Disusun Oleh:
1
2
Terdapat 127 gunung berapi aktif melingkari tanah nusantara atau Indonsia. Tantangan tersebut
sangat besar mengingat jumlah gunung api aktif (tipe A) di Indonesia mencapai 79 gunung dengan
penyebaran sebagai berikut: Sumatera , Jawa, Bali, Lombok , Sumbawa, Flores, Laut Banda, Sulawesi,
Kepulauan Sangihe, dan Halmahera (Wardyaningrum, 2016). Dengan total 30 gunung berapi di Pulau Jawa
maka berarti terdapat 120 juta orang hidup dalam ancaman letusan gunung berapi. Kedekatan warga dengan
lokasi gunung berapi telah terbukti fatal karena lebih dari 150.000 jiwa tewas akibat letusan gunung berapi
diseluruh nusantara dalam kurun waktu 500 tahun terakhir. Angka ini merupakan rekor dunia
(Wardyaningrum, 2016).
Daerah Istemewa Yogyakarta adalah daerah di Indonesia yang memiliki ancaman terhadap bencana
gunung merapi. Gunung dengan ketinggian 2.980 meter ini termasuk gunung yang paling aktif, pada tahun
2010 merupakan kejadian letusan gunung merapi terbesar dengan kerusakan skala tinggi di bandingkan
lima erupsi sebelumnya yang terjadi pada tahun 1994,1997,1998,2001 dan 2006. Erupsi gunung merapi
tahun 2010 memakan korban sebanyak 354 jiwa meninggal dunia, 240 jiwa luka-luka, dan 47.486 orang
yang ada disekitar gunung merapi mengungsi yang telah di sediakan (Febriyan,2017). Pasca letusan gunung
merapi tahun 2010, Badan Penanggulan Bencana (BNBP) meneteapkan Kabupaten Sleman sebagai
Kawasan Rawan Bencana (KRB) III yaitu di kecamatan Pakem, Turi, Tempel, Ngemplak Cangkringan,
dengan mencakup 9 dusun yaitu Kaliadem, Dusun Jambu, Dusun Pelamsari, Dusun Pangkurejo, Dusun
Srunen, Dusun Kalitengah Lord an Dusun Kalitengah Kidul (Fatmawati, 2016).
Erupsi gunung berapi menimbulkan kerusakan dan kerugian sebesar Rp. 3,557 Triliun. Kerugian
terbesar terjadi pada sector ekonomi produktif dengan perkiraan kerusakan dan kerugian mencapai Rp.
1,692 Triliun (46,64% dari total nilai kerusakan dan kerugian), kemudian diikuti sector infrastruktur sebesar
Rp. 707,427 miliar (19,50%) sektor perumahan Rp. 626,651 miliar (17,27 %) lintas sektor Rp. 408,758
miliar (13.22%) dan sektor sosial Rp. 122,472 miliar (3,38%) (Widodo dalam Susilo dan Rudiarto,2014).
Upaya penanggulan bencana di Indonesia di tegaskan dalam Undang-undang Dasar 1945 nomor 24 tahun
2007 sebagai bentuk implementasi dari komitmen Indonesia terhadap dunia international yang termasuk
dalam sendai Framework 2015-2030, sedangkan upaya penanggulangan Resiko bencana (PRB) tertuang
dalam Peraturan Pemerintahan nomor 21 tahun 2008, dan Peraturan-Peraturan Pemerintah serta Peraturan
Presiden nomor 8 tahun 2008 yang merupakan turunan dari Undang-undang Nomor 24 tahun 2007,
sehingga terbentuklah BNPB Rencana Nasional Penanggulan Bencana/RENAS PB, (BNBP, 2014).
Upaya yang dapat di lakukan dalam mengurangi resiko bencana gunung merapi sesuai dengan teori
mitigasi adalah dengan pembangunan struktural yaitu dengan melakukukan penataan ruang pengaturan
pembangunan dan infrastruktur sedangkan pembangunan non struktural adalah upaya yang dilakukan
dengan peningkatan sumber daya manusia dengan penyelenggaraan pendidikan melalui sekolah siaga
3
bencana, pelatihan, dan penyuluhan. Pelaksanaan pembangunan struktural dan pembangunan non struktural
akan mengarungi dampak yang di timbulkan akibat letusan gunung merapi (Isdrawati, 2019).
Mempersiapkan pengetahuan terhadap bencana serta kesiapsiagaanya sejak dini kepada
masyarakat yang rentan bencanan adalah sangat penting untuk menghindari atau memperkecil risiko
menjadi korban. Pendidikan siaga bencana perlu dikembangkang mulai tingkat pendidikan dasar untuk
membangun budaya keselamatan dan ketahanan khusunya untuk anak-anak dan generasi muda. Sekolah
sebagai institusi pendidikan yang di dalamnya menanamkan nilai nilai budaya dan pengetahuan kepada
generasi muda di harapkan dapat memberikan peranan yang penting bagi pendidikan risiko bencana (Carter,
2011). Bahwa semakin tinggi tingkat pengetahuan seseorang akan semakin mudah menerima informasi
sehingga semakin banyak pula pengalaman yang luas akan berdampak kognitifnya. Pengetahuan
merupakan faktor yang semakin penting dalam kehidupan sehari sehari. Tingkat pengetahuan akan
mempengaruhi persepsi seseorang tentang kognitif seseorang yang pengetahuan tinggi juga memiliki
penalaran yang tinggi pula dalam hal kesiapsiagaan bencana merapi. Perencanaan kesiapsiagaan tujuannya
adalah untuk untuk memperoleh masyrakat yang siap menghadapai dan menanggulangi berbabagai macam
situasi darurat (Levac, 2012).
