Anda di halaman 1dari 33

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Teori

1. Anatomi Vertebrae Cervical

Gambar 2.1 Anatomi Vertebrae Cervical


(Westbrook, 2014)

Keterangan gambar :
1. Atlas
2. Axis
3. Processus Spinosus
4. Transverse Process
5. Vertebral Body
6. Intervertebral Disc

Columna Vertebraeadalah struktur lentur yang dibentuk oleh

sejumlah tulang. Seluruhnya terdiri dari 33 buah tulang dan

distribusinya sebagai berikut; 7 vertebrae cervical, 12 vertebrae

thoracal, 5 vertebraelumbal, 5 sacral, dan 4 coccygeus.

Vertebrae cervical atau ruas tulang leher adalah yang paling kecil.

Kecuali yang pertama dan kedua, yang berbentuk istimewa, maka

ruas tulang leher pada umumnya mempunyai ciri yaitu badannya kecil

8
9

dan persegi panjang, lebih panjang dari samping ke samping daripada

dari depan ke belakang. Lengkungnya besar, Processus Spinossus

atau taju duri di ujungnya memecah dua atau bifida. Processus

tranversusnya atau taju sayap berlubang-lubang karena banyak

foramina untuk lewatnya arteri vertebralis (Pearce,2006).

a. Atlas

Atlas terdapat pada bagian superior vertebrae cervical,

tidak mempunyai body vertebrae tetapi berbentuk seperti cincin

oval yang memiliki permukaan halus pada bagian permukaan

superior dari articulation dengan condilus pada tulang occipital.

Pada bagian inferior berhubungan dengan vertebrae cervical

kedua.

b. Axis

Vertebrae cervical kedua disebut axis. Bagian superior

disebut dens atau processus odontoid. Dens terletak dalam

foramen vertebrae pada atlas untuk membentuk lingkaran pada

atlas dan rotasi kepala

c. Discus Intervertebral

Struktur yang paling penting pada vertebrae untuk

membentuk columna adalah diskus intervertebralis. Setiap diskus

terdiri dari fibrocartilagonous diluar lingkaran tersebut annulus

fibrosus dan bagian dalam yang lembut disebut nucleus pulposus.

Ukuran dan bentuk diskus tergantung pada vertebraenya. Ketika

diskus terjadi degenerasi atau trauma, nucleus pulposus dapat

keluar dan berada tidak pada tempatnya atau di dalam annulus


10

fibrosus. Hal demikian dinamakan discus hernia. Gejala ini

tergantung dari lokasi hernia.

d. Medula Spinal / Spinal Cord

Medulla spinalis merupakan struktur yang berbentuk

silinder, berwarna putih keabu-abuan, yang mulai di atas setinggi

foramen magnum sebagai lanjutan dari medulla oblongata. Pada

orang dewasa medulla spinalis berakhir setinggi pinggir bawah

vertebra L1 pada anak-anak lebih panjang dan berakhir setinggi

pinggir atas vertebra L3 Medulla spinalis seperti hanya cerebrum

diliputi oleh tiga lapisan meningen, durameter,arakhnoidea mater

dan piamater.

e. Corpus Vertebrae

Merupakan komponen utama dari kolumna vertebralis.

Berfungsi untuk mempertahankan diri dari beban kompresi yang

tiba pada kolumna vertebra bukan saja dari berat badan, tetapi

juga dari kontraksi otot-otot punggung.

f. Cerebro Spinal Fluid (CSF)

Cairan serebrospinal yang berada di ruang subarakhnoid

merupakan salah satu proteksi untuk melindungi jaringan otak dan

medula spinalis terhadap trauma atau gangguan dari luar.

Perubahan dalam cairan serebrospinal dapat merupakan proses

dasar patologi suatu kelainan klinik.


11

Gambar 2.2 Citra dan Anatomi Vertebrae Cervical


(Moeller, 2007)
Keterangan Gambar:
1. Palatine tonsil 24. Interspinalis muscles
2. Foramen magnum 25. Geniohyoid muscle
3. Vomer 26. Transverse and oblique
arytenoid muscles
4. Anterior longitudinal ligament 27. Mylohyoid muscle
5. Nasopharinx and longus 28. Vertebra C6 and
colli muscle intervertebral disc
6. Apical ligament of dens 29. Hyoid bone
7. Hard palate 30. Larynx (lamina)
8. Tectorial membrane 31. Epiglotis
9. Incisive canal 32. Spinous process of C7
10. Posterior atlanto-occipital 33. Epiglotic vallecula
Membrane 34. Inferior constrictor
muscle
11. Orbicularis oris muscle of pharynx
12. Anterior arch of atlas 35. Throid cartilage
13. Soft palate 36. Spinal cord
14. Suboccipital fatty tissue 37. Vestibular ligament and
15. Superior longitudinal muscle laryngeal ventricle
Of tongue and oral cavity 38. Spinous process
16. Transverse ligament of atlas 39. Vocal ligament
(of cruciform ligament of atlas) 40. Posterior longitudinal
17. Transverse muscle of tungue ligament
18. Dens of axis (C2) 41. Sternothyroid muscle
19. Genuoglossus muscle and 42. Anterior longitudinal
Lingual septum ligament
20. Nuchal ligament 43. Thyroid gland
21. Mandible 44. Esophagus
22. Ligamentum flavum 45. Trachea
12

23. Oropharynx 46. Brachiocephalic artery


2. Patologi Vertebrae Cervical

Cervical syndrome adalah syndrome atau keadaan yang

ditimbulkan oleh adanya iritasi atau kompresi pada radiks saraf

cervical yang ditandai dengan adanya rasa nyeri pada leher (tenguk)

yang dijalarkan ke bahu dan lengan sesuai dengan radiks yang

terkena. Dua penyebab utama nyeri adalah trauma dan artritis.

