Anda di halaman 1dari 25

PEDOMAN PENANGGULANGAN BENCANA

(DISASTER PLAN) di RUMAH SAKIT


RUMAH SAKIT UMUM KASIH IBU
Jl. MERDEKA No.17 SP. KUTA BLANG
LHOKSEUMAWE
TAHUN 2019

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara yang rentan terhadap bencana di dunia. Berlokasi di
Pacific Ring of Fire, Indonesia sering dihadapkan pada situasi darurat bencana diantaranya
Gempa dan Tsunami. Bencana dapat menimbulkan krisis kesehatan yang menyebabkan korban
luka, dampak psikologis, korban meninggal, masalah gizi, masalah ketersediaan air bersih,
masalah kesehatan lingkungan, penyakit menular, gangguan kejiwaan dan masalah lainnya. Jika
terjadi bencana berskala sangat besar, dapat menyebabkan terganggunya pelayanan kesehatan
termasuk pelayanan kesehatan reproduksi bahkan dapat menimbulkan lumpuhnya sistem
kesehatan di tempat yang terkena dampak bencana (Kemenkes RI, 2015).

Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2015 - 2019
disebutkan bahwa untuk mengantisipasi risiko bencana yang sudah ada dan yang berpotensi
terjadi di masa yang akan datang, bila tidak dikelola atau diminimalisasi, dapat mengakibatkan
terjadinya kemunduran dari pembangunan yang sudah dilakukan. Maka dari itu arah kebijakan
dalam penanggulangan bencana adalah mengurangi risiko bencana dan meningkatkan
ketangguhan menghadapi bencana (Kemenkes, 2017). Hal ini juga sejalan dengan arah
kebijakan dalam penanggulangan bencana, dimana Kementerian Kesehatan RI menyusun
Rencana Strategis (Renstra) tahun 2015 - 2019 yang di dalamnya mencakup kegiatan
penanggulangan krisis kesehatan. Sasaran kegiatan ini yaitu meningkatnya upaya pengurangan
risiko krisis kesehatan (Kemenkes, 2012).

Wilayah barat Indonesia secara tektonik merupakan wilayah yang sangat dinamis. Hal
ini disebabkan oleh proses subduksi/interaksi 2 lempeng, yaitu Lempeng Indo - Australia
dengan Eurasia. Dengan adanya proses tersebut, provinsi Aceh merupakan salah satu yang
rawan terhadap peristiwa Gempa bumi. Potensi sumber Gempa di Provinsi Aceh terdapat pada
3 zona, yaitu pada zona Subduksi (baik inter dan intraplate), pada zona sesar Aceh dan pada
zona sesar Sumatera (BPBD, 2013).

Kota Lhokseumawe umumnya terletak di sepanjang pantai yang menyebabkan kota


Lhokseumawe menjadi salah satu daerah rawan akan terjadi Tsunami terutama akibat Gempa
laut. Kerentanan kota Lhokseumawe terhadap bencana Tsunami adalah potensi terjadinya
gelombang laut yang terjadi akibat adanya suatu perubahan permukaan dasar laut berupa
patahan dengan gerak tegak (vertikal) akibat gempa bumi. Tsunami dihasilkan dari gempa kuat
atau sangat kuat dengan episentrum sangat dangkal (<30km) dapat menyebabkan tingginya
gelombang laut. Berdasarkan sebaran bencana gempa bumi di kota Lhokseumawe dengan
sebagian besar episentrumnya berada di laut, ditambah kondisi morfologi kota Lhokseumawe
sebagai kota pesisir pantai, menyebabkan kota Lhokseumawe rentan terhadap ancaman bencana
Tsunami (BPBD, 2013).

Sebanyak 639 kejadian Gempa menguncang Aceh sepanjang Januari hingga Desember
2019, intensitas Gempa cukup tinggi sehingga dibutuhkan kesiapsiagaan masyarakat serta
mitigasi bencana dari pemerintah, kekuatan gempa yang banyak terjadi dibawah lima Skala
Richter (SR), namun ada beberapa kejadian Gempa diatas 5 SR diantaranya pada Januari 2019
dengan kekuatan 5,1 SR 32 KM di Sabang, sedangkan pada 21 Juli 2018 juga terjadi Gempa
dengan kekuatan 5,5 SR (BMKG.2019).

Menurut laporan World Health Organization (WHO) pada tahun 2013, 8 dari 10 negara
dengan angka kematian ibu tertinggi yang tercatat baru-baru ini menghadapi bencana. Data
Perserikatan Bangsa - Bangsa (PBB) dan United Nations Population Fund (UNFPA)
melaporkan pada tahun 2015 bahwa sekitar 61% dari kematian ibu terjadi di negara - negara
rawan bencana. Lebih dari sepertiga dari kasus kematian ibu terjadi ditengah bencana, salah
satu penyebabnya adalah kurangnya peralatan dan personel yang berkualifikasi dalam sistim
Perawatan kesehatan (Taghizadeh.Z. 2016).

Hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012, Angka Kematian Ibu
(AKI) di Indonesia masih tinggi yaitu 359 per 100,000 kelahiran hidup, kondisi ini akan lebih
buruk bila terjadi pada kondisi bencana, karena terganggunya sistim pelayanan kesehatan.
Sampai saat ini data kasus kematian ibu pada daerah bencana belum terdokumentasi, sehingga
data yang digunakan sebagai rujukan adalah AKI pada situasi normal. Di seluruh dunia, 15%
sampai dengan 20% ibu hamil akan mengalami komplikasi selama kehamilan atau persalinan
(Kemenkes. 2013). Sekitar 130 juta bayi di dunia lahir setiap tahun dan 4 juta diantaranya
meninggal dunia dalam empat minggu pertama kehidupannya (periode neonatal) Angka
Kematian Bayi (AKB) 32 per 1000 kelahiran hidup (Kemenkes,2013). Begitu juga dengan
kasus - kasus kesehatan reproduksi lainnya seperti kekerasan berbasis gender pada situasi
bencana jarang dilaporkan, kasus Infeksi menular Seksual (IMS) dan Human Immunodeficiency
Virus (HIV) pada situasi bencana risiko penularannya bisa meningkat hal ini bisa terjadi karena
kekerasan seksual, pekerja dengan mobilitas tinggi, transaksi seks, ketiadaan informasi dan
akses kondom, berkurangnya kepatuhan terhadap kewaspadaan standar, terbatasnya alat - alat
kesehatan sehingga petugas terpaksa menangani korban dengan alat yang sama tanpa
melakukan sterilisasi (Kemenkes,2015).

