Anda di halaman 1dari 33

Morfin sebagai lini pertama

opioid kuat
Pandji Irani Fianza
Divisi Hematologi-Onkologi Medik, Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas
Kedokteran Universitas Padjadjaran /RS Dr. Hasan Sadikin, Bandung
OPIOID
◆ Merupakan kelompok obat yang sering digunakan untuk
penanganan nyeri sedang-berat
◆ Istilah opioid digunakan untuk semua obat baik alami maupun
sintetik yang dapat menduduki reseptor opioid di tubuh manusia
◆ Istilah opiat digunakan untuk semua obat yang diekstrak dari
tumbuhan opium yang menempati dan bekerja pada reseptor
opioid

Morgan GE, et al. Lange clinical anesthesiology. 4 th ed. 2006.p.192-97


Klasifikasi Opioid
Berdasarkan Asalnya
Klasifikasi Opioid
Berdasarkan Kerjanya
RESEPTOR OPIOID

• Analgesik opioid memperlihatkan efek farmakologinya dengan


cara berikatan dengan reseptor spesifik di dalam dan di luar
sistem saraf pusat:
• mu
• delta
• kappa
• Reseptor terdapat di seluruh sistem saraf pusat terutama
pada daerah dan traktus yang berhubungan dengan persepsi
nyeri, juga di beberapa saraf sensorik, sel mast dan beberapa
sel traktus GI
Efek Opioid

Bope E et al. Conn’s Current Therapy 2011


MORFIN
• Morfin diekstrak dari tanaman
poppy opium
• Pertama kali diisolasi dari
opium oleh apoteker Jerman
Serturner (1805),
– Morphine berasal dari kata
Morpheus, Dewa Mimpi
Yunani.
• Penggunaan morfin pertama
sekali pada Perang Saudara
Amerika dan diyakini menjadi
awal kecanduan opiat luas
untuk injeksi.
The management of combat trauma
pain with morphine
Farmakokinetik
• Absorbsi
– Kelarutan dalam lemak yang rendah.
– Morfin IV mula kerja 5 menit, durasi 4 jam.
• Distribusi
– Penetrasi morfin kedalam dan keluar otak diperkirakan
lebih lambat dari opioid lainnya.
– 20% sampai 40% terikat pada albumin dengan waktu 5-20
menit dan kadar puncak tercapai dalam waktu 20 menit
sampai 60 menit setelah suntikan.
– Oral: 40 sampai 50 persen dari dosis mencapai sistem
saraf pusat
Physicochemical and Pharmacokinetic
Data for Commonly Used Opioid Agonists

T1/2 elimination (hr)


Farmakokinetik
• Metabolisme
– Di hati
– Hepatic extraction ratio morphine cukup tinggi,
– Bioavaibilitas morfin yang diberikan secara oral sangat
rendah
– Di hati morfin dimetabolisme melalui proses demetilasi
dan glukuronidasi; menghasilkan Morphine 6-glucuronide
(M6G) dan Morphine 3-glucuronide (M3G) dalam rasio
6:1.
– M3G dalam konsentrasi cukup tinggi diyakini berpotensi
menyebabkan hiperalgesia.
• Eliminasi
– Utama di ginjal, 10% melalui ekskresi bilier.
– 5-10% dari morfin diekskresikan dalam bentuk utuh di
urin,
• Gagal ginjal dapat memperpanjang durasi kerjanya.
Mekanisme kerja Morfin
• Reseptor opioid hanya di susunan saraf pusat:
– tractus solitarius, peri-aqueductal grey area (PAG),
cerebral cortex, Thalamus, substantia gelatinosa
(SG) of the spinal cord
– Morfin bekerja dengan mengaktivasi reseptor mu
dan kappa.
• Setelah reseptor ini diaktifkan, ia melepaskan sebagian
dari protein G,
– Secara tidak langsung akan menghambat saluran kalsium,
penurunan cAMP
– Menghalangi pelepasan neurotransmiter sakit seperti glutamat,
substansi P, dan calsitonin gen-related peptide dari serat
nosiseptif dan pada akhirnya menghasilkan analgesia.
Mekanisme Kerja Morhine
Analgetic Effect of Opioid Receptor
Penilaian nyeri kanker
❖ Percayailah keluhan nyeri pasen
❖ Luangkan waktu diskusi keluhan nyeri
❖ Nilai skala nyeri
❖ Anamnesis nyeri secara detail
❖ Pemeriksaan fisik lengkap
❖ Pemilihan analgetika untuk terapi nyeri
❖ Monitor hasil pengobatan
❖ Breakthrough Pain

Annal Oncol. 2018; 29:166-191


Penilaian nyeri kanker

Annal Oncol. 2018; 29:166-191


Breakthrough Pain (BTP)
Breakthrough pain is defined as a transitory flare up ofmoder

Faktor yang dinilai pada BTP :


❖ Frekuensi dan jumlah episode per hari
❖ Durasi, waktu (dalam menit); intensitas
❖ Deskripsi/sifat BTP
❖ Precipitating factors
❖ Riwayat analgetik yang sedang dipakai

