Anda di halaman 1dari 46

TEKNIK PEMERIKSAN MRI CERVICAL DENGAN KLINIS

HERNIA NUCLEUS PULPOSUS (HNP) DI INSTALASI


RADIOLOGI RS BETHESDA YOGYAKARTA

Laporan Kasus

Disusun untuk memenuhi Tugas Praktik Kerja Lapangan V

Disusun Oleh:
Yanuar Seso Adhe Widodo
P1337430215036

PROGRAM STUDI DIPLOMA IV TEKNIK RADIOLOGI


JURUSAN TEKNIK RADIODIAGNOSTIK DAN
RADIOTERAPI
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTRIAN KESEHATAN
SEMARANG
2018
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pemeriksaan radiodiagnostik merupakan salah satu pemeriksaan
penunjang di bidang kedokteran dalam membantu menegakkan diagnosa
suatu penyakit. Salah satu pemeriksaan radiodiagnostik adalah
pemeriksaan dengan menggunakan modalitas imejing berupa Magnetic
Resonance Imaging (MRI). Pemeriksaan MRI menghasilkan gambaran
potongan tubuh manusia dengan menggunakan medan magnet tanpa
menggunakan sinar X. Pemeriksaan dengan menggunakan MRI mampu
menghasilkan citra yang lebih baik dan mempunyai beberapa kelebihan
diantaranya dapat memberikan gambaran dengan spasial resolusi yang
baik, kontras antar jaringan baik, tanpa radiasi pengion dan dapat
menghasilkan gambaran dengan berbagai potongan (multi planar) yaitu
potongan axial, coronal serta sagital tanpa dilakukan rekonstruksi gambar
terlebih dahulu (Rasad, 2011).
Pemeriksaan MRI vertebra merupakan pemeriksaan yang sering
dijumpai dilapangan, Salah satunya pada pemeriksaan MRI Cervical.
Vertebra cervical merupakan organ yang ukuran terkecil dibanding dengan
vertebra thoracal dan lumbal (Snell, 2006).

Salah satu kelainan yang sering di jumpai adalah HNP. Hernia


nucleus pulposus (HNP) merupakan turunnya kandungan annulus fibrosus
dari diskus intervertebralis pada spinal cord dengan tekanan dari nucleus
pulposus yang menyebabkan kompresi pada element saraf. Pada umumnya
HNP pada cervical sering terjadi pada C5-C6 atau C6-C7 (Lotke dkk,
2008).

Menurut Westbrook (2014) , pemeriksaan MRI Cervical


menggunnakan sekuen Sagittal/coronal SE/FSE T1 or coherent GRE T2*,
Sagittal SE/FSE T1, Sagittal SE/FSE T2 or coherent GRE T2*,
Axial/oblique SE/FSE T1/T2 or coherent GRE T2*, dan sekuen tambahan
yaitu Sagital/Axial oblique or sagittal SE/FSE T1, Sagital SE/FSE T2 atau
STIR, 3D coherent/incoherent (spoiled) GRE T2*/T1, Sagittal SE/FSE T1
or fast incoherent (spoiled) GRE T1/PD,dan 3D balanced gradient echo
(BGRE). Sedangkan pada RS Betesda Yogyakarta menggunakan Coronal
T2, Sagital T2 , Sagital T1, Sagital T2 Fat Sat, Axial T2, Axial T1, dan 2D
Myelo.

Berdasarkan prosedur pemeriksaan tersebut maka penulis tertarik


untuk mengkaji lebih lanjut tentang teknik pemeriksaan MRI vertebrae
cervical dalam bentuk Laporan Kasus dengan judul “ TEKNIK
PEMERIKSAN MRI CERVICAL DENGAN KLINIS HERNIA
NUCLEUS PULPOSUS (HNP) DI INSTALASI RADIOLOGI
BETHESDA YOGYAKARTA ”

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis merumuskan masalah sebagai
berikut:
1. Bagaimanakah teknik pemeriksaan MRI Vertebra Cervical dengan
kasus HNP di Instalasi Radiologi RS Bethesda Yogyakarta?
2. Bagaimana pengaruh perubahan phase encoding direction terhadap
hasil scanning?

C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Penulisan laporan kasus ini bertujuan untuk mengetahui teknik
pemeriksaan MRI vertebra cervicl di Instalasi Radiologi RS Bethesda
Yogyakarta
2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus penulisan Laporan Kasus ini adalah untuk memenuhi tugas
Praktik Kerja Lapangan (PKL) V
D. Manfaat Penulisan
1. Menambah wawasan dan ilmu tetang teknik pemeriksaan MRI
Cervical terutama bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada
umumnya.
2. Sebagai bahan informasi dan referensi bagi mahasiswa, khususnya
mahasiswa jurusan Teknik Radiodiagnostik dan Radioterapi Politeknik
Kesehatan Kementrian Kesehatan Semarang dalam melakukan
pemeriksaan MRI vertebra cervical.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Vertebra Cervical


Kolumna Vertebrae terdiri dari 33 buah tulang dan distribusinya
sebagai berikut: 7 vertebra cervical, 12 vertebra torachal, 5 vertebra lumbal,
5 sacral dan 4 coccygeal. Vertebrae cervical merupakan vertebra dengan
ukuran terkecil dan dapat dibedakan dari vertebra torachal dan lumbal dari
keberadaan foramen dalam setiap processus transversus. (Snell, 2006).
Cervical merupakan bagian kepala dengan ruas-ruas tulang leher yang
berjumlah 7 corpus (C1 – C7). Secara anatomi cervical dibagi menjadi dua
daerah yaitu daerah cervical (C1 dan C2) dan daerah cervical bawah (C3
sampai C7). Diantara ruas-ruas tersebut, ada tiga ruas pada cervical yang
memiliki struktur anatomi yang unik. Pada ketiga ruas tersebut diberi nama
khusus yaitu C1 disebut atlas, C2 disebut axis dan C7 disebut prominens
vertebra (Snell, 2006). Berikut adalah anatomi cervical pada arah oblique:
Keterangan :

1. Cervical 1
2. Spinosus Proces
3. Spinosus Proces
4. Spinosus proces
5. Transversus Proces
6. Vertebrae Body
7. Cervical 2
8. Cervical 3
9. Cervical 4
10. Cervical 5
11. Cervical 6
12. Cervical 7
13. Thoracal 1
Gambar 2.1. Vertebrae Cervical dari arah oblique (Snell, 2006)
a. Atlas
Atlas terdapat pada bagian superior cervical, tidak mempunyai body
vertebra, tetapi berbentuk seperti cincin oval yang memiliki permukaan
halus pada bagian superior dari articulation dengan condylus pada tulang
oksipital. Pada C1 bagian inferior berhubungan dengan C2.
b. Axis
Cervical II (C2) disebut Axis. Pada bagian superior tersebut dinamakan
Dens atau prosessus odontoid. Dens terletak dalam foramen vertebra pada
atlas untuk membentuk lingkaran dibagian atlas dan untuk rotasi kepala.
c. Discus Intervertebral
Struktur yang paling penting pada bagian vertebra untuk membentuk
columna adalah discus intervertebral. Setiap discus terdiri dari
fibrocartilaginous diluar lingkaran disebut annulus fibrosus dan bagian
dalam disebut nucleus pulposus dapat keluar tidak pada tempatnya atau
didalam annulus fibrosus.
d. Medulla Spinalis (Spinal Cord)
Medulla spinalis (Spinal Cord) merupakan stuktur berbentuk slinder,
berwarna putih keabu-abuan, yang bertempat setinggi formaen magnum
sebagai lanjutan dari medula oblongata. Pada organ dewasa medulla
spinalis berakhir pada L1, sedangkan pada anak-anak lebh panjang dan
berakhir L3. Medulla spinalis seperti hanya cerebrum yang dilapisi oleh 3
meningen yaitu durameter, aracnoid dan piameter.

Anatomi tulang sangat kompleks yang tersusun dari berbagai tipe


jaringan. Vertebra memberi support mekanik sedangkan discus
intervertebralis menjadi bantalan gerakan dari Berbagai ligament yang
menghubungkan struktur-struktur tersebut. Medulla spinalis yang dikelilingi
liquor cerebrospinal berada pada lingkungan yang terlindung dalam colum
spinalis. Pada setiap segmen, sepanjang nervus spinalis keluar melalui
formane neuralis. Terdapat pada jaringan vaskuler yang luas, dimana arteri-
arteri secara segmental mendarai tulang, otot, meninges dan medulla serta
terdapat pula jaringan vena drainase yang terbentang didalam canalis
vertebralis dan melingkari vertebra (Snell, 2006).

