Anda di halaman 1dari 29

Penggunaan

Obat Morfin
untuk Nyeri
Akut di IGD

dr. Monna M. Lysabella


NYERI
Defenisi Nyeri

Nyeri merupakan pengalaman sensori


dan emosional yang tidak
menyenangkan sebagai akibat dari
kerusakan jaringan yang aktual dan
potensial, yang menyakitkan tubuh
serta diungkapkan oleh individu yang
mengalaminya. (Kozier dkk, 2009)
Klasifikasi Nyeri

Berdasarkan pada waktu atau durasi terjadinya nyeri :


a.Nyeri akut
 Nyeri yang terjadi segera setelah tubuh
terkena cedera dan memiliki awitan yang cepat,
dengan intensitas bervariasi dari berat sampai ringan.
b.Nyeri kronik
 Nyeri konstan atau intermiten yang menetap
sepanjang suatu periode tertentu, berlangsung lama,
intensitas bervariasi, dan biasanya berlangsung lebih
dari tiga bulan. 
Mekanisme Nyeri

– Transduksi -> proses perubahan stimulus


menjadi impuls saraf. Stimulus nyeri akan
di terima oleh nociceptor pada ujung saraf
bebas A delta dan C kemudian mengalami
perubahan atau diterjemahkan menjadi
aktivitas fisik pada impuls saraf.
– Transmisi -> proses penyaluran impuls
saraf melalui serabut saraf sensoris menuju
ke medulla spinalis. Impuls tersebut
dibawa oleh serabut saraf A delta dan C.
– Modulasi -> perubahan suatu rangsangan
pada level medula spinalis. Modulasi inilah
yang menyebabkan mengapa suatu
rangsangan yang sama dapat dirasakan
berbeda orang per-orang. Itulah sebabnya
nyeri sangat subyektif bagi setiap orang.
– Persepsi -> Hasil akhir dari proses interaksi
yang kompleks dan unik mulai dari proses
tansduksi, transmisi, dan modulasi yang
pada gilirannya menghasilkan suatu
perasaan yang subjektif yang dikenal
sebagai persepsi nyeri.
Skala Penilaian Nyeri

– Wong-Baker Faces Pain Rating Scale


Skala ini berguna pada pasien dengan
gangguan komunikasi, seperti anak-anak,
orang tua, pasien yang kebingungan atau
pada pasien yang tidak mengerti dengan
bahasa lokal setempat
– Numeric Rating Scale (NRS)
Skala penilaian numerik atau numeric
rating scale (NRS) lebih digunakan
sebagai pengganti alat pendeskripsi kata.
Pasien menilai nyeri dengan
menggunakan skala 0-10
– Visual Analog Scale (VAS)
suatu instrumen yang digunakan untuk
menilai intensitas nyeri dengan
menggunakan sebuah tabel garis 10 cm
dengan pembacaan skala 0–100 mm
dengan rentangan makna:
>0 - <10 mm : Tidak Nyeri
≥10 – 30 mm : Nyeri Ringan
≥30 – 70 mm : Nyeri sedang
≥ 70 – 90 mm : Nyeri berat
≥ 90 – 100 mm : Nyeri sangat berat
Tujuan Penatalaksanaan
Nyeri
– Mengurangi intensitas dan durasi keluhan
nyeri
– Menurunkan kemungkinan berubahnya
nyeri akut menjadi gejala nyeri kronis
yang persisten
– Mengurangi penderitaan dan
ketidakmampuan akibat nyeri
– Meningkatkan kualitas hidup pasien dan
mengoptimalkan kemampuan pasien
untuk menjalankan aktivitas sehari-hari
Langkah 1 :
– Untuk nyeri ringan sampai sedang sebaiknya
dimulai dengan obat analgesik non opioid dan
tingkatkan dosisnya. Jika dibutuhkan dapat
ditingkatkan sampai dosis maksimum yang
direkomendasikan.
– Dapat digunakan obat adjuvan seperti antidepresan
atau antikonvulsi jika dibutuhkan.
Langkah 2 :
– Apabila masih tetap nyeri, maka dapat naik ke
tangga atau langkah kedua, yaitu ditambahkan obat
opioid lemah, misalnya kodein.
– Tambahkan atau lanjutkan obat adjuvan, jika tepat.
Langkah 3 :
– Apabila ternyata masih belum reda atau menetap,
maka sebagai langkah terakhir, disarankan untuk
menggunakan opioid kuat yaitu morfin.
– Tambahkan atau lanjutkan obat adjuvan, jika tepat.
Pada dasarnya, prinsip Three Step Analgesic
Ladder dapat diterapkan untuk nyeri kronik
maupun nyeri akut, yaitu:
1.Pada nyeri kronik mengikuti langkah
tangga ke atas 1-2-3.
2.Pada nyeri akut, sebaliknya, mengikuti
langkah tangga ke bawah 3-2-1.

