Anda di halaman 1dari 33

LAPORAN KASUS

SKIZOAFEKTIF TIPE MANIK

Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas dalam Menjalani


Kepanitraan Klinik Senior pada Bagian/SMF Ilmu Kedokteran Jiwa
Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Aceh

Disusun Oleh :

Rauzatil Aula Kasturi

Pembimbing:

dr. Malawati, Sp. KJ

BAGIAN/SMF ILMU KEDOKTERAN JIWA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
BLUD RUMAH SAKIT JIWA ACEH
BANDA ACEH
2019
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................... i


DAFTAR ISI .................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1


BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................... 3
2.1 Definisi ........................................................................................... 3
2.2 Epidemiologi................................................................................... 3
2.3 Etiologi ........................................................................................... 3
2.4 Diagnosis ....................................................................................... 4
2.5 Gambaran Klinis ............................................................................. 5
2.6 Diagnosis Banding .......................................................................... 8
2.7 Tatalaksana ..................................................................................... 9
2.9 Prognosis ..................................................................................... 13
BAB III LAPORAN KASUS .................................................................... 14
3.1 Identitas Pasien ............................................................................ 14
3.2 Riwayat Pskiatri ........................................................................... 14
3.3 Pemeriksaan Fisik ....................................................................... 16
3.4 Status Mental .............................................................................. 17
3.5 Resume ........................................................................................ 19
3.6 Diagnosis Banding ....................................................................... 20
3.7 Diagnosis Kerja ........................................................................... 20
3.8 Diagnosis Multiaksial ................................................................. 20
3.9 Tatalaksana ................................................................................. 20
3.10 Prognosis ................................................................................... 21
2.11 Follow Up .................................................................................. 22
BAB IV PEMBAHASAN.......................................................................... 24
BAB V KESIMPULAN ............................................................................ 26

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 27


KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb
Alhamdulillah, segala puji hanya bagi Allah SWT yang mana berkat
Rahmad, Kasih Sayang dan Hidayah-Nya kepada penulis, sehingga penulis
dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul “Skizoafektif Tipe
Manik”. Laporan kasus ini disususn sebagai salah satu tugas menjalani
kepanitraan klinik senior pada bagian/SMF Ilmu Kedokteran Jiwa RSJ Aceh,
Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala.
Selama penyelesaian laporan kasus ini penulismendapatkan bantuan,
bimbingan, dan arahan dari banyak pihak. Oleh karena itu, penulis ingin
menyampaikan terimakasih kepada dr. Malawati, Sp. KJ yang telah
meluangkan banyak waktu untuk memberikan arahan dan bimbingan kepada
penulis dalam menyelesaikan laporan kasus ini. Penulis juga mengucapkan
terimakasih kepada keluarga, sahabat, dan rekan-rekan yang telah
memberikan motivasi dan doa dalam menyelesaikan laporan kasus ini.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam laporan kasus ini.
Untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif dari
pembaca sekalian demi kesempurnaan laporan kasus ini. Harapan penulis
semoga laporan kasus ini dapat bermanfaan bagi pengembangan ilmu
pengetahuan umumnya dan profesi kedokteran khususnya. Semoga Allah
SWT selalu memberikan Rahmad dan Hidayah-Nya bagi kita semua.

Banda Aceh, Oktober 2019

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Skizoafektif adalah penyakit dengan gejala psikotik yang persisten yang


merupakan kombinasi gejala skizofrenia (gangguan pikiran, halusinasi dan delusi)
dan gangguan afektif (gejala depresi dan manik) yang terjadi secara bersamaan. 1
Diagnosis gangguan skizoafektif hanya dibuat apabila gejala-gejala definitif
adanya skizofrenia dan gangguan afektif bersama-sama menonjol pada saat
yang bersamaan, atau dalam beberapa hari sesudah yang lain, dalam episode yang
sama. Sebagian diantara pasien gangguan skizoafektif mengalami episode
skizoafektif berulang, baik yang tipe manik, depresif atau campuran keduanya.
Gejala-gejala afektif diantaranya yaitu elasi dan ide- ide kebesaran, tetapi kadang-
kadang kegelisahan atau iritabilitas disertai oleh perilaku agresif serta ide-ide
kejaran.2
Belum ada penelitian skala besar epidemiologi, kejadian, atau prevalensi
gangguan skizoafektif. Diperkirakan bahwa gangguan skizoafektif terdiri dari 10
hingga 30% dari rawat inap untuk psikosis. Di Indonesia prevalensi gangguan
mental skizoafektif terjadi sekitar 0,3%. Prevalensi pada pria lebih rendah daripada
wanita. Laki-laki dengan gangguan skizoafektif kemungkinan menunjukkan
perilaku antisosial. Skizoafektif tipe depresif lebih sering terjadi pada usia tua,
sedangkan pada usia muda lebih sering terjadi gangguan skizoafekif tipe manik.3-6
Skizoafektif merupakan penyakit kejiwaan kronis yang dapat berdampak buruk,
salah satu dampak gangguan ini adalah bunuh diri. Hal ini turut menyumbang
tingginya angka bunuh diri yang ada di dunia. Menurut data WHO pada tahun 2012,
kasus terjadinya bunuh diri yang terjadi di dunia bisa mencapai lebih dari 800.000
per tahun atau 40 kematian per detiknya.1
Berdasarkan hasil penelitian, penyebab terjadinya skizoafektif yang paling
sering terjadi adalah stres. Stresor yang paling umum adalah karena pernikahan,
keluarga, pekerjaan, situasi keuangan, reaksi duka dan penyakit fisik lainnya.

