Anda di halaman 1dari 12

PASIEN DENGAN HEPATOPATI KONGESTIF

AKIBAT GAGAL JANTUNG

Efendi Nugroho

PENDAHULUAN
Gagal jantung merupakan sindroma klinis yang terdiri dari kumpulan gejala
tipikal dan tanda spesifik akibat abnormalitas struktur atau fungsi jantung. Gagal
jantung biasanya merupakan stadium akhir dari penyakit kardiovaskuler. Dari
manifestasi klinis, terkadang diagnosis akurat sulit untuk ditegakkan. Banyak gejala
yang muncul tidak spesifik akibat kelainan suatu organ, dan ada beberapa gejala dan
symptom yang mungkin merupakan proses awal dari suatu penyakit lain. (Bui et al,
2011)
Etiologi dari gagal jantung meliputi beberapa factor seperti penyakit miokard,
valvular, perikard, endokard, kogenital, genetik, aritmia, kelainan konduksi, keadaan
high output, atau volume over load. Faktor resiko gagal jantung yang paling umum
didapatkan adalah hipertensi dan infakmiokad. Diperkirakan sebanyak 75% penderita
gagal jantung disebabkan hipertensi. Dewasa ini, meskipun jumlah penderita yang
bertahan hidup setelah diagnosis gagal jantung ditegakkan bertambah, namun angka
kematian penderita masih cukup besar. Sekitar 50% penderita akan meninggal dalam
waktu 5 tahun sejak diagnosa gagal jantung ditegakkan. (Bui et al, 2011)
Keterkaitan antara gangguan sistem kardiovaskular dengan fungsi hati sangat
sering ditemukan terutama pada kasus gagal jantung, infark miokard akut, syok, dan
kardiomiopati. Perubahan pada hati, termasuk struktur dan fungsinya, dapat terjadi
pada keadaan hemodinamik yang tidak stabil atau terdapat gangguan sirkulasi
kardiovaskular melalui beberapa mekanisme yaitu hepatitis iskemia, kongesti hati
pasif, sirosis kardiak, dan perikarditis konstriktif. Selama beberapa tahun terakhir
banyak perkembangan baik dalam patogenesis, pendekatan diagnostik, dan terapi
pada kondisi tersebut diatas (Burroughs, 2012).
Berikutakan disampaikan sebuah kasus hepatopati kongestif akibat gagal
jantung. Laporan kasus ini akan membahas sebagian besar tentang diagnosis dan
tatalaksananya.

KASUS
Seorang pria jawa berusia 44 tahun datang ke rumah sakit dengan keluhan
sesak nafas, sesak nafas sudah dirasa sejak satuminggu sebelum masuk rumah sakit
dan memberat satuhari SMRS. Sesak dirasa saat istirahat, nafas terasa pendek,

Laporan Kasus Dept. Penyakit – SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unair – RSUD Dr. Soetomo
Surabaya, 25 Februari 2020
memberat saat berbaring atau berjalan, lebih nyaman tidur pakai 3 sampai 4 bantal,
sering terbangun malam hari karena sesak nafas. Batuk berdahak bercampur darah
merah muda 3 hari terakhir, mata terlihat kuning, tidak ada demam, keringat malam
hari maupun penurunan berat badan. Kedua kaki bengkak sejak 2 minggu, perut
buncit selama 1 minggu. Pasien juga mengeluh mual dalam 3 hari sehingga
asupannya menjadi kurang, nyeri dada disangkal
Riwayat penyakit jantung coroner 1 tahun yang lalu menolak tindakan
Percutaneous Coronary Intervention (PCI), rutin kontrol di poli jantung (furosemide
1x40 mg, clopidogrel 1x75 mg, ISDN 1x5 mg, irbesartan 1x150 mg, digosin 1x0,75
mg, simvastatin 1x20mg) pasien bekerja wiraswasta dan seorang perokok. Diabetes
melitus, hipertensi, penyakit hati, minuman keras disangkal.
Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkankeadaanumumlemah, kesadaran
kompos mentis, GCS 4-5-6. Tekanan darah 115/90 mmHg, denyut nadi 110 kali per
menit teratur, frekuensi pernapasan 28kali permenit, saturasi perifer 96 %, suhu
badan ketiak36,4 ºC.Dari pemeriksaan kepala dan leher didapatkanskleraikterus.
Tidak didapatkan pembesaran kelenjar getah bening leher, didapatkan peningkatan
tekanan vena jugularis (13 cm).
