Anda di halaman 1dari 47

BAGIAN ILMU BEDAH REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN AGUSTUS


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

PEMERIKSAAN SPINE DAN GAIT

Oleh :
Reski Ambarwati, S.Ked
1055 054051 18
Pembimbing :
dr. Muhammad Ihsan Kitta, M.Kes, Sp.OT (K)

(Dibawakan Dalam Rangka Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik

Bagian Ilmu Bedah)

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

2020
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa :

Nama : Reski Ambarwati


NIM : 105505405118
Judul Referat : Pemeriksaan Spine dan Gait

Telah menyelesaikan Referat dalam rangka Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Bedah Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Makassar.

Makassar, Agustus 2020


Pembimbing,

dr. Muhammad Ihsan Kitta, M.Kes, Sp.OT (K)


KATA PENGANTAR

AssalamualaikumWr. Wb.
Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulisan referat ini dapat diselesaikan. Shalawat serta salam
semoga selalu tercurahkan kepada Baginda Besar Nabi Muhammad SAW.
Referat berjudul “Pemeriksaan Spine dan Gait” ini dapat terselesaikan dengan baik dan
tepat pada waktunya, sebagai salah satu syarat untuk dalam menyelesaikan Kepaniteraan Klinik
di Bagian Ilmu Bedah.
Secara khusus penulis sampaikan rasa hormat dan terima kasih yang mendalam kepada
dr. Muhammad Ihsan Kitta, M.Kes, Sp.OT (K) Selaku pembimbing yang telah banyak
meluangkan waktu dengan tekun dan sabar dalam membimbing, memberikan arahan dan koreksi
selama proses penyusunan tugas ini hingga selesai.
Penulis menyadari bahwa penyusunan referat ini belum sempurna. Akhir kata, penulis
berharap agar referat ini dapat memberi manfaat kepada semua orang.

Makassar, Agustus 2020

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

Spine (kolumna vertebralis) merupakan pilar utama tubuh, dan berfungsi menyangga
kranium, gelang bahu, ekstremitas superior, dan dinding toraks serta melalui gelang panggul
meneruskan berat badan ke ekstremitas inferior.1

Gaya berjalan merupakan hasil integrasi antara tulang, sistem saraf (sistem saraf pusat
dan perifer), otot, dan faktor lingkungan (sepatu, permukaan tempat pijakan). Secara mekanis,
gaya berjalan atau gait membutuhkan kerjasama antara ekstremitas atas dan bawah pada kedua
sisi.2

Dalam melakukan pemeriksaan spine dan gait, seorang dokter perlu mengawali dengan
memperkenalkan diri, kemudian dilanjutkan dengan menerangkan kepada pasien maksud dan
tujuan pemeriksaan yang akan dilakukan serta meminta ijin untuk melakukan pemeriksaan
sehingga pasien akan merasa nyaman terhadap pemeriksa dan bisa bersikap kooperatif.3

Sebelum melakukan pemeriksaan spine dan gait, perlu dilakukan terlebih dahulu
anamnesis untuk mendapatkan data pasien secara keseluruhan, kemudian baru dilakukan
pemeriksaan dan dilanjutkan dengan pengecekan apakah cara pemeriksaan sudah benar atau
belum dengan melihat buku panduan pemeriksaan keterampilan dan mencocokkan dengan
checklist penilaian.3
Penanda topografik Level vertebra

Mandibula C2-C3
BAB II
Kartilago hyoid C3
TINJAUAN PUSTAKA
Kartilago tiroid C4-C5
A. Pemeriksaan Spine
Kartilago krikoid C6
a. Anatomi
Spine Prominensia vertebra C7 (kolumna vertebralis)
merupakan Spina skapula T3 pilar utama tubuh, dan
berfungsi menyangga kranium,
Ujung distal skapula T7
gelang bahu, ekstremitas superior,
dan dinding Krista iliaka L4-L5 toraks serta melalui
gelang panggul meneruskan
berat badan ke ekstremitas inferior. Di dalam rongganya, terletak medula spinalis,
radix nervi spinales, dan meninges yang dilindungi oleh kolumna vertebralis.1
Struktur kolumna ini fleksibel, karena bersegmen-segmen dan tersusun atas
vertebra, sendi (articulatio), dan bantalan fibrokartilago yang disebut diskus
intervertebralis. Kurva normal dari tulang belakang yaitu lordosis servikal, kifosis
torakalis, lordosis lumbalis, dan kifosis sakralis.1
1. Osteologi (Tulang)
Kolumna vertebralis terdiri dari 33 vertebra yaitu 7 vertebra servikalis, 12
vertebra torakalis (merupakan regio yang paling rigid dari rangka aksial), 5
vertebra lumbalis, 5 vertebra sakralis (yang bersatu membentuk os sakrum), dan 4
vertebra koksigeus (tiga yang di bawah umumnya bersatu). Penanda topografik
dari vertebra tertera pada tabel berikut.1,4
Vertebra secara umum memiliki pola yang sama walaupun memperlihatkan
perbedaan regional. Vertebra tipikal terdiri atas korpus yang bulat di anterior dan arkus vertebra
di posterior. Keduanya melingkupi sebuah ruangan yang disebut foramen vertebralis, yang
dilalui medula spinalis dan pembungkusnya (meninges). Arkus vertebra terdiri atas sepasang
pedikulus yang berbentuk silinder, yang membentuk sisi-sisi arkus, dan sepasang lamina gepeng
yang melengkapi arkus dari posterior. Arkus vertebra memiliki 7 prosesus yaitu 1 prosesus
spinosus, 2 prosesus transversus, dan 4 prosesus artikularis. Prosesus spinosus (spina) menonjol
ke posterior dari pertemuan kedua lamina. Prosesus transversus menonjol ke lateral dari
pertemuan lamina dan pedikulus. Prosesus spinosus dan prosesus transversus berfungsi sebagai
pengungkit dan menjadi tempat melekatnya otot dan ligamentum. Prosesus artikularis terdiri atas
2 prosesus artikularis superior dan 2 prosesus artikularis inferior. Prosesus ini menonjol dari
pertemuan antara lamina dan pedikulus, dan facies artikularisnya diliputi oleh kartilago hialin.
Kedua prosesus artikularis superior dari sebuah arkus vertebra bersendi dengan kedua prosesus
artikularis inferior dari arkus yang ada di atasnya, membentuk sendi sinovial.1
Gambar 2. Anatomi vertebra secara umum 14

Pedikulus memiliki lekuk pada pinggir atas dan bawahnya, membentuk insisura
vertebralis superior dan inferior. Pada masing-masing sisi, insisura vertebralis superior sebuah
vertebra dan insisura vertebralis inferior dari vertebra di atasnya membentuk foramen
intervertebrale. Foramina ini pada kerangka yang berartikulasi berfungsi sebagai tempat
lewatnya nervi spinales dan pembuluh darah. Radiks anterior dan posterior nervus spinalis
bergabung di dalam foramina ini, bersama dengan pembungkusnya membentuk saraf spinalis
segmentalis.1

Vertebra servikalis yang tipikal memiliki ciri sebagai berikut:1

 Prosesus transversus memiliki foramen transversarium untuk tempat lewatnya a.


vertebralis dan v. vertebralis.
 Spina kecil dan bifida (membelah dua)
 Korpus kecil dan lebar dari sisi ke sisi
 Foramen vertebrale besar dan berbentuk segitiga
 Prosesus artikularis superior memiliki facies yang menghadap ke belakang dan atas;
prosesus artikularis inferior memiliki facies yang menghadap ke bawah dan depan.

Vertebra servikalis yang atipikal memiliki ciri sebagai berikut:1

Untuk vertebra servikalis I atau atlas:

 Tidak memiliki korpus dan prosesus spinosus


 Memiliki arkus anterior dan arkus posterior
 Memiliki massa lateralis pada masing-masing sisi dengan facies artikularis pada
permukaan atasnya untuk bersendi dengan kondilus oksipitalis (articulatio atlanto-
occipitalis) dan facies artikularis pada permukaan bawahnya untuk bersendi dengan aksis
(articulatio atlanto-axialis). Persentase fleksi dan ekstensi leher terbesar terjadi pada pusat
oksiput-atlas. Persentase rotasi leher terbesar jadi pada articulatio atlanto-axialis.1,4
Gambar 3. Vertebra C1 (atlas) dilihat dari superior dan inferior 15

Vertebra servikalis II atau aksis memiliki dens yang mirip pasak, yang menonjol ke atas
dari permukaan superior korpus (mewakili korpus atlas yang telah bersatu dengan korpus aksis).
Vertebra servikalis VII atau vertebra prominens, diberi nama demikian karena memiliki prosesus
spinosus paling panjang dan tidak bifida; prosesus transversus besar tetapi foramen transversal
kecil dan dilalui oleh v. vertebralis.1

Gambar 4. (1) Vertebra C2 (axis) dilihat dari ventral; (2) Vertebra C7 dilihat dari superior 15

