Anda di halaman 1dari 81

TUGAS MATA KULIAH

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH II


ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DEWASA DENGAN KASUS
GANGGUAN SISTEM INTEGUMEN: MORBUS HANSEN, LUKA
BAKAR, DAN ACNE VULGARIS

Dosen Pembimbing :
Ika Nur Pratiwi, S.Kep.,Ns.,M.Kep

Kelas A2
Nama Anggota Kelompok 4 :

1. Arik Setyani (131711133008)


2. Fradhika Al Habib R.G (131711133035)
3. Cindy Triand S.R. (131711133051)
4. Irawati Dewi (131711133069)
5. Enggar Qur‟ani Ayu (131711133091)
6. I‟zzatul Istiqoomah A. (131711133125)
7. Nadiya Sahara Annisa (131711133145)
8. Wahidah (131711133149)

FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA
MARET
SURABAYA
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya akhirnya
saya dapat menyelesaikan tugas mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah II ini
dengan membahas Asuhan Keperawatan pada Klien Dewasa dengan Kasus
Gangguan Sistem Integumen dalam bentuk makalah. Makalah ini disusun guna
memenuhi tugas SGD yang diberikan oleh Ibu dosen sebagai bahan pertimbangan
nilai.
Dalam penyusunan makalah ini, tidak lupa pula kami mengucapkan
banyak terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu sehingga
makalah ini dapat diselesaikan dengan baik, walaupun ada beberapa hambatan
yang dialami dalam penyusunan makalah ini. Namun, berkat motivasi yang
disertai kerja keras dan bantuan dari berbagai pihak akhirnya berhasil teratasi
Semoga makalah ini, dapat bermanfaat dan menjadi sumber pengetahuan
bagi pembaca. Dan apabila dalam pembuatan makalah ini terdapat kekurangan,
kiranya pembaca dapat memakluminya. Akhir kata dengan kerendahan hati, kritik
dan saran sangat kami harapkan demi penyempurnaan makalah ini. Sekian dan
terima kasih.

Surabaya,16 Maret 2019

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................................... i
DAFTAR ISI ................................................................................................................. ii
Bab 1 Pendahuluan.......................................................................................................... 2
1.1 Latar Belakang ...................................................................................................... 2
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................................. 2
1.3 Tujuan ................................................................................................................... 3
Bab 2 Tinjauan Pustaka ................................................................................................... 4
2.1 Anatomi Kulit ....................................................................................................... 4
2.2 Fisiologi Sistem Integumen ................................................................................... 8
2.3 Konsep Morbus Hansen ....................................................................................... 11
2.4 Konsep Luka Bakar ............................................................................................. 24
2.3 Konsep Acne ....................................................................................................... 40
Bab 3 Tinjauan Pustaka Asuhan Keperawatan ............................................................... 47
3.1 Asuhan Keperawatan Morbus Hansen ................................................................. 47
3.2 Asuhan Keperawatan Luka Bakar ........................................................................ 54
3.3 Asuhan Keperawatan Acne Vulgaris .................................................................... 62
Bab 4 Penutup ............................................................................................................... 77
4.1 Kesimpulan ......................................................................................................... 77
4.2 Saran ................................................................................................................... 77
Daftar Pustaka............................................................................................................... 77

ii
Bab 1

Pendahuluan

1.1 Latar Belakang


Seluruh tubuh manusia bagian terluar terbungkus oleh suatu sistem
yang disebut sebagai sistem integumen. Sistem integumen adalah sistem
organ yang paling luas.Sistem ini terdiri atas kulit dan aksesorisnya, termasuk
kuku, rambut, kelenjar (keringat dan sebaseous), dan reseptor saraf khusus
(untuk stimuli perubahan internal atau lingkungan eksternal).
Sistem integumen terdiri dari organ terbesar dalam tubuh, kulit. Ini
sistem organ yang luar biasa melindungi struktur internal tubuh dari
kerusakan, mencegah dehidrasi, lemak toko dan menghasilkan vitamin dan
hormon. Hal ini juga membantu untuk mempertahankan homeostasis dalam
tubuh dengan membantu dalam pengaturan suhu tubuh dan keseimbangan air.
Sistem integumen adalah garis pertama pertahanan tubuh terhadap bakteri,
virus dan mikroba lainnya. Hal ini juga membantu untuk memberikan
perlindungan dari radiasi ultraviolet yang berbahaya. Kulit adalah organ
sensorik dalam hal ini memiliki reseptor untuk mendeteksi panas dan dingin,
sentuhan, tekanan dan nyeri. Komponen kulit termasuk rambut, kuku,
kelenjar keringat, kelenjar minyak, pembuluh darah, pembuluh getah bening,
saraf dan otot. Mengenai anatomi sistem yg menutupi, kulit terdiri dari
lapisan jaringan epitel (epidermis) yang didukung oleh lapisan jaringan ikat
(dermis) dan lapisan subkutan yang mendasari (hypodermis atau subcutis).
Gangguan pada sistem Integumen yang sedang marak terjadi adalah
Morbus Hensen/Kusta , Luka bakar dan Acne. Menurut WHO, Indonesia
diposisi ketiga terbesar jumlah penderita kusta. Indonesia telah mencapai
status eliminasi kusta, yaitu prevalensi kusta <1 per 10.000 peenduduk (<10
per 100.000 penduduk), pada tahun 2000. Setelah itu Indonesia masih bisa
menurunkan angka kejadian kusta meskipun relatif lambat. Angka prevalensi
kusta di Indonesia pada tahun 2017 sebesar 0,70 kasus/10.000 penduduk) dan
angka penemuan kasus baru sebesar 6,08 kasus per 100.000 penduduk. Luka

2
bakar merupakan masalah kesehatan masyarakat global. Hal ini disebabkan
karena tingginya angka mortalitas dan morbiditas luka bakar, khususnya pada
negara dengan pendapatan rendah-menengah, dimana lebih dari 95% angka
kejadian luka bakar menyebabkan kematian (mortalitas). Pada tahun
2014, World Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa terdapat
265.000 kematian yang terjadi setiap tahunnya di seluruh dunia akibat luka
bakar. Di Indonesia, prevalensi luka bakar pada tahun 2013 adalah sebesar
0.7% dan telah mengalami penurunan sebesar 1.5% dibandingkan pada tahun
2008 (2.2%). Provinsi dengan prevalensi tertinggi adalah Papua (2.0%) dan
Bangka Belitung (1.4%) (Depkes, 2013). Prevalensi akne vulgaris pada masa
remaja cukup tinggi, yaitu berkisar antara 47-90% selama masa remaja
(Movita, 2013). Di Indonesia, akne vulgaris merupakan suatu penyakit kulit
yang umum terjadi sekitar 85-100% selama hidup seseorang. Penderita akne
vulgaris di Indonesia pada tahun 2006, 2007, dan tahun 2009 secara berturut-
turut yaitu 60%, 80%, dan 90%. Prevalensi tertinggi pada wanita usia 14-17
tahun, berkisar 83-85%, dan pada pria usia 16-19 dengan berkisar 95-100%
tahun (Afriyanti, 2015).

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimanakah tinjauan asuhan keperawatan penyakit Morbus Hansen?
2. Bagaimanakah tinjauan asuhan keperawatan penyakit Luka Bakar?
3. Bagaimanakah tinjauan asuhan keperawatan penyakit Acne Vulgaris?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui tinjauan asuhan keperawatan penyakit Morbus Hansen.
2. Mengetahui tinjauan asuhan keperawatan penyakit Luka Bakar.
3. Mengetahui tinjauan asuhan keperawatan penyakit Acne Vulgaris.

3
Bab 2

Tinjauan Pustaka

2.1 Anatomi Kulit


Kulit adalah lapisan jaringan yang terdapat pada bagian luar yang
menutupi dan melindungi permukaan tubuh. Pada permukaan kulit bermuara
kelenjar keringat dan kelenjar mukosa.
A. Lapisan Kulit
1. Epidermis
a. Stratum korneum
Selnya sudah mati, tidak mempunyai inti sel (inti selnya sudah
mati) dan mengandung zat keratin.
b. Stratum lusidum
Selnya pipih, bedanya dengan stratum granulosum ialah sel-sel
sudah banyak yang kehilangan inti dan butir-butir sel telah
menjadi jernih sekali dan tembus sinar. Lapisan ini hanya
terdapat pada telapak tangan dan telapak kaki. Dalam lapisan
terlihat seperti suatu pita yang bening, batas-batas sel sudah
tidak begitu terlihat, disebut stratum lusidum.
c. Stratum granulosum
Stratum ini terdiri dari sel-sel pipih seperti kumparan. Sel-sel
tersebut terdapat hanya 2-3 lapis yang sejajar dengan permukaan
kulit. Dalam sitoplasma terdapat butir-butir yang disebut
keratohialin yang merupakan fase dalam pembentukan keratin
oleh karena banyaknya butir-butir stratum granulosum.
d. Stratum spinosum/stratum akantosum
Lapisan ini merupakan lapisan yang paling tebal dan dapat
mencapai 0,2 mm terdiri dari 5-8 lapisan. Sel-selnya disebut
spinosum kaarena jika kita liaht di bawah mikroskop sel-selnya
terdiri dari sel yang bentuknya polygonal (banyak sudut) dan
mempunyai tanduk (spina). Disebut akantosum karena sel-

4
selnya berduri. Ternyata spina atau tanduk tersebut adalah
hubungan antara sel yang lain yang disebut intercellular bridges
atau jembatan intraselular.
e. Stratum basal/germinativum
Disebut stratum basal karena sel-selnya terletak di bagian basal.
Stratum germinativum menggantikan sel-sel yang di atasnya dan
merupakan sel-sel induk. Bentuknya silindris (tabung) dengan
inti yang lonjong. Di dalamnya terdapat butir-butir yang halus
disebut butir melanin warna. Seltersebut disusun seperti pagar
(palisade) di bagian bawah sel tersebut terdapat suatu membrane
yang disebut membrane basalis. Sel-sel basalis dengan
membrane basalis merupakan batas terbawah dari epidermis
dengan dermis. Ternyata batas ini tidak datar tetapi
bergelombang. Pada watu kerium menonjol pada epidermis
tonjolan ini disebut papilakori (papilla kulit), dan epidermis
menonjol kea rah korium. Tonjolan ini disebut rete ridges atau
rete peg (prosesus interpapilaris).

Gambar 2.1 Anatomi kulit manusia

2. Dermis
Dermis merupakan lapisan kedua dari kulit. Batas dengna
epidermis dilapisi oleh membrane basalis dan di sebelah bawah

5
berbatasan dengan subkutis tetapi batas ini tidak jelas hanya kita
ambil sebagai patokan ialah mulainya terdapat sel lemak.
Dermis terdiri dari dua lapisan :
1) Bagian atas, pars papilaris (stratum papilar)
2) Bagian bawah, retikularis (stratum retikularis).

Batas antara pars papilaris maupun pars retikularis adalah


bagian bawahnya sampai ke subkutis. Baik pars papilaris maupun
pars retikularis terdiri dari jaringan ikat longgar yang tersusun dari
serabut-serabut: serabut kolagen, serabut elastic, dan serabut
retikulus.

Serabut ini saling beranyaman dan masing-masing mempunyai


tugas yang berbeda. Serabut kolagen, untuk memberikan kekuatan
pada kulit, serabut elastis, memberikan kelenturan pada kulit, dan
retikulus, terdapat terutama di sekitar kelenjar dan folikel rambut dan
memberikan kekuatan pada alat tersebut.

3. Subkutis

Subkutis terdiri dari kumpulan-kumpulan sel-sel lemak dan di


antara gerombolan ini berjalan serabut-serabut jaringan ikat dermis.
Sel-sel lemak ini bentuknya bulat dengan intinya terdesak ke pinggir,
sehingga membentuk seperti cincin. Lapisan lemak ini disebut
penikulus adiposus yang tebalnya tidak sama pada tiap-tiap tempat
dan juga pembagian antara laki-laki dan perempuan tidak sama
(berlainan). Guna penikulus adiposus adalah sebagai shock breaker
atau pegas bila tekanan trauma mekanis yang menimpa pada kulit,
isolator panas atau untuk mempertahankan suhu, penimbunan kalori,
dan tambahan untuk kecantikan tubuh. Di bawah subkutis terdapat
selaput otot kemudian baru terdapat otot.

B. Pembuluh Darah dan Saraf


1. Pembuluh Darah
Pembuluh darah kulit terdiri dari dua anyaman darah nadi yaitu :

6
a. Anyaman pembuluh nadi kulit atas atau luar,anyaman ini
terdapat antara stratum papilaris dan stratum retikularis,dari
anyaman ini berjalan arteriole pada tiap - tiap papila kori;
b. Anyaman pembuluh darah nadi kulit bawah atau
dalam,anyaman ini terdapat antara korium dan subkutis.
Anyaman ini memberi cabang - cabang pembuluh nadi ke alat -
alat tambahan yang terdapat di korium.
Dalam hal ini percabang juga membentuk anyaman pembuluh
nadi yang terdapat pada lapisan subkutis. Cabang- cabang ini
kemudian akan menjadi pembuluh darah balik/ vena yang juga akan
membentuk anyaman ,yaitu anyaman pembuluh darah balik yang ke
dalam. Peredaran darah dalam kulit adalah penting sekali. Oleh
karena diperkirakan 1/5 dari darah yang beredar melalui kulit.
Disamping itu,pembuluh darah pada kulit sangat cepat menyempit /
melebar oleh pengaruh atau rangsangan panas,dingin,tekanan
sakit,nyeri dan emosi,penyempitan dan pelebaran inu terjadi secara
refleks.

2. Persarafan Kulit
Terjadinya cacat pada penderita kusta disebabkan oleh
kerusakan fungsi syaraf tepi, baik karena kuman kusta mupun karena
terjadinya peradangan (neuritis) sewaktu keadaan reaksi kusta,
kerusakan tersebut meliputi:
a. Kerusakan fungsi sensorik
Kelainan fungsi sensorik ini menyebabkan terjadinya
kurang/ mati rasa (anastesi). Akibat kurang/ mati rasa pada
telapak tangan dan kaki dapat terjadi luka. Sedangkan pada
kornea mata akan mengakibatkan kurang/
hilangnya reflek kedip sehingga mata mudah kemasukan ko
toran, benda-
benda asing yang dapat menyebabkan infeksi mata dan
akibatnya kebutaan.