World Health Organization. WHO Ladder. [Online]. Cited on 2015 march 7. Available from: URL: 
http://www.geriatricpain.org/content/management/interventions/documents/WHOladder.pdf
Macam Analgesik
Analgesik Non Opioid

• Parasetamol • Asam propionat:


• Salisilat : – Ibuprofen
– Aspirin – Fenoprofen
– Mg salisilat – Ketoprofen
– Diflunisal – Naproksen
• Fenamat : • Asam pirolizin
– Meklofenamat karboksilat :
– Asam mefenamat – Ketorolak
• Asam asetat : • Inhibitor Cox-2 :
– Na diklofenak – Celecoxib
• Antalgin – Valdecoxib
Analgesik Opioid
• Agonis seperti morfin : • Agonis seperti metadon :
– Morfin – Metadon
– Hidromorfon – Propoksifen
– Oksimorfon • Antagonis :
– Leforvanol – Nalokson
– Kodein • Analgesik sentral :
– Hidrokodon – tramadol
– Oksikodon
• Agonis seperti meperidin :
– Meperidin
– Fentanil
MORFIN
Morfin merupakan agonis reseptor
opioid, dengan efek utama mengikat
dan mengaktivasi reseptor µ-opioid
pada sistem saraf pusat. Morfin juga
bertindak sebagai agonis reseptor κ-
opioid
Efek analgesi morfin timbul berdasarkan 3
mekanisme :
– Morfin meninggikan ambang rangsang nyeri
–Morfin dapat mempengaruhi emosi, artinya
morfin dapat mengubah reaksi yang timbul di
korteks serebri pada waktu persepsi nyeri
diterima oleh korteks serebri dari thalamus
–Morfin memudahkan tidur dan pada waktu
tidur ambang rangsang nyeri meningkat.
Farmakodinamik

Efek morfin terjadi pada susunan saraf pusat


dan organ yang mengandung otot polos. Efek
morfin pada sistem saraf pusat mempunyai dua
sifat yaitu depresi dan stimulasi. Digolongkan
depresi yaitu analgesia, sedasi, perubahan
emosi, hipoventilasi alveolar. Stimulasi
termasuk stimulasi parasimpatis, miosis, mual
muntah, hiperaktif reflek spinal, konvulsi dan
sekresi hormon anti diuretika (ADH).

(Latief dkk, 2001; Sarjono dkk, 1995; Wibowo S dan Gopur A., 1995; Omorgui,
Farmakokinetik

Morfin tidak dapat menembus kulit utuh, tetapi


dapat menembus kulit yang luka. Morfin juga
dapat mmenembus mukosa. Morfin dapat
diabsorsi usus, tetapi efek analgesik setelah
pemberian oral jauh lebih rendah daripada efek
analgesik yang timbul setelah pemberian
parenteral dengan dosis yang sama. Morfin
dapat melewati sawar uri dan mempengaharui
janin. Ekresi morfin terutama melalui ginjal.
Sebagian kecil morfin bebas ditemukan dalam
tinja dan keringat.
Indikasi

