Anda di halaman 1dari 32

REFERAT

TETHERED CORD SYNDROME PADA NEONATUS

Disusun Oleh :
Lailatul Masruroh
G4A017…

Pembimbing :
dr. Teguh Manulima, Sp.BS

DEPARTEMEN ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
SMF ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN
RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
PURWOKERTO

2019

1
HALAMAN PENGESAHAN

Telah dipresentasikan dan disetujui referat yang berjudul:


“ TETHERED CORD SYNDROME PADA NEONATUS”

Disusun oleh :

Lailatul Masruroh
G4A017…

Referat ini telah dipresentasikan dan disahkan sebagai salah satu tugas di bagian
Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto

Purwokerto, Agustus 2019

Pembimbing,

dr. Teguh Manulima, Sp.BS


NIP.

2
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur saya ucapkan kepada Tuhan atas berkat rahmat dan
anugerahnya sehingga penyusunan referat dengan judul “Tethered Cord Syndrome
pada Neonatus” ini dapat diselesaikan. Reerat ini merupakan salah satu tugas di
SMF Ilmu Penyakit Bedah. Penyusun menyadari bahwa dalam penulisan referat ini
masih banyak kekurangan, oleh karena itu penyusun mengharapkan saran dan kritik
untuk perbaikan penulisan di masa yang akan datang. Tidak lupa penyusun
mengucapkan banyak terima kasih kepada:
1. dr. Teguh Manulima, Sp.BS selaku dokter pembimbing
2. Dokter-dokter spesialis bedah Departemen Ilmu Bedah di RSUD
Margono Soekarjo
3. Rekan-rekan Dokter Muda Bagian Ilmu Bedah atas semangat dan
dorongan serta bantuannya.
Semoga referat ini bermanfaat bagi semua pihak yang ada di dalam maupun
diluar lingkungan RSUD Margono Soekarjo.

Purwokerto, Agustus 2019

Penyusun

3
I. PENDAHULUAN

Tethered spinal cord (TCS) adalah suatu kondisi dimana spinal cord
menjadi memanjang karena beberapa sebab, dan digambarkan sebagai kondisi
dimana conus medullaris berada inferior tersering pada terhadap korpus vertebra
L2. Pada sebagian besar kasus, spinal cord tertambat oleh struktur tidak elastik yang
tidak bergerak pada bagian kaudal, sehingga menghambat bergeraknya spinal cord
ke superior.
Etiologi yang umum adalah spinal dysraphism (perkembangan yang tidak
sempurna pada bagian kaudal sistem saraf tulang belakang) meliputi
myelomeningocele, lipomyelomeningoceles, diastematomyelia, thickened filum
terminale, intradural lipoma dan lesi kistik. Gejala-gejala yang berkaitan dengan
tethered cord kongenital terjadi pada umumnya pada masa kanak-kanak, sehingga
pada awalnya kondisi ini dianggap sebagai masalah pediatrik; akan tetapi pada
banyak pasien diagnosis belum dapat ditegakkan sampai saat gejala-gejalanya
menjadi nyata saat masa dewasa.
Tanda dan gejala yang terjadi pada conus medullaris bisa merupakan hasil
dari penekanan oleh tumor, syrinx (suatu rongga yang berisi cairan), kista
kongenital atau malformasi vaskular, ataupun dari trauma, abses epidural,
meningitis, epidural hematoma, punksi dural dan postdural puncture headache,
injeksi subdural, pneumocephalus dan emboli udara, nyeri tulang belakang, dan
kateter epidural yang terputus atau tersimpul di area kaudal.
Sebagai salah satu penyakit yang cukup langka ditemui, diharapkan laporan
terkait kasus ini akan bermanfaat untuk menambah khasanah wawasan terkait
Sindrom Bart dan juga deteksi dini serta penanganan lebih lanjut.

4
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Columna Spinalis


Spine (kolumna vertebralis) merupakan pilar utama tubuh, dan berfungsi
menyangga kranium, gelang bahu, ekstremitas superior, dan dinding toraks
serta melalui gelang panggul meneruskan berat badan ke ekstremitas inferior.
Di dalam rongganya, terletak medula spinalis, radix nervi spinales, dan
meninges yang dilindungi oleh kolumna vertebralis (Netter, 2016).
Struktur kolumna ini fleksibel, karena bersegmen-segmen dan tersusun
atas vertebra, sendi (articulatio), dan bantalan fibrokartilago yang disebut
diskus intervertebralis. Kurva normal dari tulang belakang yaitu lordosis
servikal, kifosis torakalis, lordosis lumbalis, dan kifosis sakralis (Netter, 2016).
Kolumna vertebralis terdiri dari 33 vertebra yaitu 7 vertebra servikalis, 12
vertebra torakalis (merupakan regio yang paling rigid dari rangka aksial), 5
vertebra lumbalis, 5 vertebra sakralis (yang bersatu membentuk os sakrum),
dan 4 vertebra koksigeus (tiga yang di bawah umumnya bersatu). Penanda
topografik dari vertebra tertera pada tabel berikut (Guyton, 2014).

Tabel 2.1 Topografi Columna Spinalis


Penanda topografik Level vertebra
Mandibula C2-C3
Kartilago hyoid C3
Kartilago tiroid C4-C5
Kartilago krikoid C6
Prominensia vertebra C7
Spina skapula T3
Ujung distal skapula T7
Krista iliaka L4-L5

Vertebra secara umum memiliki pola yang sana walaupun memperlihatkan


perbedaan regional. Vertebra tipikal terdiri atas korpus yang bulat di anterior
dan arkus vertebra di posterior. Keduanya melingkupi sebuah ruangan yang
disebut foramen vertebralis, yang dilalui medula spinalis dan pembungkusnya

5
(meninges). Arkus vertebra terdiri atas sepasang pedikulus yang berbentuk
silinder, yang membentuk sisi-sisi arkus, dan sepasang lamina gepeng yang
melengkapi arkus dari posterior. Arkus vertebra memiliki 7 prosesus yaitu 1
prosesus spinosus, 2 prosesus transversus, dan 4 prosesus artikularis. Prosesus
spinosus (spina) menonjol ke posterior dari pertemuan kedua lamina. Prosesus
transversus menonjol ke lateral dari pertemuan lamina dan pedikulus. Prosesus
spinosus dan prosesus transversus berfungsi sebagai pengungkit dan menjadi
tempat melekatnya otot dan ligamentum. Prosesus artikularis terdiri atas 2
prosesus artikularis superior dan 2 prosesus artikularis inferior. Prosesus ini
menonjol dari pertemuan antara lamina dan pedikulus, dan facies
artikularisnya diliputi oleh kartilago hialin. Kedua prosesus artikularis superior
dari sebuah arkus vertebra bersendi dengan kedua prosesus artikularis inferior
dari arkus yang ada di atasnya, membentuk sendi synovial (Netter, 2016).

