Anda di halaman 1dari 38

BAGIAN ANESTESIOLOGI REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN OKTOBER 2022


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

Anestesi Regional: Anestesi Spinal dan Anestesi Epidural

Oleh :

M. Imam Legistiawan
105101104320

Pembimbing:
dr. Zulfikar Djafar, M.Kes, Sp.An

Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepanitraan Klinik Bagian Anestesiologi

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH


MAKASSAR
2022

24
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertandatangan dibawah ini menyatakan bahwa :

Nama : M. Imam Legistiawan

NIM : 105101104320

Institusi : Universitas Muhamammadiyah Makassar

Judul Referat : Anestesi Regional: Anestesi Spinal dan Anestesi Epidural

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada Bagian


Anestesiologi Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Makassar.

Makassar, Oktober 2022


Pembimbing

dr. Zulfikar Djafar, M.Kes, Sp.An

i
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang
senantiasa tercurahkan atas segala limpahan rahmat dan nikmat-Nya.
Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Rasulullah
Muhammad Shalallahu Alaihi Wassallam, karena beliaulah sebagai
suritauladan yang membimbing manusia menuju surga. Alhamdulillah
berkat hidayah dan pertolongan-Nya sehingga dapat menyelesaikan referat
dengan judul “Anestesi Regional: Anestesi Spinal dan Anestesi Epidural”.
Referat ini merupakan salah satu syarat dalam menyelesaikan
kepaniteraan klinik di Bagian Anestesiologi. Secara khusus penulis
menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang mendalam kepada dr.
Zulfikar Djafar, M.Kes, Sp.An selaku pembimbing yang telah banyak
meluangkan waktu dengan tekun dan sabar dalam membimbing,
memberikan arahan dan koreksi selama proses penyusunan tugas ini
hingga selesai.
Penulis menyadari bahwa penyusunan referat ini belum sempurna
adanya dan memiliki keterbatasan tetapi berkat bantuan dan dorongan
dari berbagai pihak, baik moral maupun material sehingga dapat
berjalan dengan baik. Akhir kata, penulis berharap agar referat ini dapat
memberi manfaat kepada semua orang.

Makassar, Oktober 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN....................................................................................i

KATA PENGANTAR............................................................................................ii

DAFTAR ISI.........................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................2

A. Anatomi dan Fisiologi..................................................................................2


B. Anestesi Spinal.............................................................................................6
C. Anestesi Epidural.......................................................................................19
D. Kombinasi Anestesi Spinal-Epidural.........................................................27
E. Perbedaan Anestesi Spinal dan Anestesi Epidural.....................................28
BAB III KESIMPULAN .....................................................................................29

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................30

BAB I
PENDAHULUAN

Anestesi regional atau "blok saraf" adalah bentuk anestesi yang


hanya sebagian dari tubuh dibius (dibuat mati rasa). Hilangnya sensasi di
daerah tubuh yang dihasilkan oleh pengaruh obat anestesi untuk semua
saraf yang dilewati persarafannya (seperti ketika obat bius epidural
diberikan ke daerah panggul selama persalinan). Jika pasien akan
dilakukan operasi pada ekstremitas atas (misalnya bahu, siku atau tangan),
pasien akan menerima tindakan anestesi dengan suntikan (blok saraf tepi )
di atas atau di bawah tulang selangka (tulang leher), yang kemudian
membius hanya lengan yang dioperasi. Operasi pada ekstremitas bawah
(misalnya pinggul, lutut, kaki) akan dapat dilakukan dengan teknik

iii
anastesi epidural, spinal atau blok saraf tepi yang akan membius bagian
bawah tubuh pasien, atau seperti pada blok ekstremitas atas, yaitu hanya
memblokir persarafan pada daerah perifer.1
Anestesi spinal adalah tindakan anestesi dengan menggunakan
obat anestesi lokal yang disuntikkan ke dalam kanal tulang belakang
menggunakan jarum yang sangat kecil yaitu ruang subarachnoid.
Pasien menjadi benar-benar mati rasa dan tidak bisa bergerak dari
sekitar bagian bawah menurun sampai ke jari kaki. Tujuan dari
anestesi ini adalah untuk memblokir transmisi sinyal saraf. Pasien tetap
terjaga untuk prosedur ini tetapi mereka seringkali juga mendapatkan
sedasi untuk mengurangi kecemasan pasien.2
Anestesia epidural dihasilkan dengan menyuntikkan obat anestesi
lokal kedalam ruang epidural. Blok saraf terjadi pada akar nervus spinalis
yang berasal dari medula spinalis dan melintasi ruang epidural. Tujuannya
untuk memblok serabut saraf spinalis (radix) dalam ruang epidural yang
keluar dari dura menuju foramen intervertebralis. Efek anestesi yang
dihasilkan lebih lambat dari anesthesia spinal dan terbentuk secara
segmental.3

iv
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. ANATOMI DAN FISIOLOGI

Tulang vertebra terdri dari 33 tulang: 7 buah tulang servikal, 12 buah


tulang torakal, 5 buah tulang lumbal, 5 buah tulang sakral. Tulang servikal,
torakal dan lumbal masih tetap dibedakan sampai usia berapapun, tetapi
tulang sakral dan koksigeus satu sama lain menyatu membentuk dua tulang
yaitu tulang sakum dan koksigeus.4

Gambar 1. Kolumna Vertebralis


Kolumna vertebralis mempunyai lima fungsi utama, yaitu: (1)
menyangga berat kepala dan dan batang tubuh, (2) melindungi medula
spinalis, (3) memungkinkan keluarnya nervi spinalis dari kanalis spinalis, (4)
tempat untuk perlekatan otot-otot, (5) memungkinkan gerakan kepala dan
batang tubuh.4
Tulang vertebra secara gradual dari cranial ke caudal akan membesar
sampai mencapai maksimal pada tulang sakrum kemudian mengecil
sampai apex dari tulang koksigeus. Struktur demikian dikarenakan beban
yang harus ditanggung semakin membesar dari cranial hingga caudal sampai
kemudian beban tersebut ditransmisikan menuju tulang pelvis melalui
articulatio sacroilliaca.4
Korpus vertebra selain dihubungkan oleh diskus intervertebralis juga
oleh suatu persendian sinovialis yang memungkinkan fleksibilitas tulang