Menurut Tulaar (2008), Common Cervical Syndrome terdiri atas :

a. Cervical Sprain dan strain

Cedera sprain dan strain pada struktur spina cervical

merupakan kondisi yang paling dijumpai. Sprain adalah

peregangan berlebihan atau robekan pada ligament tendon atau

keduanya, akibat trauma sendi. Strain adalah cedera pada otot.

b. Cervical Disc Disorder

Disrupsi Discus Interna (IDD), Hernia Nucleus Pulposus

(HNP) dan penyakit degenerative diskus merupakan ketiga jenis

gangguan diskus cervical yang sering dijumpai. Hernia disc

ditemukan dengan MRI pada 10% orang tanpa gejala di bawah

usia 40 tahun dan 5% pada usia di atas 40 tahun. MRI

menunjukkan diskus degenerative pada 25% orang tanpa gejala di

bawah usia 40 tahun dan hampir 60% pada mereka diatas 40

tahun. Radikulopati cervical relatif sering disebabkan oleh

pembentukan spur berkaitan dengan penyakit diskus generative.

Disrupsi Diskus Interna adalah istilah untuk mendeskripsikan

perubahan patologi struktur interna diskus dan ditandai dengan


13

abnormalitas nucleus pulposus atau annulus fibrosus tanpa

deformasi diskus eksterna.

c. Spondylosis cervical (Osteoarthritis)

Spondylosis adalah perubahan degenerative yang terjadi

pada diskus intervertebra dan corpus vertebra. Spondylosis

cervical dapat menyebabkan nyeri radikuler akibat penjepitan akar

saraf, akan tetapi dapat juga menyebabkan nyeri sendi pada

bagian zygapophyseal.

d. Nyeri Miofasial

Syndrom nyeri miofasial sering menyerupai syndrom

radikulopati cervical dan syndrome faset cervical. Nyeri miofasial

harus dievaluasi lebih lanjut apabila pencitraan normal pada orang

dengan nyeri leher serta ntyeri bahu dan lengan. Di daerah leher

secara khas melibatkan otot paraspinal cervical dan otot trapezius

atas. Tanda utama adalah muscle tenderness di otot yang teraba

keras.

3. Magnetic Resonance Imaging (MRI)

Pencitraan resonansi magnetik atau lazim disebut MRI (singkatan

dari Magnetic Resonance Imaging) awalnya disebut NMR (Nuclear

Magnetic Resonance). Hal ini disebabkan dasar pencitraan

bersumber pada pemanfaatan inti atom (Nucleus) positif (proton) yang

berinteraksi dengan gelombang radio dalam medan magnet yang

kuat. Namun karena presepsi masyarakat luas yang negatif jika

menggunakan istilah “ nuklir “ yang merupakan dampak dari trauma

pada penggunaan energi nuklir dalam bidang militer maka NMR tidak
14

dipopulerkan dan diganti menjadi MRI. Saat ini pemeriksaan MRI

berkembang sangat pesat karena selain mampu menyajikan informasi

diagnostik dengan tingkat akurasi yang tinggi, juga bersifat non-

invasive (Non-Traumatis), tidak ada bahaya radiasi (Radiation

Hazard) serta menyuguhkan gambar – gambar organ dari berbagai

irisan (Multi planar) tanpa memanipulasi tubuh pasien (J Blink, 2004).

MRI menggunakan medan magnet yang kuat untuk menyesuaikan

magnetisasi atom hydrogen di dalam tubuh. Radio frequency (RF)

digunakan untuk mengubah aligment magnetisasi, sehingga

menghasilkan medan magnet berputar (spin) yang dapat dideteksi

dengan koil penerima (Westbrook et al, 2011).

4. Prinsip Dasar MRI

Prinsip-prinsip MRI bergantung pada gerakan berputar (spinning)

dari inti tertentu yang ada pada jaringan biologis. Spin berasal dari

spin individu proton dan neutron dalam inti. Pasangan partikel

subatomik otomatis berputar dalam arah yang berlawanan tetapi pada

kecepatan yang sama seperti pasangannya. Dalam inti yang memiliki

nomor massa, yaitu jumlah proton sama dengan jumlah neutron,

setengah berputar di satu arah dan setengah pada yang lain. Inti itu

sendiri tidak memiliki net spin. Namun, dalam inti dengan nomor

massa ganjil, yaitu di mana jumlah neutron lebih sedikit atau kurang

dari jumlah proton, arah berputar tidak sama dan berlawanan,

sehingga inti itu sendiri memiliki net spin atau momentum sudut. Ini

dikenal sebagai MR active nuclei (Westbrook et al, 2011).


15

MR active nuclei ditandai dengan kecenderungan untuk

menyelarsakan sumbunya dari rotasi ke penerapan medan magnet.