Gambar 2.1 Struktur vertebrae thorakal

Pedikulus memiliki lekuk pada pinggir atas dan bawahnya, membentuk


insisura vertebralis superior dan inferior. Pada masing-masing sisi, insisura
vertebralis superior sebuah vertebra dan insisura vertebralis inferior dari
vertebra di atasnya membentuk foramen intervertebrale. Foramina ini pada
kerangka yang berartikulasi berfungsi sebagai tempat lewatnya nervi spinales
dan pembuluh darah. Radiks anterior dan posterior nervus spinalis bergabung
di dalam foramina ini, bersama dengan pembungkusnya membentuk saraf
spinalis segmentalis (Netter, 2016).

6
Gambar 2.2 Gambaran vetebrae cervical
Vertebra servikalis yang tipikal memiliki ciri sebagai berikut:
 Prosesus transversus memiliki foramen transversarium untuk tempat
lewatnya a. vertebralis dan v. vertebralis.
 Spina kecil dan bifida (membelah dua)
 Korpus kecil dan lebar dari sisi ke sisi
 Foramen vertebrale besar dan berbentuk segitiga
 Prosesus artikularis superior memiliki facies yang menghadap ke
belakang dan atas; prosesus artikularis inferior memiliki facies yang
menghadap ke bawah dan depan.

Vertebra servikalis yang atipikal memiliki ciri sebagai berikut:

Untuk vertebra servikalis I atau atlas:

 Tidak memiliki korpus dan prosesus spinosus


 Memiliki arkus anterior dan arkus posterior
 Memiliki massa lateralis pada masing-masing sisi dengan facies
artikularis pada permukaan atasnya untuk bersendi dengan kondilus
oksipitalis (articulatio atlanto-occipitalis) dan facies artikularis pada
permukaan bawahnya untuk bersendi dengan aksis (articulatio
atlanto-axialis). Persentase fleksi dan ekstensi leher terbesar terjadi
pada pusat oksiput-atlas. Persentase rotasi leher terbesar jadi pada
articulatio atlanto-axialis.1,2

7
Gambar 2.3 Gambaran os atlas

Vertebra servikalis II atau aksis memiliki dens yang mirip pasak, yang
menonjol ke atas dari permukaan superior korpus (mewakili korpus atlas yang
telah bersatu dengan korpus aksis). Vertebra servikalis VII atau vertebra
prominens, diberi nama demikian karena memiliki prosesus spinosus paling
panjang dan tidak bifida; prosesus transversus besar tetapi foramen transversal
kecil dan dilalui oleh v. vertebralis (Netter, 2016).

Gambar 2.4 Gambaran vetebrae cervical

 Korpus berukuran sedang dan berbentuk jantung


 Foramen vertebrale kecil dan bulat
 Prosesus spinosus panjang dan miring ke bawah
 Fovea kostalis terdapat pada sisi-sis korpus untuk bersendi dengan
kapitulum kosta

8
 Fovea kostalis terdapat pada prosesus transversus untuk bersendi
dengan tuberkulum kosta (T11 dan T12 tidak memiliki fovea kostalis
pada prosesus transversus)
 Prosesus artikularis superior memiliki facies yang menghadap ke
belakang dan lateral, sedangkan facies pada prosesus artikularis
inferior menghadap ke depan dan medial. Prosesus artikularis inferior
T12 menghadap ke lateral, seperti pada vertebra lumbalis.

Gambar 2.5 Gambaran vertebrae thorakal

Ciri-ciri vertebra lumbalis tipikal sebagai berikut:

 Korpus besar dan berbentuk ginjal


 Pedikulus kuat dan mengarah ke belakang
 Lamina tebal
 Foramen vertebra berbentuk segitiga
 Prosesus transversus panjang dan langsing
 Prosesus spinosus pendek, rata dan berbentuk segiempat dan
mengarah ke belakang
 Facies artikularis prosesus artikularis superior menghadap ke medial
dan facies artikularis prosesus artikularis inferior menghadap ke
lateral.

Jadi vertebra lumbalis tidak memiliki facies artikularis untuk bersendi


dengan kosta dan tidak ada foramen pada prosesus transversus.

9
Gambar 2.6 Gambaran vertebrae lumbalis

Os sakrum terdiri dari 5 vertebra rudimenter yang bergabung menjadi satu


membentuk sebuah tulang berbentuk baji yang cekung di anterior. Pinggir atas
atau basis tulang bersendi dengan vertebra L5. Pinggir bawah yang sempit
bersendi dengan os koksigis. Di lateral, os sakrum bersendi dengan 2 os coxae
untuk membentuk articulatio sacroiliaca. Pinggir anterior dan atas vertebra S1
menonjol ke depan sebagai margo posterior apertura pelvis superior dan dikenal
sebagai promontorium sakralis. Promontorium sakralis pada perempuan penting
untuk obstetri, dan digunakan waktu menentukan ukuran pelvis. Terdapat
foramina vertebralis dan membentuk kanalis sakralis, yang berisi radiks anterior
dan posterior nervi spinales sacrales dan coccygeales, filum terminale, dan zat-
zat fibroadiposa; juga berisi bagian bawah spatium subaraknoid ke bawah
sampai setinggi pinggir bawah vertebra S2. Permukaan anterior dan posterior
sakrum memiliki 4 foramen pada setiap sisi, untuk tempat lewatnya ramus
anterior dan posterior n. spinalis S1-S4. Os koksigis terdiri atas 4 vertebra yang
berfusi membentuk sebuah tulang segitiga kecil, yang basisnya bersendi dengan
ujung bawah sacrum (Netter, 2016).

Gambar 2.7 Gambaran os sacrum

10
B. Anatomi Medulla Spinalis
Medulla spinalis merupakan massa jaringan saraf yang berbentuk silind
ris memanjang dan menempati ⅔ atas canalis vertebra yaitu dari batas superior
atlas (C1) sampai batas atas vertebra lumbalis kedua (L2), kemudian medulla
spinalis akan berlanjut menjadi medulla oblongata. Pada waktu bayi lahir,
panjang medulla spinalis setinggi ± Lumbal ketiga (L3). Medulla
spinalis dibungkus oleh duramater, arachnoid, dan piamater. Fungsi sumsum
tulang belakang adalah mengadakan komunikasi antara otak dan semua bagian
tubuh dan bergerak refleks (Ganong, 2008).