Penguatan kesiapsiagaan bencana merupakan prioritas utama dari program manajemen bencana
pemerintah di tingkat nasional maupun daerah (UNISDR, 2014). Namun pemerintah mempunyai
keterbatasan waktu dan mobilitas bantuan kepaa masyarakat. Oleh karena itu perencanaan kesiapsiagaan
yang di dasarkan pada tanggung jawab individu dan keluarga menjadi sorotan utama untuk di perbaiki
(Central Disaster Management Council, 2011 ; dalam Tomio et al., 2014). Hal ini di karenakan peran
keluarga dalam kesiapsiagaan sangat penting. Alasannya kepala keluarga dapat berperan dalam
menyampaikan informmasi bagi keluarganya, mempengaruhi anggota keluarganya dalam mengambil
keputusan yang cepat, dan dapat serta sebagai sumber dukungan sosial bagi keluarganya (Levac 2012).
Penguraangan resiko bencana (PRB) adalah kerangka atau elemen yang di pertimbangkan dalam
meminimalkan kerentanan dan resiko bencana di seluruh masyarakat. PRB dengan cara menghindari
(pencegahan), membatasi (mitigasi dan kesiapsiagaan), dan mengurangi dampak yang merugikan (Zahrah,
2018). Paradigma di Indonesia tentang penanggulangan bencanan telah mengalami pergesaran dari
penanggulangan yang tefokus pada tanggap darutat dan pemulihan (responsif) ke pengurangan resiko dan
kesiapsiagaan ke pengurangan resiko dan kesiapsiagaan (preventif). Pergesaran paradigma tersebut
menekankan pada penanggulangan pra bencana. Salah satu kegiatan yang dapat di lakukan sebelum
terjadinya bencana adalah mitigasi bencana (Widjaja, 2018).
B.Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut : “Apakah ada
hubungan tingkat pengetahuan dengan kesiapsiagaan bencana gunung merapi?”
4
C.Tujuan Umum
1. Tujuan Umum
Mengetahui hubungan tingkat pengetahuan dengan kesiapsiagaan bencana gunung Merapi pada warga
dusun Manggong Kepu Harjo Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui tingkat pengetahuan tentang bencana gunung merapi pada warga dusun Manggong Kepu
Harjo Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta
b. Mengetahui kesiapsiagaan bencana gunung merapi pada warga dusun Manggong Kepu Harjo Sleman
Daerah Istimewa Yogyakarta
D. Manfaat Penelitian
1. Teoritis
Menambahkan pengetahuan di bidang Ilmu Keperawatan khususnya kegawat daruratan tentang
hubungan tingkat pengetahuan dengan kesiapsiagaan bencana gunung merapi pada warga
2. Praktis
a. Bagi Mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan STIKes Surya Global Yogyakarta, Setelah
mengetahui hasilnya, maka dapat digunakan mahasiswa sebagai pengetahuan dan kesiapsiagaam dalam
menghadapi bencana gunung merapi.
b. Bagi Peneliti menambah pengetahuan dan pengalaman terkait kebencanaan termasuk implementasi
kesiapsiagaan bencana gunung merapi kehidupan sehari-hari.
c. Bagi Warga mengetahui bagaimana ancaman bencana gunung merapi yang dapat terjadi di
lingkungan sekitar.
E. Ruang Lingkup Penelitian
Sehubungan dengaaan keterbatasan waktu, dana, tenaga, dan teori-teori maka penelitian membatasi
masalah yang akan dikaji adalah sebagai berikut:
1. Variabel
a. Variabel Independen (bebas) : Tingkat Pengetahuan
b. Variabel Dependen (terikat) : Kesiapsiagaan Bencana
2. Responden
Warga dusun Manggong Kepu Harjo Cangkringan Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta
3. Waktu penelitian
Penelitian ini akan dilakukan pada bulan November-Desember 2022
4. Sumber informasi
Melalui observasi, wawancara, dan kuesioner
5. Tempat penelitian
5
E. Keaslian Penelitian
Sepanjang pengetahuan penulis, hasil penelitian yang terkait dengan penelitian ini sebagai berikut :
1. Susanto & Thomas (2016) yang meneliti tentang “Analisis Level Kesiapsiagaan Warga Menghadapi
Potensi Bencana Longsor Kota Semarang”. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengindentifikasi tingkat
kesiapan warga dalam menghadapi bencana longsor. Indeks kesiapsiagaan akan di gunakan input
penentuan prioritas sosialisasi dan bahan desain intervensi kognitif yang di perlukan untuk
meningkatkan indeks kesiapsiagaan warga. Dengan demikian kerugian yang mungkin timbul akibat
ketidaksiapan warga berkurang. Metode yang digunakan dalam pemelitian ini adalah mengukur indeks
kesiapsiagaan warga di 19 lokasi titik penelitian rawan bencana longsor. Hasil penelitian menunjukkan
secara umum, kesiapsiagaan masyarakat semarang masuk dalam kategori “hampir siap” dengan nilai
indeks 55,74 terdapat 2(dua) lokasi yang memiliki indeks kesiapsiagaan. “belum siap” yaitu kembang
arym dan manyaran. Daerah mangunharjo berada dalam kategori indeks cukup siap. Ketiga daerah ini
berada di daerah dengan tingkat kerawanan cukup tinggi, sehingga di prioritaskan untuk mendapatkan
sosialisasi dan intervensi yang di perlukan. Adapun persamaannya adalah variabel kesiapan warga
menghadapi potensi persamaannya adalah pada variabel kesiapan warga menghadapi potensi bencana
dan sama-sama menggunakan rancangan penelitian crosssectional, sedangkan perbedaan terletak pada
variabel indeks kesiapan warga metode analisis deskriptif, sertai lokasi penelitian yang berbeda.