Sebuah vertebra torakal tipikal memiliki ciri sebagai berikut:1

 Korpus berukuran sedang dan berbentuk jantung


 Foramen vertebrale kecil dan bulat
 Prosesus spinosus panjang dan miring ke bawah
 Fovea kostalis terdapat pada sisi-sis korpus untuk bersendi dengan kapitulum kosta
 Fovea kostalis terdapat pada prosesus transversus untuk bersendi dengan tuberkulum
kosta (T11 dan T12 tidak memiliki fovea kostalis pada prosesus transversus)
 Prosesus artikularis superior memiliki facies yang menghadap ke belakang dan lateral,
sedangkan facies pada prosesus artikularis inferior menghadap ke depan dan medial.
Prosesus artikularis inferior T12 menghadap ke lateral, seperti pada vertebra lumbalis.
Gambar 5. Vertebra T10 dilihat dari superior15

Ciri-ciri vertebra lumbalis tipikal sebagai berikut:1

 Korpus besar dan berbentuk ginjal


 Pedikulus kuat dan mengarah ke belakang
 Lamina tebal
 Foramen vertebra berbentuk segitiga
 Prosesus transversus panjang dan langsing
 Prosesus spinosus pendek, rata dan berbentuk segiempat dan mengarah ke belakang
 Facies artikularis prosesus artikularis superior menghadap ke medial dan facies artikularis
prosesus artikularis inferior menghadap ke lateral.

Jadi vertebra lumbalis tidak memiliki facies artikularis untuk bersendi dengan kosta dan tidak
ada foramen pada prosesus transversus.
Gambar 6. Vertebra L4 dilihat dari superior15

Os sakrum terdiri dari 5 vertebra rudimenter yang bergabung menjadi satu membentuk
sebuah tulang berbentuk baji yang cekung di anterior. Pinggir atas atau basis tulang bersendi
dengan vertebra L5. Pinggir bawah yang sempit bersendi dengan os koksigis. Di lateral, os
sakrum bersendi dengan 2 os coxae untuk membentuk articulatio sacroiliaca. Pinggir anterior
dan atas vertebra S1 menonjol ke depan sebagai margo posterior apertura pelvis superior dan
dikenal sebagai promontorium sakralis. Promontorium sakralis pada perempuan penting untuk
obstetri, dan digunakan waktu menentukan ukuran pelvis. Terdapat foramina vertebralis dan
membentuk kanalis sakralis, yang berisi radiks anterior dan posterior nervi spinales sacrales dan
coccygeales, filum terminale, dan zat-zat fibroadiposa; juga berisi bagian bawah spatium
subaraknoid ke bawah sampai setinggi pinggir bawah vertebra S2. Permukaan anterior dan
posterior sakrum memiliki 4 foramen pada setiap sisi, untuk tempat lewatnya ramus anterior dan
posterior n. spinalis S1-S4. Os koksigis terdiri atas 4 vertebra yang berfusi membentuk sebuah
tulang segitiga kecil, yang basisnya bersendi dengan ujung bawah sakrum.1

Gambar 7. (1) Os sacrum dilihat dari ventroinferior; (2) Os sacrum potongan median 15

2. Articulatio (Sendi)
Sendi-sendi pada kolumna vertebralis:1
 Articulatio atlanto-occipitalis, merupakan sendi sinovial antara kondilus
oksipitalis yang terdapat di kanan dan kiri foramen magnum di atas
dengan facies artikularis superior massa lateralis atlantis di bawah.
Pergerakan berupa fleksi, ekstensi, lateral fleksi; tidak rotasi.
 Articulatio atlanto-axialis, terdiri dari 3 buah sendi sinovial;
pergerakannya berupa rotasi.
 Sendi-sendi kolumna vertebralis di bawah aksis, yaitu dengan perantaraan
articulatio cartilaginea antar-korpus vertebra dan articulatio synovial
antar-prosesus artikularis, disebut pula sendi faset (facet [apophyseal]
joint).

Permukaan atas dan bawah korpus vertebra yang berdekatan dilapisi oleh lempeng tulang
rawan hialin; di antaranya terdapat diskus intervertebralis yang tersusun atas jaringan
fibrokartilago. Diskus ini paling tebal di daerah servikal dan lumbal dimana tempat terjadinya
gerakan kolumna vertebralis. Ciri fisiknya memungkinkannya berfungsi sebagai peredam
benturan bila beban pada kolumna vertebralis mendadak. bertambah, seperti apabila seseorang
melompat dari tempat yang tinggi. Diskus intervertebralis tidak ditemukan di antara vertebra C1
dan C2, atau di dalam os sakrum dan os koksigis.1

Ligamentum-ligamentum pada sendi-sendi kolumna vertebralis di bawah aksis yaitu:1,5,6

 Ligamentum longitudinale anterior (ALL) dan posterior (PLL) yang berjalan turun
sebagai sebuah pita pada permukaan anterior dan posterior kolumna vertebralis dari
kranium sampai sakrum. ALL lebar dan melekat dengan kuat pada pinggir depan,
samping korpus vertebra, dan pada diskus intervertebralis. PLL lemah dan sempit dan
melekat pada pinggir posterior diskus. Ligamentum-ligamentum ini mengikat dengan
kuat seluruh vertebra tetapi tetap memungkinkan sedikit pergerakan di antaranya.
 Ligamentum supraspinale, berjalan di antara ujung-ujung prosesus spinosus yang
berdekatan. Di daerah sevikalis, ligamentum supraspinale dan interspinalia sangat tebal,
membentuk ligamentum nuchae yang sangat kuat. Ligamentum nuchae terbentang dari
prosesus spinosus vertebra C7 sampai protuberansia oksipitalis eksterna, dengan pinggir
anteriornya melekat kuat pada prosesus spinosus di antaranya.
Gambar 8. Ligamentum pada tulang belakang dilihat dari lateral 15

 Ligamentum interspinalia, menghubungkan prosesus spinosus yang berdekatan.


 Ligamentum intertransversaria, berjalan di antara prosesus transversus yang berdekatan.
 Ligamentum flavum, menghubungkan lamina dari vertebra yang berdekatan.
3. Otot

Otot-otot di daerah punggung dibagi menjadi 3 kelompok utama yaitu otot-otot


superfisial, intermedia dan profunda. Otot-otot superfisial merupakan bagian ekstremitas
superior yaitu m. trapezius, m. lattisimus dorsi, m. levator scapulae, dan m. rhomboideus major
dan minor. Otot-otot intermedia berhubungan dengan respirasi dan terdiri atas m. serratus
posterior superior, m. serratus posterior inferior, dan m. levator costarum. Otot-otot profunda
punggung (postvertebralis) tonus posturalnya mempertahankan lengkung-lengkung normal
kolumna vertebralis; terdiri atas m. erector spinae (m. iliocostalis, m. longissimus, m. spinalis),
m. transversospinalis (m. semispinalis, m. multifidus, mm. rotatores), mm. interspinales dan m.
intertransversarii.1,5,6

Khusus di bagian leher, struktur otot yang dapat dijelaskan pula yaitu struktur otot
anterior, suprahioid dan infrahioid, skalenus dan prevertebra, serta posterior. Struktur otot
anterior yakni m. sternokleidomastoideus, m. skalenus anterior, m. skalenus media, m. skalenus
posterior, dan m. platisma. Otot-otot suprahioid yakni m. miohioid, m. geniohioid, m. stilohioid,
m. digastrik. Otot-otot infrahioid yakni m. sternohioid, m. omohioid, m. sternotiroid, m.
tirohioid. Otot-otot skalenus dan prevertebra yaitu m. longus kapitis, m. longus kolli, m. rektus
kapitis anterior, m. rektus kapitis lateralis. Otot-otot posterior yakni m. trapezius bagian atas, m.
levator skapula, m. semispinalis kapitis dan servicis, m. splenius kapitis dan servicis, m.
longissimus kapitis dan servicis, m. spinalis servicis, m. rektus kapitis posterior mayor dan
minor, m. oblikus kapitis superior dan inferior.5
Gambar 9. Otot-otot punggung, Mm. dorsi15
Gambar 10. Otot-otot punggung, Mm. dorsi dan otot-otot suboksipital, Mm. suboccipitales 15
Gambar 11. Otot-otot leher, Mm. colli15