v
punggung, kendati hanya memungkinkan pergerakan yang sedikit untuk
mempertahankan stabilitas kolumna vertebralis guna melindungi struktur
medula spinalis yang berjalan di dalamnya. Stabilitas kolumna vertebralis
ditentukan oleh bentuk dan kekuatan masing-masing vertebra, diskus
intervertebralis, ligamen dan otot-otot.4
Hal penting yang perlu diperhatikan dalam melakukan anestesi
subaraknoid adalah lokasi medulla spinalis di dalam kolumna vertebralis.
Medulla spinalis berjalan mulai dari foramen magnum kebawah hingga
menuju ke konus medularis (segmen akhir medulla spinalis sebelum terpecah
menjadi kauda equina). Penting diperhatikan bahwa lokasi konus medularis
bervariasi antara vertebra T12 hingga L1.6
Ruang epidural adalah ruang antara duramater, ligamentum dan
eriosteum dari kanalis vertebra yang membantasng dari foramen magnum
hingga membran sacrococygeus. Ruang epidural merupakan ruang potensial
bertekanan negatif  dengan komponen terdiri dari jaringan lemak, saluran
limfatik dan pembuluh darah tanpa ada cairan bebas dalam ruang epidural.5
Diameter ruang epidural memiliki perbedaan pada tiap segmennya,
menurut beberapa literatur ukuran dari tiap segmen.
Luas Ruang Epidural Tebal Duramater
Servikal 1-1,5 mm 1,5-2 mm
Thorakal atas 2,3-3 mm 1 mm
Thorakal bawah 4-5 mm 1 mm
Lumbal 5-6 mm 0,33-0,88 mm
Tabel 1. Diameter Ruang dan Tebal Duramater Tiap Segmen5
Memperhatikan susunan anatomis dari vertebra, ada beberapa
landmark yang lazim digunakan untuk memperkirakan lokasi penting pada
vertebra, diantaranya adalah:7
1. Vertebra C7: Merupakan vertebra servikal dengan penonjolan yang
paling terlihat di daerah leher.
2. Papila Mamae: Lokasi ini kurang lebih berada di sekitar vertebra torakal
3-4

vi
3. Epigastrium: Lokasi ini kurang lebih berada di sekitar vertebra torakal 5-6
4. Umbilikus: Lokasi ini berada setinggi vertebra torakal 10
5. Krista Iliaka: Lokasi ini berada setinggi kurang lebih vertebra lumbalis 4-
5

Gambar 2. Perjalanan Medulla Spinalis pada Kolumna Vertebralis4


Berikut adalah susunan anatomis pada bagian yang akan dilakukan anestesi
spinal.4
1. Kutis
2. Subkutis: Ketebalannya berbeda-beda, akan lebih mudah mereba ruang
intervertebralis pada pasien yang memiliki lapisan subkutis yang tipis.
3. Ligamentum Supraspinosum: Ligamen yang menghubungkan ujung
procesus spinosus.
4. Ligamentum interspinosum
5. Ligamentum flavum: Ligamentum flavum cukup tebal, sampai sekitar 1
cm. Sebagian besar terdiri dari jaringan elastis. Ligamen ini berjalan
vertikal dari lamina ke lamina. Ketika jarum berada dalam ligamen ini,
akan terasa sensasi mencengkeram dan berbeda. Sering kali bisa kita
rasakan saat melewati ligamentum dan masuk keruang epidural.
6. Epidural: Ruang epidural berisi pembuluh darah dan lemak. Jika darah
yang keluardari jarum spinal bukan CSF, kemungkinan vena epidural
telah tertusuk. Jarum spinal harus maju sedikit lebih jauh.

vii
7. Duramater: Sensasi yang sama mungkin akan kita rasakan saat
menembus duramater seperti saat menembus epidural.
8. Subarachnoid: merupakan tempat kita akan menyuntikkan obat anestesi
spinal. Pada ruangan ini akan dijumpai likuor sereberospinalis (LCS)
pada penusukan.

Gambar 3. Susunan Anatomi Ligament Vertebra8


Pembuluh darah pada daerah tusukan juga perlu diperhatikan, terdapat
arteri dan vena yang lokasinya berada di sekitar tempat tusukan. Terdapat
arteri Spinalis posterior yang memperdarahi 1/3 bagian posterior medulla.
Arteri spinalis anterior memperdarahi 2/3 bagian anterior medulla. Terdapat
juga arteri radikularis yang memperdarahi medulla, berjalan di foramen
intervertebralis memperdarahi radiks. Sistem vena yang terdapat di medulla
ada 2 yaitu vena medularis anterior dan posterior.8

Gambar 4. Sistem Vaskular Medulla Spinalis8

viii
ix
B. ANESTESI SPINAL

1. DEFINISI
Anestesi blok subaraknoid atau biasa disebut anestesi spinal adalah
tindakan anestesi dengan memasukan obat analgetik ke dalam ruang
subaraknoid di daerah vertebra lumbalis yang kemudian akan terjadi
hambatan rangsang sensoris mulai dari vertebra thorakal empat.6
2. INDIKASI
Indikasi anestesi spinal adalah untuk pembedahan daerah tubuh yang
dipersarafi cabang T4 ke bawah (daerah papila mammae ke bawah),
dengan durasi operasi yang tidak terlalu lama yakni maksimal 2-3 jam.7
a. Bedah ekstremitas bawah
b. Bedah panggul
c. Tindakan sekitar rektum dan perineum
d. Bedah obstetri dan ginekologi
e. Bedah urologi
f. Bedah abdomen bawah
g. Penyakit respirasi (hindari blok tinggi)
3. KONTRAINDIKASI
Berikut ini merupakan kontraindikasi pada anestesi spinal.
Kontraindikasi Relatif Kontraindikasi Absolut
Stenosis aorta / Stenosis mitral Obat dan peralatan yang tidak
memadai
Sepsis sistemik Koagulopati
Kelainan neurologis Hipovolemia berat atau syok
Deformitas anatomi pada bagian Sepsis lokal
belakang
Kesulitan jalan nafas Peningkatan tekanan intracranial
Waktu operasi yang lama Pasien Menolak
Anak-anak
Tabel 2. Kontraindikasi Anestesi Spinal7

x
4. PERSIAPAN ANESTESI SPINAL
Persiapan yang diperlukan untuk melakukan anestesi spinal lebih
sederhana dibanding melakukan anestesi umum, namun selama operasi
wajib diperhatikan karena terkadang jika operator menghadapi penyulit
dalam operasi dan operasi menjadi lama, maka sewaktu-waktu prosedur
secara darurat dapat diubah menjadi anestesi umum.8
Persiapan yang dibutuhkan untuk melakukan anestesi spinal antara lain
sebagai berikut.8
a. Informed consent : Pasien sebelumnya diberi informasi tentang
tindakan ini meliputi tindakan anestesi, kemungkinan yang akan
terjadi selama operasi tindakan ini dan komplikasi yang mungkin
terjadi.
b. Pemeriksaan fisik : Pemeriksaan fisik dilakukan meliputi daerah kulit
tempat penyuntikan untuk menyingkirkan adanya kontraindikasi
seperti infeksi. Perhatikan juga adanya gangguan anatomis seperti
scoliosis atau kifosis, atau pasien terlalu gemuk sehingga tonjolan
processus spinosus tidak teraba.
c. Pemeriksaan laboratorium anjuran: Pemeriksaan laboratorium yang
perlu dilakukan adalah penilaian hematokrit, Hb, masa protrombin
(PT) dan masa tromboplastin parsial (PTT) dilakukan bila diduga
terdapat gangguan pembekuan darah.
Persiapan yang dibutuhkan setelah persiapan pasien adalah persiapan alat
dan obat-obatan. Peralatan dan obat yang digunakan adalah:9
a. Satu set monitor untuk memantau tekanan darah, Pulse oximetri, EKG.
b. Peralatan resusitasi / anestesia umum.
c. Jarum spinal. Jarum spinal dengan ujung tajam (ujung bambu
runcing, quincke bacock) atau jarum spinal dengan ujung pinsil
(pencil point whitecare), dipersiapkan dua ukuran (dewasa 26G atau
27G).
d. Betadine dan alkohol untuk antiseptic.
e. Kapas/kasa steril dan plester.