1
Namun, pada wanita lebih sering dipengaruhi oleh pernikahan dan pada laki-laki
sering dipengaruhi karena kesedihan.7
Menurut PPDGJ III, gangguan skizoafektif dibagi menjadi beberapa tipe,
yaitu tipe manik, tipe depresif, tipe campuran, gangguan skizoafektif tidak
terperinci dan gangguan skizoafektif lainnya. Gangguan skizoafektif tipe manik
menunjukkan gejala skizofrenia dan manik dalam satu episode sakit. Gangguan
skizoafektif tipe depresif menunjukkan gejala skizofrenia dan depresif dalam satu
episode sakit.Gangguan skizoafektif tipe campuran menunjukkan gejala skizofrenia
dan gangguan campuran afektif bipolar. Onset biasanya akut, perilaku sangat
terganggu, namun penyembuhan secara sempurna dalam beberapa minggu. 5,8
Berdasarkan tipe gangguan skizoafektif, maka pengobatannya akan berbeda.
Terapi untuk skizoafektif tipe manik biasanya digunakan mood stabilizer,
sedangkan untuk tipe depresif maka dapat digunakan anti depresan. Prognosis
skizoafektif sangat bergantung pada inisiasi pengobatan dini dan pengobatan yang
optimal. Pasien dengan gangguan skizoafektif memiliki hasil yang berbeda,
tergantung pada apakah gejala dominannya adalah afektif (prognosis yang lebih
baik) atau skizofrenia (prognosis yang lebih buruk). 2,5

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Skizoafektif merupakan salah satu penyakit yang ditandai adanya kombinasi
gejala skizofrenia (gangguan pikiran, halusinasi dan delusi) dan gangguan afektif
(gejala depresi dan manik). Gangguan mental skizoafektif memiliki ciri-ciri
skizofrenia dan gangguan mood. 1,5
2.2 Epidemiologi
Prevalensi seumur hidup gangguan skizoafektif kurang dari 1%, yaitu kisaran
0,5% sampai 0,8%. Prevalensi penyakit ini pada laki-laki lebih rendah dari pada
wanita. Meskipun demikian remisi yang terjadi pada laki-laki lebih buruk
dibandingkan dengan wanita. Skizoafektif tipe depresif lebih sering terjadi pada
usia tua, sedangkan pada usia muda lebih sering terjadi gangguan skizoafekif tipe
manik. Pria dengan gangguan skizoafektif cenderung menunjukkan perilaku
antisosial. Dan mempunyai afek tumpul yang nyata dan tidak sesuai.2
Perbedaan jenis kelamin dalam tingkat keparahan pada penderita skizoafektif
tampak jelas pada gangguan mood. Perempuan dua kali lipat mengalami
skizoafektif tipe depresi daripada laki-laki. Jenis depresi skizoafektif depresi
mungkin lebih umum pada orang yang lebih tua daripada orang yang lebih muda,
dan tipe bipolar mungkin lebih umum pada orang dewasa muda daripada orang
dewasa yang lebih tua. Usia onset untuk wanita lebih lambat daripada pria, seperti
pada skizofrenia. Pria dengan gangguan skizoafektif cenderung menunjukkan
perilaku antisosial yang ditandai dengan afek datar atau tidak sesuai.4,7
2.3 Etiologi
Sampai saat ini, gangguan skizoafektif belum diketahui penyebabnya secara
pasti. Gangguan tersebut dapat berupa jenis skizofrenia dan gangguan mood.
Berdasarkan penelitian, pasien dengan gangguan skizoafektif merupakan
heterogen. Beberapa pasien memiliki gejala skizofrenia dengan gejala afektif yang
menonjol, yang lain memiliki gangguan mood dengan gejala skizofrenia yang
menonjol. Patogenesis gangguan mood dan skizofrenia bersifat multifaktorial dan

3
4

mencakup berbagai faktor risiko termasuk genetika, faktor sosial, trauma, dan stres.
Gangguan yang terjadi pada skizofrenia 1 (DISC1) yaitu terletak pada kromosom
1q42, yang kemungkinan dapat terjadinya gangguan skizoafektif, skizofrenia dan
gangguan bipolar. 3,5
2.4 Diagnosis
Diagnosis skizoafektif dapat ditentukan berdasarkan PPDGJ-III, yaitu
sebagai berikut:9
 Diagnosis gangguan skizoafektif hanya dibuat apabila gejala-gejala definitif
adanya skizofrenia dan gangguan afektif sama-sama menonjol pada saat yang
bersamaan (simultaneously), atau dalam beberapa hari yang satu sesudah
yang lain, dalam satu episode penyakit yang sama, dan bilamana, sebagai
konsekuensi dari ini, episode penyakit tidak memenuhi kriteria baik
skizofrenia maupun episode manik atau depresif.
 Tidak dapat digunakan untuk pasien yang menampilkan gejala skizofrenia
dan gangguan afektif tetapi dalam episode penyakit yang berbeda.
 Bila seorang pasien skizofrenia menunjukkan gejala depresi setelah
mengalami suatu episode psikotik diberikan kode diagnosis F20.4 (Depresi
pasca-skizofrenia). Beberapa pasien dapat mengalami episode skizoafektif
berulang, baik berjenis manik (F25.0) maupun depresi (F25.1) atau campuran
dari keduanya (F25.2). Pasien lain yang mengalami satu atau dua episode
skizoafektif terselip diantara episode manik atau depresif (F30-F33).

F25.0 Gangguan skizoafektif tipe manik


 Kategori ini digunakan baik untuk episode skizoafektif tipe manik yang
tunggal maupun untuk gangguan berulang dengan sabagian besar episode
skizoafektif tipe manik.
 Afek harus meningkat secara menonjol atau ada peningkatan afek yang tak
begitu menonjol dikombinasi dengan iritabilitas atau kegelisahan yang
memuncak.
5

 Dalam episode yang sama harus jelas ada setidaknya satu, atau lebih baik
dua gejala skizofrenia yang khas yaitu F20 pedoman diagnostik skizofrenia
(a) sampai dengan (d)

F25.1 Gangguan skizoafektif tipe depresif


 Katagori ini harus dipakai baik untuk episode skizoafektif tipe depresif yang
tunggal, dan untuk gangguan berulang dimana sebagian besar episode
didominasi oleh skizoafektif tipe depresif.
 Afek depresif harus menonjol, disertai oleh sedikitnya dua gejala khas, baik
depresif maupun kelainan perilaku terkait seperti tercantum dalam uraian
untuk episode depresif (F32).
 Dalam episode yang sama, sedikitnya harus jelas ada satu, dan sebaiknya
ada dua, gejala khas skizofrenia (sebagaimana ditetapkan dalam pedoman
diagnostik skizofrenia, F20 poin (a) sampai dengan (d).