Pada pemeriksaan dada didapatkan pengembangan dada yang simetris, tidak
ada retraksi dinding dada. Didapatkan batas jantung melebar, iktus jantung pada
Intercostal Space V dan 2 cm lateral dari Mid Clavicular Linekiri, bunyi jantung S1
S2 tunggal tidakdidapatkan murmur, gallop dan ekstrasistol. Pada pemeriksaan paru,
pergerakan nafas simetris, tidak didapatkan retraksi, palpasi fremitus menurun 2/3
paru kanan bawah, perkusi redup 2/3 paru kanan bawah, auskultasi vesikuler
menurun 2/3 paru kanan bawah, tidak didapatkan ronki maupun wheezing pada kedua
lapang paru. Pemeriksaan abdomen tampak slightly distended, shifting dullness
positif, bising usus normal, teraba supel. Pemeriksaan hati 2 jari dibawah arcus costa
dan lien tidak teraba membesar, hepatojugular refluks positif, tidak didapat kolateral.
Pada pemeriksaan ekstremitas didapatkan pitting edema di kedua kaki tanpa tanda-
tanda peradangan, kulit terasa hangat dan kering, tidak didapat eritema palmaris
Dari pemeriksaan penunjang didapatkan hasil laboratorium sebagai berikut :
Hemoglobin 15,9 g/dL, hematokrit 47%, MCV 72,3, MCH 29,2, MCHC 33,5,
leukosit 10200 /mm3, neutrofil 68 %, trombosit 179000/mm3, natrium 134 mmol/L,
kalium 4,3 mmol/L, klorida 105 mmol/L, guladarahacak 152 mg/dL, SGOT 215 U/L,
SGPT 173 U/L, albumin 2,9 g/dL, BUN 31 mg/dL, kreatinin1,1 mg/dL, bilirubin
direk 6,8 mg/dL, bilirubin total 9,24 mg/dL, CRP 6,4, HbsAg negatif, HIV rapid test
negatif. Dari pemeriksaan urin lengkap didapatkan hasil sebagai berikut kencing
jernih, warna kuning, pH 7,5, berat jenis 1,022, tidak didapatkan leukosit, protein,
nitrit, glukosa, bilirubin dan keton. Dari pemeriksaan analisa gas darah didapatkan pH
7,45 pCO2 33 PO2 116 HCO3 22 BE -1,1 SO2 94 %.
Dari pemeriksaan elektrokardiografi didapatkan irama sinus takikardi 110
kali per menit dengan sumbu frontal Right Axis Deviation dan sumbu horizontal
counter clockwise rotation, OMI anteroseptal, serta terdapat pembesaran ventrikel
kanan. Hasil foto thoraks didapatkan kardiomegalidengan cardiothoracic ratio
sebesar 60 %, efusi pleura kanan, batas kanan jantung sebagian tertutup
perselubungan, kesan membesar, tampak perselubungan homogen di hemitorax kanan
bawah, tengah hingga lateral atas yang menutupi sinus phrenicocostalis kanan dan
hemidiafragma kanan. Dari pemeriksaan Echocardiography didapatkan
Pulmonarycapillary wedge pressure (PCWP)28, Systolic vascular resistance (SVR)
2846,97, Mean Pressure Artery Pulmonary (mPAP) 43,9, regurgitasi trikuspid dan
pulmonal ringan, Left atrium ventrikeldilatasi, right atrium Ventricle dilatasi dengan
hipertensi pulmonal ringan (Estimated Pulmonary Artery Sistolic Pressure / EST
PASP 51,04 mmHg). Trombus ventrikel kiri ukuran 3,6 x 2,2 cm, Fungsi sistolik
ventrikel kiri menurun (HF-REF 24 %) dan fungsi sistolik ventrikel kanan normal.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penunjang, pasien
didiagnosis dengan Decomp cordis functional class IV + CAD OMI Anterior + light
thrombus + Hepatopati kongestif + efusi pleura kanan + AKI + hipoalbumin. Pasien
dirawat mendapatkan terapi oksigen nasal canule 3 liter per menit, diet kalori tinggi
2100 kkal / hari, protein 1,2 g / kg / hari, rendah garam, pembatasan cairan 500-1000
ml / hari, furosemide pump 5mg/jam, clopidogrel 1x75 mg, warvarin 1x4mg, ramipril
1x2,5mg, spironolakton 1x25mg, ISDN pump 1mg/jam, N-acetyl cysteine 3x 200mg,
evakuasi cairan pleura di ok paru apabila stabil. Planing diagnose, Anti-HCV, USG
abdomen bilastabil, smear cairan pleura, kultur cairan pleura, bilirubin direct,
bilirubin total serial, Analisa gas darah.