Gambar 2.2. Anatomi Vertebra Cervical Potongan Sagital (Moeller, 2007).


Keterangan :
1. Foramen magnum 18. Transverse ligament of atlas
2. Trapezium muscle 19. Longus capitis muscle
3. Tectorial membrane 20. Posterior longitudinal ligamnet
4. Occipital bone (internal 21. Inferior vertebral endplate C3
occipital protuberance) 22. Interspinosus ligament
5. Anterior atlanto-occipital 23. Superior vertebral endplate C4
membrane 24. Cervical spinal cord
6. Semispinalis capitis muscle 25. Anterior longitudinal ligament
7. Apical ligamen of dens 26. Premedullary and
8. Rectus capitis posterior minor postmedullary subarachnoid
muscle space
9. Longitudinal fasciculi 27. Intervertebral disk
10. Posterior atlanto-occipital 28. Interspinalis muscles
membran 29. Esophagus
11. Atlas (anterior arch) 30. Spinous process C7
12. Suboccipital fatty tissue 31. Basivertebral veins
13. Median atlanto-axial joint 32. Ligamentum flavum
14. Atlas (posterior arch) 33. Thoracic vertebral body T1
15. Atlas (dens) 34. Supraspinous ligament
16. Deep cervical veins 35. Bony vertebral canal
17. Axis (vertebral body)

Gambar 2.3. Anatomi Vertebra Cervical Potongan Axial (Moeller, 2007).

KETERANGAN :
1. Retromandibular vein 19. Vertebral artery
2. Mandibule 20. Cruciate ligament of atlas
3. Digastric muscle 21. Longissimus capitis
4. Internal jugular vein muscle
5. Internal carotid muscle 22. Strenocleidomastoid
6. Longulus capitis muscle muscle
7. Median atlantoaxial joint 23. Splenius capitis muscle
8. Atlas (anterior arch) 24. Deep cervical vein
9. Hypoglossal nerve (XII) 25. Obliquus capitis superior
10. Pterygoid venous plexus muscle
11. Vagus nerve (X) 26. Spinal cord
12. Stylohyoid muscle 27. Atlas
13. Maxillary artery 28. Semispilis capitis muscle
14. Parotid gland 29. Rectus capitis posterior
15. Alar ligaments major muscle
16. Rectrus capitis lateralis muscle 30. Rectus capitis posterior
17. Lateral mass of atlas mainor muscle
18. Dens of axis 31. Trapezius muscle
32. Nuchal ligament

B. Hernia Nucleus Pulposus (HNP)


Hernia nukleus pulposus (HNP) adalah keluarnya nukleus pulposus
dari diskus intervertebralis karena robeknya jaringan ikat annulus fibrosus.
Hernia dapat terjadi ke anterior, lateral maupun posterior. Apabila terjadi
ke posterior maka dapat mengakibatkan tekanan/stenosis sumsum tulang
belakang. Hal ini menyebabkan nyeri tulang belakang bawah. Nyeri tulang
belakang ini yang bersifat akut, kronik atau berulang, Paling sering
ditemukan pada daerah lumbal 4 dan 5.
Penyebab HNP sering terjadi dikarenakan trauma atau aktivitas
stress mekanis. Faktor resiko yang bisa menyebabkan terjadinya HNP
antara lain, trauma sedang berulang yang terjadi pada diskus invertebralis,
kurang olahraga, dan nutrisi yang kurang, sehingga diskus menjadi tidak
sehat, elastisitas dan kadar air di nukleus pulposus menurun seiring
bertambahnya usia, kebiasaan yang salah mengatur postur tubuh terutama
dalam mengangkat barang sehingga terjadi stress mekanis pada lumbar
space (Helmi, 2012).
Hernia nucleus pulposus (HNP) kebanyakan juga disebabkan oleh
karena adanya suatu trauma derajat sedang yang berulang mengenai
discus intervertebralis sehingga menimbulkan sobeknya annulus fibrosus.
Pada kebanyakan pasien gejala trauma bersifat singkat, dan gejala ini
disebabkan oleh cidera pada diskus yang tidak terlihat selama beberapa
bulan atau bahkan dalam beberapa tahun. Kemudian pada generasi diskus
kapsulnya mendorong ke arah medulla spinalis, atau mungkin ruptur dan
memungkinkan nucleus pulposus terdorong terhadap sakus doral atau
terhadap saraf spinal saat muncul dari kolumna spinal (Helmi, 2012).
1. Klasifikasi Herniated Nucleus Pulposus (HNP)

Klasifikasi herniated disc cervical dapat didasarkan dari beberapa tahap

antara lain (Khanna, 2014) :

a. Normal, yaitu disc secara morfologis normal (tidak ada lesi)

b. Kongenital/perkembangan yang varian, yaitu disc yang abnormal

secara kongenital atau yang telah mengalami perubahan morfologi

akibat pertumbuhan tulang belakang yang abnormal.

c. Degeneratif/trauma lesi, yaitu annular tear, degenerasi, herniasi

d. Peradangan/infeksi, yaitu spondilitis inflamasi pada plat ujung

subchondral dan sumsum tulang terwujud sebagai perubahan Modic

tipe-1 MRI.

e. Neoplasia, yaitu semua entitas patologis yang mungkin primer atau

metastasis.

f. Varian morfologis tidak diketahui pentingnya.


Gambar 2.4 Ilustrasi Herniated Nucleus Pulposus (Autio, 2006)

Keterangan gambar :

1. Normal : disc secara morfologis normal (tidak ada lesi)


2. Bulging : jaringan disk melingkar (50-100%) di luar tepi cincin
apophyses
3. Ekstrusi: jarak antara tepi material disc di luar disc lebih besar daripada
jarak antara tepi di bidang yang sama (didalam).

C. Konsep Dasar MRI

1. Struktur Atom
Semua benda terbuat dari atom, termasuk tubuh manusia.
Atom berukuran sangat kecil dan atom diatur didalam molekul.
Atom yang paling banyak terdapat pada tubuh kita adalah
hidrogen. Atom hidrogen paling sering ditemukan didalam molekul
air (H2O) dan lemak (dimana atom hidrogen diatur dengan atom
karbon dan oksigen dengan Jumlah masing-masing tergantung dari
jenis lemaknya). Atom terdiri dari nukleus dan elektron. Nucleus
sangat kecil, sepersejuta dari total volume sebuah atom, tapi
mengandung semua massa atom. Massa atom ini terutama berasal
dari partikel yang disebut nukleon, yang terbagi menjadi proton
dan neutron.
Atom dicirikan dengan dua cara, yaitu nomor atom dan nomor
massa. Nomor atom adalah jumlah proton di nukleus, jumlah ini
memberi atom identifikasi kimianya. Dan nomor massa adalah
jumlah proton dan neutron di nukleus. Jumlah neutron dan proton
dalam nukleus biasanya seimbang sehingga nomor massanya
genap. Di beberapa atom, ada neutron yang sedikit lebih atau
sedikit kurang dari proton. Atom dalam elemen dengan jumlah
proton yang sama tapi jumlah neutron yang berbeda disebut isotop.
Elektron adalah bagian yang berputar mengelilingi di sekitar
nukleus, seperti contohnya planet yang mengelilingi matahari.
Jumlah elektron biasanya sama dengan jumlah proton di dalam
nukleus. Proton memiliki muatan listrik positif, neutron tidak
memiliki muatan bersih dan elektronnya memiliki muatan negatif.
Jadi atom stabil secara elektrik jika jumlah elektron bermuatan
negative Sama dengan jumlah proton yang bermuatan positif.
Keseimbangan ini kadang bisa berubah dengan cara pemberian
energi eksternal untuk menghilangkan elektron dari atom. Hal ini
menyebabkan jumlah elektron berkurang dibandingkan dengan
proton dan menyebabkan ketidakstabilan yang biasa disebut
ionisasi. (Westbrook, 2011)
Gambar 2.5 Atom (Westbrook, 2011)

