Anda di halaman 1dari 18

Laporan Kasus

Seorang Wanita dengan Intoksikasi Digitalis

Oleh:
Gunawan Yoga

Pembimbing:
Prof. DR. Dr. Reggy Lefrandt Sp JP(K)

DEPARTEMEN KARDIOLOGI DAN KEDOKTERAN VASKULAR


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SAM RATULANGI
MANADO
2016

Pendahuluan
Digitalis atau digoksin merupakan golongan obat yang banyak digunakan
untuk gagal jantung dengan/atau fibrilasi atrial. Digoksin merupakan satu-satunya
obat oral inotropik positif yang tidak memiliki efek meningkatkan laju jantung.
Digoksin merupakan obat yang sangat ideal terutama pada negara-negara
berkembang menimbang harganya yang murah dan mudah didapat. Berbagai studi
menunjukkan penggunaan digoksin yang tepat dapat memberikan perbaikan klinis
dengan menurunkan angka hospitalisasi pada gagal jantung kronis. Digoksin
memiliki rentang terapeutik yang sempit sehingga beresiko menyebabkan overdosis
yang menyebabkan intoksikasi. Prevalensi intoksikasi digoksin di US sekitar 1%
pada pasien rawat jalan dan 0.4% pada pasien rawat inap, yang mendapat peresepan
digoksin dengan perkiraan angka kematian sekitar 0.6%. Sebagian besar pasien yang
mengalami intoksikasi berusia diatas 55 tahun, terutama diatas 71 tahun. Diagnosis
utama pada intoksikasi mengacu pada pemeriksaan kadar serum digoksin (SDC),
namun seringkali ketersediaanya tidak luas sehingga anamnesa, pemeriksaan fisik
dan elektrokardiografi merupakan modalitas utama dalam diagnosis-nya pada daerah
yang berkembang, sedangkan prinsip penanganannya pada perbaikan hemodinamik,
pencegahan absorbsi gastrointestinal lebih lanjut, penggunaan antidot serta terapi
terhadap komplikasi dan kelainan penyerta. Berikut akan dilaporkan seorang wanita
tua dengan gagal jantung yang mendapat digoksin dan mengalami intoksikasi kronis
setelah penggunaan 2 bulan yang ditangani secara holistik hingga tercapai perbaikan
klinis yang signifikan.

Laporan Kasus

Seorang wanita, Ny. YD, usia 78 tahun, ras asia, pekerjaan ibu rumah tangga,
diantar ke instalasi gawat darurat RS Aloei Saboe Gorontalo dengan kesadaran
menurun. Dari heteroanamnesa didapatkan kesadaran menurun dirasakan oleh
keluarga sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit (SMRS), diawali setelah buang air
kecil lalu pasien merasa pusing berputar, penglihatan kabur, mual-muntah 2 kali sisa
makanan dan cairan, dan dada berdebar-debar, keluhan seperti ini tidak pernah
dirasakan sebelumnya. Setelah beberapa saat penurunan kesadaran disertai dengan
kelemahan seluruh anggota gerak, dan saat dipanggil atau diberi rangsangan nyeri
pasien tidak memberi respon. Riwayat penyakit dahulu hipertensi, dan pernah berobat
sebelumnya karena sesak nafas berulang terutama jika beraktivitas kurang lebih 2
bulan SMRS, riwayat saat ini sedang mengkonsumsi obat; kaptopril 1x25mg ,
furosemide 1x40mg, dan digoksin 1x0.25mg yang sudah rutin sejak 2 bulan SMRS.
Pada pemeriksaan fisik, pasien tampak lemas, kesadaran menurun GCS 9
(E3V4M2), terkadang mengerang, berat badan 40kg, tinggi badan 150cm, BMI 17.78
kg/m2. Kondisi umum tampak sakit berat, nadi 20-30 kali/menit ireguler, tekanan
darah 160/100 mmHg, suhu badan 36,5 C dan pernafasan 18 kali/menit dengan
saturasi oksigen 92%. Konjungtiva tidak anemis, sclera tidak ikterik, tekanan vena
jugular 5+3 cm, turgor kulit menurun. Pada pemeriksaan dada simetris, iktus kordis
teraba pada sela iga V linea mid-klavikularis sinistra, perkusi batas jantung kiri pada
ruang sela iga V linea midklavikularis sinistra, sedangkan batas jantung kanan 1 jari
lateral linea parasternal dekstra, pada auskultasi bunyi jantung I dan II normal, tidak
ditemukan adanya bising jantung, BJ III dan IV tidak terdengar. Pada pemeriksaan
paru pernafasan vesikular, tidak ditemukan adanya ronkhi. Pada pemeriksaan
abdomen tampak datar, lemas, hepar dan lien tidak teraba, bising usus normal
10x/menit. Ekstrimitas teraba hangat, tidak terdapat jari tabuh dan edema. Tidak
tampak kecurigaan adanya lateralisasi.