xi
f. Obat-obatan anestetik lokal.
g. Spuit 3 ml dan 5 ml.
h. Infus set.
5. OBAT-OBATAN ANESTESI SPINAL
Obat-obatan pada anestesi spinal pada prinsipnya merupakan obat
anestesi lokal. Anestetik lokal adalah obat yang menghambat hantaran saraf
bila dikenakan pada jaringan saraf dengan kadar cukup. Paralisis pada sel
saraf akibat anestesi lokal bersifat reversible.10
Obat anestesi lokal yang ideal sebaiknya tidak bersifat iritan terhadap
jaringan saraf. Batas keamanan harus lebar, dan onset dari obat harus
sesingkat mungkin dan masa kerja harus cukup lama. Zat anestesi lokal ini
juga harus larut dalam air.10
Terdapat dua golongan besar pada obat anestesi lokal yaitu golongan
amid dan golongan ester. Keduanya hampir memiliki cara kerja yang sama
namun hanya berbeda pada struktur ikatan kimianya. Mekanisme kerja
anestesi lokal ini adalah menghambat pembentukan atau penghantaran
impuls saraf. Tempat utama kerja obat anestesi lokal adalah di membrane sel.
Kerjanya adalah mengubah permeabilitas membran pada kanal Na+ sehingga
tidak terbentuk potensial aksi yang nantinya akan dihantarkan ke pusat
nyeri.10
Berat jenis cairan cerebrospinalis pada 37 derajat celcius adalah 1.003
- 1.008. Anastetik lokal dengan berat jenis sama dengan LCS disebut
isobaric. Anastetik lokal dengan berat jenis lebih besar dari LCS disebut
hiperbarik. Anastetik lokal dengan berat jenis lebih kecil dari LCS disebut
hipobarik. Anastetik lokal yang sering digunakan adalah jenis hiperbarik
diperoleh dengan mencampur anastetik lokal dengan dextrose. Untuk jenis
hipobarik biasanya digunakan tetrakain diperoleh dengan mencampur dengan
air injeksi.10
Berikut adalah beberapa contoh sediaan yang terdapat di Indonesia dan
umum digunakan.11
a. Lidokaine 5% dalam dextrose 7.5%: berat jenis 1.003, sifat hyperbaric,

xii
dosis 20-50mg(1-2ml).
b. Bupivakaine 0.5% dlm air: berat jenis 1.005, sifat isobaric, dosis 5-20mg.
c. Bupivakaine 0.5% dlm dextrose 8.25%: berat jenis 1.027, sifat
hiperbarik, dosis 5-15mg (1-3ml).
Obat Anestesi lokal memiliki efek tertentu di setiap sistem tubuh manusia.
Berikut adalah beberapa pengaruh pada sistem tubuh yang nantinya harus
diperhatikan saat melakukan anestesi spinal.10
a. Sistem Saraf: Pada dasarnya sesuai dengan prinsip kerja dari obat
anestesi lokal, menghambat terjadinya potensial aksi. Maka pada sistem
saraf akan terjadi paresis sementara akibat obat sampai obat tersebut
dimetabolisme.
b. Sistem Respirasi: Jika obat anestesi lokal berinteraksi dengan saraf yang
bertanggung jawab untuk pernafasan seperti nervus frenikus, maka bisa
menyebabkan gangguan nafas karena kelumpuhan otot nafas.
c. Sistem Kardiovaskular: Obat anestesi lokal dapat menghambat impuls
saraf. Jika impuls pada sistem saraf otonom terhambat pada dosis
tertentu, maka bisa terjadi henti jantung. Pada dosis kecil dapat
menyebabkan bradikardia. Jika dosis yang masuk pembuluh darah cukup
banyak, dapat terjadi aritmia, hipotensi, hingga henti jantung. Maka
sangat penting diperhatikan untuk melakukan aspirasi saat menyuntikkan
obat anestesi lokal agar tidak masuk ke pembuluh darah.
d. Sistem Imun: Karena anestesi lokal memiliki gugus amin, maka
memungkinkan terjadi reaksi alergi. Penting untuk mengetahui riwayat
alergi pasien. Pada reaksi lokal dapat terjadi reaksi pelepasan histamine
seperti gatal, edema, eritema. Apabila tidak sengaja masuk ke pembuluh
darah, dapat menyebabkan reaksi anafilaktik.
e. Sistem Muskular: obat anestetik lokal bersifat miotoksik. Apabila
disuntikkan langsung kedalam otot maka dapat menimbulkan kontraksi
yang tidak teratur, bisa menyebabkan nekrosis otot.
f. Sistem Hematologi: obat anestetik dapat menyebabkan gangguan
pembekuan darah. Jika terjadi perdarahan maka membutuhkan

xiii
penekanan yang lebih lama saat menggunakan obat anestesi lokal.

Tabel 3. Dosis Obat Untuk Anestesi Spinal9

xiv
6. TEKNIK ANESTESI SPINAL
Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan
pada garis tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya
dikerjakan di atas meja operasi tanpa dipindah lagi dan hanya diperlukan
sedikit perubahan posisi pasien.8
a. Pasang IV line. Berikan Infus Dextrosa/NaCl/Ringer laktat sebanyak
500 - 1500 ml (pre-loading).
b. Oksigen diberikan dengan kanul hidung 2-4 L/Menit
c. Setelah dipasang alat monitor, pasien diposisikan dengan baik.
d. Dapat menggunakan 2 jenis posisi yaitu posisi duduk dan berbaring
lateral.
e. Raba krista. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua
krista iliaka dengan tulang punggung ialah L4 atau L4-L5.
f. Palpasi di garis tengah akan membantu untuk mengidentifikasi
ligamen interspinous.
g. Cari ruang interspinous cocok. Pada pasien obesitas anda mungkin
harus menekan cukup keras untuk merasakan proses spinosus.
h. Sterilkan tempat tusukan dengan betadine atau alkohol.
i. Beri anestesi lokal pada tempat tusukan, misalnya lidokain 1-2% 2-3
ml.
j. Cara tusukan adalah median atau paramedian. Untuk jarum spinal
besar 22G, 23G atau 25G dapat langsung digunakan. Sedangkan
untuk jarum kecil 27G atau 29G dianjurkan menggunakan penuntun
jarum (introducer), yaitu jarum suntik biasa yaitu jarum suntik biasa
10cc. Jarum akan menembus kutis, subkutis, ligamentum
supraspinosum, ligamentum interspinosum, ligamentum flavum,
epidural, duramater, subarachnoid. Setelah mandrin jarum spinal
dicabut, cairan serebrospinal akan menetes keluar. Selanjutnya
disuntikkan obat analgesik ke dalam ruang arachnoid tersebut.

xv
Gambar 5. Posis Lateral9

Gambar 6. Posisi Duduk9


Teknik penusukan bisa dilakukan dengan dua pendekatan yaitu
median dan paramedian. Pada teknik medial, penusukan dilakukan tepat di
garis tengah dari sumbu tulang belakang. Pada tusukan paramedial,
tusukan dilakukan 1,5cm lateral dari garis tengah dan dilakukan tusukan
sedikit dimiringkan ke kaudal.9