2. Pergerakan Atom
Tiga jenis pergerakan di dalam atom, yaitu:
a. elektron berputar pada porosnya
b. electron mengorbit pada nukleus
c. nukleus berputar sendiri pada porosnya
Prinsip-prinsip MRI mengandalkan pergerakan putaran dari
spesifik nuklei yang ada didalam jaringan biologis. Perputaran ini
berasal dari putaran individu proton dan neutron di dalam nukleus.
Pasang dari partikel subatomik secara otomatis berputar
berlawanan, namun pada tingkat yang sama dengan pasangannya.
Dalam inti yang memiliki jumlah massa genap, yaitu jumlah proton
sama dengan jumlah neutron, separuh berputar dalam satu arah dan
separuh berlawanan arah. nukleus itu sendiri tidak memiliki
putaran bersih. Namun, di nukleus dengan jumlah massa ganjil,
yaitu di mana jumlah neutron sedikit lebih banyak atau kurang dari
jumlah proton, arah putaran tidak sama dan berlawanan, jadi
nukleus sendiri memiliki putaran bersih atau momentum sudut. Ini
dikenal sebagai inti MR aktif. (Westbrook, 2011)

3. MR Active Nuclei (westbrook, 2016)


Proton dan netron berputar pada sumbu mereka sendiri di
dalam nukleus. Arah putaran adalah acak, sehingga beberapa
partikel berputar searah jarum jam dan lainnya berlawanan arah
jarum jam. Bila sebuah nukleus memiliki jumlah massa,
putarannya akan dibatalkan satu sama lain sehingga nukleus tidak
memiliki putaran bersih. Bila nukleus memiliki jumlah massa
ganjil, maka putarannya tidak membatalkan satu sama lain dan
nukleus berputar.
Sebagai proton memiliki muatan, sebuah inti dengan jumlah
massa yang ganjil memiliki muatan bersih sekaligus putaran
bersih. Karena hukum induksi elektromagnetik, pergerakan muatan
tidak seimbang sehingga menginduksi medan magnet di
sekelilingnya. Arah dan ukuran medan magnet dilambangkan
dengan magnetic moment. jumlah magnetic moment dari nukleus
adalah jumlah vektor dari semua magnetic moment proton di
nukleus. Panjang panah mewakili besarnya magnetic moment.
Arah panah akan menunjukkan arahnya penyelarasan magnetic
moment. Nukleus dengan jumlah proton ganjil dikatakan menjadi
MR aktif. Mereka bertindak seperti magnet bar kecil. Ada banyak
jenis elemen MR aktif Seluruhnya memiliki jumlah massa yang
ganjil. MR aktif nuclei, bersama dengan nomor massanya, adalah:
Hidrogen 1, Carbon 13, Nitrogen 15, Fluorin 19, Sodium 23,
Oksigen 17.
Isotop hidrogen yang disebut protium adalah MR aktif nuclei
yang digunakan dalam MRI, karena memiliki massa dan nomor
atom 1. Nukleus dari isotop ini terdiri dari proton tunggal dan tidak
memiliki neutron sehingga digunakan untuk pencitraan MRI
karena:
a. Melimpah di tubuh manusia (misalnya dalam lemak dan air);
b. Proton tunggal memberikan momen magnetik yang relatif
besar karena tidak ada neutron yang ada di inti jenis ini.
Neutron cenderung mengurangi ukuran relatif lapangan inti
magnet, jadi jika tidak ada, medan magnet dimaksimalkan.
4. Presisi (Westbrook, 2011).
Tidak semua proton arahnya paralel dan anti paralel terhadap
medan magnet eksternal, bahkan mereka berputar dengan cara
tertentu, yang disebut dengan presesi (pressesion). Frekuensi
presesi adalah kecepatan angular dari presesi proton. Perputaran
pada atom yang berupa satu putaran dari suatu titik dan kembali ke
titik yang sama disebut frekuensi.
Frekuensi presesi tidak konstan, tergantung kekuatan medan
magnet eksternal. Medan magnet eksternal semakin kuat maka
presesi semakin cepat dan frekuensi semakin tinggi
Dalam keadaan nomal, spinning proton atom hidrogen adalah
acak (random). Sehingga tidak menimbulkan magnetisasi
(magnetisasi sama dengan nol). Jika spinning proton diletakkan
dalam medan magnet eksternal yang sangat kuat maka akan
mengalami presesi, yaitu pergerakan spin proton yang unik seperti
gangsing. Kecepatan atau frekuensi presesi atom hidrogen
tergantung pada kuat medan magnet yang diberikan pada jaringan.
Semakin besar kuat medan magnet yang diberikan maka semakin
cepat presesi proton. Frekuensi presesi proton tergantung pada kuat
medan magnet disebut dengan frekuensi Larmor yang mengikuti
persamaan (Westbrook, 2011):
(ω) = y Bo ................ (1)
Keterangan : (ω) = frekuensi larmor proton
Y = koefisien gyromagnetic
Bo = medan magnet eksternal

Gambar 2.6 Presesi Atom Hidrogen (Westbrook, 2011)

5. Precessional phase
Phase mengacu pada posisi magnetic moment yang berputar
pada jalur presesinya setiap kapanpun, yang satuannya adalah
radian. Sebuah momen magnetik bergerak melalui 360 radian
selama satu rotasi. Dalam konteks ini, frekuensi adalah laju phase
perubahan momen magnetic. Artinya, ini adalah ukuran seberapa
cepatnya posisi phase magnetic moment berubah seiring
berjalannya waktu. Dalam MRI kita terutama tertarik pada posisi
phase relatif dari semua magnet saat-saat hidrogen berputar di
jaringan yang kita citrakan.

a. Out of phase atau incoherent berarti putaran magnetic moment


hidrogen berada pada tempat yang berbeda di jalur presesi pada
saat tertentu.
b. In phase atau coherent berarti putaran magnetic moment
hidrogen berada pada tempat yang sama pada jalur presesi di
dalam waktu tertentu. (Westbrook, 2016)
6. Resonansi
Resonansi terjadi apabila pada obyek diberikan gangguan
berupa gelombang radio yang mempunyai frekuensi yang sama
dengan frekuensi Larmor (ω) obyek. Dalam keperluan klinis,
pembentukan citra didasarkan pada pemanfaatanatom hidrogen
dalam tubuh dengan kata lain agar fenomena resonansi terjadi, RF
yang diberikan harus mempunyai frekuensi yang sama dengan ω
hidrogen, yaitu 42,57 MHz/Tesla. Pengaplikasian gelombang RF
yang menyebabkan resonansi terjadi eksitasi sebagai hasil dari
fenomena resonansi nett magnetitation vector (NMV) menjadi
terotasi dari bidang longitudinal ke bidang transversal xy.
Magnetisasi pada bidang ini dikenal dengan magnetisasi
transversal. Mxy sudut perotasi dikenal dengan flip angle
(Westbrook, 2011).

Gambar 2.7 Arah magnetisasi longitudinal dan transversal


(Westbrook, 2011)