Banyak pihak telah berupaya memberikan pelayanan kesehatan pada kondisi krisis
akibat bencana, namun masih terbatas pada penanganan masalah kesehatan secara umum,
sedang kesehatan reproduksi belum menjadi prioritas dan sering kali tidak tersedia. Risiko
komplikasi pada perempuan ketika melahirkan dapat meningkat, karena terpaksa harus
melahirkan ditempat yang tidak layak dan tanpa bantuan tenaga kesehatan terlatih. Dalam
upaya mengintegrasikan kesehatan reproduksi pada awal respon bencana tersebut, diperlukan
adanya peningkatan pengetahuan dan kemampuan dari pihak-pihak yang bekerja langsung
dalam penanganan permasalahan di Bidang kesehatan, khususnya untuk Bidang kesehatan
reproduksi dalam situasi darurat bencana (Kemenkes, 2015).

Bidan, perawat dan dokter merupakan tenaga kesehatan yang pada umumnya bekerja di
Rumah Sakit atau yang berada di masyarakat atau komunitas yang paling dekat terkena dampak
dari bencana. Kontribusi Tenaga kesehatan terhadap bencana/pengurangan risiko darurat atau
kesiapsiagaan sangat penting. Namun, Bidan sering tidak termasuk dalam tenaga kesiapsiagaan
bencana di tingkat lokal, nasional dan internasional. Hal ini didukung oleh fakta yang dari
WHO yang menyebutkan bahwa kesehatan ibu, bayi baru lahir dan perempuan perlu
diperhatikan dalam manajemen korban masal sehingga International Confrederation of
Midwives (ICM) dan asosiasi anggotanya untuk memastikan bahwa Bidan dapat berpartisipasi
dan mengambil peran dalam kesiapsiagaan bencana (ICM.2013).

Bencana menimbulkan berbagai potensi permasalahan kesehatan bagi masyarakat.


Dampak ini akan dirasakan lebih parah oleh kelompok penduduk rentan. Dalam Pasal 55 (2)
UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, kelompok rentan meliputi: I).
Bayi, balita dan anak-anak; 2). Ibu yang sedang mengandung atau menyusui; 3). Penyandang
cacat; dan 4) Orang lanjut usia. Upaya perlindungan seharusnya diprioritaskan pada kelompok
rentan tersebut, mulai dari penyelamatan, evakuasi, pengamanan sampai dengan pelayanan
kesehatan dan psikososial (BNPB, 2008).

Women Commission for Refugee Women and Children tahun 2012, menyatakan
beberapa masalah kesehatan reproduksi yang mungkin muncul dalam kondisi darurat yaitu
meningkatnya resiko kekerasan seksual, meningkatnya penularan IMS/HIV di area dengan
kepadatan populasi tinggi, meningkatnya risiko yang berhubungan dengan kehamilan tidak
diinginkan akibat kurangnya layanan keluarga berencana, meningkatnya kekurangan gizi dan
epidemik risiko komplikasi kehamilan, kelahiran terjadi selama perpindahan populasi,
meningkatnya resiko kematian ibu karena kurangnya akses terhadap layanan gawat darurat
kebidanan komprehensif.

Penelitian yang dilakukan oleh Nuruniyah (2014) tentang evaluasi pelayanan kesehatan
reproduksi bagi pengungsi rawan bencana, didapatkan hasil bahwa pelayanan kesehatan
reproduksi bagi pengungsi rawan bencana di Dinas Kesehatan Sleman belum memiliki input,
seperti operasionalisasi kebijakan, tim penanggung jawab, struktur organisasi dan petugas
kesehatan terlatih serta memiliki pengetahuan dan sikap yang belum cukup dalam penanganan
bencana. Pelayanan kesehatan reproduksi pada saat bencana sering kali tidak tersedia karena
dianggap tidak mejadi prioritas, padahal selalu ada ibu hamil, ibu bersalin dan bayi baru lahir
yang membutuhkan bantuan, seperti halnya pada saat gempa bumi di tahun 2004, terdapat ibu
yang melahirkan pada saat Gempa di Aceh dimana ibu harus diangkut menggunakan mobil bak
terbuka untuk sampai tempat Bidan ketika gempa terjadi, Bidan menolong proses persalinan ibu
tersebut di luar rumah dengan peralatan seadanya dan terdapat 3 kasus perkosaan di
pengungsian pasca Gempa di Aceh (Kemenkes RI, 2015).
Rangkaian Gempa bumi di Lombok yang terjadi sejak 29 Juli 2018 hingga 9 Agustus
2018 berdasarkan informasi BPBD Lombok telah mengakibatkan kerusakan dan korban jiwa
yang begitu besar pasca Gempa Lombok 6,4 Skala Richter. Informasi Pusat Krisis Kesehatan RI
per 31 Juli 2018 mencatat kelompok rentan pasca Gempa Lombok yaitu terdapat 327 ibu
hamil, 929 ibu menyusui, 754 anak - anak, dan 1.762 orang lansia. Sedangkan kebutuhan
mendesak pasca Gempa Lombok diantaranya yaitu pelayanan kesehatan, hygiene kits untuk
kelompok usia tertentu misalnya bayi, balita, ibu hamil dan lansia (BNPB, 2018).

Menurut Transtheoretical Model of Behaviour Change yang dinyatakan oleh Citizen


Corps (2006), faktor-faktor yang mempengaruhi kesiapsiagaan terhadap bencana adalah
motivasi eksternal yang meliputi kebijakan, pendidikan dan latihan, dana, pengetahuan, sikap,
keahlian (Sutton dan Tierney, 2006). Sejalan dengan LIPI-UNESCO/ISDR (2006) parameter
pertama faktor kritis kesiapsiagaan untuk mengantisipasi bencana alam adalah pengetahuan dan
sikap terhadap resiko bencana. Selain itu, terdapat 5 faktor yang mempengaruhi kesiapsiagaan
bencana yaitu Pengetahuan dan Sikap terhadap risiko bencana, Kebijakan dan Panduan,
Rencana untuk keadaan darurat bencana, Sistim Peringatan Bencana, Kemampuan untuk
Mobilisasi Sumber Daya.

Bencana dapat terjadi kepada siapa saja, dimana saja, dan kapan saja, serta datangnya tak
dapat diduga/diterka dan dapat menimbulkan kerugian dan korban yang tidak sedikit bahkan
kematian. Rumah Sakit sebagai salah satu “Public Area” , tidak mustahil menghadapi bahaya
dari bencana ini, oleh karena itu diperlukan tindakan penanggulangan terhadap bencana. Maka
diperlukanlah organisasi untuk mengantisipasi keadaan dan melakukan tindakan yang tepat.