Pada hari ketiga pasien pindah ruangan, sesak berkurang, distensi perut
berkurang dan edema kaki berkurang. Keadaan umum cukup, GCS 4-5-6,
tekanandarah 100/60 mmHg, nadi 96 x / menit, pernapasan 22x / menit, suhu aksila
36,5˚C. Output urin adalah 1500 ml / hari. Hasil laboratorium adalah Hb 14,0 g/dL,
Hct 39,6 /mm3 , Leukosit 7100 /mm3 , trombosit 190000 / mm3, Natrium 134 mmol/L,
kalium 3,6 mmol/L, klorida 112 mmol/L, bilirubin direk 3,61 mg/dL, bilirubin total
4,65 mg/dL, BUN 21 mg/dL, serum kreatinin 0,94 mg/dL, PPT 24,2, APTT 37,7,
INR 2,45, BGA: pH 7,28 pCO2 69 pO2 126 HCO3 31,0 BE 4,3 SaO2 98%, Anti-
HCV negatif. Pasien dilakukan evakuasi cairan pleura (350 ml, transudate, Analisa
cairan pleura pH 8, WBC-BF 0,154, RBC-BF 0,001, MN# 0,150, PMN# 0,004, MN
97,4%, PMN 2,6%). Pasien mendapat terapi injeksi furosemide 20 mg tiap 8 jam,
candesartan tablet 16 mg tiap 24 jam, clopidogrel tablet 75 mg tiap 24 jam, bisoprolol
tablet 1,25 mg tiap 12 jam, ISDN tablet 5mg tiap 8 jam, spironolakton 50 mg tiap 24
jam, Ramipril tablet 2,5mg tiap 24 jam, simvastatin tablet 20mg tiap 24 jam, warfarin
tablet 4mg tiap 24 jam. Pasienrencan USG abdomen, smear cairan pleura, kultur
cairan pleura
Pada hari keempat perawatan pasien tidak mengeluh sesak, edema kaki
membaik. Keadaan umum cukup, GCS 456.Tekanan darah 100/60 mmHg, nadi 88
kali permenit teratur, pernapasan 20 kali per menit, suhu axilla 36,50 C. pH 7,31,
pCO2 64, pO2 148, HCO3 5,7, BE 4,3, SaO2 98%, produksi urine 1400 cc/24jam.
Gene Xpert mtb/rif : MTB not detected, ADA test ( Adenosine Deaminase ) 13,3 U/L
( 0-30 U/l), USG abdomen Hepar yang membesar, sudut tajam, tepi rata, intensitas
echo parenchyma tampak normal homogen, tak tampak pelebaran IHBD/EHBD,
diameter V.porta +/- 0,87 cm, diameter V.hepaticamelebar +/- 2,3 cm, tak tampak
nodul/kista/massa, diameter vena cava inferior +/- 2,02 cm; velocity vena porta +/-
12,5 cm/s, resistive index arteria hepatikameningkat +/- 0,83 ( N 0,55-0,7
)tidakadadilatasisaluranempedu intra atau ekstra hati, Ginjal, limpa dan pankreas
dalam batas normal; kesan USG abdomen menyokong gambaran congestive
hepatopathy dengan gambaran dilatasi vena hepatica, vena cava inferior, peningkatan
resistive index a. hepatica, penurunan velocity portal vein, ascites, efusi pleura kanan.
Pada hari ketujuh perawatan pasien tidak mengeluh sesak, edema kaki
membaik. Tanda vitalnya stabil dengan perfusi yang baik, sesak napas berkurang,
produksi dahak berkurang (dahak keputihan), edema kaki membaik. Hasil
laboratorium hemoglobin 13,1 g/dl, hematocrit 41,2%, leukosit 6300 /mm3, trombosit
198.000 /mm3, neutofil 61 %, SGOT 43 U/L, SGPT 33U/L, bilirubin direk 1.4 mg/dl,
bilirubin total 2.3 mg/dl, Natrium 140 mmol/l, K 3.5 mmol/l, klorida 109 mmol/l,
BUN 19 mg/dl, kreatinin 1,02 mg/dl, pH 7,3, pCO2 64, pO2 149, HCO3 35,7, BE
9,4, SaO2 98%. Terapi sama seperti sebelumnya
Pada hari kedelapan pasientidak ada keluhan, keadaanumumcukup, tanda
vital yang stabil dan edema minimal di kaki, pasien dapat berjalan di sekitar tempat
tidur tanpa gejala sesak. Echocardiography hemodinamik evaluasi PCWP 12,58
mmhg, SVR 2128.85, MPAP 41,65 mmhg, PVR 977.04, sitologi cairan pleura tidak
didapatkan sel ganas, kultur cairan pleura tidak ditemukan bentukan kuman.