Fenomena terpenting pada pencitraan MRI adalah peristiwa


resonansi magnetic dari suatu spinning proton yang mengalami
presesi ketika berada pada Bo yang sangat kuat. Syarat untuk
menimbulkan fenomena resonansi magnetik ini adalah dengan
menggunakan pulsa RF (yang dipancarkan oleh suatu koil
transmitter) yang sama dengan frekuensi yang dimiliki oleh proton
atom hidrogen dalam tubuh. Dari peristiwa resonansi magnetik ini
akan didapatkan sinyal yang dipancarkan oleh proton atom
hidrogen tubuh yang kemudian ditangkap oleh koil receiver dan
selanjutnya sinyal ini akan diolah oleh komputer menjadi sebuah
citra (Westbrook, 2011).
7. Sinyal MRI (Westbrook, 2011).
Pulsa RF merupakan gelombang elektromagnetik yang
memiliki frekuensi antara 1-80 MHz. Apabila spin ditembak oleh
sejumlah pulsa yang mempunyai frekuensi sama dengan ω
hidrogen, maka resonansi akan terjadi. Spin memungkinan
menyerap energipulsa dan mengakibatkan sudut presesi semakin
besar. Peristiwa tersebut dikenal dengan Nuclear Magnetic
Resonance (NMR). Pada hidrogen, agar terjadi resonansi maka
frekuensi pulsa yang diaplikasikan harus sama dengan ω hidrogen.
Perubahan sudut presesi akibat pemberian pulsa RF tergantung
dari lama dan intensitas pulsa. Pulsa yang mengakibatkan sudut
presesi menjadi 900 disebut pulsa 900.Pulsa yang mengakibatkan
sudut presesi menjadi 1800 disebut pulsa 1800, pulsa yang
mengakibatkan sudut <900 disebut pulsa alpha flip.
Peristiwa resonansi mengakibatkan nuclear magnetic vector
(NMV) berada pada bidang transversal. Magnetisasi transversal
akan menginduksi koil penerima sehingga terbentuk sinyal. Sinyal
ini disebut sinyal MR (Magnetic Resonance), yang besarnya
frekuensi sinyal adalah sama dengan ω
8. Waktu Relaksasi
T1 atau spin lattice relaxation adalah waktu yang diperlukan
kembalinya 63% magnetisasi longitudinal setelah pulsa 900. T2
atau proses spin spin relaxation adalah waktu yang diperlukan oleh
magnetisasi transversal untuk decay hingga 37% dari nilai awalnya
(Westbrook, 2011).
Gambar 2.8 Kurva T1 recovery (Westbrook, 2011)

Gambar 2.9 Kurva T2 decay (Westbrook, 2011)


9. Mekanisme Kekontrasan Citra dan Parameter Waktu
Citra akan memiliki kontras apabila ada perbedaan intensitas
sinyal yang ditangkap. Sinyal tinggi memberikan gambaran yang
terang (hiperintense) sedangkan sinyal yang rendah menghasilkan
warna gelap (hipointense) dan beberapa tempat ada yang
intermediate (isointense). Jaringan tampak hiperintense jika
memiliki komponen magnetisasi transversal yang besar, sehingga
amplitudo sinyal yang diterima koil besar pula. Begitu juga
sebaliknya dengan jaringan yang memiliki komponen magnetsasi
transversal yang kecil tampak hipointense (Westbrook, 2011).
a. Pembobotan T1
Citra pembobotan T1 adalah citra yang kontrasnya
tergantung pada perbedaan T1 time. T1 time adalah waktu yang
diperlukan untuk recovery hingga 63% dan dikontrol oleh TR.
Karena TR mengontrol seberapa jauh vektor dapat recovery
sebelum aplikasi RF beikutnya, maka untuk mendapatkan
pembobotan T1, TR harus dibuat pendek sehingga baik lemak
maupun air tidak cukup waktu untuk kembali ke magetisasi
longitudinal, sehingga kontras lemak dan air dapat
tervisualisasi dengan baik. Jika TR panjang lemak dan air akan
cukup waktu untuk kembali ke magnetisasi longitudinal dan
recovery magnetisasi longitudinal secara penuh sehingga tidak
dapat memvisualisasikan keduanya (Westbrook, 2011).
b. Pembobotan T2
Citra pembobotan T2 adalah citra yang kontrasnya
tergantung perbedaan T2 time. T2 time adalah waktu yang
diperlukan untuk decay hingga 37% dan dikontrol oleh TE.
Untuk mendapatkan pembobotan T2, TE harus panjang untuk
memberikan kesempatan lemak dan air untuk decay, sehingga
kontras lemak dan air dapat tervisualisasi dengan baik. Jika TE
terlalu pendek maka baik lemak dan air tidak punya waktu
untuk decay sehingga keduanya tidak akan menghasilkan
kontras citra yang baik (Westbrook, 2011).

D. Komponen MRI
Komponen utama dalam sistem MRI, yaitu magnet utama, koil
gradien, koil pemancar, koil penerima dan komputer.

1. Magnet Utama
Magnet utama digunakan untuk memproduksi medan magnet
yang besar, yang mampu menginduksi jaringan atau obyek sehingga
mampu menimbulkan magnetisasi dalam obyek. Beberapa jenis
magnet utama adalah:
a. Magnet Permanen
Magnet permanen dibuat dari bahan-bahan feromagnetik. Pada
umumnya yang digunakan sebagai pembuat magnet permanen adalah
campuran antara aluminium, nikel dan cobalt. Magnet permanen tidak
memerlukan listrik, kadang kala dirancang dengan model terbuka dan
sangat umum digunakan pada pasien-pasien claustrophobia, obesitas,
ataupun pasien dengan pemeriksaan muskuloskeletal dan teknik
intervensional yang sulit dilakukan dengan MRI yang tertutup
(Westbrook, 2011)
b. Magnet Resistif
Magnet jenis ini dibangkitkan dengan memberikan arus listrik melalui
kumparan. Magnet resistif lebih ringan dibandingkan dengan magnet
permanen, sementara kuat medan magnet maksimum yang dihasilkan
kurang dari 0,3 tesla (Westbrook, 2011).
c. Magnet Superkonduktor
Magnet superkonduktor menggunakan bahan yang terbuat dari
miobium dan titanium. Bahan tersebut akan menjadi superkonduktor
pada suhu 4K (Kelvin) dengan memberikan arus listrik melalui koil.
Kemagnetan koil harus dijaga dalam suhu yang sangat dingin.
Biasanya digunakan helium cair. Kuat medan magnet yang dihasilkan
berkisar antara 0,5-3 Tesla untuk penggambaran diagnostik
(Westbrook, 2011)
2. Koil Gradien
Koil gradien digunakan untuk membangkitkan suatu medan
magnet yang mempunyai fraksi-fraksi kecil terhadap medan magnet
utama. Gradien digunakan untuk memvariasikan medan pada pusat
magnet. Terdapat tiga medan yang saling tegak lurus antara ketiganya,
yaitu bidang x, y dan z. Fungsi yang berbeda-beda sesuai dengan
potongan yang dipilih (axial, sagital atau koronal), gradien ini
digunakan sesuai dengan koordinat dimensi ruang. Gradien pemilihan
potongan (slice selection) atau Gz, gradien pemilihan phase (phase
encoding) atau Gy dan gradien pemilihan frekuensi (frequency
encoding) atau Gx (Westbrook, 2011).
3. Koil Radiofrekuensi
Koil yang umum digunakan, yaitu koil penerima dan koil
pemancar-penerima (transceiver coil). Medan magnet yang tinggi
akan lebih efisien menggunakan transceiver jika dibandingkan dengan
penggunaan koil penerima saja, karena koil transceiver hanya
membutuhkan energi radiofrekuensi (RF) yang kecil untuk
menghasilkan magnetisasi transversal, sehingga specific absorbtion
rate (SAR) terhadap pasien dapat dikurangi (Westbrook, 2011)

4. Sistem Komputer
Sistem komputer digunakan sebagai pengendali sebagian besar
operasional peralatan MRI. Kelengkapan perangkat lunak, komputer
mampu melakukan tugas-tugas mulai dari input data, pemilihan
protokol pemeriksaan, pemilihan potongan, mengontrol seluruh
sistem, pengolahan data, penyimpanan data, pengolahan gambar
diagnsotik, display gambaran diagnostik sampai rekam data
(Westbrook, 2011)
Keterangan:

1. shim coil
2. magnet utama
3. active shielding
4. pipa quench
5. untuk koil gradien
6. gradient amplifier
7. koil penerima
8. RF transmitter
9. untuk body coil
10. RF amplifier
11. komputer
12. dari koil penerima
13. sistem transport pasien

Gambar 2.10. Komponen Utama Sistem MRI (Westbrook, 2011)