4. Vaskularisasi dan inervasi

Struktur di punggung mendapat vaskularisasi dari arteri-arteri berikut: di daerah


servikal, cabang-cabang yang berasal dari a. occipitalis (cabang a. carotis eksterna), a. vertebralis
(cabang a. subclavia), a. cervicalis profunda (cabang truncus costocervicalis), dan a. cervicalis
ascendens (cabang a. thyroidea inferior); di daerah torakal cabang-cabang berasal dari aa.
intercostales posteriores; di daerah lumbal cabang-cabang dari a. iliolumbalis dan a. sacralis
lateralis, cabang-cabang dari a. iliaca interna. Vena-vena yang mengalirkan darah dari struktur-
struktur di punggung dapat dibagi menjadi 2 yaitu pleksus venosus vertebralis eksternus (terletak
di luar kolumna vertebralis) dan pleksus venosus vertebralis internus (terletak di dalam kanalis
vertebralis). Pembuluh-pembuluh limfe profunda mengikuti vena dan bermuara ke dalam nodi
lymphoidei cervicales profundi, mediastinales posteriores, aortica laterales, dan sacrales.
Pembuluh limfe kulit leher bermuara ke modus servikalis; dari batang tubuh di atas krista iliaka
bermuara ke nodus aksilaris; dan yang dari daerah di bawah krista iliaka bermuara ke nodus
inguinalis superfisialis.1

Kulit dan otot-otot punggung dipersarafi secara segmental oleh rami posteriores 31
pasang saraf spinalis. Rami posterior C1, C6-C8, serta L4-L5 mempersarafi otot punggung
profunda, tetapi tidak mempersarafi kulitnya. Ramus posterior C2 (n. occipitalis mayor) berjalan
ke aras melalui tengkuk dan mempersarafi kulit kepala.1
5. Gerakan

Seperti telah dikemukakan sebelumnya, kolumna vertebralis dapat melakukan


gerakan-gerakan yaitu fleksi, ekstensi, lateral fleksi, rotasi dan sirkumdiksi. Fleksi adalah
gerakan ke depan; ekstensi adalah gerakan ke belakang. Keduanya dapat dilakukan dengan
leluasa di daerah servikal dan lumbal, tetapi terbatas di daerah torakal. Lateral fleksi adalah
melengkungnya tubuh ke salah satu sisi; mudah dilakukan di daerah servikal dan lumbal, tetapi
terbatas di daerah torakal. Rotasi adalah gerakan memutar kolumna vertebra, sangat terbatas
pada daerah lumbal. Sirkumdiksi adalah kombinasi seluruh gerakan di atas. Tipe dan luas
gerakan yang dapat dilakukan pada masing-masing daerah kolumna vertebralis bergantung pada
ketebalan diskus intervertebralis dan bentuk serta arah prosesus artikularis. Di daerah torakal,
kosta, kartilago kosta dan sternum sangat membatasi gerakan. Kolumna vertebralis digerakkan
oleh banyak otot yang sebagian besar melekat langsung pada vertebra, sementara yang lain
seperti m. sternokleidomastoideus dan otot-otot dinding perut melekat pada kranium, kosta atau
fasia. Di daerah servikal, fleksi dilakukan oleh m. longus colli, m. scalenus anterior, dan m.
sterno-kleidomastoideus. Ekstensi dilakukan oleh otot-otot postvertebrales; lateral fleksi
dilakukan oleh m. scalenus anterior dan medius, m. trapezius, dan m. sterno-kleidomatoideus;
rotasi dilakukan oleh m. sternokleidomastoideus pada satu sisi dan m. splenius pada sisi lainnya.
Di daerah torakal, rotasi dilakukan oleh mm. semispinales dan otot-otot rotator, dibantu oleh
otot-otot serong dinding anterolateral abdomen. Di daerah lumbal, fleksi dilakukan oleh m.
rectus abdominis dan mm. psoas; ekstensi dilakukan oleh mm. postvertebrales; lateral fleksi
dilakukan oleh mm. postvertebrales, m.quadratus lumborum, dan otot-otot serong dinding
anterolateral abdomen.1

b. Pemeriksaan tulang belakang (Spine)

Pemeriksaan dilakukan secara sistimatis, dimulai dari inspeksi (look), palpasi


(feel), menilai gerak sendi baik aktif maupun pasif (move), serta pemeriksaan khusus. Selain
peralatan pemeriksaan fisik biasa, juga harus tersedia goniometer untuk mengukur derajat sendi
maupun deformitas yang timbul.7

Vertebra servikalis menopang kepala dan mengizinkan terjadinya gerakan yang


penting untuk beragam posisi kepala dalam hubungan dengan sekitarnya. Meningkatnya
mobilitas vertebra servikal menyebabkan peningkatan risiko trauma atau perubahan degeneratif
kronis. Berlawanan dengan vertebra servikal, vertebra torakal kaku dan stabil; bukan hanya
karena bentuknya yang dirancang untuk pergerakan yang terbatas, namun juga iga yang
berartikulasi menyebabkan stabilitas yang lebih besar. Bentuk vertebra torakal yang seperti ini
menjelaskan insiden cedera diskus dan penyakit degeneratif yang lebih rendah dibandingkan
dengan vertebra servikal. Vertebra lumbalis, gangguannya sering menyebabkan nyeri pada
pelvis, pinggul atau paha sehingga evaluasi dari vertebra lumbal ini biasanya termasuk
pemeriksaan pelvis, pinggul dan paha.8,9

Untuk pemeriksaan, mula-mula pasien dalam keadaan berdiri, tengkurap, kemudian


terlentang. Bila pasien tidak mampu berdiri (karena terlalu sakit atau terdapat gangguan
neurologis pada ekstremitas bawah) maka pemeriksaan dilakukan dengan pasien berbaring.
Pasien harus membuka pakaiannya, sedikitnya pakaian bagian luar. Tanda-tanda saat pasien
berdiri:5,6,8

1. Inspeksi (look)
 Kulit. Mungkin terlihat bekas luka, pigmentasi (misalnya bintik cafe au lait yang
berhubungan dengan neurofibromatosis), rambut yang abnormal (berhubungan dengan
spina bifida atau bahkan myelomeningocele), atau lipatan kulit yang tidak lazim.
 Bentuk dan postur. Ketika melakukan inspeksi vertebra servikal, torakal dan lumbal,
tujuan utama adalah untuk mendeteksi ketidaksimetrisan. Penyebab yang mungkin
terhadap terjadinya asimetri adalah fraktur malunion atau nonunion, abnormalitas
perkembangan seperti skoliosis, asimetri muskular seperti tortikolis, atau massa
terlokalisasi dari pembesaran tumor atau kelenjar.

Aspek posterior

Untuk melakukan inspeksi aspek posterior dari vertebra servikal, torakal dan
lumbal, pasien disuruh berdiri jauh membelakangi pemeriksa; inspeksi aspek posterior ini akan
mengungkapkan informasi paling spesifik mengenai patologi tulang belakang. Semua struktur
dari atas ke bawah harus tampak simetris.

Kemudian pada taut serviko-torakal, terlihat sebuah prosesus spinosus besar yang
disebut tonjolan (prominensia) vertebra dari prosesus spinosus C7. Di atasnya terdapat prosesus
spinosus vertebra servikal lain yang terbelah dua (bifida) dan kurang menonjol. Fleksi ke depan
dari leher dan punggung cenderung membuat prosesus spinosus C7 dan T1 lebih menonjol pada
individu yang kurus.

Di sebelah lateral dari vertebra, struktur lainnya dari posisi posterior harus juga
tampak simetris. Bahu, skapula, tonjolan iga harus simetris. Pelvis harus simetris pula; pelvis
yang terlihat tidak sejajar dapat menyebabkan ketidaksesuaian panjang tungkai (leg lenght
discrepancy), baik pada pasien dengan tulang belakang yang normal maupun yang mengalami
deformitas.

Deformitas koronal dari tulang belakang meliputi list (kemiringan / kecondongan) dan
skoliosis. List adalah perpindahan ke satu sisi pada bidang koronal yang dapat disebabkan oleh
nyeri, spasme otot maupun anomali tertentu; namun hal ini lebih sering terjadi pada vertebra
lumbal daripada vertebra servikal dan torakal. Skoliosis lebih kompleks, merupakan deformitas
kurva pada bidang koronal dan rotasi abnormal dari vertebra pada bidang transversal. Jika
dicurigai pasien mengalami skoliosis, minta pasien untuk menekuk ke depan sejauh mungkin
untuk menonjolkan iga.
Gambar 12. List kearah kiri; (2) Skoliosis pada pasien dalam posisi menekuk kedepan 8

Selain kesimetrisan yang dinilai, perlu pula dinilai kemiringan pelvis, dimana pelvis
pasien harus sejajar. Sebuah garis imajiner diantara kedua krista iliaka harus sejajar dengan
lantai. Jika tidak terlihat jelas maka pemeriksa dapat melakukan palpasi. Jika terdapat
kemiringan pelvis, bisa diakibatkan oleh karena terdapat deformitas di tulang belakang (misal
skoliosis atau anomali kongenital vertebra), atau akibat sekunder dari leg lenght discrepancy.

Aspek lateral

Amati lordosis servikal, kifosis torakal dan lordosis lumbal. Bila ada penurunan pada
lordosis normal leher dengan pelurusan kurva, maka merupakan reaksi umum tidak spesifik
terhadap nyeri servikal. Penurunan yang lebih besar atau bahkan kebalikan dari lordosis ini dapat
terlihat pada ankylosing spondilitis.

