocal inhibition (RI). Namun pada penelitian ini,

peneliti memeilih menggunakan teknik PIR yang mengacu pada penurunan tonus

otot agonis yang terjadi setelah kontraksi isometrik. Pemberian PIR akan

menstimulasi golgi tendon organ (GTO) sebagai reseptor otot, impuls dari golgi

tendon organ akan dilanjutkan oleh saraf afferent menuju spinal cord bagian dorsal

dan bertemu dengan inhibitor motor neuron.

Hal tersebut membuat impuls motor efferent terhenti dan mencegah

kontraksi yang lebih lanjut sehingga terjadi rileksasi otot. Rileksasi yang terjadi

pada otot akan meningkatkan sirkulasi darah dan metabolisme tubuh sehingga nyeri

berkurang (Cailliet, 2014, dikutip oleh Jehaman et al, 2020). Dengan berkurangnya

nyeri akan mempengaruhi peningkatan fleksibilitas jaringan sehingga tubuh dapat

bergerak dengan lingkup gerak sendi yang maksimal dan kemampuan aktivitas

fungsional pada leher akan meningkat (Trisnowiyanto, 2017).

4. Indikasi dan kontraindikasi muscle energy technique

a. Indikasi muscle energy technique

Indikasi pemberian muscle energy technique diantaranya: (1) terdapat

spasme, spastisitas, dan pemendekan atau kontraktur pada soft tissue (otot dan

fascia), (2) terdapat malposisi pada struktur tulang, (3) meningkatkan luas gerak
26

sendi pada jaringan otot yang mengalami kelemahan, dan (4) perbaikan gerakan

sendi yang berhubungan dengan disfungsi artikular (Grubb et al, 2010).

b. Kontraindikasi muscle energy technique

Kontraindikasi pemberian muscle energy technique diantaranya: (1) cedera

muskuloskeletal akut, (2) fraktur tulang, (3) osteoporosis, dan (4) terdapat

penyatuan serta ketidakstabilan pada sendi (Grubb et al, 2010).

5. Pelaksanaan muscle energy technique

Dalam pelakasanaan MET pada kasus non specific neck pain, dilakukan

pada otot utama sebagai penyangga leher, yakni otot sternocleidomastoideus, otot

levator scapula, otot upper trapezius, dan otot scaleni.

a. Pelaksanaan MET pada otot sternocleidomastoideus

Pelaksanaan MET pada otot sternocleidomastoideus yakni: (1) posisikan

subjek dalam keadaan tidur terlentang dengan kepala disanggah dalam posisi netral

oleh salah satu tangan terapis dan bahu dalam kondisi rileks, (2) berikan bantal atau

handuk di bawah area thoraks agar posisi leher ekstensi 10-15o saat diletakkan di

atas tempat tidur, (3) letakkan lengan sisi kolateral subjek di atas dada sebagai

bantalan saat terapis melakukan peregangan, (4) rotasikan kepala subjek

(kontralateral) sampai batas kenyamanan, (5) subjek diminta untuk kontraksikan

otot secara isometrik dengan mengangkat kepala selama 5-7 detik dan mengontrol

pernapasan, dan (6) terapis melonggarkan tahanan dan melakukan stretching

selama minimal 30 detik, hal ini dilakukan secara bersamaan saat subjek

menghembuskan napas (Chaitow, 2013).


27

Gambar 2.7
Pelaksanaan MET pada otot sternocleidomastoideus kanan (Chaitow, 2013).

b. Pelaksanaan MET pada otot levator scapula

Pelaksanaan MET pada otot levator scapula yakni: (1) posisikan subjek

dalam keadaan tidur terlentang dengan lengan subjek lurus sepanjang trunk, (2)

tangan terapis yang kontralateral dengan sisi lesi menopang leher subjek dalam

keadaan fleksi penuh, lateral fleksi dan rotasi kontralateral, (3) tangan terapis

satunya berada di bawah bahu pada scapula subjek dan mendorongnya ke arah

caudal, (4) subjek diminta untuk menggerakkan kepalanya ke belakang atau

melawan arah tahanan dari terapis tanpa adanya gerakan atau secara isometrik

selama 5-7 detik serta mengontrol pernapasan, dan (5) terapis melonggarkan

tahanan dan melakukan stretching selama minimal 30 detik, hal ini dilakukan

secara bersamaan saat subjek menghembuskan napas (Chaitow, 2013).