Gambar 2.8 Topografi Medula Spinalis

Medulla spinalis terbagi ke dalam beberapa segmen, yaitu: cervikal (C1-


C8), segmen torakal (T1-T12), segmen lumbal (L1-L5), segmen sakral (S1-
S5) dan 1 segmen koksigeal yang vestigial. Serabut saraf yang kembali ke
medula spinalis diberi nama sesuai lokasi masuk/keluarnya dari kanalis

11
vertebralis pada korpus vertebrae yang bersangkutan. Saraf dari C1-C7
berjalan di sebelah atas korpus vertebrae yang bersangkutan, sedangkan dari
saraf C8 ke bawah berjalan di sebelah bawah korpus vertebrae yang
bersangkutan (Guyton, 2014).
Pada penampang transversal medula spinalis, dapat dijumpai bagian
sentral yang berwarna lebih gelap (abu-abu) yang dikenal dengan gray matter.
Gray matter adalah suatu area yang berbentuk seperti kupu-kupu atau huruf H.
Area ini mengandung badan sel neuron beserta percabangan dendritnya. Di
area ini terdapat banyak serat-serat saraf yang tidak berselubung myelin serta
banyak mengandung kapiler-kapiler darah. Hal inilah yang mengakibatkan
area ini berwarna lebih gelap (Guyton, 2014).
Di bagian perifer medula spinalis, tampak suatu area yang mengelilingi
grey matter yang tampak lebih cerah dan dikenal dengan white matter. White
matter terdiri atas serat-serat saraf yang berselubung myelin dan berjalan
dengan arah longitudinal. Pada penampang melintang, white matter dibagi ke
dalam beberapa daerah topografik, antara lain: funikulus dorsalis, funikulus
lateralis, funikulus ventralis dan komisura alba. Funikulus adalah suatu
kumpulan berkas fungsional yang disebut traktus. Serat-serat yang membentuk
traktus dalam white matter berasal dari sel-sel ganglion, sel saraf dalam gray
matter dan sel saraf dalam korteks serebri atau pusat fungsional lainnya dalam
batang otak atau cerebrum (Guyton, 2014).
Berdasarkan arah aliran impulsnya, traktus dalam medula spinalis antara
lain (Netter, 2016):
 Traktus ascenden yang membawa impuls ke arah kranial atau ke
pusat-pusat fungsional yang lebih tinggi
 Traktus descenden yang membawa impuls dari pusat-pusat
fungsional yang lebih tinggi ke medula spinalis
 Traktus intersegmentalis, yang mengantarkan impuls dalam dua
arah.
Untuk terjadinya gerakan refleks, dibutuhkan struktur sebagai berikut:
1. Organ sensorik : menerima impuls, misalnya kulit

12
2. Serabut saraf sensorik : mengantarkan impuls -
impuls tersebut menuju sel - sel dalam ganglion radix pasterior dan
selanjutnya menuju substansi kelabu pada karnu pasterior medula
spinalis
3. Sumsum tulang belakang, dimana serabut -
serabut saraf penghubung menghantarkan impuls - impuls menuju
kornu anterior medula spinalis
4. Sel saraf motorik ; dalam kornu anterior medula spinalis yang
menerima dan mengalihkan impuls tersebut melalui serabut saraf
motorik
5. Organ motorik yang melaksanakan gerakan karena dirangsang oleh
impuls saraf motorik
6. Kerusakan pada sumsum tulang belakang khususnya apabila
terputus pada daerah torakal dan
lumbal mengakibatkan (pada daerah torakal) paralisis beberapa otot
interkostal, paralisis pada otot abdomen dan otot-otot pada kedua
anggota gerak bawah, serta paralisis sfinker pada uretra dan rectum.

Gambar 2.9 Segmen-segmen Medula Spinalis

13
Gambar 2.10 Somatotropik Medula Spinalis

Gambar 2.11 Anatomi Medula Spinalis

14
C. Embriologi Medula Spinalis
Pengenalan mendalam akan embriologi sistem saraf pusat sangat penting
untuk memahami TCS, karena sebagian besar TCS berkaitan dengan anomali
pengembangan sistem saraf.

Gambar 2.12 Neurulasi pada neural tube

Neural tube terbentuk melalui proses yang disebut neurulasi, yang terjadi
pada usia kehamilan sekitar 18-28 hari. Ektoderm terletak di atas notochord
mulai berkembang untuk membentuk neural plate. Plate akhirnya terlibat
untuk membentuk lipatan saraf (neural groove) pertama dan kemudian
menjadi neural tube lengkap. Secara bersamaan, somit paramedian dengan
notochord berdiferensiasi untuk membentuk sclerotome (prekursor kolom
vertebral). Pada hari 22 dan 23, penutupan tabung saraf dimulai pada tingkat

15
tingkat serviks di depan dan kemudian meluas ke sefalika dan kaudal. Pada
hari ke 26 dan 27, aspek paling kaudal dari tabung menutup terakhir, pada
tingkat neuropore posterior. Neurulasi saja tidak membentuk seluruh tabung
saraf. Tabung paling kaudal terbentuk melalui proses yang disebut kanalisasi,
yang terjadi sejak hari kehamilan 28-48. Di bawah neuropore posterior, sel-sel
yang tidak berdiferensiasi dari garis primitif membentuk massa sel kaudal.
Dari hari ke 28 hingga 42, massa sel membentuk vakuola yang melebur
membentuk tabung saraf distal. Sel-sel ini akhirnya membentuk conus
medullaris, cauda equina, dan filum terminal (Langman, 2010).
Selama kira-kira hari 43-48, terbentuklah ventriculus terminalis, suatu
struktur kistik di dekat ujung tabung saraf caudal. Ventriculus terminalis
menandai lokasi conus medullaris di masa depan dan pada awalnya berada
pada level coccygeal. Selama periode kehamilan berikutnya (dan ke periode
postnatal awal), sumsum tulang belakang terminal mengalami proses
diferensiasi retrogresif, menghasilkan pembentukan filum terminale, cauda
equina, dan kenaikan relatif dari kerucut sehubungan dengan tulang tulang.
Neural tube bagian caudal bergerak menuju terminal ventrikel mengalami
kemunduran untuk membentuk pita fibrosa filum, membentang dari conus
bagian depan ke sisa medula tulang ekor, sisa sel epidermis yang tetap pada
tingkat tulang ekor. Karena kolom tulang belakang tumbuh panjang secara
tidak proporsional dibandingkan dengan medula spinalis, conus 'naik' secara
relatif terhadap vertebra, dan filum memanjang. Demikian pula, akar saraf
yang keluar pada tingkat foramen masing-masing tumbuh lebih lama untuk
mengakomodasi kenaikan relatif dari sumsum tulang belakang ini, sehingga
membentuk cauda equina. Proses ini meluas ke periode pascanatal. Pada usia
sekitar 2 bulan, conus medularis berada pada tingkat dewasa, yang biasanya
pada atau antar ruang L1 / L2 (Langman, 2010; Lew, 2007).