7
b. Kerusakan fungsi motorik
Pada syaraf motorik akan terjadi paralisis sehingga terjadi
deformitas sendi. Kekuatan otot tangan dan kaki dapat menjadi
lemah/ lumpuh dan lama- lama ototnya mengecil (atrofi) oleh
karena tidak dipergunakan. Jari-jari tangan dan kaki menjadi
bengkok ( claw hand/ claw toes ) dan akhirnya dapat terjadi
kekakuan pada sendinya. Bila terjadi kelemahan/ kekakuan pada
mata, kelopak mata tidak dapat dirapatkan (lagophtalmus).
c. Kerusakan fungsi otonom
Terjadinya gangguan kelenjar keringat, kelenjar minyak
dan gangguan sirkulasi darah sehingga kulit menjadi kering
yang dapat mengakibatkan kulit mudah retak-retak dan dapat
terjadi infeksi sekunder., menebal, mengeras dan akhirnya dapat
pecah-pecah. Pada umumnya apabila akibat kerusakan fungsi
saraf tidak ditangani secara tepat dan cepat maka akan terjadi ke
tingkat yang lebih berat.

2.2 Fisiologi Sistem Integumen


Kulit merupakan organ yang paling luas permukaannya yang
membungkus seluruh bagian luar tubuh sehingga kulit sebagai pelindung
tubug terhadap bahaya kimia. Cahaya matahari mengandung sinar ultraviolet
dan melindungi terhadap mikroorganisme serta menjaga keseimbangan tubuh
terhadap lingkungan. Kulit merupakan indikator bagi seseorang untuk
memperoleh kesan umum dengan melihat perubahan yang terjadi pada kulit.
Misalnya menjadi pucat,kekuning - kuningan,kemerah- merahan atau suhu
kulit meningkat ,meperlihatkan adanya kelainan yang terjadi pada tubuh atau
gangguan kulit karena penyakit tertentu.
Gangguan psikis juga dapat menyebabkan kelainan atau perubahan
pada kulit. Misalnya, karena stres, ketakutan atau dalam keadaan marah,akan
terjadi perubahan pada kulit wajah. Perubahan struktur kulit dapat
menentukan apakah seseorang telah lanjut usia atau masih muda. Wanita atau
pria juga dapat menbedakan penampilan kulit. Warna kulit juga dapat

8
menentukan ras atau suku bangsa misalnya kulit hitam suku bangsa negro,
kulit kuning bangsa mongol,kulit putih dari eropa dll.
1. Fungsi Kulit
Kulit pada manusia mempunyai fungsi yang sangat penting selain
menjalani kelangsungan hidup secara umum yaitu:
a. Fungsi proteksi. Kulit menjaga bagian dalam tubuh terhadap
gangguan fisis atau mekanis, misalnya terhadap gesekan, tarikan,
gangguan kimiawi yang dapat menimbulkan iritasi (lisol, karbol
dan asam kuat). Gangguan panas misalnya radiasi, sinar ultraviolet,
gangguan infeksi dari luar misalnya bakteri dan jamur. Karena
adanya bantalan lemak, tebalnya lapisan kulit dan serabut - serabut
jaringan penunjang berperan sebagai pelindung terhadap gangguan
fisis. Melanosit turut berperan dalam melindungi terhadap sinar
matahari dengan mengadakan tanning ( pengobatan dengan asam
asetil )
b. Proteksi rangsangan kimia dapat terjadi karena sifat stratum
korneum yang impermeabel terhadap berbagai zat kimia dan air.
Disamping itu terdapat lapisan keasaman kulit yang melindungi
kontak zat kimia dengan kulit. Lapisan keasaman kulit terbentuk
dari hasil ekstresi keringat dan sebum yang menyebabkan
keasaman kulit antara pH 5-6,5. Ini merupakan perlindungan
terhadap infeksi jamur dan sel-sel kulit yang telah mati melepaskan
diri secara teratur.
c. Fungsi absorbsi. Kulit yang sehat tidak mudah menyerap air,
larutan dan benda padat, tetapi cairan yang mudah menguap lebih
mudah diserap, begitu juga yang larut dalam lemak. Permeabilitas
kulit teehadap O2, CO2 dan uap air memungkinkan kulit ikut
mengambil bagian pada fungsi respirasi. Kemampuan absorbsi
kulit dipengaruhi tebal tipisnya kulit, hidrasi, kelembapan, dan
metabolisme. Penyerapan dapat berlangsung melalui celah di antara
sel, menembus sel-sel epidermis, atau melalui saluran kelenjar dan
yang lebih banyak melalui sel-sel epidermis.

9
d. Fungsi kulit sebagai pengatur panas. Suhu tubuh tetap stabil
meskipun terjadi perubahan suhu lingkungan. Hal ini karena
adanya penyesuaian antara panas dalam tubuh yaitu suhu viseral
36-37,5 derajat untuk suhu kulit lebih rendah. Pengendalian
persarafan dan vasomotorik dari arterial kutan ada dua cara yaitu
vasodilatasi ( kapiler melebar, kulit menjadi panas dan kelebihan
panas dipancarkan ke kelenjar keringat sehingga terjadi penguapan
cairan pada permukaan tubuh ) dan vasokonstriksi ( pembuluh
darah mengerut, kulit menjadi pucat dan dingin, hilangnya keringat
dibatasi, dan panas suhu tubuh tidak dikeluarkan).
e. Fungsi ekskresi. Kelenjar - kelenjar kulit mengeluarkan zat - zat
yang tidak berguna lagi atau zat sisa metabolisme dalam tubuh
berupa NaCI, urea, asam urat, dan amonua. Sebum yang diproduksi
oleh kulit berguna untuk melindungi kulit karena lapisan sebum (
bahan berminyak yang melindungi kulit) ini menahan air yang
berlebihan sehingga kulit tidak menjadi kering. Produksi kelenjar
lemak dan keringat menyebabkan keasaman pada kulit.
f. Fungsi persepsi. Kulit mengandung ujung - ujung saraf sensorik di
dermis dan subkutis. Respons terhadap rangsangan panas
diperankan oleh dermis dan subkutis, terhadap dingin diperankan
oleh dermis, perabaan diperankan oleh papila dermis dan markel
renvier,sedangkan tekanan diperankan oleh epidermis. Serabut
saraf sensorik lebih banyak jumlahnya di daerah yang erotik.
g. Fungsi pembentukan pigmen. Sel pembentuk pigmen (melanosit)
terletak pada lapisan basal dan sel ini berasal dari rigi saraf.
Melanosit membentuk warna kulit. Enzim melanosum dibentuk
oleh alat golgi bantuan tirosinase, ion Cu, dan O2 terhadap sinar
matahari mempengaruhi melanosum. Pigmen disebar ke epidermis
melalui tangan-tangan dendrit sedangkan lapisan di bawahnya oleh
melanofag. Warna kulit tidak selamanya dipengaruhi oleh pigmen
kulit melainkan juga oleh tebal tipisnya kulit, reduksi Hb dan
karoten.

10
h. Fungsi keratinisasi. Keratinosit dimulai dari sel basal yang
mengadakan pembelahan. Sel basal yang lain akan berpindah ke
atas dan berubah bentuk menjadi sel spinosum. Makin ke atas sel
ini semakin gepeng dan bergranula menjadi sel granulosum.
Semakin lama intinya menghilang dan keratinosit ini menjadi sel
tanduk yang amorf. Proses sintasis dan degenerasi menjadi lapisan
tanduk yang berlangsung kira - kira 14-21 hari dan memberikan
perlindungan kulit terhadap infeksi secara mekanis - fisiologik.
i. Fungsi pembentukan vitamin D. Dengan mengubah dehidroksi
kolestrol dengan pertolongan sinar matahari. Tetapi kebutuhan
vitamin D tidak cukup dengan hanya dari proses tersebut.
Pemberian vitamin D sistemik masih tetap diperlukan.

2.3 Konsep Morbus Hansen


2.3.1 Definisi Morbus Hansen

Penyakit infeksi kronis yang sebelumnya diketahui hanya


disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae, hingga ditemukan
bakteri Mycobacterium lepromatosis yang menyebabkan endemik
sejenis kusta di Meksiko dan Karibia, yang dikenal lebih khusus dengan
sebutan diffuse lepromatous leprosy. Sedangkan bakteri
Mycobacterium leprae ditemukan oleh seorang ilmuwan Norwegia
bernama Gerhard Henrik Armauer Hansen pada tahun 1873 sebagai
patogen yang menyebabkan penyakit yang telah lama dikenal sebagai
lepra. (Depkes RI, 2016)

Menurut Departement Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD Dr.


Soetomo (2009), Morbus Hansen (Kusta, lepra) adalah penyakit infeksi
yang kronis yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium lepromatosis
yang menyerang syaraf tepi (primer), kulit dan jaringan tubuh lainnya
kecuali susunan saraf pusat.

Jadi, Morbus Hansen adalah penyakit kronis yang disebabkan


oleh Myrobacterium Lepra yang menyerang saraf tepi, kulit dan
jaringan tubuh lainnya, kecuali susunan saraf pusat.

11
2.3.2 Klasifikasi Morbus Hansen
Departemen Kesehatan Ditjen P2MPLP dan WHO membagi tipe
menjadi tipe Pause Basiler (PB) dan Multi Basiler (MB). Perbedaan
kedua tipe ini dapat dilihat pada tabel di bawah (Arif Mansjoer, 2000).

Tabel 1. Klasifikasi/ Tipe Penyakit Kusta Menurut WHO


No. Tanda Utama PB MB
Lesi kulit(makula datar, 1-5 lesi 5 lesi
papul yangmeninggi, nodus) Hipopigmentasi/eritema Distribusi
Distribusi tidak simetris lebihsimetris
Hilangnya sensasiyang Hilangnya
jelas sensasi
Kerusakan Hanya satu cabang Banyak
saraf(menyebabkan saraf cabangsaraf
hilangnyasensasi/kelemahan
ototyangdipersarafi oleh BTA (-) BTA (+)
sarafyang terkena)
Sumber: dikutip dari WHO dalam Arif Mansjoer (2000)

Ridley dan Jopling pada tahun 1962 memperkenalkan istilah spektrum


Determinate pada penyakit kusta yang terdiri atas berbagai tipe atau
bentuk, yaitu:
1. TT (Tuberkuloid Type)
Lesi ini mengenai kulit maupun saraf perifer. Lesi kulit bisa satu
atau beberapa, dapat berupa makula maupun plakat, batas jelas dan
pada bagian tengah dapat ditemukan lesi yang regresi atau Central
Healing. Permukaan lesi dapat bersisik dengan tepi yang meninggi
bahka dapat menyeruai gambaran psoriasis. Dapat disertai
penebalan saraf perifer yang biasanya teraba dan kelemahan otot
(Halim et al, 2000).
2. BT (Borderlines Tuberculoid)
Mirip gambaran pada tipe TT, tetapi terdapat gambaran
hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skuama yang tidak jelas
seperti pada tipe tuberkuloid. Adanya gangguan saraf yang tidak
sebrat tipe tuberkuloid, biasanya asimetris. Lesi satelit biasanya ada
dan terletak dekat saraf perifer yang menebal (Halim et al, 2000).

12
3. BB (Mid Borderline)
Merupakan tipe yang paling tidak stabil diantara semua spektrum
penyakit kusta, disebut juga bentuk dimorfik. Lesi berbentuk plak,
permukaannya dapat berkilat, batas lesi kurang jelas dan cenderung
simetris. Lesi sangat bervariasi baik ukuran, bentuk maupun
distribusinya. Bisa ditemukan lesi Punched Out, yaitu
hipopigmentasi berbentuk bulat pada bagian tengah dengan batas
jelas(Halimet al, 2000).
4. BL (Borderline Lepramatous)
Lesi dmulai dengan infiltrat yang dengan cepat menyebar ke
seluruh tubuh. Makula lebih kecil dan bervariasi bentuknya. Papul
dan nodus lebih tegas walaupun lebih kecil dan distribusinya
hampir simetris. Tanpa kerusakan saraf berupa hilangnya sensasi,
hipopigmentasi, berkurangnya keringat dan gugurnya rambut lebih
cepat muncul dibandingkan tipe LL dengan penebalan saraf yang
dapat teraba di tempat predileksi (Halim et al, 2000).
5. LL (Lepramatosa type)
Jumlah lesi infiltrat sangat banyak, simetris, permukaan halus,
lebih eritematosa, berkilat, berbatas tidak tegas. Distribusi lesi khas
yaitu di wajah, dahi, pelipis, dagu, cuping telinga, sedangkan pada
bagian badan pada bagian belakang, lengan, punggung tangan dan
permukaan ekstensor tungkai bawah. Kerusakan saraf yang luas
menyebabkan anestesi yang disebut Glove and Socking Anesthesi.
Bila penyakit ini berlanjut, maka makula dan papul baru muncul,
sedangkan lesi yang lama menjadi plakat dan nodus. Pada stadium
lanjut serabut-serabut saraf perifer mengalami degenerasi hialin
atau fibrosis yang menyebabkan anestesi dan atrofi otot tangan dan
kaki (Halim et al, 2000).
6. LI (Lepromatosa Indefinite)
Tipe ini tidak termasuk dalam kriteria Ridley-Jopling, namun
diterima secara luas oleh para ahli kusta. Lesi kulit biasanya berupa
makula hipopigmentasi dengan sedikit sisik dan kulit di sekitarnya

13
normal. Lokasi berada di bagian ekstensor ekstremitas, bokong,
atau muka. Kadang dapat ditemukan makula hipoestesi atau sedikit
penebalan saraf. Tipe ini merupakan tanda pertama pada 20-80%
kasus penderita kusta. Pada sebagian besar, tipe ini akan sembuh
spontan (Halim et al, 2000).

2.3.3 Etiologi Morbus Hansen

Myobacterium leprae merupakan penyebab dari penyakit ini.


Merupakan satu famili dengan M. tuberculosis penyebab TBC.
Memiliki sifat obligat intraseluler dan tahanasam, pada beberapa jenis
telah mengalami perubahan dari sifat akibat perubahan gen yang
menyebabkan bakteri dapat bertahan di lingkungan selama beberapa
bulan. Pada penderita yang tidak dilakukan terapi dengan baik akan
terjadi peningkatan angka bakteri di kulit (MI), dan ketebalan bakteri di
kulit (BI) hingga 6 kali lipat dibandingkan dengan terapi efektif.

Bakteri lepra merupakan salah satu bakteri yang hanya tumbuh


dan berkembang pada manusia saja. Walaupun demikian bakteri ini
masih belum dapat di biakan karena sulitnya mencari media yang
cocok, media yang paling baik sampai saat ini adalah telapak kaki tikus.
Bakteri lepra akan berkembang biak dengan baik pada jaringan yang
lembab (kulit, saraf perifer, ruang depan mata, saluran nafas bagian
atas, dan testis).