Gambar 7. Tusukan Median dan Paramedian9


xvi
Setelah melakukan penusukan, tindakan berikutnya adalah
melakukan monitoring. Tinggi anestesi dapat dinilai dengan memberikan
rangsang pada dermatom di kulit. Penilaian berikutnya yang sangat
bermakna adalah fungsi motorik pasien dimana pasien merasa kakinya
tidak bisa digerakkan, kaki terasa hangat, kesemutan, dan tidak terasa saat
diberikan rangsang. Hal yang perlu diperhatikan lagi adalah pernapasan,
tekanan darah dan denyut nadi. Tekanan darah bisa turun drastis akibat
spinal anestesi, terutama terjadi pada orang tua yang belum diberikan
loading cairan. Hal itu dapat kita sadari dengan melihat monitor dan
keadaan umum pasien. Tekanan darah pasien akan turun, kulit menjadi
pucat, pusing, mual dan berkeringat.9

Gambar 8. Lokasi Dermatom Sensoris9


7. FAKTOR YANG MEMENGARUHI ANESTESI SPINAL
Anestesia spinal dipengaruhi oleh beberapa factor, diantaranya adalah:9
1. Volume obat analgetik lokal: makin besar makin tinggi daerah
analgesia
2. Konsentrasi obat: makin pekat makin tinggi batas daerah analgesia
3. Barbotase: penyuntikan dan aspirasi berulang-ulang meninggikan
batas daerah analgetik.
4. Kecepatan: penyuntikan yang cepat menghasilkan batas analgesia
yang tinggi. Kecepatan penyuntikan yang dianjurkan: 3 detik untuk 1
ml larutan.
5. Maneuver valsava: mengejan meninggikan tekanan liquor
xvii
serebrospinal dengan akibat batas analgesia bertambah tinggi.
6. Tempat pungsi: pengaruhnya besar pada L4-5 obat hiperbarik
cenderung berkumpul ke kaudal (saddle blok) pungsi L2-3 atau L3-4
obat cenderung menyebar ke cranial.
7. Berat jenis larutan: hiperbarik, isobarik atau hipobarik.
8. Tekanan abdominal yang meningkat: dengan dosis yang sama
didapat batas analgesia yang lebih tinggi.
9. Tinggi pasien: makin tinggi makin panjang kolumna vertebralis
makin besar dosis yang diperlukan.(BB tidak berpengaruh terhadap
dosis obat).
10. Waktu: setelah 15 menit dari saat penyuntikan, umumnya larutan
analgetik sudah menetap sehingga batas analgesia tidak dapat lagi
diubah dengan posisi pasien.
8. MASALAH KLINIS PADA ANESTESI SPINAL
Pada praktik sehari-hari dapat ditemukan masalah saat melakukan
anestesi spinal. Berikut adalah pendekatan dari beberapa masalah yang
lazim ditemukan saat melakukan anestesi spinal:7
1. Jarum terasa sudah menembus bagian yang seharusnya tetapi belum
ada cairan yang keluar: saat menemukan situasi seperti ini, tunggu
kurang lebih 30 detik, kemudian coba putar 90 derajat jarum tersebut.
Jika masih belum didapatkan LCS, dapat dilakukan injeksi udara 1cc
untuk mendorong jika ada sumbatan pada jarum.
2. Terdapat darah yang keluar melalui jarum: tunggu sesaat, jika
perdarahan berhenti, lanjutkan prosedur. Jika darah terus menetes,
kemungkinan saat penusukan mengenai vena epidural. Jarum harus
digerakkan lebih kedalam, atau diarahkan sedikit lebih medial.
3. Pasien merasa nyeri tajam di kaki: kemungkinan jarum mengenai
radiks saraf. Segera cabut jarum dan ulang tusukan dengan arah lebih
ke medial dari tempat tusukan awal.
4. Jarum terasa menusuk tulang: perhatikan kembali posisi pasien
apakah saat dilakukan penusukan, pasien kurang melakukan fleksi

xviii
tubuh sehingga celah menjadi sempit. Perlu juga menenangkan pasien
karena umumnya pasien melakukan ekstensi saat menahan nyeri
tusukan saat awal jarum mengenai kulit.
9. KOMPLIKASI TINDAKAN ANESTESI SPINAL
Saat melakukan anestesi spinal ada beberapa komplikasi yang harus
diperhatikan. Sesuai dengan kerja obat dan pengaruhnya pada siste tubuh
seperti. Beberapa komplikasi tersebut diantaranya adalah:9
a. Komplikasi Kardiovaskular
Insiden terjadi hipotensi akibat anestesi spinal adalah 10-40%.
Hipotensi terjadi karena vasodilatasi, akibat blok simpatis, yang
menyebabkan terjadi penurunan tekanan arteriola sistemik dan vena,
makin tinggi blok makin berat hipotensi. Cardiac output akan
berkurang akibat dari penurunan venous return. Hipotensi yang
signifikan harus diobati dengan pemberian cairan intravena yang
sesuai dan penggunaan obat vasoaktif seperti efedrin atau
fenilefedrin. Cardiac arrest pernah dilaporkan pada pasien yang sehat
pada saat dilakukan anestesi spinal. Henti jantung bisa terjadi tiba-
tiba biasanya karena terjadi bradikardia yang berat walaupun
hemodinamik pasien dalam keadaan yang stabil. Pada kasus seperti
ini,hipotensi atau hipoksia bukanlah penyebab utama dari cardiac
arrest tersebut tapi ia merupakan dari mekanisme reflek bradikardi
dan asistol yang disebut reflek Bezold-Jarisch. Pencegahan hipotensi
dilakukan dengan memberikan infuse cairan kristaloid (NaCl,
Ringerlaktat) secara cepat sebanyak 10-15ml/kgbb dalam 10 menit
segera setelah penyuntikan anesthesia spinal. Bila dengan cairan
infuse cepat tersebut masih terjadi hipotensi harus diobati dengan
vasopressor seperti efedrin intravena sebanyak 19 mg diulang setiap
3-4 menit sampai mencapai tekanan darah yang dikehendaki.
Bradikardia dapat terjadi karena aliran darah balik berkurang atau
karena blok simpatis,dapat diatasi dengan sulfat atropine 1/8 – 1/4 mg
IV.9

xix
b. Blok Tinggi atau Total
Anestesi spinal tinggi atau total terjadi karena akibat dari
kesalahan perhitungan dosis yang diperlukan untuk satu suntikan.
Komplikasi yang bisa muncul dari hal ini adalah hipotensi, henti
nafas, penurunan kesadaran, paralisis motor, dan jika tidak diobati
bisa menyebabkan henti jantung. Akibat blok simpatetik yang cepat
dan dilatasi arterial dan kapasitas pembuluh darah vena, hipotensi
adalah komplikasi yang paling sering terjadi pada anestesi spinal. Hal
ini menyebabkan terjadi penurunan sirkulasi darah ke organ vital
terutama otak dan jantung, yang cenderung menimbulkan sequel lain.
Penurunan sirkulasi ke serebral merupakan faktor penting yang
menyebabkan terjadi henti nafas pada anestesi spinal total.9
Walau bagaimanapun, terdapat kemungkinan pengurangan kerja
otot nafas terjadi akibat dari blok pada saraf somatic interkostal.
Aktivitas saraf phrenikus biasanya dipertahankan. Berkurangnya
aliran darah ke serebral mendorong terjadinya penurunan kesadaran.
Jika hipotensi ini tidak di atasi, sirkulasi jantung akan berkurang
seterusnya menyebabkan terjadi iskemik miokardiak yang
mencetuskan aritmia jantung dan akhirnya menyebakan henti jantung.
Pengobatan yang cepat sangat penting dalam mencegah terjadinya
keadaan yang lebih serius, termasuk pemberian cairan, vasopressor,
dan pemberian oksigen bertekanan positif. Setelah tingkat anestesi
spinal berkurang, pasien akan kembali ke kedaaan normal seperti
sebelum operasi. Namun, tidak ada sequel yang permanen yang
disebabkan oleh komplikasi ini jika diatasi dengan pengobatan yang
cepat dan tepat.9
c. Komplikasi Sistem Respirasi
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dari sistem respirasi saat
melakukan anestesi spinal adalah:9
- Analisa gas darah cukup memuaskan pada blok spinal tinggi, bila
fungsi paru- paru normal.

