Anda di halaman 1dari 14

ASPEK ETIK DAN LEGAL DALAMKEPERAWATAN BENCANA DAN

PENANGGULANGAN BENCANA

MAKALAH

DISUSUN OLEH:
NAMA :ZASKIA ALLETA MAGDLENA HONIS
NIM : 2014201022
KELAS : B1 EKSTENSI

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN INDONESIA


MANADO
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia merupakannegara yang memiliki tingkat kerawanan tinggi terhadap bencana
alam. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan hasil penelitian tentang bencana alam yang
digunakan oleh berbagai lembaga seperti Macleproft, United nations international strategy for
disaster reduction (UNISDR) dan united nations university for environment and human security (
UNU-EHS). Pada tahun 2010, mapplecroft menempatkan Indonesia sebagai negara negara
dengan resiko bencana tertinggi didunia setelah banglades. Ditahun yang sama pula united
nations international strategy for disasterreduction (UNISDR) melalui publikasinya kemudian
menempatkan Indonesia pada urutan kedua sebagai negara dengan resiko bencana tertinggi
dikawasan asia tenggara.
Berdsarkan jumlah kejadiannya bencana yang terjadi di indonesia cenderung mengalami
peningkatan setiap tahunnya. Sebagai contoh yakni untuk 16 tahun terakhir terhitung mulai
tahun 2000-2016 lalu jumlah kejadian bencana cenderung mengalami peningkatan secara
signifikan. Pada tahun 2016 jumlah kejadian bencana di Indonesia mencapai angka tertinggi
dalamdaftar yang tercatat oleh badan nasional penanggulangan bencana (BNPB) pertahun 1815-
2016. Namun, penerapan manajemen di indonesia masih terkendala berbagai masalah, antara
lain kurangnya data dan informasikebencanaan, baik ditingkat masyarakat umum maupun
ditingkat kebijakan. Keterbatasan data dan informasi spasial kebencanaan merupakan salah satu
permasalahan yang menyebabkan manajemen bencana di Indonesia berjalankurang optimal.
Pengambilan keputusan ketika terjadi bencana sulit dilakukan karena data yang beredar
memiliki banyak versi dan sulit difalidasi kebenarannya.
Jumlah kejadian bencana di Indonesia yang menunjukkan trend yang positif didominasi
oleh bencana hidrometeorologi seperti bencana banjir, 1 tanah longsor, angintopan.
Peningkatan dipicu oleh berbagai aspek seperti perubahan iklim, letak geografis Indonesia, dan
maraknya kerusakan ekosistem hutan. Dampak dari perubahan iklim dewasa ini telah
memberikan pengaruh besar terhadap meningkatkan jumlah bencana didunia, termasuk di
Indonesia (Suprapto, 2011).
B. Rumusan Masalah
Adapun permasalahan yang kami angkat dari makalah ini adalah “Bagaimana
mahasiswa/i Prodi S1 tingkat 3 Keperawatan STIKes Hang Tuah Tanjungpinang dapat memahami
Konsep Dasar Manajemen Keperawatan Bencana.

C. Tujuan Penulisan

1. Tujuan Umum Untuk mengetahui dan menganalisa konsep dasar manajemen


keperawatan bencana.
2. Tujuan Khusus
a. Mahasiswa mampu memahami dan menganalisa tren bencana di dunia dan di
Indonesia
b. Mahasiswa mampu memahami dan menganalisa aspek etik dan isu dalam
keperawatan bencana
c. Mahasiswa mampu memahami dan menganalisa perbedaan keperawatan gawat
darurat dan keperawatan bencana
d. Mahasiswa mampu memahami dan menganalisa peran perawat pada bencana

D. Manfaat Penulisan

1. Bagi Penulis Diharapkan makalah ini dapat mendeskripsikan tentang Konsep Dasar
Manajemen Keperawatan Bencana. 2

2. Bagi Instansi/Perguruan Tinggi Diharapkan makalah ini menambah informasi mengenai


Konsep Dasar Manajemen Keperawatan Bencana.