2. Suwaryo & Podo (2017) yang meneliti tentang ”Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Pengetahuan
Masyarakat dalam Mitigasi Bencana Alam Tanah Longsor”.Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui
tingkat pengetahuan masyarakat tentang mitigasi bencana alam tanah longsor. Penelitian ini merupakan
penelitian kuantitatif analitik observasional yang dilakukan terhadap 48 responden yaitu warga
masyarakat Desa Sampang Kecamatan Sempor Kabupaten Kebume, dengan menggunakan teknik total
sampel. Hasil penelitian didapatkan umur responden sebagian besar 26-35 tahun (37,5%), jenis kelamin
perempuan (64,6%), pendidikan lulus SMP (45,8%), pekerjaan petani (54,2%) dan tingkat pengetahuan
kategori baik (47,9%). Hasil uji korelasi menggunakan koefisien kontingensi menunjukkan bahwa ada
hubungan antara umur (p=0,001), pendidikan (p=0,008) dan pekerjaan (p=0,000) terhadap tingkat
pengetahuan. Hasil uji regresi logistik didapatkan umur (RR=3,224) merupakan faktor dominan yang
mempengaruhi tingkat pengetahuan warga masyarakat tentang mitigasi bencana alam tanah longsor.
Adapun persamaannya adalah pada variabel tingkat pengetahuan masyarakat dalam mitigasi bencana
dan sama-sama menggunakan rancangan penelitian cross-sectional, sedangkan perbedaan terletak pada
variabel independen; umur, pendidikan, pekerjaan, metode analisis data menggunakan regresi logistik,
serta lokasi penelitian yang berbeda.
6
3. Eka Nurmala Sari (2019) yang meneliti tentang “Hubungan Tingkat Pengetahuan dengan Kesiapsiagaan
Bencana Gunung Merapi Desa Kinahrejo Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta”. ”.Penelitian ini
dilakukan untuk mengetahui tingkat pengetahuan dan kesiapsiagaan masyarakat tentang bencana alam
gunung merapi. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif analitik observasional yang dilakukan
terhadap 68 responden yaitu warga masyarakat Desa Kinahrejo, dengan menggunakan teknik total
sampel. Hasil penelitian didapatkan umur responden sebagian besar 26-35 tahun (37,5%), jenis kelamin
perempuan (64,6%), pendidikan lulus SMP (45,8%), pekerjaan petani (54,2%) dan tingkat pengetahuan
kategori baik (47,9%). Hasil uji korelasi menggunakan koefisien kontingensi menunjukkan bahwa ada
hubungan antara umur (p=0,001), pendidikan (p=0,008) dan pekerjaan (p=0,000) terhadap tingkat
pengetahuan. Hasil uji regresi logistik didapatkan umur (RR=3,224) merupakan faktor dominan yang
mempengaruhi tingkat pengetahuan warga masyarakat tentang. Adapun persamaannya adalah pada
variabel tingkat pengetahuan masyarakat dalam mitigasi bencana dan sama-sama menggunakan
rancangan penelitian cross-sectional, sedangkan perbedaan terletak pada variabel independen; umur,
pendidikan, pekerjaan, metode analisis data menggunakan regresi logistik, serta lokasi penelitian yang
berbeda.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
1.Pengetahuan
a. Definisi Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap
objek melalui indera yang di milikinya (mata, hidung, telinga, dan sebagainya). Dengan
sendirinya, pada waktu penginderaan sampai menghasilkan pengetahuan tersebut sangat
dipengaruhi intensitas perhatian dan persepsi terhadap objek. (Notoatmojo, 2013)
b. Tingkat Pengetahuan
Menurut Kratwohl dalam Rofifah (2019) pengetahuan di dalam kognitif mempunyai 6
tingkatan, yaitu :
1) Mengingat (Remember)
Mengingat merupakan usaha mendapatkan kembali pengetahuan dan memori atau ingatan
yang telah lampau, baik yang baru saja di dapatkan naupun yang sudah lama di dapatkan.
Mengingat merupakan dimensi yang berperan penting dalam proses pembelajaraan yang
bermakna (Meaningful Learning) dan pemecahan masalah (Problem Solving). Kemampuan
ini di manfaatkan untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang jauh lebih kompleks.
Mengingat meliputi mengenali (recognition) dan memanggil kembali (recalling). Mengenali
berkaitan dengan mengetahui pengetahuan masa lampau yang berkaitan dengan hal-hal yang
konkret, misalnya tanggal lahir, alamat rumah dan usia, sedangkan memanggil kembali
recalling adalah proses kognitif yang membutuhkan pengetahuan masa lampau secara cepat
dan tepat.
2) Memahami
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan mengklarifikasi dan membandingkan
tentang objek yang di ketahui, serta dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar.
Orang yang telah paham terhadap objek atay materi harus mampus menjelaskan, menyebutkan
contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan mengetahui ciri-ciri tiap objek yang di pelajari.
7
8
pelatihan (Sunarti,2014). Menurut hasil penelitian Maryanti dan Hoffman dalam Rofifah
(2019) tingkat pendidikan yang lebih tinggi memiliki tingkat kesiapan yang lebih baik karena
individu dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi dapat mengakses informasi yang lebih
beragam dari beberapa sumber.