D. Definisi Tethered Cord Syndrome


Tethered spinal cord (TCS) adalah suatu kondisi dimana spinal cord
menjadi memanjang karena beberapa sebab, dan digambarkan sebagai kondisi
dimana conus medullaris berada inferior terhadap korpus vertebra L2. Pada

16
sebagian besar kasus, spinal cord tertambat oleh struktur tidak elastik yang
tidak bergerak pada bagian kaudal, sehingga menghambat bergeraknya spinal
cord ke superior (Safrida, 2017).

E. Epidemiologi
Prevalensi umum TCS primer ditemukan 0,1% dari 5.499 anak yang
dianalisis dan 1,4% anak enuretik berdasarkan hasil survey di Turki. Prevalensi
sebenarnya dari occult tethered cord sulit untuk dinilai karena banyak pasien
yang tidak menunjukkan gejala (Bademci, 2006). Peningkatan insidensi
mungkin merupakan temuan insidental terkait dengan penggunaan pencitraan
radiografi yang tersebar luas (mis., CT, MRI). Kejadian TCS dipengaruhi pula
oleh kejadian neural tube defect yang muncul pada 1/1000 kelahiran hidup,
kemudian spina bifida aperta pada 5-6 / 100.000 kelahiran hidup, dan spina
bifida occulta terjadi pada 12% dari populasi umum (Eubanks, 2009).

F. Etiologi

Tabel 2.2 Macam-macam spinal dysraphism

Etiologi yang umum adalah spinal dysraphism (perkembangan yang tidak


sempurna pada bagian kaudal sistem saraf tulang belakang) meliputi
myelomeningocele, lipomyelomeningoceles, diastematomyelia, thickened
filum terminale, intradural lipoma dan lesi kistik. Gejala-gejala yang berkaitan

17
dengan tethered cord syndrome kongenital muncul pada umumnya pada masa
kanak-kanak, sehingga pada awalnya kondisi ini dianggap sebagai masalah
pediatrik; akan tetapi pada banyak pasien diagnosis belum dapat ditegakkan
sampai saat gejala-gejalanya menjadi nyata saat masa dewasa (Lew, 2007;
Langman, 2010).

G. Patogenesis
Kesadaran akan pentingnya tahapan perkembangan medula spinalis
mengarah pada pemahaman yang lebih baik mengenai proses abnormal yang
dapat menyebabkan TCS. Disraphism spinal terbuka (spina bifida aperta)
terjadi sebagai akibat dari kegagalan penutupan neural tubei (neurulasi) terkait
lapisan jaringan di atasnya. Duramater dan lengkung vertebra posterior gagal
melebur. Lapisan-lapisan lemak dan kulit yang normal di atasnya gagal
terbentuk yang mengakibatkan terpaparnya jaringan saraf di garis tengah yang
sejalan dengan kulit lateral melalui lapisan intervensi dari arachnoid yang
dimodifikasi dan epitel yang disebut zona epitelium. Karena kegagalan
penutupan tabung ini terjadi sebelum proses diferensiasi retrogresif, sumsum
medula spinalis terminal tetap relatif rendah sehubungan dengan vertebra di
sekitarnya. Meningocele pada medula spinalis terjadi ketika neurulasi lengkap
menghasilkan penutupan medula spinalis, tetapi dengan herniasi cairan spinal
dan arachnoid melalui defek terbuka dura dan jaringan di atasnya.
Myelomeningocele hasil dari kegagalan sebelumnya di mana medulla spinalis
juga gagal untuk sekering, menyebabkan paparan plak saraf (sumsum medula
spinalis kaudal tertutup) dengan cairan medula spinalis atasnya dan arachnoid
melalui cacat terbuka. Myeloschisis disebabkan oleh kegagalan yang lebih
awal dalam proses, mengakibatkan jaringan saraf terbuka yang tidak terpakai
tanpa membran atasnya (suatu kondisi yang jarang kompatibel dengan
kehidupan) (Lew, 2007).
Disraphism spinal tertutup (spinal bifida occulta) disebabkan oleh
berbagai macam proses abnormal selama pengembangan SSP sehingga
muncul spina bifida tanpa terkenanya bagian saraf. Subtipe utama tercantum
dalam tabel 1. Dari subtipe tersebut, hanya kista neuroenterik yang biasanya

18
tidak terkait dengan TCS. Sinus dermal kongenital adalah manifestasi dari
hubungan dermal-sistem saraf yang persisten dari pemisahan yang tidak
lengkap setelah neurulasi atau kanalisasi tunas pada ekor. Hal ini menyebabkan
terbentuknya saluran epitel di garis tengah columna spinalis. Sinus dermal
dapat berakhir pada subkutan atau meluas hingga ke jaringan saraf itu sendiri.
Hubungan dari kulit ke ruang intratekal dapat menjadi sumber meningitis pada
pasien ini. Ujung dalam saluran sering berkembang menjadi tumor dermoid
atau epidermoid. Saluran atau tumor dapat bertindak sebagai sumber
penambatan pada medula spinalis ekor yang menghasilkan kerucut dan TCS
dataran rendah. Pasien dapat datang dengan tanda dan gejala yang
mencerminkan penambatan tali pusat serta kompresi konus atau cauda oleh
tumor yang terkait (Lew, 2007; Safarini, 2012).
Subtipe utama lain dari spina bifida occulta adalah penambatan kerucut
dari proses yang sepenuhnya intradural yang mungkin termasuk penebalan
yang tidak normal, terminal filum yang memendek, lipoma filum, atau
perlengketan berserat yang abnormal. Terminologi untuk serangkaian kondisi
ini cukup membingungkan. Istilah-istilah seperti filum berlemak, sindrom
filum terminale’, ‘filum ketat’, dan TCS primer telah digunakan secara
bergantian dengan TCS untuk menggambarkan kondisi ini. Subtipe ini
kemungkinan besar merupakan akibat dari kegagalan diferensiasi retrogresif
normal, yang memungkinkan penutupan tabung saraf tetapi bukan kenaikan
konus yang normal. Lipoma lumbosakral dan lipomielomeningokel terjadi
akibat kelainan kanalisasi massa sel kaudal dan / atau diferensiasi retrogresif.
Sel-sel mesodermal pluripotensial dari massa sel caudal gagal untuk
berdiferensiasi secara normal. Dalam kasus lipoma lumbosakral, peristiwa ini
akan menghasilkan jaringan lemak yang memanjang dari bagian saraf di dalam
kanal columna spinalis, melalui defek pada elemen posterior vertebra, melalui
fasia lumbosakral untuk bergabung dengan lemak subkutan normal.
Lipomielomeningokel adalah lesi yang serupa tetapi lebih kompleks di mana
elemen saraf memanjang di luar kanal medula spinalis selain berhubungan erat
dengan massa lemak. Baik lipoma dan lipomyelomeningoceles menghasilkan

