Anda di halaman 1dari 9

FAKTOR FAKTOR KELUARGA YANG MEMPENGARUHI KESIAPSIAGAAN

LANSIA DALAM MENGHADAPI BENCANA


Fakultas Ilmu Kesehatan

Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya

Abstrak
Lanjut usia merupakan individu yang rentan saat terjadi bencana. Upaya yang telah
dilakukan pemerintah dalam mengurangi resiko bencana yaitu kesiapsiagaan. Kesiapsiagaan
merupakan elemen penting dari kegiatan pengendalian resiko bencana yang bersifat pro-
aktif sebelum bencana terjadi. Keluarga merupakan bantuan utama bagi lansia dalam
mempersiapkan diri menghadapi bencana. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan
antara dukungan keluarga dengan kesiapsiagaan pada lansia dalam menghadapi bencana.
Penelitian ini menggunakan analisis jurnal pada 3 jurnal berbeda dengan 1 jurnal utama
dan 2 jurnal pendamping. Hasil penelitian ini menunjukkan, 76.5% keluarga dengan lansia
memiliki pendidikan sekolah dasar, 54.9% memiliki APGAR baik dan 54.95% berada pada
kesiapsiagaan siap. Hasil analisis menunjukkan, ada hubungan antara tipe keluarga,
pendapatan dan pendidikan dengan kesiapsiagaan ( < 0.05). Hasil penelitian dari jurnal
utama menunjukkan 54,8% lansia mendapatkan dukungan keluarga baik dan sebanyak
51,6% dalam kesiapsiagaan siap. Hasil uji Kendall Tau menunjukkan ada hubungan antara
dukungan keluarga dengan kesiapsiagaan lansia (ρ=0,000;t = 0.678). Kesimpulan studi ini
terdapat hubungan antara pendapatan, pendidikan dan tipe keluarga dengan kesiapsiagaan
keluarga.