Hal ini terjadi karena mereka memiliki momentum sudut atau spin

dan, karena mengandung proton bermuatan positif, mereka memiliki

muatan listrik. Hukum induksi elektromagnetik (ditetapkan oleh

Michael Faraday pada tahun 1833) mengacu pada tiga kekuatan

individu gerak, magnet dan biaya, dan menyatakan bahwa jika dua ini

ada, maka ketiga secara otomatis diinduksi. MR active nuclei yang

memiliki net muatan dan berputar (gerak), secara otomatis

memperoleh momen magnetik dan dapat sejajar dengan medan

magnet luar. Contoh dari MR active nuclei, bersama dengan nomor

massanya yaitu hidrogen 1, Karbon 13, Nitrogen 15, Oksigen 17,

Fluor 19, Natrium 23, Fosfor 31 (Westbrook et all, 2011).

a. Presesi

Setiap inti hidrogen berputar pada porosnya (ditampilkan

pada gambar 2.3). Pengaruh Bo menghasilkan spin tambahan dari

momen magnetik hidrogen sekitar Bo. Spin sekunder ini disebut

presesi dan menyebabkan momen magnetik untuk mengikuti jalan

melingkar di sekitar Bo. Jalur ini disebut jalur presesi dan

kecepatan disekitar Bo disebut frekuensi presesi. Unit frekuensi

presesi adalah megahertz (MHz) dimana 1 Hz adalah satu siklus

atau putaran per detik dan 1 MHz adalah satu juta siklus atau 1

putaran per detik.


16

Gambar 2.3 Proses Presesi (Westbrook et all,2011)

Frekuensi presesi sering disebut dengan frekuensi Lamor.

Rasio giromagnetik hidrogen adalah sebuah ketepatan, yaitu 42,

57 MHz/T. Frekuensi Lamor berbanding lurus dengan kuat medan

magnet eksternal. Semakin kuat medan magnet eksternal,

semakin besar nilai frekuensi Lamor (Westbrook dan Kaut, 2011).

b. Resonansi

Resonansi adalah fenomena yang terjadi ketika sebuah

benda terkena gangguan osilasi yang memiliki frekuensi dekat

dengan frekuensi alaminya dari osilasi. Ketika inti terkena suatu

gangguan eksternal yang memiliki osilasi mirip dengan frekuensi

alaminya. Inti memperoleh energi dan beresonansi jika energi

tersebut disampaikan tepat pada frekuensi presesi yang sama.

Jika energi disampaikan pada frekuensi yang berbeda dengan

yang ada pada frekuensi Larmor inti, resonansi tidak terjadi

(Westbrook et al, 2011).


17

Energi pada frekuensi presesi hidrogen pada semua

kekuatan magnet di MRI klinis sesuai dengan radiofrekuensi (RF)

dan spektrum elektromagnetik. Untuk resonansi hidrogen terjadi,

energi pulsa RF tepat pada frekuensi Larmor hidrogen harus

diterapkan. MR active nuclei yang telah diselaraskan dengan Bo

tidak beresonansi, karena frekuensi presesi mereka berbeda

dengan yang hidrogen. Hal ini karena rasio gyromagnetic mereka

berbeda dengan hidrogen.

Penerapan pulsa RF yang menyebabkan resonansi terjadi

disebut eksitasi. Penyerapan energi ini menyebabkan peningkatan

jumlah populasi spin hidrogen inti turun sebagai beberapa spin-up

(ditampilkan dalam warna biru pada gambar 2.4) inti memperoleh

energi melalui resonansi dan menjadi tinggi – inti energi

(ditampilkan dalam warna merah pada gambar 2.4). Perbedaan

energi antara dua populasi sesuai dengan energi yang dibutuhkan

untuk menghasilkan resonansi melalui eksitasi. Sebagai kekuatan

medan magnet meningkat, perbedaan energi antara dua populasi

juga meningkat sehingga lebih banyak energi (frekuensi tinggi)

yang diperlukan untuk menghasilkan resonansi.


18

Gambar 2.4 Transfer Energi Selama Eksitasi


(Westbrook et al,2011)

Salah satu hasil dari resonansi adalah bahwa Net

Magnetization Vector (NMV) bergerak keluar dari keselarasan jauh

dari Bo. Hal ini terjadi karena beberapa energi rendah inti

diberikan energi yang cukup melalui resonansi untuk bergabung

dengan populasi energi tinggi. Sebagai NMV mencerminkan

keseimbangan antara populasi energi rendah dan tinggi, resonansi

menyebabkan NMV untuk tidak lagi terletak sejajar dengan Bo

tetapi pada sebuah sudut itu. Sudut dimana NMV bergerak keluar

dari keselarasan disebut flip angle (Gambar 2.5). Besarnya flip

angle adalah 90orelatif ke Bo. Namun, NMV adalah sebuah vektor,

ketika flip angle lain dari 90o digunakan, selalu ada sebuah

komponen magnetisasi pada sebuah bidang tegak lurus ke Bo.


19

Gambar 2.5 Flip Angle (Westbrook et al, 2011)

c. Signal MRI

Signal MRI adalah akibat dari resonansi NMV yang

mengalami inphase pada bidang transversal. Hukum Faraday

menyatakan jika receiver coil ditempatkan pada area medan

magnet yang bergerak misalnya NMV yang mengalami presesi

pada bidang transversal akan dihasilkan voltage dalam receiver

coil. Oleh karena itu NMV yang bergerak menghasilkan medan

magnet yang berfluktuasi dalam koil. Saat NMV berpresesi sesuai

frekuensi Larmor pada bidang transversal, maka akan terjadi

voltage. Voltage ini merupakan MR signal. Frekuensi signal sama

dengan frekuensi Larmor, besarnya signal tergantung pada jumlah

magnetisasi yang ada pada garis transversal (Westbrook et al,

2011)

d. Sinyal Free Induction Decay (FID)

Ketika aplikasi puls RF dihentikan, maka NMV akan

kembali terpengaruh oleh Bo dan inti atom hidrogen akan

kehilangan energi yang didapatkan dari resonansi pulsa RF.