xx
- Penderita PPOM atau COPD merupakan kontra indikasi untuk
blok spinal tinggi.
- Apnoe dapat disebabkan karena blok spinal yang terlalu tinggi
atau karena hipotensi berat dan iskemia medulla.
- Kesulitan bicara, batuk kering yang persisten, sesak nafas,
merupakan tanda- tanda tidak adekuatnya pernafasan yang perlu
segera ditangani dengan pernafasan buatan
d. Komplikasi Gastrointestinal
Nausea dan muntah karena hipotensi, hipoksia, tonus parasimpatis
berlebihan, pemakaian obat narkotik, reflek karena traksi pada traktus
gastrointestinal serta komplikasi delayed, pusing kepala pasca pungsi
lumbal merupakan nyeri kepala dengan ciri khas terasa lebih berat pada
perubahan posisi dari tidur ke posisi tegak. Mulai terasa pada 24 - 48 jam
pasca pungsi lumbal, dengan kekerapan yang bervariasi. Pada orang tua
lebih jarang dan pada kehamilan meningkat. Untuk menangani komplikasi
ini dapat diberikan obat tambahan yaitu ondansetron atau diberikan
ranitidine.9
e. Nyeri Kepala (Puncture Headache)
Komplikasi yang paling sering dikeluhkan oleh pasien adalah nyeri
kepala. Nyeri kepala ini bisa terjadi selepas anestesi spinal atau tusukan
pada dural pada anestesi epidural. Insiden terjadi komplikasi ini tergantung
beberapa faktor seperti ukuran jarum yang digunakan.Semakin besar
ukuran jarum semakin besar resiko untuk terjadi nyeri kepala. Selain itu,
insidensi terjadi nyeri kepala juga adalah tinggi pada wanita muda dan
pasien yang dehidrasi. Nyeri kepala post suntikan biasanya muncul dalam 6
–48 jam selepas suntikan anestesi spinal. Nyeri kepala yang berdenyut
biasanya muncul di area oksipital dan menjalar ke retroorbital, dan sering
disertai dengan tanda diplopia, mual, dan muntah. Tanda yang paling
signifikan nyeri kepala spinal adalah nyeri makin bertambah bila pasien
dipindahkan atau berubah posisi dari tiduran/supinasi ke posisi duduk, dan
akan berkurang atau hilang total bila pasien tiduran. Terapi konservatif

xxi
dalam waktu 24 –48 jam harus dicoba terlebih dahulu seperti tirah baring,
rehidrasi (secara cairan oral atau intravena), analgesic, dan suport yang
kencang pada abdomen. Tekanan pada vena cava akan menyebabkan
terjadi perbendungan dari plexus vena pelvik dan epidural, seterusnya
menghentikan kebocoran dari cairan serebrospinal dengan meningkatkan
tekanan extradural. Jika terapi konservatif tidak efektif, terapi yang aktif
seperti suntikan salin ke dalam epidural untuk menghentikan kebocoran.9
f. Komplikasi Sistem Neurologi
Insidensi defisit neurologi berat dari anestesi spinal adalah rendah.
Komplikasi neurologik yang paling benign adalah meningitis aseptik.
Sindrom ini muncul dalam waktu 24 jam setelah anestesi spinal ditandai
dengan demam, rigiditas nuchal dan fotofobia. Meningitis aseptic hanya
memerlukan pengobatan simptomatik dan biasanya akan menghilang
dalam beberapa hari. Sindrom cauda equina muncul setelah regresi dari
blok neuraxial. Sindrom ini mungkin dapat menjadi permanen atau bisa
regresi perlahan-lahan setelah beberapa minggu atau bulan. Ia ditandai
dengan defisit sensoris pada area perineal, inkontinensia urin dan fekal, dan
derajat yang bervariasi pada defisit motorik pada ekstremitas bawah.9
Komplikasi neurologic yang paling serius adalah arachnoiditis adesif.
Reaksi ini biasanya terjadi beberapa minggu atau bulan setelah anestesi
spinal dilakukan. Sindrom ini ditandai oleh defisit sensoris dan kelemahan
motorik pada tungkai yang progresif. Pada penyakit ini terdapat reaksi
proliferatif dari meninges dan vasokonstriksi dari vasculature korda spinal.9
g. Komplikasi Traktus Urinarius
Disfungsi kandung kemih dapat terjadi selepas anestesi umum maupun
regional. Fungsi kandung kencing merupakan bagian yang fungsinya
kembali paling akhir pada analgesia spinal, umumnya berlangsung selama
24 jam. Kerusakan saraf pemanen merupakan komplikasi yang sangat
jarang terjadi.9
Pencegahan12
 Pakailah jarum lumbal yang lebih halus (no. 23 atau no. 25).

xxii
 Posisi jarum lumbal dengan bevel sejajar serat duramater.
 Hidrasi adekuat, minum/infuse 3L selama 3 hari.
Pengobatan12
 Posisi berbaring terlentang minimal 24 jam
 Hidrasi adekuat.
 Hindari mengejan.
Bila cara diatas tidak berhasil pertimbangkan pemberian epidural blood patch
yakni penyuntikan darah pasien sendiri 5-10 ml ke dalam ruang epidural. Cara
ini umumnya memberikan hasil yang nyata/segera (dalam waktu beberapa jam)
pada lebih dari 90% kasus.12

xxiii
C. ANESTESI EPIDURAL

1.DEFINISI
Anestesi epidural merupakan salah satu bentuk teknik blok neuroaksial,
dimana penggunaannya lebih luas dari pada anestesia spinal. Epidural blok dapat
dilakukan melalui pendekatan lumbal, torakal, servikal atau sacral (yang lazim
disebut blok caudal). Hal ini banyak dimanfaatkan untuk analgesia pada persalinan
dan analgesia post operasi.11
2.INDIKASI
Teknik epidural sangat luas penggunaannya pada anestesia operatif, analgesia untuk
kasus-kasus obstetri, analgesia post operatif dan untuk penanggulangan nyeri
kronis.
a. Bedah daerah panggul dan lutut
b. Revaskularisasi ekstremitas bawah
c. Proses persalinan yang sulit
d. Post operatif manajemen11
3.KONTRAINDIKASI
Berikut ini adalah kontraindikasi dalam tindakan anestesi epidural.13
Kontraindikasi Relatif Kontraindikasi Absolut
Neuropati perifer Sepsis
Demensia atau psikosis Bakterimia
Aspirin (anti platelet) Infeksi kulit pada lokasi injeksi
Penyakit demielisasi SSP Hipovolemia berat
Stenosis aorta Koagulopati
Pasien tidak kooperatif Dalam pengobatan anti koagulan
Peningkatan TIK
Pasien menolak
Tabel 4. Kontraindikasi Anestesi Epidural13
4.JENIS ANESTESI EPIDURAL
a. Lumbal Epidural
Lumbal epidural merupakan daerah anatomis yang paling sering menjadi tempat
insersi atau tempat memasukan epidural anestesia dan analgesia. Pendekatan