3. Bagi Pembaca Diharapkan makalah ini dapat dijadikan sebagai referensi dan sarana
penambah pengetahuan bagi pembaca terkait Konsep Dasar Manajemen Keperawatan Bencana.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian bencana
Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana menyebutkan
bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu
kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau
faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa
manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.Definisi
tersebut menyebutkan bahwa bencana disebabkan oleh faktor alam, non alam, dan
manusia.Oleh karena itu, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tersebut juga
mendefinisikan mengenai bencana alam, bencana nonalam, dan bencana sosial. Bencana
alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang
disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir,
kekeringan, angin topan, dan tanah longsor. Bencana non alam adalah bencana yang
diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal
teknologi, gagal modernisasi, epidemi. dan wabah penyakit. Bencana sosial adalah bencana
yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia
yang meliputi konflik sosial antar kelompok atau antar komunitas masyarakat, dan teror.
Menurut Departemen Kesehatan RI, definisi bencana adalah peristiwa atau kejadian pada
suatu daerah yang mengakibatkan kerusakan ekologi, kerugian kehidupan manusia, serta
memburuknya kesehatan dan pelayanan kesehatan yang bermakna sehingga memerlukan
bantuan luar biasa dari pihak luar. Sedangkan definisi bencana (disaster) menurut WHO
(2002) adalah setiap kejadian yang menyebabkan kerusakan, gangguan ekologis, hilangnya
nyawa manusia, atau memburuknya derajat kesehatan atau pelayanan kesehatan pada 4
skala tertentu yang memerlukan respon dari luar masyarakat atau wilayah yang terkena.
B. Jenis- jenis dan faktor penyebab bencana
Jenis-jenis bencana menurut Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang
penanggulangan bencana, yaitu:
1. Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian
peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung
meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor.
2. Bencana non alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian
peristiwa non alam antara lain berupa gagal teknologi,gagal modernisasi. danwabah
penyakit.
3. Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian
peristiwa yang disebabkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antar kelompok
atau antar komunitas masyarakat.
4. Kegagalan Teknologi adalah semua kejadian bencana yang diakibatkan oleh kesalahan
desain, pengoprasian, kelalaian dan kesengajaan, manusia dalam penggunaan teknologi
dan atau insdustriyang menyebabkan pencemaran, kerusakan bangunan, korban jiwa,
dan kerusakan lainnya.
Terdapat 3 (tiga) faktor penyebab terjadinya bencana, yaitu :

1. Faktor alam (natural disaster) karena fenomena alam dan tanpa ada campur tangan manusia

2. Faktor non-alam (nonnatural disaster) yaitu bukan karena fenomena alam dan juga bukan
akibat perbuatan manusia.

3. Faktor sosial/manusia (man-made disaster) yang murni akibat perbuatan manusia, misalnya
konflik horizontal, konflik vertikal, dan terorisme.

Secara umum faktor penyebab terjadinya bencana adalah karena adanya interaksi
antara ancaman (hazard) dan kerentanan (vulnerability).Ancaman bencana menurut Undang-
undang Nomor 24 tahun 2007 adalah “Suatu 5 kejadian atau peristiwa yang bisa menimbulkan
bencana”.Kerentanan terhadap dampak atau risiko bencana adalah “Kondisi atau karateristik
biologis, geografis, sosial, ekonomi, politik, budaya dan teknologi suatu masyarakat di suatu
wilayah untuk jangka waktu tertentu yang mengurangi kemampuan masyarakat untuk
mencegah, meredam, mencapai kesiapan, dan menanggapi dampak bahaya tertentu.

C. Manajemen Bencana
Manajemen bencana adalah suatu proses dinamis, berlanjut dan terpadu untuk
meningkatkan kualitas langkah-langkah yang berhubungan dengan observasi dan analisis
bencana serta pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, peringatan dini, penanganan darurat,
rehabilitasi dan rekonstruksi bencana. (UU 24/2007).
Manajemen bencana menurut Nurjanah (2012:42) sebagai Proses dinamis tentang
bekerjanya fungsi-fungsi manajemen bencana seperti planning, organizing, actuating, dan
controling.Cara kerjanya meliputi pencegahan, mitigasi, dan kesiapsiagaan tanggap darurat
dan pemulihan. Adapun tujuan manajemen bencana secara umum adalah sebagai berikut:
1. Mencegah dan membatasi jumlah korban manusia serta kerusakan harta benda dan
lingkungan hidup.
2. Menghilangkan kesengsaraan dan kesulitan dalam kehidupan dan penghidupan
korban.
3. Mengembalikan korban bencana dari daerah penampungan/ pengungsian ke daerah
asal bila memungkinkan atau merelokasi ke daerah baru yang layak huni dan aman.
4. Mengembalikan fungsi fasilitas umum utama, seperti komunikasi/ transportasi, air
minum, listrik, dan telepon, termasuk mengembalikan kehidupan ekonomi dan sosial
daerah yang terkena bencana.
5. Mengurangi kerusakan dan kerugian lebih lanjut.
6. Meletakkan dasar-dasar yang diperlukan guna pelaksanaan kegiatan rehabilitasi dan
rekonstruksi dalam konteks pembangunan.