20

Proses hilangnya energi dari inti atom hidrogen ini dinamakan

relaksasi. Hal ini akan menyebabkan pengurangan magnetisasi

pada bidang transversal dan penambahan magnetisasi pada

bidang longitudinal. Karena magnetisasi pada bidang transversal

berkurang, maka magnetisasi pada voltage di receiver coil juga

berkurang. Induksi dari pengurangan signal ini disebut sebagai

signal Free Induction Decay (FID) (Westbrook et al, 2011)

e. Relaksasi

Relaksasi adalah proses hilangnya energi dari inti atom

hidrogen akibat dihentikannya aplikasi RF. Menurut Westbrook et

al (2011), ada dua jenis relaksasi, yaitu :

1) T1 Recovery

Terjadi karena inti atom hidrogen memberikan energi ke

lingkungan (Spin-Lattice Relaxation). Energi yang diberikan ke

lingkungan ini menyebabkan magnetisasi bidang longitudinal

akan semakin menguat (recovery) dengan waktu recovery

yang tetap dan berupa proses eksponensial yang disebut waktu

relaksasi T1 yaitu waktu yang diperlukan suatu jaringan untuk

mencapai pemulihan magnetisasi longitudinal hingga 63

(ditampilkan pada kurva gambar 2.6). Pada jaringan tubuh

manusia, nilai T1 akan pendek pada jaringan lemak dan

panjang untuk cairan dalam tubuh. Secara umum dikatakan

bahwa untuk pembobotan T1, jaringan dengan nilai T1 pendek

(fat) akan tampak terang sedangkan dengan T1 panjang

(water) akan tampak gelap.


21

Gambar 2.6 Kurva T1 Recovery (Westbrook et al,2011)

2) T2 Decay

T2 decay dihasilkan oleh adanya pertukaran energi antar

inti atom hidrogen satu dengan lainnya, dinamakan dengan

spin-spin relaxation. Proses ini akan menghasilkan meluruhnya

magnetisasi pada bidang transversal. Waktu yang dibutuhkan

suatu jaringan untuk kehilangan (decay) 63% hingga tersisa

37% dikenal dengan waktu relaksasi T2 (gambar 2.7). Pada

umumnya waktu T2 lebih singkat daripada T1, pada jaringan

dengan pembobotan T2 panjang (water) akan tampak terang

dan jaringan dengan T2 pendek (fat) akan tampak gelap.

Gambar 2.7 Kurva T2 Decay (Westbrook et al,2011)


22

f. Parameter Pemilihan Waktu Pulsa

1) Time Repetition (TR)

Time Repetition (TR) merupakan waktu dari aplikasi

satupulsa RF untuk aplikasi pulsa RF berikutnya untuk setiap

slice dan diukur dalam milidetik (ms). TR menentukan jumlah

relaksasi longitudinal antara pulsa RF ke RF berikutnya.

Sehingga TR menentukan jumlah relaksasi T1 yang telah

terjadi ketika signal dibaca. T1 WI memiliki nilai TR yang

pendek, sehingga cukup untuk longitudinal recovery sedikit

jaringan (T1 pendek). TR panjang digunakan pada T2 WI.

Dengan TR panjang, memungkinkan terjadinya full longitudinal

recovery untuk jaringan-jaringan (Westbrook et al,2011).

2) Time Echo (TE)

Time Echo (TE) adalah waktu yang diperlukan dari aplikasi

radiofrekuensi sampai puncak induksi signal dalam koil, dimana

satuannya milisecond (ms). TE menentukan berapa banyak

magnetisasi tranverse untuk decay yang terjadi sebelum

dibaca. Oleh karena itu TE mengontrol jumlah T2 relaksasi

yang terjadi (Westbrook et al,2011).

TE disebut pendek, jika waktunya kurang dari 30 ms.

Pemberian TE dengan panjang waktu sekitar tiga kali lipat TE

pendek disebut TE panjang. Pemilihan panjang dan pendeknya

akan mempengaruhi intesitas sinyal yang didapat (Westbrook

and Kaut, 2011).


23

Time echo digambarkan sebagai interval antara akhir dan

permulaan dari pulsa eksitasi RF window acquisition.

Pencitraan dengan waktu relaksasi T2 hanya beberapa ratus

mikrodetik untuk deteksi sinyal disebut ultrashort echo time

(UTE) pada T2 pendek sering dilakukan seperti pencitraan

jaringan seperti tendon, ligamen dan periosteum, hati, paru-

paru, dan pencitraan molekular.

Intensitas sinyal echo ditentukan oleh kurva T2, intensitas

sinyal besar jika memakai TE pendek. Dengan TE yang cepat

meminimalkan peluruhan transversal atau transverse decay

dan sinyal yang dihasilkan dapat dipelihara. Pemilihan TE

panjang dapat mengakibatkan peluruhan transversal atau

transverse decay menjadi maksimal dan sinyal yang didapat

kecil.

g. Pembobotan Citra dan Kontras

1) Kontras T1

Sebagai waktu T1 lemak lebih pendek daripada air, vektor

lemak diatur kembali dengan Bo lebih cepat dari vektor air.

Komponen longitudinal magnetisasi lemak oleh karena itu lebih

besar dari air. Setelah TR tertentu yang lebih pendek dari total

waktu relaksasi dari jaringan, selanjutnya eksitasi pulsa RF

diterapkan. Sudut eksitasi pulsa RF komponen longitudinal

magnetisasi dari kedua lemak dan air ke dalam bidang

transversal (dengan asumsi pulsa 90o diterapkan) (Westbrook

et al,2011).
24

2) Kontras T2

Waktu T2 lemak lebih pendek daripada air, sehingga

komponen magnetisasi transversal lemak meluruh cepat.