F25.2 Gangguan skizoafektif tipe campuran


Gangguan dengan gejala-gejala skizofrenia F20 berada secara bersama-sama
dengan gejala-gejala afektif bipolar campuran F31.6

2.5 Gambaran Klinis


Seseorang yang mengalami gangguan skizoafektif akan mengalami gejala
waham (delusi) dan halusinasi yang merupakan gejala khas dari skizofrenia disertai
dengan gangguan perubahan suasana hati yang signifikan. Pasien juga harus
memiliki setidaknya satu (lebih baik bila dua) dari gejala khas skizofrenia yang
tercantum dalam International Classification of Disease-10 (ICD-10).4,7
Berikut gejala klinis skizofrenia berdasarkan pedoman penggolongan dan
diagnosis gangguan jiwa (PPDGJ-III).9
 Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya dua
gejala atau lebih bila gejala gejala itu kurang tajam atau kurang jelas) :
6

a) “thought echo” = isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau bergema dalam
kepalanya (tidak keras), dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya sama, namun
kualitasnya berbeda ; atau “thought insertion or withdrawal” = isi yang asing
dan luar masuk ke dalam pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil
keluar oleh sesuatu dari luar dirinya (withdrawal); dan “thought
broadcasting”= isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang lain atau umum
mengetahuinya;
b) “delusion of control” = waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu
kekuatan tertentu dari luar; atau “delusion of passivitiy” = waham tentang
dirinya tidak berdaya dan pasrah terhadap suatu kekuatan dari luar; (tentang
”dirinya” = secara jelas merujuk kepergerakan tubuh / anggota gerak atau ke
pikiran, tindakan, atau penginderaan khusus). “delusional perception” =
pengalaman indrawi yang tidak wajar, yang bermakna sangat khas bagi dirinya,
biasanya bersifat mistik atau mukjizat.
c) Halusinasi Auditorik: Suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus
terhadap perilaku pasien, atau mendiskusikan perihal pasien pasein di antara
mereka sendiri (diantara berbagai suara yang berbicara), atau jenis suara
halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh.
d) Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat
dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal keyakinan
agama atau politik tertentu, atau kekuatan dan kemampuan di atas manusia
biasa (misalnya mampu mengendalikan cuaca, atau berkomunikasi dengan
mahluk asing dan dunia lain).
 Atau paling sedikit dua gejala di bawah ini yang harus selalu ada secara jelas:
e) Halusinasi yang menetap dan panca-indera apa saja, apabila disertai baik oleh
waham yang mengambang maupun yang setengah berbentuk tanpa kandungan
afektif yang jelas, ataupun disertai oleh ide-ide berlebihan (over-valued ideas)
yang menetap, atau apabila terjadi setiap hari selama berminggu minggu atau
berbulan-bulan terus menerus.
7

f) Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan


(interpolation), yang berkibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak
relevan, atau neologisme.
g) Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh-gelisah (excitement), posisi tubuh
tertentu (posturing), atau fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme, dan stupor.
h) Gejala-gejala negatif, seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang, dan
respons emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya yang
mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial dan menurunnya kinerja
sosial; tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh
depresi atau medikasi neuroleptika.
 Adanya gejala-gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama kurun
waktu satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik
(prodromal).

 Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu
keseluruhan (overall quality) dan beberapa aspek perilaku pribadi (personal
behavior), bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak
berbuat sesuatu sikap larut dalam diri sendiri (self-absorbed attitude) dan
penarikan diri secara sosial.

Gejala afektif biasanya kearah depresi (dengan atau tanpa ansietas yang
menyertainya), atau ke arah elasi (suasana perasaan yang meningkat). Perubahan
afek ini biasanya disertai dengan suatu perubahan pada keseluruhan tingkat
aktivitas dan kebanyakan gejala lainnya adalah sekunder akibat perubahan
tersebut.6
a) Episode Manik
Kesamaan karakteristik dalam afek yang meningkat, disertai peningkatan dalam
jumlah dan kecepatan aktivitas fisik dan mental, dalam berbagai derajat keparahan.
Terdapat peningkatan energi, aktivitas yang berlebihan, konsentrasi yang
terganggu, terkadang kegelisahan atau iritabilitas disertai oleh perilaku agresif.
8

b) Episode Depresif
Gejala utama:
 Afek depresif
 Kehilangan minat dan kegembiraan
 Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah
(rasa lelah yang nyata sesudah kerja sedikit saja)
Gejala lainnya:
 Konsentrasi dan perhatian berkurang
 Harga diri dan kepercayaan diri berkurang
 Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna
 Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis
 Gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri
 Tidur terganggu
 Nafsu makan berkurang

2.6 Diferensial Diagnosis


Diferensial diagnosis psikiatri mencakup semua kemungkinan yang biasanya
dipertimbangkan untuk gangguan mood dan skizofrenia. Karena memiliki kriteria
yang mencakup gejala psikotik dan mood, gangguan schizoafektif sering terjadi
kesalahan dalam penegakan diagnosisnya. Gangguan yang harus dikesampingkan
selama pemeriksaan kelainan skizoafektif termasuk skizofrenia, gangguan depresi/
manik dengan gambaran psikotik, dan gangguan bipolar.5,6
 Skizofrenia dan Gangguan Skizoafektif: Harus ada periode yang pasti
setidaknya dua minggu di mana hanya ada gejala psikotik (delusi dan
halusinasi) tanpa gejala suasana hati untuk mendiagnosis gangguan
skizoafektif. Namun, episode mood utama (depresi atau mania) hadir untuk
sebagian besar durasi total penyakit. Skizofrenia membutuhkan 6 bulan gejala
prodromal atau residual; gangguan schizoafektif tidak memerlukan kriteria ini.
 Depresi/ Mania dengan Gejala Psikotik: Pasien dengan depresi berat dengan
gejala psikotik, hanya mengalami fitur psikotik selama episode suasana hati
9

mereka. Pasien mania dengan gejala psikotik mengalami episode mania yang
berat sekurang-kurangnya 1 minggu disertai dengan harga diri yang
membumbung dan gagasan kebesaran dapat berkembang menjadi waham
kebesaran. Waham dan halusinasi sesuai dengan afek tersebut. Sebaliknya,
schizoafektif membutuhkan setidaknya 2 minggu di mana hanya ada gejala
psikotik (delusi dan halusinasi) tanpa gejala mood.
 Gangguan afektif bipolar: gangguan ini tersifat oleh dua episode berulang
(episode depresi dan manik), dan ada penyembuhan sempurna antar episode.
Sedangkan skizoafektif hanya memiliki salah satu tipe saja (tipe depresi atau
manik) dimana tidak ada penyembuhan sempurna seperti gangguan afektif
bipolar.