19
kerucut yang rendah. Efek neurologis dapat berasal dari kedua sambungan
yang terbentuk serta efek massa dari tumor lemak (Lew, 2007).
Malformasi tali pusat (diastematomielia) terjadi pada awal kehamilan
selama pembentukan notochord dan kanal neuroenterik (hari 16-18).
Malformasi tali pusat biasanya dilihat sebagai spina bifida occulta. Dalam
pengaturan ini, sumsum columna spinalis berkembang untuk mencakup area
dua hemicord masing-masing terletak di dura terpisah. Septum dapat meluas
ke beberapa tingkat vertebra dan dapat terdiri dari jaringan fibrosa, tulang
rawan, atau tulang. Pembelahan cenderung terjadi dengan frekuensi yang lebih
besar di wilayah lumbar di mana berkaitan dengan medullaris conus rendah.
Dalam hampir semua kasus, ada kelainan columna spinalis terkait lainnya
termasuk tetapi tidak terbatas pada: skoliosis, anomali vertebra, penebalan atau
pemanjangan terminal filum, dan berbagai pita dan perlekatan fibrosa
intradural. Berkenaan dengan TCS, septum itu sendiri atau salah satu lesi yang
terkait dapat menjadi sumber penyambungan. Malformasi tali pusat juga dapat
muncul sebagai spina bifida aperta. Dalam hal ini, perpecahan biasanya terjadi
dalam bentuk hemimyelomeningocele yang merupakan sumber sambungan
yang biasa ditemui. Hemicord mungkin terletak di dalam kompartemen dural
yang sama ketika dikaitkan dengan spina bifida aperta (Les, 2007).
Selain dilihat dari anomali perkembangan, adhesi berhubungan dapat
terbentuk sebagai akibat dari peradangan intradural. Pembedahan columna
spinalis intradural dapat menyebabkan TCS, di mana perbaikan durotomi dapat
menyebabkan pembentukan bekas luka yang mengikat tali pusat ke dura
dorsal. Bentuk TCS iatrogenik ini dapat dilihat dalam pengaturan operasi
untuk perbaikan spina bifida, neoplasma, dan trauma. Hal ini sering diyakini
sebagai etiologi retethering setelah TCS, meskipun banyak upaya
memanfaatkan teknik untuk menghindari menjembatani pembentukan bekas
luka antara tali pusat dan duramater. Kadang-kadang, trauma itu sendiri dapat
menjadi penyebab TCS, biasanya dalam pengaturan cedera columna spinalis
(Lad, 2007).

20
H. Manifestsasi Klinis dan Penegakkan Diagnosis
1. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Presentasi klinis TCS bervariasi berdasarkan kelompok umur dan
etiologi. Pada neonatus dan bayi, manifestasi kulit spina bifida occulta
menjadi sangat penting karena mereka mungkin satu-satunya bukti lesi
yang tertambat atau tethering. Tanda-tanda di kulit termasuk nevi, lipoma,
jumbai rambut, hemangioma, dan sinus dermal. Seseorang mungkin
melihat inkontinensia urin atau urin menetes sebagai tanda gangguan
urodinamik. Kelainan bentuk ortopedi ekstremitas bawah atau skoliosis
mungkin tampak jelas pada usia dini. Kehadiran malformasi anorektal
harus meningkatkan kecurigaan adanya lesi tethering, karena insidensinya
tinggi pada pasien ini (Muthukumar, 2000).
Balita dan remaja cenderung mengalami gejala dan tanda-tanda yang
mencerminkan kedua disfungsi motorik dan sensorik. Kesulitan dengan
gaya berjalan atau berlari mungkin karena disfungsi motorik progresif,
defisit sensorik, perkembangan skoliosis, atau perkembangan kelainan
bentuk kaki ortopedi. Mungkin ada regresi dalam kandung kemih atau
kontrol usus yang lebih jarang. Kadang-kadang, rasa sakit akan dikeluhkan
keluhan, baik di ekstremitas bawah atau punggung. Kehilangan rangsang
sensoris cenderung terjadi pada distribusi non-segmental, yang jarang
menyebabkan jaringan parut atau ulserasi trofik (Mala, 2014).
Ketika anak-anak memasuki usia remaja, skoliosis, nyeri, dan
disfungsi sfingter mendominasi. Nyeri cenderung terlokalisasi pada
punggung bawah, perineum, dan atau tungkai dan seringkali bersifat non-
dermatomal. Mungkin ada riwayat operasi dibidang ortopedi atau urologi
sebelumnya jika diagnosis TCS belum dicurigai sebelumnya. Presentasi
serupa terjadi pada orang dewasa, biasanya dalam pengaturan spina bifida
yang dikenal. Gejala dapat diperburuk oleh fleksi dan ekstensi punggung.
Kelemahan bisa halus atau dikeluhkan dengan keterlibatan beberapa
miotom. Namun, ada subset dari pasien dewasa dengan presentasi awal
TCS tidak didahului oleh diagnosis spina bifida sebelumnya atau prosedur
ortopedi dan atau urologi sebelumnya. Pada pasien-pasien ini dengan

21
penambatan okultisme, seringkali ada trauma yang memicu gejala.
Trauma tersebut mungkin ringan dan tidak langsung (kehamilan,
persalinan, atau olahraga yang intens), atau trauma langsung yang besar
pada tulang belakang. Agaknya pada pasien-pasien ini derajat tethering
tidak cukup parah untuk menyebabkan gejala saja, tetapi cukup untuk
sedkit menegangkan mdula spinalis yang dapat menyebabkan penurunan
fungsi (Cartwright, 2000; Lew, 2007).