Annal Oncol. 2018; 29:166-191


Time Pattern of Cancer Pain

Over Medication

Around-the-Clock Breakthrough pain


Medication
Pemberian Morfin
• Premedikasi
• Intraoperative anesthesia
• Pain management
– Acute
• Emergency cases
– Chronic
• Cancer Pain
Pemberian Morphine
Anesthesia
• Premedikasi morphine diperlukan
ketika pasien hendak dilakukan
tindakan anesthesia
– Diberikan 30-60 menit sebelum
operasi
– Menstabilkan hemodinamik
– Mengurangi kecemasan (efek
morfin sedasi)
– Mem “blunting” kenaikan
hemodinamik ketika tindakan
intubasi (pemasangan ETT)
• Dosis:
– 0.05–0.2 mg/kg/IM: Premedikasi
– 0,1 mg/kg/IV (slow): Intraoperative
analgesia
– Emergency: IV morphine should
be 0.1 mg/kg/IV.
• Intravenous morphine is
typically started at 0.1 mg/kg,
with subsequent doses of 0.05
mg/kg given every 5 minutes
until pain is relieved.
– 0.05–0.2 mg/kg/IM/ 4 hourly
– Epidural: Dose 2-5 mg, duration 4-
24 h, onset 15-30 min, peak 60-90
min
– PCAE (epidural): Bolus dose 0,2-
0,3 mg, lock out 30 min, infusion
rate: 0,3-0,9 mg/h
– PCA IV: Bolus dose 1-3 mg, lock
out 10-20 min, infusion rate: 0-1
mg/h
– Oral: 10-20 mg q 12 hourly
– Intratechal 0,2-1 mg (preservatif
free)
Pemberian Morfin
Cancer Pain Management
• Morfin masih menjadi terapi utama untuk anti nyeri
pada pasien kanker (WHO)
– Morfin oral menjadi pilihan
• Sediaan di Indonesia hanya ada morphine sustained
release (lepas lambat)
– mula kerja dan durasi kerja lebih lama
Dosis Morfin

Oral Naïve : 5-10 mg tiap 4 jam, aksi puncak dalam 60 menit


Intravena : 2-5 mg, aksi puncak 15 menit

Nilai ulang :
➢ nyeri tidak teratasi atau bertambah : dosis dinaikan 50-100%
➢ nyeri berkurang tapi masih belum terkontrol : diberikan dosis sama
nilai ulang sesuai dengan waktu capai aksi puncak
➢ nyeri teratasi : berikan dosis tetap tiap 4 jam
hitung dosis kumulatif untuk 24 jam

Adult Cancer Pain. NCCN version 1 2016


BMJ cancer.2001;84:587-593
Dosis Morfin Nyeri
teratasi
▪ Pasien toleran VAS ≥ 4
▪ Oral: berikan dosis 10-20% dari dosis kumulatif 24 jam sebelumnya
Switch ke
▪ Nilai dalam 1 jam : opioid kerja
Nyeri tetap atau bertambah, naikan dosis 50-100%
▪ Intravena : 10-20% dari dosis kumulatif 24 jam sebelumnya
panjang
nilai dalam 1 jam :
▪ Nyeri tetap atau bertambah, naikan dosis 50-100%
▪ Dosis rescue untuk BTP : 50-100% dosis fixed interval

Adult Cancer Pain. NCCN version 1 2016


Switching Opioid

Indikasi switching lainnya adalah jika ada nyeri yang tidak terkontrol
setelah dosis optimal atau jika ada efek samping yang berat
Efek samping morfin
1. Konstipasi : profilaksis laxative, dapat diberikan lebih dari 1
macam dengan mekanisme aksi yang berbeda
2. Nausea : berkurang setelah beberapa hari
dapat diberikan antiemetik atau kurangi dosis
3. Drowsiness : hilang setelah beberapa hari
kurangi dosis atau switching
4. Depresi pernapasan :
Antidotum  naloxone 0,4-2 mg i.v , im atau s.c diulang tiap 3
menit, dosis total 10 mg.
Sediaan inj. 0,4 dan 1 mg/cc
Kelebihan dan Kekurangan Morfin
Morphine Fentanyl
Mula kerja relative cepat NO YES
Durasi lebih lama YES NO
Kamanan pasien dengan gangguan NO YES
ginjal
Kemanan pasien dengan gangguan NO YES
hati
Pengobatan nyeri akut YES YES
Pengobatan nyeri kanker YES YES
Mahal NO YES
Hemodinamik stabil NO YES
Minimal nausea vomiting NO YES
Minimal histamin release NO YES
Kesimpulan
1. Sampai saat ini guideline WHO masih valid untuk
digunakan dengan penyesuaian pada pemilihan obat
nyeri tingkat ringan-sedang (VAS 4-6)
2. Morfin yang diberikan per oral merupakan pilihan
utama untuk nyeri kanker tingkat sedang-berat.
3. Morfin dengan potensi kuat dapat diberikan pada nyeri
ringan-sedang (VAS 4-6) dengan dosis yang lebih
rendah
Terimakasih
Opioid-induced hyperalgesia (OIH)
• Several mechanisms associated with opioid-
induced hyperalgesia have been identified.
• Glutamate-associated activation of N-methyl-D-
aspartate (NMDA) receptors causes spinal neuron
sensitization; this pronociceptive mechanism has
been implicated in the development of neuropathic
pain and opioid-induced hyperalgesia.
– The ability of NMDA receptor antagonists can block
opioid-associated hyperalgesia, provides further
evidence that NMDA receptors are involved in
hyperalgesic states (King et al 2005, Mao 2006, Ossipov
et al 2005).
Opioid-induced hyperalgesia (OIH)
• Increasing sensitivity to pain stimuli
(hyperalgesia).
• Pain elicited from ordinarily non-painful stimuli,
such as stroking skin with cotton (allodynia).
• Worsening pain despite increasing doses of
opioids.
• Pain that becomes more diffuse, extending
beyond the distribution of pre-existing pain.
• Presence of other opioid hyperexcitability
effects: myoclonus, delirium or seizures.

Anda mungkin juga menyukai