2.3.4 Manifestasi Klinis Morbus Hansen

Menurut WHO diagnosa kusta ditegakkan bila terdapat satu dari tanda
kardinal berikut:
a. Lesi kulit yang khas dan kehilangan sensibilitas
Lesi kulit dapat tunggal atau multipel biasanya hipopigmentasi
tetapi kadang-kadang lesi kemerahan atau berwarna tembaga
biasanya berupa: makula, papul, nodul. Kehilangan sensibilitas
pada lesi kulit merupakan gambaran khas. Kerusakan saraf

14
terutama saraf tepi, bermanifestasi sebagai kehilangan sensibilitas
kulit dan kelemahan otot.
b. BTA positif
Pada beberapa kasus ditemukan BTA dikerokan jaringan kulit.
c. Penebalan saraf tepi, nyeri tekan, parastesi.
Gangguan fungsi saraf ini merupakan akibat dari peradangan kronis
saraf tepi (neuritis perifer). Gangguan fungsi saraf ini bisa berupa:
1) Gangguan fungsi sensoris : mati rasa
2) Gangguan fungsi motoris : kelemahan otot (Parese) atau
kelumpuhan (Paralise).
3) Gangguan fungsi otonom : kulit kering dan retak-retak.

Menurut Departement Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD Dr.


Soetomo (2009), gejala klinis dari morbus hansen adalah:
1. Kelainan Saraf Tepi
Kerusakan saraf tepi bisa bersifat sensorik, motorik dan autonomik.
- Sensorik biasanya berupa mati rasa atau anastesi pada lesi kulit
yang terserang.
- Motorik berupa kelemahan otot, biasanya di daerah ekstremitas
atas, bawah, muka dan otot mata
- Autonomik menyerang persyarafan kelenjar keringat sehingga
lesi terserang tampak lebih kering. Gejala lainnya adalah
pembesaran saraf tepi terutama yang dekat dengan permukaan
kulit antara lain: n.ulnaris, n.aurikularis magnus, n.peronus
komunis, n.tibialis posterior dan saraf tepi yang lain.
2. Kelainan kulit dan organ lain
Kelainan kulit bisa hipopigmentasi ataupun eritematus dengan
adanya gangguan yang jelas,dan dapat terdapat gejala lanjut
seperti:
- Facies Leonina (gejala infiltrasi yang difus di muka)
- Penebalan cuping telinga
- Penipisan alis mata
- Mati rasa pada kedua tangan-kaki

15
Tanda dan gejala penyakit lepra tergantung pada beberapa hal
yaitu multiplikasi dan diseminasi kuman M. leprae, respon imun
penderita terhadap kuman M. leprae serta komplikasi yang diakibatkan
oleh kerusakan saraf perifer.
1. Pada tipe tuberculoid yaitu awitan dini berkembang dengan cepat,
saraf yang terlibat terbatas (sesuai jumlah lesi), dan terjadi
penebalan saraf yang menyebabkan gangguan motorik, sensorik
dan otonom.
2. Pada tipe lepromatosa yaitu terjadi kerusakan saraf tersebar,
perlahan tetapi progresif, beberapa tahun kemudian terjadi
hipoestesi (bagian-bagian dingin pada tubuh), simetris pada tangan
dan kaki yang disebutglove dan stocking anaesthesia terjadi
penebalan saraf menyebabkan gangguan motorik, sensorik dan
otonom dan ada keadaan akut apabila terjadi reaksi tipe 2.
3. Tipe borderline merupakan campuran dari kedua tipe (tipe
tuberculoid dan tipe lepromatosa).

2.3.5 Patofisiologi Morbus Hansen

Meskipun cara masuk M. Leprae ke tubuh belum diketahui pasti,


beberapa penelitian, tersering melalui kulit yang lecet pada bagian
tubuh bersuhu dingin dan melalui mukosa nasal. Setelah M. Leprae
masuk ke dalam tubuh, perkembangan penyakit kusta bergantung pada
kerentanan seseorang. Respon tubuh setelah masa tunas dilampaui
tergantung pada derajat sistem imunitas seluler (cellular mediated
immune) pasien. Kalau sistem imunitas seluler tinggi. Penyakit
berkembang ke arah tuberkuloid dan bila rendah, berkembang ke arah
lepromatosa.
M. Leprae berpredileksi di daerah-daerah yang relatif lebih
dingin, yaitu daerah akral dengan vaskularisasiyang sedikit. M. Leprae (
Parasis Obligat Intraseluler ) terutama terdapat pada sel macrofag
sekitar pembuluh darah superior pada dermis atau sel Schwann jaringan
saraf, bila kuman masuk tubuh tubuh bereaksi mengeluarkan macrofag (
berasal dari monosit darah, sel mn, histiosit ) untuk memfagosit.

16
Tipe LL ; terjadi kelumpuha system imun seluler tinggi macrofag
tidak mampu menghancurkan kuman dapat membelah diri dengan
bebas merusak jaringan. Tipe TT ; fase system imun seluler tinggi
macrofag dapat menghancurkan kuman hanya setelah kuman
difagositosis macrofag, terjadi sel epitel yang tidak bergerak aktif, dan
kemudian bersatu membentuk sel dahtian longhans, bila tidak segera
diatasi terjadi reaksi berlebihan dan masa epitel menimbulkan
kerusakan saraf dan jaringan sekitar.
Derajat penyakit tidak selalu sebanding dengan derajat infeksi
karena respons imun pada tiap pasien berbeda. Gejala klinis lebih
sebanding dengan tingkat reaksi seluler daripada intensitas infeksi. Oleh
karena itu penyakit kusta dapat disebut sebagai penyakit imunologis.

2.3.6 Pemeriksaan Diagnostik Morbus Hansen

1. Inspeksi. Pasien diminta memejamkan mata, menggerakan mulut,


bersiul, dan tertawa untuk mengetahui fungsi saraf wajah. Semua
kelainan kulit di seluruh tubuh diperhatikan, seperti adanya makula,
nodul, jaringan parut, kulit yang keriput, penebalan kulit, dan
kehilangan rambut tubuh (alopesia dan madarosis).
2. Pemeriksaan sensibilitas pada lesi kulit dengan menggunakan kapas
(rasa raba), jarum pentul yang tajam dan tumpul (rasa nyeri), serta
air panas dan dingin dalam tabung reaksi (rasa suhu).
3. Pemeriksaan saraf tepi dan fungsinya dilakukan pada : n. auricularis
magnus, n. ulanaris, n. radialis, n. medianus, n. peroneus, dan n.
tibialis posterior. Hasil pemeriksaan yang perlu dicatat adalah
pembesaran, konsistensi, penebalan, dan adanya nyeri tekan.
Perhatikan raut muka pasien apakah ia kesakitan atau tidak saat saraf
diraba.
4. Pemeriksaan fungsi saraf otonom, yaitu memeriksa ada tidaknya
kekeringan pada lesi akibat tidak berfungsinya kelenjar keringat
dengan menggunakan pensil tinta.

17
Tabel 2. Klasifikasi Pause Basiler dan Multi Basiler menurut P2MPLP

Kelainan Kulit Dan Hasil Tipe Pause Basiler Tipe Multi Basiler
Pemeriksaan Bakteriologis
1. Bercak (makula)
a. Jumlah a. 1-5 a. Banyak
b. Ukuran b. Kecil dan besar b. Kecil-kecil
c. Distribusi c. Unilateral atau bilateral
c. Bilateral, simetris
asimetris d.
d. Permukaan d. Kering dan kasar e. Halus, berkilat
e. Batas e. Tegas f. Kurang tegas

f. Gangguan sensitibilitas f. Selalu ada dan jelas g. Biasanya tidak


jelas, jika ada,
terjadi pada yang
sudah lanjut
g. Kehilangan kemampuan g. Bercak tidak
berkeringat, bulu rontok berkeringat, ada bulu h. Bercak masih
pada bercak rontok pada bercak berkeringat, bulu
tidak rontok

2. Infiltrat
a. Kulit a. Tidak ada
b. i. Ada, kadang-
b. Membrana mukosa
c. Tidak pernah ada kadang tidak ada
(hidung tersumbat Ada, kadang-
pendarahan di hidung) kadang tidak ada

3. Nodulus Tidak ada


4. Penebalan syaraf tepi Lebih sering terjadi Kadang-kadang ada
dini, asimetris Terjadi pada yang
lanjut, biasanya
5. Deformitas (cacat) Biasanya asimetris lebih dari satu dan
terjadi dini simetris
Terjadi pada usia
6. Sediaan apus BTA negative lanjut

7. Ciri-ciri khusus Central healing


penyembuhan di tengah BTA positif

punched

Dikutip dan dimodifikasi dari Buku Panduan Pemberantasan Kusta


Depkes (1999)

5. Pemeriksaan Bakteriologis
Ketentuan pengambilan sediaan adalah sebagai berikut :

18
a. Sediaan diambil dari kelainan kulit yang paling aktif
b. Kulit muka sebaiknya dihindari karena lalasan kosmetik, kecuali
tidak ditemukan lesi di tempat lain
c. Pemeriksaan ulangan dilakukan pada lesi kulit yang sama dan
bila perluditambah dengan lesi kulit yang baru timbul
d. Lokasi pengambilan sediaan apus untuk pemeriksaan M. leprae
ialah :
1) Cuping telinga kiri/kanan
2) Dua sampai empat lesi kulit yang aktif di tempat lain
e. Sediaan dari selaput lender hidung sebaiknya dihindari karena :
1) Tidak menyenangkan pasien
2) Positif palsu karena ada mikobakterium lain
3) Tidak pernah ditemukan M. leprae pada selaput lendir
hidung apabila sediaan apus kulit negative
4) Pada pengobatan, pemeriksaan bakterioskopis selaput
lender hidung lebih dahulu negative daripada sediaan kulit
ditempat lain
f. Indikasi pengambilan sediaan apus kulit :
1) Semua orang yang dicurigai menderita kusta
2) Semua pasien baru yang didiagnosis secara klinis sebagai
pasien kusta
3) Semua pasien kusta yang diduga kambuh (relaps) atau
karena tersangka kuman resisten terhadap obat
4) Semua pasien Multi Basiler setiap satu tahun sekali
g. Pemeriksaan bakteriologis dilakukan dengan pewarnaan tahan
asam, yaitu Ziehl Neelsen atau Kinyoun-gabett.
h. Cara menghitung BTA dalam lapangan mikroskop ada 3
metode, yaitu cara zig zag, huruf z, dan setengah/ seperempat
lingkaran. Bentuk kuman yang mungkin ditemukan adalah
bentuk utuh (solid), pecah-pecah (fragmented), granular
(granulates), globus, dan clamps.

19
6. Indeks Bakteri (IB)
Merupakan ukuran semikuantitatif kepadatan BTA dalam sediaan
hapus, IB digunakan untuk menentukan tipe kusta dan mengevaluasi
hasil pengobatan. Penilaian dilakukan menurut skala logaritma
Ridley sebagai berikut :
Tabel 3. Skala Logaritma Ridley
0 Bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang

+1 Bila 1-10 BTA dalam 100 lapangan pandang

+2 Bila 1-10 BTA dalam 10 lapangan pandang

+3 Bila 1-10 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang

+4 Bila 11-100 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang

+5 Bila 101-1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang

+6 Bila > 1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang

7. Indeks Morfologi (IM)


Merupakan persentase BTA bentuk utuh terhadap seluruh
BTA. IM digunakan untuk mengetahui daya penularan kuman,
mengevaluasi hasil pengobatan, dan membantu menentukan
resistensi terhadap obat. Contoh menghitung IB dan IM sebagai
berikut :
Tabel 4. Contoh Menghitung IB dan IM

Lokasi pengambilan Kepadatan Solid Fragmented/granulated

· Daun telinga kiri 5+ 5 95

· Daun telinga 4 + 6 94
kanan
4+ 3 97
· Paha kiri
4+ 4 96
· Bokong kanan

17 + 18 382

20
2.3.7 Web of Caution
Faktor risiko
Kontak lama dengan
penderita yang belum
Kondisi ekonomi Personal hygiene mendapat pengobatan
rendah buruk MDT

Mycobacterium leprae masuk melalui saluran


napas dan kontak kulit

Berkembangbiak di dalam makrofag, otot, dan


sel endotel pembuluh darah

Kusta bereaksi di dalam tubuh

Peningkatan imunitas oleh Cell Reaksi hipersensitivitas humoral


Mediated Immunologi (CMI)

Reaksi tipe I Reaksi tipe II

Reaksi Reversal Reaksi Eritema Nodusum


Leprosum (ENL)
Inflamasi pada kulit dan saraf
Peningkatan sementara respon
imunitas oleh CD4+, TNF, dan
Lesi menjadi lebih banyak dan aktif IL-6 pada lesi
dalam waktu singkat

21
22
2.3.8 Penatalaksanaan Morbus Hansen

Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah


menyembuhkan pasien kusta dan mencegah timbulnya cacat serta
memutuskan mata rantai penularan dari pasien kusta terutama tipe yang
menular kepada orang lain untuk menurunkan insidens penyakit.
A. Penatalaksanaan Medis

1) Prinsip pengobatan

Pada tahun 1981 WHO Study Group on Chemotherapyof


Leprosy secara resmi mengeluarkan rekomendasi pengobatan kusta
dengan regimen MDT (Multi Drug Therapy). (Marwali Harahap,
2000)
Pengobatan berdasarkan regimen MDT (Multi Drug Therapy)
dalam buku Pedoman Diagnosis dan Terapi BAG/SMF Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin RSU Dokter Soetomo Surabaya (2009)
adalah sebagai berikut :
1. Pausibasiler
 Rifampicine 600 mg/bulan, diminum di depan petugas (dosis
supervisi)
 DSS 100 mg/hari
 Pengobatan diberikan secara teratur selama 6 bulan dan
diselesaikan dalam waktu maksimal 19 bulan. Setelah selesai
minum 6 dosis dinyatakan RFT (Release From Treatment)
2. Multibasiler
 Rifampicine 600 mg/bulan, dosis supervisi
 Lamprene 300 mg/hari, dosis supervise ditambahkan
 Lamprene 50 mg/hari
 DDS 100 mg/hari
 Pengobatan dilakukan secara teratur sebanyak 12 dosis (bulan)
dan diselesaikan dalam waktu maksimal 18 bulan. Setelah
selesai 12 dosis dinyatakan RFT, meskipun secara klinis
lesinya masih aktif dan BTA (+).

23
2) Rehabilitasi
Usaha-usaha rehabilisasi meliputi medis, okupasi,
kejiwaan, dan social. Usaha medis yang dapat dilakukan untuk
cacat tubuh antara lain operasi dan fisioterapi. Terapi kejiwaan
berupa bimbingan mental diupayakan sedini mungkin pada setiap
pasien, keluarga, dan masyarakat sekitarnya untuk memberikan
dorongan dan semangat agar dapat menerima kenyataan dan
menjalani pengobatan dengan teratur dan benar sampai
dinyatakan sembuh secara medis.
Rehabilitasi social bertujuan memulihkan fungsi social
ekonomi pasien sehingga menunjang kemandiriannya dengan
memberikan bimbingan social dan peralatan kerja, serta
membantu pemasaran hasil usaha pasien.