Gambar 2.13 Tampakan eksternal kelainan kulit pada TCS

Pemeriksaan fisik pasien dengan TCS atau yang diagnosisnya


dipertimbangkan harus difokuskan pada temuan terkait dalam kondisi
tersebut. Spinal punggung harus diperiksa untuk mengamati adanya
kelainan kulit yang khas pada kulit garis tengah, serta bukti adanya
skoliosis. Demikian pula, ekstremitas bawah harus diperiksa untuk
mencari adanya kelainan ortopedi, perbedaan panjang kaki, dan asimetri
otot. Pemeriksaan neurologis harus fokus pada fungsi motorik dan
sensorik serta gaya berjalan atau gait. Otot perlu dinilai secara individual.
Pada anak-anak dan bayi yang lebih muda, pengamatan sederhana dapat
mendeteksi defisit. Evaluasi sensorik harus mencakup pinprick, sentuhan
ringan, dan proprioseptik. Terlewatnya lesi sering terjadi; oleh karena itu
evaluasi menyeluruh secara dermatomal harus dilakukan. Refleks dan

22
fungsi tendon dalam cenderung bervariasi; kelenturan, klonus dan tanda
Babinski mungkin ada ketika disfungsi neurologis meningkat (Lew, 2007;
Yelikbayev, 2015).
2. Pemeriksaan Penunjang
3. Uji urodinamik
Pengujian urodinamik dapat menjadi tambahan yang berguna baik
untuk tujuan diagnostik maupun sebagai tolak ukur objektif untuk
evaluasi di masa mendatang. Temuan urodinamik yang paling umum
adalah detrusor hyperreflexia. Temuan umum lainnya termasuk
penurunan kepatuhan kandung kemih, dissynergia detrusor-sfingter
eksternal, penurunan sensasi, dan fungsi detrusor hipokontraktil. Tes
urodinamik formal direkomendasikan pada semua pasien TCS. Pada
pasien tanpa gejala saluran kemih, perawatan disfungsi fungsi halus
untuk mencegah komplikasi ginjal dapat dideteksi. Pengujian
rodinamik berguna sebagai ukuran objektif fungsi neurologis,
digunakan baik sebagai indikator kemunduran pada pasien yang
dikelola secara konservatif, dan untuk menunjukkan peningkatan atau
stabilisasi fungsi pada pasien pasca operasi (Lew, 2007; Pardede,
2018).
4. Pemeriksaan radiologis

Gambar 2.14 Tampakan MRI pada TCS

23
Magnetic resonance imaging (MRI) adalah studi pilihan untuk
evaluasi medulla sinalis yang tertambat. Selain menunjukkan hingga
conus medularis, MRI biasanya menunjukkan penyebab tethering dan
memberikan detail anatomi yang cukup untuk perencanaan bedah.
Meningoceles, myelomeningocele, malformasi tali pusat, tumor
lipomatous dan dermal, fila yang menebal, dan traktus sinus semuanya
mudah terlihat pada MRI. Tomografi terkomputasi dengan atau tanpa
mielografi dapat menjadi tambahan yang berguna, terutama untuk
menunjukkan anatomi tulang dan menentukan sifat septum dengan
malformasi split cord. Ultrasound memiliki kegunaan untuk
menentukan tingkat kerucut pada bayi baru lahir. Meskipun resolusi
USG tidak sebanding dengan MRI, hal tersebut merupakan alat
skrining yang efektif. Jendela sonografi menghilang sekitar usia 2
bulan (Lew, 2007; Shukla, 2018).
Dengan tidak adanya spina bifida atau tumor, MRI digunakan
terutama untuk mengidentifikasi tingkat kerucut dan sifat filum.
Seperti dibahas sebelumnya, kerucut naik relatif ke tulang belakang
sampai kira-kira usia 2 bulan, biasanya sekitar tingkat L1 / L2. Namun,
ada banyak variabilitas di antara pasien normal (asimptomatik)
sehubungan dengan terminasi konus. Telah direkomendasikan bahwa
segala kerucut yang berhenti pada atau di atas L2-L3 antar ruang dapat
dianggap berada pada tingkat normal. Demikian pula, ada cukup
banyak variabilitas sehubungan dengan ketebalan filum. Pengukuran in
vivo dari terminum filum pada anak-anak menunjukkan bahwa pada
anak-anak dengan terminum filum 1-2 mm memiliki ketebalan
abnormal. Dalam studi mayat orang dewasa tanpa riwayat TCS, 10%
pasien memiliki filum terminale 1 2 mm ketika diukur pada titik awal
mereka. Upaya telah dilakukan dalam menggunakan MRI di kedua
posisi tengkurap dan terlentang, untuk menentukan apakah tethering
menghasilkan penurunan gerak cord. Utilitas MRI untuk mendiagnosis
TCS belum divalidasi dan belum banyak digunakan (Lew, 2007;
Cartwright, 2000).

24
I. Penatalaksanaan
1. Konservatif / Nonoperatif
Manajemen konservatif TCS terbatas pada manajemen gejala.
Manajemen ini terdiri dari terapi fisik, muscle relaxants, dan analgesik.
Pasien dewasa dapat mengambil manfaat dari menghindari peregangan
medulla spinalis lebih lanjut dengan menghindari olahraga berat, fleksi
berulang dan ekstensi vertebrae lumbosakral, dan pengangkatan beban
berat (Seki, 2016).
2. Operatif
Tujuan teknis pembedahan untethering adalah untuk menghilangkan
ketegangan (dan kompresi dalam tumor) dari medulla spinalis tanpa
menyebabkan trauma lebih lanjut. Tujuan terapeutik adalah untuk
menstabilkan gejala dan fungsi. Manajemen operasi TCS beragam karena
berbagai patologi yang dihadapi. Dalam kasus kerucut rendah yang terkait
dengan filum kental, hal ini dapat dicapai melalui bagian sederhana dari
terminal filum melalui laminotomi atau laminektomi tunggal (Lew, 2007).
Tatalaksana TCS pada spina bifida lebih kompleks, meskipun
tujuannya sama. Spina bifida aperta (biasanya myelomeningoceles)
memerlukan perawatan segera setelah lahir untuk meminimalkan risiko
infeksi dan kerusakan saraf. Pada pasien-pasien ini, TCS lebih merupakan
masalah ketika anak-anak tumbuh, karena cord tetap berlabuh di lokasi
perbaikan. Bedah untethereing kemudian melibatkan pelepasan cord dari
kantung duramater terminal. Ini bisa dipenuhi dengan kesulitan baik dalam
hal mempertahankan fungsi saraf yang ada, mendapatkan penutupan
duramater yang memadai, dan atau mencegah pemasangan/rethetering
kembali (Lew, 2007).
Manajemen bedah TCS terkait dengan spina bifida occulta memiliki
tantangan yang sama. Malformasi split cord biasanya memerlukan
eksplorasi septum atau tulang rawan karena sering menjadi sumber
penambatan. Pasien dengan malformasi split cord sering mengalami
penebalan fila yang harus dibagi karena mereka dapat menjadi sumber
tambahan penambatan. Saluran sinus dermal membutuhkan eksisi saluran