D. Pertolongan Pertama
Pada Korban Bencana Peran penting bidang kesehatan juga sangat dibutuhkan
dalam penanggulangan dampak bencana, terutama dalam penanganan korban trauma
baik fisik maupun psikis. Keberadaan tenaga kesehatan tentunya akan sangat
membantu untuk memberi pertolongan pertama sebelum proses perujukan ke rumah
sakit yang memadai.
Pengelolaan penderita yang mengalami cidera parah memerlukan penilaian
yang cepat dan pengelolaan yang tepat agar sedapat mungkin bisa menghindari
kematian. Pada penderita trauma, waktu sangatlah penting, karena itu diperlukan
adanya suatu cara yang mudah dilaksanakan. Proses ini dikenal sebagai Initial
assessment (penilaian awal) dan Triase. Prinsip-prinsip ini diterapkan dalam pelaksanaan
pemberian bantuan hidup dasar pada penderita trauma (Basic Trauma Life Support)
maupun Advanced Trauma Life Support.
Triage adalah tindakan mengkategorikan pasien menurut kebutuhan perawatan
dengan memprioritaskan mereka yang paling perlu didahulukan. Paling sering terjadi di
ruang gawat darurat, namun triage juga dapat terjadi dalam pengaturan perawatan
kesehatan di tempat lain di mana pasien diklasifikasikan menurut keparahan kondisinya.
Tindakan ini dirancang untuk memaksimalkan dan mengefisienkan penggunaan sumber
daya tenaga medis dan fasilitas yang terbatas.
Triage dapat dilakukan di lapangan maupun didalam rumah sakit. Proses triage
meliputi tahap pra-hospital/lapangan dan hospital atau pusat pelayana kesehatan
lainnya. Triage lapangan harus dilakukan oleh petugas pertama yang tiba ditempat
kejadian dan tindakan ini harus dinilai lang terus menerus karena status triage pasien
dapat berubah. Metode yang digunakan bisa secara Mettag (triage Tagging System) atau
sistem triage penuntun lapangan Star (Simple Triage and Rapid Transportasi).
Penuntun Lapangan START berupa penilaian pasien 60 detik yang mengamati
ventilasi, perfusi, dan status mental untuk memastikan kelompok korban seperti yang
memerlukan transport segera atau tidak, atau yang tidak mungkin diselamatkan, atau
mati. Ini memungkinkan penolong secara cepat mengidentifikasikan korban yang
dengan risiko besar akan kematian segera atau apakah tidak memerlukan transport
segera. Star merupakan salah satu metode yang paling sederhana dan umum. Metode
ini membagi penderita menjadi 4 kategori :
1. Prioritas 1 – Merah Merupakan prioritas utama, diberikan kepada para
penderita yang kritis keadaannya seperti gangguan jalan napas, gangguan
pernapasan, perdarahan berat atau perdarahan tidak terkontrol, penurunan
status mental
2. Prioritas 2 – Kuning Merupakan prioritas berikutnya diberikan kepada para
penderita yang mengalami keadaan seperti luka bakar tanpa gangguan saluran
napas atau kerusakan alat gerak, patah tulang tertutup yang tidak dapat
berjalan, cedera punggung.
3. Prioritas 3 – Hijau Merupakan kelompok yang paling akhir prioritasnya,
dikenal juga sebagai “Walking Wounded” atau orang cedera yang dapat berjalan
sendiri.
4. Prioritas 0 – Hitam Diberikan kepada mereka yang meninggal atau mengalami
cedera yang mematikan.