B. Tujuan Pedoman
1. Tujuan Umum
Sebagai pedoman bagi seluruh karyawan Rumah Sakit dalam mengambil langkah- langkah
yang diperlukan guna mencegah dan menanggulangi bencana di rumah sakit, meningkatkan sistem
koordinasi antar personil bertindak/ bagian agar dapat secara terpadu dan terorganisir dan
agar korban bencana dapat ditangani secara cepat dan tepat sesuai kondisinya
2. Tujuan Khusus
a. Menilai tindakann respon/reaksi masyarakat, baik pasien, keluarga dan staf rumah sakit
untuk melakukan evakuasi yang terencana
b. Meningkatkan kapasita Sumber Daya Manusia (SDM) dalam melaksanakan Standar
Operasional Prosedur (SOP) yang telah dibuat.
c. Mengkaji kemampuan peralatan penunjang komunikasi sistem penringatan dini,
penunjang evakuasi, serta penunjang tanggap darurat.
d. Mengkaji kerja sama antara institusi/organisasi lokal
e. Melakukan evaluasi dan mengidentifikasi, bagian persiapan dan perencanaan yang perlu
diperbaiki dan ditingkatkan.
C. Ruang Lingkup Pelayanan

Sebagai Ruang Lingkup pedoman disaster plan ini adalah sebagai berikut :
1. Metodelogi
2. Organisasi
3. Perencanaan SDM, Logistik, dan Transportasi
4. Perencanaan Komunikasi
5. Pencatatan dan Pelaporan

D. Batasan Operasional
1. Pengertian
Bencana adalah rangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam atau manusia yang
mengakibatkan korban dan penderitaan manusia, kerugian harta benda, kerusakan
lingkungan, kerusakan sarana dan prasarana umum serta menimbulkan gangguan tata
kehidupan dan penghidupan, yang memerlukan pertolongan dan bantuan secara khusus.
Korban massal adalah banyaknya korban dengan penyebab kejadian yang sama, sehingga
membutuhkan pertolongan medik yang lebih memadai dalam hal, maupun tenaga sehingga
dapat memberikan pelayanan yang cepat dan tepat.
2. Kategori Bencana/Disaster
a. Intern
Bencana yang berasal dari intern rumah sakit dan menimpah rumah sakit dengan segala
obyek vitalnya yaitu pasien, pegawai, material, dan dokumen.
Contoh : Kebakaran
b. Ekstern
Bencana bersumber/berasal dari luar rumah sakit yang dalam waktu singkat
mendatangkan korban bencana dalam jumlah melebih rata – rata/ keadaan biasa
sehingga memerlukan penanganan khusus, dan mobilisasi tenaga pendukung lainnya.
Contoh : Korban keracunan massal, korban kecelakaan massal
E. Landasan Hukum
a. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
b. UU Kesehatan N0.23 tahun 1992
c. UU Praktek kedokteran No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran
d. UU tentang Perintah Daerah No. 32 Tahun 2004
e. Undang-undang Republik Indonesia No. 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan
Bencana
f. Keputusan MenKes RI No. 448/MENKES/SK/VI/1993 Tentang Pembentukan Tim
Kesehatan Penanggulangan Korban Bencana Di Setiap Rumah Sakit
g. Keputusan MenKes RI No. 28/MENKES/SK/I/1995 Tentang Petunjuk Pelaksanaan
Penanggulangan Medis Korban Bencana
h. Keputusan Menkes RI No. 205/MENKES/SK/III/1999 Tentang Petunjuk Pelaksaan
Pemerintah dan Pengiriman Bantuan Medik dari Rumah Sakit Rujukan saat Bencana
i. Keputusan MenKes RI No. 876/MENKES/SK/XI/2006 Tentang Kebijakan dan Strategi
Nasional Penanggulangan Krisis dan Masalah Kesehatan Lain
BAB II
STANDAR KETENAGAAN

A. Kualifikasi Sumber Daya Manusia


1. Prabencana
Prabencana kebutuhan SDM kesehatan pada masa prabencana menyangkut penempatan
SDM kesehatan dan pembentukan tim penanggulangan krisis akibat bencana. Dalam
perencanaan penempatan SDM kesehatan untuk pelayanan kesehatan pada kejadian
bencana perlu diperhatikan beberapa hal berikut :
a. Analisis resiko pada rawan bencana
b. Kondisi penduduk di daerah bencana (geografi, populasi, ekonomi, sosial budaya,
dsb)
c. Ketersediaan fasilitas kesehatan
d. Kemampuan SDM kesehatan setempat
e. Kebutuhan minimal pelayanan kesehatan diwilayah setempat
Sementara itu, dalam pembentukan tim penanggulangan krisis akibat bencana perlu
diperhatikan hal-hal berikut :
a. Waktu untuk bereaksi yang singkat dalam memberikan pertolongan
b. Kecepatan dan ketepatan dalam bertindak untuk mengupayakan pertolongan
terhadap korban bencana sehingga jumlah korban dalap diminimalkan
c. Kemampuan SDM kesehatan setempat (jumlah dan jenis serta kompetensi SDM
kesehatan setempat)
d. Kebutuhan minimal pelayanan kesehatan pada saat bencana
Disamping upaya pelayanan kesehatan (kegiatan teknis medis) diperlukan ketersediaan
SDM kesehatan yang memiliki kemampuan manajerial dalam upaya penanggulangan
krisis akibat bencana. Untuk mendukung kebutuhn tersebut, maka tim tersebut harus
menyusun rencana :
a. Kebutuhan anggaran (contigensy budget)
b. Kebutuhan sarana dan prasarana pendukung
c. Peningkatan kemampuan dalam penanggulangan krisis akibat bencana
d. Rapat koordinasi secara berkala
e. Gladi posko dan lapangan
2. Saat dan pasca bencana
Pada saat terjadi bencana perlu diadakan mobilisasi SDM kesehatan yang tergabung
dalam suatu tim penanggulangan krisis yang meliputi tim gerak cepat, tim penilaian
cepat kesehatan (Tim RHA) dan tim bantuan kesehatan. Koordinator tim dijabat oleh
kepala dinas kesehatan provinsi/kabupaten/kota (mengacu surat keputusan menteri
kesehatan No. 1653/MENKES/SK/XII/2005).
Kebutuhan minimal tenaga masing-masing tim tersebut, antara lain :
a. Tim gerak cepat, yaitu tim yang diharapkan dapat segera bergerak dalam waktu 0 – 24
jam setelah ada informasi kejadian bencana. Tim gerak cepat ini terdiri atas :
- Pelayanan medis
a) Dokter umum/BSB : 1 orang
b) Dokter spesialis bedah : 1 orang
c) Dokter spesialis anastesi : 1 orang
d) Perawat mahir (perawat bedah, gawat darurat) : 2 orang
e) Tenaga DVI : 1 orang
f) Apoteker/asisten apoteker : 1 orang
g) Supir ambulance : 1 orang
- Surveilans ahli epidemiologi/sanitarian : 1 orang
- Petugas komunikasi : 1 orang
Tenaga-tenaga diatas harus dibekali minimal pengetahuan umum mengenai bencana
yang dikaitkan dengan bidang pekerjaannya masing-masing.
b. Tim RHA, yaitu tim yang bisa diberangkatkan bersamaan dengan tim gerak cepat atau
menyusul dalam waktu kurun dari 24 jam. Tim ini minimal terdiri atas :
a) Dokter umum : 1 orang
b) Ahli epidemiologi : 1 orang
c) Sanitarian : 1 orang
c. Tim bantuan kesehatan yaitu tim yang diberangkatkan berdasarkan kebutuhan setelah
tim gerak cepat dan tim RHA kembali dengan laporan dengan hasil kegiatan mereka
dilapangan. tim bantuan kesehatan tersebut terdiri atas :
No Jenis Tenaga Kompetensi Tenaga
1. dokter umum PPGD/GELSA/ATLS/ACLS
2. Apoteker/Asisten Apoteker Pengelolaan obat dan alkes
3. Perawat(DIII/SI keperawatan) Emergency
nursing/PPGD/BTLS/PONED/PONEK/ICU
4. Perawat mahir anestesi/emergency nursing
5. Bidan (DIII kebidanan) APN dan PONED
6. Sanitarian (DIII Kesling/SI Penanganan Kualitas Air bersih dan kesling
KesMas)
7. Ahli Gizi (DIII/DIV gizi/SI Penangan gizi darurat
Kesmas
8. Tenaga Surveilans (DIII/DIV Surveilans penyakit
kesehatan/SI Kesmas)
9. Ahli Entomolog (DIII/DIV Pengendalian Vektor
kesehatan/SI kesmas/SI Biolog)