28

Gambar 2.8
Pelaksanaan MET pada otot levator scapula kanan (Chaitow, 2013).

c. Pelaksanaan MET pada otot upper trapezius

Pelaksanaan MET pada otot upper trapezius yakni: (1) posisikan subjek

dalam keadaan tidur terlentang dengan leher lateral fleksi penuh dan sedikit rotasi

kontralateral, (2) tangan terapis berada pada bahu subjek sedangkan tangan yang

berada pada sisi lesi menopang vertebrae cervical daerah atlanto-occipital, (3)

subjek diminta untuk melawan tahanan dari terapis secara isometrik selama 5-7

detik dan mengontrol pernapasan, (4) terapis melonggarkan tahanan dan melakukan

stretching selama minimal 30 detik, hal ini dilakukan secara bersamaan saat subjek

menghembuskan napas (Chaitow, 2013).

Gambar 2.9
Pelaksanaan MET pada otot upper trapezius kanan (Chaitow, 2013).
29

d. Pelaksanaan MET pada otot scaleni

Pelaksanaan MET pada otot scaleni yakni: (1) posisikan subjek dalam

keadaan tidur terlentang dengan bantal di bawah area thoraks agar posisi leher

sedikit ekstensi, (2) gerakkan kepala ke arah lateral fleksi dan rotasi kontralateral

penuh, (3) tangan terapis yang kontralateral dengan sisi lesi menopang kepala atau

leher subjek sedangkan tangan satunya berada di dahi subjek untuk menahan

kontraksi isometrik, (4) subjek diberi intruksi untuk melawan tahanan terapis

selama 5-7 detik dan mengontrol pernapasan, (4) terapis melonggarkan tahanan dan

melakukan stretching selama minimal 30 detik, hal ini dilakukan secara bersamaan

saat subjek menghembuskan napas (Chaitow, 2013).

Gambar 2.10
Pelaksanaan MET pada otot scaleni kanan (Chaitow, 2013).
30

D. Myofascial Release

1. Definisi myofascial release

Myofascial release (MFR) merupakan suatu tindakan manual terapi yang

dilakukan untuk meregangkan atau memanjangkan struktur fascia dan melepaskan

ikatan antar fascia dengan kulit, otot, dan tulang, dengan tujuan mengurangi nyeri,

meningkatkan lingkup gerak sendi, dan keseimbangan tubuh (Rodríguez-Huguet et

al, 2017). Menurut Ringgs dan Grant (2008), myofascial release adalah terapi yang

berfokus pada teknik penekanan yang berperan untuk meregangkan atau

memanjangkan struktur otot dan myofascia dengan tujuan melepas adhesion atau

perlengketan, mengurangi nyeri melalui theory gate control, dan mengembalikan

fungsi normal sendi.

2. Mekanisme myofascial release dalam meningkatkan aktivitas

fungsional

Pemberian myofascial release dapat melepaskan perlengketan jaringan dan

teraktivasinya saraf parasimpatik. Hal ini menyebabkan pembuluh darah menjadi

vasodilatasi pada area yang diberi terapi sehingga timbul efek menenangkan yang

dapat mengurangi nyeri serta terlepasnya zat serotonin. Dengan adanya vasodilatasi

akan membuat aliran darah kembali normal serta kebutuhan oksigen dan nutrisi

yang terpenuhi sehingga otot menjadi rileks dan nyeri akan berkurang (Werenski,

2011). Adanya pengurangan nyeri pada otot maka akan menimbulkan gerakan yang
31

nyaman dan aktivitas sehari-haripun akan menjadi maksimal yang berakibat

meningkatnya aktivitas fungsional dari setiap individu (Khoeroh, 2018).