Gambar 13. Aspek lateral dari vertebra servikal. (1) Normal; (2) Deformitas fleksi pada ankylosing spondylitis 9

Kifosis torakal yang meningkat memberikan tampilan lingkar bahu yang berbeda, misal
pada anomali vertebra kongenital dan adanya fraktur kompresi sebelumnya. Adanya peningkatan
kifosis berat akan menyebabkan kepala tampak jauh ke anterior dan badan menjadi lebih pendek.
Kifosis dengan sudut tajam disebut dengan gibbus. Gibbus biasanya menggambarkan sudut
tajam pada tulang belakang pada level tunggal verterba. Penyebab yang mungkin diantaranya
anomali kongenital, atau kolaps korpus vertebra oleh karena tumor, infeksi atau trauma.

Lordosis lumbal normal penting untuk mempertahankan kesehatan punggung bawah.


Kelainan dari lordosis lumbal ini termasuk hiperlordosis, penurunan lordosis, deformitas flatback
lumbal, dan gibbus. Hiperlordosis dikenal dengan swayback, menyebabkan bokong lebih
menonjol, biasanya berhubungan dengan kontraktur fleksi pinggul. Penurunan lordosis lumbal
biasanya bersifat sementara dan reversibel, berhubungan dengan nyeri dan spasme otot, dapat
disebabkan spondilolisis dan ankylosing spondilitis. Sindrom flatback lumbal digambarkan
sebagai vertebra lumbal yang rigid (kaku), dimana lordosis normal telah menghilang. Fraktur
kompresi yang menyebabkan korpus vertebra lumbal bagian anterior berbentuk baji (wedge),
atau degenerasi diskus intervertebra lanjut dapat menyebabkan flatback lumbal.

Gambar 14. Aspek lateral dari vertebra lumbal: (1) Normal; (2) Hiperlordosis; (3) Deformitas
flatback8

Aspek anterior

Penunjuk. Inspeksi dari arah anterior kurang berguna dikarenakan struktur vertebra
yang terletak di dorsal. Namun, pemeriksa harus memeriksa lagi dengan saksama tampilan
simetris; leher harus tampak lurus, dengan kepala di antara bahu, dan dagu terletak di atas sternal
notch. Prominensia (penonjolan) di garis tengah anterior yang dapat menjadi penunjuk adalah os
hyoid, kartilago tiroidea dan kartilago krikoidea. Walaupun evaluasi dari struktur-struktur ini
tidak tergolong dalam pemeriksaan fisik ortopedi namun identifikasi dari struktur-struktur tadi
membantu pemeriksa untuk melokalisir abnormalitas dari vertebra servikal pada tingkat yang
berhubungan. Untuk tujuan ini, pemeriksa harus mengingat bahwa os hyoid berada kira-kira
sejajar dengan level C3, kartilago tiroidea sejajar level C4-C5, dan kartilago krikoid sejajar level
C6. Sebelah lateral dari garis tengah (midline), prominensia penunjuk yang dapat terlihat adalah
dua muskulus sternokleidomastoideus. Sternal notch (takik sternum) lokasinya sejajar level T3-
T4. Terakhir, penunjuk anterior yang signifikan adalah umbilikus, yang adalah dermatom dari
T10.

Nilai pula ada tidaknya asimetri pada fossa supraklavikula; ada tidaknya tortikolis
(kepala dalam posisi miring ke satu sisi dan dagu ke arah yang berlawanan); dan asimetri dada.

Gambar 15. Aspek anterior leher. A. os hyoid, B. kartilago tyroidea, C. kartilago krikoidea, D. m.
sternokleidomastoideus, E. sternum, F. Chassaignac’s tubercles, G. sternal notch (takik sternum) 8

 Gaya berjalan (gait)

Evaluasi gait penting dalam penilaian tulang belakang secara keseluruhan. Beberapa
sindrom neurologi berhubungan dengan gangguan tulang belakang servikal, torakal dan lumbal
menyebabkan gangguan gait.

Shuffling and slap foot gaits (Gaya berjalan dengan menyeret dan membanting kaki),
didapatkan pada pasien dengan posterior cord syndrome (sindrom korda posterior). Pada pasien
ini ada kehilangan proprioseptif pada ekstremitas yang diinervasi di bawah lesi. Ketika individu
tersebut melangkah, ia tidak menyadari posisi kaki yang berayun dan dengan demikian tidak
mampu memprediksi saat yang tepat tumit menyentuh lantai. Ketidakpastian ini dapat
bermanifestasi dengan gaya berjalan menyeret, dimana kaki terseret di tanah selama fase
berayun, atau gaya berjalan membanting kaki, dimana kaki menyentuh tanah secara kasar dan
tidak bisa diprediksi. Meskipun demikian, gaya berjalan menyeret juga ada pada penyakit lain
seperti penyakit Parkinson.

Broad-based or halting gait (Gaya berjalan dengan kaki terbuka lebar atau terputus-
putus), didapatkan pada pasien dengan stenosis vertebra servikal yang berkomplikasi dengan
kompresi medula spinalis, oleh karena kesulitas menyeimbangkan diri selama berdiri dengan
satu kaki. Namun patogenesis dari pola berjalan ini masih belum jelas, namun pasien-pasien ini
seringkali memiliki kesulitan berjalan pada tanah yang tidak rata dan mengeluh hilang
keseimbangan.

Pasien dengan skiatika (yang kebanyakan disebabkan oleh herniasi diskus pada L5-S1
atau L4-L5 yang mengkompresi akar saraf ke saraf skiatik), oleh karena ekstensi lutut dan fleksi
pinggul menyebabkan bertambahnya nyeri pada saraf skiatik maka pasien mencoba berjalan
dengan pinggul lebih ekstensi dan lutut lebih fleksi daripada normal. Pasien juga bisa
menampilkan antalgic gait, dimana pasien membebankan seringan mungkin berat badan ke sisi
yang sakit dan dengan cepat memindahkan berat badan ke sisi yang sehat, sewaktu berjalan.
Kemampun untuk heel walking (berjalan dengan tumit) dan toe walking (berjalan dengan ujung
jari kaki) digunakan untuk menskrining radikulopati lumbal yang kebanyakan berhubungan
dengan herniasi diskus. Heel walking menguji kekuatan dorsofleksi ankle; dimana bila tidak
mampu maka menunjukkan kelemahan inervasi L4 (oleh karena herniasi diskus L3-L4) ke
muskulus tibialis anterior. Toe walking menguji kekuatan plantarfleksi ankle; dimana bila tidak
mampu maka menunjukkan kelemahan inervasi S1 (oleh karena herniasi diskus L5-S1) ke
muskulus gastroknemius.

2. Palpasi / raba (feel)5,6,8,9,10

Palpasi memiliki beberapa kegunaan dalam evaluasi vertebra. Pertama, palpasi dapat
mengungkapkan deformitas yang tidak terlihat selama inspeksi atau tersembunyi dari
pemeriksaan visual. Kedua, palpasi dapat mendeteksi adanya spasme otot paraspinal. Ketiga,
palpasi yang teliti dapat mengidentifikasi area dimana terdapat nyeri tekan (pada cedera akut,
nyeri tekan pada palpasi dapat menunjukkan adanya fraktur atau gangguan ligamen). Palpasi
vertebra dilakukan dari arah posterior.
Aspek posterior.

Vertebra dapat dipalpasi baik dalam posisi berbaring maupun duduk. Posisi berbaring
membuat pasien lebih santai dan mungkin dapat membantu pemeriksa mengidentifikasi struktur
anatomi lebih detail. Namun kerugiannya, pemeriksa tidak dapat melihat secara langsung
struktur yang dipalpasi. Posisi duduk mengurangi relaksasi otot tetapi membantu pemeriksa
memvisualisasi langsung area yang dipalpasi. Dapat juga dalam posisi tengkurap (pronasi),
namun tidak secara luas digunakan. Jika pasien awalnya dilihat di UGD (misalnya setelah
kejadian KLL), posisi yang lebih dipilih masih menjadi perdebatan. Pada keadaan gawat darurat,
pasien seharusnya diperiksa dalam posisi pertama kali pasien diletakkan sampai pemeriksa yakin
bahwa kemungkinan vertebra servikal tidak stabil, disingkirkan. Bila pemeriksa tidak mampu
membuat keputusan dengan yakin, pasien harus dibawa dalam posisi leher diimobilisasi sampai
dapat dilakukan pemeriksaan radiologi yang baik.