Pemeriksaan elektrokardiografi (EKG) awal pertama menunjukkan bradiaritmia


dengan gambaran sinus arrest dengan laju ventrikel 20x/menit, axis QRS 80o,
gelombang Q pada sandapan V1-V4, ST depresi downslopping pada sandapan V5,
horizontal slopping pada V6, I, dan AVL. Gambaran EKG serial menunjukkan
bradiaritmia dengan total AV-blok dengan morfologi yang sama dengan EKG
sebelumnya, sehingga disimpulkan suspek intoksikasi digitalis dengan diffensial
diagnosa(DD) iskemia miokard DD proses sentral + old myocard infarction anteroseptal segments + tall T wave suspek hiperkalemia.
Pada pemeriksaan laboratorium awal didapatkan kadar hemoglobin 12,5 g/dL,
leukosit 8000/mm3, trombosit 172.000/L, SGOT 38 u/L, SGPT 38 u/L, kreatinin
1,47 mg/dL (GFR 33,8 ml/menit), ureum 39 mg/dL, gula darah sewaktu 106 mg/dL,
asam urat 6,5 mg/dl, total kolesterol 170 mg/dL, LDL 98 mg/dL, HDL 40 mg/dL,
trigliserida 159 mg/dL, natrium 130 mmol/L, kalium 4,87 mmol/L, klorida 104.5
mmol/L. Produksi urin saat 24 jam awal tidak ada.
Diagnosis klinis pada saat itu mengarah pada suatu penurunan kesadaran et causa
bradiaritmia dengan gangguan hemodinamik, dengan etiologi suspek suatu
intoksikasi digitalis kronis dengan diagnosis diferensial (DD) iskemia miokard atau
iskemia cerebral + gagal jantung kronis et causa penyakit jantung koroner (infark
miokard lama segment anteroseptal) + anuria ec susp gagal ginjal akut pre-renal dd
kronis + sindrom dispepsia.
Penangan awal pasien diberikan oksigen masker 60% (6 liter per menit) hingga
tercapai saturasi > 95%, loading cairan 500cc dilanjutkan lanjut 1000cc/24jam,
injeksi sulfat atropin 0.5 mg dilanjutkan dengan pemberian dobutamin dosis 5-10
mcg/kg/menit, aminophillin iv 20 mg/jam, tablet salbutamol 3x4mg, clopidogrel
1x75mg, ranitidin iv 2x150mg, preparat activated charcoal-attapulgite 3x1 tablet,
diberikan diet cair tinggi kalori tinggi protein 6x200cc (@300kkal).
Pada perawatan hari ke-2 didapatkan perbaikan kesadaran GCS 12 (E3V4M5),
pernafasan spontan, selama perawatan muntah 1 kali, hemodinamik relatif tetap,
tekanan darah 140/70, nadi 30x/menit, SpO2 98% (O2 60%), pernafasan 14x/menit,
4

produksi urin 400cc/24 jam (diuresis 0.4cc/kg/jam). Pemeriksaan fisik tidak


didapatkan perubahan yang signifikan, turgor kulit cukup, pemeriksaan jantung dan
paru tetap, ekstrimitas tetap. Diagnosis klinis tetap penurunan kesadaran et causa
bradiaritmia dengan gangguan hemodinamik, dengan suspek intoksikasi digitalis
kronis DD iskemia miokard atau iskemia cerebral + gagal jantung kronis et causa
penyakit jantung koroner (infark miokard lama segment anteroseptal) + sindrom
dispepsia. Terapi dilanjutkan dengan pemberian dobutamin dosis 5-10 mcg/kg/menit,
aminophillin iv 20 mg/jam, tablet salbutamol 3x4mg, clopidogrel 1x75mg, ranitidin
iv 2x150mg, diet cair tinggi kalori tinggi protein 6x200cc (@300kkal).
Pada perawatan hari ke-3 didapatkan perbaikan kesadaran GCS 15 (E4V5M6),
pernafasan spontan, selama perawatan muntah (-) dengan perbaikan hemodinamik,
tekanan darah 100/80, nadi 68x/menit, SpO2 98% (oksigen nasal), pernafasan
14x/menit, produksi urin 1200cc/24jam (diuresis 1cc/kg/jam). Pemeriksaan fisik tidak
didapatkan perubahan yang signifikan, turgor kulit cukup, pemeriksaan jantung dan
paru tetap, ekstrimitas tetap. Ekokardiografi menunjukkan dimensi atrium dan
ventrikel kiri dilatasi, fungsi sistolik LV menurun dengan fraksi ejeksi 37% (simpson
biplane), 48% (teich), terdapat hipokinetik berat segmen basal mid anteroseptal,
basal mid anterior, basal mid anterolateral, hipokinetik ringan segmen basal mid
inferoseptal, disfungsi diastolik gangguan relaksasi (E/A<1, E/A<1) dengan rasio
E/E 8, terdapat mitral regurgitasi ringan dengan perkiraan fraksi regurgitasi <30%,
dan jet area <20%. Katup aorta terdapat regurgitasi ringan dengan kalsifikasi pada
semua kuspis, katup trikuspid terdapat regurgitasi ringan, katup pulmonal dalam batas
normal. Doppler RVOTact 89 ms, dengan estimasi rerata tekanan pulmonary arterial
pressure (mPAP) 35 mmHG, TAPSE 1,3 cm. LVOT VTI 9.5cm, diameter LVOT
2cm, dengan perkiraan curah jantung dari doppler ekokardiografi 2,65 L/menit.
Diagnosis klinis post penurunan kesadaran et causa bradiaritmia dengan gangguan
hemodinamik, dengan suspek intoksikasi digitalis kronis dengan DD iskemia miokard
+ gagal jantung kronis et causa penyakit jantung koroner (infark miokard lama
segment anteroseptal) + sindrom dispepsia. Terapi dilanjutkan dengan pemberian
5