Besarnya magnetisasi transversal dalam air adalah besar. Air

memiliki sinyal yang tinggi dan muncul terang pada gambar

kontras T2. Namun, besarnya magnetisasi transversal lemak

kecil. Oleh karena itu lemak memiliki signal rendah dan tampak

gelap pada gambar kontras T2 disebut pembobotan citra T2

(T2 Weighted Image) (Westbrook et al,2011).

3) Proton Density

Kontras proton density (PD) mengacu pada perbedaan

intensitas signal antara jaringan yang merupakan konsekuensi

dari jumlah relatif proton hidrogen seluler per satuan volume.

Untuk menghasilkan kontras karena perbedaan dalam

kepadatan proton antara jaringan, komponen magnetisasi

transversal harus memperlihatkan perbedaan ini. Jaringan

dengan densitas proton tinggi (misalnya jaringan otak) memiliki

komponen besar dari magnetisasi transversal (dan karena itu

signal yang tinggi) dan cerah pada gambar kontras densitas

proton. Jaringan dengan densitas proton rendah (misalnya

korteks tulang) memiliki komponen magnetisasi transversal

kecil (dan karena itu signal rendah) dan gelap pada gambar

kontras densitas proton. Kontras proton density selalu hadir

dan tergantung pada pasien dan daerah yang diperiksa. Hal ini

kontras MRI dasar dan disebut pembobotan proton density


25

(weighting). Untuk mendapatkan pembobotan proton density,

faktor-faktor pembentuk T1 dan T2 harus dihilangkan. TR harus

dibuat panjang untuk menghilangkan efek T1 dan TE harus

dibuat pendek untuk menghilangkan efek T2 (Westbrook et al,

2011).

5. Pulsa Sekuen MRI

Pulsa Sekuen adalah serangkaian even yang meliputi pulsa

radiofrekuensi, pengaktifan gradien, dan pengumpulan sinyal yang

dilakukan untuk menghasilkan gambaran MRI. Beberapa jenis sekuen

yang sering digunakan dalam diagnostik klinis antara lain Sekuen

Spin Echo, Fast Spin Echo, Gradient Echo, Inversion Recovery, Echo

Planar Imaging, serta Magnetic Resonance Angiography. Setiap

sekuen memiliki parameter yang berbeda-beda untuk menghasilkan

pembobotan yang berbeda-beda pula. Pembobotan kontras pada

masing-masing sekuen tersebut memilki karakteristik tertentu

sehingga dapat digunakan untuk menilai suatu proses patologis (Bitar

et al, 2006).

a. Spin Echo

Sekuen Spin echo(SE) merupakan pulsa sekuen gold

standard yang biasa digunakan pada setiap pemeriksaan. Spin

Echo(SE) ini dilakukan dengan mengaplikasikan pulsa 90°

eksitasi, diikuti dengan aplikasi pulsa 180° rephasing (gambar

2.8). Pembobotan T1 menghasilkan gambaran anatomi,

sedangkanpembobotan T2 menunjukkan patologinya, yang akan

tampakterang jika ada cairan. Sedangkan keterbatasan SE yaitu


26

waktu scanningrelatif lama Oleh karena itu Spin Echo sering

digunakan pada pembobotan T1 (Westbrook dan Kaut, 2011).

Gambar 2.8 Pulsa sekuen Spin Echo (Westbrook dan Kaut, 2011)

b. Fast (Turbo) Spin Echo

Fast Spin Echo (FSE)adalah salah satu pengembangan

dari sekuen Spin Echo. FSE dilakukan untuk mempercepat waktu

scan, dengan mengaplikasikan beberapa kali pulsa 1800rephasing

dalam satu Time Repetition (TR). Pengaplikasian beberapa pulsa

180° dalam satu TR menghasilkan rangkaian echo yang disebut

dengan Echo Train Length (ETL). FSE banyak digunakan untuk

pembobotan T2 karena waktu dapat lebih singkat (Westbrook dan

Kaut, 2011).

Gambar2.9Phase Encode pada Fast Spin Echo (Echo Train)


(Westbrook dan Kaut, 2011)
27

Keunggulan Sekuens Fast Spin Echo adalah waktu yang

menjadi lebih singkat, SNR masih relatif bagus, dapat untuk

membuat citra high resolution dengan waktu yang relatif singkat,

motion artefak dapat diminimalkan, adanya rephasing pulse dapat

membuat distori pada objek metalik dapat dikurangi.

Keterbatasan FSE adalah meningkatnya motionartifact dan

flow artifact, meningkatnya flow artifact dan motion artifact

tidakkompatibeldengan beberapa opsi pencitraan, lemak tampak

terang pada pembobotan T2, Image blurring dapat terjadi karena

koleksi data dilakukan dengan TE yang berbeda-beda dan

mengurangi efek susceptibility, tapi tidak sensitif untuk

pendarahan (Westbrook dan Kaut, 2011).

c. Gradient Echo

Gradient Echo adalah pulsa sekuen yang tidak

menggunakan pulsa 180o untuk refocusing. Berbeda dengan Spin

Echo yang menggunakan 180o untuk rephasing, gradient echo

menggunakan gradien polarity reversal. Keuntungan dari

penggunaan gradient echo ini yaitu mengurangi waktu

pemeriksaan, namun kerugian dalam penggunaan gradien echo

adalah signal yang dihasilkan kecil, mungkin terdapat pula motion

artefak (Blink, 2004).