2). Informasi
Pengetahuan individu akan baik apabila semakin banyak informasi yang di terima dalam
suatu pembelajaran. Informasi dapat di peroleh melalui pembelajaran formal maupun
informal. (Riyanto dalam Rofifah,2019)
3). Sosial, Budaya, dan Ekonomi
Sosial dan Budaya yang baik maka akan meningkatkan pengetahuan individu melalui cara
berfikir yanjg sesuai dengan ilmu yang di pelajari. Status ekonomi seseorang akan
mempengaruhi ketersediaan dan fasilitas belajar apabila fasilitas memadai maka proses
pembelajaran akan berjalan dengan baik. (Muttarack et.,al dalam Rofifah 2019)
4). Pengalaman
Pengalaman merupakan pembelajaran bagi individu untuk mencari penyelesaian dari
masalah yang di hadapi. Pengalamaan dapat di rasakan oleh individu itu sendiri atau orang
lain.37 Pengalaman dapat meningkatkan dapat meningkatkan kesadaran tentang potensi
kehancuran, menunjukan manfaat dari persiapam dan evakuasi, dan meningkatkan
pengetahuan tentang bagaimana memulihkan kondisi pasca bencana serta bagaimana
menghadapi ancaman bencana (Muttarack et.,al dalam Rofifah 2019)
5). Usia
Pertambahan usia akan berbanding lurus dengan pertambahan ilmu atau pengetahuan
karena adanya peningkatan pola piker dan daya tangkap dan individu tersebut.(Riyanto dalam
Rofifah, 2019)
d. Pengetahuan sebagai dasar terbentuknya aplikasi kesiapsiagaan bencana
Pengetahuan dasar bagi individu untuk berperilaku. Perilaku yang didasari oleh
pengetahuan akan lebih efektif dari pada perilaku yang tidak didasari pengetahuan (Notoadmodjo,
2013). Mengungkapkan bahwa sebelum seseorang mengadopsi perilaku baru, dalam diri
seseorang tersebut terjadi proses yang berurutan yakni :
1). Awarenness, dimana seseorang menyadari/mengetahui stimulus (objek) terlebih dahulu.
2). Interest, yakni orang mulai tertarik terhadap stimulus.
3). Evaluation, yaitu menimbang-nimbang baik dan tidaknya, stimulus tersebut bagi dirinya.
4). Trial, dimana orang telah memulai mencoba perilaku baru.
10
5). Adoption, subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran, dan sikapny
terhadap stimulus.
Adopsi perilaku yang di dasari oleh pengetahuan, kesadaran, dan sikap positif, maka
perilaku tersebut akan bersifat long-lasting. Perilaku aplikasi kesiapsiagaan bencana pada
mahasiswa keperawatan di bentuk melalui serangkai proses belajar (learning process) dari
pendidikan bencana, pengalaman, dan pengumpulan informasi secara mandiri. Mahasiswa ilmu
keperawatan sebagai cikal bakal perawat yang akan berperan sebagai penolong utama (front line
care provider) perlu memastikan dirinya untuk memiliki pengetahuan dan keterampilan
kebencanaan yang adekuat sehingga mampu merespon situasi emergensi bencana secara efektif
semakin tinggi tingkat pengetahuan tingkat pengetahuan mahasiswa ilmu keperawatan tentang
kesiapsiagaan bencana, semakin efektif perilaku yang dimilikinya (Usher & Mayner, 2011).
2. Bencana
a. Pengertian Bencana
Bencana adalah suatu kejadian peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan
mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam
atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa
manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis (BNPB, 2014).
Menurut Parkash, (2014) juga mengemukakan bahwa bencana berarti malapetaka yang muncul
di daerah manapun, yang timbul dari alam atau buatan manusia. Penyebab bencana yaitu berupa
kecelakaan atau kelalaian yang mengakibatkan hilangnya nyawa atau penderitaan, dan kerusakan
harta benda serta lingkungan (Parkash dalam Waruwu, 2018).
b .Manajemen Disaster
Manajemen disaster akan melibatka pengelolahan resiko dan konsekuensi dari bencana
yang mencakup pencegahan tanggap darurat (National Disaster, 2010). Manajemen disaster pada
tingkat individu dan organisasi berkaitan dengan masalah perencanaaan menghadapii bencana,
koordinasi sebelum dan saat terjadi bencana, komunikasi yang baik dan penilaian resiko saat
bencana terjadi (Modh dalam Waruwu, 2018). Manajemen disaster adalah kegiatan-kegiatan yang
dilakukan untuk mengendalikan bencana dan keadaan darurat, sekaligus memberikan kerangka
kerja untuk menolong masyarakat dalam keadaan beresiko tinggi agar dapat menghindari ataupun
pulih dari dampak bencana (Kurniyanti dalam Waruwu, 2018)
11
Menurut BNPB, (2017) ada beberapa tahapan upaya manajemen bencana untuk menangani
bencana :
1). Fase Kesiapasiagaan (preparedness)
Kesiapsiagaan atau preparedness adalah suatu persiapan rencana yang bertuuan untuk
bertindak ketika kemungkinan terjadinya suatu bencana. Perencanaan yang dilakukan adalah
memperkirakan kebutuhan-kebutuhan yang di perlukan dalam keadaan darurat dan
identifikasi sumber daya yang ada untuk dapat memenuhi kebutuhan tersebut.
2). Fase Mitigasi (mitigation)
Mitigasi atau mitigation adalah suatu upaya yang di lakukan untuk mengurangi dampak
buruk dari suatu ancaman bencana
3). Fase respon (response)
Fase respon adalah perencanaan implementasi actual bencana, Perencanaan respon
terhadap pencarian dan penyelamatan korban sangat baik menggunakan metode Incident
command System (ICS)
4). Fase Pemulihan (recovery)
Pemulihan atau pemulihan adalah suatu proses perbaikan terhadap semua akses yang rusak
akibat bencanan yang tujuannya adalah kebutuhan pokok kembali terpenuhi. Terdapat dua
proses recovery yang di lakukan yang di lakukan yaitu proses yang bersifat sementara atau
berjangka pendek dan proses yang bersifat panjang atau permanen.