2.7 Terapi
a. Psikofarmaka
Mood stabilizer merupakan obat gangguan bipolar yang dapat digunakan
pada pasien yang mengalami gangguan skizoafektif. Ada beberapa obat mood
stabilizer yaitu seperti Litium Carbonate, Haloperidol, Carbamazepine, Valproic
Acid, Divalproex Na. Dalam sebuah penelitian yang mebandingkan antara litium
dengan carbamazepine menemukan bahwa carbamazepine lebih unggul untuk
gangguan skizoafektif tipe deprsif tetapi tidak ada perbedaan untuk tipe bipolar.3
Adapun pasien skizoafektif tipe manik, maka harus dirawat secara baik
dengan dosis yang maksimal. Ketika pasien memasuki fase pemeliharaan, dosis
dapat dikurangi pelan-pelan hingga dosis rendah, untuk menghindari efek buruk
seperti kelainan pada tiroid. Selain itu, sebagai dokter yang memberikan terapi, juga
harus melakukan skrining fungsi tiroid, fungsi ginjal dan hematologi untuk melihat
efek samping obat. Selain pemberian obat, terapi lain yang paling penting adalah
psikososial terapi. Psikososial terapi dapat diberikan dari keluarga seperti
dukungan keluarga, pelatihan keterampilan sosial dan rehabilitasi kognitif.3
10

1) Anti Psikotik
Berikut ditampikan penggolongan obat anti psikotik tipikal dan atipikal : 11
(a) Obat Anti-psikosis Tipikal (Typical Anti Psychotics)
1. Phenotiazine
 Rantai Aliphatic : Chlorpromazine (Largacil)
 Rantai Piperazine : Perphenazine (Trilafon)
Trifluoperazine (Stelazine)
Fluphenazine (Anatensol)
 Rantai Piperidine : Thioridazine (Melleril)
2. Butyrophenone : Haloperidol (Haldol, Serenace,dll)
3. Diphenyl-butyl-piperidine : Pimozide (Orap)
(b) Obat Anti-psikosis Atipikal (Atypical Anti Psychosis)

1. Benzamide : Supiride (Dogmatil)


2. Dibenzodiazepine : Clozapine (Clozaril)
Olanzapien (Zyprexa)
Quetiapine (Seroquel)
Zotepine (Ludopin)
3. Benzisoxazole : Risperidone (Risperidol)
Aripiprazole (Abilify)

Mekanisme kerja obat anti-psikosis tipikal adalah memblokade Dopamine


pada reseptor pasca-sinaptik neuron di otak, khususnya di sistem limbic dan sistem
ekstrapiramidal (Dopamine D2 receptor antagonist), sehingga efektif untuk gejala
positif.Sedangkan obat anti-psikosis atipikal disamping berafinitas terhadap
“Dopamine D2 Receptors” juga terhadap “Serotonin 5HT2 Receptors” (Serotonin-
dopamine antagonist), sehingga efektif juga untuk gejala negatif.11
11

2) Mood Stabilizier

 Lithium (mood stabilizier klasik)


Gangguan mood ditandai oleh peningkatan atau penurunan suasana hati yang
melampaui batas normal, secara klasik diobati dengan lithium. Lithium tidak hanya
menangani episode akut mania dan hipomania tetapi juga merupakan agen
psikotropika pertama yang terbukti mencegah episode berulang. Lithium juga
efektif dalam mengobati dan mencegah episode depresi pada pasien dengan
gangguan bipolar. Lithium paling tidak efektif digunakan pada siklus cepat atau
episode campuran. Secara keseluruhan, lithium efektif pada 40 hingga 50% pasien.
Selain itu, banyak pasien tidak dapat mentolerirnya karena banyak efek samping,
termasuk gejala gastrointestinal seperti dispepsia, mual, muntah, dan diare, serta
penambahan berat badan, rambut rontok, jerawat, tremor, sedasi, penurunan
kognisi, dan gangguan koordinasi. Ada juga efek buruk jangka panjang pada tiroid
dan ginjal. Lithium memiliki jendela terapi yang sempit, membutuhkan pemantauan
kadar plasma obat.12
Mekanisme kerja litium tidak dipahami secara pasti tetapi dihipotesiskan
melibatkan modifikasi sistem messenger kedua. Satu kemungkinan adalah bahwa
lithium mengubah protein G dan kemampuan mereka untuk mentransduksi sinyal
di dalam sel reseptor neurotransmitter ditempati oleh neurotransmitter. Teori lain
adalah bahwa lithium mengubah enzim yang berinteraksi dengan sistem messenger
kedua, seperti inositol monophosphatase, yang terlibat dalam sistem inositol
fosfatidil sebagai modulator protein G, atau bahkan sebagai pengatur gen ekspresi
dengan memodulasi protein kinase C.12
 Antikonvulsan sebagai Mood Stabilizier
Berdasarkan teori bahwa mania dapat "menyalakan" episode mania lebih
lanjut, disimpulkan terkait dengan gangguan kejang, karena kejang dapat
menyebabkan lebih banyak kejang. Mekanisme aksi antikonvulsan masih belum
dikarakterisasi dengan baik, baik dari segi efek antikonvulsan maupun efek
penstabil antimanik / suasana hati. Pada membran sel, antikonvulsan diduga bekerja
12

pada kanal ion, termasuk kanal natrium, kalium, dan kalsium. Dengan menghambat
pergerakan natrium melalui kanal natrium yang dioperasikan dengan tegangan,
misalnya, beberapa antikonvulsan menyebabkan blokade yang bergantung pada
penggunaan aliran natrium. Dimana saat kanal natrium sedang "digunakan" selama
aktivitas neuron seperti kejang, antikonvulsan dapat memperpanjang inaktivasinya,
sehingga memberikan aksi antikonvulsan. Apakah mekanisme seperti itu juga
merupakan penyebab efek penstabil suasana hati dari antikonvulsan belum
diketahui.12
Ketika saluran ion tidak aktif, ini dapat menyebabkan perubahan baik
neurotransmisi rangsang dan penghambatan. Glutamat adalah neurotransmitter
rangsang universal dan asam gamma-aminobutirat (GABA) adalah
neurotransmitter penghambat universal. Secara khusus, antikonvulsan tampaknya
memodulasi efek penghambat neurotransmitter GABA dengan menambah
sintesisnya, menambah pelepasannya, menghambat pemecahannya, mengurangi
reuptakeake menjadi neuron GABA, atau menambah efeknya pada reseptor GABA.
Beberapa tindakan ini merupakan konsekuensi dari aksi antikonvulsan pada saluran
ion.12
Antikonvulsan yang digunakan untuk mengobati gangguan bipolar:12
 Asam Valproat
 Carbamazepine
 Lamotrigin
 Gabapentin
 Topiramate