Gradien echo menggunakan variasi eksitasi pulsa RF

sehingga sudut pergerakan yang dilalui NMV dapat bermacam-

macam (tidak hanya 90o). Sinyal FID yang dihasilkan sangat

dipengaruhi oleh ketidakhomogenan medan magnet, oleh karena


28

itu dephasing T2* terjadi. Selanjutnya gradien akan melakukan

rephasing momen magnetik ini sehingga menghasilkan sinyal

yang disebut gradient echo (Westbrook et al, 2011)

d. Inversion Recovery

Inversion Recovery (IR) merupakan sekuen yaitu urutan

pulsanya dimulai dengan pulsa RF 90 o eksitasi lalu pulsa

180orephase. Dengan adanya pulsa inversi 180o ini maka NMV

akan disaturasi penuh. Ketika pulsa inversi dihentikan, maka NMV

akan mengalami relaksasi dan kembali menuju magnet utama. IR

digunakan untuk menghasilkan pembobotan T1 dengan

perbedaan kontras yang tinggi antara cairan dan lemak. Inversion

Recovery (IR) terdiri dari Short Tau Inversion Recovery (STIR) dan

Fluid Attenuated Inversion Recovery (FLAIR) (Westbrook et al,

2011).

Keuntungan IR adalah bagus karena TR panjang dan

kontras T1 sangan bagus. Kekurangan IR adalah waktu scanning

panjang, namun kini IR dapat dikombinasikan dengan FSE

sehingga waktu scanning dapat berkurang (Westbrook et al,

2011).

Parameter utama dalam IR adalah Time Repetition (TR),

Time Echo (TE) dan Time Inversion (TI). Ketika IR digunakan

untuk menghasilkan citra dengan pembobotan T1WI dengan

kontras tinggi, sebaiknya TE dijaga agar tetap pendek untuk

mengontrol waktu T2 decay dan dapat meminimalkan efek T2

pada citra. Namun waktu TE dapat diperpanjang dengan tujuan


29

agar jaringan dengan waktu relaksasi T2 yang panjang akan

tampak terang pada gambar. Hal ini sering disebut dengan

pembobotan patologis (Pathology-Weighting) yang akan

menghasilkan citra dominan T1WI, tetapi apabila proses patologis

maka kelainan tersebut akan tampak terang pada gambar

(Westbrook et al, 2011).

Inversion Recovery terdiri dari Short Tau Inversion

Recovery (STIR) dan Fluid Attenuated Inversion Recovery

(FLAIR). Keduanya merupakan variasi sekuens IR (Westbrook et

al, 2011).

1) Short Tau Inversion Recovery (STIR)

Short Tau Inversion Recovery (STIR) merupakan pulsa

sekuen Inversion Recovery yang menggunakan TI yang singkat

untuk menekan signal lemak dan TE yang berkisar 50 ms+

untuk memungkinkan full recovery. Ketika aplikasi pulsa 90o,

vektor lemak kembali melalui 90o sampai 180o dengan full

saturasi, kemudian sinyal pada lemak menjadi nol (nulled)

(Westbrook et al, 2011).

Short Tau Inversion Recovery (STIR) dapat menekan

signal lemak berdasarkan perbedaan TI dari jaringan. TI dari

jaringan lemak yang lebih pendek daripada air. Jadi, setelah

pulsa inversi 180o, magnetisasi longitudinal jaringan lemak akan

pulih lebih cepat daripada air. Kemudian pulsa 90o diterapkan

pada titik nol oleh air tanpa jaringan lemak. Kelebihan dari

metode ini adalah tidak sensitif terhadap inhomogenitas medan


30

magnet dan dapat digunakan dalam medan magnet kekuatan

rendah, dan juga dapat diterapkan untuk scanning FOV besar

seperti tulang, limb long bones, dan trunk imaging. Kekurangan

meliputi : 1) penekanan lemak ini adalah non spesifik, signal

dari jaringan atau cairan dengan TI mirip dengan lemak juga

akan ditekan; 2) Metode ini meningkatkan waktu pemeriksaan,

terutama TE; 3) Hal ini tidak dapat digunakan dengan media

kontras (Wu, Jing et al, 2012).

Menurut Grande et al (2014), teknik pulsa sekuen STIR

pertama kali diperkenalkan oleh Bydder et al, sebagai varian

dari sekuen Inversion Recovery sebelumnya digunakan di

pencitraan MR bidang kekuatan rendah. Teknik Inversion

Recovery didasarkan pada waktu relaksasi T1 dari jaringan

yang dicitrakan. Setelah menerapkan pulsa inversi180o,

magnetisasi longitudinal lemak pulih lebih cepat daripada air

dan melintasi garis nol (tidak ada net magnetisasi) setelah Time

Inversion (TI). Penerapan eksitasi pulsa 90o di waktu signal

lemak melintasi garis nol menghasilkan signal bebas lemak.

Namun, karena air memiliki waktu relaksasi T1 yang panjang,

diperlukan waktu lebih lama untuk mencapai garis nol, dan

masih menghasilkan signal yang berkurang. Waktu antara

pulsa inversi 180o dan pulsa akuisisi 90o dalah Time Inversion.

STIR tidak sensitif terhadap heterogenitas B0 dan B1.

Menurut Wu, Jing et al (2012), STIR banyak digunakan

pada MRI Spine, karena memiliki banyak keuntungan dalam


31

menampilkan cedera tulang belakang, dalam menafsirkan

apakah fraktur kompresi tulang belakang akut atau kronis, dan

dalam mendeteksi fraktur. Selanjutnya menurut Tokuda (2009),

teknik STIR baik untuk menampakkan kelainan seperti tumor

dan bone marrow.

TE merupakan komponen yang penting pada T2, karena

dengan merubah TE pada STIR maka akan merubah sinyal

lemak yang terbentuk. Gambaran STIR memiliki kontras citra

yang tinggi namun SNR rendah karena adanya penekanan

pada sinyal lemak. Dengan adanya supresi lemak pada STIR,

maka gambaran kelainan akan nampak jelas karena berada

pada area yang gelap. Dengan mengatur nilai TE yang tepat,

maka akan dihasilkan kontras yang baik antara air dan lemak

karena adanya saturasi penuh dari vektor air dan lemak.