Kebutuhan tenaga bantuan kesehatan selainyang tercantum diatas perlu disesuaikan pula
dengan jenis bencana dan kasus yang ada, seperti berikut :
No Jenis Bencana Jenis Tenaga Kompetensi Tenaga Jumlah
1. Gempa Bumi Dokter spesialis bedah umum & sesuai
ortopedi kebutuhan/rekomendasi
penyakit dalam tim RHA
anak
Obgyn
anestesi
DVI
Kesehatan jiwa
Bedah Plastik
forensik
dental forensik
DIII perawat anestesi & perawat sesuai
mahir mahir gawat darurat kebutuhan/rekomendasi
(emergency nursing) tim RHA
dasar dan lanjutan
serta perawat mahir
jiwa, OK/ICU.
Radiografer Rontgen
2. Banjir Dokter spesialis bedah umum & sesuai
bandang/tanah ortopedi kebutuhan/rekomendasi
longsor penyakit dalam tim RHA
anak
Obgyn
anestesi
DVI
Kesehatan jiwa
Bedah Plastik
forensik
dental forensik
pulmonology
DIII perawat anestesi & perawat sesuai
mahir mahir gawat darurat kebutuhan/rekomendasi
(emergency nursing) tim RHA
dasar dan lanjutan
serta perawat mahir
jiwa
Radiografer Rontgen sesuai
kebutuhan/rekomendasi
tim RHA
3. Gunung Dokter spesialis bedah umum sesuai
Meletus penyakit dalam kebutuhan/rekomendasi
anastesi dan ahli tim RHA
intensive care
Kesehatan jiwa
Bedah Plastik
forensik
dental forensik
DIII perawat anestesi & perawat sesuai
mahir mahir gawat darurat kebutuhan/rekomendasi
(emergency nursing) tim RHA
dasar dan lanjutan
serta perawat mahir
jiwa
Radiografer Rontgen sesuai
kebutuhan/rekomendasi
tim RHA
4. Tsunami Dokter spesialis bedah umum & sesuai
ortopedi kebutuhan/rekomendasi
penyakit dalam tim RHA
anak
anestesi
DVI
Kesehatan jiwa
Bedah Plastik
forensik
dental forensik
pulmonology
DIII perawat anestesi & perawat sesuai
mahir mahir gawat darurat kebutuhan/rekomendasi
(emergency nursing) tim RHA
dasar dan lanjutan
serta perawat mahir
jiwa
Radiografer Rontgen sesuai
kebutuhan/rekomendasi
tim RHA
5. Ledakan Radiografer Rontgen sesuai
Bom/kecelakaan kebutuhan/rekomendasi
industri tim RHA
DIII perawat anestesi & perawat sesuai
mahir mahir gawat darurat kebutuhan/rekomendasi
(emergency nursing) tim RHA
dasar dan lanjutan
serta perawat mahir
jiwa, OK/ICU
Dokter spesialis bedah umum & sesuai
ortopedi kebutuhan/rekomendasi
penyakit dalam tim RHA
anestesi
DVI
Kesehatan jiwa
Bedah Plastik
forensik
dental forensik
6. Kerusuhan Dokter spesialis bedah umum & sesuai
Massal ortopedi kebutuhan/rekomendasi
penyakit dalam tim RHA
anestesi
DVI
Kesehatan jiwa
Bedah Plastik
forensik
DIII perawat anestesi & perawat sesuai
mahir mahir gawat darurat kebutuhan/rekomendasi
(emergency nursing) tim RHA
dasar dan lanjutan
serta perawat mahir
jiwa, OK/ICU
Radiografer Rontgen sesuai
kebutuhan/rekomendasi
tim RHA
7. Kecelakaan Dokter spesialis bedah umum & sesuai
transportasi ortopedi kebutuhan/rekomendasi
penyakit dalam tim RHA
anestesi
DVI
Bedah Plastik
forensik
dental forensik
DIII perawat anestesi & perawat sesuai
mahir mahir gawat darurat kebutuhan/rekomendasi
(emergency nursing) tim RHA
dasar dan lanjutan
serta perawat mahir
jiwa, OK/ICU
Radiografer Rontgen sesuai
kebutuhan/rekomendasi
tim RHA
8. kebakaran hutan Dokter spesialis Pulmonology sesuai
penyakit dalam kebutuhan/rekomendasi
tim RHA
Radiografer Rontgen sesuai
kebutuhan/rekomendasi
tim RHA