dobutamin dosis 5 mcg/kg/menit, aminophillin iv 20 mg/jam, tablet salbutamol


3x4mg, clopidogrel 1x75mg, ranitidin iv 2x150mg, diet lunak tinggi kalori tinggi
protein 1800kkal/hari.
Pada perawatan hari ke-4 kesadaran GCS 15 (E4V5M6) kontak adekuat,
pernafasan spontan, hemodinamik stabil, tekanan darah 110/80, nadi 84x/menit,
SpO2 96% , pernafasan 16x/menit, diuresis 1cc/kg/jam. Pemeriksaan fisik tidak
didapatkan perubahan yang signifikan, turgor kulit normal, pemeriksaan jantung dan
paru tetap, ekstrimitas tetap. Diagnosis klinis post penurunan kesadaran et causa
bradiaritmia dengan gangguan hemodinamik, dengan etiologi intoksikasi digitalis
kronis + gagal jantung kronis et causa penyakit jantung koroner (infark miokard lama
segment anteroseptal) + sindrom dispepsia. Terapi dilanjutkan tablet salbutamol
3x4mg, clopidogrel 1x75mg, ramipril 1x2.5mg, diet tinggi kalori tinggi protein
1800kkal/hari.
Pada perawatan hari ke 5, kesadaran GCS 15 (E4V5M6) kontak adekuat,
mobilisasi (+) mandiri,

pernafasan spontan, hemodinamik stabil, tekanan darah

110/80, nadi 88x/menit, SpO2 96% , pernafasan 16x/menit. Pemeriksaan fisik tidak
didapatkan perubahan, turgor kulit normal, pemeriksaan jantung dan paru tetap,
ekstrimitas tetap. Dengan perbaikan klinis yang cukup adekuat dan stabil, pada
perawatan hari ke 5 pasien diperbolehkan rawat jalan, dengan terapi clopidogrel
1x75mg, ramipril 1x5mg, dan dianjutkan untuk berobat teratur guna optimalisasi
medikamentosa gagal jantung dan penyakit jantung koronernya.

Diskusi
Digitalis atau dikenal dengan digoksin merupakan golongan obat yang banyak
digunakan untuk gagal jantung dengan/atau fibrilasi atrial. Digoksin merupakan satusatunya obat oral inotropik yang tidak meningkatkan angka kematian jangka panjang
pada gagal jantung kronis, dengan efek samping yang sedikit jika digunakan dengan
dosis tepat. Selain itu digoksin mudah digunakan dalam kombinasi dengan obat-obat
gagal jantung lainnya, termasuk dengan golongan penyekat angiotensin, beta-bloker,
6

dan antagonis aldosteron.1 Digoksin merupakan obat yang sangat ideal terutama pada
negara-negara berkembang menimbang harganya yang murah dan mudah didapat. 2
Studi PROVED menunjukkan pasien-pasien gagal jantung dengan fungsi sistolik
menurun yang sebelumnya mendapat digoksin dan dihentikan memiliki peningkatan
resiko 2 kali perburukan gagal jantung, penurunan baik kapasitas aktivitas dan fraksi
ejeksi ventrikel kiri setelah 12 minggu, dibandingkan dengan pasien yang terus
mendapat digoksin.3 Studi lain yaitu DIG trial, dengan sampel 6800 pasien gagal
jantung dengan EF<45%, ditemukan penggunaan digoksin dapat menurunkan resiko
hospitalisasi dan kematian terkait gagal jantung walaupun tidak mengurangi overall
mortality.4 Indikasi penggunaan digitalis untuk gagal jantung menurut pedoman
European Society of Cardiology (ESC) untuk gagal jantung tahun 2012 yaitu untuk
mengurangi resiko hospitalisasi pada pasien gagal jantung dengan irama sinus dan
fraksi ejeksi < 45% yang masih simptomatis walaupun telah mendapat terapi optimal
dan tidak memungkinan mendapat beta-bloker, selain itu digitalis juga dapat
digunakan untuk mengurangi resiko hospitalisasi pada kondisi tersebut (kelas IIb).
Selain itu digitalis dapat juga sebagai obat tambahan beta-bloker untuk kontrol laju
ventrikel pada gagal jantung yang simptomatis (kelas Ib). 5 Penggunaan digoksin
untuk gagal jantung telah menurun dari 80% menjadi 30% kasus dalam 10 tahun
terakhir, dan diperkirakan hanya sekitar 8% pasien yang mendapat digoksin pada saat
rawat jalan (2009).2,6 Pasien ini mendapat digoksin atas indikasi gagal jantung yang
dialami pasien 2 bulan sebelumnya, penggunaan digoksin pada pasien ini jika
mengacu pada rekomendasi ESC untuk gagal jantung mungkin kurang tepat
mengingat penggunaan obat-obat baik untuk gagal jantung dan penyakit jantung
koronernya belum optimal. Onset kerja digoksin oral terjadi setelah 30-120 menit,
dengan waktu paruh 36-48 jam dan mencapai kadar stabil setelah 5-7 hari.19,26
Intoksikasi digoksin merupakan diagnosis klinis berdasarkan temuan klinis
adanya tanda-tanda peningkatan automaticity dan blok AV-node dengan atau tanpa
peningkatan kadar serum digoksin diatas rentang indeks terapi (0.5 0.9 ng/L).
Prevalensi intoksikasi digoksin di US sekitar 1% pada pasien rawat jalan dan 0.4%
7