E. Parameter Dasar MRI


Ada banyak parameter yang tersedia bagi operator saat mengatur
protokol, protokol yang digunakan tergantung dengan area patologi yang
akan dilihat. Sebuah protokol didefinisikan sebagai seperangkat aturan
didalam MRI yang setia aturan tersebut memiliki parameter-parameter
yang dapat diatur oleh operator. Empat komponen utama yang
menentukan kualitas gambar adalah:
1. Signal to Noise Ratio (SNR)
SNR adalah rasio dari amplitude sinyal yang diterima dengan
amplitudo rata-rata dari noise. Noise terjadi pada semua frekuensi
dan juga acak dalam ruang dan waktu. Sinyal bagaimanapun
adalah nilai kumulatif yang terjadi pada waktu TE, bergantung
pada banyak faktor dan dapat diubah. Oleh karena itu sinyal dapat
meningkat dan menurun tergantung dengan noise. Jika sinyal
meningkat SNR meningkat dan jika sinyal menurun maka SNR
menurun. Faktor-faktor yang mempengaruhi SNR meliputi:
a. Kekuatan magnet dari sistem
Semakin tinggi kekuatan magnet sistem maka semakin tinggi
nilai SNR dan sebaliknya jika kekuatan medan magnet pada
sistem rendah maka nilai SNR juga rendah.
b. Densitas proton pada area dibawah pengujian
Semakin tinggi densitas proton pada suatu organ yang akan
diperiksa maka semakin meningkat nilai SNR, karena semakin
banyak spinning nuclei yang menghasilkan banyak sinyal.
c. Volume voxel
Volume voxel besar memili spinning nuclei yang banyak
sehingga menghasilkan banyak sinyal maka nilai SNR
meningkat dan volume voxel kecil memiliki spinning nuclei
yang sedikit sehingga menghasilkan sedikit sinyal maka nilai
SNR menurun.
d. TR, TE dan Flip angle
TR yang panjang dapat meningkatkan SNR dan TR yang
pendek akan menurunkan nilai SNR, TE yang panjang dapat
menurunkan SNR dan TE yang pendek dapat meningkatkan
SNR, sedangkan flip angle yang rendah menghasilkan SNR
yang kecil.
e. NEX
yaitu berapa kali data yang dikumpulkan pada amplitudo yang
sama dari kemiringan gradient phase encoding yang sama.
Peningkatan NEX sebesar 4 akan meningkatkan SNR sebesar
√2, oleh karena itu NEX tidak disarankan untuk meningkatkan
SNR.
f. Receive Bandwidth
yaitu rentang frekuensi yang disampel selama proses readout.
Meningkatkan bandwidth akan meningkatkan nilai noise yang
diterima sehingga akan menurunkan SNR.
g. Tipe koil
Koil kuadratur meningkatkan SNR karena dua koil digunakan
untuk menerima sinyal. Surface koil yang ditempatkan didekat
area dibawah pengujian juga meningkatkan SNR. Posisi pada
koil juga sangat penting untuk memaksimalkan SNR. Usahakan
meletakkan koil sedekat mungkin dengan area pemeriksaan,
namun koil tidak boleh menyentuh kulit pasien secara langsung
karena mungkin pasien akan merasa hangat dan menyebabkan
pasien tidak nyaman. semakin dekat jarak area pemeriksaan
dari koil maka signal yang dihasilkan lebih tinggi dari pada
yang jauh.
2. Contras to Noise Ratio (CNR)
CNR didefinisikan sebagai perbedaan pada SNR antara dua
daerah yang berdekatan. CNR dipengaruhi oleh faktor yang sama
yang mempengaruhi SNR. CNR mungkin adalah faktor yang
paling kritis dalam memperkuat kualitas gambar karena secara
langsung menentukan kemampuan mata untuk membedakan
daerah dengan sinyal tinggi dari daerah dengan sinyal rendah.
3. Spasial resolusi
Spasial resolusi adalah kemampuan untuk membedakan antara
dua titik sebagai titik terpisah dan distorsi, dan dikendalikan oleh
ukuran voxel. Ukuran voxel dipengaruhi oleh slice thickness, FOV
dan jumlah pixel atau matrix. Voxel kecil menghasilkan spasial
resolusi yang bagus, karena struktur kecil dapat terlihat. Sebaliknya
jika voxel besar berakibat pada rendahnya spasial resolusi karena
sebagian struktur kecil tidak terlihat dengan baik.
4. Scan Time
Scan time adalah waktu untuk menyelesaikan akuisisi data atau
waktu yang dibutuhkan untuk mengisi K-space. Scan time sangat
penting dalam menjaga kualitas gambar, karena lama scan time
dapat memberikan resiko pasien bergerak lebih tinggi. Faktor-
faktor yang mempengaruhi scan time adalah:
1.) Time Repetition (TR), yaitu jika TR yang digunakan panjang,
maka waktu pencitraan semakin lama.
2.) Jumlah phase encoding, yaitu semakin banyak jumlah phase
encoding, maka jumlah K-space yang diisi semakin banyak,
sehingga waktu pencitraan semakin lama.
3.) Number of excitation (NEX), yaitu apabila NEX yang
digunakan semakin banyak, maka waktu pencitraan semakin
lama.

F. Spatial Encoding pada MRI


Spatial encoding MRI memiliki peran dalam menentukan
lokalisasi voxels (elemen volume tunggal yang mengandung proton),
informasi spasial perlu dikodekan ke dalam sinyal Nuclear Magnetic
Resonance (NMR) dengan menggunakan gradien medan magnet.
Penguraian informasi spasial termasuk dalam sinyal NMR sebagai
modifikasi frekuensi dan fase, dilakukan oleh Fourier Transform inverse.
Adapun penjabaran dari spatial encoding MRI adalah sebagai berikut:
1. Slice Selection
Hasil akhir MRI tanpa dilakukan encoding adalah hanya
kumpulan sinyal gelombang elektromagnetik. Seperti halnya citra CT-
Scan, citra MRI merupakan irisan cross sectional dari tubuh manusia.
Akan tetapi prinsip pemilihan slice pada MRI berbeda dengan prinsip
pemilihan slice pada CT-Scan.
Untuk melakukan slice selection, gradien medan magnet, Slice
Selection Gradient (GSS), diaplikasikan lurus terhadap slice yang
diinginkan. Gelombang RF secara bersamaan diaplikasikan, dengan
frekuensi yang sama seperti proton dalam potongan yang diinginkan.
Gradien arah (x, y, atau z) menentukan orientasi slice, sedangkan
gradien amplitudo bersama-sama dengan karakteristik RF pulsa tertentu
menentukan baik ketebalan irisan dan posisi slice (Westbrook,2016).

Gambar 2.11. Slice Selection MRI (McRobbie, 2006)