b. Psikososial
Pasien dapat terbantu dengan kombinasi terapi keluarga, latihan
keterampilan sosial, dan rehabilitasi kognitif. Oleh karena bidang psikiatri sulit
memutuskan diagnosis dan prognosis gangguan skizoafektif yang sebenarnya,
ketidakpastian tersebut harus dijelaskan kepada pasien. Kisaran gejala mungkin
sangat luas, karena pasien mengalami keadaan psikosis dan variasi kondisi mood
13

yang terus berlangsung. Anggota keluarga dapat mengalami kesulitan untuk


menghadapi perubahan sifat dan kebutuhan pasien tersebut. Perlu diberikan
regimen obat yang mungkin lebih rumit, dengan banyak obat, dan pendidikan
psikofarmakologis.13
Menurut pedoman National Institute for Health and Care Excellent (NICE),
setiap pasien dengan gejala skizofrenia harus diberikan terapi Cognitive
Behavioural Therapy (CBT) dan bagi keluarga dekat pasien harus diedukasikan
untuk melakukan terapi keluarga. Terapi CBT bisa membantu pasien dalam
mengatasi waham dan halusinasi berkepanjangan. Tujuannya ialah untuk
meringankan penderitaan dan kecacatan, dan tidak untuk menghilangkan gejala dari
gangguan tersebut. Terapi CBT mencakup: 13
 Mencoba untuk menantang atau memiliki pikiran yang berbeda mengenai
suara (halusinasi auditorik) yang didengarkan.
 Membuat strategi untuk mengatasi suara yang didengarkan. Contohnya
seperti mendengarkan musik atau meminta suara yang didengarkan untuk
pergi saja.
Dukungan psikologis merupakan hal yang sangat penting bagi pasien
yang mengalami gejala skizofrenia beserta keluarganya. Terapi keluarga
dapat membantu untuk mengurangi ekspresi keluarga yang berlebihan terkait
gejala yang dialami pasien, hal ini terbukti efektif untuk mencegah terjadinya
kekambuhan pada pasien.13
Art therapies (Terapi seni) juga sangat membantu dalam mengatasi gejala
negatif pada pasien. Pasien juga diharapkan bisa berbagi pengalaman bersama
temannya yang mengalami gejala yang sama, hal ini diharapkan dapat membantu
pasien mendapatkan solusi yg tepat untuk mengatasi gejala-gejala yang
dialaminya.13

2.8 Prognosis
Prognosis pada skizoafektif tergantung pada peningkatan gejala yang terjadi.
Pasien yang memiliki peningkatan gejala skizofrenia yang lebih menonjol
14

diprediksikan prognosisnya lebih buruk. Namun setelah 1 tahun, pasien dengan


gangguan skizoafektif memiliki hasil yang berbeda, tergantung pada apakah gejala
dominan adalah afektif, maka progosisnya lebih baik. Namun, apabila gejala
dominannya adalah skizofrenia maka prognosisnya lebih buruk.2
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 IDENTITAS PASIEN


Nama : Nn. M
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 29 tahun
Alamat : Bireun
Status Pernikahan : Belum Menikah
Pekerjaan :-
Pendidikan Terakhir : SD
Agama : Islam
Suku : Aceh
TMRS : 12 Agustus 2019
Tanggal Pemeriksaan : 1 Oktober 2019

3.2 RIWAYAT PSIKIATRI


Data diperoleh dari:
1) Rekam medis : 10.11.004927
2) Autoanamnesis : 1 Oktober 2019
A. Keluhan Utama
Mengamuk

B. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke RSJ dengan keluhan mengamuk. Pasien asal Bireun,
tinggal bersama abang dan keluarga, pasien bekerja serabutan buruh cuci. Pasien
datang ke Banda Aceh diajak oleh temannya untuk berkerja membantu-bantu di
sebuah studio foto daerah Peunayong, namun pemilik tidak menerima pasien
untuk bekerja disana dan mengatakan pasien tidak waras, pasien merasa kesal dan
mengatakan bahwa dirinya datang ke RSJ sebelumnya atas pemberitaan temannya
bahwa setiap pasien yang pernah dirawat mendapatkan uang 15 juta dari
pemerintah yang akan dimanfaatkan untuk kehidupan sehari-hari pasien di

15
16

kampung membuka kios usaha kecilan, oleh sebab itu pasien ingin kembali
menjalani rawat inap di RSJ selain itu, pasien juga merasa apabila dirinya datang
ke RSJ akan mendapatkan tempat tinggal dan diberikan makan secara teratur.
Pasien mengatakan dirinya marah-marah dan kesal ke satpol PP karena mengusir
pasien ketika berada di kompleks RSJ. Menurut pasien dirinya sering
mendegarkan bisikan yang menyuruhnya berbicara terus menerus serta pasien
mengikuti perintah tersebut, suara-suara tersebut muncul saat pasien berusia 19
tahun, dulunya ketika pasien usia remaja tinggal bersama keluarga abangnya,
namun pasien merasa istri dan anaknya tidak menyukai keberadaan dirinya serta
memperlakukan pasien secara tidak baik seperti sering meantukkan kepala pasien
ke dinding oleh istrinya tanpa alasan yang jelas, menuduh pasien mengintip
anaknya mandi dan pasien merasa sering difitnah oleh istri dan anak dari abang
pasien tersebut.
Pasien mengaku setiap keluar dari RSJ selalu putus obat, pasien mengatakan
akibat jarak tempuh yang jauh sekitar 15-20 menit jika dengan sepeda motor,
pasien tidak memiliki uang menaiki tansportasi untuk mengambil obat di
puskesmas terdekat. Tidak adanya dukungan keluarga untuk mengambil dan rutin
meminum obat, bahkan keluarga menyuruh pasien untuk selang seling hari minum
obat pulang yang diberikan dari RSJ agar tidak cepat habis.

C. Riwayat Penyakit Sebelumnya


Pasien sudah pernah dirawat di RSJ sebelumnya sebanyak 11 kali, yaitu pertama
sekali pada usia pasien 19 tahun dan saat ini merupakan kali ke-12, pada tahun 2019
ini merupakan kali kedua pasien dirawat. Tidak ada penyakit organik.

D. Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada keluarga pasien yang juga mengalami gangguan jiwa.

E. Riwayat Pengobatan
Pasien pulang rawatan 6 bulan lalu, selama rawatan mendapatkan terapi Depakote
ER 500 mg, Clozapin 100 mg.
17

F. Riwayat Penggunaan Zat


Riwayat konsumsi NAPZA disangkal

G. Riwayat Sosial
Pasien merupakan anak istri ketiga dari ayahnya namun sudah berpisah dengan ibu
beliau, pasien pernah tinggal bersama keluarga abang tirinya namun istri dan anak
abang tiri pasien tidak menyukai keberadaan pasien sehingga pasien mengatakan
sering difitnah dan diperlakukan tidak manusiawi.