pasien rawat inap, yang mendapat peresepan digoksin. Studi lain mengatakan
intoksikasi digoksin terjadi pada 48.5 pasien dari 100.000 peresepan. 7,12,18 The
American Association of Poison Control Centers melaporkan 25 kematian dari 3761
kejadin (0.6%) intoksikasi pada tahun 2013.8 Data menunjukkan sebagian besar
pasien yang mengalami intoksikasi pada usia diatas 55 tahun, namun dapat terjadi
pula pada usia muda.9 Studi di Jepang menunjukkan pasien usia tua terutama diatas
71 tahun memiliki resiko besar mengalami toksisitas walaupun tanpa disertai
peningkatan kadar serum digoksin, hal ini masih belum dapat dijelaskan, dan diduga
sebagai dampak perubahan farmakodinamik seiring penambahan usia.10 Umumnya
pasien usia tua khususnya geriatri memiliki komplians pengobatan kronis yang
rendah jika tidak disertai pengawasan, hal ini dapat terkait penurunan fungsi kognitif
yang tidak jarang menjadi masalah baik pengobatan yang tidak efektif ataupun
berlebihan, sehingga penggunaan obat-obatan seperti digoksin pada pasien seperti ini
sangat rentan terjadi intoksikasi karena memiliki rentang dosis terapi yang sempit.
Proses influks natrium saat intoksikasi menyebabkan peningkatan depolarisasi
fase IV, yang menurunkan resting membrane potential threshold, dan meningkatkan
automaticity yang rentan terjadi aritmiadigoksin(pro-aritmik). Sebagian besar kasus
intoksikasi digitalis berupa AV-blok dan ekstrasystole, namun kombinasi dari supresi
resting membrane potential threshold dan eksitasi tersebut sangat memungkinkan
untuk terjadi aritmia jantung.11 Pompa Na-K-ATPase terdapat tidak hanya pada
miosit, namun terdapat pula pada gastrointestinal, sistem saraf dan penglihatan,
sehingga intoksikasi dapat memberikan manifestasi sistemik lain termasuk gangguan
gastro-intestinal, gangguan sistem saraf dan gangguan penglihatan yang bersamaan
dengan gangguan irama jantung.12 Gangguan gastro-intestinal disebabkan oleh
rangsangan nervus vagus dengan gejala yang sering terjadi ialah nausea, mual
muntah, diare, nyeri perut, dan anoreksia, sedangkan gangguan sistem saraf meliputi
letargi, kelemahan, vertigo, dan kebingunan (confusion), sedangkan gejala visual,
tampak gambaran halo berwarna kuning pada sekeliling obyek (xanthopsia),
penglihatan kabur, diplopia, dan scotoma.18 Tanda elektrokardiografi yang khas pada
8