25
itu sendiri, yang sering meluas ke ruang intratekal. Lipoma tulang
belakang dan lipomyelomeningoceles ditangani dengan cara yang sama.
Tujuannya adalah untuk menghilangkan lemak pada massa lemak, untuk
membebaskan cord terminal yang mengalami tethering, dan menutup
duramater. Tidak mungkin untuk sepenuhnya mereseksi lipoma tanpa
menyebabkan kerusakan saraf; tujuannya adalah untuk memotong tumor
ke bawah untuk menghindari kompresi dan memungkinkan penutupan
duramater. Laser mikro terutama berguna untuk debulking lipoma dan
untethering (Von Koch, 2002; Lew, 2007).

Gambar 2.15 Proses operasi tatalaksana TCS

Rekonstruksi kantong thecal adalah sangat penting. Duramater dapat


mengalami atrofi dan mengharuskan penggunaan sealant jaringan dan
pengganti duramater, dan menempatkan nilai yang lebih besar pada
integritas lapisan penutupan luka yang lebih dangkal. Garis perbaikan
duramater dapat menjadi sumber retethering jika medulla spinalis

26
menempel pada garis jahitan penyembuhan. Untuk meminimalkan risiko
ini, beberapa ahli bedah mempertahankan pasien dalam posisi prone atau
tengkurap pasca operasi untuk menjaga agar cord tidak menempel pada
garis jahitan. Kemanjuran teknik ini belum diketahui lebih lanjut. Praktisi
lain menganjurkan penggunaan bahan graft yang tidak melekat antara
duramater dan medulla spinalis. Taktik lain yang dijelaskan adalah
pembangunan kantung duramater yang diperbesar secara kasar untuk
mencegah retethering. Data dari serial retrospektif ini terlihat bermanfaat,
namun manfaat sesungguhnya dari teknik tersebut belum divalidasi (Seki,
2016).

J. Manfaat dan komplikasi yang dapat ditemui setelah operasi


Ada beberapa faktor yang memengaruhi prognosis setelah dilakukannya
tatalaksana operatif, yaitu 9Lew, 2007; Seki, 2016):
1. Pereda nyeri
Dari semua gejala yang diderita oleh pasien-pasien dengan TCS, satu
yang paling mungkin untuk diperbaiki dengan operasi adalah nyeri.
Pada anak-anak, beberapa seri telah melaporkan tingkat keberhasilan
100% untuk menghilangkan rasa sakit. Pada populasi orang dewasa,
di mana nyeri cenderung menjadi komponen TCS yang lebih
menonjol, peningkatan status nyeri terlihat pada lebih dari 75% pasien
yang tidak dioperasi. Pada pasien posttraumatic dengan tethering tali
pusat (sering dikaitkan dengan syringomyelia), pereda nyeri
tampaknya kurang dapat diandalkan, dengan dua seri besar
melaporkan peningkatan pada 56-79% pasien.
2. Fungsi Neurologis
Stabilisasi penurunan neurologis cukup baik dicapai dengan
pembedahan yang tidak ditambatkan. Pada seri bedah pediatrik dan
dewasa, stabilisasi atau peningkatan fungsi neurologis dilaporkan
dicapai pada sekitar 80-90% pasien. Peningkatan signifikan dalam
fungsi motor dicapai pada sebagian besar seri besar dalam kisaran 25-
80%. Tampaknya tidak ada perbedaan dalam tingkat peningkatan

27
motorik antara seri pediatrik dan dewasa. Intervensi awal setelah
perkembangan gejala tampaknya menghasilkan pemulihan fungsi
neurologis yang jauh lebih besar, dengan banyak pasien membuat
pemulihan penuh.
Fungsi usus dan kandung kemih sering dianalisis bersama dalam
serial bedah. Secara keseluruhan, stabilisasi dan peningkatan gejala
usus atau kandung kemih tampaknya dapat dicapai pada tingkat yang
sama dengan fungsi neurologis lainnya. Tingkat perbaikan fungsi usus
dan kandung kemih dengan rentang penambatan operasi dari 16%
hingga 67%. Variabilitas yang terlihat kemungkinan sebagian
disebabkan oleh berbagai parameter yang diukur dan kriteria yang
berbeda untuk perbaikan. Menariknya, Fone et al. menunjukkan
bahwa perbaikan dalam fungsi urologis terjadi setelah pembedahan
yang tidak diatasi pada 62% pasien dengan spina bifida occulta, tetapi
hanya 30% dari pasien yang penambatannya dikaitkan dengan operasi
myelomeningocele atau lipomyelomeningocele sebelumnya
(Steinbok, 2016).
3. Skoliosis
Sebagian besar literatur tentang efek pembatalan operasi pada
skoliosis menyangkut pada pasien mielomeningokel. Seperti halnya
fungsi neurologis, sebagian besar pasien mendapatkan stabilisasi
perkembangan kurva atau perbaikan dengan penambatan operasi,
dengan tingkat stabilisasi / peningkatan jangka panjang 43-63%.
Hampir semua pasien dengan kurva yang lebih besar dari 40 °, atau
mielomeningokel tingkat toraks, gagal menstabilkan dengan
penambatan dan akhirnya membutuhkan fusi.
4. Kelenturan atau spastisitas
Kebanyakan serial pembedahan gagal melaporkan perubahan terkait
kelenturan (jika ada sebelum operasi) setelah pembedahan. Huttmann
et al. melaporkan serangkaian 54 pasien dewasa yang dirawat dengan
pembedahan untuk TCS, dengan peningkatan pada 12 dari 19 pasien
(63%) yang mengalami perubahan kelenturan. Demikian pula, dalam

28
ulasan 70 pasien posttraumatic dengan korda dan medula spinalis
ditambat yang berhasil dioperasi, 63% pasien menunjukkan
peningkatan kelenturan.
5. Retethering
Pemasangan kembali atau retethering secara simtomatik merupakan
komplikasi yang sering terjadi pada pembedahan untethering.
Sementara banyak metode telah dirancang untuk mencegah hal
tersebut terjadi, namun belum ada yang terbukti secara prospektif
terkontrol. Tingkat retethering yang dilaporkan dalam serial bedah
adalah 5-50%. Ketika untethering dilakukan pada bagian sederhana
dari terminum filum yang menebal (di mana conus tidak terkena
perbaikan duramater), retethering sangat jarang terjhadi, meskipun
telah dilaporkan. Operasi berulang untuk melepaskan tethering dapat
dilakukan dengan tingkat keberhasilan yang sama dibandingkan
dengan operasi pemasangan kembali yang awal.