H. Riwayat Pendidikan
Riwayat pendidikan terakhir pasien yaitu SD.

I. Riwayat Kehidupan Pribadi


1. Masa prenatal : pasien merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara.
2. Masa kanak-kanak awal : Pertumbuhan dan perkembangan pasien sama seperti
anak-anak seusianya. Riwayat trauma kepala disangkal.
3. Masa kanak-kanak pertengahan: Pertumbuhan dan perkembangan pasien sama
seperti anak-anak seusianya.
4. Masa kanak-kanak akhir dan remaja: Pasien mengaku bahwa kehidupan remaja
tidak di sekolahkan dan tidak memiliki banyak teman.
5. Masa dewasa : Pasien wanita berusia 29 tahun, sudah pernah dirawat 11 kali di
Rumah Sakit Jiwa Aceh

3.3 PEMERIKSAAN FISIK


A. Status Internus
1. Kesadaran : Compos mentis
2. Tekanan Darah : 120/80 mmHg
3. Frekuensi Nadi : 80 x/menit
4. Frekuensi Napas : 20 x/menit
5. Temperatur : 36,8° C

B. Status Generalisata
18

1. Kepala : Normocephali (+)


2. Leher : Distensi vena jugularis (-), pembesaran KGB (-)
3. Paru : Vesikuler (+/+), wheezing (-/-), ronki (-/-)
4. Jantung : BJ I > BJ I, bising (-), ictus cordis di ICS V linea
midclavicula sinistra
5. Abdomen : Asites(-), nyeri tekan (-), soepel(+)
6. Ekstremitas
Superior : ikterik (-/-) tremor (-/-), rigiditas (-)
Inferior : ikterik (-/-) tremor (-/-), rigiditas (-)
7. Genetalia : Tidak diperiksa

C. Status Neurologi
1. GCS : E4V5M6
2. Tanda Rangsang Meningeal : (-)
3. Peningkatan TIK : (-)
4. Mata : pupil isokor (+/+),Ø3mm/3mm,
RCL (+/+), RCTL (+/+)
5. Motorik : rigiditas (-), bradikinesia (-)
6. Sensibilitas : Dalam batas normal
7. Fungsi luhur : Dalam batas normal
8. Gangguan khusus : Tidak ditemukan
3.4 STATUS MENTAL
A. Deskripsi Umum
1. Penampilan : Tidak rapi, sesuai usia
2. Kebersihan : Bersih
3. Kesadaran : Compos mentis
4. Perilaku & Psikomotor : Hiperaktif
5. Sikap terhadap Pemeriksa : Kooperatif

B. Mood dan Afek


1. Mood : Hipertimik
2. Afek : Terbatas
19

3. Keserasian Afek : Appropriate

C. Pembicaraan
Pembicaraan spontan, cepat, logorrhea.

D. Pikiran
1. Arus pikir
 Inkoheren (-)
 Koheren (+)
 Neologisme (-)
 Sirkumstansial (-)
 Tangensial (-)
 Blocking (-)
 flight of idea (-)
20

2. Isi pikir
 Waham
1. Waham Bizzare :(-)
2. Waham Somatik :(-)
3. Waham Erotomania :(-)
4. Waham Paranoid :
- Waham Persekutor : (-)
- Waham Kebesaran : (-)
- Waham Referensi : (-)
- Waham Dikendalikan : (-)
 Asosiasi longgar (-)
 Miskin ide (-)
 Thought
1. Thought Echo : (-)
2. Thought Withdrawal : (-)
3. Thought Insertion : (-)
4. Thought Broadcasting : (-)
 Delusion
1. Delusion of Control : (-)
2. Delusion of Influence : (-)
3. Delusion of Passivity : (-)
4. Delusional Perception : (-)

3. Bentuk Pikir
 Non realistic/derealistik (-)
 Illogical thought (-)
 Autistik (-)
21

E. Persepsi
1. Halusinasi
 Auditorik : (+)
 Visual : (-)
 Olfaktorius : (-)
 Taktil : (-)
2. Ilusi : (-)
F. Intelektual
1. Intelektual : Baik
2. Daya konsentrasi : Baik
3. Orientasi
 Diri : Baik
 Tempat : Baik
 Waktu : Baik
4. Daya ingat
 Seketika : Baik
 Jangka Pendek : Baik
 Jangka Panjang : Baik
5. Pikiran Abstrak : Baik
G. Daya nilai
 Normo sosial : Baik
 Uji Daya Nilai : Baik
H. Pengendalian Impuls : Terganggu
I. Tilikan : T3
J. Taraf Kepercayaan : Dapat dipercaya

3.5 RESUME

Telah diperiksa Nn. M, seorang perempuan berusia 29 tahun yang dibawa


oleh satpol PP ke RSJ dengan keluhan mengamuk, marah-marah, keluyuran, dan
terkadang lupa jalan pulang. Pasien tampak gelisah, dan tidak bisa tidur. Pasien
22

sudah beberapa kali bolak-balik dirawat di RSJ, tetapi pasien tidak teratur minum
obat saat keluar RSJ dan hanya meminum dari obat pulang saat rawat inap di RSJ
hingga habis. Pasien putus meminum obat karena tidak kembali mengambil obat di
puskesmas.
Hasil pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran compos mentis, tekanan darah
120/80 mmHg, frekuensi nadi 80 x/menit, frekuensi napas 20 x/menit, temperatur
36,8° C. Pemeriksaan neurologis dalam batas normal.
Pada pemeriksaan status mental, perempuan sesuai usia, tampak rapi, aktifitas
psikomotor : hiperaktif, sikap terhadap pemeriksa: kooperatif, mood: hipertimik,
afek: terbatas, keserasian afek: appropriate, pembicaraan: spontan, arus pikir :
koheren, halusinasi akustik (+). Pasien dengan tilikan T3 dan taraf kepercayaan
adalah dapat dipercaya.