Prosesus spinosus, ligamentum di antara tulang belakang dan otot paravertebra


dipalpasi; perhatikan setiap penonjolan atau adanya anak tangga. Struktur-struktur pada garis
tengah yang dapat dipalpasi dari atas ke bawah yaitu: protuberansia oksipitalis eksterna (struktur
yang terdapat pada perbatasan kepala dan leher), vertebra servikal (prosesus spinosus yang
paling menonjol yang dapat diraba di leher adalah yang berasal dari vertebra C7; namun prosesus
spinosus yang dapat teraba pertama kali adalah prosesus spinosus C2), vertebra torakal dan
lumbal (prosesus spinosus yang paling menonjol adalah prosesus spinosus vertebra T1; prosesus
spinosus yang lain dapat mudah dikenali bila badan melengkung ke depan); krista sakralis media
yang merupakan tempat bersatunya prosesus spinosus os sakrum (dapat diraba di bawah kulit
pada bagian paling atas celah antara kedua bokong); hiatus sakralis, terletak kira-kira 2 inchi (5
cm) di atas ujung os koksigeus dan di bawah kulit sulkus di antara kedua bokong; os koksigeus
yang dapat diraba di dalam alur antara kedua bokong (permukaan anteriornya dapat dipalpasi
dengan jari di dalam kanalis analis). Nilai adanya nyeri tekan dan massa. Rasa nyeri harus
ditentukan tempatnya pada (1) struktur tulang, (2) jaringan antara vertebra, (3) otot yang
mengelilinginya. Nyeri pada penekanan lokal biasanya terdapat pada spondiloartrosis atau bila
terjadi destruksi bagian vertebra baik disebabkan infeksi maupun keganasan. Di bagian leher,
periksa pula fosa supraklavikularis, adakah nyeri lokal, massa tumor atau penonjolan KGB

Aspek anterior.
Aspek anterior yang diperiksa adalah pada bagian leher. Struktur-struktur yang dapat
dipalpasi yaitu os hyoid, kartilago tiroidea (yang membentuk Adam’s apple), dan kartilago
krikoid; juga kelenjar tiroid.

Gambar 16. Palpasi os hyoid, kartilago tyroidea, dan kartilago krikoidea (berturut-turut dari kiri
kekanan)8

3. Gerakan (move)5,6,8,9
 Vertebra servikal

Untuk menilai ROM (range of motion) leher dengan tepat, penting untuk menyokong
vertebra torakal. Hal ini dapat dilakukan dengan mudah dengan meminta pasien duduk di kursi
dengan sandaran tegak, dan bahu setinggi level midskapula. Pemeriksaan ini dapat pula dilakuan
dengan pasien diminta menggigit spatula kayu dalam posisi memanjang sebagai penunjuk,
kemudian ROM diukur terhadap garis horizontal. Dalam menilai setiap gerakan, pemeriksa tidak
hanya menilai jumlah gerakan yang dapat dilakukan tetapi juga menentukan apakah setiap
gerakan yang dilakukan menimbulkan nyeri atau tidak. Nyeri kebanyakan terjadi pada penyakit
degeneratif diskus.

Fleksi dan ekstensi. Untuk menilai fleksi, pemeriksa meminta pasien mencoba menyentuhkan
dagunya ke dada. Pasien dengan vertebra servikal yang normal seharusnya dapat menyentuhkan
dagu ke dadanya. Hampir separuh gerakan fleksi dilakukan pada articulatio atlanto-occipitalis.
Untuk menilai ekstensi, pasien diminta untuk mendongak dan melihat ke arah atas. Ekstensi
maksimal adalah kombinasi gerakan leher, torakal dan oksipitoservikal. Jumlah ekstensi dapat
berkurang pada keadaan artritis degeneratif atau deformitas tetap seperti skoliosis atau kifosis,
juga kompresi saraf servikal akut yang dibatasi oleh adanya nyeri. Fleksi normal adalah 80°,
ekstensi normal 50°, total fleksi-ekstensi 130°.

Gambar 17. Fleksi dan ekstensi aktif dari leher 8

Rotasi lateral. Rotasi lateral baik ke kanan maupun ke kiri harus dinilai. Untuk menilai
rotasi lateral, pasien diminta untuk merotasi dagu ke arah masing-masing bahu. Rotasi lateral
normal adalah sekitar 60° pada setiap arah, namun dapat mencapai 90° pada beberapa individu.
Rotasi lateral dinilai dengan pemeriksa berada di depan atau tepat di belakang pasien.

Gambar 18. Rotasi lateral aktif leher kekanan dan kekiri 8

Lateral bending / lateral fleksi. Lateral bending ke kanan maupun ke kiri dinilai dengan
cara meminta pasien untuk mencoba menyentuh masing-masing telinga ke bahu ipsilateral. Jika
dikombinasikan dengan pengangkatan bahu maka seharusnya telinga hampir mencapai bahu.
Normalnya adalah 45°. Jika lateral fleksi tidak bisa dilakukan tanpa fleksi (anterior) ini
menandakan kondisi patologis pada sendi atlanto-aksial dan atlanto-oksipital.
Gambar 19. Fleksi lateral aktif leher kekanan dan kekiri 8

 Vertebra torakal

Fleksi dan ekstensi. Berlawanan dengan vertebra servikal, vertebra torakal memiliki
pergerakan yang terbatas / sedikit. Untuk menilai fleksi dan ekstensi dari vertebra torakal, pasien
duduk di kursi dengan sandaran tegak untuk menyingkirkan gerakan lumbopelvik, kemudian
pasien diminta fleksi dulu lalu ekstensi. Bila pasien mengalami ankylosing spondilitis maka
fleksi dan ekstensi menjadi terbatas.

Gambar 20. Fleksi dan ekstensi aktif torakal 8

Selain itu dinilai pergerakan iga. dengan mengukur keliling dada pada ekspirasi penuh
dan kemudian pada inspirasi penuh; perbedaan yang normal adalah sekitar 7 cm; hal ini dapat
pula dilakukan sebagai tes skrining ankylosing spondilitis, bila perbedaan < 2,5 cm dapat berarti
tanda dari ankylosing spondilitis.

 Vertebra lumbal
Fleksi. Untuk menilai fleksi dari vertebra lumbal, pasien diminta untuk menekuk badan
lurus ke depan pada pinggang sejauh mungkin. Bergantung pada jumlah fleksibilitas, pasien
dapat diinstruksikan untuk menyentuhkan ujung-ujung jari tangan ke tanah. Nilai normal
fleksi adalah 80-90° (diukur dari posisi badan pada bidang vertikal). Cara lain mengukur
fleksi lumbal adalah dengan mengukur jarak ujung jari dengan lantai, rata-rata sekitar 10 cm
dari lantai. Variasi dalam fleksi lumbal cukup besar; fleksi cenderung berkurang seiring
pertambahan usia. Karena fleksi lumbal meningkatkan tekanan pada diskus intervertebra dan
menyebabkan tekanan pada akar saraf skiatik maka herniasi diskus L4-L5 dan L5-S1
menyebabkan fleksi lumbal menjadi terbatas.

Ekstensi. Untuk menilai ekstensi lumbal, pasien diminta untuk melakukan gerakan
bersandar ke belakang sejauh mungkin. Jumlah ekstensi diukur dengan memperkirakan sudut
antara badan dengan garis vertikal, yang pada pasien normal adalah sekitar 20-30°. Karena
ekstensi mempersempit kanalis spinalis, pasien dengan penyempitan kanalis spinalis abnormal
akan menghindari ekstensi lebih lanjut. Penyebabnya bisa karena stenosis spinal degeneratif,
deformitas post-trauma, SOL misalnya tumor, gangguan pada elemen posterior vertebra misal
pada spondilolisis.

Gambar 21. Fleksi dan ekstensi lumbal9

Fleksi lateral. Untuk menilai fleksi lateral lumbal, pasien diminta untuk melakukan
gerakan bersandar ke samping kiri dan kanan sejauh mungkin. Pemeriksa harus menstabilkan
pelvis dengan tangan pada masing-masing krista iliaka. Fleksi lateral diukur dengan
menggambar garis imajiner antara tonjolan vertebra dan sakrum, kemudian memperkirakan garis
ini dengan bidang vertikal; normalnya adalah 20-30°. Pemeriksa harus menilai adanya asimetri
dari kedua sisi pada fleksi lateral ini. Pasien dengan herniasi diskus cenderung menghindari
lateral fleksi ke arah herniasi. Uji fleksi lateral juga dapat menyediakan kesempatan bagi
pemeriksa untuk membuktikan adanya spasme otot paraspinal. Untuk melakukannya, pemeriksa
harus mempalpasi otot prraspinal selama manuver fleksi lateral. Normalnya, otot di sisi kemana
pasien melakukan fleksi lateral harus relaks dan lembut; jika kaku maka ada spasme.

Gambar 22. Fleksi lateral lumbal kekanan dan kekiri 9

Rotasi. Rotasi lumbal diperkirakan dengan meminta pasien memutar badannya ke


tiap arah sejauh mungkin. Pemeriksa harus mencegah rotasi dari pelvis dengan menstabilkan
pelvis di krista iliaka. Jumlah rotasi sulit dihitung, namun dapat diperkirakan melalui sudut
antara bidang baru dari bahu yang berotasi dengan bidang koronal dari pelvis yang distabilisasi.
Normalnya adalah 30-40° pada tiap arah.