2.3.9 Komplikasi Morbus Hansen


Cacat merupakan komplikasi yang dapat terjadi pada pasien kusta baik
akibat kerusakan fungsi saraf tepi maupun karena neuritis sewaktu
terjadi reaksi kusta.

2.4 Konsep Luka Bakar


2.4.1 Defisini Luka Bakar
Combustio atau luka bakar adalah kerusakan pada kulit yang
disebabkan oleh panas, kimia/radioaktif. (Long, 1996). Combustio atau
Luka bakar disebabkan oleh perpindahan energi dari sumber panas ke
tubuh. Panas tersebut dapat dipindahkan melalui konduksi/radiasi
elektromagnetik. (Effendi. C, 1999). Sehingga dari beberapa pendapat
tersebut, Luka bakar adalah kerusakan atau kehilangan jaringan yang
dapat disebabkan oleh panas (api, cairan/lemak panas, uap panas),
radiasi, listrik, kimia. Luka bakar merupakan jenis trauma yang
merusak dan merubah berbagai sistem tubuh.
2.4.2 Klasifikasi Luka Bakar
Terdapat kriteria dari World Health Association (WHO) dan
American Burn Association (ABA). WHO mengklasifikasikan luka
bakar berdasarkan kedalaman sebagai berikut :

24
1. Luka Bakar Derajat 1
- Luka bakar ini sering disebut juga sebagai superficial burn
karena hanya mengenai epidermis.
- Kulit hiperemik berupa eritema, sedikit edema, tidak dijumpai
bula, dan terasa nyeri akibat ujung saraf sensoris teriritasi.
Pada hari keempat paska paparan sering dijumpai deskuamasi.
- Penyebab dari luka bakar ini adalah paparan sinar matahari
yang terlalu lama, kontak singkat dengan benda panas atau
terkena percikan api
- Umumnya luka bakar ini sembuh dalam satu minggu dan
tidak menimbulkan perubahan pada warna kulit, tekstur kulit
atau ketebalan kulit. Salep antibiotika dan pelembab kulit
dapat diberikan dan tidak memerlukan pembalutan.
2. Luka Bakar Derajat 2
- Luka bakar ini disebut juga partial thickness burn karena
mengenai epidermis dan dermis atau di seluruh lapisan
dermis.
- Terbagi menjadi dua jenis:
 Luka bakar derajat II superfisial
Kulit tampak kemerahan, edema, dan terasa lebih
nyeri daripada luka bakar derajat I. luka sangat sensitif
dan akan lebih pucat jika kena tekanan. Masih dapat
ditemukan folikel rambut, kelenjar keringat, dan
kelenjar sebasea. luka bakar dengan lama
penyembuhan kurang dari tiga minggu.
Perawatan luka dengan pembalutan, salep
antibiotika perlu dilakukan tiap hari. Penutup luka
sementara (xenograft, allograft atau dengan bahan
sintetis) dapat diberikan sebagai pengganti
pembalutan.
 Luka bakar derajat II profunda (deep)

25
Bula sering ditemukan dengan dasar luka eritema
yang basah. Permukaan luka berbecak merah dan
sebagian putih karena variasi vaskularisasi. Luka
terasa nyeri, namun tidak sehebat derajat II dangkal.
Folikel rambut, kelenjar keringat, dan kelenjar sebasea
tinggal sedikit. luka bakar dengan lama penyembuhan
lebih dari tiga minggu dan sering menimbulkan skar
hipertrofi saat sembuh.
Selain pembalutan dapat juga diberikan penutup
luka sementara (xenograft, allograft atau dengan bahan
sintetis).
3. Luka Bakar Derajat 3
- Luka bakar ini disebut juga full thickness burn karena
mengenai seluruh lapisan kulit mulai dari epidermis, dermis,
jaringan subkutan hingga folikel rambut.
- Tidak ada lagi elemen epitel dan tidak dijumpai bula, kulit
yang terbakar berwarna keabu-abuan pucat hingga warna
hitam kering (nekrotik). Terdapat eskar yang merupakan hasil
koagulasi protein epidermis dan dermis. Luka tidak nyeri dan
hilang sensasi akibat kerusakan ujung-ujung saraf sensoris.
- Penyembuhan lebih sulit karena tidak ada epitelisasi spontan.
Perlu dilakukan eksisi dini untuk eskar dan tandur kulit untuk
luka bakar derajat II dalam dan luka bakar derajat III. Eksisi
awal mempercepat penutupan luka, mencegah infeksi,
mempersingkat durasi penyembuhan, mencegah komplikasi
sepsis, dan secara kosmetik lebih baik.

2.4.3 Etiologi Luka Bakar


Menurut Hudak Gallo (1996) Luka bakar dapat diklasifikasikan
berdasarkan agen penyebab antara lain :
1. Termal : Basah (air panas, minyak panas), kering (uap, metal, api)
2. Listrik : Voltage tinggi, petir
3. Kimia : asam kuat, basa kuat

26
4. Radiasi : termasuk X-Ray
Penyebab tersering luka bakar merupakan terbakar api yang akan
dapat menyebabkan luka bakar pada seluruh atau sebagian tebal kulit.
Pada anak-anak, sekitar 60% mendapatkan luka bakar karena air panas,
pada umumnya merupakan luka bakar superfisial, tetapi dapat juga
mengenai seluruh ketebalan kulit (derajat tiga).
Asam kuat menyebabkan nekrosis koagulasi, denaturasi protein,
dan rasa nyeri hebat. Asam hidroflourida mampu menembus jaringan
sampai ke dalam dan menyebabkan toksisitas sistemik yang fatal,
bahkan pada luka yang kecil sekalipun. Alkali atau basa kuat yang
banyak terdapat dalam rumah tangga antara lain cairan pemutih pakaian
(bleaching), berbagai cairan pembersih, dll.
Luka bakar yang disebabkan basa kuat akan menyebabkan
jaringan mengalami nekrosis yang mencair (liquefactive necrosis).
Kemampuan alkali menembus jaringan lebih dalam lebih kuat daripada
asam, kerusakan jaringan lebih berat karena sel mengalami dehidrasi
dan terjadi denaturasi protein dan kolagen. Rasa sakit timbul
belakangan sehingga penderita sering terlambat datang untuk berobat
dan kerusakan jaringan sudah meluas.

2.4.4 Manifestasi Klinis Luka Bakar


Menurut Effendi, 1999 manifestasi klinik yang muncul pada luka bakar
sesuai dengan kerusakannya :
1. Grade I
Kerusakan pada epidermis, kulit kering kemerahan, nyeri sekali,
sembuh dalam 3-7 dan tidak ada jaringan parut.
2. Grade II
Kerusakan pada epidermis dan dermis, terdapat vesikel dan edema
subkutan, luka merah, basah dan mengkilat, sangat nyeri, sembuh
dalam 28 hari tergantung komplikasi infeksi.
3. Grade III

27
Kerusakan pada semua lapisan kulit, tidak ada nyeri, luka merah
keputihputihan dan hitam keabu-abuan, tampak kering, lapisan
yang rusak tidak sembuh sendiri maka perlu Skin graff.

2.4.5 Patofisiologis Luka Bakar


Luka bakar (Combustio) disebabkan oleh pengalihan energi dari
suatu sumber panas kepada tubuh. Panas dapat dipindahkan lewat
hantaran atau radiasi elektromagnetik. Destruksi jaringan terjadi akibat
koagulasi, denaturasi protein atau ionisasi isi sel. Kulit dan mukosa
saluran nafas atas merupakan lokasi destruksi jaringan. Jaringan yang
dalam termasuk organ visceral dapat mengalami kerusakan karena luka
bakar elektrik atau kontak yang lama dengan burning agent. Nekrosis
dan keganasan organ dapat terjadi.
Kedalaman luka bakar bergantung pada suhu agen penyebab luka
bakar dan lamanya kontak dengan gen tersebut. Pajanan selama 15
menit dengan air panas dengan suhu sebesar 56.10 C mengakibatkan
cidera full thickness yang serupa. Perubahan patofisiologik yang
disebabkan oleh luka bakar yang berat selama awal periode syok luka
bakar mencakup hipoperfusi jaringan dan hipofungsi organ yang terjadi
sekunder akibat penurunan curah jantung dengan diikuti oleh fase
hiperdinamik serta hipermetabolik. Kejadian sistemik awal sesudah
luka bakar yang berat adalah ketidakstabilan hemodinamika akibat
hilangnya integritas kapiler dan kemudian terjadi perpindahan cairan,
natrium serta protein dari ruang intravaskuler ke dalam ruanga
interstisial.
Curah jantung akan menurun sebelum perubahan yang signifikan
pada volume darah terlihat dengan jelas. Karena berkelanjutnya
kehilangan cairan dan berkurangnya volume vaskuler, maka curah
jantung akan terus turun dan terjadi penurunan tekanan darah. Sebagai
respon, system saraf simpatik akan melepaskan ketokelamin yang
meningkatkan vasokontriksi dan frekuensi denyut nadi. Selanjutnya
vasokontriksi pembuluh darah perifer menurunkan curah jantung.

28
Umumnya jumlah kebocoran cairan yang tersebar terjadi dalam
24 hingga 36 jam pertama sesudah luka bakar dan mencapai puncaknya
dalam tempo 6-8 jam. Dengan terjadinya pemulihan integritas kapiler,
syok luka bakar akan menghilang dan cairan mengalir kembali ke
dalam kompartemen vaskuler, volume darah akan meningkat. Karena
edema akan bertambah berat pada luka bakar yang melingkar. Tekanan
terhadap pembuluh darah kecil dan saraf pada ekstremitas distal
menyebabkan obstruksi aliran darah sehingga terjadi iskemia.
Komplikasi ini dinamakan sindrom kompartemen.
Volume darah yang beredar akan menurun secara dramatis pada
saat terjadi syok luka bakar. Kehilangan cairan dapat mencapai 3-5 liter
per 24 jam sebelum luka bakar ditutup. Selama syok luka bakar, respon
luka bakar respon kadar natrium serum terhadap resusitasi cairan
bervariasi. Biasanya hipnatremia terjadi segera setelah terjadinya luka
bakar, hiperkalemia akan dijumpai sebagai akibat destruksi sel massif.
Hipokalemia dapat terhadi kemudian dengan berpeindahnya cairan dan
tidak memadainya asupan cairan. Selain itu juga terjadi anemia akibat
kerusakan sel darah merah mengakibatkan nilai hematocrit meninggi
karena kehilangan plasma. Abnormalitas koagulasi yang mencakup
trombositopenia dan masa pembekuan serta waktu protrombin
memanjang juga ditemui pada kasus luka bakar.
Kasus luka bakar dapat dijumpai hipoksia. Pada luka bakar berat,
konsumsi oksigen oleh jaringan meningkat 2 kali lipat sebagai akibat
hipermetabolisme dan respon lokal. Fungsi renal dapat berubah sebagai
akibat dari berkurangnya volume darah. Destruksi sel-sel darah merah
pada lokasi cidera akan menghasilkan hemoglobin bebas dalam urin.
Bila aliran darah lewat tubulus renal tidak memadai, hemoglobin dan
mioglobin menyumbat tubulus renal sehingga timbul nekrosis akut
tubuler dan gagal ginjal.
Kehilangan integritas kulit diperparah lagi dengan pelepasan
faktor-faktor inflamasi yang abnormal, perubahan immunoglobulin
serta komplemen serum, gangguan fungsi neutrofil, limfositopenia.

29
Imunosupresi membuat pasien luka bakar bereisiko tinggi untuk
mengalmai sepsis. Hilangnya kulit menyebabkan ketidakmampuan
pengaturan suhunya. Beberapa jam pertama pasca luka bakar
menyebabkan suhu tubuh rendah, tetapi pada jam-jam berikutnya
menyebabkan hipertermi yang diakibatkan hipermetabolik.
2.4.6 Pemeriksaan Luka Bakar
A. Pemeriksaan Fisik Luka Bakar
1. Hitung darah lengkap : Hb (Hemoglobin) turun menunjukkan
adanya pengeluaran darah yang banyak sedangkan peningkatan
lebih dari 15% mengindikasikan adanya cedera, pada Ht
(Hematokrit) yang meningkat menunjukkan adanya kehilangan
cairan sedangkan Ht turun dapat terjadi sehubungan dengan
kerusakan yang diakibatkan oleh panas terhadap pembuluh darah.
2. Leukosit : Leukositosis dapat terjadi sehubungan dengan adanya
infeksi atau inflamasi.
3. GDA (Gas Darah Arteri) : Untuk mengetahui adanya kecurigaaan
cedera inhalasi. Penurunan tekanan oksigen (PaO2) atau
peningkatan tekanan karbon dioksida (PaCO2) mungkin terlihat
pada retensi karbon monoksida.
4. Elektrolit Serum : Kalium dapat meningkat pada awal sehubungan
dengan cedera jaringan dan penurunan fungsi ginjal, natrium pada
awal mungkin menurun karena kehilangan cairan, hipertermi dapat
terjadi saat konservasi ginjal dan hipokalemi dapat terjadi bila
mulai diuresis.
5. Natrium Urin : Lebih besar dari 20 mEq/L mengindikasikan
kelebihan cairan , kurang dari 10 mEqAL menduga
ketidakadekuatan cairan.
6. Alkali Fosfat : Peningkatan Alkali Fosfat sehubungan dengan
perpindahan cairan interstisial atau gangguan pompa, natrium.
7. Glukosa Serum : Peninggian Glukosa Serum menunjukkan respon
stress.