Kata Kunci: kesiapsiagaan, lansia, keluarga

LATAR BELAKANG

Bencana merupakan gangguan serius terhadap keberfungsian suatu masyarakat atau


komunitas, menyebabkan kerugian yang meluas pada kehidupanmanusia (segi materi,
ekonomi atau lingkungan) dan melampaui kemampuan masyarakat untuk mengatasi dengan
menggunakan sumberdaya mereka sendiri (United Nations International Strategy for
Disaster Reduction Secretariat/ UNISDR, 2011). Emergency Events Database (EM-DAT,
2014) mencatat, sejak tahun 1994 hingga 2013 telah terjadi bencana alam di seluruh dunia
sebanyak 6.873 bencana dan wilayah ASIA dilanda sebanyak 2.778 bencana selama 20
periode terakhir. Bencana yang terjadi terdiri dari bencana akibat alam (biological,
geophysical, hydrological, meteorological, climatological, dan ExtraTerrestrial) dan bencana
akibat teknologi (Industrial accident, Transport accident, Miscelleanous accident) (The
Centre for Research on the Epidemiology of Disaster/ CRED, 2015).
Indonesia memiliki 129 gunung berapi aktif dan 500 gunung api tidak aktifyang
tersebar di seluruh wilayah Indonesia (IRBI, 2014). Gunung berapi di Indonesia yang
mengalami peningkatan aktifitas dan erupsi pada 10 tahun terakhir diantaranya yaitu Letusan
Gunung Merapi (2010), Gunung Sinabung (2013), Gunung Kelud (2014), Gunung
Sangeangapi (2014), Gunung Slamet (2014), dan Gunung Gamalama (2014) (BNPB, 2014).
Data BNPB (2015) mencatat, hingga 30 Juni 2015 jumlah lansia yang menggungsi akibat
Erupsi Gunung Sinabung sebanyak 1.414 lansia. Sigalingging (2016) menemukan sebanyak
76,7% lansia di posko pengungsian Universitas Karo/ UKA mengalami depresi ringan hingga
berat akibat erupsi Gunung Sinabung. GEMA BNPB tahun 2015 memaparkan, sebanyak 30
ribu lansia menjadi kelompok rentan tertinggi akibat erupsi Gunung Kelud (2014).
Gunung api yang terkenal sebagai gunung berapi teraktif di Indonesia bahkan di dunia
adalah Gunung Merapi yang terletak di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Provinsi
Jawa Tengah. Aktivitas Gunung Merapi secara periodesitas dan intensitas letusannya
cenderung pendek yaitu 3-7 tahunan dengan selalu menunjukan aliran lava dan menghasilkan
material-material piroklastik, awan panas, dan diikuti pula dengan banjir lahar dingin. Letak
gunung Merapi yang berada di perbatasan Jawa Tengah dan D.I Yogyakarta menjadikan
warga yang menetap di area Gunung Merapi rentan ketika bencana erupsi merapi terjadi.
Provinsi Jawa Tengah tercatat sebagai provinsi tertinggi dengan jumlah penduduk terpapar
bahaya akibat gunung berapi (BNPB, 2015). Hasil perhitungan Kajian Resiko Bencana
BNPB (2011) menunjukkan, jumlah penduduk kelompok rentan yang terpapar bahaya
gunung api kelas tinggi sebanyak 56 ribu jiwa atau 0.13% dari total jumlah penduduk
terpapar. Paparan gunung api mengakibatkan kelompok lansia menjadi proporsi terbesar
dengan jumlah sebanyak 30 ribu jiwa. Erupsi Gunung Merapi mengakibatkan 39,1% lansia
mengalami depresi sedang – berat dan sebanyak 34,8% mengalami depresi ringan
(Wulandari, 2015; Purwatiningsih, 2015). Dampak Erupsi Gunung Merapi juga menyebabkan
perubahan kualitas hidup pada lansia, penelitian Rosella (2015) menunjukkan, kualitas hidup
pada lansia paska erupsi Gunung Merapi secara umum dalam kategori buruk. Gunung merapi
terletak di 3 wilayah kabupaten di Provinsi Jawa Tengah, yaitu: Kabupaten Magelang,
Kabupaten Boyolali dan Kabupaten Klaten.
Upaya penanggulangan bencana di Indonesia ditegaskan dalam Undangundang Dasar
1945 nomor 24 tahun 2007 sebagai bentuk implementasi dari komitmen Indonesia terhadap
dunia internasional yang termasuk dalam Sendai Framework 2015-2030, sedangkan upaya
Penanggulangan Resiko Bencana (PRB) tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21
Tahun 2008, dan Peraturan Peraturan Pemerintah serta Peraturan Presiden nomor 8 tahun
2008 yang merupakan turunan dari Undang undang Nomor 24 Tahun 2007, sehingga
terbentuklah BNPB (Rencana Nasional Penanggulangan Bencana/ RENAS PB,2010).
Kesiapsiagaan (preparedness) adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk
mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan
berdaya guna (BARKONAS PB, 2007). Upaya kesiapsiagaan menghadapi bencana dengan
melibatkan Stakeholders utama (Individu dan rumah tangga, Pemerintah, dan Komunitas
sekolah) dan sedangkan Stakeholders pendukung (kelembagaan masyarakat (PKK,
karangtaruna, majelis taklim, kerapatan adat, dll), LSM dan Ornop, Kelompok profesi, dan
Pihak swasta). Individu dan Rumah tangga menjadi salah satu Stakeholders utama yang
merupakan ujung tombak, subyek, dan objek dari kesiapsiagaan yang berpengaruh secara
langsung terhadap resiko bencana (LIPI-UNESCO/ ISDR, 2006)..