Diagnosa pasien adalah CAD OMI anterior luas + DCFC II + LV thrombus +
hepatopati kongesti + efusi pleura dekstra + AKI. Pasien dipulangkan dengan obat
oral furosemide tablet 40 mg tiap 12 jam, candesartan tablet 16 mg tiap 24 jam,
bisoprolol tablet 2,5 mg tiap 24 jam, spironolakton tablet tiap 24 jam, atorvastatin
tablet 20 mg tiap 24 jam, warvarin 4 mg tiap 24 jam
DISKUSI
The Eropean Society of Cardiology (ESC) secara klinis mendefinisikan gagal
jantung adalah sebagai sindroma dengan gejala khas berupa sesak nafas, edema
tungkai, fatique dan tanda khas berupa peningkatan tekanan vena jugularis, ronki
paru, dan pergeseran denyut apeks. Gagal jantung dapat disebabkan oleh banyak hal,
menurut data National Heart Failure Audit penyebab gagal jantung didominasi oleh
hipertensi (53%), penyakit jantung iskemik (47%), diabetes (28%), dan penyakit
jantung katub (21%). (MC Murray et al, 2012; NICOR, 2012)
Penyakitjantung coroner merupakan factor resiko yang paling penting
terjadinya gagal jantung. Pada 7 sampai 8 tahun setelah serangan infark miokard,
lebih dari sepertiga penderita penderita tersebut akan mengalami gagal jantung
terutama pada mereka yang mengalami disfungsi ventrikel kiri pada saat terjadi
serangan jantung. Pasca infark miokard akut, terjadi penurunan fungsi miosit serta
fibrosis miokardium dan dilatasi ventrikel kiri. Hasil aktivasi neurohormonal dan
remodeling ventrikel kiri menyebabkan fungsi miokardium yang masih viable
menurun secara progesif (Sutton, 2000). Apabila fungsi sistolik masih baik, maka
diasumsikan bahwa sebagian besar pasien yang memiliki tanda dan gejala gagal
jantung diakibatkan abnormalitas fungsi diastolic. Meskipun memiliki fungsi sistolik
yang normal, berbagai faktor (iskemik miokard, jenis kelamin, usia, dan hipertensi)
berkontribusi terhadap kelainan pada fungsi diastolic ventrikel kiri sehingga
menyebabkan peningkatan tekanan pengisian dan gangguan forward output. (Gandi,
2001).
Diagnosa gagal jantung dimulai dengan anamnesis dan dilanjutkan dengan
pemeriksaan fisik. Anamnesa riwayat penyakit dapat digunakan untuk
memperkirakan penyebab gagal jantung. Pada awal gagal jantung, sesak nafas
muncul saat pasien beraktivitas berat, tetapi dengan memburuknya gagal jantung,
sesak nafas dapat muncul walaupun dengan aktivitas lebih ringan. Sesak nafas dapat
muncul dengan bentuk lain, yaitu orthopnea merupakan sesak nafas yang muncul saat
berbaring (supine position), sehingga pasien memerlukan beberapa bantal untuk tidur
(supine position). Gejala khas gagal jantung : sesak nafas saat istirahat atau aktivitas,
kelelahan, edema tungkai dan tanda khas gagal jantung : takikardi, takipnu, ronkhi
paru, efusi pleura, peningkatan tekanan vena jugularis, edma perifer, hepatomegali.
(MCMurray et al, 2012; PERKI, 2015)
Pasien menunjukkan gejala dan tanda khas gagal jantung (sesak nafas saat
istirahat atau aktivitas, kelelahan, edema tungkai, takikardi, takipnu, efusi pleura,
peningkatan tekanan vena jugularis, edma perifer, hepatomegali), sehingga pasien
didiagnosa gagal jantung disebabkan penyakit jantung koroner
Pemeriksaan elektrokardiografi harus dikerjakan pada semua pasien diduga
gagal jantung. Beberapa variasi elektrokardiografi (EKG) abnormal pada jantung
adalah gelombang Q patologis, Right/Left bundle branch block, block
Atrioventrikular, hipertrofi atrium kiri/kanan, aritmia atrial maupun ventrikel. Foto
thoraks dapat mendeteksi kardiomegali, kongesti paru, efusi pleura dan dapat
mendeteksi penyakit atau infeksi paru yang menyebabkan atau memperberat sesak
nafas. Pemeriksaan laboratorium rutin : darah lengkap, LFT, RFT, GFR, dan
urinalisis. Pemeriksaan tambahan lain dipertimbangkan sesuai tampilan klinis.
Pemeriksaan peptid dan natriuretik digunakan untuk diagnosis, membuat keputusan
merawatat atau memulangkan pasien, dan mengidentifikasi pasien yang beresiko
mengalami dekompensasi. Kadar peptide natriuretik yang tetap tinggi walaupun
terapi optimal mengindikasikan prognosis buruk Ekokardiografitranstorasik
merupakanmodalitas diagnostic penting yang dianjurkan oleh ESC guidelines.