Pendekatan yang dianjurkan untuk memprioritisasikan tindakan atas korban adalah yang
dijumpai pada sistim METTAG. Prioritas tindakan dijelaskan sebagai :

1. Prioritas Nol (Hitam) : Pasien mati atau cedera fatal yang jelas dan tidak mungkin diresusitasi.
2. Prioritas Pertama (Merah) : Pasien cedera berat yang memerlukan tindakan dan transport
segera (gagal nafas, cedera torako-abdominal, cedera kepala atau maksilo-fasial berat, shok
atau perdarahan berat, luka bakar berat).

3. Prioritas Kedua (Kuning) : Pasien dengan cedera yang dipastikan tidak akan mengalami
ancaman jiwa dalam waktu dekat (cedera abdomen tanpa shok, cedera dada tanpa gangguan
respirasi, fraktura mayor tanpa shok, cedera kepala atau tulang belakang leher, serta luka bakar
ringan).

4. Prioritas Ketiga (Hijau) : Pasien degan cedera minor yang tidak membutuhkan stabilisasi
segera (cedera jaringan lunak, fraktura dan dislokasi ekstremitas, cedera maksilo-fasial tanpa
gangguan jalan nafas serta gawat darurat psikologis).

E. Keperawatan Gawat Darurat

Gawat darurat adalah suatu keadaan yang memerlukan mendongkrak seseorang atau banyak
orang yang memerlukan penanganan atau pertolongan segera dalam arti pertolongan secara cermat,
tepatdan cepat. Jika tidak mendapatkan pertolongan semacam itu, maka akan mati atau cacat atau
kehilangan anggota. (Saanin, 2012).

Keadaan darurat sedang berlangsung mendadak, waktu-waktu dan kapan saja terjadi di mana
saja dan dapat dilakukan siapa saja sebagai akibat darisuatu kecelakaan,suatu proses medis atau
perjalanan suatu penyakit (Saanin, 2012). Pelayanan gawat darurat tidak hanya memberikkan
perawatan untuk mengatasi kondisi kedaruratan yang di alami pasien tetapi juga memberikan asuhan
keperawatan untuk mengatasi pasien dan keluarga. Keperawatan gawat darurat adalah keperawatan
profesional yang diberikan pada pasien dengan kebutuhan mendesak dan kritis. Namun UGD 9 dan klinik
kedaruratan sering digunakan untuk masalah yang tidak mendesak, sehingga filosofi tentangperawatan
gawat darurat menjadi luas, kedaruratan adalah apa saja yang diperlukan pasien atau keluarga harus di
pertimbangkan sebagai kedaruratan (Hati, 2011 dalam Saanin,2012).

F. Perbedaan Keperawatan Gawat Darurat dan Keperawatan Bencana

Perbedaan utama di antara keduanya terletak pada keseimbangan antara “kebutuhan


perawatan kesehatan dan pengobatan” dan ”sumber-sumber medis (tenaga kesehatan, obat-obatan,
dan peralatan)".

Keperawatan gawat darurat yang diberikan dalam keadaan normal, memungkinkan tersedianya
sumber daya medis yang banyak dalam memberikan pelayanan sesuai kebutuhan pasien, baik yang
penyakitnya ringan maupun berat.Sehingga pengobatan dan perawatan intensif dapat diberikan dengan
segera kepada setiap pasien yang datang secara bergantian.

Tetapi selama fase akut bencana, pengobatan dan kesehatan masyarakat membutuhkan sangat
banyak sumber tenaga medis sehingga terjadi ketidakseimbangan. Pada fase akut bencana, fasilitas
penunjang kehidupan (listrik, gas, air) tidak berfungsi secara sempurna, obat-obatan tidak tersedia, dan
tenaga medisnya kurang,namun banyak korban luka ringan atau luka sedangyang datang ke rumah sakit.
Sebagian korban tersebut menjadikan rumah sakit sebagai tempat mengungsi sementara, karena
mereka beranggapan bahwa "rumah sakit adalah aman" dan ”akan mendapatkan pengobatan”.
Beberapa korban dengan luka parah dan luka kritis dapat juga dibawa ke beberapa fasilitas kesehatan
oleh orang lain, namun jika pasien tidak dapat berjalan sendiri, atau jika tidak ada orang yang membawa
mereka, maka mereka akan tetap tertinggal di lokasi bencana tersebut.