intoksikasi digoksin yang terlihat pada segmen ST-T, adanya bentuk sagging atau
downslopping dengan upward concavity yang juga dikenal dengan reverse tick atau
hockey stick sign, namun tanda ini tidak sensitif pada semua kasus. Tanda lain
adanya gangguan irama, yang dapat berupa bradikardi dengan blok jantung dan/atau
peningkatan automaticity ventrikel. Digoksin juga dapat menyebabkan pemendekan
interval QT pada beberapa kasus.25
Keluhan utama yang membawa pasien ini MRS ialah adanya gejala presinkop disertai dengan penurunan kesadaran yang seringkali merupakan manifestasi
klinis gangguan hemodinamik dari irama bradiaritmia. Pada pemeriksaan terdapat
gangguan gastro-intestinal dan penglihatan yang mendukung suatu gejala sistemik
dari intoksikasi digoksin, tanda lain dari EKG yang mendukung suatu intoksikasi
selain dari bradiaritmia dengan blok, terlihat pada gambaran depresi segmen ST-T
pada lead prekordial, dan pemendekan interval QT. Kemungkinan diagnosis lain pada
pasien ini ialah : 1. suatu proses sentral atau stroke akut yang memberikan gambaran
klinis yang mirip pada awalnya, suatu penurunan kesadaran, peningkatan tekanan
darah dengan faktor faktor resiko yang cukup mendukung, namun adanya bradiaritmia, riwayat penggunaan digoksin, dan tidak ditemukannya adanya lateralisasi
dan reflek-reflek patologis, serta perbaikan kesadaran tanpa disertai defek neurologis
cukup kuat untuk menyingkirkan diagnosis adanya stroke akut; 2. Intoksikasi betabloker atau antagonis kalsium yang kemungkinan sangat kecil dimana pasien tidak
mengkonsumsi obat-obatan golongan tersebut; 3. Penyakit jantung iskemik akut yang
dapat menyebabkan aritmia dengan gangguan hemodinamik, walaupun didukung
dengan faktor resiko yang kuat, hasil pemeriksaan elektrokardiografi adanya depresi
segmen ST dan ekokardiografi yang menunjukkan adanya segmen segmen
hipokinetik pada teritori LAD dan LCX, data klinis meliputi tidak adanya angina
khas, fluktuasi laju jantung, keterkaitan RCA pada ekokardiografi, dan perubahan
morfologi elektrokardiografi serial yang signifikan, yang lebih menunjang bukan
suatu kondisi iskemik yang akut; 4. Hipoglikemia dengan kesadaran menurun, yang

kemungkinannya kecil tanpa didapatkan riwayat diabetes dan penggunaan obat-obat


golongan sulfonilurea sebelumnya.
Intoksikasi digitalis dapat terjadi pada penggunaan akut dengan dosis berlebih
atau pada penggunaan kronis akibat akumulasi kadar digoksin dalam darah.2 Selain
itu dapat disebabkan oleh penurunan toleransi terhadap digoksin, sehingga
memungkinkan terjadi intoksikasi dengan kadar digitalis yang normal.13 Usia tua,
wanita, dan BMI rendah juga memberi kontribusi pada peningkatan kadar serum
digoksin dan meningkatkan resiko toksisitas.14 Eliminasi digoksin sebagian besar
melalui ginjal (60-80%), sehingga gangguan ginjal merupakan faktor resiko kuat
penyebab intoksikasi, faktor lain meliputi gangguan kadar kalium (hipokalemia dan
hiperkalemia), hipomagnesium dan penggunaan obat-obatan lain yang membutuhkan
p-glikoprotein untuk eliminasi misalnya, verapamil, diltiazem, amiodarone,
quinidine,

ketoconazole,

spironolakton.

13,18,19

doxorubicin,

erithromycin,

chlaritomycin,

dan

Pengukuran kadar serum digoksin tidak hanya bermanfaat untuk

menentukan diagnosis intoksikasi digoksin tapi juga dalam penyesuaian dosis terapi
dalam kaitan mengurangi kejadi intoksikasi.15 Dosis efektif penggunaan digoksin
relatif terhadap konsentrasi dalam serum, secara umum nilai rujukan terapi antara 0.51ng/mL, untuk laki-laki antara 0.5-0.8ng/mL,19 sedangkan data dari studi DIG
menunjukkan kadar digoksin yang terbukti menguntungkan untuk wanita dengan
gagal jantung yaitu 0.5-0.9 ng/mL dalam menurunkan morbiditas, namun pada kadar
>1.2 ng/mL meningkatkan resiko kematian sebesar 1.33 (95% confidence interval,
1,001-1,76. P=0.049).16 Rekomendasi yang saat ini sering dipakai antara 0.7-1.1
ng/mL. Pada pasien tanpa gangguan ginjal (GFR>90 ml/menit) dapat diberikan dosis
oral awal 0.25mg yang dievaluasi setelah 5 hari, sedangkan pada GFR 30-59
ml/menit dosis digoksin dimulai dengan 0.125mg dan dievaluasi setelah 4 hari,
sedangkan untuk GFR < 30 ml/menit penggunaan digoksin harus diberikan dengan
sangat hati-hati.17 Selain usia, jenis kelamin, dan rendahnya BMI, faktor resiko
terjadinya intoksikasi pada pasien ini adanya penurunan fungsi ginjal, dengan
estimasi GFR 34 ml/menit(CKD-EPI) pemberian digoksin pada pasien ini kurang
10