Ekokardiografi transtorasik juga dapat digunakan untuk menentukan penyebab gagal
jantung, memberikan nilai semikuantitatif fungsi sistolik/diastolic ventrike lkiri,
kelainan katup serta tekanan sistolik arteri pulmonalis. Abnormalitas ekokardiografi
yang sering di jumpai pada gagaljantung : pengukuran fraksi ejeksi ventrikelkiri
(menurun<40%/ fungsi diastolic), fungsi ventrikel kiri global dan fokal (Akinesis,
hipokinesis, diskinesis), End diastolic diameter ( meningkat > 55mm), End systolic
diameter (meningkat>45mm), Fractonal shortening (menurun<25%), ukuran atrium
kiri (meningkat>40mm), Ketebalan ventrikel kiri (hipertropi>11-12mm), Struktur dan
fungsi katub (stenosis atau regurgitasi katup, terutama stenosis aorta dan isufisiensi
mitral), Aortik autoflow velocity time integral (menurun<15 cm). (Hess OM et al,
2008; Garcia JM, 2010; MC Murray et al, 2012)
Dari pemeriksaan penunjang, diagnosapasien adalah CAD OMI anterior
luas + DCFC IV + LV thrombus + efusi pleura dekstra
Menurut kriteria Framingham gagal jantung : kriteria mayor : Orthopnea
atau Paroxysmal nocturnal dyspnea, distensi vena jugularis, rales, foto polos toraks
kardiomegali, edema paru akut, gallop S3, peningkatan JVP > 16 cm H2O, refluks
hepatojugular, penurunan berat badan > 4,5 kg dalam 5 hari dengan terapi yang
respon, Kriteria minor : edema tungkai bilateral, batuk malam hari, dyspnea d’ effort,
hepatomegaly, efusi pleura, penurunan kapasitas vital 1/3 darinilai normal,
takikardi(>120 kali/menit). Diagnosis gagal jantung jika memenuhi 2 kriteria mayor
atau 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor. (Dar O et at. 2008)
Pada pasien didapatkan 4 kriteria mayor (orthopnea, peningkatan JVP,
refluks hepatojugular, fototorak, kardiomegali) dan 6 kriteria minor (orthopnea,
kardiomegali, edema tungkai bilateral, hepatomegaly, efusi pleura, takikardi)
Menurut kriteria yang dikembangkan oleh New York Heart Association
(NYHA), gagal jantung dikelompokkan dalam empat kelas fungsional tergantung
derajat keparahan gejala dan besarnya aktivitas : (I). Kelas I : Tidak ada pembatasan
aktivitas fisik biasa, tidak menimbulkan rasa capek, sesak atau nyeri angina
(asimtomatik). (II). Kelas II : Pembatasan ringan terhadap aktivitas. Aktivitas fisik
biasa menimbulkan gejala (ringan). (III). Kelas III : Pembatasan berat terhadap
aktivitas. Pada keadaan istirahat terasa nyaman, namun aktivitas fisik yang ringan
menimbulkan gejala (sedang). (IV). Kelas IV : Tidak dapat melakukan aktivitas tanpa
menimbulkan rasa tidak nyaman. Timbul gejala ketika istirahat (berat). (MCMurray
et al, 2012)
Pada pasien didapatkan sesak nafas ketika istirahat sehingga pasien
dikategorikan Fungsionalkelas IV WHO
Pengelompokan gagal jantung yang sering digunakan adalah berdasarkan
ejection fraction (EF). Dalam pengelompokan ini gagal jantung dibagi dalam gagal
jantung dengan EF rendah (Heart Failure with Reduced Ejection Fraction, HF-REF)
disebut juga gagal jantung sistolik dengan batasan EF <35%. Gagal jantung sistolik
mencermnkan keadaan melemahnya pompa jantung dan ketidak mampuan jantung
mencukupi curah jantung (Cardiac Output, CO) tubuh. Kelompok kedua adalah Heart
Failure with Preserved Ejection Fraction, (HF-PEF) yaitu sindroma klinis gagal
jantung dengan EF normal atau mendekati normal (EF≥35%), disertai fungsi diastolic
abnormal. Istilah gagal jantung diastolic digunakan pada penderita dengan EF > 50%
disertai tanda dan gejala peningkatan air serta penurunan perfusi di organ / jaringan
tubuh. Gagal jantung kiri adalah bila didapatkan tanda klinis yang dominan berupa
kongesti cairan pada paru (edema paru). Sedang gagal jantung kanan merupakan
sindroma klinis yang ditandai kongesti pada jaringan seperti distensi vena jogularis,
edema perifer, asites, dan pembengkakan di organ di abdomen. (Zile MR et al. 2011)
Pada pasien ejection fraction rendah 28 % (Heart Failure with Reduced
Ejection Fraction, HF-REF < 35%)
Tatalaksana gagal jantung dengan menurunnya fraksi ejeksi yaitu, Diuretik
digunakan pada saat over load. Diuretik menurunkan volume intravaskuler dan
menurunkan venus return kejantung. ACE Inhibitor (ACEI) menyebabkan
menurunnya volume intravaskuler dan meningkatkan perbaikan gejala kongesti paru
dan sistemik. Angiotensin Reseptor blockers (ARB) diberikan pada pasien gagal
jantung yang tidak bias mentoleransi ACEI (akibat efek samping batuk ACEI).