TE menjadiparameter yang penting pada sekuen STIR

karena pilihan dariTE mempengaruhi kontras gambar secara

drastis pada semua sekuen, Meningkatkan TE akan memiliki

efek sebagai berikut :

a). T2 lebih kontras, Peningkatan TE memungkinkan untuk lebih

dephasing.

b). Kurang sinyal.

c). Kemungkinan pertukaran kontras.


32

2) Fluid Atteanuated Inversion Recovery (FLAIR)

Fluid Attenuated Inversion Recovery (FLAIR) merupakan

salah satu variasi sekuen Inversion Recovery (IR). Pada FLAIR,

signal CSF dibuat null dengan memilih TI yang sesuai dengan

waktu recovery CSF dari pulsa 180o ke arah bidang transversal

sehingga tidak terjadi magnetisasi longitudinal pada CSF.

Ketika pulsa 90o eksitasi diaplikasikan, vector CSF disudutkan

melewati 90o sampai mencapai saturasi penuh kembali

sehingga tidak ada magnetisasi pada bidang transversal dari

signal CSF menjadi null. FLAIR digunakan untuk menekan

signal CSF pada pembobotan T2 dan Proton Density sehingga

kelainan-kelainan patologis dapat tervisualisasikan lebih jelas.

TE yang digunakan sekitar 70 ms+ (Westbrook et al, 2011).

6. Kualitas Citra MRI

Optimisasi pada pemeriksaan MRI sangat perlu diketahui oleh

seorang radiografer dengan cara mengetahui faktor apa saja yang

mempengaruhi kualitas gambar. Kualitas gambar MRI yang optimal

dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu (Westbrook et al, 2011):

a. Signal To Noise Ratio (SNR)

Menurut Westbrook et al, (2011), signal to noise ratio

(SNR) adalah rasio amplitudo signal yang diterima pada amplitudo

dari noise. Signal diterima dari koil penerima dari presesi pada

NMV bidang transversal. Signal dapat ditingkatkan dan diturunkan

untuk noise yang relatif. Meningkatkan signal dapat meningkatkan


33

SNR, sebaliknya menurunkan signal dapat menurunkan SNR.

Beberapa faktor yang mempengaruhi SNR adalah :

1) Number of Signal (NSA)

Jumlah dari waktu data mengumpul dengan amplitudo

yang sama dari kemiringan phase encoding. NSA dapat

dikontrol dengan jumlah data dari K Space. Data terdiri dari

signal dan noise. Meningkatkan NSA akan mengurangi

motion artefact.

2).Proton Density (PD)

Jumlah proton pada area bawah pemeriksaan terdapat

amplitudo dari dignal yang diterima. Area dengan proton

densiti rendah (seperti lungs), memiliki signal rendah dan SNR

rendah. Sebaliknya area dengan proton densiti tinggi (seperti

pelvic), memiliki signal tinggi dan juga SNR tinggi.

3).Volume Voxel

Suatu gambaran digital terdiri dari pixel. Brightness dari

pixel mewakili jumlah dari signal MRI yang dihasilkan dari

seluruh unit volume suatu jaringan tubuh pasien atau voxel.

Voxel mewakilidari volume suatu jaringan dalam pasien dan

ini disebut area pixel dan slice thickness. SNR proporsional

unrtuk volume voxel dan beberapa parameter dengan

mengubah ukuran voxel yang mengubah SNR. Menurunkan

ukuran voxel akan menurunkan SNR.


34

4). TR, TE dan Flip Angle

Walaupun TR, TE, dan Flip Angle biasanya merupakan

parameter yang mempengaruhi kontras gambar, ini juga

mempengaruhi SNR dan keseluruhan kualitas gambar. Flip

Angle rendah menghasilkan SNR rendah, TR yang panjang

dapat meningkatkan SNR dan TR yang pendek dapat

mengurangi SNR, sedangkan TE yang panjang dapat

mengurangi SNR, dan TE yang pendek dapat meningkatkan

SNR.

5). Receive Bandwidth

Receive Bandwidth adalah luas dari frekuensi dengan

sampau saat aplikasi dari gradient. Mengurangi receive

bandwidth menghasilkan noise yang sedikit dengan signal

yang relatif. SNR meningkat karena receive bandwidth

diturunkan. Mengurangi receve bandwidth dapat

meningkatkan chemical shiftartefact.

6). Tipe koil

Tipe koil yang digunakan mempengaruhi signal yang

diterima dan SNR. Dua koil dapat meningkatkan SNR karena

dua koil digunakan untuk menerima signal. Permukaan koil

ditempatkan diluar dan di bawah area pemeriksaan akan

meningkatkan SNR.