G. Tren bencana di dunia dan di Indonesia

Tren bencana di Indonesia terus meningkat setiap tahunnya. Bahkan, selama tahun 2018 lalu di
Indonesia setidaknya terjadi 2.572 kali peristiwa bencana yang menelan korban jiwa sebanyak 4.814
orang.Selain itu ada sebanyak 264 ribu korban luka, dan sebanyak 10,2 juta orang mengungsi. Dan total
kerugian akibat bencana selama tahun 2018 mencapai Rp 100 trilliun. Mulai awal tahun 2019 hingga
bulan April 2019, setidaknya sudah ada sebanyak 438 orang di Indonesia yang meninggal karena adanya
bencana.

Hal itu disampaikan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Data Badan
Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebutkan dalam beberapa dasawarsa terakhir tren
bencana dunia mulai dari bencana geologi, hidrometeorologi, biologi maupun akibat ulah manusia terus
meningkat. Selama tiga dasawarsa terakhir bencana di dunia mengalami peningkatan sekitar 350%.

Kejadian bencana-bencana tersebut berpengaruh terhadap ekonomi dan kehidupan global.


Gempa bumi di Haiti tahun 2010, banjir di Pakistan tahun 2010, dan banjir di Thailand tahun 2011 makin
memerosotkan perekonomian negara-negara miskin dan sedang berkembang. Sutopo mengatakan
banjir di Australia, gempa bumi di Selandia Baru dan gempa bumi dan tsunami di Jepang pada 2011,
menunjukkan bahwa negara-negara kaya pun tidak kebal terhadap risiko bencana. Banyak kerugian
ekonomi global yang ditimbulkan akibat bencana yang terjadi beberapa tahun terakhir dan meningkat
dua kali lipat pada 2011.

Kerugian ekonomi global akibat bencana rata-rata dalam 10 tahun terakhir sejak tahun 2000
adalah USD 110 milyar, dimana total kerugian yang diasuransikan sekitar USD 35 milyar. Sedangkan
bencana menyebabkan ekonomi global USD 130 milyar.

Pada 2011, lanjut Sutopo, ternyata terjadi peningkatan hampir dua kali lipatnya. Gempa bumi
dan tsunami di Jepang pada 11 Maret 2011 yang menimbulkan kerugian USD 220 milyar atau 3,4 persen
GDP Jepang atau hampir seperlima GDP Indonesia saat ini. Demikian pula banjir banjir di Thailand pada
akhir 2011 menyebabkan 754 orang meninggal, 10 juta orang menderita dan kerugian mencapai USD 45
miliar. Pertumbuhan ekonomi Thailand merosot sekitar 2,4 persen.
Peningkatan bencana tidak hanya terjadi di luar negeri tapi juga terjadi di Indoensia. Sejarah
bencana di Indonesia, berdasarkan DIBI selama tahun 1815-2011 terdapat 11.910 kejadian bencana
yang menyebabkan 329.585 jiwa meninggal dan hilang serta lebih dari 15,8, juta jiwa mengungsi.

H. Aspek Legal dan Etik Keperawatan Bencana

1. Kode Etik Keperawatan Bencana

a. Perawat bencana memberikan pelayanan dengan penuh hormat bagi martabat kemanusiaan dan
keunikan klien. 13

b. Perawat bencana mempertahankan kompetensi dan tanggung jawab dalam praktek keperawatan
emergensi.

c. Perawat bencana melindungi klien manakala mendapatkan pelayanan kesehatan yang tidak cakap,
tidak legal, sehingga keselamatannya terancam.