2. Frequency Encoding
Sinyal MR selalu terdeteksi dengan adanya gradien yang dikenal
sebagai readout gradient (GRO) atau frequency encoding. Selama
readout, gradien diaplikasikan tegak lurus terhadap slice selection. Di
bawah pengaruh bidang gradien baru ini, proton mulai presesi pada
frekuensi yang berbeda tergantung pada posisi mereka didalamnya.
Besarnya gradien readout ditentukan oleh dua parameter, yaitu field of
view (FOV) pada arah frequency encoding dan receiver bandwidth
(Westbrook, 2016).
Pada citra MRI, resolusi dapat dinyatakan dalam salah satu dari
dua cara, yaitu resolusi spasial atau resolusi frekuensi. Resolusi spasial,
dinyatakan sebagai ukuran voxel dengan satuan mm per pixel, berasal
dari dua parameter pengguna antara lain FOV readout dan jumlah titik
sampel readout dalam matriks (NRO). Sedangkan resolusi frekuensi,
dengan satuan Hz per pixel, didasarkan pada NRO dan total bandwidth
(Westbrook, 2016).
3. Phase Encoding
Arah ketiga dalam citra MRI adalah arah phase encoding yang
digambarkan bersama dengan arah frequency encoding. Phase encoding
gradient (GPE), tegak lurus terhadap GSS dan GRO dan merupakan satu-
satunya gradien yang mengubah amplitudo selama akuisisi data dua
dimensi. Setiap variasi amplitudo sinyal yang terdeteksi dari satu
akuisisi ke akuisisi berikutnya disebabkan oleh pengaruh GPE selama
scanning.
Prinsip phase encoding didasarkan pada presesi proton periodik
di alam. Sebelum penerapan GPE, proton dalam presesi slice pada
frekuensi dasar. Dengan GPE, frekuensi presesi akan bertambah atau
berkurang. Setelah GPE dimatikan, presesi proton kembali ke frekuensi
aslinya. Informasi gambar MRI diperoleh dengan mengulangi eksitasi
slice dan deteksi sinyal beberapa kali, masing-masing dengan
amplitudo yang berbeda dari GPE (Westbrook, 2016).
Spatial resolution pada arah phase encoding tergantung pada dua
parameter, yaitu arah phase encoding dan jumlah langkah phase
encoding matriks. Spatial resolution pada arah phase encoding
dinyatakan sebagai ukuran voxel dengan satuan mm/pixel. Setelah
semua phase encoding dilakukan, kemudian rekonstruksi citra
dilakukan dengan Transformasi Fourier. Dalam proses pembentukan
citra MR, transformasi fourier mengubah sinyal MR dari frequency dan
phase encoding yang membentuk k-space. (Westbrook, 2016).
4. Matriks
Piksel pada citra MRI menyusun baris dan kolom yang terdapat
pada matiks. Meskipun citra tampak persegi namun matriks tidak selalu
berbentuk persegi atau dengan kata lain antara baris dan kolom tidak
harus memiliki jumlah yang sama. Ukuran matriks yang umum
digunakan di MRI yaitu, 256x128, 256x192, 512x256. Sebagian besar
jumlah matriks yang tinggi merujuk pada frequency encoding,
sedangkan matriks kecil menunjukkan phase encoding. Matriks
mengontrol ukuran citra akhir dan k-space.
Arah phase encoding dan frequency encoding tidak selalu sama,
misalnya arah frequency encoding dapat terletak horisontal atau vertikal
pada citra yang dihasilkan. Arah yang dapat dipilih untuk phase
encoding dan frequency encoding antara lain dari tiga sumbu anatomis
yaitu superior-inferior (SI), right-left (RL), dan anterior-posterior (AP).
Untuk pemilihan arah phase encoding dan frequency encoding dapat
dipilih sesuai potongan anatomi yang dikehendaki. Untuk lebih jelasnya
dapat dilihat pada tabel berikut ini (McRobbie, 2006).
Tabel 2.1 Tabel Pemilihan Phase dan Frequency Direction
Superior- Anterior-
Right-Left
Inferior Posterior
Axial -  
Sagital  - 
Koronal   -
5. K-Space
Data dikumpulkan dari sinyal yang tersimpan dalam ruang matematika
yang disebut k-space. K-space memiliki dua sumbu, yaitu sumbu
horizontal (Kx) yang menyatakan frequency encoding dan sumbu
vertikal (Ky) yang menyatakan phase encoding. Data ini merupakan
grafik matriks data MR digital yang mewakili citra MRi sebelum
transformasi fourier dilakukan. Setiap baris di k-space menyatakan
setiap langkah phase encoding. Garis tengah (0) diisi dengan data yang
tidak terpengaruh oleh phase encoding gradien atau gradient isocenter
(Westbrook, 2016).

Gambar 2.12. Ilustrasi dari K-Space (Weishaupt, 2006)


Sebuah citra MR dibuat dari data mentah dengan penerapan 2D
Fourier Transform setelah scanning selesai dan k-space telah terisi.
Garis-garis di k-space tidak berarti menyatakan satu persatu baris pada
citra MR yang dihasilkan. Data dipusat k-space utamanya menentukan
kontras gambar sementara pinggiran (garis luar) berisi informasi spasial
(Westbrook, 2016).

2D fourier transform
Gambar 2.13. Spatial Frekuensi K-Space (McRobbie, 2006)
Pada umumnya, pengisian k-space dilakukan secara sekuensial
atau linear trajectory. Pada teknik ini, matriks raw data diisi satu baris
pada satu waktu, dimulai dengan GPE paling negatif dan berakhir
dengan GPE paling positif. Metode lain pengisian k-space digunakan
untuk aplikasi khusus atau ketika kontrol kontras tambahan diperlukan
(Westbrook, 2016).
6. Transformasi Fourier
Transformasi Fourier merupakan hubungan antara data k-space
dan data citra. Akuisisi data matriks berisi raw data sebelum
pengolahan citra. Dalam pencitraan 2D transformasi fourier, baris data
merupakan sinyal MR digital pada level phase encoding tertentu. Posisi
pada k-space trajectory secara langsung berhubungan dengan gradien
obyek yang dicitrakan. Dengan mengubah gradien, data k-space akan di
sampling pada lintasan melalui ruang fourier (Moratal, 2008).
Dalam proses pembentukan citra MR, transformasi fourier
mengubah sinyal MR dari frequency dan phase encoding yang
membentuk k-space. Citra MR yang kita lihat merupakan 2D invers
dari transformasi fourier dari k-space. Pemahaman tentang transformasi
fourier sangat penting untuk memahami beberapa artefak pada MRI dan
sejumlah metode akuisisi sinyal (Gallagher, 2007).
G. Pulse sekuens MRI
Pulse sekuens memungkinkan kita untuk mengontrol jalannya
suatu sistem aplikasi pulse dan gradient. Dengan cara ini pembobotan dan
kualitas citra dapat ditentukan. Banyak pulse sekuen yang berbeda dan
masing-masing dirancang untuk tujuan tertentu.
1. Spin Echo (SE) (Westbrook, 2011).
Sekuens spin echo (SE) merupakan pulsa sekuens gold standard
yang biasa digunakan pada setiap pemeriksaan. Spin echo (SE) ini
dilakukan dengan mengaplikasikan pulsa 90º eksitasi, diikuti dengan
aplikasi pulsa 180º rephasing.
Pembobotan T1 pada sekuens ini sangat baik untuk
mendemonstrasikan anatomi, karena memiliki SNR yang tinggi, serta
mendemonstrasikan kelainan patologis dengan enhancement media
kontras, sementara dalam pembobotan T2 dapat dengan jelas dilihat
adanya kelainan-kelainan pada obyek yang diperiksa seperti oedem
dan kelainan pembuluh darah. Hal tersebut disebabkan karena
komponen air dalam jaringan tersebut meningkat sehingga akan
memberikan sinyal yang tinggi dan mudah diidentifikasi
Keuntungan SE adalah kualitas gambar baik, sangat serbaguna dan
pembobotan T2 yang sensitif pada patologi. Sedangkan keterbatasan
SE yaitu waktu scanning yang relatif lama

Gambar 2.14, Pulsa Sekuen Spin Echo. (Westbrook, 2011)

Berdasarkan gambar 2.7 dapat diketahui bahwa Pulsa Sekuen Spin


Echo diawali dengan pemberian pulsa RF 900 bersamaan dengan
slice selection (ss), dilanjutkan dengan phase enchoding (pe), pulsa
RF 1800 dan frequency encoding pada saat terbentuk echo.
2. Fast atau Turbo Spin Echo (FSE atau TSE)
Fast atau turbo spin echo merupakan salah satu pengembangan dari
sekuens spin echo. FSE atau TSE digunakan untuk mempercepat
waktu scanning, dengan mengaplikasikan beberapa kali pulsa 180º
rephrasing dalam satu TR. Pengaplikasian beberapa pulsa 180º dalam
satu TR menghasilkan rangkaian echo yang disebut dengan ETL
(Echo Train Length). FSE atau TSE banyak digunakan untuk
pembobotan T2 karena waktu yang digunakan lebih singkat
(Westbrook, 2011).
Keuntungan FSE atau TSE adalah waktu scanning yang singkat,
high resolution matrix dan multiple NEX dapat digunakan,
meningkatkan kualitas gambar dan meningkatkan informasi T2.
Keterbatasan FSE atau TSE adalah meningkatnya motion artifact dan
flow artifact. Meningkatnya flow artifact dan motion artifact tidak
kompatibel dengan beberapa opsi imaging, lemak tampak terang pada
pembobotan T2, image blurring dapat terjadi karena koleksi data
dilakukan dengan TE yang berbeda-beda dan mengurangi efek
susceptibility tetapi tidak sensitif untuk perdarahan (Westbrook,
2011).