sesuai dengan dosis rujukan. Pemeriksaan kadar serum digoksin tidak dapat
dilakukan pada pasien ini oleh karena keterbatasan sarana penunjang, namun
berdasarkan anamnesa, fisik diagnostik dan pemeriksaan penunjang pada pasien ini
cukup untuk menyingkirkan diagnosis diferensial dalam menegakkan diagnosis
intoksikasi digitalis.
Prinsip penanganan intoksikasi digoksin meliputi terapi suportif umum
terhadap hemodinamik, penghentian digoksin, pencegahan absorbsi gastrointestinal
lanjut, pemberian antidot, digoxin-specific antibody fragments (DSFab), dan terapi
terhadap komplikasi, misalnya aritmia dan imbalans elektrolit, dan kelainan
penyerta.12,18 Tidak jarang pasien intoksikasi ditemukan dengan deplesi volume
cairan akibat penggunaan obat bersama dengan diuretik oral, sehingga perlu
mendapat cairan intravena, suplemental oksigen umumnya diberikan bila SpO2 <
95%, dan koreksi elektrolit yang biasanya menyertai intoksikasi,18 dengan catatan
pemberian potasium bila terdapat AV-blok perlu mendapat perhatian karena dapat
menyebabkan AV-blok lebih lanjut.19 Atropin digunakan apabila pasien mengalami
bradikardi simptomatik, pemberian atropin intravena setiap 3-5 menit dengan dosis
maksimal 3mg, sedangkan jenis inotropik (dopamin, dobutamin dan norepineprin)
dapat digunakan sebagai bridging therapy pada pasien dengan gangguan
hemodinamik yang nyata, dopamin dan dobutamin dapat digunakan untuk
mendapatkan efek kronotropik guna meningkatan laju jantung. 18 Pemberian
aminophillin menyebabkan peningkatan cyclic adenosine monophosphate (cAMP)
sehingga mengaktivasi sistem simpatis, aminophillin umumnya digunakan pada
bradikardi simptomatis yang resisten misalnya pada infark miokard inferior, post
transplantasi jantung, dan resistensi terhadap atropin.20 Pendekatan medimentosa
pada pasien ini pada awalnya ditargetkan untuk perbaikan hemodinamik dengan
meningkatakan laju jantung sehingga diberikan atropin sulfat intravena, dobutamin
serta aminophillin. Pasien ini juga diberikan activated charcoal (AC), dalam beberapa
laporan pemberian dalam 2 jam intake digoksin menunjukkan efikasinya cukup
menguntungkan dan biasanya diberikan pada kasus akut dalam dosis tunggal 50 g
11

atau 1g/kg (anak-anak),12 tujuan penggunaan AC untuk mencegah absorbsi gastrointestinal lebih lanjut.23 Manfaat penggunaan pada kasus kronis hingga saat ini belum
banyak dibuktikan, dan strategi penggunaan activated charcoal hanya digunakan jika
tidak tersedia DSFab atau pada gagal ginjal dengan anuria. 24 Pengobatan kronis
antiplatelet dan antagonis sistem renin-angiotensin-aldosteron untuk PJK pada pasien
ini tetap dilanjutkan untuk pencegahan sekunder terhadap major adverse
cardiovascular event (MACE) dan menurunkan angka mortalitas.
DSFab berkerja dengan mengikat molekul digoksin dengan afinitas yang lebih
tinggi dibandingkan terhadap Na-K-ATPase, hal ini menyebabkan adanya gradient
konsentrasi digoksin yang memicu perpindahan digoksin intraseluler ke ekstraseluler.
Paska pemberian DSFab kadar serum digoksin akan menurun hingga tidak terdeteksi
dalam beberapa menit, dan manifestasi klinis terhadap jantung biasanya berkurang
dalam 30 menit, Antman dkk dalam studi cohort terhadap 150 pasien menemukan
80% kasus resolusi sempurna dan 90% kasus menunjukkan respon terhadap DSFab,
sedangkan median waktu respon sekitar 19 menit dengan 75% respon pada 60
menit.21 Indikasi penggunaan DSFab meliputi pada : 1. aritmia berbahaya, asistole,
AV blok total, Mobits II atau bradikardi simptomatik; 2. adanya disfungsi organ
misalnya gagal ginjal dan penurunan kesadaran; 3. Hiperkalemia (>5-5.5 mEq/L).12,19
Walaupun data menunjukkan penggunaan antidote sebagian besar bermanfaat pada
toksisitas akut, penggunaan pada toksisitas kronis dapat juga bermanfaat pada yang
memiliki

kriteria

indikasi

tersebut.