2. Etika Berdasarkan Norma Profesi

a. Menghargai klien

1) Manusia utuh dan unik (umur, status social, latar belakang budaya dan agama)

2) Menghargai keputusan yang dibuat klien dan keluarga

b. Memberikan yang terbaik à asuhan keperawatan yang bermutu

c. Mempertanggungjawabkan pelayanan keperawatan yang diberikan

d. Tidak menambah permasalahan

e. Bekerja sama dengan teman sejawat, tim kesehatan untuk pelayanan keperawatan

3. Aspek Legal

Aspek legal dalam konteks pelayanan keperawatan bencana

a. Membuat kontrak kerja (memahami hak dan kewajiban)

b. Praktek yang kompeten hanya dilakukan oleh seorang perawat yang kompeten

c. Tambahan penyuluhan kesehatan dan konseling dalam pemberian asuhan keperawatan d.


Melaksanakan tugas delegasi, sesuai dengan kemapuan perawat yang akan diberikan delegasi.

4. UU yang berkaitan dengan Keperawatan Bencana

a. SAMARI TAN LAW yaitu menolong karena kerelaan menolong yang membutuhkan UU
PENANGGULANGAN BENCANA UU NO 24 TH 2017 TINDAKAN SAAT TANGGAP BENCANA UU KESEHATAN
1) UU No. 36 Thn 2009 (63) Pengobatan dan perawatan menggunakan ilmu kedokteran dan ilmu
keperawatan. 14

2) Pasal 32 : Pada kondisi darurat pelayanan kesehatan diberikan tanpa uang muka.

3) Pasal 53 (3) : pelayanan kesehatan hrs mendahulukan pertolongan penyelamatan nyawa pasien
dibandingkan kepentingan lainnya.

4) Pasal 58 (3): tuntutan ganti rugi tidak berlaku jika untuk menyelamatkan nyawa dalam keadaan
darurat.

5) Pasal 82 dan 83: pelayanan pada kondisi darurat dan bencana.

b. UU Rumah Sakit yaitu UU No 44 Thn 2009

1) Pasal 29: memberikan yan gadar dan bencana sesuai dengan kemampuan pelayanannya

2) Pasal 29: Memberikan pelayanan gadar tanpa uang muka

3) Pasal 34: hak pasien

c. UU No.36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan

1) Pasal 82 : Pelayanan kesehatan bencana yang dimaksud pada ayat (2): tanggap darurat dan paska
bencana : mencakup pelayanan kegawatdaruratan yang bertujuan untuk menyelamatakan nyawa dan
mencegah kecacatan lebih lanjut

2) Pasal 83 ayat

(1) : Setiap orang yang memberikan pelayanan kesehatan pada bencana harus ditujukan untuk
menyelamatakan nyawa dan mencegah kecacatan lebih lanjut, dan kepentingan terbaik bagi pasien Ayat
(2) : Pemerintah menjamin perlindungan hukum bagi setiap orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.

d. UU No 38 Th 2014

1) Pasal 28 (ayat 3) : Praktik keperawatan didasarkan pada: kode etik, standar pelayanan, standar
profesi, dan SOP.

2) Pasal 35:

a) Dalam kondisi darurat perawat dapat melakukan tindakan medis dan pemberian obat sesuai
kompetensinya.

b) Tujuan menyelamatkan nyawa dan mencegah kecacatan lebih lanjut.

c) Keadaan darurat merupakan keadaan mengancam nyawa atau kecacatan.


d) Keadaan darurat ditetapkan oleh perawat dengan hasil evaluasi berdasarkan keilmuannya.

I. Peran Perawat Dalam Keperawatan Bencana

1. Pra Bencana Undang – undang No. 38 tahun 2014, Pasal 31:

a. Memberikan konseling penyuluhan

b. Melakukan pemberdayaan masyarakat

c. Menjali kemitraan dalam perawatan kesehatan

d. Meningkatkan pengetahuannya

2. Saat Bencana

a. UU No. 38, Tahun 2014, Pasal 35

1) Dalam keadaan darurat perawat dapat melakukan tindakan medis dan pemberian obat sesuai
kompetensinya.

2) Pertolongan pertama bertujuan untuk menyelamatkan nyawa klien dan mencegah kecacatan lebih
lanjut.

b. Pasal 33, Ayat 4 Dalam melaksanakan tugas pada keadaan keterbatasan tertentu perawat berwenang
1) Melakukan pengobatan pada penyakit umum.

2) Merujuk pasien.