HASIL DAN PEMBAHASAN

Parameter kesiapsiagaan keluarga dengan lansia terdiri dari lima parameter, yaitu:
pengetahuan dan sikap, kebijakan, rencana tanggap darurat, sistem peringatan bencana dan
mobilisasi sumber daya. Hasil penelitian menunjukkan, kesiapsiagaan keluarga dengan lansia
tertinnggi pada parameter siste peringatan bencana (74.5%). Sistem peringatan bencana
meliputi tanda peringatan dan distribusi informasi akan terjadinya bencana, sehingga
masyarakat dapat melakukan tindakan yang tepat untuk mengurangi adanya korban jiwa,
harta benda dan kerusakan lingkungan. Peneliti mendapatkan bahwa, peningkatan sistem
peringatan bencana dilakukan dengan latihan dan simulasi, sehingga masyarakat mengetahui
tindakan yang harus dilakukan apabila mendengar peringatan bencana (sirine), kemana dan
bagaimana harus menyelamatkan diri dalam waktu tertentu, dengan lokasi dimana
masyarakat sedang berada saat terjadi peringatan. Wimbardana dan Sagala (2013)
menemukan, warning system alarm hanya efektif memberikan peringatan pada sebagian kecil
masyarakat saja, hall ini di diikuti oleh kecilnya presentase media lainnya yang dapat
menyampaikan bahaya akibat bencana yang terjadi. Hall ini menunjukkan bahwa intensitas
pemberitaan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perilaku tanggap bencana, sehingga
semakin tinggi intensitas pemberitaan maka akan semakin baik pula perilaku tanggap
bencana yang dilakukan (Fitri, 2015).
Menurut jurnal kedua yang kami teliti, sebesar 54.9% keluarga dengan lansia berada pada
tingkat kesiapsiagaan siap dan 45.1% berada pada kesiapsiagaan kurang siap. Hasil penelitian
ini menunjukkan, keluarga dengan lansia memiliki kesiapsiagaan dengan hasil siap lebih
banyak.
Menurut jurnal kedua yang kami analisis, bentuk dukungan keluarga yang diberikan
dibagi dalam 4 macam yaitu dukungan informasi, instrumental, emosional, dan penilaian.
Bentuk dukungan keluarga baik tertinggi adalah dukungan informasional (85,7%) dan
dukungan keluarga baik dengan persentase terendah adalah dukungan instrumental (50,0%).
Dukungan keluarga informasional yang diberikan keluarga kepada lansia berupa memberikan
informasi tindakan yang perlu dilakukan sebelum gunung meletus. Keluarga menyampaikan
peralatan yang perlu disiapkan sebelum gunung meletus. Keluarga menjelaskan tindakan dan
tidak panik saat bencana terjadi. Dukungan informasional merupakan hal yang penting yang
perlu diperhatikan karena perubahan pada fungsi kognitif responden lansia sejalan dengan
pertambahan usianya sehingga informasi perlu untuk di ulang-ulang. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa dukungan emosional yang diberikan keluarga sudah baik.
Dukungan emosional yang diberikan keluarga pada lansia dengan cara selalu
mengingatkan lansia agar selalu mengaktifkan alat komunikasi sehingga keluarga dapat
menghubungi jika sewaktu-waktu terjadi keadaan darurat, poin ini menunjukkan perhatian
keluarga kepada lansia sebagai anggota keluarga yang rentan. Responden mengatakan
anggota keluarga selalu menanyakan kondisi kesehatan lansia dan turut senang bila lansia
dalam keadaan sehat.
Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian Mukhlisa (2014) didapatakan hasil
bahwa lansia yang menjawab kuesioner mengenai dukungan emosional dengan bentuk
pertanyaan unfavorable bahwa keluarga tidak mencintai dan menyayangi lansia yaitu
sebanyak 2,36%, sehingga dapat diartikan sebanyak 97,64% mendapatkan responden setuju
bahwa keluarga mencintai dan menyayangi lansia. Hasil ini menjelaskan bahwa dukungan
emosional yang diberikan keluarga kepada lansia sudah baik.
Dukungan dengan persentase baik paling rendah yaitu sebanyak 50% adalah
dukungan instrumental.Dukungan instrumental yang sudah diterapkan adalah menyediakan
kendaraan yang digunakan untuk Keluarga juga sudah menyiapkan kendaraan pribadi (motor,
mobil, truk) yang disediakan untuk proses evakuasi bila gunung Merapi meletus. Sebagian
lansia juga menuturkan bahwa keluarga menyiapkan dana simpanan yang bisa digunakan saat
bencana terjadi. Hasil penelitian menunjukkan semua responden mengevakuasi lansia dan
keluarga ke tempat yang aman ketika dalam keadaan darurat. Keluarga responden rata-rata
sudah memiliki kendaraan roda dua di rumah yang ditinggali, tidak sedikit responden
menuturkan bahwa keluarga selalu mendahulukan dirinya untuk di evakuasi ke tempat
pengungsian.
Hasil analisis data kesiapsiagaan lansia didapatkan hasil kesiapsiagaan lansia tertinggi