Aldosteron antagonist sebagai ventricular remodeling. Vasodilator, Venous
vasodilator (contohnyanitrat) meningkatkan kapasitansi vena dan danmenurunkan
venous return kejantung dan menurunkan preload ventrikel kiri, tekanan hidrostatik
kapiler paru juga turun dan kardiak output tidak menurun. Beta-Blockers memiliki
keuntungan, termasuk meningkatkan cardiac output, menurunkan perburukan
hemodinamik, dan meningkatkan kelangsungan hidup. (MCMurray et al, 2012;
PERKI, 2015)
Pasien ini mendapat terapi furosemide pump 5mg/jam, clopidogrel 1x75 mg,
warvarin 1x4mg, ramipril 1x2,5mg, spironolakton 1x25mg, ISDN pump 1mg/jam, N-
acetyl cysteine 3x 200mg. Pada saat rawat jalan pasien mendapat obat oral
furosemide tablet 40 mg tiap 12 jam, candesartan tablet 16 mg tiap 24 jam,
bisoprolol tablet 2,5 mg tiap 24 jam, spironolakton tablet tiap 24 jam, atorvastatin
tablet 20 mg tiap 24 jam, warvarin 4 mg tiap 24 jam
Congestive hepatopathy dan ischemic hepatitis adalah penyakit hati akibat
penyakit jantung. Backward failure menjadi mekanisme yang mendasari congestive
hepatopathy sedangkan forward failure adalah mekanisme yang mendasari ischemic
hepatitis. Pada gagal jantung kronis teradi mekanisme kegagalan mundur backward
failure yaitu kondisi kerusakan jantung yang berkembang ke arah berlawanan dari
aliran darah di jantung. Pada keadaan ini teradi: (1) Peninkatan tekanan vena karena
disfungsi ventrikel kanan mengakibatkan atrofi hepatosit dan edema perisinusoid
sehingga menggangu difusi oksigen dan nutrien ke hepatosit. Peninkatan tekanan
pengisian jantung kanan ditransmisikan ke sinusoid hati sentrilobular yang akan
menekan struktur lobulus yaitu kanalikuli dan duktus biliaris. Hal ini memicu
kerusakan duktus biliaris karena merusak sel endotel dan ikatan kuat intrahepatosit
yang memisahkan rongga ekstravaskuler dari kanalikuli biliaris, sehingga terjadi
kolestasis. Ditambah terjadinya peningkatan pembentukan limfe hati yang juga akibat
kegagalan mundur akan menghasilkan asites saat laju produksinya melebihi
kemampuan drainase. (2) Terjadinya stagnasi aliran darah trombosis di sinusoid
venula dan jalur vena porta berlanjut timbulnya aktivasi fibroblas dan deposisi
kolagen akhirnya teradi fibrosis hati (Naschit et al, 2000)
Pada peningkatan enzim-enzim hati perlu dipertimbankan kemunkinan gagal
jantung. Anamnesis, pemeriksaan fisik, laboratorium sangat diperlukan untuk
diagnosis dan terapi pada penyakit hati. Pemeriksaan radiologis sangat membantu
untuk menegakkan diagnostik. Etiologi penyakit hati di klasifikasikan sebagai
hepatoseluler, kolestatik, dan campuran. Pada penyakit hepatoseluler didominasi
cedera hati, keradangan, nekrosis. Pada kolestatik didominasi penghambatan aliran
empedu. Pada campuran didapatkelainan hepatoseluler maupun kolestasis (Ghany&
Hoofnagle, 2010)
Pada pasien ini, penyakit hati di klasifikasikan kedalam campuran yang
memiliki fitur hepatoseluler dan kolestatik (AST 215 U/L, ALT 173 U/L, albumin 2,9
g/dl, bilirubin direk 6,8 mg/dl, bilirubin total 9,24 mg/dl)
Pasien dengan penyakit hati dapat datang kedokter hanya dengan keluhan
sedikit, bahkan dapat tanpa keluhan sama sekali, atau dengan keluhan penyakit lain.
Keluhan yang terakhir ini dapat timbul tidak khas sehingga kita menduga bukan
penyakit hati yang jadi penyebabnya. Gejala penyakit hati yang khas meliputi kulit
berwarna kuning (ikterus atau jaundice), lemah, rasa capai, mual, gatal, anoreksia,
nyeri perut kuadran kanan atas, berak hitam seperti petis, muntah darah, urin gelap.