3) Melakukan pelayanan kefarmasian secara terbatas.

c. UU No. 36 tahun 2009 Pasal 59

1) Tenaga kesehatan wajib memberikan pertolongan pertama pada penerima pelayanan kesehatan
dalam keadaan gawat darurat bencana untuk penyelamatan nyawa dan pencegahan kecacatan.

2) Tenaga kesehatan dilarang menolak pelayanan kesehatan dan meminta uang muka terlebih dahulu 16

3. Pasca Bencana

PP No. 21 Tahun 2008 Pasal 56 :

a. Perawat harus mempunyai skiil keperawatan yang baik, memiliki sikap dan jiwa kepedulian,
dan memahami konsep siaga bencana

b. Perawatan korban bencana, obat –o batan, peralatan kesehatan, rehabilitasi mental.


c. No. 36 Tahun 2009 Pasal 1 : Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri
dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan ketrampilan melalui pendidikan di
bidang kesehatan.

d. Pasal 9 : Tenaga kesehatan harus memiliki kualifikikasi minimum D3 kecuali tenaga medis.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Menurut Departemen Kesehatan RI, definisi bencana adalah peristiwa atau kejadian pada
suatu daerah yang mengakibatkan kerusakan ekologi, kerugian kehidupan manusia, serta
memburuknya kesehatan dan pelayanan kesehatan yang bermakna sehingga memerlukan
bantuan luar biasa dari pihak luar. Manajemen bencana adalah suatu proses dinamis,
berlanjut dan terpadu untuk meningkatkan kualitas langkah-langkah yang berhubungan
dengan observasi dan analisis bencana serta pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan,
peringatan dini, penanganan darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi bencana. (UU 24/2007).
Cara kerjanya meliputi pencegahan, mitigasi, dan kesiapsiagaan tanggap darurat dan
pemulihan. Adapun tujuan manajemen bencana secara umum adalah sebagai berikut:

1. Mencegah dan membatasi jumlah korban manusia serta kerusakan harta benda dan
lingkungan hidup.

2. Menghilangkan kesengsaraan dan kesulitan dalam kehidupan dan penghidupan korban.

3. Mengembalikan korban bencana dari daerah penampungan/ pengungsian ke daerah asal bila
memungkinkan atau merelokasi ke daerah baru yang layak huni dan aman.

4. Mengembalikan fungsi fasilitas umum utama, seperti komunikasi/ transportasi, air minum,
listrik, dan telepon, termasuk mengembalikan kehidupan ekonomi dan sosial daerah yang
terkena bencana.

5. Mengurangi kerusakan dan kerugian lebih lanjut.

6. Meletakkan dasar-dasar yang diperlukan guna pelaksanaan kegiatan rehabilitasi dan


rekonstruksi dalam konteks pembangunan.

Perbedaan keperawatan gawat darurat dan keperawatan bencana. Perbedaan utama di


antara keduanya terletak pada keseimbangan antara 18 “kebutuhan perawatan kesehatan dan
pengobatan” dan ”sumber-sumber medis (tenaga kesehatan, obat-obatan, dan peralatan)".

C. Saran
Semoga diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan. Serta dapat
mengaktualisasikannya pada lingkungan sekitar baik dalam lingkungan keluarga maupun
masyarakat dan juga dengan adanya makalah ini pembaca dapat menerapkan serta dapat
mengaplikasikan apa yang telah dipaparkan oleh penulis
DAFTAR PUSTAKA
Badan Nasional Penanggulangan Bencana. 2008. Peraturan Kepala Badan Nasional
Penanggulangan Bencana Nomor 4 Tahun 2008 Tentang Pedoman Penyusunan Rencana
Penanggulangan Bencana. Jakarta: BNPB
https://pdfs.semanticscholar.org/8a92/b93407e24e9b91fe1bf97c36c74a88cc983b. pdf
(diakses pada 11 februari 2020 pukul 19:50)
https://www.scribd.com/document/424567965/Aspek-Legal-Dan-EtikKeperawatan-
Bencana (diakses pada 11 februari 2020 pukul 19:57)
http://bppsdmk.kemkes.go.id/pusdiksdmk/wpcontent/uploads/2017/08/Keperawatan-
GAdar-dan-MAnajemen-BencanaKomprehensif.pdf (diakses pada 11 februari 2020 pukul 20:00)
20

Anda mungkin juga menyukai