Gambar 2.15, Echo Train Lenght. (Westbrook, 2011)

3. SSFSE
SSFSE digunakan untuk memperoleh gambaran fast spine echo
dengan waktu yang lebih pendek. Sistem kerja teknik ini yaitu semua
garis K-space diperoleh dalam satu TR. SS - FSE menggabungkan
teknik partial fourier dengan fast spine echo. Setengah dari garis K
space diperoleh dalam satu TR dan separuh lainnya ditransposisikan.
Teknik ini menghasilkan reduksi dalam waktu pencitraan karena
semua data gambar diperoleh dalam satu TR, namun teknik ini
menurunkan nilai SNR. (Westbrook, 2011).
4. FRFSE
Modifikasi lainnya pada FSE (yang beberapa produsen sebut
DRIVE, RESTORE atau FR - FSE), membalikkan pulsa eksitasi flip
angle yang diaplikasikan pada akhir echo train. Modifikasi Ini
mendorong suatu transverse magnetization ke dalam bidang
longitudinal sehingga tersedia untuk eksitasi pada awal periode TR
berikutnya, oleh karena itu tidak perlu menunggu lama agar T1
relaksasi terjadi. Beberapa produsen menetapkan transverse
magnetization dengan pulsa 180° sebelum pengembalian pada pulsa
90 ° yang diterapkan. (Westbrook, 2011)
5. Gradien Echo
Gradien echo disebut juga dengan Gradien Recalled Echo (GRE).
Pulsa sekuens gradien echo menggunakan pulsa RF yang bervariasi
dengan flip angle kurang dari 90º. Tujuan utama digunakan sekuens
gradien echo adalah mereduksi waktu scanning, oleh karena itu
dipilihlah nilai TR pendek dan flip angle yang kecil. (Westbrook,
2011)
6. Balanced Gradient Echo
Mekanisme sekuens ini merupakan modifikasi dari sekuens
koheren gradient echo yang menggunakan keseimbangan sistem
gradien untuk mengoreksi phase error yang disebabkan oleh aliran
darah dan CSF, dan alternative skema eksitasi RF untuk meningkatkan
effek steady state. Hal ini menghasilkan gambar dimana lemak dan air
menghasilkan sinyal yang lebih tinggi, SNR yang lebih besar dan
artefak aliran yang lebih sedikit. Nama lain dari modifikasi ini adalah
FIESTA pada GE, BFFE pada Philips, dan True FISP pada Siemens.
(Westbrook, 2011)
H. Teknik Pemeriksaan MRI Cervical
1. Persiapan pasien
Menurut Moeler (2003), bahwa persiapan pasien terdiri dari
pasien diminta melengkapi checklist yang tersedia. Isi checklist adalah
sebagai berikut :
a. Sebelum dilakukkan pemeriksaan MRI pasien untuk buang air
kecil terlebih dahulu.
b. Meninggalkan semua logam yang dikenakan pasien misalnya gigi
palsu, jepit rambut, perhiasan, dan lain-lain.
c. Pasien diminta untuk ganti baju pasien kecuali celana dalam.
d. Memberikan penjelasan kepada pasien untuk tidak bergerak dan
menelan ludah selama pemeriksaan untuk menghindari terjadinya
artefak.
e. Memberikan tutup telinga pasien (ear plugs) agar pasien saat
pemeriksaan tidak merasa bising.
2. Persiapan alat
Persiapan alat pemeriksaan MRI menurut Westbrook (2014)
meliputi :
a. Pesawat MRI yang siap digunakan.
b. Koil posterior leher (surface coil), Volume neck coil, Phased
Array Spinal Coil.
c. Spon/busa dan pengikat untuk imobilisasi
d. Ear plugs
3. Posisi pasien
Menurut Mc Robbie dkk (2006), bahwa posisi pasien untuk
pemeriksaan MRI vertebra cervical adalah sebagai berikut :

a. Posisikan pasien tidur telentang senyaman mungkin di meja


pemeriksaan.
b. Gunakan bantal spon untuk mengganjal kepala dan leher setinggi
5-10 cm, bahu rata kelengkungan tulang belakang leher.
c. Pasang neck coil di leher, senyaman mungkin.
d. Gunakan alat fiksasi atau imobilisasi pada pasien, agar posisinya
tidak bergerak.
e. Longitudinal light tepat pada pertengahan sagital leher, sehingga
tepat di daerah isosenter.
4. Protokol dan parameter pemeriksaan MRI vertebra cervical
Menurut Westbrook (2014), bahwa protokol dan parameter yang
digunakan pada pemeriksaan MRI vertebra cervical yaitu :
a. Sagittal/coronal SE/FSE T1 or coherent GRE T2*
b. Sagittal SE/FSE T1
c. Sagittal SE/FSE T2 or coherent GRE T2*
d. Axial/oblique SE/FSE T1/T2 or coherent GRE T2*
e. Sagital/Axial oblique or sagittal SE/FSE T1
f. Sagital SE/FSE T2 atau STIR
g. 3D coherent/incoherent (spoiled) GRE T2*/T1
h. Sagittal SE/FSE T1 or fast incoherent (spoiled) GRE T1/PD
i. 3D balanced gradient echo (BGRE).
BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil
1. Identitas Pasien
Nama : Nn. DK
Umur : 20 Tahun
No. RM : 00771XX
Alamat : Depok, Sleman
Tanggal Pemeriksaan : 29/10/2018
Permintaan Foto : MRI Vertebrae Cervical
Diagnosa : HNP
Pada tanggal 29 Oktober 2018 pasien bernama Nn. DK datang ke
Instalasi Radiologi RS Bethesda Yogyakarta dengan membawa
permintaan dari Poli Saraf untuk di lakukan MRI Cervical. Pasien
mengeluh nyeri bagian punggung.
2. Prosedur Pemeriksaan MRI Cervical RS Bethesda Yogyakarta
a. Anamnesa dan Inform Consent
Sebelum pemeriksaan dilakukan, pasien harus kita
anamnesa terlebih dahulu termasuk menanyakan keluhan pasien,
Nn.DK mengeluhkan nyeri bagian punggung.
Kemudian kita menjelaskan kepada pasien atau keluarga
pasien tentang prosedur pemeriksaan MRI Cervical, setelah pasien
atau keluarga nya mengerti dan menyetujui pemeriksaan ini maka
pasien atau keluarga pasien diminta untuk mengisi dan
menandatangani lembar informconsent.
Gambar 3.1. Lembar Informconsent
b. Persiapan Pasien
Pada MRI Cervical tidak ada persiapan khusus. Hanya saja
pasien diminta untuk mengganti baju dengan baju pasien serta
meninggalkan barang-barang yang dibawanya, kemudian disimpan
pada loker ruang ganti baju pasien di radiologi.
Sebelum memasuki ruang pemeriksaan, petugas melakukan
verifikasi lagi terkait keterangan yang sudah diisi di lembar
informconsent mengenai benda logam atau benda-benda lain yang
dapat mengganggu hasil gambaran. Biasanya menggunakan metal
detector.
c. Persiapan Alat dan Bahan
1) Pesawat MRI dengan merk GE SIGNA 1,5 Tesla
2) Cervical Neck Coil
3) Emergency buzzer
4) Penutup telinga (earplug)
5) Komputer Console
d. Teknik Pemeriksaan MRI Cervical
1) Posisi Paien
a) Pasien supine (head first) diatas meja pemeriksaan MRI.
b) Memposisikan pasien dan obyek yang diperiksa (kepala
dan leher) diatur simetris dan tidak ada rotasi. Pastikan
organ cervical masuk dalam coil.
c) Pastikan pasien merasa nyaman dengan posisinya.
d) Memberikan informasi kepada pasien, bahwa pemeriksaan
akan dimulai dan pasien tidak boleh bergerak selama
pemeriksaan.
e) Memasang ear plug pada pasien, untuk mengurangi
kebisingan saat pemeriksaan berlangsung.
f) Mengatur iso center pada pertengahan menti, kemudian
menekan tombol “landmark” pada pesawat.
g) Pintu ruangan pemeriksaan ditutup, agar tidak ada
interferensi dari luar.
2) Entry Data Pasien
Setelah memposisikan pasien, dilakukan entri data pasien
yang berupa berat badan, nama petugas,dokter radiologi,dan
memilih protokol sesuai dengan objek yang aka di periksa.
Untuk nama pasien , RM sudah otomatis terisi karena di RS
Bethesda sudah menggunakan sistem PACS.
Gambar 3.2. Entry data pasien MRI

3) Scanning
Langkah awal pembuatan citra MRI Cervical dilakukan
dengan membuat plan localiser. Di RS Bethesda menggunakan
3-Plane Localiser, 3 irisan pada masing masing bidang.
Pemeriksaan MRI Cervical dilakukan dengan beberapa sekuen
sebagai beriut :
a) Coronal T2
b) Sagital T2
c) Sagital T1
d) Sagital T2 Fat Sat
e) Axial T2
f) Axial T1 FSE
g) 2D Myelo
Di RS Bethesda citra pertama yang di buat adalah
Coronal. Citra coronal dibuat dengan pengambilan citra
dengan seluruh vertebrae cervical dan medulla spinalis harus
masuk area scanning dan memberikan saturasi di depan
vertebrae dengan tujuan untuk meminimalisir gerakan dari
esofagus.
Citra sagital di buat dari potongan coronal pada daerah
pars para vertebrae cervical kanan hingga kiri irisan parallel
dengan garis mid sagital.
Citra Axial di buat dari potongan sagital. Irisan diatur
parallel dengan kemiringan diskus vertebrae cervical.
Kemudian mengatur parameter sesuai dengan sekuen yang ada.
Setelah parameter diatur dilanjut dengan menekan scan dan
scan akan dimulai. Yang terakir adalah myelografi.