3. Indikasi dan kontraindikasi myofascial release

a. Indikasi myofascial release

Indikasi pemberian myofascial release diantaranya: (1) trigger points dan

tender points, (2) fibromyalgia, (3) myofascial pain dysfunction, (4) dizziness dan

vertigo, dan (5) headache (Duncan, 2014).

b. Kontraindikasi myofascial release

Kontraindikasi pemberian myofascial release diantaranya: (1) luka terbuka,

(2) fraktur tulang, (3) inflamasi atau kulit yang hipersensitif, (4) infeksi pada kulit,

(5) osteoporosis, (6) osteomyelitis, (7) terapi kortison atau pengencer darah, (8)

deep vain thrombosis, dan (9) patologi keganasan dan radioterapi (Duncan, 2014).

4. Pelaksanaan myofascial release

Myofascial release dapat dibedakan menjadi tiga kategori berdasarkan

tekniknya, yaitu direct myofascial release, indirect myofascial release dan self

myofascial release. Direct myofascial release adalah sebuah metode dimana

tekniknya langsung bekerja pada jaringan fascia yang terbatas. Pada teknik ini,

praktisi bisa menggunakan jari-jari tangan, siku atau alat lain untuk perlahan-lahan

meregangkan jaringan fascia dengan diberikan sedikit tekanan. Teknik ini

ditujukan untuk langsung mengulur jaringan yang bersangkutan. Indirect

myofascial release adalah sebuah metode dengan penguluran pada fascia dengan
32

cara meregangkan fascia secara gentle, kemudian menahan uluran 5 menit sampai

fascia terulur dengan sendirinya. Sedangkan, self myofascial release adalah teknik

yang digunakan pada individu sendiri dengan bantuan alat seperti bola atau foam

roller sebagai alat bantu dan mengandalkan gravitasi sebagai tekanan (Shah dan

Bhalara, 2012).

Menurut Duncan (2014), teknik myofascial release meliputi: (1) cross hand

release, (2) longitudinal plane release, (3) compression release, (4) transverse

plane release, (5) myofascial unwinding, (6) myofascial rebounding, dan (7)

combinied technique. Penelitian ini menggunakan direct myofascial release dengan

myofascial unwinding, longitudinal plane release, transverse plane release, dan

compression release yang diberikan pada otot sternocleidomastoideus, otot levator

scapula, otot upper trapezius, dan otot scaleni selama 30 detik dengan 5x

repetisi/sesi, dilakukan 3x seminggu selama 4 minggu.

Gambar 2.11
Pelaksanaan direct myofascial release (dokumen pribadi, 2022).

E. Aktivitas Fungsional

Aktivitas fungsional adalah kemampuan seseorang dalam melakukan

aktivitas fungsional sehari-hari seperti merawat diri, membaca, mengangkat beban,


33

bekerja, mengemudi, tidur, dan rekreasi (Putra et al, 2020). Adapun aktivitas

fungsional yang berhubungan dengan mobilitas cervical yaitu aktivitas yang

menimbulkan terjadinya gerakan pada leher seperti menunduk, menoleh, dan

memutar kepala. Kemampuan untuk melakukan gerak leher sangat dipengaruhi

oleh lingkup gerak sendi, fleksibilitas jaringan dan adanya nyeri (Trisnowiyanto,

2017).