Gambar 23. Rotasi lumbal9

4. Pemeriksaan spesifik
Pemeriksaan spesifik pada leher :5,8
 Spurling’s test. Pemeriksaan ini bertujuan untuk memeriksa nyeri radikuler. Cara
pemeriksaan: pemeriksa melakukan rotasi pasif sendi leher ke arah yang sakit sambil
mengaplikasikan tekanan ke bawah dari atas kepala pasien. Penemuan positif jika
terdapat nyeri yang muncul dari leher dan menjalar sesuai dermatom. Jika didapatkan
nyeri lokal sugestif keterlibatan sendi faset, nyeri radikuler mengindikasikan adanya
kompresi radiks saraf.

 Neck compression test. Pemeriksaan tes kompresi leher ini bertujuan untuk memeriksa
nyeri radikuler. (1) Kompresi tegak lurus, cara pemeriksaan: pasien dalam posisi duduk
dengan pemeriksa berdiri di belakang pasien, lalu pemeriksa mengaplikasikan tekanan
pada kepala pasien; penemuan positif jika terdapat nyeri di bagian sendi leher pada saat
penekanan. (2) Kompresi dengan gerakan pasif, cara pemeriksaan: pasien dalam posisi
duduk dengan pemeriksa berdiri di belakang pasien, lalu pemeriksa mengaplikasikan
tekanan pada kepala pasien sambil melakukan rotasi pasif dan fleksi lateral ke kanan dan
kiri; adanya nyeri, kesemutan dan rasa baal pada lokasi tertentu dicatat.

 Shoulder abduction test (Badoky’s sign). Pasien diminta mengabduksikan sendi bahu dan
meletakkan telapak tangan di atas kepala. Penemuan positif jika dengan posisi ini pasien
merasa keluhan berkurang atau bahkan hilang. Manuver ini menyebabkan berkurangnya
stretching pada radiks yang mengalami kompresi.

 Sharp-Purser test. Pemeriksaan ini bertujuan untuk memeriksa integritas dari ligamen
transversum atau instabilitas tulang belakang servikal atas. Cara pemeriksaan: pasien
dalam posisi duduk dan kepala sedikit menunduk, lalu pemeriksa menaruh satu tangan di
dahi pasien, dan tangan pemeriksa yang lain diletakkan di prosesus spinosus C2 pasien
(kedua tangan pemeriksa horisontal dengan lantai), lalu pemeriksa mengaplikasikan
tekanan ke posterior dari tangan yang diletakkan di dahi sembari tangan yang lain
memfiksasi C2. Penemuan positif jika didapatkan gerakan meluncur (sliding) pada sendi
leher atau gejala utama berkurang.

 L’hermitte’s sign, dilakukan fleksi atau ekstensi sendi leher, positif bila menimbulkan
sensasi tersetrum, terutama pada tungkai.
Pemeriksaan spesifik pada torakolumbal :6,9

 Straight leg test (Lasegue test), dilakukan fleksi sendi panggul dengan tungkai lurus pada
posisi terlentang. Dinyatakan normal bila tidak ada nyeri pada saat tes dilakukan dan
sendi lutut melewati minimal 70°.

 Kernig test, dilakukan fleksi sendi hip 90° dan fleksi sendi lutut 90°, kemudian
ekstensikan lutut pada posisi tersebut. Dinyatakan normal bila tidak ada nyeri pada saat
tes dilakukan dan sendi lutut melewati minimal 135°.
 Valsava test, nyeri torakolumbal saat valsava mengindikasikan adanya nerve root
impingement.
 Milgram test, mirip dengan straight leg test hanya saja dilakukan pada kedua kaki
bersamaan. Gagal atau adanya nyeri saat melakukan tes ini mengindikasikan adanya
nerve root impingement.

 Quadrant test, pasien berdiri dengan pemeriksa memegang bahu pasien, pasien diminta
untuk ekstensi punggung, lateral bending dan rotasi ke arah keluhan; nyeri menjalar
menunjukkan kompresi serabut saraf sedangkan nyeri lokal menunjukkan patologi sendi
intervertebralis.
 Bowstring sign, lakukan ekstensi sendi hip pasif hingga nyeri muncul, fleksi lutut kira-
kira 20° untuk meredakan nyeri, kemudian lakukan penekanan pada area popliteal; hasil
positif mengindikasikan skiatika.

 Schoeber test, pada pasien berdiri tegak, buat garis antara 2 sendi sakroiliak, kemudian
buat garis tegak lurus 10 cm pada pertengahan garis sebelumnya. Minta pasien untuk
membungkuk ke depan (forward flexion) lalu ukur jarak kedua garis tersebut pada saat
pasien membungkuk. Selisih < 5 cm menunjukkan keberadaan patologi spinal.
 FABER test, lakukan fleksi, abduksi, eksorotasi sendi hip dari tungkai yang sakit; adanya
nyeri mengindikasikan patologi sakroiliak atau kelainan pada m. iliopsoas.

 Gaelen’s test, pasien berbaring di tepi samping meja periksa dengan salah satu tungkai
menggantung, dilakukan fleksi hip dan lutut pada tungkai kontralateral, lakukan
penekanan hingga hiperekstensi pada tungkai yang menggantung dan fleksi pada tungkai
yang difleksikan; nyeri pada tes mengindikasikan disfungsi sakroiliak.
B. Pemeriksaan Gait
Salah satu gerak tubuh yang dilakukan manusia setiap harinya adalah berjalan.
Berjalan merupakan gerak lokomosi yang melibatkan dua kaki, untuk mendukung
propulsi dengan salah satu kaki kontak atau bersentuhan dengan tanah. Berjalan
meskipun terlihat sederhana namun melibatkan berbagai mekanisme yang bisa
menimbulan gerak kompleks. Gaya berjalan merupakan hasil integrasi antara tulang,
sistem saraf (sistem saraf pusat dan perifer), otot, dan factor lingkungan (sepatu,
permukaan tempat pijakan). Secara mekanis, gaya berjalan atau gait membutuhkan
kerjasama antara ekstremitas atas dan bawah pada kedua sisi. Ketika satu kaki menyentuh
tanah sebagai penahan, pendukung gerak, dan pendorong, kaki lainnya mengayun untuk
membuat satu langkah. Hal tersebut menimbulkan gait / gaya berjalan sebagai gerakan
bergantian yang ritmis antara kaki, lengan dan badan untuk membuat gerak maju. Syarat
terbentuknya suatu gait adalah balance (keseimbangan), weight bearing, dan forward
propultion (dorongan kedepan).11
a. Gait cycle
Gait atau gaya berjalan merupakan suatu fenomena siklik yang bisa dibagi dalam
segmen atau fase. Berdasarkan terminologi tradisional, gait digambarkan sebagai
proses heelstrike, heel rise, dan toe off. Sedangkan menurut terminologi Rancho Los
Amogis (RLA) yang populer di awal 1990-an, lebih menekankan pada lamanya
segmen atau proses, seperti loading response, terminal stance, dan preswing20. saat
berjalan salah satu ekstremitas akan berperan memberikan support bagi ekstremitas
lainnya yang berpindah maju / berganti gerakan. Ekstremitas akan bergerak
bergantian hingga seseorang mencapai tempat yang dituju. Urutan tunggal fungsi
tersebut oleh satu ekstremitas disebut gait cycle yang diatur menjadi gerakan secara
ritmik tejadi secara berurutan oleh sistem reticulospinal.12
Siklus gait dimulai dari salah satu kaki bersentuhan tanah hingga diakhiri kontak
lantai/tanah berikutnya oleh kaki yang sama. Ada beberapa parameter dalam analisis
gaya berjalan/gait :12
1. Step length, jarak kaki kontak dengan tanah dengan kaki lainnya, jarak normal
kaki kanan dan kiri pada gait normal adalah sama.
2. Stride length adalah jarak antara kontak kaki dengan tanah dengan kaki yang
sama berikutnya.
3. Cadence atau irama jalan. Irama normal pada dewasa sekitar 101-120
langkah/menit.
4. Walking velocity/gait speed merupakan perkalian antara cadence dengan step
length. Pada dewasa normal biasanya 1,5 m/s.