3. Kebutuhan jumlah minimal SDM kesehatan


Adapun perhitungan kebutuhan jumlah minimal sumber daya manusia kesehatan untuk
penanganan korban bencana, antara lain :
a. Jumlah kebutuhan SDM kesehatan di lapangan untu jumlah penduduk/pengungsi
antara 10.000-20.000 orang
- Kebutuhan dokter umum adalah 4 orang
- Kebutuhan perawat adalah 10-20 orang
- Kebutuhan bidan adalah 8-16 orang
- Kebutuhan apoteker adalah 2 orang
- Kebutuhan asisten apoteker 4 orang
- Kebutuhan pranata laboratorium 2 orang
- Kebutuhan epidemiology dalah 2 orang
- Kebutuhan entomolog adalah 2 orang
- Kebutuhan sanitarian adalah 4-8 orang
Sementara itu untuk pelayanan kesehatan bagi pengungsi dengan jumlah 5.000 :
- Pelayanan 24 jam, kebutuhan tenaga yang diusulkan sebagai berikut :
Dokter 2 orang
Perawat 6 orang
Bidan 2 orang
Sanitarian 1 orang
Gizi 1 orang
Asisten apoteker 2 orang
Administrasi 1 orang
- Pelayanan 8 jam, kbutuhan tenaga yang diusulkan sebagai berikut :
Dokter 1 orang
Perawat 2 orang
Bidan 1 orang
Sanitarian 1 orang
Gizi 1 orang
B. Distribusi Ketenagaan
Distribusi dalam rangka penempatan SDM kesehatan ditujukan untuk antisipasi
pemenuhan kebutuhan minimal tenaga pada pelayanan kesehatan akibat bencana. Penanggung
jawab dalam pendistribusian SDM kesehatan untuk tingkat provinsi/kota adalah kepala dinas
kesehatan.

C. Pengaturan Jaga
Mobilisasi SDM dilakukan dalam rangka pemenuhan kebutuhan SDM pada saat dan
pasca bencana bila :
a. Masalah kesehatan yang timbul akibat bencana tidak dapat diselesaikan oleh daerah
tersebut hingga memerlukan bantuan dari daerah lain/regional
b. Masalah kesehatan yang timbul akibat bencana seluruhnya tidak dapat diselesaikan
oleh daerah tersebut sehingga memerlukan bantuan dari daerah/regional
BAB III
TATA LAKSANA PELAYANAN

Pada situasi bencana , Rumah Sakit akan menjadi tujuan akhir dalam menangani korban
sehingga rumah sakit harus harus melakukan persiapan yang cukup. Persiapan tersebut dapat
diwujudkan diantaranya dalam bentuk menyusun perencanaan menghadapi situasi darurat atau
rencana kontingensi, yang juga dimaksudkan agar rumah sakit tetap bisa berfungsi terhadap
pasien yang sudah ada sebelumnya. Rencana tersebut umumnya disebut sebagai rencana
penanggulan bencana dirumah sakit atau Hospital Disaster Plan ( HDP ).
Ketika terjadi bencana, selalu akan terjadi keadaan yang kacau, yang bisa mengganggu
proses penanganan pasien, dan mengakibatkan hasil yang tidak optimal. Dengan HDP yang baik,
keadaan yang kacau akan tetap terjadi, tetapi diusahakan agar waktunya sesingkat mungkin
sehingga pelayanan dapat tetap dilakukan sesuai standard yang ditetapkan, sehingga mortalitas
dan moriditas dapat ditekan seminimal mungkin.
Dalam situasi bencana, hal-hal yang paling sering muncul dirumah sakit adalah:
- Pada satu saat ada penderita dalam jumlah banyak yang harus di layani sehingga
persiapan yang terlalu sederhana akan tidak mencukupi, dan diperlukan persiapan yang
lebih komperhensif dan intesif
- Kebutuhan yang melampaui kapasitas rumah sakit, dimana hal ini akan diperparah bila
terjadi kekurangan logistik dan SDM, atau kerusakan terjadi infrastruktur dalam rumah
sakit itu sendiri
Kedua hal tersebut diatas wajib diperhitungkan baik untuk bencana yang terjadi diluar
maupun didalam rumah sakit sendiri.
Pada situasi bencana yang terjadi diluar rumah sakit, hasil yang diharapkan dari HDP
adalah:
- Korban dalam jumlah yang banyak mendapat penanganan sebaik mungkin
- Optimalisasi kapasitas penerimaan dan penanganan pasien
- Pengorganisasian kerja secara profesional
- Korban/pasien tetap dapat ditangani secara individu, termasuk pasien yang sudah dirawat
sebelum bencana terjadi
Sedangkan untuk penanganan korban diluar rumah sakit, bantuan medis diberikan dalam
bentuk pengiriman tenaga medis maupun logistik medis yang diperlukan. Pada kasus dimana
bencana terjadi didalam rumah sakit seperti terjadinya kebakaran, bangunan roboh dsb, target
dari HDP adalah:
a. Mencegah timbulnya korban manusia, kerusakan harta benda maupun lingkungan
dengan cara:
- Membuat protap yang sesuai
- Melatih karyawan agar dapat menjalankan program tersebut
- Memanfaatkan bantuan dari luar secara optimal
b. Mengembalikan fungsi normal rumah sakit secepat mungkin
Secara umum dapat dikatakan bahwa untuk bencana eksternal maupun internal. Konsep
dasar HDP adalah:
- Melindungi semua pasien, karyawan, dan tim penolong
- Respon yang optimal dan efektif dari tim penanggulangan bencana yang berbasis pada
struktur organisasi rumah sakit sehari-hari
Oleh karena itu suatu HDP sudah seharusnya dibuat untuk mengantisipasi hal tersebut,
dan untuk itu sebaiknya disusun dengan mempertimbangkan komponen-komponen: kebijakan
penunjang, struktur organisasi dengan pembagian tugas dan sistem komando yang jelas, sistim
komunikasi – informasi, laporan data, perencanaan fasilitas penunjang, serta sistim evaluasi dan
pengembangan. Selain itu perencanaa dalam HDP harus sudah diuji dalam suatu simulasi, serta
disosialisasikan ke internal rumah sakit maupun institusi lainnya yang berhubungan. Selain itu
juga perlu dipersiapkan sejak awal bahwa suatu hari HDP merupakan bagian integral dalam
sistim penanggulan bencana lokal/daerah setempat.
Lima prinsip penyusunan pedoman perencanaan penyiagaan bnecana bagi rumah sakit
( P3B-RS ) dalam HDP adalah:
1. P3BRS adalah subsistim dari sistem perencanaan penanganan bencana secara
nasional
2. Perencanaan perlu memperhatikan efektivitas dan efisiensi, berdasarkan pengalaman
dari institusi lain
3. Dalam keadaan bencana, rumah sakit harus tetap menjalankan tugas dan fungsinya
untuk menangani pasien rumah sakit dan korban bencana, kecuali rumah sakit
mengalami kelumpuhan struktur dan fungsi.
4. Dalam pelaksanaan rumah sakit harus memperhatikan aspek medikolegal
5. P3BRS disesuaikan dengan kemampuan/kapasitas rumah sakit dengan membuat
prioritas berdasarkan risiko ancaman bencana yang dihadapi dan kondisi daerah
Setiap rumah sakit harus memiliki struktur organisasi Tim Penanggulangan Bencana
Rumah Sakit yang dibentuk oleh Tim penyusun dan ditetapkan oleh Pimpinan Rumah sakit.
Tugas Tim P3B RS adalah :
- Menyususun P3B RS
- Mengkoordinir penyusunan petunjuk operasional setiap unit kerja
- Merencanakan da menyelenggarakan pelatihan dan simulasi penanganan bencana
- Merencanakan anggaran
Struktur organisasi Tim Penanganan Bencana Rumah Sakit terdiri dari :
1. Ketua :
a. Dijabat oleh pimpinan Rumah Sakit
b. Dibantu oleh staf yang terdiri :
- Penasihat medik (ketua komite medik/ Dir atau Wadir pelayanan medik)
- Humas
- Pengubung
- Keamanan
Catatan : Humas, penghubung, keamanan dapat dijabat oleh Pembantu umum sesuai
struktur organisasi rumah sakit)
2. Pelaksana : disesuaikan dengan struktur organisasi Rumah sakit meliputi :
a. Operasional
b. Logistik
c. Perencanaan
d. Keuangan
Uraian tugas dan fungsi Tim Penanggulangan Bencana Rumah Sakit
KETUA
1. Bertanggung jawab terhadap pelaksanaan penanggulangan bencana
2. Melakukan koordinasi secara vertikal (BNPB/BPDT1-2) dan horisontal (RS, PMI)
3. Memberikan arahan pelaksanaan penanganan operasional pada tim lapangan
4. Memberikan informasi kepada pejabat, staf internal rumah sakit dan instansi terkait yang
membutuhkan dan media massa
5. Mengkoordinasikan sumber daya, bantuan SDM, dan fasilitas dari internal RS/luar RS
6. Bertanggung jawab dalam tanggap darurat dan pemulihan
PELAKSANAAN
a. Operasional
1. Menganilis informasi yang diterima
2. Melakukan identifikasi kemampuan
3. Melakukan pengelolaan sumber daya
4. Memberikan pelayanan medis (triage, pertolongan pertama, identifikasi korban,
stabilisasi)
5. Menyiapkan tim evakuasi dan transportasi
6. Menyiapkan area penampungan korban di lapangan termasuk penyediaan air bersih,
sanitasi dan bekerja sama dengan institusi lain
7. Menyiapkan tim keamanan
8. Melakukan pendataan pelaksanaan kegiatan
b. Perencanaan
1. Bertanggung jawab terhadap ketersediaan SDM
2. Patient tracking dan informasi pasien
c. Logistik
1. Bertanggung jawab terhadap ketersediaan fasilitas,
2. Bertanggung jawab pada ketersediaan dan kesiapan komuikasi
3. Menyiapkan transportasi untuk tim, korban bencanadan yang memerlukan
4. Menyiapkan area untuk isolasi dan dekontaminasi (bila diperlukan)
d. Keuangan
1. Merencanakan angaran penyiagaan penanganan bencana
2. Melakukan administrasi keuangan pada saat penanganan bencana
3. Melakukan pengadaan/pembelian barang
4. Menyelesaikan kompensasi bagi petugas dan klaim pembiayaan korban bencana
I. Kedudukan Rumah Sakit terhadap Supra Struktural