Fleksibilitas merupakan kemampuan otot untuk memanjang atau mengulur

semaksimal mungkin sehingga tubuh dapat bergerak dengan lingkup gerak sendi

yang maksimal tanpa disertai rasa nyeri. Fleksibilitas yang baik tidak akan

menghambat tubuh untuk bergerak, maka dari itu memelihara fleksibilitas otot juga

sangat berperan dalam meningkatkan kekuatan otot leher untuk memperoleh

ketahanan statis dan dinamis, memelihara luas gerak sendi dan kelenturan leher,

terkoreksinya muscle imbalance sehingga menghasilkan postur yang benar, serta

meningkatkan sirkulasi sehingga mengurangi nyeri. Berkurangnya nyeri

memberikan keberanian pada seseorang untuk menggerakkan leher sehingga terjadi

peningkatan aktivitas fungsional (Trisnowiyanto, 2017).

Alat ukur yang digunakan untuk mengetahui kemampuan aktivitas

fungsional pada leher adalah menggunakan kuesioner neck disability index (NDI).

NDI merupakan kuesioner yang mengevaluasi intensitas nyeri dan aktivitas sehari -

hari serta mengukur tingkat keterbatasan dalam melakukan kegiatan sehari-hari.

NDI memiliki tingkat reliabilitas dengan nilai 0.859, sedangkan untuk validitas alat

ukur adalah (0.61. < r ≤ 0.80) sehingga dapat disimpulkan bahwa alat ukur NDI

memiliki nilai reliabilitas dan validitas yang tinggi (Putra et al, 2020).
34

F. Penelitian yang Relevan

Penelitian yang dilakukan oleh Izhar, et al (2018) dengan judul “effect of

static stretching in comparison with muscle energy technique in treatment of non-

specific neck pain” dengan jumlah subjek yang diteliti sebanyak 44 peserta yang

dibagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok eksperimen A mendapatkan intervensi

static stretching dan kelompok eksperimen B mendapatkan intervensi muscle

energy technique dengan masing-masing subjek sebanyak 22 peserta. Dari 44

peserta, empat keluar dengan alasan tidak menyelesaikan terapi hingga akhir.

Penelitian ini berlangsung selama 4 minggu, dengan NPRS untuk mengukur skala

nyeri, NDI untuk mengukur keterbatasan aktivitas sehari-hari dan AROM yang

diperiksa sebelum dan setelah penelitian. Hasil penelitian menunjukan bahwa tidak

ada perbedaan yang signifikan antara kedua kelompok, namun kelompok dengan

intervensi muscle energy technique lebih unggul dalam mengurangi nyeri dan

meningkatkan range of motion leher.

Penelitian yang dilakukan oleh Sbardella, et al (2021) dengan judul “muscle

energy technique in the rehabilitative treatment for acute and chronic non-specific

neck pain: a systematic review”. Jumlah literatur yang sesuai dan sudah memenuhi

proses analisis didapatkan sebanyak 21 literatur, dimana 15 literatur mengangkat

bahasan tentang pengaruh muscle energy technique pada kasus non specific acute

neck pain dan 6 literatur lainnya pada kasus non specific chronic neck pain. Dalam

penelitian ini didapatkan hasil bahwa pemberian intervensi muscle energy

technique pada non specific neck pain baik akut maupun kronis efektif dalam

menurunkan nyeri, menurunkan disabilitas leher dan meningkatkan fungsi sendi.


35

Penelitian yang dilakukan oleh El-Gendy, et al pada tahun 2019 dengan

judul “multimodal approach of electrotherapy versus myofascial release in patients

with chronic mechanical neck pain: a randomized controlled trial” dengan jumlah

subjek sebanyak 60 peserta yang dibagi menjadi 3 kelompok perlakuan. Dimana

kelompok A diberi perlakuan elektroterapi, kelompok B diberi perlakuan

myofascial release dan kelompok C sebagai kelompok kontrol diberi perlakuan

terapi latihan berupa stretching dan strengthening, dengan jumlah subjek masing-

masing kelompok sebanyak 20 peserta. Penelitian ini dilakukan tiga kali per-

minggu selama 4 minggu serta dilakukan pre-test dan post-test menggunakan alat

ukur VAS, cervical ROM, dan NDI. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

kelompok dengan perlakuan elektroterapi dan myofascial release, keduanya efektif

tanpa perbedaan yang signifikan dalam menurunkan nyeri, meningkatkan LGS

leher dan menurunkan keterbatasan fungsional pada pasien chronic mechanical

neck pain.