30
8. Albumin Serum : Untuk mengetahui adanya kehilangan protein
pada edema cairan.
9. BUN atau Kreatinin : Peninggian menunjukkan penurunan perfusi
atau fungsi ginjal, tetapi kreatinin dapat meningkat karena cedera
jaringan.
10. Loop aliran volume : Memberikan pengkajian non-invasif terhadap
efek atau luasnya cedera.
11. EKG : Untuk mengetahui adanya tanda iskemia miokardial atau
distritmia.
12. Fotografi luka bakar : Memberikan catatan untuk penyembuhan
luka bakar.
B. Pemeriksaan Penunjang Luka Bakar
1. Keadaan umum

Umumnya penderita datang dengan keadaan kotor mengeluh


panas sakit dan gelisah sampai menimbulkan penurunan tingkat
kesadaran bila luka bakar mencapai derajat cukup berat

2. TTV

Tekanan darah menurun nadi cepat, suhu dingin, pernafasan


lemah sehingga tanda tidak adekuatnya pengembalian darah
pada 48 jam pertama

3. Pemeriksaan kepala dan leher


a. Kepala dan rambut

Catat bentuk kepala, penyebaran rambut, perubahan warna


rambut setalah terkena luka bakar, adanya lesi akibat luka
bakar, grade dan luas luka bakar

b. Mata

Catat kesimetrisan dan kelengkapan, edema, kelopak mata,


lesi adanya benda asing yang menyebabkan gangguan

31
penglihatan serta bulu mata yang rontok kena air panas,
bahan kimia akibat luka bakar

c. Hidung

Catat adanya perdarahan, mukosa kering, sekret, sumbatan


dan bulu hidung yang rontok

d. Mulut

Sianosis karena kurangnya supplay darah ke otak, bibir


kering karena intake cairan kurang

e. Telinga

Catat bentuk, gangguan pendengaran karena benda asing,


perdarahan dan serumen

f. Leher

Catat posisi trakea, denyut nadi karotis mengalami


peningkatan sebagai kompensasi untuk mengatasi
kekurangan cairan

g. Pemeriksaan thorak/dada

Inspeksi bentuk thorak, irama parnafasan, ireguler, ekspansi


dada tidak maksimal, vokal fremitus kurang bergetar karena
cairan yang masuk ke paru, auskultasi suara ucapan egoponi,
suara nafas tambahan ronchi

h. Abdomen

Inspeksi bentuk perut membuncit karena kembung, palpasi


adanya nyeri pada area epigastrium yang mengidentifikasi
adanya gastritis.

i. Urogenital

32
Kaji kebersihan karena jika ada darah kotor / terdapat lesi
merupakantempat pertumbuhan kuman yang paling nyaman,
sehingga potensi sebagai sumber infeksi dan indikasi untuk
pemasangan kateter.

j. Muskuloskletal

Catat adanya atropi, amati kesimetrisan otot, bila terdapat


luka baru pada muskuloskleletal, kekuatan oto menurun
karen nyeri

k. Pemeriksaan neurologi

Tingkat kesadaran secara kuantifikasi dinilai dengan GCS.


Nilai bisa menurun bila supplay darah ke otak kurang (syok
hipovolemik) dan nyeri yang hebat (syok neurogenik)

l. Pemeriksaan kulit

Merupakan pemeriksaan pada darah yang mengalami luka


bakar (luas dan kedalaman luka). Prinsip pengukuran
prosentase luas uka bakar menurut kaidah 9 (rule of nine lund
and Browder) sebagai berikut :

BAGIAN TUBUH 1 TAHUN 2 TAHUN DEWASA


Kepala leher 18% 14% 9%
Ekstrimitas atas 18% 18% 18%
(kanan dan kiri)
Badan depan 18% 18% 18%
Badan belakang 18% 18% 18%
Ektrimitas bawah 27% 31% 30%
(kanan dan kiri)
Genetalia 1% 1% 1%
Pengkajian kedalaman luka bakar dibagi menjadi 3 derajat (grade). Grade tersebut
ditentukan berdasarkan pada keadaan luka, rasa nyeri yang dirasanya dan lamanya
kesembuhan luka.

33
2.4.7 Web Of Caution Luka Bakar

34
2.4.8 Penatalaksanaan Luka Bakar
1. Pertolongan Pertama Pada Pasien Dengan Luka Bakar
a. Segera hindari sumber api dan mematikan api pada tubuh,
misalnya dengan menyelimuti dan menutup bagian yang terbakar
untuk menghentikan pasokan oksigen pada api yang menyala
b. Singkirkan baju, perhiasan dan benda-benda lain yang membuat
efek Torniket, karena jaringan yang terkena luka bakar akan
segera menjadi oedem
c. Setelah sumber panas dihilangkan rendam daerah luka bakar
dalam air atau menyiramnya dengan air mengalir selama
sekurang-kurangnya lima belas menit. Proses koagulasi protein
sel di jaringan yang terpajan suhu tinggi berlangsung terus setelah
api dipadamkan sehingga destruksi tetap meluas. Proses ini dapat
dihentikan dengan mendinginkan daerah yang terbakar dan
mempertahankan suhu dingin ini pada jam pertama sehingga
kerusakan lebih dangkal dan diperkecil.
d. Akan tetapi cara ini tidak dapat dipakai untuk luka bakar yang
lebih luas karena bahaya terjadinya hipotermi. Es tidak
seharusnya diberikan langsung pada luka bakar apapun.
e. Evaluasi awal
f. Prinsip penanganan pada luka bakar sama seperti penanganan
pada luka akibat trauma yang lain, yaitu dengan ABC (Airway
Breathing Circulation) yang diikuti dengan pendekatan khusus
pada komponen spesifik luka bakar pada survey sekunder.
Saat menilai „airway” perhatikan apakah terdapat luka bakar
inhalasi. Biasanya ditemukan sputum karbonat, rambut atau bulu
hidung yang gosong. Luka bakar pada wajah, oedem oropharyngeal,
perubahan suara, perubahan status mental. Bila benar terdapat luka
bakar inhalasi lakukan intubasi endotracheal, kemudian beri Oksigen
melalui mask face atau endotracheal tube.Luka bakar biasanya
berhubungan dengan luka lain, biasanya dari luka tumpul akibat
kecelakaan sepeda motor. Evaluasi pada luka bakar harus

35
dikoordinasi dengan evaluasi pada luka-luka yang lain. Meskipun
perdarahan dan trauma intrakavitas merupakan prioritas utama
dibandingkan luka bakar, perlu dipikirkan untuk meningkatkan
jumlah cairan pengganti.
Anamnesis secara singkat dan cepat harus dilakukan pertama
kali untuk menentukan mekanisme dan waktu terjadinya trauma.
Untuk membantu mengevaluasi derajat luka bakar karena trauma
akibat air mendidih biasanya hanya mengenai sebagian lapisan kulit
(partial thickness), sementara luka bakar karena api biasa mengenai
seluruh lapisan kulit (full thickness).
2.Resusitasi Cairan
Sebagai bagian dari perawatan awal pasien yang terkena luka
bakar, Pemberian cairan intravena yang adekuat harus dilakukan,
akses intravena yang adekuat harus ada, terutama pada bagian
ekstremitas yang tidak terkena luka bakar. Adanya luka bakar
diberikan cairan resusitasi karena adanya akumulasi cairan edema
tidak hanya pada jaringan yang terbakar, tetapi juga seluruh tubuh.
Telah diselidiki bahwa penyebab permeabilitas cairan ini adalah
karena keluarnya sitokin dan beberapa mediator, yang menyebabkan
disfungsi dari sel, kebocoran kapiler.
Tujuan utama dari resusitasi cairan adalah untuk menjaga dan
mengembalikan perfusi jaringan tanpa menimbulkan edema.
Kehilangan cairan terbesar adalah pada 4 jam pertama terjadinya
luka dan akumulasi maksimum edema adalah pada 24 jam pertama
setelah luka bakar. Prinsip dari pemberian cairan pertama kali adalah
pemberian garam ekstraseluler dan air yang hilang pada jaringan
yang terbakar, dan sel-sel tubuh. Pemberian cairan paling popular
adalah dengan Ringer laktat untuk 48 jam setelah terkena luka bakar.
Output urin yang adekuat adalah 0.5 sampai 1.5mL/kgBB/jam.
3.Perawatan Luka Bakar
Setelah keadaan umum membaik dan telah dilakukan resusitasi
cairan dilakukan perawatan luka. Perawatan tergantung pada

36
karakteristik dan ukuran dari luka. Tujuan dari semua perawatan
luka bakar agar luka segera sembuh rasa sakit yang minimal.Setelah
luka dibersihkan dan di debridement, luka ditutup. Penutupan luka
ini memiliki beberapa fungsi: pertama dengan penutupan luka akan
melindungi luka dari kerusakan epitel dan meminimalkan timbulnya
koloni bakteri atau jamur. Kedua, luka harus benar-benar tertutup
untuk mencegah evaporasi pasien tidak hipotermi. Ketiga, penutupan
luka diusahakan semaksimal mungkin agar pasien merasa nyaman
dan meminimalkan timbulnya rasa sakit Pilihan penutupan luka
sesuai dengan derajat luka bakar.
a. Luka bakar derajat I, merupakan luka ringan dengan sedikit
hilangnya barier pertahanan kulit. Luka seperti ini tidak perlu di
balut, cukup dengan pemberian salep antibiotik untuk
mengurangi rasa sakit dan melembabkan kulit. Bila perlu dapat
diberi NSAID (Ibuprofen, Acetaminophen) untuk mengatasi
rasa sakit dan pembengkakan.
b. Luka bakar derajat II (superfisial ), perlu perawatan luka setiap
harinya, pertamatama luka diolesi dengan salep antibiotik,
kemudian dibalut dengan perban katun dan dibalut lagi dengan
perban elastik. Pilihan lain luka dapat ditutup dengan penutup
luka sementara yang terbuat dari bahan alami (Xenograft (pig
skin) atau Allograft (homograft, cadaver skin) ) atau bahan
sintetis (opsite, biobrane, transcyte, integra).
c. Luka derajat II ( dalam ) dan luka derajat III, perlu dilakukan
eksisi awal dan cangkok kulit (early exicision and grafting )
4.Nutrisi
Penderita luka bakar membutuhkan kuantitas dan kualitas
yang berbeda dari orang normal karena umumnya penderita luka
bakar mengalami keadaan hipermetabolik.
5.Early Exicision And Grafting (E&G)
Dengan metode ini eschar di angkat secara operatif dan
kemudian luka ditutup dengan cangkok kulit (autograft atau allograft

37
), setelah terjadi penyembuhan, graft akan terkelupas dengan
sendirinya. E&G dilakukan 3-7 hari setelah terjadi luka, pada
umumnya tiap harinya dilakukan eksisi 20% dari luka bakar
kemudian dilanjutkan pada hari berikutnya. Tapi ada juga ahli bedah
yang sekaligus melakukan eksisi pada seluruh luka bakar, tapi cara
ini memiliki resiko yang lebih besar yaitu : dapat terjadi hipotermi,
atau terjadi perdarahan masive akibat eksisi. Metode ini mempunyai
beberapa keuntungan dengan penutupan luka dini, mencegah
terjadinya infeksi pada luka bila dibiarkan terlalu lama,
mempersingkat durasi sakit dan lama perawatan di rumah sakit,
memperingan biaya perawatan di rumah sakit, mencegah komplikasi
seperti sepsis dan mengurangi angka mortalitas. Beberapa penelitian
membandingkan teknik E&G dengan teknik konvensional, hasilnya
tidak ada perbedaan dalam hal kosmetik atau fungsi organ, bahkan
lebih baik hasilnya bila dilakukan pada luka bakar yang terdapat
pada muka, tangan dan kaki.
6.Escharotomy
Luka bakar grade III yang melingkar pada ekstremitas dapat
menyebabkan iskemik distal yang progresif, terutama apabila terjadi
edema saat resusitasi cairan, dan saat adanya pengerutan keropeng.
Iskemi dapat menyebabkan gangguan vaskuler pada jarijari tangan
dan kaki. Tanda dini iskemi adalah nyeri, kemudian kehilangan daya
rasa sampai baal pada ujung-ujung distal. Juga luka bakar
menyeluruh pada bagian thorax atau abdomen dapat menyebabkan
gangguan respirasi, dan hal ini dapat dihilangkan dengan
escharotomy. Dilakukan insisi memanjang yang membuka keropeng
sampai penjepitan bebas
7.Antimikroba
Dengan terjadinya luka mengakibatkan hilangnya barier
pertahanan kulit sehingga memudahkan timbulnya koloni bakteri
atau jamur pada luka. Bila jumlah kuman sudah mencapai 105
organisme jaringan, kuman tersebut dapat menembus ke dalam

38
jaringan yang lebih dalam kemudian menginvasi ke pembuluh darah
dan mengakibatkan infeksi sistemik yang dapat menyebabkan
kematian. Pemberian antimikroba ini dapat secara topikal atau
sistemik. Pemberian secara topikal dapat dalam bentuk salep atau
cairan untuk merendam. Contoh antibiotik yang sering dipakai :
Salep : Silver sulfadiazine, Mafenide acetate, Silver nitrate,
Povidone-iodine, Bacitracin (biasanya untuk luka bakar grade I),
Neomycin, Polymiyxin B, Nysatatin, mupirocin , Mebo.
2.4.9 Komplikasi Luka Bakar
1. Gagal jantung kongestif dan edema pulmonal
2. Sindrom kompartemen Sindrom kompartemen merupakan proses
terjadinya pemulihan integritas kapiler, syok luka bakar akan
menghilang dan cairan mengalir kembali ke dalam kompartemen
vaskuler, volume darah akan meningkat. Karena edema akan
bertambah berat pada luka bakar yang melingkar. Tekanan terhadap
pembuluh darah kecil dan saraf pada ekstremitas distal menyebabkan
obstruksi aliran darah sehingga terjadi iskemia
3. Adult Respiratory Distress Syndrome Akibat kegagalan respirasi
terjadi jika derajat gangguan ventilasi dan pertukaran gas sudah
mengancam jiwa pasien.
4. Ileus Paralitik dan Ulkus Curling Berkurangnya peristaltic usus dan
bising usus merupakan tanda-tanda ileus paralitik akibat luka bakar.
Distensi lambung dan nausea dapat mengakibatnause. Perdarahan
lambung yang terjadi sekunder akibat stress fisiologik yang massif
(hipersekresi asam lambung) dapat ditandai oleh darah okulta dalam
feces, regurgitasi muntahan atau vomitus yang berdarha, ini
merupakan tanda-tanda ulkus curling.
5. Syok sirkulasi terjadi akibat kelebihan muatan cairan atau bahkan
hipovolemik yang terjadi sekunder akibat resusitasi cairan yang
adekuat. Tandanya biasanya pasien menunjukkan mental berubah,
perubahan status respirasi, penurunan haluaran urine, perubahan

39
pada tekanan darah, curah janutng, tekanan cena sentral dan
peningkatan frekuensi denyut nadi.
6. Gagal ginjal akut Haluran urine yang tidak memadai dapat
menunjukkan resusiratsi cairan yang tidak adekuat khususnya
hemoglobin atau mioglobin terdektis dalam urine.