Satu gait cycle terdapat dua periode, stance phase dan swing phase. Stance merupakan
kondisi dimana kaki menyentuh lantai atau tanah dimulai dengan initial contact, sedangkan
swing didefinisikan kaki mengayun dimulai dengan toe-off. Manusia memiliki dua ekstremitas
bawah sehingga proses stance dan swing berlangsung bergantian (contralateral) kanan dan kiri.
Karena hal tersebut, ada beberapa proses yang terjadi selama gait cycle.12

Gambar 24. Fase gait


Gambar 25. Event in a gait cycle

Dalam fase stance meliputi proses heel contact/ initial contact, foot-flat atau loading
response yaitu permulaan kontak kaki dengan tanah, midstance, heel-off atau terminal stance,
dan toe-off atau pre -swing. Sedangkan dalam fase swing terdapat proses acceleration atau initial
swing, midswing, dan deceleration atau terminal swing. Durasi terselesaikannya siklus gait
dikenal dengan gait time, yang terbagi dalam stance time dan swing time.12

Gambar 26. Pembagian fase stance dan swing

b. Faktor-faktor yang mempengaruhi gait


Menurut Shruti, beberapa hal yang mempengaruhi gait performance antara lain
usia, kecepatan, dan gender atau jenis kelamin.13
1. Gender / Jenis Kelamin
Meskipun beberapa peneliti melaporkan adanya perbedaan gaya berjalan/gait
antara pria dan wanita, hanya sedikit studi menyatakan adanya perbandingan
langsung. Wanita memiliki langkah kaki lebih pendek dibanding pria, cadences lebih
tinggi dibanding pria dan stride yang lebih pendekStudi yang dilakukan Kerrigan
membandingkan 90 pria dan wanita dengan usia yang sama menunjukkan perbedaan
joint kinematics, dan menunjukkan bahwa wanita memiliki momen ekstensi lutut
lebih besar saat initial contact dan fleksi lebih besar saat preswing. Perbedaan
kinematik ini menjelaskan adanya kejadian osteoartritis lebih besar pada wanita.
Adanya perbedaan gait yang berhubungan dengan jenis kelamin diduga juga karena
faktor perbedaan anatomi, tinggi badan maupun panjang kaki wanita biasanya lebih
pendek daripada laki-laki.
2. Walking Speed
Kecepatan berjalan mempengaruhi beberapa parameter gait, seperti cadence, step
length, dan stride. Seiring bertambahnya kecepatan, parameter-parameter tersebut
ikut meningkat, juga berubah seiring menurunnya kecepatan. Bertambahnya walking
speed nampaknya juga mempengaruhi peningkatan step width. Hal lain yang ikut
terpengaruh adanya perubahan kecepatan ini adalah ground reaction activity, pola
aktivitas otot, joint moment, jount reaction forces yang ikut meningkat bersamaan
dengan peningkatan walking speed.
3. Usia
Seiring bertambah usia, gait berkembang, mulai dari masa kanak-kanak hingga
usia lanjut. Usia diatas 60 tahun samapi lebih dari 100 tahun menunjukkan perubahan
gait. Umumnya semakin lanjut usia kecepatan berjalan juga berkurang, sementara
menurunnya walking speed mengakibatkan berkurangnya step length, joint
excurtion, dan ground reaction forces. Oleh karena itu, perubahan gait yang terjadi
karena usia umumnya sebagai efek sekunder turunnya walking speed. Selain itu,
faktor usia berhubungan dengan berkurangnya kekuatan otot quadriceps, m. Plantar
flexors, dan hip flexor, range of motion, dan oxygen uptakeoxygen uptake
berhubungan dengan pengurangan walking speed. Usia juga berhubungan dengan
ketajaman pengelihatan. Semakin tinggi usia, ketajaman pengelihatan akan
berkurang, hal tersebut mempengaruhi gait pada lansia, selain karena pengaruh
ekstensi lutut yang berkurang. Ekstensi lutut dan nyeri sendi lutut terutama
mempengaruhi parameter gait dari segi jarak dan waktu.
4. BMI
Beberapa studi menunjukkan adanya hubungan antara obesitas dan kelainan
spinal dengan kelemahan dan kekakuan otot lumbar yang dapat mempengaruhi
berdiri, berjalan, dan berlari. Pola gait pada orang obesitas perbedaan perbedaan
mekanik gerak tubuh dibanding orang normal. Bentuk tubuh dipengaruhi oleh
timbunan lemak. Orang obesits memiliki ground reaction forces, stance-phase sagital-
plane net muscle moment¸dan step width lebih besar dibanding orang tanpa obesitas.
Kecepatan berjalan orang tanpa obesitas sekitar 1,4 m/s sedangkan pada obesitas
sekitar 1,2 m/s, kecepatan berjalan berbanding terbalik dengan BMI. Pada anak-
anak, walking speed tergantung pada usia, meskipun anak dengan obesitas memiliki
kecepatan berjalan 10%-15% lebih lambat daribada anak tanpa obesitas. Pengaruh
obesitas pada walking speed juga mempengaruhi peningkatan fase stance dan
berkurangnya fase swing, step width juga meningkat.
5. Jenis Sepatu
Jenis sepatu atau footwear juga bisa memperngaruhi gait. Pada anak-anak, sepatu
dapat memperpanjang langkah dengan meningkatnya sudut dan gerak lutut serta
meningkatya aktivitas tibialis anterior. Saat berlari, sepatu mengurangi swing phase,
meskipun belum diketahui dengan jelas pengaruh jangka panjangnya bagi
pertumbuhan dan perkembangan. Sepatu dengan berbagai jenis ketinggian juga
mempengaruhi gait. Sepatu hak tiggi meningkatkan plantarfleksi kaki.perubahan
struktur tulang dari sendi ankle, midtarsal, dan metatarsophalangeal. Perubahan
anatomi menimbulkan perubahan fungsional termasuk ground reaction forces telapak
kaki medial, berkurangnya pronasi kaki saat midstance, dan meningkatnya vertical
ground reaction force saat heel strike. Penelitian terhadap sepatu hak tinggi dengan
dasar sol berbeda menunjukkan adanya perbedaan distribusi tekanan kaki. Semakin
luas alas permukaan hak sepatu, tekanan tumit juga berkurang. Jika menggunakan
sepatu hak tinggi, lebih baik menggunakan alas hak yang lebih lebar, karena tekanan
kaki yang akan timbul lebih kecil dibanding alas runcing. Perbedaan distribusi
tekanan plantar sering dikaitkan dnegan keluhan pemakaian speatu hak tinggi dalam
waktu yang lama sepperti nyeri, hallux valgus, calluces. Distribusi tekanan plantar
berhubungan dengan keseimbangan dan gait.
c. Tipe-tipe gait12
1. Tabetic atau ataxic gait
Merupakan ciri khas penyakit pada columna posterior dan timbul akibat
hilangnya sensasi proprioseptif pada ekstremitas. Pasien-pasien seperti ini
berjalan dengan langkah-langkah yang lebar, membantingkan kakinya dan
biasanya mengamati tungkainya sehingga mengetahui dimana tungkainya berada.
Pada keadaan gelap atau mata tertutup, ataxia semakin memburuk. Gerakan yang
canggung dan tidak menentu merupakan ciri khas. Kaki diletakkan terpisah terlalu
lebar antara yang satu dengan yang lainnya, dan ketika melangkah penderita
mengangkat kaki dengan tiba-tiba dan terlalu tinggi untuk kemudian
membantingkan atau menghentakkannya kuat-kuat pada lantai. Timbul
ketidakteraturan dalam jarak setiap langkahnya, berjalan terhuyung-huyung dan
limbung, biasanya dengan deviasi kesalah satu sisi.
2. Hemiplegic gait
Tungkai yang sakit tampak kaku dan diayunkan pada panggul dengan
gerak setengah lingkaran oleh gerakan tubuh, pasien doyong kesisi yang sakit dan
lengan pada sisi tersebut berada dalam keadaan kaku serta semifleksi. Suatu gaya
berjalan yang serupa terjadi pada setiap gangguan yang menyebabkan panggul
atau lutut tidak bergerak. Ekstremitas yang sakit dan spastik digerakkan kedepan
dengan susah payah karena mobilitas sendinya terganggu. Jari-jari kaki pada
tungkai yang hemiplegia cenderung tertarik kebawah, sehingga gerakan abduksi
dan circumduksi dari ekstremitas diperlukan untuk menggerakkan kedepan.
3. Scissors gait
Merupakan ciri khas paraplegia spastik. Kedua tungkai adduksi,
menyilang silih berganti didepan tungkai yang satu dengan lutut saling bergesek.
Akibatnya langkah-langkahnya pendek dan jalannya menjadi lambat. Kedua
tungkai spastik. Ekstremitas bawah tersebut bergerak kedepan dengan sikap yang
kaku, tersentak-sentak dan kadang-kadang disertai gerakan kompensasi yang
menonjol dari tubuh dan ekstremitas atas.
4. Drunken atau staggering gait
Gaya berjalan terhuyung-huyung ini terlihat pada alkoholisme akut yang
dapat pula terjadi akibat keracunan obat, neuritis multiple, tumor otak, multiple
sclerosis atau paresis umum.
5. Waddling atau clumsy gait
Gaya berjalan terombang-ambing ini terjadi akibat dislokasi sendi panggul
atau distrofi otot dengan kelemahan panggul. Pada kedua keadaan tersebut, otot-
otot badan dipaksa bekerja sehingga penderita terombang-ambing kekanan dan
kekiri. Kelemahan otot badan dan lengkung panggul menyebabkan pelvis miring.
Gaya berjalan terombang-ambing ini terjadi akibat kesukaran dalam
mempertahankan pelvis dengan sudut yang tepat terhadap ekstremitas penunjang
berat tubuh, dengan jatuhnya pelvis kesisi kiri yang tidak menunjang sebaliknya,
sebagai suatu kompensasi berlebihan, menimbulkan gerak tubuh kesisi yang
menunjang. Distrofi otot mempunyai ciri khas berupa kelemahan otot-otot badan
dan lengkung panggul, yang menyebabkan punggung melengkung kedepan, perut
menonjol dan gaya berjalan terombang-ambing.