24
median atau paramedian dapat dikerjakan pada tempat ini. Anestesia lumbal
epidural dapat dikerjakan untuk tindakan-tindakan dibawah diafragma. Oleh
karena medula spinalis berakhir pada level L1 keamanan blok epidural pada
daerah lumbal dapat dikatakan aman, terutama apabila secara tidak sengaja
sampai menembus dura.14
b. Torakal Epidural
Secara teknik lebih sulit dibandingkan teknik lumbal epidural, demikian  juga
risiko cedera pada medula spinalis lebih besar. Pendekatan median dan
paramedian dapat dipergunakan. Teknik torakal epidural lebih banyak
digunakan untuk intra atau post operatif analgesia.14
c. Cervikal Epidural
Teknik ini biasanya dikerjakan dengan posisi pasien duduk leher ditekuk  dan
menggunakan pendekatan median. Secara klinis digunakan terutama untuk 
penanganan nyeri.14
5.OBAT-OBATAN ANESTESI EPIDURAL
Anestesi Lokal
Pilihan obat anestetik lokal untuk anestesi epidural ditentukan oleh lamanya
prosedur operasi dan intensitas blok motoris yang dikehendaki. kloroprokain adalah
kerja singkat, mevipakain adalah kerja sedang, buvipakain dan etidokain adalah
kerja lama. Buvipakain konsentrasi rendah tidak cocok digunakan pada prosedur
yang membutuhkan blok motoris untuk setiap blok  sensorik dibandingkan dengan
obat lainnya. Ada pun obat yang sering di pakai di indonesia yaitu prokain, lidokain
dan bupivakain.15

25
Durasi
Obat Konsentrasi
(digabungkan epinefrin)
Chloropokain 2-3% 60 menit
Lidokain 1,5% 60-90 menit
Mepivakain 1,5% 60-120 menit
Bupivakain 0,5% >180 menit
Etidokain 1,0% >150 menit
Tabel 5. Konsentrasi Obat dan Durasi 15

Epinefrin
Penambahan epinefrin (5 mg/ml) kedalam anestesi lokal yang disuntikkan kedalam
ruang epidural tidak hanya memperpanjang efeknya dengan cara menekan absorbsi,
menurunkan konsentrasi obat dalam darah dan juga mengurangi keracunan sitemik.
Epinefrin juga mengurangi suatu kelainan akibat  penyuntikan intravaskuler.
Sejumlah kecil epinefrin diabsorbsi dari ruang epidural yang akan membentuk efek
beta adrenergik, peningkatan tahanan pembuluh darah sistemik dan peningkatan
denyut jantung.15
Dosis Anestesi
Penyebaran obat anestesi lokal dalam ruang epidural hanya tergantung  pada
volume yang dinjeksikan . sedang konsentrasi anestesi lokal dalam larutan hanya
berpengaruh pada derajat dan densitas dari blok. Onset anestesi epidural labih
lambat walaupun ditambahkan sodium bikarbonat kedalam anestesi lokal untuk
mempercepat onsetnya.15
Volume larutan anestetik yang tepat untuk anestesi epidural lumbal  berkisar
dari 15-25 ml. Studi pada sukarelawan muda menunjukkan kebutuhan rata-rata
adala 1,6 ml per segmen spinal yang di anestesi. Pada ruang epidural thorakal yang
sempit kurang lebih dibutuhkan setengahnya. Pasien yang tua, pasien hamil dan
pasien dengan tekanan intra abdominal yang meningkat diperlukan volume anestesi
lokal lebih sedikit untuk mencapai distribusi yang diberikan.15
Penambahan anesteti lokal yang dibutuhkan ditentukan oleh pilihan ahli
anestesiologi pada observasi klinik. Bila anestesi dihabiskan untuk dua dermatom,

26
penambahan sepertiga sampai setengah dari jumlah anestesi lokal semula akan
diperoleh anestesi yang adekuat. Bilamana menggunakan anestesi epidural dan
anestesi umum bersama-sama, penambahan dosis diberikan pada interval waktu
yang sesuai dengan karakteristik obat anestesi lokal.15
6.TEKNIK ANESTESI EPIDURAL
Pengenalan ruang epidural lebih sulit dibanding dengan ruang subarakhnoid.12
a. Posisi pasien saat tusukan seperti pada analgesia spinal.
b. Tusukan jarum epidural biasanya dilakukan pada ketinggian L3-4.
c. Jarum yang digunakan ada 2 macam, yaitu:
1) Jarum ujung tajam (crawford)
2) Jarum ujung khusus (touhy)

Gambar 5. Jarum Anestesi Epidural111


d. Untuk mengenal ruang epidural digunakan banyak teknik. Namun yang paling
populer adalah teknik “loss of resistance” dan “hanging drop”.

Gambar 9. Lokasi Anestesi Epidural9


Teknik “loss of resistance” lebih banyak dipilih oleh para klinisi. Jarum
epidural dimasukkan menembus jaringan subkutan dengan stilet masih
terpasang sampai mencapai ligamentum interspinosum yang ditandai dengan

27
meningkatnya resistensi jaringan. Kemudian stilet atau introducer dilepaskan
dan spuit gelas yang terisi 2 cc cairan disambungkan ke jarum epidural tadi.
Bila ujung jarum masih berada pada ligamentum, suntikan secara lembut akan
mengalami hambatan dan suntikan tidak bisa dilakukan. Jarum kemudian
ditusukan secara  perlahan, milimeter demi milimeter sambil terus atau secara
kontinyu melakukan suntikan. Apabila ujung jarum telah mesuk ke ruang
epidural, secara tiba-tiba akan terasa adanya “loss of resistance” dan injeksi
akan mudah dilakukan.11
7.Aktivasi Epidural
Jumlah (volume dan konsentrasi) dari obat anestesi lokal yang dibutuhkan
untuk anestesi epidural relatif lebih banyak bila dibandingkan dengan anestesi
spinal. Keracunan akan terjadi bila jumlah obat sebesar itu masuk intratekal atau
intravaskuler. Untuk mencegah timbulnya hal tersebut, dilakukan tes dose epidural.
Hal ini dibenarkan dengan menggunakan jarum ataupun melalui kateter epidural
yang telah terpasang.11
Test dose dilakukan untuk mendeteksi adanya kemungkinan injeksi ke ruang
subaraknoid atau intravaskuler. Test dose klasik dengan menggunakan kombinasi
obat anestesi lokal dan epineprin, 3ml lidokain 1,5% 0,005 mg/ml epineprin
1:200.000. Apabila 45 mg lidokain disuntikan kedalam ruang subaraknoid akan
timbul anestesi spinal secara cepat. 15 µg epinefrin bila disuntikan intravaskuler
akan menimbulkan kenaikan nadi 20% atau lebih. Beberapa menyarankan untuk
menggunakan obat anestesi lokal yang lebih sedikit suntikan 45 mg lidokain
intratekal akan menimbulkan kesulitan penanganan pada tempat tertentu" misalnya
di ruang persalinan. Demikian juga, epinefrin sebagai marker injeksi intravena
tidaklah ideal. False positif dapat terjadi (kontraksi uterus sehingga menimbulkan
nyeri yang berakibat meningkatnya nadi) demikian juga false negatif (pada pasien
yang mendapat β bloker). Fentanil telah dianjurkan untuk digunakan sebagai test
dose intravena yang mempunyai efek analgesia yang besar tanpa epineprin. Yang
lain menyarankan untuk melakukan tes aspirasi sebelum injeksi dapat dilakukan

