Anda di halaman 1dari 39

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN DENGAN KESIAPSIAGAAN

BENCANA GUNUNG MERAPI PADA WARGA DUSUN MANGGONG


KEPUHARJO CANGKRINGAN SLEMAN YOGYAKARTA

Proposal Penelitian untuk Skripsi

Disusun Oleh:

RIZKIKA DWI ANTARI


NIM 04.19.4840

PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SURYA GLOBAL
YOGYAKARTA
2022
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bencana merupakan suatu proses alam atau bukan alam yang menyebabkan korban jiwa, harta dan
menggangu tatanan kehidupan. Bencana alam merupakan peristiwa alam yang disebabkan oleh proses
aktifitas alam, baik yang teradi secara alam, baik yang terjadi secara alami maupun karena sebelumnya ada
tindakan atau campur tangan manusia yang mengakibatkan alam menjadi tidak seimbang dan tidak berjalan
seperti biasanya yang menimbulkan resiko bagi kehidupan manusia baik secara materi (fisik) atau secara
spriritual (jiwa). Adapun bencana alam yang terjadi secara alami dapat di contohkan dengan gempa bumi,
tsunami, letusan gunung api, kemarau panjang, angin topan dan epidemi. Bencana sering terjadi dalam
waktu yang tidak diduga duga dan dapat terjadi dimana saja dan dapat terjadi pada siapa saja. Bencana alam
yang terjadi tersebut selain dapat merenggut korban jiwa juga dapat merusak lahan yang di lokasi bencana
alam itu terjadi (BNBP,2019). Indonesia terdapat 129 gunung yang 83 diantara merupakan ancaman
terbesar kedua di Indonesia setelah bencana tsunami (BNBP,2019).
Banyaknya peristiwa yang terjadi dan menimbulkan korban jiwa serta kerugian harta benda yang
besar membutuhkan manajemen bencana yang baik. Berdasarakan World Health Organization (2016)
Kerentanan kelompok dengan penyakit kronis dalam menghadapi becana di sebabkan oleh gangguan pada
kondisi kesehatan dan terputusnya perawatan kesehetan rutin dengan fasilitas pelayanan kesehatan akibat
terjadinya becanan sehingga membuat kelompokdengan penyakit kronis, penyakit menular, gangguan
pernapasan, gangguan integritas kulit di bandingkan pada kelompok umumnya saat menghadapi
bencana.(WHO,2016).
Centre For Research on the Epidemiology Of Disaster/CERD Natural disaster (2018), Menyatakan
bahwa pada tahun 2018 terdapat peristiwa bencana alam dengan jumlah korban meninggal 11.804 orang,
68,5 juta orang terkena dampak dari bencana dan kerugian ekonomi 132 US $. Benua Asia terkena dampak
tertinggi di bandingkan benua lain dan di perhitungkan telah terjadi peristiwa bencana sekitar (45%), korban
meninggal (80%) dan (76%) orang terkena dampak bencana tersebut. Secara global Indonesia mencatat
hampir setengah dari total kematian sebesar (47%), India (35%) orang terkena dampak dari bencana.
Sebanyak 45% korban meninggal dari jenis bencana gempa bumi dimana bencana tersebut merupakan jenis
bencana yang paling banyak yang paling banyak menimbulkan kematian, diikuti Badai Sydd (28%) dan
banjir (24%) (CERD, 2018). Jenis bencana alam di antaranya adalah bencana aktivitas gunung merapi
dalam satu daerah sekitarnya dihuni oleh ratusan ribu orang yang tinggal di dekat gunung merapi meskipun
bahaya yang di timbulkan untuk kesejahteraan mereka ( Warsini, Mills, et al., 2016).

1
2

Terdapat 127 gunung berapi aktif melingkari tanah nusantara atau Indonsia. Tantangan tersebut
sangat besar mengingat jumlah gunung api aktif (tipe A) di Indonesia mencapai 79 gunung dengan
penyebaran sebagai berikut: Sumatera , Jawa, Bali, Lombok , Sumbawa, Flores, Laut Banda, Sulawesi,
Kepulauan Sangihe, dan Halmahera (Wardyaningrum, 2016). Dengan total 30 gunung berapi di Pulau Jawa
maka berarti terdapat 120 juta orang hidup dalam ancaman letusan gunung berapi. Kedekatan warga dengan
lokasi gunung berapi telah terbukti fatal karena lebih dari 150.000 jiwa tewas akibat letusan gunung berapi
diseluruh nusantara dalam kurun waktu 500 tahun terakhir. Angka ini merupakan rekor dunia
(Wardyaningrum, 2016).
Daerah Istemewa Yogyakarta adalah daerah di Indonesia yang memiliki ancaman terhadap bencana
gunung merapi. Gunung dengan ketinggian 2.980 meter ini termasuk gunung yang paling aktif, pada tahun
2010 merupakan kejadian letusan gunung merapi terbesar dengan kerusakan skala tinggi di bandingkan
lima erupsi sebelumnya yang terjadi pada tahun 1994,1997,1998,2001 dan 2006. Erupsi gunung merapi
tahun 2010 memakan korban sebanyak 354 jiwa meninggal dunia, 240 jiwa luka-luka, dan 47.486 orang
yang ada disekitar gunung merapi mengungsi yang telah di sediakan (Febriyan,2017). Pasca letusan gunung
merapi tahun 2010, Badan Penanggulan Bencana (BNBP) meneteapkan Kabupaten Sleman sebagai
Kawasan Rawan Bencana (KRB) III yaitu di kecamatan Pakem, Turi, Tempel, Ngemplak Cangkringan,
dengan mencakup 9 dusun yaitu Kaliadem, Dusun Jambu, Dusun Pelamsari, Dusun Pangkurejo, Dusun
Srunen, Dusun Kalitengah Lord an Dusun Kalitengah Kidul (Fatmawati, 2016).
Erupsi gunung berapi menimbulkan kerusakan dan kerugian sebesar Rp. 3,557 Triliun. Kerugian
terbesar terjadi pada sector ekonomi produktif dengan perkiraan kerusakan dan kerugian mencapai Rp.
1,692 Triliun (46,64% dari total nilai kerusakan dan kerugian), kemudian diikuti sector infrastruktur sebesar
Rp. 707,427 miliar (19,50%) sektor perumahan Rp. 626,651 miliar (17,27 %) lintas sektor Rp. 408,758
miliar (13.22%) dan sektor sosial Rp. 122,472 miliar (3,38%) (Widodo dalam Susilo dan Rudiarto,2014).
Upaya penanggulan bencana di Indonesia di tegaskan dalam Undang-undang Dasar 1945 nomor 24 tahun
2007 sebagai bentuk implementasi dari komitmen Indonesia terhadap dunia international yang termasuk
dalam sendai Framework 2015-2030, sedangkan upaya penanggulangan Resiko bencana (PRB) tertuang
dalam Peraturan Pemerintahan nomor 21 tahun 2008, dan Peraturan-Peraturan Pemerintah serta Peraturan
Presiden nomor 8 tahun 2008 yang merupakan turunan dari Undang-undang Nomor 24 tahun 2007,
sehingga terbentuklah BNPB Rencana Nasional Penanggulan Bencana/RENAS PB, (BNBP, 2014).
Upaya yang dapat di lakukan dalam mengurangi resiko bencana gunung merapi sesuai dengan teori
mitigasi adalah dengan pembangunan struktural yaitu dengan melakukukan penataan ruang pengaturan
pembangunan dan infrastruktur sedangkan pembangunan non struktural adalah upaya yang dilakukan
dengan peningkatan sumber daya manusia dengan penyelenggaraan pendidikan melalui sekolah siaga
3

bencana, pelatihan, dan penyuluhan. Pelaksanaan pembangunan struktural dan pembangunan non struktural
akan mengarungi dampak yang di timbulkan akibat letusan gunung merapi (Isdrawati, 2019).
Mempersiapkan pengetahuan terhadap bencana serta kesiapsiagaanya sejak dini kepada
masyarakat yang rentan bencanan adalah sangat penting untuk menghindari atau memperkecil risiko
menjadi korban. Pendidikan siaga bencana perlu dikembangkang mulai tingkat pendidikan dasar untuk
membangun budaya keselamatan dan ketahanan khusunya untuk anak-anak dan generasi muda. Sekolah
sebagai institusi pendidikan yang di dalamnya menanamkan nilai nilai budaya dan pengetahuan kepada
generasi muda di harapkan dapat memberikan peranan yang penting bagi pendidikan risiko bencana (Carter,
2011). Bahwa semakin tinggi tingkat pengetahuan seseorang akan semakin mudah menerima informasi
sehingga semakin banyak pula pengalaman yang luas akan berdampak kognitifnya. Pengetahuan
merupakan faktor yang semakin penting dalam kehidupan sehari sehari. Tingkat pengetahuan akan
mempengaruhi persepsi seseorang tentang kognitif seseorang yang pengetahuan tinggi juga memiliki
penalaran yang tinggi pula dalam hal kesiapsiagaan bencana merapi. Perencanaan kesiapsiagaan tujuannya
adalah untuk untuk memperoleh masyrakat yang siap menghadapai dan menanggulangi berbabagai macam
situasi darurat (Levac, 2012).
Penguatan kesiapsiagaan bencana merupakan prioritas utama dari program manajemen bencana
pemerintah di tingkat nasional maupun daerah (UNISDR, 2014). Namun pemerintah mempunyai
keterbatasan waktu dan mobilitas bantuan kepaa masyarakat. Oleh karena itu perencanaan kesiapsiagaan
yang di dasarkan pada tanggung jawab individu dan keluarga menjadi sorotan utama untuk di perbaiki
(Central Disaster Management Council, 2011 ; dalam Tomio et al., 2014). Hal ini di karenakan peran
keluarga dalam kesiapsiagaan sangat penting. Alasannya kepala keluarga dapat berperan dalam
menyampaikan informmasi bagi keluarganya, mempengaruhi anggota keluarganya dalam mengambil
keputusan yang cepat, dan dapat serta sebagai sumber dukungan sosial bagi keluarganya (Levac 2012).
Penguraangan resiko bencana (PRB) adalah kerangka atau elemen yang di pertimbangkan dalam
meminimalkan kerentanan dan resiko bencana di seluruh masyarakat. PRB dengan cara menghindari
(pencegahan), membatasi (mitigasi dan kesiapsiagaan), dan mengurangi dampak yang merugikan (Zahrah,
2018). Paradigma di Indonesia tentang penanggulangan bencanan telah mengalami pergesaran dari
penanggulangan yang tefokus pada tanggap darutat dan pemulihan (responsif) ke pengurangan resiko dan
kesiapsiagaan ke pengurangan resiko dan kesiapsiagaan (preventif). Pergesaran paradigma tersebut
menekankan pada penanggulangan pra bencana. Salah satu kegiatan yang dapat di lakukan sebelum
terjadinya bencana adalah mitigasi bencana (Widjaja, 2018).
B.Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut : “Apakah ada
hubungan tingkat pengetahuan dengan kesiapsiagaan bencana gunung merapi?”
4

C.Tujuan Umum
1. Tujuan Umum
Mengetahui hubungan tingkat pengetahuan dengan kesiapsiagaan bencana gunung Merapi pada warga
dusun Manggong Kepu Harjo Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui tingkat pengetahuan tentang bencana gunung merapi pada warga dusun Manggong Kepu
Harjo Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta
b. Mengetahui kesiapsiagaan bencana gunung merapi pada warga dusun Manggong Kepu Harjo Sleman
Daerah Istimewa Yogyakarta
D. Manfaat Penelitian
1. Teoritis
Menambahkan pengetahuan di bidang Ilmu Keperawatan khususnya kegawat daruratan tentang
hubungan tingkat pengetahuan dengan kesiapsiagaan bencana gunung merapi pada warga
2. Praktis
a. Bagi Mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan STIKes Surya Global Yogyakarta, Setelah
mengetahui hasilnya, maka dapat digunakan mahasiswa sebagai pengetahuan dan kesiapsiagaam dalam
menghadapi bencana gunung merapi.
b. Bagi Peneliti menambah pengetahuan dan pengalaman terkait kebencanaan termasuk implementasi
kesiapsiagaan bencana gunung merapi kehidupan sehari-hari.
c. Bagi Warga mengetahui bagaimana ancaman bencana gunung merapi yang dapat terjadi di
lingkungan sekitar.
E. Ruang Lingkup Penelitian
Sehubungan dengaaan keterbatasan waktu, dana, tenaga, dan teori-teori maka penelitian membatasi
masalah yang akan dikaji adalah sebagai berikut:

1. Variabel
a. Variabel Independen (bebas) : Tingkat Pengetahuan
b. Variabel Dependen (terikat) : Kesiapsiagaan Bencana
2. Responden
Warga dusun Manggong Kepu Harjo Cangkringan Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta
3. Waktu penelitian
Penelitian ini akan dilakukan pada bulan November-Desember 2022
4. Sumber informasi
Melalui observasi, wawancara, dan kuesioner
5. Tempat penelitian
5

Dusun Manggong Kepu Harjo Cangkringan Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta

E. Keaslian Penelitian
Sepanjang pengetahuan penulis, hasil penelitian yang terkait dengan penelitian ini sebagai berikut :
1. Susanto & Thomas (2016) yang meneliti tentang “Analisis Level Kesiapsiagaan Warga Menghadapi
Potensi Bencana Longsor Kota Semarang”. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengindentifikasi tingkat
kesiapan warga dalam menghadapi bencana longsor. Indeks kesiapsiagaan akan di gunakan input
penentuan prioritas sosialisasi dan bahan desain intervensi kognitif yang di perlukan untuk
meningkatkan indeks kesiapsiagaan warga. Dengan demikian kerugian yang mungkin timbul akibat
ketidaksiapan warga berkurang. Metode yang digunakan dalam pemelitian ini adalah mengukur indeks
kesiapsiagaan warga di 19 lokasi titik penelitian rawan bencana longsor. Hasil penelitian menunjukkan
secara umum, kesiapsiagaan masyarakat semarang masuk dalam kategori “hampir siap” dengan nilai
indeks 55,74 terdapat 2(dua) lokasi yang memiliki indeks kesiapsiagaan. “belum siap” yaitu kembang
arym dan manyaran. Daerah mangunharjo berada dalam kategori indeks cukup siap. Ketiga daerah ini
berada di daerah dengan tingkat kerawanan cukup tinggi, sehingga di prioritaskan untuk mendapatkan
sosialisasi dan intervensi yang di perlukan. Adapun persamaannya adalah variabel kesiapan warga
menghadapi potensi persamaannya adalah pada variabel kesiapan warga menghadapi potensi bencana
dan sama-sama menggunakan rancangan penelitian crosssectional, sedangkan perbedaan terletak pada
variabel indeks kesiapan warga metode analisis deskriptif, sertai lokasi penelitian yang berbeda.

2. Suwaryo & Podo (2017) yang meneliti tentang ”Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Pengetahuan
Masyarakat dalam Mitigasi Bencana Alam Tanah Longsor”.Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui
tingkat pengetahuan masyarakat tentang mitigasi bencana alam tanah longsor. Penelitian ini merupakan
penelitian kuantitatif analitik observasional yang dilakukan terhadap 48 responden yaitu warga
masyarakat Desa Sampang Kecamatan Sempor Kabupaten Kebume, dengan menggunakan teknik total
sampel. Hasil penelitian didapatkan umur responden sebagian besar 26-35 tahun (37,5%), jenis kelamin
perempuan (64,6%), pendidikan lulus SMP (45,8%), pekerjaan petani (54,2%) dan tingkat pengetahuan
kategori baik (47,9%). Hasil uji korelasi menggunakan koefisien kontingensi menunjukkan bahwa ada
hubungan antara umur (p=0,001), pendidikan (p=0,008) dan pekerjaan (p=0,000) terhadap tingkat
pengetahuan. Hasil uji regresi logistik didapatkan umur (RR=3,224) merupakan faktor dominan yang
mempengaruhi tingkat pengetahuan warga masyarakat tentang mitigasi bencana alam tanah longsor.
Adapun persamaannya adalah pada variabel tingkat pengetahuan masyarakat dalam mitigasi bencana
dan sama-sama menggunakan rancangan penelitian cross-sectional, sedangkan perbedaan terletak pada
variabel independen; umur, pendidikan, pekerjaan, metode analisis data menggunakan regresi logistik,
serta lokasi penelitian yang berbeda.
6

3. Eka Nurmala Sari (2019) yang meneliti tentang “Hubungan Tingkat Pengetahuan dengan Kesiapsiagaan
Bencana Gunung Merapi Desa Kinahrejo Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta”. ”.Penelitian ini
dilakukan untuk mengetahui tingkat pengetahuan dan kesiapsiagaan masyarakat tentang bencana alam
gunung merapi. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif analitik observasional yang dilakukan
terhadap 68 responden yaitu warga masyarakat Desa Kinahrejo, dengan menggunakan teknik total
sampel. Hasil penelitian didapatkan umur responden sebagian besar 26-35 tahun (37,5%), jenis kelamin
perempuan (64,6%), pendidikan lulus SMP (45,8%), pekerjaan petani (54,2%) dan tingkat pengetahuan
kategori baik (47,9%). Hasil uji korelasi menggunakan koefisien kontingensi menunjukkan bahwa ada
hubungan antara umur (p=0,001), pendidikan (p=0,008) dan pekerjaan (p=0,000) terhadap tingkat
pengetahuan. Hasil uji regresi logistik didapatkan umur (RR=3,224) merupakan faktor dominan yang
mempengaruhi tingkat pengetahuan warga masyarakat tentang. Adapun persamaannya adalah pada
variabel tingkat pengetahuan masyarakat dalam mitigasi bencana dan sama-sama menggunakan
rancangan penelitian cross-sectional, sedangkan perbedaan terletak pada variabel independen; umur,
pendidikan, pekerjaan, metode analisis data menggunakan regresi logistik, serta lokasi penelitian yang
berbeda.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
1.Pengetahuan
a. Definisi Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap
objek melalui indera yang di milikinya (mata, hidung, telinga, dan sebagainya). Dengan
sendirinya, pada waktu penginderaan sampai menghasilkan pengetahuan tersebut sangat
dipengaruhi intensitas perhatian dan persepsi terhadap objek. (Notoatmojo, 2013)
b. Tingkat Pengetahuan
Menurut Kratwohl dalam Rofifah (2019) pengetahuan di dalam kognitif mempunyai 6
tingkatan, yaitu :
1) Mengingat (Remember)
Mengingat merupakan usaha mendapatkan kembali pengetahuan dan memori atau ingatan
yang telah lampau, baik yang baru saja di dapatkan naupun yang sudah lama di dapatkan.
Mengingat merupakan dimensi yang berperan penting dalam proses pembelajaraan yang
bermakna (Meaningful Learning) dan pemecahan masalah (Problem Solving). Kemampuan
ini di manfaatkan untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang jauh lebih kompleks.
Mengingat meliputi mengenali (recognition) dan memanggil kembali (recalling). Mengenali
berkaitan dengan mengetahui pengetahuan masa lampau yang berkaitan dengan hal-hal yang
konkret, misalnya tanggal lahir, alamat rumah dan usia, sedangkan memanggil kembali
recalling adalah proses kognitif yang membutuhkan pengetahuan masa lampau secara cepat
dan tepat.
2) Memahami
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan mengklarifikasi dan membandingkan
tentang objek yang di ketahui, serta dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar.
Orang yang telah paham terhadap objek atay materi harus mampus menjelaskan, menyebutkan
contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan mengetahui ciri-ciri tiap objek yang di pelajari.

7
8

3). Aplikasi (Apply)


Aplikasi adalah kemampuan untuk menggunakan materi yang telah di pelajari pada situasi
atau kondisi real ( sebenarnya). Cara yang di lakukan dalam proses mengaplikasikan ilmu
adalah dengan memanfaatkan atau mempergunakan suatu prosedur untuk melaksanakan
percobaan atau menyelesaikan permasalahan. Aplikasi berkaitan dengan dimensi pengetahuan
prosedural (prosedural knowledge). Menerapkan meliputi kegiatan menjalankan prosedur
(executing) dan mengimplementasikan (implementing). Contohnya penggunaan hukum-
hukum, rumus, metode, prinsip dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.
4). Analisis (Analysis)
Analisis adalah kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam
komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu struktur organisasi, dan masih ada kaitannya
satu sama lain. Contohnya dapat menggambarkan bagan, membedakan, memisahkan,
mengelompokkan dan sebagainya.
5) Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk mengecek dan melakukan penelitian atau
kritisi terhadap suatau materi atau objek. Penilaian itu didasarkan pada suatu kriteria yang di
tentukan sendiri, atau menggunakan kriteria kriteria yang telah ada.
6). Menciptakan (Create)
Menciptakan mengarah pada proses kognitif meletakkan unsur- unsur secara bersama-
sama untuk mebentuk kesatuan yang koheren dan mengarahkan siswa untuk menghasilkan
beberapa unsur menjadi bentuk atau pola yang berbeda dari sebelumnya.
c. Faktor yang mempengaruhi pengetahuan
1). Pendidikan
Pendidikan merupaka proses perubahan sikap dan perilaku individu ataupun kelompok
serta menjadi salah sat upaya proses pendewasaan melalui pengajaran dan pelatihan
(Mohammad et al., 2014). Pendidikan formal memiliki peran penting dalam mempromosikan
kesiapsiagaan bencana melalui tenanga pengajar yang mendapatkan pelatihan terkait
kebencanaan. Pendidikan formal yang di tempuh selama beberapa tahun oleh masyarakat
memiliki peran yang penting dalam pendidikan formal yang di tempuh selama beberapa tahun
masyarakat memiliki peran yang penting dalam pendidikan kebencanaan baik di tingkat
sekolah maupun universitas. Selain pendidikan formal pendidikan kebencanaan dapat
mengubah pendidikan kebencanaan dapat di tempuh melalui pendidikan non-formal melalui
komunitas atau lembaga yang berfokus pada kebencanaan berupa memberikan edukasi
9

pelatihan (Sunarti,2014). Menurut hasil penelitian Maryanti dan Hoffman dalam Rofifah
(2019) tingkat pendidikan yang lebih tinggi memiliki tingkat kesiapan yang lebih baik karena
individu dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi dapat mengakses informasi yang lebih
beragam dari beberapa sumber.
2). Informasi
Pengetahuan individu akan baik apabila semakin banyak informasi yang di terima dalam
suatu pembelajaran. Informasi dapat di peroleh melalui pembelajaran formal maupun
informal. (Riyanto dalam Rofifah,2019)
3). Sosial, Budaya, dan Ekonomi
Sosial dan Budaya yang baik maka akan meningkatkan pengetahuan individu melalui cara
berfikir yanjg sesuai dengan ilmu yang di pelajari. Status ekonomi seseorang akan
mempengaruhi ketersediaan dan fasilitas belajar apabila fasilitas memadai maka proses
pembelajaran akan berjalan dengan baik. (Muttarack et.,al dalam Rofifah 2019)
4). Pengalaman
Pengalaman merupakan pembelajaran bagi individu untuk mencari penyelesaian dari
masalah yang di hadapi. Pengalamaan dapat di rasakan oleh individu itu sendiri atau orang
lain.37 Pengalaman dapat meningkatkan dapat meningkatkan kesadaran tentang potensi
kehancuran, menunjukan manfaat dari persiapam dan evakuasi, dan meningkatkan
pengetahuan tentang bagaimana memulihkan kondisi pasca bencana serta bagaimana
menghadapi ancaman bencana (Muttarack et.,al dalam Rofifah 2019)
5). Usia
Pertambahan usia akan berbanding lurus dengan pertambahan ilmu atau pengetahuan
karena adanya peningkatan pola piker dan daya tangkap dan individu tersebut.(Riyanto dalam
Rofifah, 2019)
d. Pengetahuan sebagai dasar terbentuknya aplikasi kesiapsiagaan bencana
Pengetahuan dasar bagi individu untuk berperilaku. Perilaku yang didasari oleh
pengetahuan akan lebih efektif dari pada perilaku yang tidak didasari pengetahuan (Notoadmodjo,
2013). Mengungkapkan bahwa sebelum seseorang mengadopsi perilaku baru, dalam diri
seseorang tersebut terjadi proses yang berurutan yakni :
1). Awarenness, dimana seseorang menyadari/mengetahui stimulus (objek) terlebih dahulu.
2). Interest, yakni orang mulai tertarik terhadap stimulus.
3). Evaluation, yaitu menimbang-nimbang baik dan tidaknya, stimulus tersebut bagi dirinya.
4). Trial, dimana orang telah memulai mencoba perilaku baru.
10

5). Adoption, subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran, dan sikapny
terhadap stimulus.
Adopsi perilaku yang di dasari oleh pengetahuan, kesadaran, dan sikap positif, maka
perilaku tersebut akan bersifat long-lasting. Perilaku aplikasi kesiapsiagaan bencana pada
mahasiswa keperawatan di bentuk melalui serangkai proses belajar (learning process) dari
pendidikan bencana, pengalaman, dan pengumpulan informasi secara mandiri. Mahasiswa ilmu
keperawatan sebagai cikal bakal perawat yang akan berperan sebagai penolong utama (front line
care provider) perlu memastikan dirinya untuk memiliki pengetahuan dan keterampilan
kebencanaan yang adekuat sehingga mampu merespon situasi emergensi bencana secara efektif
semakin tinggi tingkat pengetahuan tingkat pengetahuan mahasiswa ilmu keperawatan tentang
kesiapsiagaan bencana, semakin efektif perilaku yang dimilikinya (Usher & Mayner, 2011).
2. Bencana
a. Pengertian Bencana
Bencana adalah suatu kejadian peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan
mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam
atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa
manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis (BNPB, 2014).
Menurut Parkash, (2014) juga mengemukakan bahwa bencana berarti malapetaka yang muncul
di daerah manapun, yang timbul dari alam atau buatan manusia. Penyebab bencana yaitu berupa
kecelakaan atau kelalaian yang mengakibatkan hilangnya nyawa atau penderitaan, dan kerusakan
harta benda serta lingkungan (Parkash dalam Waruwu, 2018).
b .Manajemen Disaster
Manajemen disaster akan melibatka pengelolahan resiko dan konsekuensi dari bencana
yang mencakup pencegahan tanggap darurat (National Disaster, 2010). Manajemen disaster pada
tingkat individu dan organisasi berkaitan dengan masalah perencanaaan menghadapii bencana,
koordinasi sebelum dan saat terjadi bencana, komunikasi yang baik dan penilaian resiko saat
bencana terjadi (Modh dalam Waruwu, 2018). Manajemen disaster adalah kegiatan-kegiatan yang
dilakukan untuk mengendalikan bencana dan keadaan darurat, sekaligus memberikan kerangka
kerja untuk menolong masyarakat dalam keadaan beresiko tinggi agar dapat menghindari ataupun
pulih dari dampak bencana (Kurniyanti dalam Waruwu, 2018)
11

Menurut BNPB, (2017) ada beberapa tahapan upaya manajemen bencana untuk menangani
bencana :
1). Fase Kesiapasiagaan (preparedness)
Kesiapsiagaan atau preparedness adalah suatu persiapan rencana yang bertuuan untuk
bertindak ketika kemungkinan terjadinya suatu bencana. Perencanaan yang dilakukan adalah
memperkirakan kebutuhan-kebutuhan yang di perlukan dalam keadaan darurat dan
identifikasi sumber daya yang ada untuk dapat memenuhi kebutuhan tersebut.
2). Fase Mitigasi (mitigation)
Mitigasi atau mitigation adalah suatu upaya yang di lakukan untuk mengurangi dampak
buruk dari suatu ancaman bencana
3). Fase respon (response)
Fase respon adalah perencanaan implementasi actual bencana, Perencanaan respon
terhadap pencarian dan penyelamatan korban sangat baik menggunakan metode Incident
command System (ICS)
4). Fase Pemulihan (recovery)
Pemulihan atau pemulihan adalah suatu proses perbaikan terhadap semua akses yang rusak
akibat bencanan yang tujuannya adalah kebutuhan pokok kembali terpenuhi. Terdapat dua
proses recovery yang di lakukan yang di lakukan yaitu proses yang bersifat sementara atau
berjangka pendek dan proses yang bersifat panjang atau permanen.
5). Fase Rekontruksi
Pembangunan kembali semua saran dan prasarana kelembagaan pada wilayah pasca
terjadinya bencana baik pada tingkat pemerintah maupun masyarakat dengan sasaran utama
tumbuh dan berkembangannya kegiatan perekonomian, sosial dan budaya, tegaknya hokum
dan ketertiban, dan bangkitnya peran serta masyarakat dalam segala aspek kehidupan
masyarakat pada wilayah pasca bencana.
6). Fase Evaluasi
Sering di sebut fase perencanaan dan tanggap bencana dimana masyarakat dalam kembali
beraktivitas seperti biasanya. Evaluasi resmi sangat penting dilakuakan untuk
mengindentifikasin perencanan yang baik bagi masyarakat dalam menghadapi bencana
selanjutnya.
12

Menurut National Plan For Disaster Management (2010), ruang lingkup dari rencana
manajemen disaster sebagai berikut :
1). Analisis ancaman bencana alam dan buatan manusia termasuk perubahan iklim terhadap
masyarakat, ekonomi, infrastruktur dengan tujuan untuk mengidentifikasi dimana dan
kapan ancaman.
2). Identifikasi dengan analisis akurat lebih lanjut siapa dan apa kerentanan terjadinya hal
tersebut, ancaman dan bagaimana hal ini mungkin akan mempengaruhi.
3) .Selidiki tindakan apa yang munkin dilakukan untuk mencegah terjadinya kejadian bencana,
apa yang biasa dilakukan untuk mengurangi, langkah-langkah kesiapan untuk mengatasi
hal tersebut.
c. Resiko Bencana
Risiko bencana didefinisikan sebagai kemungkinan atau kesempatan terhadap munculnya

dampak berbahaya atau kehilangan (nyawa, terluka, harta, rumah tangga, aktivitas ekonomi,

lingkungan) sebagai dampak interaksi alam dan manusia yang merugikan atau rentan (Disaster

Management, 2010). Penting dipahami bahwa tidak semua bencana menimbulkan kerusakan yang

mendadak, seperti tsunami dan gempa berskala tinggi. Kerusakan akibat bencana mungkin terjadi

secara perlahan dan meningkatkan risiko kerentanan bila tidak dipersiapkan dalam Disaster

Management (2010) merupakan serangkaian proses perencanaan yang bertujuan untuk mengenali

risiko bencana, meminimalkan dampak buruk bencana, menciptakan kesiapan emergensi,

melakukan respon efektif terhadap bencana, dan menyiapkan rehabilitasi pasca bencana.

3.Kesiapsiagaan
a.Definisi Kesiapsiagaan
Kesiapsiagaan bencana merupakan kemampuan atau keterampilan dan pengetahuan yang
dikembangkan oleh pemerintah, institusi terkait kebencanaan, komunitaas, dan individu tujuannya
dari kesiapsiagaan bencana ialah untuk mengantisipasi dan memberikan respon yang efektif
terhadap dampak yang mungkin terjadi dari ancaman bencana (United Nations, 2015)
13

Komunitas dan masyarakat memiliki peran dalam mengurangi resiko kebencanaan,


kmomunitas dan masyarakat perlu memperkuat dan meningkatkan kemampuan dalam
kesiapsiagaan bencanan pada tingkat komunitasnya setiap tingkatn komunitasnya setiap tingkat
kesiapan dan sistem respon membutuhkan kemampuan masing-masing individu dalam memahami
perannya pada manajemen kebencanaan. (United Nations, 2015 )
Upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan pengetahuan keterampilan dalam
kesiapsiagaan bencana di antaranya dengan melakukan pembelajaran, pelatihan, dan diskusi baik
di tingkat regional, nasional, maupun internasional. Proses pembelajaran dapat di berikan oleh
institusi pemerintah, komunitas yang bergerak pada bidang kebencanaan, sekolah media massa,
pembelajaran informal, dan dikampus (United Nations, 2015).
b. Tujuan Kesiapsiagaan
Tujuan utama dari kesiapsiagaan adalah untuk meminimalkan efek samping dari bahaya
bencana melalui tindakan pencegahan yang efektif dan tepat waktu, tindakan tanggap darurat dan
bantuan saat bencana. Upaya kesiapsiagaan juga bertujuan untuk dapat memastikan bahwa semua
sumber daya yang ada dan di perlukan dalam peristiwa bencana dapat di gunakan secara tepat
(Dodon, 2013).
Istiqomah, (2015) ada 4 tujuan utama dari tindakan kesiapsiagaan yaitu :
1). Mengurangi ancaman dan dampak buruk yang di akibatkan dari kejadian bencana.
2). Mengurangi kerentanan masyarakat yang tanggap terhadap bencana dengan cara
mempersiapkan sumber daya manusia khususnya masyarakat yang tanggap terhadap bencana
dengan mendapatkan pelatihan kesiapsiagaan bencana.
3). Mengurangi akibat dan efek samping yang di timbulkan dari kejadian bencana.
4). Menjalin kerja sama dengan pihak-pihak berwenang terkait cara atau tindakan yang efektif
dalam menghadapi bencana.
14

c. Faktor yang mempengaruhi kesiapsiagaan bencana


(Mohammad et al., 2014). menemukan beberapa faktor yang mempengaruhi masyarakat
kesiapsiagaan masyarakat pada tahun 2014:
1). Pendapatan
Kelompok masyrakat dengan pendapatan tinggi lebih siap menghadapi bencana
dibandingkan dengan sekelompok masyarakat dengan pendapatan rendah.
2). Ras
Ras yang minoritas cenderung lebih rentang tidak menghadapi bencana.
3). Jenis Kelamin
Wanita lebih rentang terhadap bencana di banding laki-laki.
4). Kepemilikan properti
Kepemilikan property (rumah dan bangunan) mempengaruhi tingkat kesiapsiagaan
menghadapi bencana di bandingkan kelompok yang menyewa properti.
5). Usia
Penelitian menunjukan hasil bahwa lansia lebih rentang terhadap bencana.
6). Pendidikan
Kelompok masyarakat dengan pengalaman bencana cenderung lebih siap menghadapi
bencana karena kelompok tersebut akan mencari informasi terkait bencana dan
mempersiapkan diri untuk menghadapi bencana di masa mendatang.
15

B.Kerangka Teori

Faktor-faktor yang mempengaruhi


kesiapsiagaan bencana
1. Pendapatan
2. Ras
3. Jenis Kelamin
4. Kepemilikan Properti
Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Tingkat Pengetahuan 5.Usia

1.Pendidikan
2.Pengalaman Tingkat Kesiapsiagaan
Pengetahuan Bencana
3.Informasi
4.Sosial,Budaya,Ekonomi
5.Usia
Individu Keluarga Komunitas Pemerintah

Mengurangi Mengurangi Menjalin kerja Mengurangi akibat


ancaman dan Kerentanan sama dengan pihak dan efek samping
dampak buruk Masyarakat berwenang yang di timbulkan
yang di akibatkan dari kejadian
dari kejadian bencana
bencana

Gambar 2.1 Kerangka Teori

(Mohammad et al., 2014), (Maryanti dan Hoffman dalam Rofifah 2019), (Riyanto dalam Rofifah,2019)
(Muttarack et.,al dalam Rofifah 2019), (Riyanto dalam Rofifah, 2019), (United Nations, 2015),
(Istiqomah, 2015)
16

C.Kerangka Konsep

Tingkat Pengetahuan Kesiapsiagaan Bencana


United Nations (UN).
Disaster Preparedness for
Effective Response.
United Nation (UN);
2015. 1.Pendidikan
2.Pengalaman
3.Informasi
4.Sosial,Budaya,Ekonomi
5.Pendapatan
6.Lingkungan
7.Ras

Gambar 2.2 Kerangka Konsep


: Diteliti

: Tidak diteliti

D. Hipotesis
Ha : Ada hubungan tingkat pengetahuan kesiapsiagaan bencana gunung merapi pada warga Desa
Manggong Kepu Harjo Cangkringan Sleman Yogyakarta
Ho : Tidak ada hubungan tingkat pengetahuan kesiapsiagaan bencana gunung merapi pada warga Desa
Manggong Kepu Harjo Cangkringan Sleman Yogyakarta
BAB III
METODE PENELITIAN
A.Metode Penelitian
Jenis penelitian yang di gunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitik, artinya survei atau
penelitian yang mencoba menggali bagiamana dan mengapa fenomenan kesehetan itu terjadi. Penelitian
ini menggunakan crosssectional dimana penelitian ini dengan melakukan pengukuran atau pengamatan
pada saat bersamaan atau sekali waktu antara variabel independen dan variabel dependen ( Nursalam,
2015).
B. Populasi dan Sample Penelitian
1. Populasi
Populasi adalah subjek yang memenuhi kriteria kriteria yang di tetapkan dan dapat di jangkau oleh
penelitinya (Nursalam, 2015). Pada penelitian saya ini adalah memilih warga Seluruh Desa Manggong
Kepu Harjo Cangkringan Sleman berjumlah 306.
2. Sample
Sample adalah proses menyeleksi porsi dari populasi untuk dapat mewakili populasi. Teknik
Sample merupakan cara-cara yang di tempuh dalam pengambilan sampel agar memperoleh sampel
yang benar-benar sesuai dengan keseluruhan subjek penelitian (Nursalam, 2015). Sample yang akan
saya gunakan dalam penelitian adalah teknik Purposive Sampling, yaitu suatu tehnik penetapan sampel
dengan cara memilih sampel diantara populasi sesuai dengan yang di kehendaki peneliti (tujuan atau
masalah dalam penelitian), sehingga sampel tersebut dapat mewakili karakteristik popuasi yang telah
dikenal sebelumnya (Nursalam, 2015).
3. Kriteria Sample
a). Kriteria Inklusi
Kriteria inklusi adalah kriteria yang perlu di penuhi oleh setiap anggota populasi yang dapat
di ambil sebagai sample (Notoadmodjo, 2012).
1). Warga Desa Manggong Kepu Harjo Cangkringan Sleman
2). Warga Desa Kinahrejo Umbulharjo Cangkringan Sleman usia 26 sampai 40 tahun
b). Kriteria Eksklusi
Kriteria Ekslusi adalah ciri-ciri anggota populasi yang tidak dapat diambil sample
(Notoadmodjo, 2012).
1). Warga Desa Manggong Kepu Harjo Cangkringan Sleman yang umurnya lebih dari 40 tahun.
2). Warga Desa Manggong Kepu Harjo Cangkringan Sleman yang tidak mengisi informed
consent ataupun kuisoner.

17
18

Mengingat jumlah populasi besar, maka dalam pengambilan sampel digunakan rumus
sebagai berikut (Sugiyono, 2017):
N
n
N .d 2  1
Dimana:
n = Jumlah sampel
N = Jumlah populasi
d2 = Presisi yang ditetapkan

Diketahui jumlah populasi sebesar N = 347 orang populasi dan tingkat presisi yang
ditetapkan 10%. Berdasarkan rumus tersebut diperoleh jumlah sampel (n) sebagai berikut:
N
n
N .d 2  1
Dimana:
n = Jumlah sampel
N = Jumlah populasi
d2 = Presisi yang ditetapkan
𝑁 347 347 347
𝑛= = = = = 77,6
𝑁𝑑 2 + 1 347. (0,1)2 + 1 347. (0,01) + 1 4,47

maka, jumlah sampel dalam penelitian ini dibulatkan menjadi sebesar 78 responden.
19

C. Lokasi dan Waktu Penelitian


1. Lokasi
Penelitian dilakukan di Desa Manggong Kepu Harjo Sleman Daerah Istemewa Yogyakarta .
2. Waktu
Penelitian akan dilaksanakan pada Bulan November-Desember 2022.
D.Variabel Penelitian
1. Variabel Bebas (Independen)
Variabel bebas aalah variabel yanng menjadi sebab atau timbulnya atau berubahnya variabel terikat
(Nursalam 2015). Variabel bebas dalam penilitian adalah tingkat pengetahuan.
2.Variabel Terikat (Dependen)
Variabel terikat adalah yang di pengaruhi atau yang menjadi akibat karena adanya variabel bebas
(Nursalam, 2015). Variabel terikat penelitian ini adalah kesiapsiagaan bencana.
3. Variabel Perancu (Confounding)
Variabel Perancu adalah variabel pada penelitian yang akan di abaikan, atau tidak di teliti yaitu
Pendidikan, Pengalaman, Sosial, Ekonomi, Budaya dan Lingkungan. Dalam variabel perancu ini ada juga
variabel yang di kendalikan yaitu Tingkat Pengetahuan, Kesiapsiagaan dan Usia sedangkan variabel yang
tidak di kendalikan ada Pendidikan, Pengalaman, Sosial, Ekonomi, Budaya dan Lingkungan.
E. Hubungan Antar Variabel
Variabel penelitian terdiri dari variabel bebas dan variabel terikat. Variabel bebas ialah Tingkat
Pengetahuan sedangkan variabel terikat adalah kesiapsiagaan bencana.
20

F. Definisi Operasional
Definisi operasional penelitian sebagai berikut :
Tabel 3.1. Definisi Operasional
Variabel Definisi Alat Ukur Skor Skala Data
Operasional
Tingkat Pengetahuan Kuisoner tingkat Dikategorikan Ordinal
Pengetahuan merupakan hasil pengetahuan dengan aspek Tingkat
penginderaan definisi bencana (merapi, pengetahuan
manusia, atau gempa bumi, dan Tinggi : > 75 –
hasil tahu kebakaran) Risiko bencana 100%
seseorang di darat Teknik Sedang : 60 – 75
terhadap objek penyelamatan %
melalui indera Rendah : < 60%
yang di milikinya Nilai di atas
(mata, hidung, adalah nilai rata-
telinga, dan rata skor variabel.
sebagainya). (Arikunto, 2013).
Dengan
sendirinya, pada
waktu
penginderaan
sampai
menghasilkan
pengetahuan
tersebut sangat
dipengaruhi
intensitas
perhatian dan
persepsi terhadap
objek.
Kesiapsiagaan Kesiapsiagaan Kuesioner Dikategorikan Ordinal
Bencana bencana Kesiapsiagaan
merupakan Bencana
21

kemampuan atau kesiapsiagaan bencana Siap : 70 – 100%


keterampilan dan dengan aspek pendidikan Kurang Siap :
pengetahuan yang bencana 31– 70 %
dikembangkan pelatihan bencana Tidak Siap : 0-
oleh pemerintah, simulasi bencana 30%
institusi terkait sarana tanggap darurat Nilai di atas
kebencanaan, adalah nilai rata-
komunitaas, dan rata skor variabel.
individu (Arikunto, 2013)
tujuannya dari
kesiapsiagaan
bencana ialah
untuk
mengantisipasi
dan memberikan
respon yang
efektif terhadap
dampak yang
mungkin terjadi

G. Teknik Pengumpulan data


1. Data Primer
Penelitian ini juga menggunakan data primer, yaitu data mengenai tingkat pengetahuan dan
kesiapsiagaan bencana gunung Merapi warga Desa Manggong Kepu Harjo Cangkringan Sleman.
Data ini diperoleh dari penyebaran kuesioner.
2. Data Sekunder
Penelitian ini juga menggunakan data sekunder, data sekunder yaitu berupa data mengenai
dokumentasi-dokumentasi terkait bencana gunung Merapi, jumlah warga Desa Manggong Kepu
Harjo Cangkringan Sleman.
22

H. Instrumen Penelitian
Instrumen Penelitian adalah alat yang digunakan peneliti dalam mengumpulkan data agar
pekerjaanya lebih mudah dan hasilnya lebih baik, dalam arti lebih cermat, lengkap, dan sistematis
sehinggal lebih mudah diolah (Nursalam, 2015). Instrumen dalam penelitian ini adalah kuesioner
tentang tingkat pengetahuan dan kesiapsiagaan bencana gunung Merapi di Desa Manggong Kepu Harjo
Cangkringan Sleman. oleh peneliti berdasarkan aspek-aspek variabel di bawah ini :
1. Tingkat Pengetahuan
Instrumen Pengetahuan terdiri dari 41 pertanyaan yang berisi dari definisi gunung merapi, resiko
pertanyaan, teknik penyelamatan diri saat bencana dan emergency planning dalam kuesioner tingkat
pengetahuan dengan cara menjawab pertanyaan dengan memberikan tanda (√) dengan 2 pilihan
jawaban yaitu “BENAR dan “SALAH” masing-masing dari pertanyaan tersebut mendapatkan skor
1 “BENAR” dan jawaban “SALAH” mendapatkan skor 0 dan skala digunakan ialah skala Guttman.
pernyataan positif (favourable), Sedangkan pemberian nilai untuk pernyataan negatif
(unfavourable). Instrumen Penelitian dengan variabel tingkat pengetahuan mengadopsi
kuisoner penelitian (Sari, 2019).
𝑛
𝑝= 𝑥100%
𝑁
Keterangan :
P = Presntase
n = Jumlah jawaban yang benar
N = Jawaban seluruh item pertanyaan
Maka Kategorinya adalah
a). Tinggi : > 75 – 100%

b). Sedang : 60 – 75 %

c). Rendah : < 60%


23

Tabel 3.1. Kisi-kisi Kuesioner Tingkat Pengetahuan


Variabel Indikator Pernyataan Jumlah
Favourabel Unfavoura Item
bel
Tingkat Definisi bencana 1,2,4,5,6 3,7, 7
Pengetahuan (merapi, gempa bumi,
dan kebakaran)
Risiko bencana di darat 8,9,10,11 12 5

Teknik penyelamatan 13,14,15,16, 17,18 7


diri saat bencana
Sarana pengamanan 19,20,21,22,26,27,28 23,24,25,32 22
(emergency planning) ,29,30,31,33,34,35,3 ,38
6,37,39,40,41
Jumlah 16 9 41

2. Kesiapsiagaan Bencana
Instrumen pada pernyataan kesiapsiagaan bencana terdiri 41 pertanyaan dan
terdiri dari pendidikan bencana, pelatihan bencana, simulasi bencana dan sarana tanggap
darurat dalam kuisoner kesiapsiagaan bencana tingkat pengetahuan dan cara menjawab
pertanyaan dengan memberikan tanda (√) dengan 2 pilihan jawaban yaitu “BENAR dan “SALAH”
masing-masing dari pertanyaan tersebut mendapatkan skor 1 “BENAR” dan jawaban “SALAH”
mendapatkan skor 0 dan skala digunakan ialah skala Guttman Instrumen Penelitian dengan
variabel Kesiapsiagaan mengadopsi kuisoner penelitian (Sari, 2019).
𝑛
𝑝 = 𝑥100%
𝑁
Keterangan :
P = Presntase
n = Jumlah jawaban yang benar
N = Jawaban seluruh item pertanyaan
24

Maka Kategorinya adalah :


a). Siap : 70 – 100%

b). Kurang Siap : 31– 70 %

c). Tidak Siap : 0-30%

Tabel 3.2. Kisi-kisi Kuesioner Kesiapsiagaan Bencana


Variabel Indikator Pernyataan Jumlah
item
Kesiapsiagaan Pendidikan Bencana 1,2,3,4, 5,6,32 7
Bencana Pelatihan Bencana 7,8,9,10, 9
11,12,13,14,15
Simulasi Bencana 16,17,18,19,20,21,22, 9
23,24
Sarana Tanggap Darurat 25,25,27,28,29,30,31, 16
34,35,36,37,38,39,40,
41
Jumlah 41

I. Validitas dan Reliabilitas


1. Uji Validitas
Uji Validitas adalah pengukuran dan pengamatan yang berarti prinsip keadaan instrument dalam
mengumpulkan data. Instrumen harus dapat mengukur apa yang seharusnya di ukur (Nursalam,
2015). Validitas intrumen diukur dengan rumus dengan korelasi pearson product moment
(Riwidikdo, 2012). Adapun rumus korelasi pearson product moment adalah :
𝑁 ∑ 𝑋. 𝑌 − ∑ 𝑋. ∑ 𝑋. ∑ 𝑌
𝑟𝑥𝑦 =
{𝑁 𝑋 2 − (∑ 𝑋)2 } {𝑁 ∑ 𝑌 2 − (∑ 𝑌)2 }

Keterangan :
r = Koefisien korelasi
n = Jumlah Sampel
x = Skor Pertanyaan
y = Skor Total
Kriteria pengujian
jika r hitung < r table = tidak valid
25

Jika r hitung > r table = valid


Pada kuisoner ini instrument dikatakan valid apabila nilai signifikan (p) kurang dari 0,05 pada
taraf signifikasi dimana r hitung > r table, dimana untuk n=30 nilai r tabel adalah 0,361 untuk taraf
signifikasi 0,05 pada penelitian dilakukan uji validitas kepada 30 responden di Desa Palemsari pada
tanggal 14 February 2019 uji validitas pada kuisoner Tingkat Pengetahuan yang berjumlah 41 item
pertanyaan dan kuisoner Kesiapsiagaan Bencana 41 item Pertanyaan di nyatakan dengan nilai uji
validasi > 0,361. Sehingga kuisoner dapat di gunakan untuk penelitian dan terbukti valid dan tidak
perlu dilakukan uji validatas ulang lagi.
2. Uji Realibilitas
Untuk mengetahui sejauh mana hasil pengukuran dua kali atau lebih, dimana hasilnya di
tunjukkan oleh indeks yang menunjang seberapa jauh menunjang seberapa jauh suatu alat ukur dapat
di andalkan (Arikunto, 2013).
2
𝐾 ∑𝑎
𝑟11 = ( ) [1 − 𝑏]
𝐾−1 2
𝑎𝑡

𝑟11= Reliabilitas instrument /koesioner relibilitas


K = Banyaknya butir pertanyaan atau banyaknya soal
2
∑𝑎 = Jumlah varian butir
𝑏
2
𝑎 𝑡 = Varians total
Keterangan :
a. Apabila r hitung > r tabel, berarti reliable
b. Apabila r hitung < r tabel, berarti tidak reliable
c. Cara menghitung uji validitas dan realibilitas dengan menggunakan program SPSS 16
Pada kuisoner tingkat pengetahuan dan kuisoner kesiapsiagaan bencana dilakukan uji reabilitas
kepada 30 responden di Desa Palemsari pada tanggal 14 February 2019 dengan hasil di dapatkan hasil
realibilitas untuk kuisoner tingkat pengetahuan 0,901 suatu kuisoner atau angket di katakana reliable
jika memiliki nilai alpha minimal 0,36. Sehingga Tingkat Pengetahuan tersebut reliable. Dan untuk hasil
kuisoner kesiapsiagaan Bencana adalah 0,946 suatu kuisoner atau angket dikatakan reliable jika
memiliki nilai alpha minimal 0,36. Sehingga kuisoner kesiapsiagaan bencana tersebut reliable.
26

J. Pengolahan dan Metode Analisa Data


1. Analisa Univariat
Analisa univariat bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan karakteristik setiap
variabel penelitian. Pada umumnya dalam analisa ini menghasilkan distribusi frekuensi dan
presentase dari setiap variabel (Notoatmodjo, 2012). Analisa ini juga mendistribusikan frekuensi
responden berdasarkan umur, jenis kelamin, dan tingkat pendidikan.
2. Analisa Bivariat
Pada analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui dua variabel yang mungkin berhubungan
atau berkolerasi (Notoatmodjo, 2012). Analisis bivariat pada penelitian ini dilakukan untuk mencari
hubungan dan membuktikan hipotesis dua variabel yang sudah di tentukan oleh peneliti. Data yang
mendukung adalah data berskala ordinal. Atas dasar kenyataan tersebut maka data dalam penelitian
akan dianalisis dengan teknik statistic yaitu Spearman.
Rumusnya adalah :
1 − 6 ∑ 𝑑2
𝑝=
𝑁(𝑁 2 − 1)
𝑝= Koesfisien korelasi Spearmean
𝑑𝑖 = Beda antara dua pengamatan berpasangan
𝑁 = Total Pengamatan
Kriteria Keputusan : Apabila p < 0,05 memiliki makna adanya hubungan antara kedua variable,
sedangkan p>0,05 akan bermakna tidak adanya hubungan antara dua variable yang di ujikan.
K. Jalannya Penelitian
1. Tahap Persiapan
a). Melakukan pengamatan terhadap masalah yang di teliti dengan melakukan studi pendahuluan
b). Mengurus perijinan pada institusi Bappeda dan Kesbangpol dan Pemerintahan Desa Manggong
Kepu Harjo Cangkringan Sleman
c). Menyusun usulan proposal penelitian dan konsultasi dosen pembimbing.
d). Mengadakan usulan seminar proposal.
2. Tahap Pelaksanaan
a). Membagikan kuisoner kepada responden.
b) Mengolah data, dengan menggunakan bantuan program spss computer.
c). Melakukan analisa data.
3. Tahap Penyelesaian
a). Menyimpulkan hasil penelitian dan membuat hasil penelitian.
27

b). Mengadakan pendadaran hasil penelitian


L. Etik Penelitian
Secara garis besar, dalam melaksanakan sebuah penelitian ada empat prinsip yang harus di pegang
teguh (Notoadmodjo, 2010) yaitu :
1. Menghormati perlu mempertimbangkan hak-hak subjek penelitian untuk mendapatkan informasi
tentang tujuan peneliti melakukan penelitian tersebut. Di samping itu, peneliti juga memberikan
kebebasan kepada subjek untuk memberikan informasi (berparisipasi). Peneliti mempersiapkan
persetujuan subjek (inform consent) yang mencakup :
a). Penjelasaan manfaat penelitian.
b). Penjelasan kemungkinan resikom dan ketidaknyamanan yang di timbulkan
c). Penjelasaan manfaat penelitian.
d). Persetujuan peneliti dapat menjawab setiap pertanyaan yang di ajukan subjek berkaitan dengan
prosedur penelitian .
e). Persetujuan subjek dapat mengundurkan diri sebagai objek penelitian kapan saja.
f). Jaminan anominitas dan kerahasian terhadap identitas dan informasi yang diberikan oleh
responden.
2. Menghormati privasi dan kerahasian subjek penelitian (respect for privacy and confidentiality)
Setiap orang mempunyai hak-hak dasar individu termasuk privasi dan kebebasan dalam
memberikan infromasi. Peneliti menggunakan coding atau inisial nama sebagai pengganti identitas
responden. Peneliti memberikan jaminan kerahasian baik informasi mauoun masalah-masalah lainya.
Semua informasi yang telah dikumpulkan dijamin kerahasiaanya oleh peneliti.
3. Keadilan dan inklusitas/keterbukaan respect for justice an inclusivennes)
Prinsip keterbukaan dan adil perlu dijaga oleh peneliti dengan kejujuran, keterbukaan, dan kehati-
hatian. Untuk itu, lingkungan penelitian dikondisikan sehingga memenuhi prinsip keterbukaan, yaitu
dengan menjelaskan prosedur penelitian. Prinsip keadilan ini menjamin bahwa semua subjek
memperolehkan perlakuan dan keuntungan yang sama, tanpa membedakan gender, agama, etnis, dan
sebagainya.
4. Memperhitungkan manfaat dan kerugian yang di timbulkan (balancing harms and benefits).
Peneliti akan menjelaskan manfaat dan tujuan penelitian beserta kerugian dan keuntungan yang
akan di peroleh dalam ke ikut sertaan menjadi responden. Keuntungan dalam penelitian ini mungkin
tidak langsung bisa dirasakan oleh responden akan tetapi bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Uji etika pada penelitian ini akan dilakukan di KEPK STIKes Surya Global Yogyakarta.
DAFTAR PUSTAKA

Akhmad Ervin Febriyan. 2017. “Pelaksanaan Program Sekolah Siaga Bencana Di SMP N 2 Cangkringan
Kabupaten Sleman.”.
Anna Julia Waruwu. 2019. HUBUNGAN MANAJEMEN DISASTER DENGAN KESIAPSIAGAAN
MAHASISWA NERS TINGKAT III DALAM TANGGAP BENCANA STIKes SANTA
ELISABETH MEDAN TAHUN 2018.Skripsi

Arikunto, Suharsimi. 2013. Prosedur Penelitian Suatu Praktek. Jakarta: Rineka Cipta.
Badan Nasional Penaggulan Bencana . 2017. Membangun Kewaspadaan dan Kesiapan dalam Menghadapi
Bencana. Tersedia dalam :https://siaga.bnpb.go.id/
content/uploads/documents/buku_panduan_latihan_kesiapsiagaan_bencana_revisi_april_2017.pdf
[ Diakses pada 20 Desember 2020]
Badan Nasional Penanggulangan Bencana. (2019). Badan Nasional Penanggulangan Bencana. Retrieved
June20,2019,fromBadanNasionalPenanggulanganBencana:TersediaDalam:https://bnpb.go.id/en/s
inergitas-akademisi-dan-pemerintah-dalam membangunketangguhanmasyarakat. Diakses pada 5
November 2020 ]
Badan Nasional Penenggulangan Bencana. 2014. Indeks Resiko Bencana Indonesia (IRBI) Tahun 2013.
Sentul : Direktorat Pengurangan Resiko Bencana Deputi Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan.
Tersedia dalam:http://www.bnpb.go.id/uploads/publication/612/2014-06 03_IRBI_2013_BNPB.pdf
(Diakses 6 November 2020)
Bernardus Wisnu Widjaja. 2018. “Tanggap Bencana: Kerja Dan Antisipasi.” : Diskusi Media Forum
Merdeka Barat (FMB) 9.
Centre for Research on The Epidemiology of Disaster/ CERD (2018). Disater in numbers. Retrieved from:
hhtp://www.cerd.be.2018.pdf (Diakses 6 November 2020)
Damayanti Wardyaningrum.2016.PERUBAHAN KOMUNIKASI MASYARAKAT DALAM INOVASI
MITIGASI BENCANA DI WILAYAH RAWAN BENCANA GUNUNG MERAPI. Journal Of
Community. Vol.37 (3): 725-733. Di akses pada [8 Maret 2021]
Eka Nurmala Sari. 2019. Hubungan Tingkat Pengetahuan dan Kesiapsiagaan Bencana Gunung Merapi Di
Desa Kinahrejo Sleman Yogyakarta STIKes Wira Husada Yogyakarta.Tahun 2019.Skripsi
Evi Tunjung Fitriani & Febrianan In Patmiati.2019. Pengaruh Pendidikan Kesehatan Tentang
Kesiapsiagaan Masyarakat Terhadap Sikap Masyarakat Dalam Mengatasi Masalah Kesehatan
Akibat Bencana Tanah Longsor.FIKKes Universitas Muhammdiayah Semarang.Vol 1(1) : 71-74.
Fatmawati, Bernadeta Evi, and Sugi Rahayu. 2016. “Peran Pemerintah Dalam Upaya Mitigasi Bencana
Kasawan Rawan Bencana III Pasca Erypsi Gunung Merapi Desa Glagharjo, Kecamatan
Cangkringan, Kabupaten Sleman.” (3): 351–63.
International Council Of Nurses.(2009).ICN Framework Of Disaster Nursing Competencies. USA: WHO
& ICN. www.nursing definition.ic.(Diakses 18 Desember 2020)
Levac, J. Toal Sullivan, D., & O’Sullivan, T.L 2012. Household Emergency Predparedness: A Literature
Review. Journal Of Community Health. Vol.37 (3): 725-733. United Nations International Strategy
for Disaster Reduction (UNSDR). 2014. Terminology on Disaster Risk Reduction.
https://www.unisdr.org/who-weare /what-is-drr (Diakses 6 November 2020).
Lumbantoruan.Pirton & TRE Nazmudin.(2015).BTCLS & DisasterManagement Bogor: Medhatama
Restyan.https://opac.perpusnas.go.id/DetailOpac.aspx? [Di akses 22 Desember 2020]

Mohammad.pajooh E, Ab. Aziz K. Investigating factors for disaster preparedness amongresidents of Kuala
Lumpur. Nat Hazards Earth Syst Sci Discuss [Internet]. 2014;2(5):3683–709. Available from:
http://www.nat-hazards-earth-syst-sci-discuss.net. [Diakses pada 20 Desember 2020]
National Disaster Management Plan.(2010).National Disaster Management Authority Ministry Of Home
Affairs Goverment Of India.India: NDMP.
https://assets.publishing.service.gov.uk/media/57a0895440f0b64974000020/HDQ1359.pdf [Di
akses 21 Desember 2020]

Nursalam, 2015. Metodologi penelitian ilmu keperawatan edisi 3. Salemba medika. Yogyakarta.

Notoadmodjo, Soekidjo. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.. 2013. Ilmu
Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
Rofifah. R. 2019 . Hubungan antara pengetahuan dengan kesiapsiagaan bencana pada mahasiswa
keperawatan universitas diponegoro. Skripsi. http://eprints.undip.ac.id/70587/.(Diakses 18
Desember 2020).
Sugiyono. 2017. Metode Penelitian Bisnis. Jakarta: Elek Media Komputindo.
Susanto, Novie Susanto & Thomas Triadi Putranto. 2016. Analisis Level Kesiapan Warga Menghadapi
Potensi Bencana Longsor Kota Semarang. Teknik. Vol.37(2):54-58.
Susilo, Ariyadi Nugroho, and Iwan Rudiarto. 2014. “Analisis Tingkat Resiko Erupsi Gunung Merapi
Terhadap Permukiman Di Kecamatan Kemalang, Kabupaten Klaten.” Teknik PWK (Perencanaan
Wilayah Kota) 3(1): 34–49.
Suwaryo, Putra Agina Widyaswara Suwaryo, & Podo Yuwono. 2017. Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Tingkat Pengetahuan Masyarakat dalam Mitigasi Bencana Alam Tanah Longsor. University
Research Colloquium. Universitas Muhammadiyah Magelang. Vol.1(1):305-314.
Tyas Maria Diah Ciptaining.(2016).Keperawatan Kegawatdaruratan Dan Manajemen Bencana.Jakarta:
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Vol.13(2):394-406
United Nations (UN).2015. Disaster Preparedness for Effective Response. United
Nations(UN).http://jurnal.pusbindiklatren.bappenas.go.id/lib/jisdep/article/download/49/9
[Diakses 20 Desember 2020]

Warsini, S., Buettner, P., Mills, J., West, C., & Usher, K. (2016). The Psychosocial Impact of the
Environmental Damage Caused by the MT Merapi Eruption on Survivors in Indonesia, 491–501.
Tersedia dalam : https://doi.org/10.1007/s10393-014- 0937-8 (Diakses 6 November 2020)
Wimbardana, Ramanditya & Saut A.H. Sagala. 2013. Kesiapsiagaan Masyarakat terhadap Bahaya Lahar
Dingin Gunung Merapi. Jurnal Bumi Lestari. Vol.13(2):394-406.
World Health Organiation (WHO). 2016. Noncommunicable Disease. WHO
International.Tersediadalam:www.who.int/topics/noncommunicable_diseases/en/ [Diakses pada 5
November 2020 pukul 10:35].
Zahrah, Alfiati. 2018. 5 “Model Kerangka Kerja Pengurangan Resiko Bencana Di Lingkungan Sekolah
Berbasis Pengarusutamaan Disabilitas.” universitas Islam Indonesia. . 2018. “Model Kerangka
Kerja Pengurangan Resiko Bencana Di Lingkungan Sekolah Berbasis Pengarusutamaan
Disabilitas.”
Zahrotul Istiqomah.2015.KESIAPSIAGAAN BENCANA PUSKESMAS SUBOH
KABUPATENSITUBONDO.https://repository.unej.ac.id/handle/123456789/66032. [Diakses
pada 5 November 2020]
PERMOHONAN MENJADI RESPONDEN

Kepada Yth:

Bapak/Ibu Di Dusun Manggong Kepu Harjo Cangkringan Sleman Daerah Istemewa Yogyakarta

Dengan hormat,

Yang bertanda tangan dibawah ini adalah Mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan
STIKes Surya Global Yogyakarta:

Nama : Rizkika Dwi Antari

NIM : 04194840

No. Hp : 081523928943

Adalah mahasiswa program S1 Studi Ilmu Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan
Surya Global Yogyakarta, akan melakukan penelitian tentang “Hubungan Tingkat Pengetahuan
Kesiapsiagaan Bencana Gunung Merapi Pada Warga Dusun Manggong Cangkringan Sleman Daerah
Istemewa Yogyakarta”

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui Tingkat Pengetahuan dan Kesiapsiagaan
bencanan gunung merapi terhadap bapak/ibu di dusun Manggong Kepu Harjo Cangkringan Sleman
Yogyakarta.

Oleh karena itu, saya memohon kesediaan bapak/Ibu untuk menjadi responden serta kesediaan
dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan pada lembar kuesioner. Karena jawaban bapak/ibu akan saya
jaga dan hanya digunakakan untuk kepentingan penelitian.

Atas bantuan dan kerja sama yang telah diberikan, saya mengucapkan terima kasih.

Yogyakarta, Juli 2022

Peneliti

Rizkika Dwi Antari


PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN

Dengan ini saya yang bertanda tangan dibawah ini:

Nama :

Umur :

Jenis kelamin :

Alamat :

Menyatakan tidak keberatan dan bersedia menjadi responden dalam penelitian dengan judul
“Hubungan Tingkat Pengetahuan dengan Kesiapsiagaan Gunung Merapi Pada Warga Dusun
Manggong Kepu Harjo Cangkringan Sleman Daerah Istemewa Yogyakrta” yang akan dilakukan oleh
Rizkika Dwi Antari. Mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan STIKes Surya Global Yogyakarta.

Sebelumnya saya sudah diberikan penjelasan mengenai maksud dan tujuan penelitian ini dan
saya mengerti bahwa peneliti akan menjaga kerahasiaan diri saya. Bila saya merasa tidak nyaman,
maka saya berhak untuk mengundurkan diri.

oleh karena itu, dengan sukarela saya ikut berperan serta dalam penelitian ini dan bersedia
menandatangani lembar persetujuan.

Demikian surat pernyataan ini saya buat.

Yogyakarta, Juli 2022

Penelitian Responden

(Rizkika Dwi Antari) ( )


KUESIONER

Petunjuk mengerjakan: Isilah biodata sebelum menjawab pertanyaan, berikan tanda centang (√) pada
jawaban yang sesuai dengan pengetahuan anda yang sebenarnya.
A. Biodata Responden
Nama :…………………………..
Usia : ………………………….
Agama : …………………………
Jenis Kelamin : ( ) Laki-laki ( ) Perempuan
Pendidikan : ( ) SD ( ) SMP ( ) SMA ( ) D3
( ) S1 ( ) S2 ( ) Tidak Sekolah
Pekerjaan : ( ) PNS ( ) Wiraswasta ( ) Buruh
( ) TNI/POLRI ( ) Lainnya……………..

B. Kuesioner Tingkat Pengetahuan


No Pernyataan Benar Salah
1. Bencana alam merupakan fenomena alam yang luar biasa yang
menyebabkan korban jiwa, lingkungan dan tidak dapat diatasi
oleh masyarakat.
2. Bencana gunung api biasanya terjadi di daerah sekitar gunung
api aktif.
3. Gunung merapi bukan merupakan salah satu gunung api aktif.
4. Dusun Petung merupakan salah satu daerah rawan bencana
gunung merapi.
5. Jumlah warga di dusun Kinahrejo lebih dari 200 jiwa.
6. Masyarakat memahami dan mengetahui rambu-rambu mitigasi
bencana seperti titik kumpul, jalur evakuasi, barak pengungsian
dan lainnya.
7. Bencana gunung merapi memberi dampak menyuburkan tanah
dan memberi mata pencarian baru.
8. Material yang keluar saat terjadi letusan gunung merapi berguna
untuk bahan bangunan.
9. Korban dari bencana gunung merapi dapat dicegah dengan tidak
melakukan aktivitas di sekitar gunung merapi.
10. Guguran lava merupakan material magma panas dari dalam
perut bumi dan tidak berbahaya.
11. Sebelum terjadi Bencana gunung merapi terdengar suara
gemuruh , sumber air mengering, suhu sekitar gunung
meningkat, tumbuhan layu, hewan liar turun gunung.
12. Di daerah rawan bencana gunung merapi harus waspada dengan
potensi bencana yang beragam seperti guguran lava, aliran lahar,
awan panas(wedus gembel), gempa dan longsoran material.
13. Paparan erupsi gunung merapi dapat mengganggu kesehatan
pernapasan, pengelihatan dan iritasi kulit.
14. Saat terjadinya bencana gunung merapi warga wajib bergerak
menuju Titik Kumpul demi memudahkan proses evakuasi oleh
pihak berwenang.
15. Setelah terjadi letusan gunung merapi tetap waspada jika ada
letusan gunung merapi susulan saat kembali kerumah.
16. Pada proses evakuasi selalu mendahulukan orang yang rentan
terhadap bencana (mis. anak-anak, ibu hamil, dan lansia)
17. Menunda untuk menuju tempat evakuasi ketika ada instruksi
oleh pihak berwenang.
18. Di area pegunungan harus di buat barak pengungsian ditempat
yang lapang dan aman.
19. Bunyi sirine merupakan tanda peringatan erupsi gunung merapi.
20. Sebaiknya membangun rumah jauh diluar area rawan bencana
gunung merapi.
21. Hewan-hewan liar yang tinggal di gunung lari ke bawah atau
turun gunung salah satu tanda adanya bencana gunung merapi.
22. Tanda atau ciri gunung merapi akan meletus yang pertama
meningkatnya suhu udara yang ada di gunung merapi.
23. Terjadinya gempa dapat menimbulkan bencana gunung merapi.
24. Aliran Lahar merupakan longsoran material yang disertai air
dalam jumlah besar dan bergerak dengan sangat cepat.
25. Menghindari membangun rumah atau bangunan lainnya di
daerah gunung merapi yg berpotensi terpapar dampak erupsi.
26. Bencana lahar dan awan panas dapat merusak dengan cepat
bangunan yang dilewatinya.
27. Pemerintah tidak memiliki program relokasi untuk warga
korban bencana gunung merapi.
28. Alih fungsi lahan dari pegunungan menjadi lahan hunian
merupakan salah satu penyebab terjadinya bencana gunung
merapi.
29. BPPTKG memiliki peta persebaran Kawasan Rawan Bencana
Gunungapi Merapi untuk digunakan sebagai dasar pemanfaatan
lahan.
30. Daerah yang sudah teridentifikasi rawan bencana gunung
merapi tidak boleh di tinggali kembali.
31. Badan penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) salah satu
pihak berwenang dalam penanggulangan bencana gunung
merapi.
32. Membangun hunian tetap di area Kawasan Rawan Bencana
merupakan pelanggaran yang harus diperingati hingga
dipidanakan karena dapat memunculkan korban.
33. Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi
Kegunungapian (BPPTK) merupakan lembaga yang menjadi
acuan kenaikan status bencana Gunung Merapi.
34. Salah satu tanda adanya bencana gunung merapi timbul lah
getaran dan kemudian di sertai dengan suara gemuruh.
35. Kenakan pakaian yang bisa melindungi tubuh seperti : Baju
lengan panjang, celana panjang, topi serta gunakan kacamata,
helm, jas hujan dan masker atau kain untuk pelindung mulut dan
hidung.
36. Sebelum terjadi bencana gunung merapi perlu menyiapkan
cadangan logistik (mis: Makanan, minuman dan obat-obatan)
37. Pada tanggal 26 Oktober 2010 pernah terjadi bencana gunung
merapi di Dusun Kinahrejo.
38. Tidak ada tanda-tanda yang dapat diamati ketika gunung merapi
akan erupsi
39. Menjauhi jembatan dan aliran sungai karena merupakan jalur
berbahaya aliran material.
40. Saat terjadi bencana diperlukan perawat bersama dokter untuk
melakukan pemeriksaan fisik.
41. Saat terjadi bencana diperlukan perawat bersama dokter untuk
melakukan pengobatan luka
C. Kuesioner Kesiapsiagaan
No. Pernyataan Ya Tidak
1. Dusun Petung menyusun mekanisme penanggulangan
kedaruratan bencana gunung merapi
2. Saat terjadi bencana, langsung pergi ke titik kumpul
atau melewati jalur evakuasi untuk menyelamatkan
diri.
3. Warga dan pihak yang berwenang bekerja sama untuk
pemasangan sistem peringatan dini jika terjadi
bencana gunung merapi
4. Melakukan penyediaan barang pasokan pemenuhan
kebutuhan dasar untuk kedaruratan bencana.
5. Penyuluhan/sosialisasi tentang bencana gunung
merapi yang ada di Dusun Petung
6. Diadakan kegiatan simulasi latihan tentang
mekanisme tanggap darurat bencana gunung merapi.
7. Penentuan lokasi evakuasi yang sudah di setujui pihak
berwenang apabila terjadi bencana gunung merapi.
8. Langsung melakukan persiapan evakuasi saat terjadi
bencana gunung merapi.
9. Mengutamakan orang-orang yang rentan terhadap
bencana saat melakukan evakuasi (mis. Anak-anak ,
ibu hamil , lansia)
10. Melakukan pencatatan kejadian bencana gunung
merapi untuk data kebencanaan.
11. Membuat jalur penyelamat saat terjadinya bencana
gunung merapi.
12. Membuat tanda peringatan di daerah rawan Bencana
gunung merapi.
13. Melakukan peningkatan kesadaran dan penyebaran
informasi bencana oleh BPBD dan pihak yang terkait
lainnya.
14. Pembuatan peta kawasan rawan bencana gunung
merapi.
15. Pemerintah setempat membuat kebijakan agar tidak
membangun rumah di lokasi rawan bencana gunung
merapi.
16. Penyiapan lokasi evakuasi harus memuat seluruh
korban bencana gunung merapi.
17. Melakukan penyediaan bahan dan peralatan untuk
perbaikan sarana dan prasarana setelah terjadinya
bencana gunung merapi.
18. Melakukan upaya pembatasan dalam mendirikan
bangunan di sekitar daerah pegunungan.
19. Pembuatan zona rawan bencana gunung merapi.
20. Melakukan relokasi pada korban bencana gunung
merapi.
21. Menyediakan cadangan bahan makanan dan minuman
22. Sosialisasi rencana penanggulangan kedaruratan
bencana gunung merapi.
23. Selalu melakukan pemantauan pada daerah rawan
bencana gunung merapi.
24. Melakukan perbaikan pada jalan atau tanah yang
mengalami kerusakan akibat bencana gunung merapi.
25. Menanam pohon baik di sekitar rumah maupun
kawasan rawan bencana gunung merapi.
26. Mencari informasi tentang bencana gunung merapi.
27. Selalu waspada terhadap bencana gunung merapi
secara terus-menerus dan memperhatikan sirine atau
alat lain peringatan dini.
28. Membawa cadangan logistik (makanan/minuman,
obat-obatan) dan uang secukupnya saat mengungsi.
29. Waspada terhadap timbulnya getaran dan suara
bergemuruh saat berada di kawasan rawan bencana
gunung merapi.
30. Melakukan pengorganisasian dan sosialisasi tentang
tahapan tanggap darurat bencana gunung merapi.
31. Membentuk organisasi tanggap bencana seperti
karang taruna(pemuda)
32. Edukasi ke pelajar untuk mengenalkan tanggap
darurat sejak dini
33. Fasilitas kesehatan pembenahan psikologi akibat
trauma mental
34. Melakukan pencatatan data kerugian jiwa dan harta
35. Perawat bersama dokter melakukan pemeriksaan fisik
36. Perawat bersama dokter melakukan pengobatan luka
37. Pemberian bantuan makanan, obat obatan, keperluan
sandang yang dilakukan langsung oleh perawat
38. Perawat melakukan pemulihan kesehatan mental
warga terdampak
39. Perawat melakukan sharing dan mendengarkan segala
keluhan keluhan yang dihadapi warga terdampak
40. Perawat dapat mendirikan sebuah taman bermain,
dimana anak anak tersebut akan mendapatkan
permainan, cerita lucu, dan lain-lain.
41. Perawat melakukan pelatihan pelatihan keterampilan
yang difasilitasi dan berkolaborasi dengan instansi
ataupun LSM

Anda mungkin juga menyukai