Pada pemeriksaan fisik banyak kasus yang didapatkan normal. Kecuali pada penyakit
akut, berat dan stadium lanjut. Pemeriksaan fisik penting untuk mengetahui adanya
gagal hati, hipertensi portal, dan stadium dekompensata. Pada pemeriksaan fisik
tanda khas penyakit hati : ikterus, hepatomegali, nyeri hati, splenomegali, spider
naevi, erythrma palmaris, dan eksoriasi. Tanda pada penyakit lanjut : atropi otot,
asites, edema, kolateral , hepatic fetor, asterixis, mental confusion, stupor and coma
(Howdle, 2006; Ghany& Hoofnagle, 2010).
Pasien menunjukkan gejala icterus, kelelahan, distensi abdomen dan mual,
pada pemeriksaan fisik di temukan icterus, asites, edema, dan hepatomegali. Tidak
ditemukan tandagagal hati, hipertensi porta dan dekompensasihati
Penyebab paling umum penyakit hati akut adalah virus hepatitis (hepatitis
A), cedera hati yang disebabkan oleh obat, kolangitis, dan penyakit hati alkoholik.
Biopsi hati biasanya tidak diperlukan dalam diagnosis dan penatalaksanaan penyakit
hati akut, kecuali bila diagnosis tetap tidak jelas meskipun dilakukan pemeriksaan
klinis dan laboratorium menyeluruh. Penyebab paling umum dari penyakit hati kronis
adalah hepatitis B kronis, hepatitis C kronis, alkoholisme, penyakit perlemakan hati
non alkoholik (NAFLD= nonalcoholic fatty liver disease), Autoimmune hepatitis,
primary sclerosing cholanitis, sirosisbilier primer (PBC), hemochromatosis dan
Wilson disease. Biopsi hati memainkan peran penting dalam diagnosis hepatitis
autoimun, sirosis bilier primer, NAFLD, alkoholisme danWilson disease (Ghany&
Hoofnagle, 2010).
Pada pasienini bukan penyakit hati primer, pasien tidak alkoholik, tidak ada
obat hepatotoksik, tidak ada tanda dekompensasi hati, HBsAG negative, Anti HCV
negative, tidak ada pelebaran IHBD/EHBD
Pada congestive hepatopathy sering ditemukan peningkatan parameter
biokimia fungsi hatise besar 2-3 kali batas normal atas termasuk AST (aspartate
aminotransferase), ALT (alanine aminotransferase), LDH (Lactate Dehydrogenase),
GGT (Gamma Glutamyl Transpeptidase) dan ALP (alkaline phosphatase).
Hiperbilirubinemia akibat peningkatan bilirubin terkonjuasi dan tidak terkonjuasi
juga sering didapat, kadar bilirubin total jarang mencapai 3 mg/dl. Peninkatan GGT,
ALP dan bilirubin juga menunjukkan kolestasis. Derajat keparahan kolestasis
berhubungan dengan keparahan gagal jantung. Kadar albumin serum dapat turun
pada 30-50% pasien dengan gagal jantung kongestif, tetapi jarang sampai di bawah
2,5 g/dL, dan biasanya banyak terjadi pada usia yang lanjut. Hipoalbumin pada gagal
jantung biasa disebabkan oleh inadekuat nutrisi, hemodilusi dan inflamasi. (Alvarez
& Mukherjee, 2011; Burroughs, 2012).
USG adalah modalitas yang berguna untuk penilaian sifat hemodinamik hati
pada pasien dengan congesti hepatopati. USG dopler adalah modalitas yang paling
efektif dan cepat untuk menilai arah aliran darah dan kecepatan dalam pembuluh
darah hati. USG juga member manfaat memungkinkan analisis perubahan distensi
vaskuler dan aliran darah sebagai respon terhadap maneuver provokatif. Temuan
umum dari USG dari congestive hepatopati termasuk dilatasi vena cava inferior, vena
hepatica, peningkatan resistensi arteri hepatic > 0,7 (Resistive indeks, RI 0,55-0,7)).
Vena hepatic kanan berdiameter kurang dari 5,6-6,2 mm, melebar sebagai respons
terhadap peningkatan tekanan vena. Tingkat dilatasi berkorelasi dengan tingkat
keparahan gagal jantung. Penatalaksanaan pada pasien dengan hepatopati kongestif
tentu saja dengan penatalaksanaan terhadap penyakit jantung yang mendasarinya.
(Dichtl, 2005; Andrew et al, 2018).
Pasien didiagnosa dengan kongesti hepatopati akibat gagal jantung, karena
pasien datang dengan tanda dan gejala gagal jantung kongesti. Fungsi hati membaik
setelah penyebab congestive hepatopathy membaik
RINGKASAN
Di laporkan seorang laki 44 tahun yang menderita gagal jantung datang
kerumah sakit dengan keluhan sesak ketika istirahat dan juga bermanifestasi sebagai
gangguan fungsi hati karena kongesti hati. Dengan keluhan sesak ketika istirahat.