2.3 Konsep Acne

2.3.1 Definisi Acne


Jerawat atau dalam bahasa medis disebut dengan Acne Vulgaris
merupakan salah suatu peradangan kronik folikel sebaseus yang
menjadi masalah utama bagi remaja saat ini. Susanto (2013) dalam
Sampelan (2017), Acne vulgaris adalah suatu keadaan dimana pori-pori
kulit tersumbat sehingga timbul bruntusan atau bintik merah dan abses
(kantong nanah) yang meradang dan terinfeksi pada kulit. Apabila hal
tersebut bercampur dengan make-up, keringat, dan polusi makan dapat
tumbuh menjadi komedo. Jika komedo terinfeksi oleh bakteri yang
melekat pada kulit, maka terjadilah peradangan yang disebut dengan
jerawat.
Jerawat biasanya muncul di sekitar wajah, leher, dan punggung,
tetapi lebih sering tumbuh pada daerah wajah. Seringkali jerawat
tumbuh pada masa-masa pubertas remaja, yakni pada perempuan antara
umur 14-17 tahun dan pada laki-laki antara umur 16-19 tahun. Upaya
penatalaksanaan Acne secara umum yaitu dengan menghindari
pemencetan lesi dengan non higienis, memilih kosmetik yang non
komedogenik, dan melakukan perawatan kulit wajah.
2.3.2 Etiologi Acne
Menurut Afriyanti (2015), penyebab Acne vulgaris sangat banyak
(multifaktorial) antara lain faktor genetik, bangsa ras, makanan, iklim,
jenis kulit, faktor kebersihan, penggunaan kosmetik, stress, infeksi, dan
pekerjaan. Namun terdapat empat dasar patofisiologi dari jerawat,
antara lain: 1) penyumbatan folikel poliosebacea, 2) produksi sebum
berlebih, 3) proses inflamasi, dan 4) adanya dan aktivitas

40
Propionibacterium Acnes. Masing-masing proses ini saling terkait dan
di bawah pengaruh hormon dan kekebalan tubuh.
2.3.3 Tanda dan Gejala Klinik Acne
Jerawat ditandai dengan adanya lesi. Lesi dapat berupa inflamasi
atau non inflamasi. Lesi non inflamasi adalah komedo, yang mungkin
tertutup (whitehead) atau terbuka (komedo). Lesi inflamasi bervariasi
dari papula kecil dengan batas merah sampai pustula dan nodul
berfluktuasi besar dan lembut. Beberapa nodul besar sebelumnya
disebut “kista” dan istilah nodulocystic telah digunakan untuk
menggambarkan kasus peradangan jerawat yang parah. Apakah lesi
muncul sebagai papula, pastule, atau nodul tergantung pada luas dan
lokasi infiltrasi inflamasi di dermis. Ada empat jenis umum bekas
jerawat, yaitu: 1) ice pick, 2) rolling, 30 boxcar, dan 4) hypertrophic.
Menurut Movita (2013) gejala klinis yang dapat disebabkan oleh
penyakit acne dilihat dari derajat acne berdasarkan tipe dan jumlah lesi
dapat digolongkan menjadi ringan, sedang, berat, dan sangat berat
seperti pada tabel berikut.
Derajat Komedo Papula/pastule Nodul, Inflamasi Jaringan
kista parut
<10 <10 - - -
Ringan
<20 >10-50 - + ±
Sedang
>20-50 >50-100 ≤5 ++
Berat ++
.50 >100 >5 +++ +++
Sangat
berat

2.3.4 Patofisiologi Acne


Patofisiologi jerawat (acne vulgaris) dikategorikan berdasarkan
beberapa faktor penyebab yaitu pelepasan mediator inflamasi ke dalam
kulit, hiperkeratinisasi folikular, bakteri Propionibacterium acnes, dan
produksi sebum. Selama beberapa dekade, patofisiologi jerawat/acne
diperkirakan berkembang sebagai akibat dari interaksi empat faktor
berikut:

41
1. Hiperpoliferasi folikular epidermal dengan penyumbatan folikel,
2. Produksi sebum yang berlebih,
3. Keberadaan dan aktivitas dari bakteri komensal
Propionibacterium Acne,
4. Peradangan.
Dalam beberapa tahun terakhir telah terjadi perubahan paradigma
tentang pemahaman patofisiologi terjadinya jerawat dimana respon
inflamasi dapat timbul sebelum timbulnya hiperpoliferasu folikular.
Berdasarkan hasil penelitian terbaru, patogenesis jerawat dapat
dikategorikan oleh beberapa faktor penyebab sebagai beriut:
1. Pelepasan Mediator Inflamasi ke Dalam Kulit

Pada sebuah penelitian yang dilakukan oleh Jeremy et


al. ditemukan gambaran inflamasi pada kulit pasien acne namun
dengan folikel yang normal, hal ini membuktikan bahwa
patogenesis jerawat tidak selalu dimulai dengan hiperproliferasi
folikular atau hiperkeratinisasi dan komedogenesis.

Pada pasien acne terdapat proses peradangan subklinis, hal


ini menunjukkan bahwa acne bukanlah sebuah proses inflamasi
sekunder yang disebabkan oleh Propionibacterium
Acnes melainkan sebuah proses inflamasi primer.

Sitokin yang diproduksi oleh sel T CD4 + dan makrofag


mengaktifkan sel-sel endotel lokal untuk mengatur mediator
inflamasi seperti vascular cell adhesion molecule-1 (VCAM-1),
intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1), dan human
leukocyte antigen (HLA)–DR pada pembuluh – pembuluh darah di
sekitar folikel pilosebaceous.

2. Hiperkeratinisasi Folikular

Secara normal, material keratin tersusun secara longgar.


Pada level ultrastruktural , terdapat banyak granula lamellar dan
sedikit granula keratohyalin. Perubahan awal pada pembentukan

42
komedo dilihat pada bagian bawah dari infundibulum folikular.
Materi keratin menjadi lebih tebal, granula lameral menjadi lebih
sedikit, granula keratohyalin bertambah, dan beberapa sel yang
mengandung material amorf, yang kemungkinannya adalah
lemak, dihasilkan selama proses keratinisasi.

Hiperkeratinisasi folikular dihubungkan dengan defisiensi


asam linoleat, produksi interleukin-1 di dalam folikerl, dan efek
androgen pada keratinisasi folikular.

a. Defisiensi Asam Linoleat, Defisiensi asam linoleat memicu


hiperkeratosis folikular dan menurunkan fungsi epitel barrier.

b. Produksi Interleukin-1 di Dalam Folikel, Pada sebuah


penelitian ditemukan bahwa dengan penambahan 1ng/mL
interleukin-1 (IL)-1a ke dalam segmen infrainfundibular
menyebabkan hiperkornifikasi yang serupa dengan yang
terlihat pada komedo. Peneliti menyimpulkan bahwa
perubahan pada sekresi atau komposisi sebum dapat
menstimulasi produksi interleukin-1 oleh keratinosit
folikular, dimana nantinya dapat menyebabkan
komedogenesis.

c. Efek Androgen Pada Keratinisasi Folikular, Peningkatan


androgen dapat menyebabkan hiperproliferasi kelenjar
sebasea dan peningkatan produksi sebum. Produksi androgen
biasa meningkat pada masa pubertas.

3. Propionibacterium Acnes

Propionibacterium Acnes merupakan flora normal kulit


yang bersifat anaerob. Organisme ini menghasilkan lipase
folikular yang memecah asam lemak bebas dari lipid kulit. Asam
lemak ini dapat mengakibatkan inflamasi jaringan ketika
berhubungan dengan sistem imun dan mendukung terjadinya

43
jerawat. Memproduksi enzim ekstraselular seperti protease dan
hyaluronidase yang dapat berperan penting dalam proses
inflamasi. Mengeluarkan faktor kemotatik, dimana aktivitas
kemotatik ditemukan pada komedo.

Propionibacterium Acnes terbagi menjadi tiga tipe: tipe I


(IA dan IB), tipe II, tipe III. Dimana tipe IA diketahui sangat
berhubungan dengan kejadian jerawat namun tipe IB tidak
berkaitan dengan acne.

4. Produksi Sebum
Hubungan antara tingginya sekresi sebum dengan kejadian acne
didukung oleh setidaknya tiga bukti berikut :
1. Jerawat tidak terdapat pada anak kecil dengan rentang usia 2
sampai 6 tahun, dimana sekresi sebum sangat rendah.
2. Rata-rata sekresi sebum lebih tinggi pada orang yang
memiliki jerawat dibandingkan dengan orang dengan kulit
yang normal.
3. Terapi yang mengurangi produksi sebum (seperti estrogen
atau 13-cis-retinoic acid) memperbaiki acne.

44
2.3.5 Web Of Caution Acne

2.3.6 Penatalaksanaan Acne


1. Penatalaksanaan Umum
a. Pentingnya pembersihan dalam pengobatan jerawat, yaitu
mencuci muka minimal dua kali sehari dengan cara yang
lembut diikuti dengan pemberian terapi pengobatan jerawat.
b. Diet.

45
2. Agen topikal
a. Sulfur/Sodium Sulfacetamide/resorcinol.
b. Asam Salisilat
c. Benzoil peroksida
d. Antibiotik topical
e. Retinoid
3. Terapi sistemik
a. Antibiotik
i. Tetrasiklin
ii. Macrolides
iii. Trimethoprim-sulfamethoxazole
iv. Cephalexin
v. Clindamycin dan Dpsone
b. Hormon Therapy
i. Oral Contraceptives
ii. Glucocorticoids
iii. Gonadotropin-Releasing Hormone Agonist.
iv. Antiandrogens
c. Isotretinoin
4. Tindakan
a. Acne surgery
b. Intralesional glukokortikoid
c. Phototherapy dan laser

46
Bab 3

Tinjauan Pustaka Asuhan Keperawatan

3.1 Asuhan Keperawatan Morbus Hansen


3.1.1 Pengkajian
1. Identitas klien
Penyakit kusta dapat menyerang semua umur, anak-anak (10-12
tahun)lebih rentan dari pada orang dewasa, sedangkan frekuensi
tertinggi yaitu pada kelompok dewasa (umur 25-35 tahun), dan
biasanya terjadi pada keluarga dengan status social ekonomi rendah.
2. Keluhan utama
Klien biasanya mengeluh ada bercak merah pada kulit tangan, kaki,
atau seluruh tubuh dan wajah yang kadang disertai dengan tangan dan
kaki kaku serta bengkak, kadang juga disertai nyeri atau mati rasa
ditambah lagi dengan suhu tubuh meningkat.
3. Riwayat penyakit sekarang
Adanya keluhan kaku pada jari-jari tangan dan kaki, nyeri pada
pergelangan tangan, tangan dan kaki bengkak disertai dengan suhu
tubuh meningkat. Biasanya klien dengan penyakit ini tidak dapat
mengeluarkan keringat atau mati rasa
4. Riwayat penyakit dahulu
Biasanya klien pernah menderita penyakit atau masalah dengan kulit
misalnya penyakit panu, kurab dan perawatan kulit yang tidak terjaga
dengan kata lain personal higine klien kurang baik.
5. Riwayat penyakit keluarga
Morbus hansen merupakan penyakit menular yang menahun yang
disebabkan oleh kuman kusta ( mikobakterium leprae) yang masa
inkubasinya diperkirakan 2-5 tahun. Jadi salah satu anggota keluarga
yang mempunyai penyakit morbus hansen akan tertular
6. Riwayat psikososial

47
Klien yang menderita morbus hansen akan malu karena sebagian besar
masyarakat akan beranggapan bahwa penyakit ini merupakan penyakit
kutukan, sehingga klien akan menutup diri dan menarik diri, sehingga
klien mengalami gangguan jiwa pada konsep diri karena penurunan
fungsi tubuh dan komplikasi yang diderita
7. Riwayat social ekonomi
Biasanya klien yang menderita penyakit ini kebanyakan dari
golonganmenengah kebawah terutam apada daerah yang
lingkungannya kumuh dan sanitasi yang kurang baik
8. Pola aktifitas sehari-hari
Aktifitas sehari-hari terganggu karena adanya kelemahan pada tangan
dan kaki maupun kelumpuhan. Klien mengalami ketergantungan pada
orang lain dalam perawatan diri karena kondisinya yang tidak
memungkinkan.
9. Pemeriksaan fisik
 System pengelihatan
Adanya gangguan fungsi saraf tepi sensorik, kornea mata
anastesi sehingga reflek kedip berkurang jika terjadi infeksi
mengakibatkan kebutaan, dan saraf tepi motorik terjadi
kelemahan mata akan lagophthalmos jika ada infeksi akan buta.
Pada morbus hansen tipe II reaksi berat, jika terjadi peradangan
pada organ-organ tubuh akan mengakibatkan irigocyclitis.
Sedangkan pause basiler jika ada bercak pada alis mata maka
alis mata akan rontok
 System pernapasan
Klien dengan morbus hansen hidungnya seperti pelana dan
terdapat gangguan pada tenggorokan.
 System persyarafan
a. Kerusakan Fungsi Sensorik
Kelainan fungsi sensorik ini menyebabkan terjadinya
kurang/ mati rasa. Alibat kurang/ mati rasa pada telapak

48
tangan dan kaki dapat terjadi luka, sedang pada kornea mata
mengkibatkan kurang/ hilangnya reflek kedip.
b. Kerusakan fungsi motoric
Kekuatan otot tangan dan kaki dapat menjadi lemah/
lumpuh dan lama-lama ototnya mengecil (atropi) karena
tidak dipergunakan. Jari-jari tangan dan kaki menjadi
bengkok dan akhirnya dapat terjadi kekakuan pada sendi
(kontraktur), bila terjadi pada mata akan mengakibatkan
mata tidak dapat dirapatkan (lagophthalmos).
c. Kerusakan fungsi otonom
Terjadi gangguan pada kelenjar keringat, kelenjar minyak
dan gangguan sirkulasi darah sehingga kulit menjadi kering,
menebal, mengeras dan akhirnya dapat pecah-pecah.
 System musculoskeletal
Adanya gangguan fungsi saraf tepi motorik adanya kelemahan
atau kelumpuhan otot tangan dan kaki, jika dibiarkan akan
atropi.
 System integument
Terdapat kelainan berupa hipopigmentasi (seperti panu), bercak
eritem (kemerah-merahan), infiltrat (penebalan kulit), nodul
(benjolan). Jika ada kerusakan fungsi otonom terjadi gangguan
kelenjar keringat, kelenjar minyak dan gangguan sirkulasi
darah sehingga kulit kering, tebal, mengeras dan pecah-pecah.
Rambut: sering didapati kerontokan jika terdapat bercak.
10. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan tambahan seperti pemeriksaan bakteriologi BTA positif,
serta pemeriksaan tanda-tanda vital sangat penting .