5). Fase Rekontruksi
Pembangunan kembali semua saran dan prasarana kelembagaan pada wilayah pasca
terjadinya bencana baik pada tingkat pemerintah maupun masyarakat dengan sasaran utama
tumbuh dan berkembangannya kegiatan perekonomian, sosial dan budaya, tegaknya hokum
dan ketertiban, dan bangkitnya peran serta masyarakat dalam segala aspek kehidupan
masyarakat pada wilayah pasca bencana.
6). Fase Evaluasi
Sering di sebut fase perencanaan dan tanggap bencana dimana masyarakat dalam kembali
beraktivitas seperti biasanya. Evaluasi resmi sangat penting dilakuakan untuk
mengindentifikasin perencanan yang baik bagi masyarakat dalam menghadapi bencana
selanjutnya.
12
Menurut National Plan For Disaster Management (2010), ruang lingkup dari rencana
manajemen disaster sebagai berikut :
1). Analisis ancaman bencana alam dan buatan manusia termasuk perubahan iklim terhadap
masyarakat, ekonomi, infrastruktur dengan tujuan untuk mengidentifikasi dimana dan
kapan ancaman.
2). Identifikasi dengan analisis akurat lebih lanjut siapa dan apa kerentanan terjadinya hal
tersebut, ancaman dan bagaimana hal ini mungkin akan mempengaruhi.
3) .Selidiki tindakan apa yang munkin dilakukan untuk mencegah terjadinya kejadian bencana,
apa yang biasa dilakukan untuk mengurangi, langkah-langkah kesiapan untuk mengatasi
hal tersebut.
c. Resiko Bencana
Risiko bencana didefinisikan sebagai kemungkinan atau kesempatan terhadap munculnya
dampak berbahaya atau kehilangan (nyawa, terluka, harta, rumah tangga, aktivitas ekonomi,
lingkungan) sebagai dampak interaksi alam dan manusia yang merugikan atau rentan (Disaster
Management, 2010). Penting dipahami bahwa tidak semua bencana menimbulkan kerusakan yang
mendadak, seperti tsunami dan gempa berskala tinggi. Kerusakan akibat bencana mungkin terjadi
secara perlahan dan meningkatkan risiko kerentanan bila tidak dipersiapkan dalam Disaster
Management (2010) merupakan serangkaian proses perencanaan yang bertujuan untuk mengenali
melakukan respon efektif terhadap bencana, dan menyiapkan rehabilitasi pasca bencana.
3.Kesiapsiagaan
a.Definisi Kesiapsiagaan
Kesiapsiagaan bencana merupakan kemampuan atau keterampilan dan pengetahuan yang
dikembangkan oleh pemerintah, institusi terkait kebencanaan, komunitaas, dan individu tujuannya
dari kesiapsiagaan bencana ialah untuk mengantisipasi dan memberikan respon yang efektif
terhadap dampak yang mungkin terjadi dari ancaman bencana (United Nations, 2015)
13
B.Kerangka Teori
1.Pendidikan
2.Pengalaman Tingkat Kesiapsiagaan
Pengetahuan Bencana
3.Informasi
4.Sosial,Budaya,Ekonomi
5.Usia
Individu Keluarga Komunitas Pemerintah
(Mohammad et al., 2014), (Maryanti dan Hoffman dalam Rofifah 2019), (Riyanto dalam Rofifah,2019)
(Muttarack et.,al dalam Rofifah 2019), (Riyanto dalam Rofifah, 2019), (United Nations, 2015),
(Istiqomah, 2015)
16
C.Kerangka Konsep
: Tidak diteliti
D. Hipotesis
Ha : Ada hubungan tingkat pengetahuan kesiapsiagaan bencana gunung merapi pada warga Desa
Manggong Kepu Harjo Cangkringan Sleman Yogyakarta
Ho : Tidak ada hubungan tingkat pengetahuan kesiapsiagaan bencana gunung merapi pada warga Desa
Manggong Kepu Harjo Cangkringan Sleman Yogyakarta
BAB III
METODE PENELITIAN
A.Metode Penelitian
Jenis penelitian yang di gunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitik, artinya survei atau
penelitian yang mencoba menggali bagiamana dan mengapa fenomenan kesehetan itu terjadi. Penelitian
ini menggunakan crosssectional dimana penelitian ini dengan melakukan pengukuran atau pengamatan
pada saat bersamaan atau sekali waktu antara variabel independen dan variabel dependen ( Nursalam,
2015).
B. Populasi dan Sample Penelitian
1. Populasi
Populasi adalah subjek yang memenuhi kriteria kriteria yang di tetapkan dan dapat di jangkau oleh
penelitinya (Nursalam, 2015). Pada penelitian saya ini adalah memilih warga Seluruh Desa Manggong
Kepu Harjo Cangkringan Sleman berjumlah 306.
2. Sample
Sample adalah proses menyeleksi porsi dari populasi untuk dapat mewakili populasi. Teknik
Sample merupakan cara-cara yang di tempuh dalam pengambilan sampel agar memperoleh sampel
yang benar-benar sesuai dengan keseluruhan subjek penelitian (Nursalam, 2015). Sample yang akan
saya gunakan dalam penelitian adalah teknik Purposive Sampling, yaitu suatu tehnik penetapan sampel
dengan cara memilih sampel diantara populasi sesuai dengan yang di kehendaki peneliti (tujuan atau
masalah dalam penelitian), sehingga sampel tersebut dapat mewakili karakteristik popuasi yang telah
dikenal sebelumnya (Nursalam, 2015).
3. Kriteria Sample
a). Kriteria Inklusi
Kriteria inklusi adalah kriteria yang perlu di penuhi oleh setiap anggota populasi yang dapat
di ambil sebagai sample (Notoadmodjo, 2012).
1). Warga Desa Manggong Kepu Harjo Cangkringan Sleman
2). Warga Desa Kinahrejo Umbulharjo Cangkringan Sleman usia 26 sampai 40 tahun
b). Kriteria Eksklusi
Kriteria Ekslusi adalah ciri-ciri anggota populasi yang tidak dapat diambil sample
(Notoadmodjo, 2012).
1). Warga Desa Manggong Kepu Harjo Cangkringan Sleman yang umurnya lebih dari 40 tahun.
2). Warga Desa Manggong Kepu Harjo Cangkringan Sleman yang tidak mengisi informed
consent ataupun kuisoner.
17
18
Mengingat jumlah populasi besar, maka dalam pengambilan sampel digunakan rumus
sebagai berikut (Sugiyono, 2017):
N
n
N .d 2 1
Dimana:
n = Jumlah sampel
N = Jumlah populasi
d2 = Presisi yang ditetapkan
Diketahui jumlah populasi sebesar N = 347 orang populasi dan tingkat presisi yang
ditetapkan 10%. Berdasarkan rumus tersebut diperoleh jumlah sampel (n) sebagai berikut:
N
n
N .d 2 1
Dimana:
n = Jumlah sampel
N = Jumlah populasi
d2 = Presisi yang ditetapkan
𝑁 347 347 347
𝑛= = = = = 77,6
𝑁𝑑 2 + 1 347. (0,1)2 + 1 347. (0,01) + 1 4,47
maka, jumlah sampel dalam penelitian ini dibulatkan menjadi sebesar 78 responden.
19
F. Definisi Operasional
Definisi operasional penelitian sebagai berikut :
Tabel 3.1. Definisi Operasional
Variabel Definisi Alat Ukur Skor Skala Data
Operasional
Tingkat Pengetahuan Kuisoner tingkat Dikategorikan Ordinal
Pengetahuan merupakan hasil pengetahuan dengan aspek Tingkat
penginderaan definisi bencana (merapi, pengetahuan
manusia, atau gempa bumi, dan Tinggi : > 75 –
hasil tahu kebakaran) Risiko bencana 100%
seseorang di darat Teknik Sedang : 60 – 75
terhadap objek penyelamatan %
melalui indera Rendah : < 60%
yang di milikinya Nilai di atas
(mata, hidung, adalah nilai rata-
telinga, dan rata skor variabel.
sebagainya). (Arikunto, 2013).
Dengan
sendirinya, pada
waktu
penginderaan
sampai
menghasilkan
pengetahuan
tersebut sangat
dipengaruhi
intensitas
perhatian dan
persepsi terhadap
objek.
Kesiapsiagaan Kesiapsiagaan Kuesioner Dikategorikan Ordinal
Bencana bencana Kesiapsiagaan
merupakan Bencana
21
H. Instrumen Penelitian
Instrumen Penelitian adalah alat yang digunakan peneliti dalam mengumpulkan data agar
pekerjaanya lebih mudah dan hasilnya lebih baik, dalam arti lebih cermat, lengkap, dan sistematis
sehinggal lebih mudah diolah (Nursalam, 2015). Instrumen dalam penelitian ini adalah kuesioner
tentang tingkat pengetahuan dan kesiapsiagaan bencana gunung Merapi di Desa Manggong Kepu Harjo
Cangkringan Sleman. oleh peneliti berdasarkan aspek-aspek variabel di bawah ini :
1. Tingkat Pengetahuan
Instrumen Pengetahuan terdiri dari 41 pertanyaan yang berisi dari definisi gunung merapi, resiko
pertanyaan, teknik penyelamatan diri saat bencana dan emergency planning dalam kuesioner tingkat
pengetahuan dengan cara menjawab pertanyaan dengan memberikan tanda (√) dengan 2 pilihan
jawaban yaitu “BENAR dan “SALAH” masing-masing dari pertanyaan tersebut mendapatkan skor
1 “BENAR” dan jawaban “SALAH” mendapatkan skor 0 dan skala digunakan ialah skala Guttman.
pernyataan positif (favourable), Sedangkan pemberian nilai untuk pernyataan negatif
(unfavourable). Instrumen Penelitian dengan variabel tingkat pengetahuan mengadopsi
kuisoner penelitian (Sari, 2019).
𝑛
𝑝= 𝑥100%
𝑁
Keterangan :
P = Presntase
n = Jumlah jawaban yang benar
N = Jawaban seluruh item pertanyaan
Maka Kategorinya adalah
a). Tinggi : > 75 – 100%
b). Sedang : 60 – 75 %
2. Kesiapsiagaan Bencana
Instrumen pada pernyataan kesiapsiagaan bencana terdiri 41 pertanyaan dan
terdiri dari pendidikan bencana, pelatihan bencana, simulasi bencana dan sarana tanggap
darurat dalam kuisoner kesiapsiagaan bencana tingkat pengetahuan dan cara menjawab
pertanyaan dengan memberikan tanda (√) dengan 2 pilihan jawaban yaitu “BENAR dan “SALAH”
masing-masing dari pertanyaan tersebut mendapatkan skor 1 “BENAR” dan jawaban “SALAH”
mendapatkan skor 0 dan skala digunakan ialah skala Guttman Instrumen Penelitian dengan
variabel Kesiapsiagaan mengadopsi kuisoner penelitian (Sari, 2019).