28
untuk mencegah injeksi obat anestesi lokal secara intravena.11
8.Kegagalan Blok Epidural
Tidak seperti anestesi spinal, yang mana hasil akhirnya sangat jelas dan secara
teknis tingkat keberhasilannya tinggi, anestesi epidural sangat tergantung  pada
subyektifitas deteksi dari loss of resistance (atau hanging drop). Juga
lebih bervariasinya anatomi dari ruang epidural dan kurang terprediksinya
penyebaran obat anestesi lokal, karenanya membuat anestesia epidural kurang dapat
diprediksi.11
Kesalahan tempat penyuntikan obat anestesi lokal dapat terjadi dalam
sejumlah situasi. Pada beberapa dewasa muda, ligamentum spinalis lembut dan
perubahan resistensi yang baik tidak bisa dirasakan, dengan kata lain kekeliruan
dari loss of resistance tidak bisa dipungkiri. Demikian juga bila masuk ke muskulus
paraspinosus dapat menimbulkan kekeliruan loss of resistance. Penyebab lain
kegagalan anestesi epidural seperti injeksi intratekal, subdural dan injeksi intravena.
Walaupun dengan konsentrasi dan volume yang adekuat dari obat anestesi lokal
telah dimasukkan kedalam ruang epidural dan waktu yang dibutuhkan telah
mencukupi, beberapa blok epidural tidak berhasil.11
Blok unilateral dapat terjadi bila obat diberikan lewat kateter yang keluar dari
ruang epidural. Bila blok unilateral terjadi, masalah tersebut dapat diatasi dengan
menarik kateter 1-2 cm dan disuntikan ulang dimana pasien diposisikan dengan
bagian yang belum terblok berada di sisi bawah. Bisa juga pasien mengeluh akibat
nyeri viseral pada blok epidural yang bagus. Pada beberapa kasus (tarikan pada
ligamentum inguinale dan tarikan spermatic cord), yang lainnya seperti tarikan
peritoneum. Pada keadaan ini diperlukan pemberian suplementasi opioid intravena.
Berat aferen visceral yang berjalan bersama nervus vagus mengakibatkan semua hal
ini.11

29
9.Komplikasi Anestesi Epidural
a. Intra Operatif
1) Pungsi Dural
Pungsi dural yang tidak disengaja terjadi pada 1% injeksi epidural. Jika hal
ini terjadi, ahli anestesi mempunyai sejumlah pilihan tergantung pada
kasusnya. Perubahan ke anestesi spinal dapat terjadi oleh injeksi sejumlah
anestesi ke dalam aliran cairan serebrospinal. Kemudian anestesi spinal
dapat dikerjakan dengan menyuntikkan sejumlah anestesi lokal keruang
subarachnoid melalui  jarum. Jika anestesi epidural diperlukan (misalnya
untuk analgesia post-operasi), kateter akan direposisikan kedalam interspace
diatas pungsi dengan demikian ujung dari kateter epidural berada jauh dari
tempat pungsi dural. Kemungkinan anestesi spinal dengan injeksi kateter
epidural dapat dipertimbangkan.16
2) Komplikasi Kateter
Kegagalan pemasangan kateter epidural adalah kesulitan yang lazim. Hal ini
lebih sering ditemukan apabila jarum epidural diinsersikan pada bagian
lateral dibandingkan apabila jarum diinsersikan pada median atau ketika
bevel dari jarum secara cepat ditusukkan kedalam ruang epidural. Hal
tersebut dapat  juga terjadi apabila bevel  dari jarum hanya sebagian yang
mele/ati ligamentum flavum se/aktu penurunan resistensi terjadi. Pada kasus
terakhir, pergerakan yang hati-hati dari jarum sejauh 1 mm kedalam ruang
epidural dapat memudahkan insersi kateter. Kateter dan jarum sebaiknya
ditarik dan direposisikan bersama-sama jika terjadi tahanan.16
3) Injeksi Subarachnoid yang Tidak Disengaja
Injeksi dengan sejumlah besar volume anestesi lokal kedalam ruang
subarachnoid dapat menghasilkan anestesi spinal yang total.16
4) Injeksi Intravaskular Anestesi Lokal Ke Dalam Vena Epidural
Menyebabkan toksisitas pada sistim saraf pusat dan kardiovaskuler yang
menyebabkan konvulsi dan cardiopulmonary arrest.16

30
5) Overdosis Anestesi Lokal
Toksisitas anestesi lokal secara sistemik kemungkinan disebabkan oleh
adanya penggunaan obat yang jumlahnya relatif basar pada anestesi
epidural.16
6) Kerusakan Spinal Cord
Dapat terjadi jika injeksi epidural diatas L5. Onset parestesia unilateral
menandakan insersi jarum secara lateral masuk kedalam ruang epidural.
Selanjutnya injeksi atau insersi kateter pada bagian ini dapat menyebabkan
trauma pada serabut saraf. Saluran kecil arteri pada arteri spinal anterior
juga masuk kedalam area ini dimana melewati celah pada foramen
intervertebral. Trauma pada arteri tersebut dapat menyebabkan iskemia
kornu anterior atau hematoma epidural.16
7) Perdarahan Perforasi pada Vena oleh Jarum
Dapat menyebabkan suatu perdarahan yang emergensi dan mematikan.
Jarum seharusnya dipindahkan dan direposisikan. Lebih baik mereposisikan
jarum  pada ruang yang berbeda, dimana jika terdapat perdarahan pada
tempat itu maka dapat meyebabkan kesulitan dalam penempatan jarum
secara tepat.16
b. Post Operatif
1) Nyeri Kepala post Pungsi Dural
Jika dural dipungsi dengan jarum epidural ukuran 17 menyebabkan
sebanyak 75% dari pasien muda untuk menderita sakit kepala post pungsi
dural.17
2) Infeksi Abses Epidrual
Suatu komplikasi yang sangat jarang timbul akibat anestesi epidural.
Sumber infeksi dari sebagian besar kasus berasal dari penyebaran secara
hematogen pada ruang epidural dari suatu infeksi pada bagian yang lain .
Infeksi dapat juga timbul dari kontaminasi sewaktu insersi, kontaminasi
kateter yang dipergunakan untuk pertolongan nyeri post-operasi atau

31
melalui suatu infeksi kulit pada tempat insersi. Pasien akan mengalami
demam, nyeri punggung yang hebat dan lemah punggung secara lokal.
Selanjutnya dapat terjadi nyeri serabut saraf dan paralisis. Penanganan yang
dianggap penting adalah dekompresi laminektomi dan pemberian antibiotik.
Penyembuhan neurologik yang baik adalah berhubungan dengan cepatnya
penegakan diagnosis dan penanganan.17
3) Hematoma Epidural
Suatu komplikasi yang sangat jarang dari anestesi epidural. Trauma pada
vena epidural menimbulkan coagulophaty yang dapat menyebabkan suatu
hematoma epidural yang besar. Pasien akan merasakan nyeri punggung
yang hebat dan defisit neurologi yang persisten setelah anestesi epidural.
Diagnosis dapat segera ditegakkan dengan computered tomography atau
MRI. Dekompresi laminektomi penting dilakukan untuk memelihara fungsi
neurologi.17