a. Pada saat terjadi bencana ekstern rumah sakit, siaga / stand by, sebagai berikut :
- maka Rumah Sakit bersikap siap
- Supra Struktural adalah Dinas kesehatan terkait,
- hubungan terjalin melalui garis koordinasi dengan direktur Rumah Sakit.
- Direktur memberikan instruksi kepada Tim Disaster Rumah Sakit untuk langkah- langkah
lebih lanjut sesuai hasil koordinasi dengan pihak supra struktural
- Tim disaster memberikan laporan dan rekomendasi atas pelaksanaan instruksi direktur
dan kondisi / situasi dilapangan.
- Tim disaster juga dapat berkoordinasi dengan pihak lain yang terkait seperti, ambulance, 118,
RS lain, PMI, Puskesmas guna memperlancar pelaksanaan penanganan bencana.

1. Rumah Sakit memberikan pelayanan bilamana korban telah tiba di rumah sakit, yaitu :
- TRIASE
melakukan seleksi pasien berdasarkan tingkat kegawatdaruratan untuk memberikan
prioritas penanganan Penderita dikelompokkan dalam 5 golongan, dibedakan dengan
menggunakan label pita berwarna merah, biru, kuning, hijau atau hitam. Pada label ditulis ;
nama pasien, umur, jenis kelamin, alamat pasien. Bila pasien tidak dikenal maka ditulis
“tidak dikenal”.

- TINDAKAN PENDAHULUAN
Dilakukan tindakan analisa situasi, yaitu :
Mengumpulkan informasi tentang bencana dari berbagai sumber seperti (media eletronik
Radio, TV, dll). Penyebaran analisa kepada unit-unit terkait, siaga tentang terjadinya becana
serta kondisi (Siaga I, Siaga II, dst) melalui pagging. Pengaktifan koordinasi / pengendalian
operasi pertolongan.
- RENCANA OPERASI PERTOLONGAN
Berdasarkan informasi yang didapatkan dilakukan operasi pertolongan dengan
mengirimkan unit ambulan dengan dilengkapi dokter jaga, medis perawat, dan peralatan
emergensi.
II. Kedudukan Tim Disaster dalam organisasi Rumah Sakit
Tim Disaster Rumah Sakit terdiri dari Pimpinan disaster dan tim pendukung. Pimpinan
disaster Rumah Sakit berada langsung dibawah garis komando Direktur rumah sakit, dan
bertanggungjawab atas pelaksanaan penanggulangan disaster kepada direktur rumah sakit.
Dalam melaksanakan penanggulangan disaster Tim Disaster dibantu oleh tim pendukung.