6. Steppage gait
Ditandai oleh gerakan lutut yang tinggi dan kaki terkulai. Bahkan kalau
tungkai diangkat, jari-jari kaki terseret sepanjang lantai, terjadi pada paralisis.
Kelompok otot tibialis anterior, seperti pada neuritis alcohol, cedera nervus
peroneus, poliomyelitis dan atrofi muscular progresif. Kalua terjadi food drop
bilateral, maka gaya berjalannya dapat menyerupai gaya berjalan seekor kuda
yang mengangkat kakinya tinggi-tinggi.

7. Cerebellar gait
Ditandai oleh irregularitas dan keadaan limbung yang nyata dengan
vertigo dan cenderung terhuyung-huyung kesatu sisi. Ekstremitas bawah tampak
lemas; gerakan tungkai untuk melangkah dimulai lambat-lambat tetapi kemudian
secara kasar, mendadak dan tidak menentu tungkai tersebut dijatuhkan kedepan
serta tiba dilantai dengan hentakan. Langkahnya lebar, irregular, terhuyung-
huyung atau menyimpang dengan langkah yang limbung pada saat membelok.
8. Propulsion atau festination gait
Gaya berjalan propulasi pada paralisis agitans ditandai oleh sikap tubuh
yang limbung kedepan dan langkah-langkahnya diseret, yang mula-mula dimulai
dengan perlahan dan kemudian makin menjadi cepat. Penderita dengan gambaran
parkinsonisme yang klasik memperlihatkan sikap tubuh yang miring, langkahnya
pendek-pendek dan kerapkali makin bertambah cepat sehingga seolah-olah
penderita tengah mengejar pusat gravitasinya.
9. Hysterical gait
Gaya berjalan histerik menyerupai berbagai paralisis (misalnya
monoplegia, hemiplegia atau paraplegia) tetapi berbeda dengan bentuk-bentuk
organic pada gejala yang lebih nyata dan lengkap, dengan kemampuan
menggunakan tungkai tersebut dalam keadaan darurat. Gaya berjalannya tampak
aneh dan tidak masuk diakal, ditandai oleh gerakan mengatur keseimbangan yang
berlebih-lebihan dan tidak terlihat konsisten antara gaya berjalannya dengan
kemampuan penderita yang sesungguhnya untuk menggerakka tungkainya secara
volunteer. Mungkin terdapat gerakan tiba-tiba, berbentuk zigzag, gerakan naik
turun yang irregular atau gerakan yang berlebihan, sangat lambat, ragu-ragu dan
slow motion.
10. Astasia-abasia
Merupakan ataxia histerikal dengan inkoordinasi yang aneh sehingga
penderita tidak mampu berdiri atau berjalan padahal semua tungkainya dapat
digerakkan dengan normal ketika penderita duduk atau berada diranjang.
11. Limping gait atau antalgic gait
Kalau timbul rasa nyeri ketika ekstremitas bawah harus menerima
bebannya, maka pasien akan meletakkan ekstremitas yang menderita tersebut
dengan perlahan-lahan dan mengambil langkah-langkah yang pendek agar kaki
yang sakit secepat mungkin bebas dari bebannya. Tungkai yang baik
dilangkahkan dengan cepat kedepan dan dihentakkan kuat-kuat kelantai. Keadaan
timpang ini dapat menyertai berbagai keadaan, termasuk memendeknya
ektremitas bawah dan deformitas kaki.
12. Trandelenburg gait
Gaya berjalan miring kearah lateral pada sisi pembawa berat, diakibatkan
oleh kelemahan musculus gluteus medial.
13. Spastic gait
Kaki digerakkan bersama-sama dalam keadaan kaku, telapak kaki seperti
ditarik.
Panduan Pemeriksaan Gait

NO LANGKAH KLINIK KASUS

A. Persiapan
1. Melakukan Anamnesis
Mengucapkan salam, memperkenalkan diri, dan menjabat tangan pasien
Mempersilakan pasien duduk
Menjelaskan jenis pemeriksaan, prosedur pemeriksaan, alasan dan manfaat
pemeriksaan pada pasien
Meminta persetujuan pasien
Melakukan cuci tangan
Meminta pasien membuka pakaian sebatas daerah yang akan diperiksa (sebaiknya
ditemani oleh perawat)
Pemeriksaan Gait
Minta pasien berjalan sejauh kurang lebih 2 meter, dan berjalan kembali ke tempat semula.

Observasi dan tentukan gait pasien: normal, trendelenberg gait, spastic gait, antalgic gait, dll.
Normal:
 Tegak (62%): telapak kaki kontak dengan tanah/lantai
 Mengayun (38%): kaki melayang di udara kea rah maju
Urutan:
a. Heel strike
b. Foot flat
c. Midstance
d. Heel off
e. Toe off
f. Preswing
g. Midswing
h. Terminal swing

BAB III

KESIMPULAN

Spine (kolumna vertebralis) merupakan pilar utama tubuh, dan berfungsi


menyangga kranium, gelang bahu, ekstremitas superior, dan dinding toraks serta melalui gelang
panggul meneruskan berat badan ke ekstremitas inferior. Kurva normal dari tulang belakang
yaitu lordosis servikal, kifosis torakalis, lordosis lumbalis, dan kifosis sakralis. Adapun
pemeriksaan spine meliputi inspeksi, palpasi, perkusi, serta menilai ROM (Range of Motion).

Gait atau gaya berjalan merupakan suatu fenomena siklik yang bisa dibagi
dalam segmen atau fase. Untuk masing-masing kaki, gait memiliki dua tahap, yaitu tahap sikap
(stance phase) dan tahap ayunan (swing phase). Tahap sikap dimulai dari pijakan kaki sampai
diangkatnya ujung kaki, merupakan tahap dimana dialihkannya beban kekaki tersebut. Tahap
ayunan dimulai dari diangkatnya ujung kaki sampai pijakan kaki, tahap dimana kaki melayang
diudara.
DAFTAR PUSTAKA

1. Snell R. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran, edisi 6. Jakarta: EGC; 2006.
2. Page P, Frank CC, Lardner R. Pemeriksaan dan Pengobatan pada Ketidakseimbangan
Otot. Jakarta: EGC; 2014.
3. IDI. Panduan Keterampilan Klinis bagi Dokter di Fasilitas Kesehatan Primer, edisi 1.
Jakarta: pengurus besar ikatan dokter Indonesia.
4. Hart JA, Miller MD. Review of orthopaedics, 5 th ed. Philadelphia: Elsevier Saunders;
2008.
5. Tobing SD, Rahyussalim. Pemeriksaan Fisik Leher. Dalam: Tobing SD, editor.
Pemeriksaan Fisik Orthopedi. Jakarta: Sagung Seto; 2015. Hal 93-102.
6. Saleh I, Dohar SD. Pemeriksaan Fisik torakolumbal. Dalam: Tobing SD, editor.
Pemeriksaan Fisik Orthopedi. Jakarta: Sagung Seto; 2015. Hal 85-91.
7. McRae R. Clinical Orthopaedic Examination, 5th ed. Philadelphia: Elsevier; 2004.
8. Wetzel FT, Reider B. Cervical and Thoracic Spine. In: Reider B. The Orthopaedic
Clinical Examination, 2nd ed. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2005. P 297-333.
9. Philips FM, Reider B, Mehta V. Lumbar Spine. In: Reider B. The Orthopaedic Clinical
Examination, 2nd ed. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2005. P 335-60.
10. Eisenstein S, Solomon L. The Neck. In: Solomon L, Warwick D, Nayagam S. Apley’s
System of Orthopaedics and Fractures, 9th ed. London: Hodder Education; 2010. P 440-1.
11. Bates B. Pemeriksaan Fisik dan Riwayat Kesehatan, edisi 2. Jakarta: EGC; 1997.
12. Noor Z. Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal, edisi 2. Jakarta Selatan: Salemba
Medika; 2016.
13. Douglas G, Nicol F, Robertson C. Original Macleod. Pemeriksaan Klinis, edisi 13.
Jakarta Barat: EGC.
14. Thompson JC, Netter FH, Machado CAG, Craig JA. Netter’s Concise Orthopedic
Anatomy, 2nd ed. Philadelphia: Elsevier Saunders, 2010.
15. Putz R, Pabst R. Atlas Anantomi Manusia: Sobotta. Jakarta: EGC; 2009.

Anda mungkin juga menyukai