Penelitian yang dilakukan oleh Cabrera-Martos, et al (2020) dengan judul

“effects of an active intervention based on myofascial release and neurodynamics

in patients with chronic neck pain: a randomized controlled trial”. Penelitian ini

dilakukan pada 40 subjek, terbagi menjadi dua kelompok secara random yaitu

kelompok ekspiremental dan kelompok kontrol. Setelah diberikan intervensi

selama 4 minggu, dihasilkan bahwa kombinasi myofascial release dan

neurodynamic exercise lebih efektif dalam menurunkan nyeri dan meningkatkan

aktivitas fungsional.
36

G. Kerangka Pikir

Gambar 2.12
Kerangka pikir
37

Keterangan gambar 2.12 :


Seseorang dapat mengalami non specific neck pain akibat dari faktor risiko
seperti faktor psikologis yaitu stres, kecemasan, dan depresi serta faktor individu
yaitu usia, jenis kelamin, trauma eksternal, posisi ergonomis, durasi kerja dan beban
kerja. Faktor-faktor tersebut dapat mengakibatkan ketidakseimbangan otot atau
muscle imbalance dan ketegangan pada otot leher yang menimbulkan rasa nyeri.
Rasa nyeri akan membuat seseorang takut menggerakkan sendi leher sehingga
memicu terjadinya imobilisasi. Imobilisasi jangka panjang akan menimbulkan
kontraktur dan keterbatasan lingkup gerak sendi sehingga terjadi penurunan
aktivitas fungsional. Untuk mengurangi nyeri dan ketegangan otot, menambah
lingkup gerak sendi serta mencegah kontraktur otot leher maka dilakukan
pemberian tindakan terapi berupa myofascial release dan mucle energy technique.
Myofascial release dapat mengaktivasi saraf parasimpatik yang menyebabkan
vasodilatasi pembuluh darah sehingga otot menjadi rileks sedangkan pemberian
mucle energy technique akan menstimulasi golgi tendon organ (GTO) yang
mencegah kontraksi lebih lanjut sehingga terjadi rileksasi otot agonis. Dengan
pemberian terapi tersebut, diharapkan dapat mengurangi nyeri, meningkatkan
fleksibilitas otot, dan meningkatkan lingkup gerak sendi sehingga aktivitas
fungsional leher juga akan meningkat.
38

H. Kerangka Konsep

Gambar 2.13
Kerangka konsep
Keterangan gambar 2.13 :
Subjek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi akan dibagi menjadi 2
kelompok. Kelompok MET akan diberikan intervensi muscle energy technique,
sedangkan kelompok MR akan diberikan intervensi myofascial release. Dalam
memberikan perlakuan faktor-faktor yang dapat dikendalikan oleh terapis adalah
39

dosis dan keterampilan terapis, sedangkan faktor yang tidak dapat dikendalikan
oleh terapis adalah medikamentosa yang diberikan oleh dokter, aktivitas yang
dilakukan oleh subjek serta faktor psikologis dan sosial subjek. Hasil dari tindakan
tersebut berupa peningkatan aktivitas fungsional yang kemudian dibandingkan
antara kelompok muscle energy technique dan kelompok myofascial release.

I. Hipotesis

Berdasarkan pemaparan di atas, maka hipotesis yang dapat diambil dari

penelitian ini adalah: (1) ada pengaruh muscle energy technique terhadap

peningkatan aktivitas fungsional pada non specific neck pain, (2) ada pengaruh

myofascial release terhadap peningkatan aktivitas fungsional pada non specific

neck pain, (3) muscle energy technique lebih efektif terhadap peningkatan aktivitas

fungsional pada non specific neck pain.

Anda mungkin juga menyukai