III. Pengorganisasian Tim Disaster Rumah Sakit


Pengorganisasian Tim Disaster Rumah Sakit, yang mana anggotanya terdiri dari setiap unit
kerja terkait dengan tugas, fungsi dan wewenangnya masing – masing, sebagai berikut :
1. Pimpinan Disaster
Pada saat jam dinas kantor yang bertindak sebagai pimpinan disaster adalah Wadir Umum
rumah sakit, adalah Kepala Jaga yang bertugas saat itu sebagai pengganti direktur rumah sakit.
Berwenang :
- Menentukan keadaan bencana
- Menentukan tingkat siaga
- Memobilisasi Tenaga

Bertugas :
- Mengkoordinasi segenap unsur di rumah sakit yang bertugas
menanggulangi bencana.
- Berkoordinasi dengan unsur dari luar rumah sakit bilamana dipandang perlu,
setelah berkonsultasi dengan direktur Rumah Sakit.
2. Tim Evakuasi
Terdiri dari perawat, petugas kebersihan, petugas administrasi dan keuangan
Bertugas :
- Membantu pasien dan keluarganya untuk keluar dari gedung rumah sakit
menyelamatkan diri.
- Menyelamatkan harta benda milik rumah sakit dan pasien.

3. Tim Keamanan
Adalah Satuan Pengamanan dari rumah sakit.
Bertugas :
- Mengamankan lokasi bencana dari orang-orang yang tidak bertanggungjawab
- Mengamankan jalur lalulintas ambulan, tenaga medis, dokumen-dokumen, dan
harta benda.

- Mengamankan jalur transportasi intern rumah sakit.

4. Tim Medis
Dipimpin oleh dokter IGD yang bertugas saat itu dan dibantu oleh perawat IGD.
Berwenang :
- Menentukan kondisi kegawatdarurat korban
- Menentukan penanganan lanjut untuk para korban, misalnya dirujuk atau tidak
- Menentukan tempat rujukan yang tepat buat korban
Bertugas :
- Memberikan pertolongan medis pertama kepada korban bencana

5. Tim Logistik Umum


Adalah petugas dapur dan laundry
Bertugas :
Melakukan perencanaan dan menyediakan logistik umum yang dibutuhkan oleh petugas
maupun korban bencana yang dibutuhkan saat itu.
6. Tim Penunjang

Tim Penunjang ini terdiri dari :


- Penunjang medik yaitu radiologi, farmasi, laboratorium, ambulan, rekam medis yang
bertugas memberikan bantuan penunjang medis sesuai bidangnya.

- Penunjang Umum yaitu petugas tekhnik akan memberikan bantuan penunjang


yang sifatnya umum seperti mengamanan kelistrikan agar tetap berfungsi dan
dapat memberikan tenaga listrik sesuai kebutuhan dan bantuan komunikasi, serta
bantuan umum yang lain yang dibutuhkan saat bencana.

7. Tim Khusus
Adalah petugas / perawat di Kamar Operasi
- Bila ada operasi yang sedang berlangsung dan operasi harus diselasaikan maka
operasi diselesaikan dan ditutup sementara,

bertugas :

maka petugas kamar operasi :


- Mengupayakan tenaga listrik tetap terjamin dengan berkoordinasi
petugas tekhnik.
- Berkoordinasi dengan pimpinan disaster untuk kondisi dan situasi
bencana
- Petugas Kamar Operasi berwenang menghentikan kegiatan operasi dan
mengevakuasi pasien bilamana situasi bencana tidak memungkinkan lagi.
- Bila tidak ada operasi/operasi baru dimulai maka operasi dihentikan dan dilakukan
evakuasi pasien oleh petugas kamar operasi sesuai ketentuan.
- Bila Korban bencana dari luar Rumah Sakit, maka perawat Kamar Operasi berperan
bagi korban yang memerlukan tindakan operasi segera tim oparasi yaitu dokter anastesi
dan dokter operator, dll,
- Perawat OK dapat dalam keadaan stand by di tempat atau bila diperlukan perawat
OK dapat menjemput korban yang telah tiba di IGD rumah sakit.

IV. PENANGGULANGAN BENCANA DARI LUAR RUMAH SAKIT

1. Metodelogi

Bencana dari luar rumah sakit akan mendatangkan korban yang bersifat massal,
karenanya berdasarkan jumlah korban yang datang bencana dengan korban massal
dibagi menjadi 3 tingkat yaitu :
Siaga 3 : jumlah korban yang datang 3 – 4 orang saja
Siaga 2 : jumlah korban yang datang 5 – 10 orang
Siaga 1 : jumlah korban yang datang lebih dari 10 orang
Keadaan siaga ini ditentukan oleh Dokter IGD yang berdinas pada saat itu, yang
selanjutnya dilaporkan kepada Pimpinan Disaster (WadirUm).
Triage dipimpin oleh dokter IGD bersama perawat IGD. Penanggulangan awal penderita
dilakukan oleh dokter IGD, perawat IGD, tenaga perawat dari ruangan lain yang
dimobilisasikan.

Korban dikelompokkan dalam 5 kelompok korban dan diberi label sebagai berikut :
Label Merah : Penderita yang memerlukan tindakan cepat, live saving
sehingga terhindar dari kecacatan atau kematian .
Label Biru : Penderita yang trauma kepala berat dan pendarahan dalam rongga

perut.
Label Kuning : Penderita dengan trauma ringan atau hanya memerlukan tindakan
bedah minor, yang selanjutnya korban diperbolehkan pulang.
Label Hijau : Penderita yang tidak mengalami luka dan bila dibiarkan tidak
berbahaya.
Label Hitam : Penderita yang sudah meninggal dunia. Pada label dituliskan : nama
korban, umur, jenis kelamin, alamat pasien Bila korban tidak dikenal
ditulis “tidak dikenal”.

2. ORGANISASI

Dalam keadaan bencana/ disaster plan seperti ini maka secara otomatis
pengorganisasian penanggulangan bencana yang telah ditetapkan menjadi aktif.

3. PERENCANAAN SDM
Perencanaan Sumber Daya Manusia ( SDM ) untuk menghadapi penanggulangan
bencana ditentukan berdasarkan :
. Jumlah korban yang ada pada saat itu.
. Jumlah tenaga yang ada pada saat itu.