Morfin dan opioid lain diidentifikasikan untuk meredakan atau


menghilangkan nyeri hebat yang tidak dapat diobati dengan
analgesik non-opioid. Morfin sering diperlukan untuk nyeri
yang menyertai :
1.Infark miokard
2.Neoplasma
3.Kolik renal atau kolik empedu
4.Perikarditis akut, pleuritis dan pneumotorak spontan
5.Nyeri akibat trauma misalnya luka bakar, fraktur dan nyeri
pasca bedah.
6.Rasa sakit hebat yang terkait dengan laba-laba, ular berbisa,
atau gigitan atau sengatan lainnya.
7.Sakit yang disebabkan oleh cedera korosif pada mata, kulit,
atau saluran pencernaan.
Kontraindikasi

1. Diketahui hipersensitif terhadap morfin.


2. Pernapasan atau depresi sistem saraf
pusat dengan kegagalan pernapasan yang
akan datang, kecuali pasien diintubasi
atau peralatan dan personil terlatih
berdiri untuk intervensi jika diperlukan.
3. Dugaan cedera kepala. Morfin dapat
mengaburkan atau menyebabkan depresi
sistem saraf pusat berlebihan.
Dosis

Morfin tersedia dalam tablet, injeksi, supositoria.


Morfin oral dalam bentuk larutan diberikan teratur
dalam tiap 4 jam. Pasien tidak pernah
pakai opoid dosis awal 10-15 mg. Dosis disesuaikan
untuk memperoleh efek pereda nyeri selama 12
jam. Nyeri yang tidak dapat dikontrol dengan opioid,
dosis awal 20-30 mg tiap 12 jam. Dosis anjuran
untuk menghilangkan atau mengurangi nyeri sedang
adalah 0,1-0,2 mg/kgBB setiap 4 jam. Untuk nyeri
hebat pada dewasa 1-2 mg intravena dan dapat
diulang sesuai yang diperlukan.
Efek Samping

1. penurunan kesadaran, euforia, rasa kantuk,


lesu, dan penglihatan kabur.
2. Terlihat apatis, daya konsentrasi menurun, dan
pikiran sering terganggu  pengguna merasa
ketagihan
3. Depresi pernafasan yang sering fatal dan
menyebabkan kematian
4. Konstipasi
5. Kesulitan BAK
Keracunan Morfin

1. Keracunan akut  terjadi akibat percobaan bunuh diri


atau dosis yang berlebihan.
2. Keracunan kronis  terjadi akibat pemakaian berulang-
ulang dan menjadi adiksi (kecanduan) atau “morfinisme”
Adiksi morfin ditandai dengan adanya habituasi,
ketergantungan fisik dan toleransi. Gejalanya antara lain
merasa sakit, iritabilitas, tremor, lakrimasi, berkeringat,
menguap, bersin-bersin, anoreksia, midriasis, demam,
pernafasan cepat, muntah-muntah, kolik, diare dan pada
akhirnya penderita mengalami dehidrasi, ketosis, asidosis,
kolaps kardiovaskular yang bisa berakhir dengan kematian.
– Gejala kelebihan dosis :
Pupil mata sangat kecil (pinpoint), pernafasan
satu-satu dan koma. Bila sangat hebat, dapat
terjadi dilatasi (pelebaran pupil). Sering disertai
juga nausea (mual). Kadang-kadang timbul edema
paru (paru-paru basah).
– Gejala–gejala lepas obat :
Agitasi, nyeri otot dan tulang, insomnia, nyeri
kepala. Bila pemakaian sangat banyak (dosis
sangat tinggi) dapat terjadi konvulsi (kejang) dan
koma, keluar airmata (lakrimasi), keluar air dari
hidung (rhinorhea), berkeringat banyak, cold
turkey, pupil dilatasi, tekanan darah meninggi,
nadi bertambah cepat, hiperpirexia (suhu tubuh
sangat meninggi), gelisah dan cemas, tremor,
kadang-kadang psikosis toksik.
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai