Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Wilayah Indonesia merupakan wilayah yang luas dengan kekayaan alam yang
membentang luas dari Sabang hingga Merauke. Indonesia dengan keanekaragaman wilayah
darat, laut maupun udaranya. Wilayah Indonesia terdiri dari beberapa kepulauan yang luas.
Indonesia sendiri terletak di garis khatulistiwa pada posisi silang antara dua benua dan dua
samudra dengan kondisi alam yang meiliki berbagai keunggulan, namun dipihak lain
posisinya berada dalam wilayah yang memiliki kondisi geografis, geologis, hidrologis, dan
demografis yang rawan terhadap terjadinya bencana dengan frekuensi yang cukup tinggi,
sehingga memerlukan penanganan yang sistematis, terpadu, dan terkoordinasi Potensi
penyebab bencana di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia ini dapat dikelompokkan
dalam 3 jenis bencana, yaitu bencana alam, bencana non alam dan bencana sosial (UU No.
24, 2007).
Wilayah Indonesia merupakan gugusan kepulauan terbesar di dunia. Wilayah yang
juga terletak di antara benua Asia dan Australia dan Lautan Hindia dan Pasifik ini memiliki
17.508 pulau. Meskipun tersimpan kekayaan alam dan keindahan pulau-pulau yang luar
biasa, bangsa Indonesia perlu menyadari bahwa wilayah nusantara ini memiliki 129 gunung
api aktif, atau dikenal dengan ring of fire, serta terletak berada pada pertemuan tiga lempeng
tektonik aktif dunia lempeng Indo-Australia, Eurasia, dan Pasifik
(http://www.bnpb.go.id/profil). Ring of fire dan berada di pertemuan tiga lempeng tektonik
menempatkan negara kepulauan ini berpotensi terhadap ancaman bencana alam. Di sisi lain,
posisi Indonesia yang berada di wilayah tropis serta kondisi hidrologis memicu terjadinya
bencana alam lainnya, seperti angin puting beliung, hujan ekstrim, banjir, tanah longsor, dan
kekeringan. Tidak hanya bencana alam sebagai ancaman, tetapi juga bencana non alam
sering melanda tanah air seperti kebakaran hutan dan lahan, konflik sosial, maupun
kegagalan teknologi (http://www.bnpb.go.id/profil).
Laporan dari BNPB pada 2 Juni 2017 menyebutkan bahwa wilayah Kabupaten
Gorontalo mengalami bencana banjir dan merendam ratusan rumah. Hujan deras yang
berlangsung cukup lama menyebabkan sungai-sungai meluap hingga terjadi banjir di wilayah
tersebut. Hujan yang sangat tinggi menyebabkan Sungai Marisa yang melintasi wilayah
Limboto Barat, Sungai Moloupo melintasi wilayah Limboto dan Sungai Monggelomo yang
melintasi wilayah Kecamatan Tibawa meluap. Peristiwa ini tidak menimbulkan korban jiwa.
Meskipun rumah terendam banjir, masyarakat tidak mengungsi karena wilayah ini hampir
setiap tahun mengalami banjir. Masyarakat telah memiliki mekanisme kehidupan untuk
hidup harmoni dengan banjir. Artinya masyarakat telah memiliki daya survival untuk
merespon banjir (www.bnpb.go.id, 2017).
Bencana yang sering terjadi di Indonesia menimbulkan banyak masalah di segala
aspek, baik aspek ekonomi, sosial, politik maupun kesehatan. Masalah di bidang kesehatan
sendiri adalah korban luka, korban nyawa, lumpuhnya pelayanan kesehatan, gizi, pengungsi,
penyakit menular, sanitasi, ketersediaan air bersih, stress hingga gangguan jiwa (Effendi &
Makhfudli, 2013). Peran semua sektor sangat mempengaruhi, apalagi peran perawat
komunitas sebagai bagian dari pelayanan kesehatan dapat menjalankan peran dan
kewajibannya dalam menghadapi bencana, baik fase sebelum bencana, saat terjadi bencana
dan fase setelah bencana.
Sebagai kelompok tenaga kerja terbesar dalam tim kesehatan, perawat memainkan
peran penting dalam perawatan bencana (Loke & Fung, 2014). Perawat kesehatan
masyarakat (public health nurses) memainkan peranan yang penting dalam pencapaian
Tujuan Kesiagaan Nasional (National Preparedness Goal) sebagai bagian dari Sistem
Kesiagaan Nasional. Keperawatan dan khusunya praktik keperawatan kesehatan masyarakat
harus terlibat dalam kerangka kerja perencanaan nasional dan siklus bencana berupa
kesiapsiagaan (meliputi pencegahan, perlindungan, mitigasi), tanggap bencana dan
pemulihan bencana (Association of Public Health Nurses, 2014). Perawat kesehatan
masyarakat berkontribusi dengan menggunakan keterampilan khusus yang dimilikinya pada
saat bencana. Mereka tidak hanya melayani sebagai pemberi perawatan pertama pada saat
peristiwa, tetapi juga merangkul visi berbasis populasi dengan menggunakan keterampilan
dan kompetensi yang tepat untuk mengembangkan kebijakan dan perencanaan yang
komprehensif, memimpin dan mengevaluasi latihan tanggap bencana dan pelatihan. Perawat
kesehatan masyarakat merupakan bagian integral dalam operasi bencana dan pusat komando,
dalam peran kepemimpinan dan manajemen, serta dalam bidang di mana mereka
memberikan pelayanan kesehatan bencana garis depan dan pelayanan inti kesehatan
masyarakat (Magnaye, et al., 2011). Berdasarkan kejadian bencana di Indonesia dan peran
perawat komunitas sangat memberikan kontribusi, maka penulis ingin menganalisa
bagaimana peran perawat komunitas di area bencana dan apa saja rekomendasi program
untuk menanggulangi bencana di Indonesia.

B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Menganalisa konsep keperawatan komunitas pada area bencana.
2. Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi konsep keperawatan komunitas area bencana
b. Mengidentifikasi faktor resiko dan masalah kesehatan pada area bencana
c. Mengidentifikasi program kesehatan terkait masalah kesehatan di area bencana
d. Menganalisis program kesehatan di area bencana
e. Menggambarkan rekomendasi program untuk area bencana
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Keperawatan Komunitas Pada Daerah Bencana


1. Definisi Bencana
Menurut UU No. 24/2007 tentang penanggulangan bencana, yang dimaksud
dengan bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam,
mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik oleh faktor
alam atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya
korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak
psikologis. (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri, 2010)
Sedangkan menurut International Strategy For Disaster Reductioan (ISDR)
bencana adalah suatu ganggua serius terhadap keberfungsian suatu masyarakat, sehingga
menyebabkan kerugian yang meluas pada kehidupan manusia dari sgi materi, ekonomi
ataulingkngan dan melampaui batas kemampuan masyarakat yang bersangkutan atau
mengatasi dengan menggunakan sumber daya mereka sendiri. (Program Nasional
Pemberdayaan Masyarakat Mandiri, 2010)
a. Epidemiolobi dan prevalensi kejadian bencana di inidonesia
1) Epidemiologi Bencanan Berdasarkan Cakupan populasi Tertinggi
Beberapa bencana yang paling sering terjadi di Indonesia yang berpotensi
untuk merugikan jika diurutkan berdasarkan cakupan poplasi tertinggi ialah
gempa bumi (11.056.806). tsunami (197.372 penduduk), kekeringan/kemarau
(2.029.350 penduduk), lonsor (197.372 penduduk), serta badai tropis (1.636
penduduk). Selain itu, jumlah kejadian bencana yang terjadi di Indinesia tergolong
yang terbesar di Dunia. Indonesia Berasda di Rangking Pertama dari total 265
negara yang beresiko untuk bencana tsunami, rangking pertama untuk bencana
longsor dati total 162 negara paling beresiko, rangking ketiga dari total 153 negara
paling beresiko untuk bencanan gempa bumi, serta rangking ke enam dari total
162 negara paling beresiko untuk bencanan banjir. (EM-DA, 2008) (Engriani,
2013)
2) Epidemiologi Dampak Bnecanan Berdasarkan Kerugian Korban Jiwa
Presentase orang-orang yang terkenan dampak bencana mulai dari yang
besar adalah banjir 38%, gempa bumi 31%, kebakaran 17%, kemarau 6%,
penyakit endemic 4%, gunung merapi 3%. Selanjutnya presetase ipe bencanan
yang dilaporkan paling banyak memakan korban (kematian) di Indonesia 95%
berasal dari gempa bumi, 3% disebabkan oleh banjir, dan 2% disebabkan oleh
epidemik penyakit.(EM-DAT, 2008) (Engriani, 2013)
b. Jenis-jenis bencana
1) Bencana alam: bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian
peristiwa yang disebabkan oleh antara lain: gempa bumi, tsunami, gunung
meletus, banjir, kekeringan, angin topan/puting beliung, dan tanah longsor
(Engriani, 2013)
2) Bencana non alam: bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian
peristiwa non alam yang antara lain berupa gagal tekhnologi, gagal modernisasi,
epidemik, dan wabah penyakit. (Engriani, 2013)
3) Bencana sosial: bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian
peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antar
kelompok atau antar komunitas masyarakat, dan terror (Engriani, 2013)
c. Konsep Penanggulangan Bencana Berbasis Komunitas
Penanggulangan Bencana Berbasis Komunitas merupakan serangkaian
aktivitas masyarakat (komunitas) pada saat sebelum, saat dan setelah bencana terjadi
untuk mengurangi jumlah korban baik jiwa, kerusakan sarana/prasarana dan
terganggunya peri kehidupan masyarakat dan lingkungan hidup dengan mengandalkan
sumber dan kemampuan yang dimiliki oleh masyarakat. Penanggulangan bencana
berbasis komunitas juga merupakan upaya mengkolaborasikan penanggulangan
bencana sebagai upaya bersama antara masyarakat, LSM, swasta dan Pemerintah
Pembangunan kemampuan penanggulangan bencana ditekankan pada peningkatan
kemampuan masyarakat khususnya masyarakat pada kawasan rawan bencana, agar
secara dini menekan bahaya tersebut. Umumnya berpangkal pada tindakan
penumbuhan kemampuan masyarakat dalam menangani dan menekan akibat bencana.
Untuk mencapai kondisi tersebut, lazimnya diperlukan langkah-langkah : (1)
pengenalan jenis bencana, (2) pemetaan daerah rawan bencana, (3) zonasi daerah
bahaya dan prakiraan resiko, (4) pengenalan sosial budaya masyarakat daerah bahaya,
(5) penyusunan prosedur dan tata cara penanganan bencana (6) pemasyarakatan
kesiagaan dan peningkatan kemampuan, (7) mitigasi fisik, (8) pengembangan
teknologi bencana alam. (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri,
2010)
Saat ini organisasi penanggulangan bencana di Indonesia masih merupakan
lembaga ad hoc. Di tingkat Pusat terdapat Badan Koordinasi Nasional (BAKORNAS)
Penanggulangan Bencana dan Pengungsi dengan Ketua Pelaksana Harian (Kalakhar)
Wakil Presiden. Di tingkat Provinsi terdapat Satuan Koordinasi Pelaksana
(SATKORLAK) Penanggulangan Bencana dan Pengungsi. Di tingkat Kabupaten/Kota
terdapat Satuan Pelaksana (SATLAK) Penanggulangan Bencana dan Pengungsi yang
dibentuk berdasarkan Perpres No.85/2005. Dalam UU No.24/2007 tentang
penanggulangan bencana diamanatkan tentang pembentukan Badan Nasional
Penanggulangan Bencana dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah, dan sampai
sekarang Peraturan Pemerintah yang mengaturnya belum terbit. Dalam kerja
penanggulangan bencana di tingkat daerah, biasa dilakukan (Program Nasional
Pemberdayaan Masyarakat Mandiri, 2010):
a) Kantor/Dinas Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat (Kesbanglinmas)
yang juga mengorganisir Search and Rescue (SAR). Bertugas meningkatkan
kesiapsiagaan dan tanggap darurat bencana
b) Dinas lainnya seperti Pertambangan dan Energi yang berfungsi sebagai pengawas
tata kelola pertambangan dan energi, mempunyai peta-peta rawan bencana yang
biasanya terkait dengan pertambangan (longsor, bencana lingkungan). Kemudian
Dinas Sosial, Bagian Kesra, DPU dsb
c) Palang Merah Indonesia di daerah masing-masing
d) Pusat Studi Bencana di Universitas terdekat yang dapat memberikan peta
ancaman, mikrozonasi, dan penelitian tentang kebencanaan yang lain
e) Badan Meteorologi dan Geofisika untuk mengetahui tentang cuaca, iklim
dikaitkan dengan bencana, termasuk peringatan dini yang ada untuk berbagai
jenis bencana Selain itu terdapat organisasi masyarakat dan LSM baik nasional,
lokal maupun internasional yang concern terhadap isu-isu penanggulangan
bencana.
d. Langkah-Langkah Penanganan Bencana
1) Analisa Resiko Bencana
Langkah pertama yang dilakukan dalam melakukan tahapan analisa risiko adalah
menemukenali ancaman. Setelah itu mengidentifikasi kerentanan dan kemudian
kapasitas di kelurahan masing-masing. Sebelum analisa resiko dilakukan, sebaiknya
dilakukan pencarian data dari berbagai sumber: organisasi pemerintah, Pusat Studi
Bencana, dll, sebagai data awal. Pengenalan ancaman, kerentanan dan kapasitas
komunitas tetap sebagai data primer. (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat
Mandiri, 2010)
2) Sistem Peringatan Dini
Sistem peringatan dini adalah tanda bencana, yang dikomunikasikan
lembaga/organisasi yang berwenang serta masyarakat setempat dan dijadikan acuan
dalam mengambil tindakan yang dianggap perlu dan taktis saat bencana datang.
Peringatan dini haruslah tanda yang dipahami semua masyarakat, bersifat segera dan
bersifat resmi. Peringatan dini dapat bersumber dari pemerintah, dapat pula
berdasarkan pengetahuan lokal tentang tanda-tanda bencana, serta menggunakan
sumber daya local (apalagi jika bencana bersifat lokal). Contohnya adalah bunyi
kentongan pada masyarakat Jawa untuk menandakan beberapa hal termasuk jika
terjadi bencana. (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri, 2010)
3) Saat Bencana Datang
Saat bencana terjadi, adalah saat paling penting yang akan menentukan dampak yang
akan ditimbulkan oleh bencana. Maka langkah yang bersifat taktis dan strategis harus
segera dilakukan ketika bencana datang.
 Membunyikan tanda bahaya
 Pembunyian tanda bahaya dilakukan oleh pihak yang ditunjuk/disepakati sebagai
otoritas. Tanda bahaya merupakan bunyi/suara/tanda yang disepakati oleh
masyarakat setempat sebagai sistem peringatan dini
 Meminta bantuan dari wilayah terdekat dan menghubungi instansi terkait (Satlak
PBP, SAR, PMI, TNI/POLRI dll)
 Pengambilan keputusan pengungsian oleh aparat dusun/desa
 Koordinasi Kelompok Masyarakat Siaga Bencana untuk segera melakukan kerja
berdasarkan regu yang dikoordinasi oleh Koordinator Kelompok
4) Paska Bencana
Pasca bencana meliputi pemulihan (rehabilitasi) dan rekonstruksi. Pemulihan
ditujukan untuk memenuhi kebutuhan dasar guna mengurangi penderitaan akibat
bencana. Rencana pemulihan juga memperhitungkan kondisi lingkungan untuk
mengurangi resiko bencana di masa yang akan datang. Pemulihan jangka pendek
ditujukan untuk pemenuhan kebutuhan dasar seperti kebutuhan makanan, tempat
tinggal sementara, sanitasi, kesehatan dan pengobatan, kebutuhan Mandi Cuci Kakus
(MCK) dan kebutuhan religius serta adat. Pada pemulihan jangka pendek ini
biasanya korban bencana belum dapat memenuhi kebutuhan di atas. Pemulihan
jangka menengah ditujukan untuk pemenuhan kebutuhan yang lebih umum setelah
pemenuhan kebutuhan pribadi yaitu : pembangunan sarana kesehatan umum darurat,
tempat ibadah darurat, pembangunan sekolah darurat, penyediaan air dan sanitasi
serta pembangunan saluran air limbah dan pengelolaan sampah Pemulihan jangka
panjang ditujukan untuk membangun kembali (rekonstruksi) yang berkaitan dengan
pembangunan yang berkelanjutan. Rekonstruksi dilakukan dengan melihat dampak
bencana yang terjadi serta kebutuhan dan prioritas masyarakat. Pada umumnya
rekonstruksi dilakukan : (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri,
2010)
 Pemulihan kegiatan perekonomian
 Pembangunan infrastruktur yang rusak baik jalan, jembatan, sekolah, pasar,
perkantoran, tempat ibadah, sarana kesehatan
 Rehabilitasi kejiwaan
 Rehabilitasi kecacatan
 Perbaikan aliran listrik dan komunikasi yang permanen
 Pemulihan produksi pangan, sektor produksi pertanian lainnya, peternakan dan
perikanan
 Perbaikan kondisi lingkungan hidup
 Pemulihan pendididikan baik sarana prasarana maupun sumberdaya manusia
 Pemulihan unsur rohani, budaya, adat istiadat.
e. Fase Pada Manajemen Bencana
Manajemen bencana dapat dibagi menjadi beberapa fase:
1) Fase Mitigasi
Mitigasi merupakan kegiatan yang dirancang untuk mengurangi resiko dan
potensi kerusakan akibat keadaan darurat. Analisa demografi populasi rentan dan
kemampuan komunitas harus dianalisa. Mitigasi mencakup pendidikan kepada pulik
tindakan untuk menyiapkan bencana pada individu, keluarga dan komunitas. Dimulai
dengan mengidentifikasi hazard potensial yang mempengaruhi operator organisasi.
Indonesia kini tengah menuju mitigasi/tindakan preventif. Mitigasi yang dilakukan
adalah dengan pembangunan struktural dan non struktural di daerah rentan gempa dan
bencana alam lainnya. Tindakan mitigasi struktural contohnya dengan pemasangan
sistem informasi peringatan dini tsunami, yang bekerja setelah terjadi gempa. Mitigasi
non struktural adalah penataan ulang tata ruang area rentan bencana.
2) Fase kesiapsiagaan dan pencegahan (Prevention phase).
Fase kesiapsiagaan adalah fase dimana dilakukan persiapan yang baik dengan
berbagai tindakan untuk meminamalisir kerugian yang ditimbulkan akibat terjadinya
bencana dan menyusun perencanaan agara dapat melakukan kegiatan pertolongan serta
perawatan yang efektif saat terjadi bencana. Tindakan terhadap bencana menurut PBB
ada 9 kerangka: pengkajian terhadap kerentanan; membuat perencanaan;
pengorganisasian; sistem informasi; pengumpulan sumber daya; sistem alarm;
mekanisme tindakan; pendidikan dan pelatihan penduduk; gladi resik. Beberapa
langkah yang dilakukan oleh Badan Nasional Penanganan Bencana baik tingkat
Nasional dan Daerah telah diusahakan sekeras mungkin. Contohnya pemetaan daerah
rawan bencana gempa, regionalisasi daerah bencana gempa, penetapan daerah yang
menjadi wilayah basis pencapaian lokasi bencana gempa, serta penetapan daerah
lokasi evakuasi saat dilakukan penanganan korban gempa bumi.
3) Fase tindakan (Respon phase)
Fase tindakan merupakan fase dimana dilakukan berbagai aksi darurat yang
nyata untuk menjaga diri sendiri atau harta kekayaan. Tujuan dari fase tindakan adalah
mengontrol dampak negatif dari bencana. Aktivitas yang dilakukan: instruksi
pengungsiaan; pencarian dan penyelamatan korban; menjamin keamanan dilokasi
bencana; pengkajian terhadap kerugian akibat bencana; pembagian dan penggunaan
alat perlengkapan pada kondisi darurat; pengiriman dan penyerahan barang material;
dan menyediakan tempat pengungsian. Fase tindakan dibagi menjadi fase akut dan
fase sub akut. Fase akut, 48 jam pertama sejak bencana terjadi disebut fase
penyelamatan dan pertolongan medis darurat sedangkan fase sub akut terjadi sejak 2-3
minggu.
4) Fase pemulihan
Fase pemulihan merupakan fase dimana individu atau masyarakat dengan
kemampuannya sendiri dapat memulihkan fungsinya seperti kondisi sebelumnnya.
Pada fase ini orang-orang mulai melakukan perbaikan darurat tempat tinggal, mulai
sekolah atau bekerja, memulihkan lingkungan tempat tinggalnya. Fase ini merupakan
masa peralihan dari kondisi darurat ke kondisi tenang.
5) Fase Rehabilitasi
Fase Rehabilitasi merupakan fase dimana individu atau masyarakat berusaha
mengembalikan fungsi fungsi-fungsinya seperti sebelum bencana dan merencanakan
rehabilitasi terhadap seluruh komunitas. Keadaannya mengalami perubahan dari
sebelum bencana.

B. Peran Perawat Komunitas Dalam Manajemen Kejadian Bencana


Perawat komunitas dalam asuhan keperawatan komunitas memiliki tanggung jawab
peran dalam membantu mengatasi ancaman bencana baik selama tahap preimpact,
impact/emergency, dan postimpact Peran perawat disini bisa dikatakan multiple (Mendrofa,
2012);
 sebagai bagian dari penyusun rencana,
 pendidik,
 pemberi asuhan keperawatan
 bagian dari tim pengkajian kejadian bencana.
Tujuan tindakan asuhan keperawatan komunitas pada bencana ini adalah untuk mencapai
kemungkinan tingkat kesehatan terbaik masyarakat yang terkena bencana tersebut. adapun
Peran Perawat dalam keadaan bencana adalah (Mendrofa, 2012):
a) Peran dalam Pencegahan Primer
Ada beberapa hal yang dapat dilakukan perawat dalam masa pra bencana ini, antara
lain:
 mengenali instruksi ancaman bahaya;
 mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan saat fase emergency (makanan, air,
obat-obatan, pakaian dan selimut, serta tenda)
 melatih penanganan pertama korban bencana.
 Berkoordinasi berbagai dinas pemerintahan, organisasi lingkungan, palang
merah nasional maupun lembaga-lembaga kemasyarakatan dalam
memberikan penyuluhan dan simulasi persiapan menghadapi ancaman
bencana kepada masyarakat
 Pendidikan kesehatan diarahkan kepada :
o usaha pertolongan diri sendiri (pada masyarakat tersebut)
o pelatihan pertolongan pertama dalam keluarga seperti menolong anggota
keluarga dengan kecurigaan fraktur tulang, perdarahan, dan pertolongan
pertama luka bakar
 memberikan beberapa alamat dan nomor telepon darurat seperti dinas
kebakaran, RS dan ambulans.
 Memberikan informasi tentang perlengkapan yang dapat dibawa (misal
pakaian seperlunya, portable radio, senter, baterai)
 Memberikan informasi tempat-tempat alternatif penampungan atau posko-
posko bencana
b) Peran Perawat dalam Keadaan Darurat (Impact Phase)
Biasanya pertolongan pertama pada korban bencana dilakukan tepat setelah keadaan
stabil. Setelah bencana mulai stabil, masing-masing bidang tim survey mulai
melakukan pengkajian cepat terhadap kerusakan-kerusakan, begitu juga perawat
sebagai bagian dari tim kesehatan. Perawat harus melakukan pengkajian secara cepat
untuk memutuskan tindakan pertolongan pertama. Ada saat dimana ”seleksi” pasien
untuk penanganan segera (emergency) akan lebih efektif. TRIASE (Engriani, 2013):
 Merah---paling penting, prioritas utama. keadaan yang mengancam
kehidupan sebagian besar pasien mengalami hipoksia, syok, trauma dada,
perdarahan internal, trauma kepala dengan kehilangan kesadaran, luka bakar
derajat I-II
 Kuning --- penting, prioritas kedua. Prioritas kedua meliputi injury dengan
efek sistemik namun belum jatuh ke keadaan syok karena dalam keadaan ini
sebenarnya pasien masih dapat bertahan selama 30-60 menit. Injury tersebut
antara lain fraktur tulang multipel, fraktur terbuka, cedera medulla spinalis,
laserasi, luka bakar derajat II
 Hijau --- prioritas ketiga. Yang termasuk kategori ini adalah fraktur tertutup,
luka bakar minor, minor laserasi, kontusio, abrasio, dan dislokasi
 Hitam --- meninggal. Ini adalah korban bencana yang tidak dapat selamat dari
bencana, ditemukan sudah dalam keadaan meninggal
c) Peran perawat di dalam posko pengungsian dan posko bencana
 Memfasilitasi jadwal kunjungan konsultasi medis dan cek kesehatan sehari-
hari
 Tetap menyusun rencana prioritas asuhan keperawatan harian
 Merencanakan dan memfasilitasi transfer pasien yang memerlukan
 penanganan kesehatan di RS
 Mengevaluasi kebutuhan kesehatan harian
 Memeriksa dan mengatur persediaan obat, makanan, makanan khusus bayi,
peralatan kesehatan
 Membantu penanganan dan penempatan pasien dengan penyakit menular
maupun kondisi kejiwaan labil hingga membahayakan diri dan
lingkungannya berkoordinasi dengan perawat jiwa
 Mengidentifikasi reaksi psikologis yang muncul pada korban (ansietas,
depresi yang ditunjukkan dengan seringnya menangis dan mengisolasi diri)
maupun reaksi psikosomatik (hilang nafsu makan, insomnia, fatigue, mual
muntah, dan kelemahan otot)
 Membantu terapi kejiwaan korban khususnya anak-anak, dapat dilakukan
dengan memodifikasi lingkungan misal dengan terapi bermain

C. Faktor Resiko Dan Masalah Kesehatan Pada Area Disaster


Terjadinya suatu bencana pada daerah tertentu dapat mengakibatkan efek atau
dampak yang perlu ditangani. Dampak yang terjadi adalah dampak fisik dan non fisik.
Dampak fisik dapat berupa keadaan yang menyebabkan kondisi sakit atau masalah
kesehatan pada individu. Kondisi non fisik dapat berupa ekonomi, lingkungan, dll.
Ketersediaan pangan juga sering terjadi pada masalah bencana ini yakni kurangnya sumber
pangan yang ada akibat kesulitan untuk menjangkau daerah atau pengungsian yang terkena
bencana ini. Persediaan pangan yang tidak mencukupi juga merupakan awal dari proses
terjadinya penurunan derajat kesehatan yang dalam jangka panjang akan mempengaruhi
secara langsung tingkat pemenuhan kehutuhan gizi korhan hencana.
Salah satu dampak hencana terhadap menurunnya kualitas hidup penduduk dapat
dilihat dari berhagai permasalahan kesehatan masyarakat yang terjadi. Bencana yang diikuti
dengan pengungsian herpotensi menimhulkan masalah kesehatan yang sehenamya diawali
oleh masalah hidang/sektor lain. Bencana gempa humi, hanjir, longsor dan letusan gunung
herapi, dalam jangka pendek dapat herdampak pada korhan meninggal, korhan cedera herat
yang memerlukan perawatan intensif, peningkatan risiko penyakit menular, kerusakan
fasilitas kesehatan dan sistem penyediaan air. Timhulnya masalah kesehatan antara lain
herawal dari kurangnya air hersih yang herakihat pada huruknya kehersihan diri, huruknya
sanitasi lingkungan yang merupakan awal dari perkemhanghiakan heherapa jenis penyakit
menular (Pan American Health Organization, 2006).
Dampak bencana terhadap kesehatan masyarakat berbeda-beda, antara lain
tergantung dari jenis dan hesaran hencana yang terjadi. Kasus cedera yang memerlukan
perawatan medis, misalnya, relatif lehih hanyak dijumpai pada hencana gempa humi
dihandingkan dengan kasus cedera akihat hanjir dan gelomhang pasang. Sehaliknya,
hencana hanjir yang terjadi dalam waktu relatif lama dapat menyehahkan kerusakan sistem
sanitasi dan air bersih, serta menimhulkan potensi kejadian luar biasa (KLB) penyakit-
penyakit yang ditularkan melalui media air (water-borne diseases) seperti diare dan
leptospirosis. Terkait dengan hencana gempa bumi, selain dipengaruhi kekuatan gempa, ada
tiga faktor yang dapat mempengaruhi hanyak sedikitnya korhan meninggal dan cedera
akihat hencana ini, yakni: tipe rumah, waktu pada hari terjadinya gempa dan kepadatan
penduduk (Pan American Health Organization, 2006). Bencana menimhulkan herhagai
potensi permasalahan kesehatan hagi masyarakat terdampak. Dampak ini akan dirasakan
lehih parah oleh kelompok penduduk rentan. Sehagaimana disehutkan dalam Pasal 55 (2)
UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, kelompok rentan meliputi: I).
Bayi, halita dan anak-anak; 2). Ibu yang sedang mengandung atau menyusui; 3).
Penyandang cacat; dan 4) Orang lanjut usia. Selain keempat kelompok penduduk tersehut,
dalam Peraturan Kepala BNPB Nomor 7 Tahun 2008 tentang Pedoman Tata Cara
Pemenuhan Kehutuhan Dasar ditambahkan 'orang sakit' sebagai bagian dari kelompok
rentan dalam kondisi bencana. Upaya perlindungan tentunya perlu diprioritaskan pada
kelompok rentan tersehut, mulai dari penyelamatan, evakuasi, pengamanan sampai dengan
pelayanan kesehatan dan psikososial.
Para korban bencana yang mengalami kerusakan pada pemukiman akan
memungkinkan mereka untuk mengungsi. Masalah umum kesehatan di pengungsian
Beberapa jenis penyakit yang sering timbul di pengungsian memerlukan tindakan
pencegahan. Contoh penyakit tersebut antara lain, diare, cacar, penyakit pernafasan, malaria,
meningitis, tuberkulosa, tifoid, cacingan, scabies, xeropthal-mia, anemia, tetanus, hepatitis,
IMS/HIV-AIDS. Selain itu dapat juga menibulkan trauma psikis bagi korban bencana.
Banyak hal yang menjadi efek dari ebncana atau disaster ini maka diperlukan penangan
yang tepat terutama adalah masalah kesehatan. Kondisi bencana yang menyebabkan masalah
pada kondisi fisik perlu mendapatkan penangan yang tepat agar tidak menimbulkan gejala
sisa dan untuk dapat memaksimalkan pemulihan pasien (Widayatun & Fatoni, 2013).

Tempat pengungsi atau penampungan diatur dengan baik dan memiliki sanitasi, air
dan suplai makanan standar yang cukup, kondisi kesehatan dapat disamakan dengan
populasi pada umumnya. Namun, penyediaan standar kesehatan yang lebih tinggi bagi
penduduk di pengungsian dibandingkan dengan populasi secara umum harus dihindari,
kecuali terdapat alasan medis yang jelas. Pelayanan kesehatan dapat disediakan dengan
menugaskan relawan dan pekerja kesehatan pemerintah yang berada di pengungsian atau
meluaskan kapasitas dari fasilitas pelayanan kesehatan terdekat. Fokus dari pelayanan
kesehatan harus tertuju kepada pencegahan penyakit menular yang spesifik dan pengadaan
sistem informasi kesehatan. Apabila pengungsi dalam jumlah besar dikondisikan untuk tetap
tinggal di penampungan sementara untuk jangka panjang, terutama di daerah yang tidak
terlayani dengan baik oleh fasilitas kesehatan yang ada, maka pengaturan khusus harus
diadakan.

D. Program Kesehatan Terkait Masalah Kesehatan Di Area Disaster

Keberhasilan penanganan krisis kesehatan akibat bencana ditentukan oleh


manajemen penanganan bencana serta kegiatan pokok seperti penanganan korban massal,
pelayanan kesehatan dasar di pengungsian, pengawasan dan pengendalian penyakit, air bersih
dan sanitasi, penanganan gizi darurat, penanganan kesehatan jiwa, serta pengelolaan logistik
dan perbekalan kesehatan. Undang-undang yang mengatur penanggulangan bencana yaitu
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana yang
mengamanatkan untuk melindungi masyarakat dari ancaman bencana. Pelayanan publik
dimaksudkan untuk mensejahterakan masyarakat dalam hal ini Peran pemerintah pusat
(Kementrian Kesehatan) adalah memberikan dukungan kepada Puskesmas sebagai sarana
pelayanan kesehatan terdepan melalui Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten, terkait
keterbatasan kemampuan sumberdaya yang dimiliki Puskesmas dalam penanggulangan
bencana, maka sangat dibutuhkan dukungan dari semua pihak. Sistem manajemen pelayanan
publik yang baik di tingkat puskesmas dalam menghadapi bencana alam merupakan bagian
penting dalam meningkatkan derajat kesehatan, hal ini disebabkan karena permasalahan
bencana alam besar sangatlah kompleks, permasalahan bencana memerlukan suatu penataan
dan perencanaan yang matang dalam sistem pencegahan maupun penanggulangan, agar tujuan
pelayanan publik dalam mensejahterakan masyarakat dapat tercapai.

Indonesia merupakan salah satu negara yang paling rawan terhadap kejadian bencana
baik bencana alam, non-alam, maupun bencana sosial. Guna mengurangi bencana,
Kementerian Kesehatan RI bekerja sama dengan WHO mengembangkan Program Emergency
Preparedness and Response (EPR) yang selanjutnya diperbaharui menjadi Program DRR
untuk sektor kesehatan. Program DRR memiliki indikator (benchmark) yang ditetapkan oleh
WHO SEARO dan 3 strategi utama untuk mencapai visi, tujuan, dan objektifnya. Ketiga
strategi tersebut, antara lain, minimisasi hazards, minimisasi kerentanan, dan peningkatan
kapasitas semua pihak yang terlibat.

Program Pengurangan Resiko Bencana (PRB) merupakan prioritas nasional dan


daerah yang dilaksanakan melalui kelembagaan yang kuat sebagai implementasi Kerangka
Aksi Hyogo (Hyogo Framework of Action) tahun 2005.Kementerian Kesehatan juga
mengimplementasikan Pengurangan Resiko Bencana yang berupa upaya-upaya
penanggulangan krisis kesehatan ini dalam bentuk program dan kegiatan yang dilaksanakan
pada tahap pra krisis kesehatan, antara lain berupa :

1. Membentuk 9 Pusat Penanggulangan Krisis Regional dan 2 Sub Regional yang


merupakan bentuk perpanjangan tangan dari PPKK Kemenkes dalam menjangkau
wilayah-wilayah rawan bencana di seluruh Indonesia.
2. PPKK Kemenkes berkolaborasi dengan WHO membentuk WHO Collaborating Center
(WHO CC) yang merupakan wadah dalam pelaksanaan research & training di bidang
penanggulangan krisis kesehatan.
3. Memasukkan modul bencana ke dalam kurikulum Poltekkes Kemenkes.
4. Melaksanakan kegiatan workshop terkait penanggulangan krisis kesehatan :
5. Workshop Foreign Medical Team untuk memperkuat jejaring kerja internasional dalam
penanggulangan bencana.
6. Workshop Fasilitas Pelayanan Kesehatan Aman Bencana.
7. Workshop Tim Ahli Krisis Kesehatan
8. Penyusunan kebijakan/pedoman terkait penanggulangan krisis kesehatan berupa
Peraturan Menteri Kesehatan, Pedoman Teknis dan Petunjuk Teknis yang disusun oleh
Pusat Penanggulangan Krisis Kesehatan dan unit-unit lintas program terkait di
Kementerian Kesehatan.
9. Peningkatan/Penguatan Kapasitas Sumber Daya Institusi.

Untuk meningkatkan kapasitas petugas kabupaten/kota dalam penanggulangan krisis


kesehatan Pusat Penanggulangan Krisis Kesehatan dan unit-unit lintas program terkait
melaksanakan peningkatan kapasitas petugas kabupaten/kota dalam hal penanggulangan krisis
kesehatan seperti data dan informasi, alat komunikasi, pelayanan kesehatan, tim reaksi cepat,
manajemen bencana dan penyusunan rencana kontinjensi.

Kegiatan Kesiapsiagaan Pada Situasi Khusus


Situasi Khusus merupakan kegiatan berskala besar yang melibatkan banyak orang
dan memiliki kerentanan serta risiko terjadinya krisis kesehatan. Kesiapsiagaan pada situasi
khusus ini antara lain berupa Geladi Penanggulangan Krisis Kesehatan, mobilisasi tenaga
kesehatan, penyiapan fasilitas kesehatan rujukan, pendirian rumah sakit lapangan dan
penyusunan rencana kontinjensi bidang kesehatan. Kesiapsiagaan pada situasi khusus telah
dilaksanakan pada Sail Morotai (2012), Sail Komodo (2013), Sail Raja Ampat (2014), Pekan
Olah Raga Nasional (PON 2012), Peringatan Hari Kesehatan Nasional ke-49 Tahun 2013,
Pemilihan Umum 2014 dan Arus Mudik Lebaran.

Penyediaan Dukungan Sarana, Prasarana Dan Logistik Penanggulangan Krisis


Kesehatan
Pencapaian program dan kegiatan Pengurangan Resiko Bencana Kementerian
Kesehatan (PPKK):

1. Tersusunnya kebijakan, pedoman Pengurangan Resiko Bencana bidang kesehatan.


2. Tercapainya renstra PPKK 2010 – 2014 dalam peningkatan kapasitas SDM di 300 kab/kota
3. Adanya Program kerja tahunan PPKK Regional dan Sub Regional terhadap wilayah
kerjanya dalam rangka Pengurangan Resiko Bencana berupa pelatihan, simulasi,
monitoring, evaluasi.
4. Terlaksananya advokasi, sosialisasi dan pelatihan terkait Pengurangan Resiko Bencana di
lingkungan lintas program Kemenkes.
5. Terbentuknya Tim Pembina Regional melalui SK Kapus PKK tahun 2012.
6. Terbentuknya Pokja Penelitian dan Pokja Pelatihan WHO CC melalui SK Kapus PPKK
tahun 2013.
7. Terbentuknya tim ahli krisis kesehatan melalui SK Menkes tahun 2014.
8. Peran serta Kemenkes dengan lintas sektor dan lembaga internasional dalam kegiatan-
kegiatan Pengurangan Resiko Bencana.
Tantangan yang dihadapi dalam pelaksanaan Pengurangan Resiko Bencana (PRB):

1. Kurangnya dukungan pimpinan daerah dalam program PRB di bidang kesehatan.


2. Kapasitas SDM Kes yang masih belum merata secara nasional.
3. Masih kurangnya inovasi-inovasi kreatif bidang kesehatan terkait PRB.
4. Kurangnya narasumber yang kompeten dalam PRB bidang kesehatan.
5. Terbatasnya anggaran baik di tingkat Pusat, Provinsi, Kab/Kota.
6. Masih kurangnya peran serta masyarakat dalam PRB bidang kesehatan.
7. Masih kurangnya koordinasi antara pelaku PRB bidang kesehatan dari kalangan dunia
usaha dan akademisi dengan pemerintah.

Strategi Kementerian Kesehatan Dalam Pelaksanaan Program Pengurangan Resiko


Bencana :

1. Memperkuat fungsi PPKK regional dan subregional.


2. Melakukan advokasi dan sosialisasi kepada pimpinan daerah terkait pentingnya PRB
bidang kesehatan untuk meminimalisir korban bila terjadi bencana.
3. Terus melakukan upaya peningkatan kapasitas tenaga kesehatan.
4. Menyusun pedoman fasilitas pelayanan kesehatan aman bencana.
5. Memperkuat program PRB bidang kesehatan di lintas program Kemenkes.
6. Meningkatkan peran serta masyarakat dalam PRB bidang kesehatan.
7. Meningkatkan koordinasi dengan pelaku PRB bidang kesehatan dari kalangan dunia
usaha dan akademisi.
8. Mempererat koordinasi klaster kesehatan dalam PRB.
9. Monitoring dan Evaluasi
E. Manajemen Penanggulangan Masalah Kesehatan
Kerangka Konsep Koordinasi

Koordinasi memerlukan :
a. Manajemen penanggulangan masalah kesehatan yang baik.
b. Adanya tujuan, peran dan tanggung jawab yang jelas dari organisasi.
c. Sumber daya dan waktu yang akan membuat koordinasi berjalan.
d. Jalannya koordinasi berdasarkan adanya informasi dari berbagai tingkatan sumber
informasi yang berbeda.
Untuk memperoleh efektifitas dan optimalisasi sumber daya PMK diperlukan persyaratan
tertentu antara lain:
a. Komunikasi berbagai arah dari berbagai pihak yang dikoordinasikan.
b. Kepemimpinan dan motivasi yang kuat disaat krisis.
c. Kerjasama dan kemitraaan antara berbagai pihak.
d. Koordinasi yang harmonis.
Keempat syarat tersebut dipadukan untuk menyusun :
a. Perencanaan
b. Pengorganisasian
c. Pengendalian
d. Evaluasi Penanggulangan Masalah Kesehatan.
F. Manajemen Penanggulangan Masalah Kesehatan
Inti dari manajemen penanggulangan masalah kesehatan yaitu adanya organisasi
penanggulangan yang efektif dan efisien dilandasi dengan adanya kepemimpinan yang
proaktif, mempunyai sense of crisis dan tidak melupakan birokrasi yang ada serta didasari
adanya hubungan antar manusia yang baik.
BAB IV
ANALISA PROGRAM KEBIJAKAN DISASTER

A. Analisa Program
Penanganan korban bencana alam, sesungguhnya tidak dapat ditumpukan
penangannanya hanya pada satu pihak saja, dalam hal ini sangat diperlukan kerjasama
pemerintah pusat, daerah, lintas program, lintas sektor dan juga peran serta masyarakat dan
juga elemen-elemen negara lainnya. Bencana yang sering kali tidak terduga dan mendadak,
jika tidak diantisipasi dan tidak ditangani secara serius baik memulainya dari deteksi dini,
pencegahan dan hingga upaya rehabilitasi, akan sangat memungkinkan terjadinya korban,
tidak hanya korban materi tapi juga korban secara psikologis yang mana penangannya akan
lebih memerlukan waktu yang cukup lama.
Dari paparan tentang program penanganan bencana pada bab sebelumnya, dapat
dianalisis bahwa pemerintah sudah banyak mengeluarkan program yang pastinya sudah
melalui kajian situasi yang mendalam. Hal ini dibuktikan dengan upaya-upaya yang sudah
digulirkan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah berupa program-program penanganan
bencana yang terintegrasi. Secara umum program-program yang sudah dicanangkan oleh
pemerintah, sudah sangat baik dan menyeluruh, akan tetapi dalam pelaksanaan dan
realisasinya masih banyak terdapat hambatan dan juga ketidaksinambungan terutama dalam
hal komunikasi. Agar upaya mitigasi, kesiapsiagaan dan bantuan kesehatan pada kedaruratan
kompleks dapat dilaksanakan lebih cepat dan tepat di masa yang akan datang, diperlukan
dukungan semua jajaran yang terlibat sehingga koordinasi baik lintas program maupun lintas
sektor dapat dilaksanakn secara terpadu dan terarah. Pengelolaan upaya bantuan pada
kedaruratan kompleks pada aspek kesehatan masyarakat, termasuk di dalamnya
penanggulangan medik penderita gawat darurat, pelayanan kesehatan dasar, rehabilitasi
penderita PTS, upaya penyehatan lingkungan dan surveilans penyakit-penyakit, diupayakan
dapat dilakukan sejak tahap sebelum kedaruratan dan bencana (upaya kesiapsiagaan dan
mitigasi), hingga resiko terjadinya kejadian luar biasa (outbreak) penyakit menular dapat
dicegah. Permasalahan bantuan kesehatan yang ada dapat diperkecil dengan melakukan upaya
koordinasi kesiapsiagaan (preparedness) dan mitigasi (alertness) jajaran kesehatan dan sektor
lain secara terpadu sejak dari tingkat perencanaan, pengorganisasian, penggerakan dan
pengendalian.
Dalam pelaksanaan program disaster yang dikeluarkan oleh pemerintah masih
terdapat banyak hambatan sehingga program yang bentuk tidak dapat berjalan maksiamal dan
merata di semua provinsi di Indonesia, adapun masalah-masalah yang menghambat
pelaksanaan program Disaster yaitu :
a) Di daerah terkait penanggulangan bencana dalam hal ini BPBD, pada umumnya belum
dilengkapi dengan peraturan daerah tentang penyelenggaraan penanggulangan bencana di
daerah, sehingga dalam mengatasi masalah kebencanaan masih belum terkoordinasi
secara baik (Bappenas, 2016)
b) Dalam perencanaan lintas sektor penanggulangan bencana baik Bappenas, BNPB,
maupun K/L terkait dalam fase prabencana, tangap darurat, ataupun pascabencana belum
terkoordinasi secara baik. Hal ini ditunjukkan dengan pengarusutamaan yang dilakukan
baik oleh BNPB ataupun BPBD belum diterapkan atau bahkan terencana secara merata
c) Pemetaan tugas dan fungsi masing-masing K/L oleh BNPB dalam kegiatan
Penanggulangan Bencana berfungsi sebagai kontrol kegiatan oleh BNPB selaku
koordinator dalam hal penanggulangan bencana (Bappenas, 2016)
d) Belum baiknya penyusunan Alur perencanaan penanggulangan bencana dari tingkat pusat
sampai tingkat daerah agar penyelenggaraan penanggulangan bencana dapat terencana
secara baik (Bappenas, 2016)
e) Kesiapan Perawat dalam melakukan penanggulangan bencanan masih sangat kurang
(Huriah & Farida, 2010)
f) kapasitas sumber daya manusia dalam hal ini perawat yang memiliki keahlian dalam
pencehgahan dan penanggunangan bencana masih sangat kurang. (Huriah & Farida,
2010)
g) Baik BNPB maupun maupun para petugas kesehatan termasuk perawat belum mampu
membentuk masyarakat yang siap dan sigap dalam menghadapi bencana dan mengenali
tanda-tanda bncana sehingga seringkali bencana yang datang mendadak tidak mampu di
antisispasi oleh masyarakat (Huriah & Farida, 2010) (Bappenas, 2016)
h) Fasilitas-fasilitas yang berfungsi sebagai pengingat ataupun pendeteksi dini datag nya
bencana belum di bangun secara merata diseluruh daerah di Indonesia (Bappenas, 2016)
B. Rekomendasi Program
Berdasar telaah, analisa, dan dikusi kelompok ditambahkan juga dengan hasil dari
temuan yang kelompok baca melalui jurnal-jurnal penelitian yang terkait dengan penanganan
bencana yang ada di Indonesia, rekomendasi program yang dapat ditawarkan kepada
pemerintah berupa optimalisasi peran perawat. Oleh karenanya pelaksanaan program
penanggulangan bencana yang ada di Indonesia maka rekomndasi yang dapat kami berikan
adalah perlunya dilakukan koordinasi secara merata sampai ke pelosok desa dan mengirimkan
atau melatih tenaga yang kompeten salah satunya perawat petugas lintas sector lainnya untuk
memiliki kemampuan dalam melakukan pemberdayaan pada masyarakan sehingga
terciptanya masyarakat yang tanggap bencana serta melengkapi fasilitas-fasilitas sebagai
pedukung dalam tanggap bencana.
BAB V
KESIMPULAN

Inti dari manajemen penanggulangan masalah kesehatan yaitu adanya organisasi


penanggulangan yang efektif dan efisien dilandasi dengan adanya kepemimpinan yang proaktif,
mempunyai sense of crisis dan tidak melupakan birokrasi yang ada serta didasari adanya
hubungan antar manusia yang baik. Koordinasi merupakan kegiatan yang sangat tergantung pada
kemauan dan kemampuan pihak-pihak yang berkepentingan untuk menyelesaikan masalah
kesehatan. Untuk itu perlu adanya jiwa kepemimpinan strategis yang melandasi penanggulangan
masalah kesehatan ini agar memudahkan dan melancarkan koordinasi itu sendiri. Didaerah
rawan kedaruratan dan bencana sangat diperlukan upaya kegiatan koordinasi dan peningkatan
kualitasa kepemimpinan untuk penanggulangan masalah kesehatan terutama pada tahap tanggap
darurat, dimana kelangkaan sumber daya sering menjadi faktor penghambat, penyulit dan
kendala koordinasi. Dengan adanya acuan dan pedoman bagi petugas kesehatan dan petugas lain
yang terkait maka hasil penanggulangan masalah kesehatan diharapkan menjadi lebih efisien dan
lebih efektif terutama dengan adanya optimalisasi sumber daya secara harmonis. Hasil guna dan
data guna penanggulangan masalah kesehatan sangat dipengaruhi oleh kualitas koordinasi dan
kemempuan manajerial pelaksanaan kegiatan bantuan kemanusiaan
DAFTAR PUSTAKA

Engriani, Y. T. (2013). Academi Edu. Retrieved Juni 3, 2017, from Academi Edu Website:
https://www.academia.edu/12097242/PERAN_PERAWAT_KOMUNITAS_DALAM_PENAN
GGULANGAN_BENCANA_DI_INDONESIA

Mendrofa, F. (2012). KEPERAWATAN KOMUNITAS PADA BENCANA.

Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri, P. M. (2010). Modul Khusus Fasilitator


Pengelolaan Dan Penanggualangan Bencana.

Sutrisno, S. (n.d.). Slide Share. Retrieved juni 3, 2017, from SlideShare Website:
https://www.scribd.com/doc/86991834/Keperawatan-Komunitas-Pada-Bencana

https://www.bnpb.go.id/home/detail/3387/Sungai-Meluap,-2.474-Jiwa-Terdampak-Banjir-di-
Gorontalo diakses 3 Juni 2017.
Undang-Undang No 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
http://www. penanggulangankrisis.depkes.go.id diunduh 3 Juni 2017
Association of Public Health Nurses. (2014). The Role of Public Health Nurse in Disaster:
Preparedness, response and recovery. A position paper.
BNPB. 2010. Prosedur Tetap Tim Reaksi Cepat Badan asional Penanggulangan Bencana.
Indonesia: Badan Nasional Penanggulangan Bencana.
Ferry Efendi & Makhfudli. 2013. Keperawatan Kesehatan Komunitas Teori dan praktik dalam
keperawatan. Jakarta: Salemba Medika
Loke, AY., & Fung, OWM., (2014). Nurses’ competencies in disaster nursing: Implications for
curriculum development and public health. International Journal of Environmental Research
and Public Health. 11. 3289-3303
Magnaye, B., et al. (2011). The role, preparedness and management of nurses during disasters.
E-International Scientific Research Journal. III(4) : 269-294

Pusat KemenkesRI. Pusat Krisis Kesehatan.2014. penanggulangankrisis.kemkes.go.id/program-


pengurangan-resiko-.bencana

Widayatun & Fatoni, 2013. Permasalahan kesehatan dalam kondisi bencana: peran petugas
kesehatan dan partisipasi masyarakat.
ANALISA KONSEP KEPERAWATAN KOMUNITAS
PADA AREA BENCANA

Disusun untuk memenuhi Tugas


Mata Kuliah Sistem Teknologi Kesehatan

Oleh:
Kelompok 4
1. Novita Wulan Sari (NIM : 22020115410003)
2. Lisnawati (NIM : 22020116410008)
3. Siti Mardiyah (NIM : 22020116410029)
4. Ita Apriliyani (NIM : 22020116410046)

PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2017

Anda mungkin juga menyukai