3.6 DIAGNOSIS BANDING


F31.2 Gangguan afektif bipolar, episode kini manik dengan gejala psikotik
F30.2 Mania dengan gejala psikotik
F20.0 Skizofrenia paranoid

3.7 DIAGNOSIS KERJA


F25.0 Gangguan Skizoafektif Tipe Manik

3.8 DIAGNOSIS MULTIAKSIAL


Axis I : Gangguan Skizoafektif Tipe Manik
Axis II : Tidak ada
Axis III : Tidak ada
Axis IV : Masalah keluarga
Axis V : GAF 50-61

3.9 TATALAKSANA
A. Farmakoterapi
Injeksi Lodomer 5 mg Amp IM/ 24 jam (3 hari)
Injeksi Diazepam 10 mg Amp IM/ 24 jam (bila gelisah)
23

Depakote ER 500 mg Tab 1x1 tab (pagi)


Clozapine 100 mg Tab 1x1⁄2tab
B. Terapi Psikososial
1. Menjelaskan kepada pasien mengenai penyakitnya dan menjelaskan
mengenai penggunaan obat yang tidak boleh putus.
2. Memotivasi untuk minum obat secara teratur
3. Mencoba mengalihkan pikiran-pikiran negatif dengan mengisinya
dengan kegiatan positif yang bermanfaat.
4. Meningkatkan kemampuan sosial, kemampuan memenuhi diri sendiri,
latihan praktis, dan komunikasi interpersonal.
5. Menjelaskan kepada keluarga dan orang disekitar pasien mengenai
kondisi pasien dan meyakinkan mereka untuk selalu memberi dukungan
kepada pasien agar proses penyembuhannya lebih baik.
6. Lebih mendekatkan diri pada Allah SWT.

3. 10 PROGNOSIS
Quo ad Vitam : Dubia ad Bonam
Quo ad Functionam : Dubia ad Bonam
Quo ad Sanactionam : Dubia ad Bonam
24

3. 11 FOLLOW UP

Tanggal Evaluasi Terapi


1 Oktober S/ Pasien tenang, banyak bicara - Depakote ER 500
2019 O/Penampilan: Pasien perempuan mg tab 1x1(pagi)
tampak sesuai dengan usia, rapi - Clozapine 100 mg
Kesadaran : compos mentis tab 1x1⁄2tab
Sikap : kooperatif
Psikomotor : hiperaktif
Mood : hipertimik
Afek: terbatas
Keserasian: appropriate afek
Pembicaraan : spontan
Arus pikir : koheren
Proses pikir : baik
Isi pikir : tidak ada
Persepsi : Halusinasi akustik
Tilikan : T3
A/ Skizoafektif tipe manik
2 Oktober S/ Pasien tenang, banyak bicara - Depakote ER 500
2019 O/Penampilan: Pasien perempuan mg tab 1x1(pagi)
tampak sesuai dengan usia, rapi - Clozapine 100 mg
Kesadaran : compos mentis tab 1x1⁄2tab
Sikap : kooperatif
Psikomotor : hiperaktif
Mood : hipertimik
Afek: terbatas
Keserasian: appropriate afek
Pembicaraan : spontan
Arus pikir : koheren
Proses pikir : baik
25

Isi pikir : tidak ada


Persepsi : Halusinasi akustik
Tilikan : T3
A/ Skizoafektif tipe manik
3 Oktober S/ Pasien tenang, banyak bicara - Depakote ER 500
2019 O/Penampilan: Pasien perempuan mg tab 1x1(pagi)
tampak sesuai dengan usia, rapi - Clozapine 100 mg
Kesadaran : compos mentis tab 1x1⁄2tab
Sikap : kooperatif
Psikomotor : hiperaktif
Mood : hipertimik
Afek: terbatas
Keserasian: appropriate afek
Pembicaraan : spontan
Arus pikir : koheren
Proses pikir : baik
Isi pikir : tidak ada
Persepsi : Halusinasi akustik
Tilikan : T3
A/ Skizoafektif tipe manik
26

BAB IV
PEMBAHASAN

Telah diperiksa Nn. M, seorang perempuan berusia 29 tahun yang dibawa


oleh Satpol PP ke IGD RSJ Banda Aceh dengan keluhan mengamuk di komplek
RSJ serta meresahkan pasien jiwa yang dirawat di RSJ. Pasien marah-marah ketika
diusir oleh Satpol PP. Pada pemeriksaan pasien tampak tenang dengan status
mental, perempuan sesuai usia, rapi, aktifitas psikomotor: hiperaktif, sikap terhadap
pemeriksa: kooperatif, mood: hipertimik, afek: terbatas, keserasian afek:
appropriate, pembicaraan: spontan, arus pikir: koheren, waham: halusinasi akustik.
Pasien dengan tilikan T3 dan taraf kepercayaan adalah dapat dipercaya.
Berdasarkan gejala-gejala tersebut, ini mengarah kepada peningkatan afek (manik).
Afek yang meningkat, disertai peningkatan dalam jumlah dan kecepatan aktivitas
fisik dan mental, dalam berbagai derajat keparahan. Terdapat peningkatan energi,
aktivitas yang berlebihan, konsentrasi yang terganggu, terkadang kegelisahan atau
iritabilitas disertai oleh perilaku agresif.5
Pasien sudah beberapa kali bolak-balik dirawat di RSJ dengan sering
mendengar bisikan, serta pasien tidak teratur minum obat dan selalu putus obat
saat keluar dari RSJ. Pasien putus meminum obat karena tidak terfasilitasi
mengambil obat di puskesmas serta tidak adanya dukunga keluarga. Gejala
tersebut memenuhi kriteria diagnosis skizofrenia, diantaranya Halusinasi
auditorik yaitu Suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus terhadap
perilaku pasien, atau mendiskusikan perihal pasien pasein di antara mereka
sendiri (diantara berbagai suara yang berbicara), atau jenis suara halusinasi lain
yang berasal dari salah satu bagian tubuh. Gejala psikosis dan gangguan afek
dijumpai secara bersamaan pada pasien ini. Afek menigkat secara menonjol dan
dalam episode yang sama jelas ada gejala skizofrenia yang khas. Oleh karena itu
pasien ini didiagnosis dengan skizoafektif tipe manik. Gangguan berulang pada
pasien ini seluruhnya episode skizoafektif tipe manik, tidak pernah mengalami
episode depresi dan tidak ada fase baseline diantara episode.5
Pasien telah mendapatkan terapi Injeksi Lodomer 5 mg/hari/IM selama 3
hari, injeksi Diazepam 10 mg/hari/IM selama 3 hari saat awal masuk, Depakote
27