K. Prognosis
Sindrom ini berkembang seiring bertambahnya usia, tetapi perawatan dan
tatalaksana yang disebutkan sebelumnya dapat membantu mencegah atau
terkadang meredakan gejala. Dengan pengobatan, orang-orang dengan TCS
dapat memiliki harapan hidup normal. Namun, sebagian besar gangguan
neurologis dan motorik tidak dapat dipulihkan. Penatalaksanaan sedini
mungkin juga menunjukkan prognosis yang lebih baik (Seki, 2016).

29
III. RINGKASAN

1. Tethered cord syndrome merupakan suatu kondisi dimana spinal cord


menjadi memanjang karena beberapa sebab, dan digambarkan sebagai
kondisi dimana conus medullaris berada inferior tersering pada terhadap
korpus vertebra L2. P
2. Etiologi yang umum adalah karena adanya spinal dysraphism
(perkembangan yang tidak sempurna pada bagian kaudal sistem saraf tulang
belakang)
3. Tanda dan gejala yang terjadi pada conus medullaris bisa merupakan hasil
dari penekanan oleh tumor, syrinx, dan lain sebagainya yang memunculkan
berbagai gejala dan tanda seperti kelemahan muskulus sistem urin, digestif,
dan ekstremitas inferior maupun adanya tampakan khas pada cutis.
4. Tatalaksana dapat secara medikamentosa namun lebih disarankan untuk
dilakukan prosedur pratif sedini mungkin.
5. Prognosis ditentukan oleh seberapa cepat penanganan terhadapa TCS.

30
DAFTAR PUSTAKA

Bademci, G., Saygun, M., Batay, F., Cakmak, A., Basar, H., Anbarci, H., & Unal,
B. (2006). Prevalence of primary tethered cord syndrome associated with
occult spinal dysraphism in primary school children in Turkey. Pediatric
neurosurgery, 42(1), 4-13.

Cartwright, C. (2000). Primary tethered cord syndrome: diagnosis and treatment of


an insidious defect. journal of Neuroscience Nursing, 32(4), 210.

Eubanks, J. D., & Cheruvu, V. K. (2009). Prevalence of sacral spina bifida occulta
and its relationship to age, sex, race, and the sacral table angle: an anatomic,
osteologic study of three thousand one hundred specimens. Spine, 34(15),
1539-1543.

Ganong, W. F., 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 22. Jakarta : EGC.

Guyton, A. C., Hall, J. E., 2014. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 12.
Jakarta : EGC.

Lad, S. P., Patil, C. G., Ho, C., Edwards, M. S., & Boakye, M. (2007). Tethered
cord syndrome: nationwide inpatient complications and outcomes.
Neurosurgical focus, 23(2), 1-5.

Langman, T.W. Sadler., 2010. Embriologi Kedokteran. Jakarta: EGC

Lew, S. M., & Kothbauer, K. F. (2007). Tethered cord syndrome: an updated


review. Pediatric neurosurgery, 43(3), 236-248.

Mala, R., Lakshmi, A. M., Nagireddy, N. B., & Chiniga, V. (2014). Tethered cord
syndrome diagnosis and management. Journal of Dr. NTR University of
Health Sciences, 3(1), 8.

Muthukumar, N., Subramaniam, B., Gnanaseelan, T., Rathinam, R., &


Thiruthavadoss, A. (2000). Tethered cord syndrome in children with
anorectal malformations. Journal of neurosurgery, 92(4), 626-630.

31
Netter, Frank H. 2016. Atlas Anatomi ... Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal,
Salemba Medika: Jakarta.

Pardede, S. O., Iskandar, W. J., & Nadeak, B. (2018). Disfungsi Kandung Kemih
Non-Neurogenik pada Anak: Diagnosis dan Tata Laksana. Majalah
Kedokteran, 34(2), 90-99.

Safarini, B. (2012). A Child with Tethered Cord Syndrome. Sains Medika: Jurnal
Kedokteran dan Kesehatan, 4(1), 89-96.

Safrida, E. N. (2017). SPINA BIFIDA DENGAN TETHERED CORD, INFEKSI


SALURAN KEMIH KOMPLEKS DAN ANEMIA DEFISIENSI BESI
(Doctoral dissertation, Universitas Gadjah Mada).

Seki, T., Hida, K., Yano, S., Sasamori, T., Hamauch, S., Koyanagi, I., & Houkin,
K. (2016). Surgical outcome of children and adolescents with tethered cord
syndrome. Asian spine journal, 10(5), 940.

Shukla, M., Sardhara, J., Sahu, R. N., Sharma, P., Behari, S., Jaiswal, A. K., ... &
Bhaisora, K. S. (2018). Adult versus pediatric tethered cord syndrome:
Clinicoradiological differences and its management. Asian journal of
neurosurgery, 13(2), 264.

Steinbok, P., MacNeily, A. E., Hengel, A. R., Afshar, K., Landgraf, J. M., Hader,
W., & Pugh, J. (2016). Filum section for urinary incontinence in children with
occult tethered cord syndrome: a randomized, controlled pilot study. The
Journal of urology, 195(4), 1183-1188.

Von Koch, C. S., Quinones-Hinojosa, A., Gulati, M., Lyon, R., Peacock, W. J., &
Yingling, C. D. (2002). Clinical outcome in children undergoing tethered
cord release utilizing intraoperative neurophysiological monitoring. Pediatric
neurosurgery, 37(2), 81-86.

Yelikbayev, G. M., & Tutayeva, A. A. (2015). Clinical Manifestation of a Tethered


Cord Syndrome at Children and Research Methods for Early Diagnosis of
Disease. Biomedical and Pharmacology Journal, 8(2), 597-601.

32

Anda mungkin juga menyukai