𝑛
𝑝 = 𝑥100%
𝑁
Keterangan :
P = Presntase
n = Jumlah jawaban yang benar
N = Jawaban seluruh item pertanyaan
24
Akhmad Ervin Febriyan. 2017. “Pelaksanaan Program Sekolah Siaga Bencana Di SMP N 2 Cangkringan
Kabupaten Sleman.”.
Anna Julia Waruwu. 2019. HUBUNGAN MANAJEMEN DISASTER DENGAN KESIAPSIAGAAN
MAHASISWA NERS TINGKAT III DALAM TANGGAP BENCANA STIKes SANTA
ELISABETH MEDAN TAHUN 2018.Skripsi
Arikunto, Suharsimi. 2013. Prosedur Penelitian Suatu Praktek. Jakarta: Rineka Cipta.
Badan Nasional Penaggulan Bencana . 2017. Membangun Kewaspadaan dan Kesiapan dalam Menghadapi
Bencana. Tersedia dalam :https://siaga.bnpb.go.id/
content/uploads/documents/buku_panduan_latihan_kesiapsiagaan_bencana_revisi_april_2017.pdf
[ Diakses pada 20 Desember 2020]
Badan Nasional Penanggulangan Bencana. (2019). Badan Nasional Penanggulangan Bencana. Retrieved
June20,2019,fromBadanNasionalPenanggulanganBencana:TersediaDalam:https://bnpb.go.id/en/s
inergitas-akademisi-dan-pemerintah-dalam membangunketangguhanmasyarakat. Diakses pada 5
November 2020 ]
Badan Nasional Penenggulangan Bencana. 2014. Indeks Resiko Bencana Indonesia (IRBI) Tahun 2013.
Sentul : Direktorat Pengurangan Resiko Bencana Deputi Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan.
Tersedia dalam:http://www.bnpb.go.id/uploads/publication/612/2014-06 03_IRBI_2013_BNPB.pdf
(Diakses 6 November 2020)
Bernardus Wisnu Widjaja. 2018. “Tanggap Bencana: Kerja Dan Antisipasi.” : Diskusi Media Forum
Merdeka Barat (FMB) 9.
Centre for Research on The Epidemiology of Disaster/ CERD (2018). Disater in numbers. Retrieved from:
hhtp://www.cerd.be.2018.pdf (Diakses 6 November 2020)
Damayanti Wardyaningrum.2016.PERUBAHAN KOMUNIKASI MASYARAKAT DALAM INOVASI
MITIGASI BENCANA DI WILAYAH RAWAN BENCANA GUNUNG MERAPI. Journal Of
Community. Vol.37 (3): 725-733. Di akses pada [8 Maret 2021]
Eka Nurmala Sari. 2019. Hubungan Tingkat Pengetahuan dan Kesiapsiagaan Bencana Gunung Merapi Di
Desa Kinahrejo Sleman Yogyakarta STIKes Wira Husada Yogyakarta.Tahun 2019.Skripsi
Evi Tunjung Fitriani & Febrianan In Patmiati.2019. Pengaruh Pendidikan Kesehatan Tentang
Kesiapsiagaan Masyarakat Terhadap Sikap Masyarakat Dalam Mengatasi Masalah Kesehatan
Akibat Bencana Tanah Longsor.FIKKes Universitas Muhammdiayah Semarang.Vol 1(1) : 71-74.
Fatmawati, Bernadeta Evi, and Sugi Rahayu. 2016. “Peran Pemerintah Dalam Upaya Mitigasi Bencana
Kasawan Rawan Bencana III Pasca Erypsi Gunung Merapi Desa Glagharjo, Kecamatan
Cangkringan, Kabupaten Sleman.” (3): 351–63.
International Council Of Nurses.(2009).ICN Framework Of Disaster Nursing Competencies. USA: WHO
& ICN. www.nursing definition.ic.(Diakses 18 Desember 2020)
Levac, J. Toal Sullivan, D., & O’Sullivan, T.L 2012. Household Emergency Predparedness: A Literature
Review. Journal Of Community Health. Vol.37 (3): 725-733. United Nations International Strategy
for Disaster Reduction (UNSDR). 2014. Terminology on Disaster Risk Reduction.
https://www.unisdr.org/who-weare /what-is-drr (Diakses 6 November 2020).
Lumbantoruan.Pirton & TRE Nazmudin.(2015).BTCLS & DisasterManagement Bogor: Medhatama
Restyan.https://opac.perpusnas.go.id/DetailOpac.aspx? [Di akses 22 Desember 2020]
Mohammad.pajooh E, Ab. Aziz K. Investigating factors for disaster preparedness amongresidents of Kuala
Lumpur. Nat Hazards Earth Syst Sci Discuss [Internet]. 2014;2(5):3683–709. Available from:
http://www.nat-hazards-earth-syst-sci-discuss.net. [Diakses pada 20 Desember 2020]
National Disaster Management Plan.(2010).National Disaster Management Authority Ministry Of Home
Affairs Goverment Of India.India: NDMP.
https://assets.publishing.service.gov.uk/media/57a0895440f0b64974000020/HDQ1359.pdf [Di
akses 21 Desember 2020]
Nursalam, 2015. Metodologi penelitian ilmu keperawatan edisi 3. Salemba medika. Yogyakarta.
Notoadmodjo, Soekidjo. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.. 2013. Ilmu
Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
Rofifah. R. 2019 . Hubungan antara pengetahuan dengan kesiapsiagaan bencana pada mahasiswa
keperawatan universitas diponegoro. Skripsi. http://eprints.undip.ac.id/70587/.(Diakses 18
Desember 2020).
Sugiyono. 2017. Metode Penelitian Bisnis. Jakarta: Elek Media Komputindo.