Ketentuan perencanaan SDM adalah sebagai berikut :


1. Siaga 3 : Jumlah korban yang datang 3-4 orang
Dokter IGD dan Perawat IGD yang berdinas dibantu oleh perawat poliklinik agar
dapat memenuhi kebutuhan tenaga

2. Siaga 2 : Jumlah korban yang datang 5 – 10 orang


diperlukan tambahan tenaga perawat dari Perawatan lantai II sesuai kebutuhan

3. Siaga 1 : Jumlah korban lebih dari 10 orang


Diperlukan tambahan tenaga dari unit pelayanan perawatan lantai II dan lantai III,
serta perawat yang sedang tidak berdinas ( diasrama maupun dirumah )
4. PERENCANAAN KOMUNIKASI
Komunikasi dalam penanggulangan bencana di rumah sakit merupakan hal yang
sangat penting. Untuk itu ada hal – hal yang harus dipenuhi dalam berkomunikasi, yaitu:
1. Komunikasi dilakukan dengan singkat, jelas dan benar
2. bagi pengirim berita sebutkan identitas (nama instansi dan alamat) dan isi berita
yang mmenyebutkan jenis kejadian lokasi kejadian jumlah korban tindakan yang
telah dilakukan.
3. Penerima harus mencatat identitas pelapor, jam menerima berita, isi berita dan
mencari kebenaran berita tersebut, melaporkan ke atasan.

Alat – alat komunikasi yang dapat dipakai adalah :


1. Pagging
2. Airphone/intercom
3. Telepon
4. Faximile
5. Pesawat HT
6. Handphone

5. PERENCANAAN LOGISTIK
Perbekalan logistik umum dan obat-obatan dan alat umum maupun alat
medis sangat diperlukan saat penanggulangan bencana hal menjadi peranan penting
bagi tim pendukung logistik untuk merencanakan pelaksanaan sesuai dengan kondisi
pada saat itu.

6. PERENCANAAN TRANSPORTASI
Peranan Transportasi juga tidak kala pentingnya untuk pengangkutan korban,
oleh karena itu pimpinan disaster dapat menggunakan alat transportasi ambulan
untuk merujuk korban kerumah sakit rujukan dan bilamana perlu dapat
berkoordinasi dengan Ambulan.

7. PELAPORAN
Informasi cepat tentang jumlah / beratnya korban- korban harus segera di dapat
dalam 2 s/d 4 jam. Dilakukan evaluasi secara cepat dan tepat oleh Pimpinan Disaster
dan Tim Disaster selanjutnya dibuatkan laporannya untuk disampaikan kepada direktur
rumah sakit.
V. PENANGANAN BENCANA DARI DALAM RUMAH SAKIT
1. Metedologi
Sebagai contoh bencana dari dalam rumah sakit yang banyak menyebabkan kerugian dan
korban adalah kebakaran. Oleh karenanya metodelogi ini dititik beratkan pada
penganggulangan kebakaran, selanjutnya bencana lain tinggal mengikutinya. Kebakaran di
Rumah Sakit dapat digolongkan menjadi :
1. Kebakaran Ringan : kebakaran yang melibatkan area yang sempit, yang dengan api kecil.
2. Kebakaran Sedang : kebakaran yang melibatkan area lebih luas bersifat lokal
dengan besarnya api sedang.
3. Kebakaran Berat : kebakaran yang melibatkan area yang luas dengan api yang
besar.

2. Organisasi
secara otomatis organisasi penaggulangan bencana menjadi aktif sesuai ketentuan yang berlaku.

3. Perencanaan Sumber Daya Manusia


Perencanaan Sumber Daya Manusia (SDM) untuk menghadapi penanggulangan
bencana ditentukan berdasarkan :
● Golongan Kebakaran.
● Jumlah korban yang ada pada saat itu.
a. Golongan Kebakaran
• Kebakaran Ringan : untuk memadamkan api diperlukan 1 – 2 orang
dari pegawai yang dinas atau yang berada disekitar kejadian saja
dengan menggunakan 1-2 APAR.
• Kebakaran Sedang : untuk memadamkan api diperlukan 3-5 orang
daripegawai yang dinas dengan apar yang jumlahnya lebih banyak,
2-3 orang untuk evakuasi pasien, dokumen, ataupun barang berharga
lainnya yang ada di ruangan / lokasi kejadian.
• Kebakaran Berat : untuk memadamkan api diperlukan bantuan dari
dinaskebakaran, dengan mengerahkan seluruh pegawai yang berdinas
saat itu untuk melakukan evakuasi.
b. Jumlah Korban yang Ada Pada Saat Itu
Berdasarkan jumlah korban pada saat itu maka untuk memobilisasi
perencanaan SDM dapat digunakan ketentuan pada penanggulangan bencana
massal

4. PERENCANAAN LOGISTIK
Perbekalan logistik umum dan obat-obatan dan alat umum maupun alat medis
sangat diperlukan saat penanggulangan bencana, hal menjadi peranan penting bagi
tim pendukung logistik untuk merencanakan pelaksanaan sesuai dengan kondisi saat
itu.
5. Perencanaan Komunikasi
Komunikasi dalam penanggulangan bencana di rumah sakit merupakan hal yang sangat
penting. Untuk itu ada hal – hal yang harus dipenuhi dalam berkomunikasi, yaitu :
1. Komunikasi dilakukan dengan singkat, jelas dan benar
2. bagi pengirim berita sebutkan identitas (nama, instansi dan alamat) dan isi berita
yang mmenyebutkan jenis kejadian, lokasi kejadian, jumlah korban, tindakan
yang telah dilakukan.
3. Penerima harus mencatat identitas pelapor, jam menerima berita, isi berita dan
mencari kebenaran berita tersebut, melaporkan ke atasan.

Alat – alat komunikasi yang dapat dipakai adalah :


1. Pagging
2. Airphone/intercom
3. Telepon
4. Faximile
5. Pesawat HT
6. Handphone

6. Perencanaan Komunikasi
Peranan Transportasi juga tidak kalah pentingnya untuk pengangkutan korban,
oleh karena itu pimpinan disaster dapat menggunakan alat transportasi ambulan
untuk merujuk korban ke rumah sakit rujukan dan bilamana perlu dapat
berkoordinasi dengan Ambulan 118.
7. Pelaporan
Informasi tentang jumlah / beratnya korban dan kerusakan harus segera
didapat dalam 2 s/d 4 jam. Dilakukan evaluasi secara cepat dan tepat oleh Pimpinan
Disaster dan Tim Disaster, selanjutnya dibuatkan laporannya untuk disampaikan kepada
direktur rumah sakit.
BAB IV
PENUTUP

Dalam pembuatan buku pedoman Disaster Plan / Penanggulangan Bencana ini disadari
bahwa buku pedoman ini tidak sempurna masih terdapat banyak kekurangan- kekurangan.
Oleh kerena itu masukkan dan saran untuk perbaikan peningkatan isi buku pedoman ini,
merupakan sesuatu yang sangat berharga.

Semoga buku ini dapat menjadi pegangan bagi setiap orang yang melibatkan diri untuk
berkecimpung di bidang K3 Rumah Sakit.
Mengetahui,
Ketua K3 RS

Hasanuddin, AMK

Anda mungkin juga menyukai