Dalam

prakteknya

beberapa

senter

merekomendasikan penggunaan DSFab pada SDC >10ng/mL untuk kasus toksisitas


akut, sedangkan pada toksisitas kronis untuk SDC >4ng/mL.12,22 Pada toksisitas
kronis, peningkatan SDC biasanya tidak fluktuatif sehingga umumnya dengan gejala
yang tidak mengancam jiwa, pada kasus seperti ini biasanya digunakan setengah
dosis DSFab. Terdapat 2 macam DSFab yang tersedia saat ini, Digibind dan DigiFab
di US. Dalam 1 vial Digibind (38mg) atau DigiFab (40mg) mampu untuk mengikat
sekitar 0.5mg kadar digoksin dalam serum.12 Pasien ini tidak mendapat DSFab,
karena ketersediaan obat, pun bila tersedia jenis obat tersebut, pemeriksaan kadar
12

serum digoksin diperlukan pada kasus yang dicurigai toksisitas kronis seperti ini guna
menentukan perlunya pemberian DSFab, seringkali pada kasus geriatri dengan
toksisitas kronis didapatkan kadar serum yang relatif normal, oleh karena itu pada
toksisitas kronis DSFab tidak rutin digunakan kecuali pada toksisitas akut dan/atau
kasus yang mengancam jiwa, misalnya pada aritmia ventrikular.
Penanganan suportif secara holistik dari pengaturan gizi hingga pendekatan
terapi prinsip untuk masalah utama dan penyerta pada pasien telah dilakukan demi
mencapai perbaikan klinis pada pasien ini, walaupun tidak dapat tercapai dengan
cepat akibat ketersedianya DSFab, pemantauan selama perawatan didapatkan
perbaikan defek neurologis dan hemodinamik yang signifikan tanpa disertai defek
baru akibat komplikasi dari terapi yang diberikan, sehingga pasien dapat rawat jalan
pada hari perawatan ke-5 dan dianjurkan untuk pengobatan berkala. Perhatian khusus
pada pasien ini sama dengan penanganan pasien geriatri pada umumnya, motivasi
pada keluarga harus diberikan untuk memperhatikan intake dan komplians terhadap
pengobatan yang baik.

Ringkasan
Telah dilaporkan seorang wanita tua dengan presentasi khas intoksikasi
digitalis, dimana ditemukan gejala klasik intoksikasi berupa gangguan hemodinamik
akibat adanya blok, gangguan visual dan gastro-intestinal. Digoksin merupakan
golongan obat kardiovaskuler yang dulunya merupakan obat utama pada gagal
jantung, dengan rentang terapeutik yang sempit, digoksin seringkali menyebabkan
overdosis yang menyebabkan intoksikasi. Diagnosis intoksikasi memerlukan
pemeriksaan kadar serum digoksin, namun pada pasien ini cukup dengan anamnesis,
fisik diagnostik dan elektrokardiografi serial, walaupun demikian pemeriksaan kadar
serum digoksin juga penting guna menentukan keperluan penggunaan antidot jika
tersedia. Penggunaan digoksin pada pasien ini kurang tepat baik dari segi indikasi
waktu maupun dosis, sehingga pada saat kontak pertama dengan pasien ini obat
tersebut segera dihentikan, dan diberikan terapi suportif guna memperbaiki profil
13

hemodinamik terlebih dahulu. Prinsip pengobatan selanjutnya mengacu

pada

pencegahan absorbsi gastrointestinal lebih lanjut, dan terapi terhadap komplikasi


diberikan, sedangkan pemberian antidot, digoxin-specific antibody fragments
(DSFab) tidak dapat diberikan karena ketidak-tersediaan itu pada senter kami saat
pasien MRS. Perbaikan klinis didapat setelah perawatan hari ke-3 dan stabilisasi
dilanjutkan hingga pasien dapat rawat jalan pada hari ke-5.

SUMMARY
It has been reported an elderly woman with a typical presentation of digitalis
intoxication, in which the classic symptoms of intoxication were found such
hemodynamic disturbances due to the AV-block, visual and gastro-intestinal
disturbances. Digoxin is a cardiovascular drug classes used to be the main drug for
heart failure, but with a narrow therapeutic range, digoxin often lead to an overdose
that causes intoxication. Gold standard diagnosis requires serum digoxin levels, but in
this patient, history taking, signs, physical diagnostic and serial electrocardiography
performed were helpful enough to check out the differential diagnoses, however
examination of serum digoxin levels is also important to determine the need for the
use of an antidote if available. The use of digoxin in these patients is less precise in
terms of both time and dosage indications, so that at first medical contact with these
patients the drug is stopped immediately, and given supportive therapy in order to
improve the hemodynamic profile in advance. Subsequent treatment principles refers
to the prevention of further gastrointestinal absorption, and treatment of
complications is given, while antidote, digoxin-specific antibody fragments (DSFab)
could not be granted because of unavailability of it on our center. Clinical
improvement was obtained after the 3rd day of treatment and stabilized until the 5th
day.

14

Daftar Pustaka
1.

Eichhorn EJ, Gheorghiade M. Digoxin. Prog Cardiovasc Dis. 2002;44: 251266.

2.

Gheorghiade M, Van Veldhuisen DJ, Colucci WS. "Contemporary use of digoxin in the
management

of

cardiovascular

disorders".2006.

Circulation

113

(21):

255664.

doi:10.1161/circulationaha.105.560110. PMID 16735690.


3.