Susanto, Novie Susanto & Thomas Triadi Putranto. 2016. Analisis Level Kesiapan Warga Menghadapi
Potensi Bencana Longsor Kota Semarang. Teknik. Vol.37(2):54-58.
Susilo, Ariyadi Nugroho, and Iwan Rudiarto. 2014. “Analisis Tingkat Resiko Erupsi Gunung Merapi
Terhadap Permukiman Di Kecamatan Kemalang, Kabupaten Klaten.” Teknik PWK (Perencanaan
Wilayah Kota) 3(1): 34–49.
Suwaryo, Putra Agina Widyaswara Suwaryo, & Podo Yuwono. 2017. Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Tingkat Pengetahuan Masyarakat dalam Mitigasi Bencana Alam Tanah Longsor. University
Research Colloquium. Universitas Muhammadiyah Magelang. Vol.1(1):305-314.
Tyas Maria Diah Ciptaining.(2016).Keperawatan Kegawatdaruratan Dan Manajemen Bencana.Jakarta:
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Vol.13(2):394-406
United Nations (UN).2015. Disaster Preparedness for Effective Response. United
Nations(UN).http://jurnal.pusbindiklatren.bappenas.go.id/lib/jisdep/article/download/49/9
[Diakses 20 Desember 2020]
Warsini, S., Buettner, P., Mills, J., West, C., & Usher, K. (2016). The Psychosocial Impact of the
Environmental Damage Caused by the MT Merapi Eruption on Survivors in Indonesia, 491–501.
Tersedia dalam : https://doi.org/10.1007/s10393-014- 0937-8 (Diakses 6 November 2020)
Wimbardana, Ramanditya & Saut A.H. Sagala. 2013. Kesiapsiagaan Masyarakat terhadap Bahaya Lahar
Dingin Gunung Merapi. Jurnal Bumi Lestari. Vol.13(2):394-406.
World Health Organiation (WHO). 2016. Noncommunicable Disease. WHO
International.Tersediadalam:www.who.int/topics/noncommunicable_diseases/en/ [Diakses pada 5
November 2020 pukul 10:35].
Zahrah, Alfiati. 2018. 5 “Model Kerangka Kerja Pengurangan Resiko Bencana Di Lingkungan Sekolah
Berbasis Pengarusutamaan Disabilitas.” universitas Islam Indonesia. . 2018. “Model Kerangka
Kerja Pengurangan Resiko Bencana Di Lingkungan Sekolah Berbasis Pengarusutamaan
Disabilitas.”
Zahrotul Istiqomah.2015.KESIAPSIAGAAN BENCANA PUSKESMAS SUBOH
KABUPATENSITUBONDO.https://repository.unej.ac.id/handle/123456789/66032. [Diakses
pada 5 November 2020]
PERMOHONAN MENJADI RESPONDEN
Kepada Yth:
Bapak/Ibu Di Dusun Manggong Kepu Harjo Cangkringan Sleman Daerah Istemewa Yogyakarta
Dengan hormat,
Yang bertanda tangan dibawah ini adalah Mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan
STIKes Surya Global Yogyakarta:
NIM : 04194840
No. Hp : 081523928943
Adalah mahasiswa program S1 Studi Ilmu Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan
Surya Global Yogyakarta, akan melakukan penelitian tentang “Hubungan Tingkat Pengetahuan
Kesiapsiagaan Bencana Gunung Merapi Pada Warga Dusun Manggong Cangkringan Sleman Daerah
Istemewa Yogyakarta”
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui Tingkat Pengetahuan dan Kesiapsiagaan
bencanan gunung merapi terhadap bapak/ibu di dusun Manggong Kepu Harjo Cangkringan Sleman
Yogyakarta.
Oleh karena itu, saya memohon kesediaan bapak/Ibu untuk menjadi responden serta kesediaan
dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan pada lembar kuesioner. Karena jawaban bapak/ibu akan saya
jaga dan hanya digunakakan untuk kepentingan penelitian.
Atas bantuan dan kerja sama yang telah diberikan, saya mengucapkan terima kasih.
Peneliti
Nama :
Umur :
Jenis kelamin :
Alamat :
Menyatakan tidak keberatan dan bersedia menjadi responden dalam penelitian dengan judul
“Hubungan Tingkat Pengetahuan dengan Kesiapsiagaan Gunung Merapi Pada Warga Dusun
Manggong Kepu Harjo Cangkringan Sleman Daerah Istemewa Yogyakrta” yang akan dilakukan oleh
Rizkika Dwi Antari. Mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan STIKes Surya Global Yogyakarta.
Sebelumnya saya sudah diberikan penjelasan mengenai maksud dan tujuan penelitian ini dan
saya mengerti bahwa peneliti akan menjaga kerahasiaan diri saya. Bila saya merasa tidak nyaman,
maka saya berhak untuk mengundurkan diri.
oleh karena itu, dengan sukarela saya ikut berperan serta dalam penelitian ini dan bersedia
menandatangani lembar persetujuan.
Penelitian Responden
Petunjuk mengerjakan: Isilah biodata sebelum menjawab pertanyaan, berikan tanda centang (√) pada
jawaban yang sesuai dengan pengetahuan anda yang sebenarnya.
A. Biodata Responden
Nama :…………………………..
Usia : ………………………….
Agama : …………………………
Jenis Kelamin : ( ) Laki-laki ( ) Perempuan
Pendidikan : ( ) SD ( ) SMP ( ) SMA ( ) D3
( ) S1 ( ) S2 ( ) Tidak Sekolah
Pekerjaan : ( ) PNS ( ) Wiraswasta ( ) Buruh
( ) TNI/POLRI ( ) Lainnya……………..