ER 500mg 1x1 (pagi), Clozapine 100mg 1x1⁄2tab Lodomer dan clozapin


merupakan obat anti psikotik. Diazepam merupakan Benzodiazepin yang berfungsi
sebagai obat penenang dan agar memudahkan pasien tertidur pada malam hari,
sedangkan Deapakote ER merupakan obat anti mania.
Skizoafektif tipe manik memiliki kemiripan gejala dengan gangguan afektif
bipolar, skizofrenia, dan mania dengan gejala psikotik. Untuk membedakannya kita
perlu mengetahui onset dari gejala psikotik dan gangguan moodnya. Apakah gejala
psikotik dan gangguan mood terjadi secara bersamaan atau didahului oleh salah
satu gejala kemudian disusul oleh gejala lainnya. Perlu menggali lebih dalam
apakah gejala psikotik muncul terlebih dahulu daripada gangguan mood atau
gangguan mood terjadi lebih dulu kemudian muncul gejala psikotik. 2,10 Gangguan
manik dengan gejala psikotik mengalami episode mania yang berat sekurang-
kurangnya 1 minggu disertai dengan harga diri yang membumbung dan gagasan
kebesaran dapat berkembang menjadi waham kebesaran. Waham dan halusinasi
sesuai dengan afek tersebut. Sedangkan waham dan halusinasi pada skizoafektif
tipe manik tidak harus sesuai dengan keadaan afeknya.5
28

BAB V
KESIMPULAN

Gangguan skizoafektif merupakan suatu penyakit dengan gejala psikotik


yang persisten seperti halusinasi atau delusi, dimana gejala ini terjadi bersamaan
(simultaneously) dengan masalah suasana perasaan (mood disorder) seperti depresi,
manik atau episode campuran.Gangguan skizoafektif merupakan permasalahan
mental yang bersifat kronis. Sebagian diantara paasien gangguan skizoafektif
mengalami episode skizoafektif berulang, baik yang tipe manik, depresif, maupun
campuran keduanya.
Terapi pada pasien skizoafektif terbagi menjadi terapi farmakologis dan
terapi non-farmakologis. Pada kasus gangguan skizoafektif tipe manik terapi
kombinasi yang diberikan adalah terapi anti-psikotik dan mood stabilizer,
diantaranya mencakup Depakote ER 1x500 mg, Clozapine 2x100 mg. Terapi non-
farmakologis yang dianjurkan untuk gangguan skizoafektif tipe manik diantaranya
Cognitive-Behavioural Therapy, Psikoedukasi, Family-Based Service, Art
therapies, dan lain sebagainya. Prognosis bisa diperkirakan dengan melihat
seberapa jauh menonjolnya gejala skizofrenianya, atau gejala gangguan afektifnya.
Semakin menonjol dan persisten gejala skizofrenianya, maka prognosisnya akan
semakin buruk. Sebaliknya apabila gejala-gejala afektifnya tampak lebih menonjol,
maka prognosis diperkirakan akan lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA

1. Ahmed R, Namboodiri V, Tahira F. Mood stabilisers for


schizoaffective disorder ( Protocol ). Cochrane Database Syst Rev.
2011;(12):1–2.

2. Sadock BJ, Sadock VA, Pedro R. Kaplan & Sadock’s Synopsis of


Psychiatry : Behavioral Sciences/ Clinical Psychiatry. 11th ed. Pataki
C, Sussman N, editors. Philadelphia: Wolters Kluwer; 2015.

3. Putra A. Schizoaffective Disorder with Manic Type: a Case Report.


Med Udayana. 2013;304–12.

4. Abrams DJ, Arciniegas DB. Schizoaffective disorder. In: The


Spectrum of Psychotic Disorders: Neurobiology, Etiology and
Pathogenesis. StatPearls Publishing; 2019. hal. 78–95.

5. Kartika A. Pola Pengobatan dan Outcome Terapi Pasien Skizoafektif


di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Jiwa Daerah Dr. RM Soedjarwadi
Klaten, Jawa Tengah. Universitas Gadjah Mada; 2016.

6. Surbakti R. a 30 Years Old Man with Depressed Type of


Schizoaffective Disorder. Medula. 2014;02:89–95.

7. Vardaxi CC, Gonda X, Fountoulakis KN. Life events in


schizoaffective disorder: A systematic review. J Affect Disord. 1
Februari 2017;227:563–70.

8. Yani F. Kelainan Mental Manik Tipe Skizoafektif. Medula.


2015;2:65–73.

9. Maslim R. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa: Rujukan Ringkas


dari PPDGJ-III dan DSM-5. 2 ed. Jakarta: PT Nuh Jaya; 2013.

9. Birrel M. Psychiatry. 4 ed. United Kingdom: Elsevier Inc; 2013.

10. Maslim R. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik. 4 ed.


Jakarta: PT Nuh Jaya; 2014.

11. Stahl SM. Essential Psychopharmacology: Neuroscientific Basis and


Practical Applications. 2 ed. New York: Cambridge University Press;
2000.

12. Katona C, Cooper C, Robertson M. Psychiatry at a Glance. 5 ed.


London: Wiley Blackwell; 2012.

13. Chokhawala K, Stevens L. Antipsychotic Medications [Internet].

29
30

StatPearls. StatPearls Publishing; 2019 [dikutip 28 Agustus 2019].


Tersedia pada: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/30137788

14. Agid O, Board A, Johnson CJ, Lilly E, Company US, Canada EL.
Treatment resistant schizophrenia : Treatment Response and
Resistance in Psychosis ( TRRIP ) working group consensus guidelines
on diagnosis and terminology. Am J Psychiatry. 2018;174(666):216–
29.

15. Lally J, Gaughran F, Timms P, Curran SR. Treatment-resistant


schizophrenia: Current insights on the pharmacogenomics of
antipsychotics. Pharmgenomics Pers Med. 2016;9:117–29.

16. Stoner S. Extended-release divalproex in bipolar and other psychiatric


disorders: A comprehensive review. Neuropsychiatr Dis Treat.
2008;Volume 3(6):839–46.

17. Albert U, De Cori D, Blengino G, Bogetto F, Maina G. Trattamento


con litio e potenziali effetti collaterali a lungo termine: Una revisione
sistematica della letteratura [Internet]. Vol. 49, Rivista di Psichiatria.
2014 [dikutip 27 Agustus 2019]. hal. 12–21. Tersedia pada:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/24572579

18. Gitlin M. Lithium side effects and toxicity: prevalence and


management strategies. Int J Bipolar Disord. 2016;4(1).

19. Caqueo-Urízar A, Rus-Calafell M, Urzúa A, Escudero J, Gutiérrez-


Maldonado J. The role of family therapy in the management of
schizophrenia: Challenges and solutions. Neuropsychiatr Dis Treat.
2015;11:145–51.

Anda mungkin juga menyukai