3.1.2 Diagnosis Keperawatan


a. Kerusakan integritas kulit b.d lesi dan proses inflamasi
b. Nyeri kronis b.d proses inflamasi jaringan
c. Harga diri rendah kronik

49
3.1.3 Intervensi Keperawatan

NO. DIAGNOSA NOC NIC


1. Kerusakan integritasTujuan : Kontrol infeksi
kulit berhubungan Setelah dilakukan tindakan Memastikan teknik
dengan lesi dan proses keperawatan dalam waktu perawatan luka sudah tepat
inflamasi 5x24 jam diharapkan klien R: supaya integritas kulit
dapat mencapai kriteria klien kembali membaik
Domain 11, kelas 2 hasil : dan tidak menular kepada
00046 Integritas Jaringan : orang lain
Kulit dan membran Meningkatkan intake
Definisi mukosa(1101) nutrisi klien dengan tepat
Kerusakan pada a. Tekstur kulit R: supaya klien tidak
epidermis dan/atau perlahan kembali mengalami kesulitan
sendirian normal imobilitas
b. Integritas kulit Mendorong klien untuk
perlahan kembali beristirahat
normal R: untuk memulihkan
c. Lesi pada kulit kesehatan dan
perlahan meningkatkan daya tahan
menghilang tubuh klien
d. Tidak ada Peningkatan latihan
penambahan Mendukung individu untuk
penebalan kulit memulai atau melanjutkan
Konsekuensi Imobilitas: latihan
Fisiologi (0204) R: supaya klien terhindar
a. Status nutrisi klien dari kelemahan otot dan
baik dan tidak sendi
terganggu Melakukan latihan bersama
b. Kekuatan otot klien individu jika diperlukan
membaik R: supaya klien melakukan
c. Pergerakan sendi latihan dengan benar dan
tidak terganggu terpandu
Perfusi jaringan : Perifer Memonitor kepatuhan
(0407) individu terhadap program
a. Edema perifer klien latihan
membaik atau tidak R: supaya perawat
memburuk mengetahui prognosis dari
b. Klien mulai bisa latihan klien
merasakan pada Pemberian: obat kulit
daerah yang Mencatat riwayat medis
terkena morbus dan riwayat alergi klien
Hansen/ tingkat R: supaya tidak terjadi
mati rasa berkurang alergi yang dapat
c. Tidak terjadi memperparah kondisi klien
kerusakan kulit Memberikan agen topical
sesuai yang diresepkan
R: agar perfusi jaringan

50
perifer klien kembali
membaik
Memonitor adanya efek
samping local dan sistemik
dari pengobatan
R: agar dapat segera
ditangani dan dicari
alternative pengobatan lain
2. Nyeri kronis Tujuan : Hipnosis
berhubungan dengan Setelah dilakukan tindakan Menentukan tujuan
proses inflamasi keperawatan dalam waktu hypnosis bersama klien
jaringan 2x24 jam diharapkan klien R: supaya klien
dapat mencapai kriteria mengetahui tujuan dari
Domain 12, kelas 1 hasil : hypnosis bagi kesembuhan
00133 Nyeri: Respon Psikologis penyakitnya
Tambahan (1306) Memberikan sugesti sedikit
Definisi a. Klien tidak lagi dengan cara asertif
Pengalaman sensorik merasa khawatir R: untuk mengurangi rasa
dan emosional tidak ditinggalkan oleh cemas dan khawatir
menyenangkan dengan orang-orang terhadap penyakitnya
kerusakan jaringan terdekatnya Membantu klien untuk
actual atau potensial, b. Klien tidak merasa mengidentifikasi teknik
atau digambarkan cemas karena hypnosis yang sesuai
sebagai suatu kerusakan; penyakitnya R: supaya klien merasa
awitan yang tiba-tiba c. Klien tidak merasa nyaman dan dapat
atau lambat dengan terisolasi karena mengurangi respon
intensitas dari ringan penyakitnya psikologis
hingga berat, terjadi Kontrol nyeri(1605) Fasilitasi meditasi
konstan atau berulang a. Klien dapat Menyiapkan lingkungan
tanpa akhir yang dapat mengenali kapan yang tenang
diantisipasi atau terjadinya nyeri R: supaya klien dapat
diprediksi dan b. Klien dapat mengontrol nyeri dengan
berlangsung lebih dari 3 melakukan baik
bulan tindakan Menganjurkan pasien
pencegahan nyeri untuk merilekskan semua
c. Klien dapat otot dan tetap santai
mengenali faktor R: untuk mengurangi
penyebab kecemasan dan ketakutan
timbulnya nyeri klien serta dapat
Status kenyamanan: berdampak pada
fisik(2010) pengurangan nyeri
a. Klien sejahtera Menginformasikan pasien
secara fisik untuk mengabaikan pikiran
b. Kepatenan jalan yang mengganggu
napas klien tidak R: supaya pasien dapat
terganggu tenang dan memiliki
c. Klien terhindar dari respon psikologis yang
perasaan sulit baik

51
bernafas Manajemen lingkungan :
kenyamanan
Menciptakan lingkungan
yang tenang dan
mendukung
R: supaya klien nyaman
dan dapat mempercepat
proses penyembuhan
Menyediakan lingkungan
yang aman dan bersih
R: supaya tidak terjadi
infeksi yang dapat
memperparah kondisi klien
Menghindari paparan dan
aliran udara yang tidak
perlu, terlalu panas,
maupun terlalu dingin
R: agar tidak terjadi
gangguan pada system
pernapasan klien
3. Harga diri rendah kronik Tujuan : Peningkatan harga diri
Setelah dilakukan tindakan Memonitor pernyataan
Domain 6, kelas 2 keperawatan dalam waktu pasien mengenai harga diri
00119 5x24 jam diharapkan klien R: agar perawat dapat
dapat mencapai kriteria mengetahui jika klien
Definisi hasil : sudah menerima dirinya
Evaluasi diri/perasaan Harga diri (1205) Membantu pasien untuk
negative tentang diri a. Klien menerima mengatasi bullying atau
sendiri atau kemampuan dirinya dengan ejekan
diri yang berlangsung verbalisasi R: untuk meningkatkan
lama. b. Klien menerima koping klien dan terhindar
keterbatasan yang dari respon psikologis yang
diderita negatif
c. Klien dapat Mendukung pasien untuk
berkomunikasi menerima tantangan baru
secara terbuka R: klien dapat menjalani
tentang perubahan di hidupnya,
penyakitnya baik dalam pekerjaan, gaya
d. Kepercayaan diri hidup, dan sebagainya
klien membaik Memfasilitasi lingkungan
Tingkat depresi (1208) dan aktivitas yang akan
a. Klien tidak merasa meningkatkan harga diri
depresi/ berkurang R: untuk meningkatkan
b. Klien tidak rasa kepercayaan diri
kehilangan Peningkatan koping
minatnya dalam Membantu pasien dalam
beraktivitas sehari- menyelesaikan masalah
hari dengan cara yang

52
c. Konsentrasi klien konstruktif
tidak terganggu R: supaya klien dapat
d. Klien tidak merasa beradaptasi terhadap
sedih yang disabilitas fisiknya
berlebihan Mendukung kemampuan
e. Klien tidak merasa dalam penerimaan
putus asa keterbatasan
f. Klien tidak merasa R: supaya klien memiliki
harga dirinya semangat hidup dan dapat
sangat rendah menerima keterbatasanyya
Adaptasi terhadap Mendukung pasien untuk
disabilitas fisik mengidentifikasi kekuatan
a. Klien dapat dan kemampun diri
menyampaikan R: supaya klien dapat
secara lisan memodifikasi gaya hidup
kemampuan untuk untuk mengakomodasi
menyesuaikan disabilitas
terhadap disabilitas Konseling
b. Klien dapat Membangun hubungan
beradaptasi yang terapeutik yang
terhadap didasarkan pada rasa saling
keterebatasan percaya dan saling
secara fungsional menghormati
c. Klien dapat R: supaya klien percaya
memodifikasi gaya terhadap apa yang perawat
hidup untuk katakan dan lakukan
mengakomodasi Membantu pasien untuk
disabilitas mengidentifikasi masalah
d. Klien dapat atau situasi yang
menerima menyebabkan stress
kebutuhan akan R: supaya klien dapat
bantuan fisik menangani masalah secara
individu dan terhindar dari
stres
Membantu pasien untuk
membuat daftar dan
memprioritaskan
kemungkinan alternative
penyelesaian masalah
R: supaya klien dapat
menjalani hidupnya dengan
baik

53
3.2 Asuhan Keperawatan Luka Bakar
3.1.1 Pengkajian
1. Identitas Klien
Terdiri atas nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan,
alamat, tanggal MRS, data pekerjaan perlu karena jenis pekerjaan
memiliki resiko tinggi terhadap luka bakar, agama dan pendidikan
menentukan intervensi yang tepat dalam pendekatan.
2. Keluhan Utama
Keluhan utama yang dirasakan oleh klien luka bakar (Combustio)
adalah nyeri, sesak nafas. Nyeri dapat disebabakna kerena iritasi
terhadap saraf. Dalam melakukan pengkajian nyeri harus
diperhatikan paliatif, severe, time, quality (p,q,r,s,t). sesak nafas
yang timbul beberapa jam / hari setelah klien mengalami luka
bakardan disebabkan karena pelebaran pembuluh darah sehingga
timbul penyumbatan saluran nafas bagian atas, bila edema paru
berakibat sampai pada penurunan ekspansi paru.
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Gambaran keadaan klien mulai tarjadinya luka bakar, penyebab
lamanya kontak, pertolongan pertama yang dilakuakn serta keluhan
klien selama menjalani perawatanketika dilakukan pengkajian.
Apabila dirawat meliputi beberapa fase : fase emergency (±48 jam
pertama terjadi perubahan pola bak), fase akut (48 jam pertama
beberapa hari / bulan ), fase rehabilitatif (menjelang klien pulang).
4. Riwayat Penyakit Sebelumnya
Riwayat penyakit yang mungkin pernah diderita oleh klien
sebelum mengalami luka bakar. Resiko kematian akan meningkat
jika klien mempunyai riwayat penyakit kardiovaskuler, paru, DM,
neurologis, atau penyalahgunaan obat dan alkohol.
5. Riwayat Penyakit Keluarga
Merupakan gambaran keadaan kesehatan keluarga dan penyakit
yang berhubungan dengan kesehatan klien, meliputi : jumlah
anggota keluarga, kebiasaan keluarga mencari pertolongan,

54
tanggapan keluarga mengenai masalah kesehatan, serta
kemungkinan penyakit turunan.
6. Pola ADL
Meliputi kebiasaan klien sehari-hari dirumah dan di RS dan apabila
terjadi perubahan pola menimbulkan masalah bagi klien. Pada
pemenuhan kebutuhan nutrisi kemungkinan didapatkan anoreksia,
mual, dan muntah. Pada pemeliharaan kebersihan badan
mengalami penurunan karena klien tidak dapat melakukan sendiri.
Pola pemenuhan istirahat tidur juga mengalami gangguan. Hal ini
disebabkan karena adanya rasa nyeri.
7. Riwayat Psiko Sosial
Pada klien dengan luka bakar sering muncul masalah konsep diri
body image yang disebabkan karena fungsi kulit sebagai kosmetik
mengalami gangguan perubahan. Selain itu juga luka bakar juga
membutuhkan perawatan yang lama sehingga mengganggu klien
dalam melakukan aktifitas. Hal ini menumbuhkan stress, rasa
cemas, dan takut.
8. Aktivitas / Istirahat
Tanda: Penurunan kekuatan, tahanan; keterbatasan rentang gerak
pada area yang sakit; gangguan massa otot, perubahan tonus.
9. Sirkulasi
Tanda (dengan cedera luka bakar lebih dari 20% APTT): hipotensi
(syok); penurunan nadi perifer distal pada ekstremitas yang cedera;
vasokontriksi perifer umum dengan kehilangan nadi, kulit putih
dan dingin (syok listrik); takikardia (syok/ansietas/nyeri); disritmia
(syok listrik); pembentukan oedema jaringan (semua luka bakar).
10. Integritas Ego
Gejala: masalah tentang keluarga, pekerjaan, keuangan, kecacatan.
Tanda: ansietas, menangis, ketergantungan, menyangkal, menarik
diri, marah.

55
11. Eliminasi
Tanda: haluaran urine menurun/tak ada selama fase darurat; warna
mungkin hitam kemerahan bila terjadi mioglobin, mengindikasikan
kerusakan otot dalam; diuresis (setelah kebocoran kapiler dan
mobilisasi cairan ke dalam sirkulasi); penurunan bising usus/tak
ada; khususnya pada luka bakar kutaneus lebih besar dari 20%
sebagai stres penurunan motilitas/peristaltik gastrik.
12. Makanan / Cairan
Tanda: oedema jaringan umum; anoreksia; mual/muntah.
13. Neurosensori
Gejala: area batas; kesemutan.
Tanda: perubahan orientasi; afek, perilaku; penurunan refleks
tendon dalam (RTD) pada cedera ekstremitas; aktifitas kejang
(syok listrik); laserasi korneal; kerusakan retinal; penurunan
ketajaman penglihatan (syok listrik); ruptur membran timpanik
(syok listrik); paralisis (cedera listrik pada aliran saraf).
14. Nyeri / Kenyamanan
Gejala: Berbagai nyeri; contoh luka bakar derajat pertama secara
eksteren sensitif untuk disentuh; ditekan; gerakan udara dan
perubahan suhu; luka bakar ketebalan sedang derajat kedua sangat
nyeri; smentara respon pada luka bakar ketebalan derajat kedua
tergantung pada keutuhan ujung saraf; luka bakar derajat tiga tidak
nyeri.
15. Pernafasan
Gejala: terkurung dalam ruang tertutup; terpajan lama
(kemungkinan cedera inhalasi).
Tanda: serak; batuk mengii; partikel karbon dalam sputum;
ketidakmampuan menelan sekresi oral dan sianosis; indikasi cedera
inhalasi. Pengembangan torak mungkin terbatas pada adanya luka
bakar lingkar dada; jalan nafas atau stridor/mengii (obstruksi
sehubungan dengan laringospasme, oedema laringeal); bunyi nafas:

56
gemericik (oedema paru); stridor (oedema laringeal); sekret jalan
nafas dalam (ronkhi).
16. Keamanan
Tanda:
Kulit umum: destruksi jaringan dalam mungkin tidak terbukti
selama 3-5 hari sehubungan dengan proses trobus mikrovaskuler
pada beberapa luka. Area kulit tak terbakar mungkin
dingin/lembab, pucat, dengan pengisian kapiler lambat pada
adanya penurunan curah jantung sehubungan dengan kehilangan
cairan/status syok.
Cedera api: terdapat area cedera campuran dalam sehubunagn
dengan variase
intensitas panas yang dihasilkan bekuan terbakar. Bulu hidung
gosong; mukosa hidung dan
mulut kering; merah; lepuh pada faring posterior;oedema lingkar
mulut dan atau lingkar nasal.
Cedera kimia: tampak luka bervariasi sesuai agen penyebab. Kulit
mungkin coklat kekuningan dengan tekstur seprti kulit samak
halus; lepuh; ulkus; nekrosis; atau jarinagn parut tebal. Cedera
secara mum ebih dalam dari tampaknya secara perkutan dan
kerusakan jaringan dapat berlanjut sampai 72 jam setelah cedera.
Cedera listrik: cedera kutaneus eksternal biasanya lebih sedikit di
bawah nekrosis. Penampilan luka bervariasi dapat meliputi luka
aliran masuk/keluar (eksplosif), luka bakar dari gerakan aliran pada
proksimal tubuh tertutup dan luka bakar termal sehubungan dengan
pakaian terbakar. Adanya fraktur/dislokasi (jatuh, kecelakaan
sepeda motor, kontraksi otot tetanik sehubungan dengan syok
listrik).