Etiologi gagal jantung pada pasien adalah penyakit jantung coroner lama yang oleh
pasien sendiri tidak mau mendapat terapi tindakan Percutaneous Coronary
Intervention (PCI). Pasien mendapat terapi untuk gagal jantungnya (Tatalaksana
gagal jantung dengan menurunnya fraksi ejeksi). Tidak ada terapi khusus untuk
kongesti hepatopati. Pasien membaik setelah 8 hari perawatan di rumah sakit dan test
fungsi hati membaik setelah gagal jantung membaik. Pasien di pulangkan dan kontrol
rutin di poli rawat jalan
DAFTAR PUSTAKA
Alvarez AM, Mukherjee D, 2011. Liver abnormalities in Cardiac Diseases and Heart
Failure. International Journal of Angiology 20(3):135-142
Andrew Xanthopoulos, MD, PHD. Randall C. Starling, MD, MPH, Takeshi Kitai,
MD, PHD, Filippos Triposkiadis, MD, PHD. Heart Failure and Liver Disease.
Cardiohepatic Interaction. https: doi.org/10.1016/j.jchf.2018.10.007
Bui AL, Horwich TB, Fonarow GC, 2011. Epidemiology and risk profile of heart
failure, Nat Rev Cardiol;8(1): 30-41.
Burroughs AK, 2012. The hepatic Artery, Portal Venous System and Portal
Hypertension :The Hepatic Veins and Liver in Circulatory Failure. Sherlock’s
Diseases of the Liver and Biliary System 12 th ed. Wiley-Blackwell : p 197-202
Dar O, Cowie MR. The epidemiology and diagnosis of heart failure in the outpatient
setting. Elsevier 2005; H1115-1129
Dichtl W, Vogel W, Dunst KM, et al, 2005. Cardiac hepatopathy before and after
heart transplantation. TransplInt ;18:697–702
Garcia JM. Heart failure bench to bedside. Humana press 2010; 3-14
Gandi SK, Powers JC, Nomeir AM, Fowle K, Kitzman DW, Rankim KM, Little WC.
(2011). The Pathogenesis Of Acute Pulmonary Edema Associated With
Hipertension. N Engl J Med. 344: 17-22
Ghany M, Hoofnagle JH, 2010. Approach to the Patient with Liver Disease in
Harrison’s Gastroenterology & Hepatology Ed Longo, Fauci. The McGraw
Hills Co. pp 338–346.
Hess OM, Carrol JD. Clinical assessment of heart failure in Braundwald’s heart
disease a textbook of cardiovascular medicine. Philadelpia. Saunders Elsevier.
2008; 561-581
Howdle PD, 2006. History and Physical Examination of Patient with Liver Disease in
Comprehensive Clinical Hepatology 2nd edition Ed. Bacon, O’Grady,
Bisceglie, Lake. Mosby Elsevier pp 65-72
MCMurrayJJ, Adamopoulos S, Anker SD, Auricchio A, Bohm M, Dickstein K, Valk
V, Fillippatos G, Fonseca C, Gomez-zancez MA, Jaarsma T, Kober L, Lip GY,
Maggioni AP, Parkhomenko A, Pieske BM, Popescu BA, Ronnevik PK, Rutten
FH, Schwitter J, Severoc P, Stepinska J, Trindade PT, Voors AA,, Zannad F,
Zeiher A. ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic
heart failure 2012: The Task Force for the Diagnosis and Treatment of Acute
and Chronic Heart Failure 2012 of the European Society of Cardiology.
Developed in collaboration with the Heart Failure Association (HFA) of the
ESC. Eur Heartj, DOI: 10.1093/ eurhearj/ ehs 104
Naschit JE, Slobodin G, Lewis RJ, Zuckerman E, Yeshurun D. Heart diseases
affectin the liver and liver diseases affectin the heart. Am Heart J. 2000 1401:
111-20.
NICOR. The National Institute For Cardiovascular Outcomes Research (2012). ‘
National Heart Failure On Audit April 2010-March 2011”. National Institute
For Cardiovascular Outcomes Research (NICOR). The Institute of
Cardiovascular Science. University College London.
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. 2015. Pedoman
Tatalaksana Gagal Jantung.
Sutton MG, Sharpe N. ( (2000). Left Ventricular Remodeling After Myocardial
Infarction: Pathophysiology And Therapy. Circulation. 101 : 2981-2988
Zile MR, Baicu CF. Alterations in Ventricular Function : Diastolic Heart Failure. In:
Mann DL, Editor: Heart Failure Second Edition: A Companion to
Braundwald’Heart Disease: Missouri: Saunders; 2011. P. 2013-2031.

Anda mungkin juga menyukai