dalam kategori siap sebanyak 51,6%. Kesiapsiagaan lansia dalam menghadapi bencana
diukur menggunakan toolkit yang dikembangkan American College of Emergency Physician
(2013) yang berisi perencanaan bagi kelompok khusus salah satunya lansia dalam
menghadapi bencana dan upaya kesiapsiagaan lansia yang dipaparkan oleh Health in Aging
Foundation (2015) yang di kombinasikan.
Hasil penelitian menunjukkan semua responden lansia setuju dan menyadari bahwa
tempat tinggalnya berada di area yang rawan akan bencana alam dan yang paling mengancam
adalah bencana gunung Merapi. Peneliti menemukan lansia merupakan penduduk asli Desa
Lereng merapi Klaten Kecamatan Kemalang, sebanyak 58,1% responden tidak memiliki
kerabat/anggota keluarga lainnya di luar wilayah lereng merapi yang bisa menyediakan
tempat tinggal sementara bagi lansia dan keluarga ketika terjadi bencana. Hasil ini sesuai
penelitian yang dilakukan Nurhidayati dan Ratnawati (2016) yaitu keluarga dengan lansia
merupakan penduduk asli Desa Balerante Kecamatan Kemalang, sehingga tidak memiliki
anggota atau kerabat di luar wilayah lereng merapi yang dapat menampung keluarga dengan
lansia ketika bencana terjadi.
Dodon (2013) menyatakan salah satu variabel untuk mengetahui tindakan
kesiapsiagaan masyarakat adalah tersedianya perlengkapan gawat darurat pada saat bencana
terjadi. Peneliti menemukan bahwa persiapan peralatan berupa tas bencana yang berisi obat
obatankhusus untuk lansia, kotak P3K, pakaian seperti baju atau selimut yang dapat
digunakan, alat bantu penerangan, baterai, dan peralatan penting lainnya sudah baik dimana
jumlah responden yang menyiapkan tas siaga bencana sebanyak 54,8%. Fenemona menarik
ditemukan peneliti sewaktu melakukan penelitian yaitu responden yang tinggal di dusun yang
berada paling dekat dengan Gunung Merapi memiliki tas siaga beserta isi perlengkapannya
sedangkan dusun yang lokasinya agak jauh dari puncak Merapi banyak lansia yang
mengatakan tidak memiliki tas siaga. Lansia yang memiliki tas siaga mengungkapkan bahwa
tas siaga selalu dicek kondisinya sekitar 3-4 bulan sekali sebagai bentuk upaya peningkatan
kesiapsiagaan.
Persediaan minuman dan makanan praktis (bergizi dan tahan lama) di rumah yang
dapat digunakan untuk kondisi darurat sebanyak 56,1% tidak menyediakan. Penelitian
Lenawida (2011) menemukan persediaan air mineral dan makanan instan masih kurang oleh
pihak keluarga yaitu 50,7% untuk pesediaan air minum dalam botol dan makanan ringan
praktis. Persiapan tanggap darurat dalam komponen kesiapsiagaan yang lain adalah
penyediaan obat sehari- hari yang sering digunakan oleh lansia, sebagian besar lansia tidak
menyiapkan obat tersebut dalam tas siaganya. Kondisi lansia yang menurun fungsi-fungsi
organnya sehingga menurunkan imunitas dan menjadi mudah mengalami gangguan
kesehatan (Miller, 2014). Persiapan obat yang biasa digunakan sangat diperlukan untuk lansia
dalam kondisi darurat, hal ini sejalan dengan pedoman tool kit kesiapsiagaan lansia
menghadapi bencana yang dikeluarkan palang merah dunia (Red Cross,2011).
Dodon (2013) dalam penelitiannya menyatakan tindakan kesiapsiagaan yang
dilakukan masyarakat umumnya diperoleh dari pengalaman pada saat mengalami bencana
yang sering dialami masyarakat. Penelitian ini menemukan, salah satu upaya peningkatan
kesiapsiagaan bagi lansia yaitu dengan adanya lansia ataupun anggota keluarga yang rutin
mengikuti pelatihan, seminar maupun memperbaharui pengetahuan dan informasi yang dapat
secara langsung di akses oleh lansia maupun anggota keluarga lainnya. Upaya peningkatan
kesiapsiagaan atau kewaspadaan diperlukan upaya peningkatan pengetahuan melalui
informasi yang diberikan di masyarakat, Wimbarda dan Sagala dalam penelitiannya (2013).
Nurma (2015) mengemukakan kurang siapnya kepala keluarga dalam kesiapsiagaan
menghadapi bencana gempa bumi di dusun Soronanggan Panjangrejo Pundong Bantul
dikarenakan sebagian besar belum pernah mendapatkan informasi mengenai kesiapsiagaan
rumah tangga sebelum dan sesudah kejadian bencana gempa bumi, serta kepala keluarga
belum pernah mengikuti seminar atau penyuluhan maupun karena kurangnya minat dan
pemahaman tentang hal tersebut.
Hasil analisa data hubungan dukungan keluarga dengan kesiapsiagaan lansia dalam
menghadapi bencanatertinggi yaitu dukungan keluarga baik dengan kesiapsiagaan lansia siap
sebanyak 45,2. Hasil uji statistik Kendall Tau diperoleh nilai signifikasi atau pvalue adalah
0,00 dengan nilai t sebesar 0,678. Hasilpenelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan
oleh Lenawida (2011) yang meneliti tentang pengaruh dukungan anggota keluarga dengan
kesiapsiagaan rumah tangga dalam menghadapi bencana gempa bumi di Desa Deyah Raya
Syiah Kuala Banda Aceh. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa ada pengaruh yang
signifikan secara statistik antaradukungan anggota keluarga dengan kesiapsiagaan rumah
tangga dalam menghadapi bencana gempa bumi. Febriana (2009) menjelaskan bahwa
kesiapsiagaan menghadapi bencana merupakan salah satu wujud perlindungan keluarga
terhadap ancaman dan tantangan yang datang dari luar bagi anggota keluarga. Keluarga
seharusnya bekerja sama untuk mengenal dan mengumpulkan sumber-sumber yang
dibutuhkan dalam memenuhi kebutuhan dasar ketika terjadi bencana dan setelahnya. Ketika
seseorang dirasa siap maka kemungkinan besar akan mampu menanggulanginya dengan lebih
baik.
Menurut jurnal utama yang kami analisi, Hasil penelitian menemukan, di Desa
Balerante hanya terdapat fasilitas pendidikan dasar. Ketidakmampuan masyarakat menjagkau
fasilitas pendidikan menengah akibat jarak yang jauh menjadi penyebab rendahnya tingkat
pendidikan kepala keluarga. Rendahnya tingkat pendidikan mempengaruhi kesiapsiagaan
yang dimiliki keluarga dengan lansia, hal ini berkaitan dengan paparan informasi dan
pengetahuan yang akan mempengaruhi sikap keluarga dengan lansia untuk melakukan upaya
kesiapsiagaan. Terdapat 35,5% keluarga dengan kepala keluarga berpendidikan dasar
memiliki kesiapsiagaan yang baik disebabkan kepala keluarga aktif mengikuti pertemuan
pengurangan risiko bencana yang diadakan oleh kelurahan. Dilihat dari umur kepala keluarga
yang masih muda sehingga memungkinkan mencari informasi lebih banyak.
Tipe keluarga exstended family dimungkinkan adanya dukungan pada lansia lebih
banyak. Dukungan keluarga pada lansia sangat diperlukan lansia pada daerah bencana. Hasil
penelitian ini sejalan dengan penelitian Nurhidayati dan Bahar (2018) tentang dukungan
keluarga meningkatkan kesiapsiagaan lansia dalam menghadapi bencana gunung berapi
menyimpulkan dukungan keluarga memiliki hubungan dengan kesiapsiagaan lansia
menghadapi bencana di lereng merapi. Wimbardana dan Sagala (2013) menemukan, besarnya
struktur anggota keluarga yang ada dalam keluarga dapat mempengaruhi kerentanan keluarga
dan kesiapsiagaan keluarga, hal ini berkaitan dengan pendapatan kepala keluarga yang akan
terbatas dan tidak semua anggota keluarga mendapatkan perhatian, khususnya pada waktu
tanggap darurat dan pemulihan.
Kesiapsiagaan pada bencana merupakan perlindungan pada anggota keluarga yang
rentan saat bencana. Lansia merupakan kelompok rentan dalam situasi bencana. Keluarga
perlu mengidentifikasi kerentanan setiap anggota kelurganya, termasuk lansia. Kerentanan
yang terjadi pada lansia saat bencana gunung berapi seperti penyakit yang dimiliki,
kemampuan mobilitas saat evakuasi diri kerentanan lansia diakibatkan oleh keterbatasan
fisik maupun mental yang dialami. Masalah pendengaran, mobilitas fisik, penglihatan
maupun daya ingat mempengaruhi tingkat survival saat bencana atau peristiwa
kegawatdaruratan terjadi. Walaupun pada keadaan normal keterbatasan yang dialami dapat
ditoleransi, hal tersebut sangat berpengaruh saat bencana terjadi. Keterbatasan tersebut
membuat lansia kesulitan untuk bergerak lebih cepat atau meninggalkan rumah mereka pada
saat kejadian bencana, khususnya pada bencana letusan gunung berapi. Keadaan ini lebih
buruk lagi pada lansia yang tinggal sendiri.
Lansia di lereng merapi bercerita saat kejadian erupsi 2010, mereka dievakuasi tanpa
membawa apapun danyang memiliki berbagai masalah kesehatan tidak membawa obat yang
biasa digunakan. Dukungan keluarga diperlukan untuk menyiapkan keperluan lansia saat
mengungsi. Keperluan yang sering dilupakan adalah obat yang biasa dikonsumsi saat
merasakan masalah kesehataan. Lansia yang memiliki masalah kesehatan sangat perlu selalu
sedia obat yang diperlukan saat mengungsi. Lansia yang mengalami diabetes mellitus, asma,
maupun hipertensi. Penelitian
Erwawanto (2015) menyimpulkan, tingkat pendapatan penduduk berpengaruh
terhadap tingkat kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi ancaman bencana. Hasil ini
didukung penelitian Sagala, dkk (2014) menemukan, terdapat korelasi positif antara
pendapatan dengan kesiapsiagaan. Faktor pendapatan atau penghasilan berpengaruh nyata
pada kapasitas masyarakat dalam menghadapi bencana, sehingga semakin tinggi penghasilan
masyarakat maka semakin tinggi juga tingkat kapasitasnya (Setiawan, 2014).

TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN


Tujuan dan manfaat penelitian ini adalah dari penelitian ini adalah memberikan
gambaran tentang faktor faktor yang dapat mempengaruhi kesiapsiagaan lansia dalam
menghadapi bencana

METODE PENELITIAN
Metode penelitian ini menggunakan metode analisis pada 1 jurnal utama dan 3 jurnal
pembanding, jurnal utama penelitian ini adalah tentang kesiapsiagaan keluarga dengan lanjut
usia pada kejadian letusan merapi di desa belerante kecamatan kemalang dengan jurnal
pembandingnya adalah dukungan keluarga meningkatkan kesiapsiagaan lansia dalam
menghadapi bencana gunung berapi pengetahuan manajemen resiko bencana gempa bumi
pada kelompok lansia di desa lampulo kecamatan kuta alam kota banda aceh
KESIMPULAN DAN SARAN

Dukungan keluarga meningkatkan kesiapsiagaan menghadapi bencana, selain itu,


faktor tingkat pendidikan keluarga, tipe keluarga, dan juga pendapatan keluarga berpengaruh
terhadap kesiapsiagaan keluarga dalam menghadapi bencana.
Perawat komunitas dapat meningkatkan kesiapsiagaan keluarga dengan lansia melalui
pendekatan keluarga mengenai pentingnya upaya keluarga untuk menyediakan obat-obatan
khusus bagi lansia yang dapat dibawa ke pengungsian selama bencana terjadi, sehingga
resiko dampak bencana pada lansia dapat diminimalisir semaksimal mungkin. Perawat
komunitas dapat bekerjasama dengan tim siaga desa untuk meningkatkan ketahanan dan
menurunkan kerentanan masyarakat lereng merapi.

DAFTAR PUSTAKA
Nurhidayati DKK. 2018. Kesiapsiagaan Keluarga Dengan Lanjut Usia Pada Kejadian
Letusan Merapi Di Desa Belerante Kecamatan Kemalang. STIKES Cendekia Utama
Kudus
Nurhidayati Istianna, Khodijah Bahar. 2018. Dukungan Keluarga Meningkatkan
Kesiapsiagaan Lansia Dalam Menghadapi Bencana Gunung Berapi. STIKES
Muhammadiyah Klaten
Hamdani, Budi Satria. 2017. Pengetahuan Manajemen Resiko Bencana Gempa Bumi
Padakelompok Lansia Di Desa Lampulo Kecamatan Kuta Alam Kota Banda Aceh.
Fakultas Keperawatan Universitas Syiah Kuala Banda Aceh

Anda mungkin juga menyukai