Cara meningkatkan kualitas gambar SNR dengan cara:

a). Menggunakan pulsa sekuens spin echo bila

memungkinkan
35

b). Tidak menggunakan TR yang sangat pendek dan TE yang

sangat panjang

c). Menggunakan koil yang tepat

d). Menggunakan matrix kasar

e). Menggunakan FOV yang besar

f). Memilih ketebalan slice

g). Menggunakan NSA tinggi jika memungkinkan

b. Contrast To Noise Ratio (CNR)

Menurut westbrook et al, (2011), CNR adalah perbedaan

SNR antara organ yang saling berdekatan. CNR yang baik dapat

menunjukkan perbeedaan daerah yang patologis daerah yang

sehat. Dalam hal ini, CNR dapat ditingkatkan dengan cara :

1) Menggunakan pembobotan gambar T2

2) Menggunakan media kontras

3) Menggunakan pre-saturation, untuk menghilangkan gambaran

jaringan nomral sehingga patologi terlihat jelas

4) Menggunakan magnetisasi transfer

c. Spasial Resolusi

Menurut Westbrook et al, (2011), besarnya matrix akuisisi

mengontrol resolusi citra dan waktu scanning. Spasial resolusi

dapat diperoleh dengan menetukan jumlah pixel (picture element)

atau satuan pembentuk gambar yang ditampilkan dalam Field Of

View (FOV). Resolusi berhubungan dengan SNR. Umumnya,

resolusi citra sebanding dengan pemilihan ukuran jaringan dalam

arah frekuensi encoding. Ukuran matriks pada sumbu frekuensi


36

dapat dipilih dari 256 sampai 64 satuan. Ada banyak cara untuk

mempertinggi spasial resolusi, salah satunya dengan

menggunakan pixel-pixel kecil yang memiliki suatu matriks

pencitraan yang besar, namun nilai SNR akan berkurang. Hal ini

karena besarnya signal yang sama harus didistribusikan ke

seluruh pixel yang banyak jumlahnya, sehingga setiap pixel

menerima signal yang kecil. Makin besar ukuran matriks maka

waktu pengambilan citranya semakin lama.

Faktor lain yang mempengaruhi spasial resolusi adalah

ketebalan irisan. Irisan yang tebal cenderung menghasilkan

pembagian volume yang lebih besar, dimana hal ini dapat

menyarankan pembatasan objek-objek yang lebih kecil.

Penggunaan irisan tipis dapat mengatasi keadaan tersebut, tetapi

menyebabkan NSR berkurang karena berkurangnya signal pixel.

Jadi, penambahan ketebalan irisan akan memperoleh SNR yang

lebih baik dan dapat mencakup suatu volume jaringan yang besar,

tetapi resolusi spasialnya kecil. Sebaliknya irisan yang tipis

memberikan resokusi yang lebih tinggi tetapi volume yang dapat

dicakup lebih kecil.

d. Scan Time

Menurut Westbrook et al, (2011), scan time dipengaruhi

oleh Time Repetition (TR), jumlah phase encoding dan NSA.

Sehingga untuk mengurangi waktu dilakukan dengan cara :

1) TR sependek mungkin

2) Matrix yang kasar


37

3) NSA sekecil mungkin

7. Teknik Pemeriksaan Vertebrae Cervical

Menurut Moeller (2003) teknik pemeriksaan MRI Vertebra

Cervical,yaitu:

a. Indikasi Pemeriksaan

1) Cervical Syndrome

2) Hernia Nucleus Pulposus (HNP)

3) Spondylosis Cervicalis

4) Osteophytes, arthrosis, lesi kanal tulang belakang yang

disebabkan oleh tumor, muliple sclerosis, dan lain-lain.

5) Penyakit tulang dan discus intervertebrae yang disebabkan

karena infeksi, peradangan, dan infiltrasi tumor.

b. Persiapan Pasien

1) Mempersilahkann pasien untuk buang air kecil terlebih dahulu.

2) Memberikan penjelasan kepada pasien untuk tidak bergerak

dan menelan ludah selama pemeriksaan untuk menghindari

artefak.

3) Tutup telinga pasien untuk menghindari kebisingan selama

pemeriksaan.

4) Menanggalkan semua logam yang dikarenakan pasien

misalnya gigi palsu, jepit rambut, perhiasan, dan lain-lain

c. Persiapan Alat

1) Pesawat MRI yang siap digunakan

2) Koil posterior leher (surface coil), Volume neck coil, phased

Array Spinal Coil


38

3) Spon/busa dan pengikat untuk imobilisasi

4) Penutup telinga

d. Posisi Pasien

1) Pasien diposisikan tidur terlentang senyaman mungkin di meja

pemeriksaan

2) Gunakan bantal spon untuk mengganjal kepala dan leher

setinggi 5-10 cm, bahu rata ke lengkungan tulang belakang

leher

3) Pasang cervical coil di leher, senyaman mungkin

4) Gunakan alat fiksasi untuk coil, agar posisinya tidak bergerak

5) Sinar longitudinal tepat pada mid sagital leher, sehingga tepat

di daerah isocenter

6) Fiksasi tubuh pasien

e. Protokol MRI Vertebrae Cervical

1) Sagital / coronal SE/ FSE/ or Coherent GRE T2*

2) Sagital SE / FSE T1

3) Sagital SE / FSE T2 Coherent GRE T2*

4) Axial /oblique SE / TSE T1/ T2

Optional Sequence

5) Sagital / axial oblique SE/ FSE T1

6) Sagital SE / FSE T2 or STIR

7) 3D Coherent / incoherent (spoiled) GRE T2* / T1


39

B. Kerangka Teori

Pemeriksaan MRI Cervical

Pulse Sequence

Spin Fast Spin Inversion Gradient


Echo Echo Recovery Echo

STIR FLAIR

TE

Voxel
SNR
Flip Angle

Slice
Thickness CNR
TR
Spasial
NSA Resolusi

FOV

Scan Time
Matrix

Kualitas Citra

Informasi Anatomi
40

C. Hipotesis

Ho : Tidak ada perbedaan informasi citra MRI Cervical pada variasi

Time Echo sekuen STIR dengan indikasi Cervical Syndrome

irisan sagital.

Ha : Tidak ada perbedaan informasi citra MRI Cervical pada variasi

Time Echo sekuen STIR dengan indikasi Cervical Syndrome

irisan sagital.

Anda mungkin juga menyukai