Uretsky BF, Young JB, Shahidi FE, Yellen LG, Harrison MC, Jolly MK. Randomized study
assessing the effect of digoxin withdrawal in patients with mild to moderate chronic congestive
heart failure: results of the PROVED trial: PROVED Investigative Group. J Am Coll Cardiol.
1993; 22:955962.

4.

Digitalis Investigation Group. The effect of digoxin on mortality and morbidity in patients with
heart failure: the Digitalis Investigation Group. N Engl J Med. 1997;336:525533

5.

European Society of Cardiology. ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and
chronic heart failure 2012 The Task Force for the Diagnosis and Treatment of Acute and
Chronic Heart Failure 2012 of the European Society of Cardiology. 2012. European Heart
Journal 33, 17871847 doi:10.1093/eurheartj/ehs104.

6.

Gheorghiade M, Braunwald E. Reconsidering the role for digoxin in the management of acute
heart failure syndromes. JAMA. 2009; 302(19):2146-2147

7.

Aarnoudse AL, Dieleman JP, Stricker BH. Age- and gender-specific incidence of hospitalisation
for digoxin intoxication.Drug Saf. 2007;30:431-436.

8.

Mowry JB, Spyker DA, Cantilena Jr LR, et al. 2013 annual report of the American Association
of Poison Control Centers National Poison Data System (NPDS): 31st annual report. Clin
Toxicol (Phila). 2014;52:1032-1283.

9.

Ordog GJ, Benaron S, Bhasin V, et al. Serum digoxin levels and mortality in 5100 patients. Ann
Emerg Med.1987;16:32-39.

10.

Miura T, Kojima R, Sugiura Y, et al. Effect of aging on the incidence of digoxin toxicity Ann
Pharmacother. 2000;34:427-432.

11.

Ma G, Brady WJ, Pollack M, et al. Electrocardiographic manifestations: digitalis toxicity. J


Emerg Med 2001;20(2):14552.

12.

Kanji S, MacLean RD. Cardiac Glycoside Toxicity More Than 200 Years and Counting. Crit
Care Clin 28 (2012) 527535.

13.

Bain BJ. Acute poisoning. In: Goldman L, Schafer AI, eds. Goldman's Cecil Medicine. 24th ed.
Philadelphia, PA: Saunders Elsevier; 2011: Chapter 110.

15

14.

Yang EH, Shah S, Criley JM. Digitalis toxicity: a fading but crucial complication to recognize.
April

2012.

The

American

Journal

of

Medicine

125

(4):

33743.

doi:10.1016/j.amjmed.2011.09.019. PMID 22444097


15.

Lewis RP. Clinical use of serum digoxin concentrations. Am J Cardiol 1992;69(18):97G-107G.

16.

Adams KF, Patterson JH, Gattis WA, et al. Relationship of serum digoxin concentration to
mortality and morbidity in women in the digitalis investigation group trial: a retrospective
analysis. J Am Coll Cardiol. 2005;46:497-504.

17.

Rahimtoola SH. Digitalis therapy for patients in clinical heart failure. Circulation.
2004;109:2942-2946.

18.

Phillips S. BMJ Best Practice : Digoxin Overdose. 2015. Cited on Januari 10 th


2016.http://bestpractice.bmj.com/bestpractice/monograph/338/highlights/overview.html

19.

Opie L.Drugs for the heart 8th edition. 2012. Chapter VI : Heart Failure Pp203-5.

20.

Pasnoori VR, Leesar MA. Use of aminophylline in the treatment of severe symptomatic
bradycardia resistant to atropine. Cardiol Rev. 2004 Mar-Apr;12(2):65-8.

21.

Antman EM, Wenger TL, Butler VP, et al. Treatment of 150 cases of lifethreatening digitalis
intoxication with digoxin-specific Fab antibody fragments. Final report of a multicenter study.
Circulation 1990;81(6):174452.

22.

Lapostolle F, Borron SW, Verdier C, et al. Assessment of digoxin antibody use in patients with
elevated serum digoxin following chronic or acute exposure. Intensive Care Med
2008;34(8):144853.

23.

Ibanez C, Carcas AJ, Frias J, et al. Activated charcoal increases digoxin elimination in patients.
Int J Cardiol. 1995;48:27-30.

24.

Critchley JA, Critchley LA. Digoxin toxicity in chronic renal failure: treatment by multiple dose
activated charcoal intestinal dialysis. Hum Exp Toxicol 1997; 16(2):7335.

25.

Surawicz B, Knilans T. Chous Electrocardiography in Clinical Practice (6th edition), Saunders


2008.

26.

Gheorghiade M1, Adams KF Jr, Colucci WS. Digoxin in the management of cardiovascular
disorders. Circulation. 2004 Jun 22;109(24):2959-64.

16

Lampiran

Lampiran 1. Elektrokardiografi pasien saat MRS (hari-1)

Lampiran 2. Hasil ekokardiografi

17

Lampiran 3. EKG saat perawatan hari ke-4.

Lampiran 4. EKG saat rawat jalan

Foto pasien saat perawatan hari ke-3

18

Anda mungkin juga menyukai