Tabel 3.1. Parameter Pemeriksaan MRI cervical RS Bethesda Yogyakarta

T2 Fat
T2 T2 T1 T2 T1
Sat

Coronal Sagital Sagital Sagital Axial Axial

TE 100 100 Minfull Minfull 85 Minfull


TR 2500 2654 643 2500 3428 2500
ETL 24 24 3 24 20 3
Slice
3.0 4.0 4.0 3.O 4.0 4.0
thickness
Slice
1.0 1.0 1.0 1.0 1.0 1.0
spacing
FOV 36 30 36 22 30 30
352x25
Matrix 256x128 256x128 256128 256x128 352X256
6
NSA 6 6 4 4 6 6
Freq Dir R-L A-P A-P A-P R-L R-L

SAT band - A A A A A
4) Hasil Bacaan Dokter
MRI Vert. Cervical: sagital
Ro Alignment lordotic cervico-thoracal kontinue:dbn, tak
tampak adanya spondilolisthesis. Kontur corpus dan out line
tampak: dbn dengan intensitas bone marrow homogen
normointens
Lipping/ spur formation/osteophyt: tidak prominen, pada
sagital slice end plates corpus vertebrae tak tampak adanya
indentasi yang tegas pada dura Canal Spinalis maupun Medulla
Spinalis.

Intensitas signal discus tampak normointens homogen, dengan


annulus fibrosus tampak intact, tidak tampak tegas adanya
indentasi protrusio matenal discus pada dura Canal Spinalis
maupun Medulla Spinalis.

Tampak pelebaran canalis sentralis pada Medulla Spinalis yang


terisi fluid pada setinggi mulai infra Pons sampai dengan
thoracal

KESAN :
MRI Vert Cervical : Hidrosyringomyelia Cervicothoracal, tidak
tampak adanya bulging maupun herniasi matenal discus yang
prominen.
Gambar 3.3 Hasil Scanning

B. Pembahasan
1. Pemeriksaan MRI Cervical di RS Bethesda dilakukan tanpa adanya
persiapan khusus, sebelum diperiksa pasien melepas semua benda
yang terbuat dari bahan logam yang dapat mengganggu selama proses
pemeriksaan dan mengisi formulir screening pemeriksaan MRI. Posisi
pasien selama pemeriksaan adalah supine di atas meja pemeriksaan
dengan kepala dekat dengan gantry (Head First). Koil yang di gunakan
adalah Cervical neck coil.
Ada perbedan antara teori dengan praktik di lapangan pada
sekuen yang di gunakan. Menurut Westbrook (2014) , pemeriksaan
MRI Cervical menggunnakan sekuen Sagittal/coronal SE/FSE T1 or
coherent GRE T2*, Sagittal SE/FSE T1, Sagittal SE/FSE T2 or
coherent GRE T2*, Axial/oblique SE/FSE T1/T2 or coherent GRE
T2*, dan sekuen tambahan yaitu Sagital/Axial oblique or sagittal
SE/FSE T1, Sagital SE/FSE T2 atau STIR, 3D coherent/incoherent
(spoiled) GRE T2*/T1, Sagittal SE/FSE T1 or fast incoherent (spoiled)
GRE T1/PD,dan 3D balanced gradient echo (BGRE). Sedangkan pada
RS Betesda Yogyakarta menggunakan Coronal T2, Sagital T2 , Sagital
T1, Sagital T2 Fat Sat, Axial T2, Axial T1, dan 2D Myelo.
Sagital STIR berguna untuk kasus trauma untuk menampakkan
muscular injuries. Sekuen STIR lebih baik di banding T2 FSE untuk
menampakkan fraktur / lesi pada vertebrae. MS plak akan tampak lebi
baik pada sekuen STIR dibandingkan pada sekuen T2 FSE
(Westbrook,2014).
Karakteristik kontras dari sekuen BGRE adalah memiliki sinyal
tinggi dari CSF,sehingga antara CSF dan akar saraf akan memiliki
kontras tinggi. Spin dengan rasio tinggi pada T1 to T2 akan
menampakkan gambaran putih pada darah dan CSF. Cord Lesi seperti
MS plak tidak akan terlihat. Sehingga ini akan berguna untuk pasien
dengan radiculopathy (Westbrook,2014).
RS Betesda Yogyakarta tidak menggunakan sekuen STIR dan
GRE karena kurang informatif. STIR lebih baik digunakan untuk
muskuloskeletal karena akan menampakkan detail yang cukup bagus.
Sedangkan GRE lebih banyak di gunakan di pemeriksaan Brain untuk
kasus pendarahan.
Menurut radiografer sekuen yang ada di RS Bethesda
Yogyakarta sudah cukup untuk klinis HNP. Dengan sekuen tersebut
waktu yang dihasilkan juga sangat efektif. Untuk pemeriksaan spine
ada sekuen tambahan yaitu 2D Myelo. Sekuen ini berguna untuk
melihat kondisi medula spinalisnya.
2. Pada kasus ini terdapat artefak yang mengganggu gambaran yaitu pada
sekuen Sagital T2 Fat Sat. Beberapa metode dapat digunakan dalam
upaya meminimalisir artefak ghosting. Salah satunya dengan cara yang
sederhana, yaitu dengan menukar arah phase dan frequency encoding.
Meskipun cara ini tidak menghilangkan artefak ghosting, namun cara
ini bisa mengalihkan artefak ghosting menuju ke arah lain, sehingga
artefak tidak menganggu anatomi yang dikehendaki. Metode ini
merupakan cara terbaik untuk mengkompensasi artefak ghosting
dengan dimensi kecil, seperti aliran pembuluh darah, aliran CSF, dan
gerakan bola mata.
Pemilihan phase encoding direction untuk potongan sagital
dapat dipilih antara anterior-posterior dan superior-inferior. Dengan
memilih arah phase encoding direction superior-inferior pada potongan
sagital MRI Cervical pembobotan T2 merupakan cara terbaik untuk
menghindarkan artefak ghosting pada area medula spinalis yang
diakibatkan oleh aliran disekitarnya.
Setelah dilakukan perubahan arah phase encoding direction dari
anterior-posterior ke superior-inferior artefak dapat di minimalisir dan
gambaran menjadi lebih bagus.

A B

Gambar 3.4. A. Phase Encoding Anterior-posterior, B. Phase encoding direction


Superior-inferior
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Pemeriksaan MRI Cervical di RS Bethesda tidak memerlukan
persiapan khusus. Hanya saja pasien diminta untuk mengganti baju
dengan baju pasien serta meninggalkan barang-barang yang
dibawanya, kemudian disimpan pada loker ruang ganti baju pasien di
radiologi. Dan mengisi lembar informconsent. Sekuen yang di gunakan
adalah Coronal T2, Sagital T2 , Sagital T1, Sagital T2 Fat Sat, Axial
T2, Axial T1, dan 2D Myelo. Dengan sekuen tersebut dapat
mengefektifkan waktu.
2. Dengan memilih arah phase encoding direction superior-inferior pada
potongan sagital MRI Cervical pembobotan T2 merupakan salah cara
untuk menghindarkan artefak ghosting pada area medula spinalis yang
diakibatkan oleh aliran disekitarnya.

B. Saran
Perlu penelitian lebih lanjut tentang perubahan phase encoding
direction.

Anda mungkin juga menyukai