D. KOMBINASI ANESTESI SPINAL-EPIDURAL

Kombinasi spinal-epidural telah mendapatkan perhatian dalam beberapa


tahun terakhir karena anestesi intraoperatif dapat dilanjutkan postoperatif dengan
memberikan obat melalui kateter epidural. Dalam percobaan individu bahwa
kombinasi spinal-epidural memiliki penyebaran sensorik yang lebih tinggi dan
stabilitas kardiovaskular yang lebih besar. Kombinasi spinal-epidural dikaitkan
dengan ekstensi cephalad yang lebih tinggi dari blok sensorik. 18
Kombinasi spinal-epidural dapat mencapai onset cepat, blokade regional
yang mendalam dengan fasilitas untuk memodifikasi atau memperpanjang blok.
Teknik gabungan spinal-epidural melibatkan blokade subarachnoid dan
penempatan kateter epidural selama prosedur yang sama. Teknik ini juga dapat
digunakan pada pasien yang durasi operasi sulit memprediksi lama operasi
(perlengketan). Kombinasi spinal-epidural memungkinkan timbulnya blokade
neuraksial yang cepat, yang selanjutnya dapat diperpanjang atau dimodifikasi

32
dengan suntikan epidural berikutnya.19
Dengan kombinasi spinal epidural kita akan mendapatkan onset yang lebih
cepat, blok sensorik dan motorik yang sempurna seperti melakukan SAB serta
kita bisa mengatur level ketinggian blok, waktu lama yang dibutuhkan, dan dapat
digunakan untuk manajemen nyeri pasca operasi.19

E. PERBEDAAN ANESTESI SPINAL DAN ANESTESI EPIDURAL

Onset dari epidural anestesia (10-20 menit) lebih lambat dibandingkan


dengan anestesi spinal. Dengan menggunakan konsentrasi obat anestesi lokal
yang relatif lebih encer dan dikombinasi dengan obat-obat golongan opioid, serat
simpatis dan serat motorik lebih sedikit diblok, sehingga menghasilkan analgesia
tanpa blok motorik. Hal ini banyak dimanfaatkan untuk analgesia pada persalinan
dan analgesia post operasi.9
Perbedaan Spinal Epidural
Lokasi Intrathecal/Subarachnoid Ruang epidrual
Onset Cepat (5 menit) Lambat (10-20 menit)
Durasi 60-90 menit 180 menit
Volume obat 4 cc 15-20 cc
Teknik pengerjaan Mudah Lebih sulit
Blok motorik Kuat Sedang
Efek hemodinamik Besar Kecil - Sedang
Tabel 6. Perbedaan Fisiologis dan Farmakologis Anestesi Spinal dan Epidural11
Kelebihan epidural dibandingkan spinal:15
- Bisa segmental
- Tidak terjadi headache postoperatif
- Hioptensi lebih lambat
Kekurangan epidural dibandingkan spinal:15
- Teknik lebih sulit
- Jumlah obat anestesi lokal lebih besar

33
- Reaksi sistemis meningkat

34
BAB III
KESIMPULAN

Anestsei Spinal atau Subarachnoid Anesthesia Block, sebuah prosedur


anestesi yang efektif dan bisa digunakan sebagai alternatif dari anestesi umum.
Anestesi ini bekerja setinggi papilla mamae atau setinggi kurang lebih T4. Prinsip
yang digunakan adalah menggunakan obat analgetik lokal untuk menghambat
hantaran saraf sensorik untuk sementara (reversible). Fungsi motorik juga terhambat
sebagian. Dan pada teknik anestesi ini, pasien tetap sadar.
Penggunaan teknik epidural anatesi baik untuk pengelolaan nyeri post operasi
dan nyeri kronis merupakan pilihan ideal. Teknik epidural sangat luas penggunaannya
pada anestesia operatif, analgesia untuk kasus-kasus obstetri, analgesia post operatif
dan untuk  penanggulangan nyeri kronis. Persiapan untuk melakukan tindakan
anastesi ini harus selalu mempersiapkan  perlengkapan dan obat untuk general
anestesi dan penggunaan hemodinamik monitoring dapat membantu mendeteksi dini
komplikasi regional anestesi.

35
DAFTAR PUSTAKA

1. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor


02.02./Menkes/251/2015. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran
Anestesiologi Dan Terapi Imtensif. Menteri Kesehatan Republik Indonesia.
2015.
2. Ancom C, Casey WF. Spinal Anesthesia – A Practice Guide. Update in
Anesthesia. 2011
3. Gaiser RR. Spinal, Epidural, and Caudal Anesthesia. In:  Introducton to
Anesthesia. WB Saunders Company. 2017.
4. Netter, H Franks, Interactive Digital Atlas Anatomy [Digital E-Book].
Vertebral Column, Section. Icon Learning Sistem, Rochester: Section #146.
5. Tetlaff JE. Spinal, Epidural and Caudal Block. In: Clynical Anestesiolgy.
USA: Appleton & Lange. 2016:300.
6. Medscape Reference [Internet]. Subarachnoid Spinal Block. [Updated on
August, 2013].
7. S Kristanto. Anestesia Regional: Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan
Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia – Jakarta: CV
Infomedika, 2014:125-8.
8. NYSORA – New York School of Regional Anesthesia [Internet].
Subarachnoidal Block. [Last Update October, 2013].
9. University of Pittsburgh Online Reference [Internet]. Subarachnoid Spinal
Block Anesthesia. [Last Update January, 2013].
10. Gunawan G, Sulistya et al. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Departemen
Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Jakarta; Balai Penerbit FKUI. 259-72.
11. Morgan GE, Maged S. Mikhail, Michael J. Murray. Clinical Anesthesiology
4th Edition Section Spinal, Epidural and Caudal Anesthesia; Appleton and
Lange, 2015. California: McGraw-Hill Publishing.

36
12. Christiansson, Lennart. Update on Adjuvant in Regional Anesthesi.
2019;111(2).
13. Lunn JN. Anesthesia Note. EGC. Jakarta; 2015:43-57.
14. Visser L. Epidural anesthesia. World Federation of Societies of
Anesthesiologists. 2021;11(4).
15. Katz, Jordan. Spinal and Epidural . In: Atlas of Regional Aneasthesia.
Appleton and Lange. 2014:110.
16. Conachie I, Geachie J. Regional Anesthetic Technique. In Practice of
Anesthesia. 2015:118.
17. Bernards CM. Epidural and Spinal Anesthesia. Handbook of Clinical
Anesthesia. 2021:117.
18. Klimek M, Rossaint R, Heesen M. Combined Spinal-Epidural vs. Spinal
Anaesthesia for Caesarean Section: Meta-Analysis and Trial-Sequential
Analysis. Association of Anethetists. 2018;73(7).
19. Cook TM. Combined Spinal-Epidural Techniques. Association of Anethetists.
2020;55(1).

37

Anda mungkin juga menyukai