57
17. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum
Umumnya penderita datang dengan keadaan kotor mengeluh
panas sakit dan gelisah sampai menimbulkan penurunan tingkat
kesadaran bila luka bakar mencapai derajat cukup berat.
b. TTV
Tekanan darah menurun nadi cepat, suhu dingin, pernafasan
lemah sehingga tanda tidak adekuatnya pengembalian darah
pada 48 jam pertama.
c. Pemeriksaan kepala dan leher
1. Kepala dan rambut
Catat bentuk kepala, penyebaran rambut, perubahan
warna rambut setalah terkena luka bakar, adanya lesi
akibat luka bakar, grade dan luas luka bakar
2. Mata
Catat kesimetrisan dan kelengkapan, edema, kelopak
mata, lesi adanya benda asing yang menyebabkan
gangguan penglihatan serta bulu mata yang rontok kena
air panas, bahan kimia akibat luka bakar
3. Hidung
Catat adanya perdarahan, mukosa kering, sekret,
sumbatan dan bulu hidung yang rontok.
4. Mulut
Sianosis karena kurangnya supplay darah ke otak, bibir
kering karena intake cairan kurang
5. Telinga
Catat bentuk, gangguan pendengaran karena benda
asing, perdarahan dan serumen
6. Leher
Catat posisi trakea, denyut nadi karotis mengalami
peningkatan sebagai kompensasi untuk mengatasi
kekurangan cairan

58
d. Pemeriksaan thorak / dada
Inspeksi bentuk thorak, irama parnafasan, ireguler, ekspansi
dada tidak maksimal, vokal fremitus kurang bergetar karena
cairan yang masuk ke paru, auskultasi suara ucapan egoponi,
suara nafas tambahan ronchi
e. Abdomen
Inspeksi bentuk perut membuncit karena kembung, palpasi
adanya nyeri pada area epigastrium yang mengidentifikasi
adanya gastritis.
f. Urogenital
Kaji kebersihan karena jika ada darah kotor / terdapat lesi
merupakan tempat pertumbuhan kuman yang paling nyaman,
sehingga potensi sebagai sumber infeksi dan indikasi untuk
pemasangan kateter.
g. Muskuloskletal
Catat adanya atropi, amati kesimetrisan otot, bila terdapat luka
baru pada muskuloskleletal, kekuatan oto menurun karen nyeri
h. Pemeriksaan neurologi
Tingkat kesadaran secara kuantifikasi dinilai dengan GCS.
Nilai bisa menurun bila supplay darah ke otak kurang (syok
hipovolemik) dan nyeri yang hebat (syok neurogenik)
i. Pemeriksaan kulit
Merupakan pemeriksaan pada darah yang mengalami luka
bakar (luas dan kedalaman luka).

Prinsip pengukuran prosentase luas luka bakar menurut kaidah


9 (rule of nine lund and Browder) sebagai berikut :
Bagian Tubuh 1 Tahun 2 Tahun Dewasa
Kepala leher 18 % 14 % 9%
Ekstremitas atas (kanan dan kiri) 18 % 18 % 18 %
Badan depan 18 % 18 % 18 %
Badan belakang 18 % 18 % 18 %

59
Ekstremitas bawah (kanan dan 27 % 31 % 30 %
kiri)
Genetalia 1% 1% 1%

Pengkajian kedalaman luka bakar dibagi menjadi 3 derajat


(grade). Grade tersebut ditentukan berdasarkan pada keadaan
luka, rasa nyeri yang dirasanya dan lamanya kesembuhan luka.
3.1.2 Diagnosis Keperawatan
1. Nyeri akut b.d Agens cedera fisik 9mis., abses, amputasi, luka
bakar, terpotong, mengangkat berat, prosedur bedah, trauma,
olahraga berlebihan).
2. Risiko infeksi b.dGangguan integritas kulit.
3. Kekurangan volume cairan b.d peningkatan suhu tubuh
3.1.3 Intervensi Keperawatan
Diagnosa : Nyeri akut berhubungan dengan Agens cedera fisik (mis., abses,
amputasi, luka bakar, terpotong, mengangkat berat, prosedur bedah, trauma,
olahraga berlebihan)
NOC NIC Rasional
Tujuan: Pemberian analgesik Pemberian analgesik
Setelah dilakukan tindakan (2210) (2210)
keperawatan dalam waktu  Menentukan lokasi,  Nyeri hampir
1x24 jam, diharapkan karakteristik, selalu ada pada
berkurangnya rasa nyeri kualitas dan derajat beratnya,
pada klien dengan kriteria keparahan nyeri keterlibatan
hasil : sebelum mengobati jaringan atau
a. Klien mampu pasien kerusakan tetapi
mengontrol dan  Memberikan biasanya paling
mengatasi nyeri kebutuhan berat selama
secara mandiri kenyamanan dan penggantian
b. Status kenyamanan aktivitas lain yang balutan dan
klien baik dapat membantu debridement
relaksasi untuk  Membantu dalam
Kontrol nyeri (1605) memfasilitasi penurunan nyeri
 Mengenali kapan penurunan nyeri klien
nyeri terjadi  Berkolaborasi  Pemberian
(160502/4) dengan dokter analgesikd apat
 Menggunakan apakah obat dosis, menghilangkan
tindakan rute pemberian, atau rasa nyeri pada
pengurangan (nyeri) perubahan interval klien

60
tanpa analgesik dibutuhkan, buat Manajemen nyeri
(160504/4) rekomendasi khusus (1400)
 Melaporkangejala berdasarkan prinsip  Pemberian
yang tidak terkontrol analgesik analgesik dapat
pada profesional Manajemen nyeri menimbulkan
(1400)
kesehatan (160507/4) efek samping
Status kenyamanan : fisik  Memastikan bagi klien
(2010) perawatan  Agar klien dapat
 Kontrol terhadap analgesik bagi mengetahui
gejala (201001/4) pasien dilakukan bagaimana
 Posisi yang nyaman dengan memanajemen
(201004/4) pemantauan yang nyeri dengan baik
 Baju yang nyaman ketat  Agar klien dapat
(201005/4)  Mengajarkan mengatasi rasa
 Perawatan pribadi prinsip-prinsip nyeri yang
dan kebersihan manajemen nyeri diderita secara
(201006/4)  Mendorong pasien mandiri
untuk memonitor  Membantu
nyeri dan penurunan rasa
menangani nyeri nyeri yang
nya dengan tepat dirasakan klien
 Mendukung
istirahat/tidur yang
adekuat untuk
membantu
penurunan nyeri
Diagnosa : Kekurangan volume cairan berhubungan dengan peningkatan suhu
tubuh
NOC NIC Rasional
Tujuan: Manajemen cairan Manajemen cairan
Setelah dilakukan tindakan (4120) (4120)
keperawatan dalam waktu  Memonitor status  Status hidrasi
3x24 jam, diharapkan hidrasi (misalnya, klien dalam
berkurangnya rasa nyeri membran mukosa keadaan normal
pada klien dengan kriteria lembab, denyut nadi  Melihat kondisi
hasil : adekuat, dan pasien terkini
Menunjukkan perbaikan tekanan darah  Cairan pasien
keseimbangan cairan ortostatik) dapat terpenuhi
dibuktikan oleh tanda-tanda  Memonitor tanda- dengan baik
vital stabil dan membran tanda vital pasien  Menentukan
mukosa lembab  Memberikan cairan, intervensi
dengan tepat selanjutnya yang
Tanda-tanda vital (0802)  Berkonsultasi akan diberikan
 Suhu tubuh dengan dokter jika kepada klien
(080101/5) normal tanda-tanda dan terkait cairan
antara 36,5 – 37,5 gejala kelebihan Manajemen
derajat celcius volume cairan hipovolemi (4180)
61
 Tingkat pernapasan menetap atau  Peningkatan berat
(080204/5) normal memburuk badan 15-20%
12 -20 kali/menit Manajemen pada 72 jam
 Tekanan nadi hipovolemi (4180) pertama selama
(080209/5) normal  Menimbang berat pergantian cairan
60 – 100 kali/menit badan di waktu dapat diantisipasi
Integritas jaringan : Kulit & yang sama untuk
Membran Mukosa (1101) (misalnya., setelah mengembalikan
 Elastisitas BAK/BAB, keberat sebelum
(110103/4) sebelum sarapan) terbakar kira-kira
 Hidrasi (110104/4) dan memonitor 10 hari setelah
 Perfusi jaringan kecenderungan terbakar
(110111/4) (arah gejala))  Mengurangi atau
 Integritas kulit  Memonitor adanya menghilangkan
(110113/4) sumber-sumber sumber-sumber
kehilangan cairan yang dapat
(misalnya., menjadi
perdarahan, muntah, penyebab
diare, keringat yang hilangnya cairan
berlebihan, dan pasien
takipnea)  Cairan pasien
 Memonitor asupan terpenuhi dengan
dan pengeluaran baik
 Menghitung  Kebutuhan cairan
kebutuhan cairan pasien tergantung
didasarkan pada pada area tubuh
area permukaan yang terbakar
tubuh dan ukuran  Agar pasien
tubuh (terbakar), dan/atau keluarga
dengan tepat dapat mengatasi
 Mengintruksikan hipovolemia
pada pasien secara mandiri
dan/atau keluarga
tindakan-tindakan
yang dilakukan
untuk mengatasi
hipovolemia

3.3 Asuhan Keperawatan Acne Vulgaris


3.3.1 Pengkajian
1. Anamnesa
a. Data Umum Pasien
Acne sering dijumpai pada remaja dan dewasa muda, dan
berawal pada masa pubertas. Acne biasanya lebih sering dan

62
parah pada anak laki-laki. Orang dewasa, terutama wanita, dapat
mengalami acne rekuren.
Acne umum terjadi pada masa remaja, sebanyak 1% pria
dan 5% wanita membutuhkan terapi sampai berusia 40 tahun.
Onset biasanya terjadi saat menginjak remaja. Puncak keparahan
acne terjadi lebih dini pada anak perempuan daripada anak laki-
laki. Pada beberapa orang gangguan ini bisa berlangsung lebih
lama, dengan lesi yang terus berkembang hingga usia dewasa.
Data umum pasien meliputi:
a. Nama
b. Jenis kelamin
c. Usia
d. Pekerjaan
e. Alamat, dan lain-lain
b. Keluhan Utama
Seborea, komedo, papula, pustule, nodul, kista, dan
jaringan parut yang tersebar pada muka, leher, punggung, dan
dada. Komedo, papula dan pustule pada bahu, hidung, dagu,
dada bagian atas dan punggung. Dalam kasus yang berat,
seluruh wajah mungkin terlibat dan lesi mungkin menyembuh
dengan pembentukan jaringan parut. Kulit biasanya berminyak.
Biasanya keluhan yang dirasa paling mengganggu yaitu adanya
rasa nyeri dan kurangnya rasa percaya diri.
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Klien menceritakan tanda atau gejala atau perubahan yang
dialami dan sejak kapan munculnya acne itu sendiri. Lesi acne
bervariasi tergantung pada waktu. Sebagian besar pesien
menyadari adanya fluktuasi yang besar baik dalam hal jumlah
maupun tingkat keparahan bintik-bintik, sedangkan pada gadis
remaja, hal itu seringkali berhubungan dengan siklus
menstruasi. Keadaan ini sering manjadi bertambah buruk karena
adanya tekanan psikologis.

63
d. Riwayat Penyakit Dahulu
Perlu ditanyakan pernah menderita acne atau tidak pada
saat anak-anak. Acne yang khas kadang-kadang timbul pada
bayi dan anak-anak (terutama laki-laki), biasanya usia 3-12
bulan. Walaupun lesi ini mengihilang sesudah 4-5 tahun, anak
remaja sering kembali mendapatkan gangguan acne yang sangat
parah.
e. Riwayat Kesehatan Keluarga
Sebagian individu mungkin secara genetis rentan terhadap
acne, yang mungkin berkaitan dengan sensitivitas berlebihan
kelenjar sebasea terhadap androgen.

f. Pola Hidup (Life Style)


Pemakaian bahan-bahan kosmetika tertentu, secara terus-
menerus dalam waktu yang lama dapat menyebabkan suatu
bentuk acne ringan yang terutama terdiri dari komedo tertutup
dengan beberapa lesi pada pipi dan dagu. Kebiasaan jarang
menjaga kebersihan kulit juga dapat memicu timbulnya acne.
g. Pengkajian Psikososial
Dalam bukunya, Graham-Rowbin (2005) menjelaskan
bahwa adanya acne dapat membuat hidup menjadi tidak
menyenangkan, dan acne sering sekali terjadi pada orang-orang
yang berusia belasan dan dua puluhan tahun, yang merupakan
kelompok umur yang paling tidak siap menghadapi dampak
psikologis acne.
Bagian wajahlah yang paling sering terkena, dan bagi
remaja wajah bernilai penting, yang berkaitan dengan
pengembangan citra dirinya. Dampak psikologis dari acne tidak
selalu berhubungan dengan derajat keparahan sebagaimana yang
dianggap orang-orang. Seorang anak muda bisa menghabiskan
waktunya merengungi nasibnya dengan berlama-lama di depan

64
cermin, tidak peduli apakah yang tampak di sana hanya
beberapa bintik atau ratusan.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Warna
Bila muncul komedo, warnanya tergantung dari tipenya,
yaitu tertutup (whitehead) dan terbuka (blackhead). Komedo
tertutup lebih mudah diraba dan dilihat. Sedangkan komedo
tertutup adalah folikel rambut yang tertutup dan melebar, tetapi
tidak jelas apa penyebab bercak-bercak hitam yang khas itu.
Pada sebagian besar klien acne, timbul papula dan pustula.
Papula dan pustula dikenal baik sebagai bintik-bintik merah atau
pustula dengan dasar yang kemerahan. Bila sembuh, lesi dapat
meninggalkan eritema dan hiperpigmentasi pasca inflamasi.
b. Moisture
Kelembapan kulit yang dikaji adalah tingkat hidrasi kulit
terhadap basah dan minyak. Tanda fisik pertama yang perlu
diperhatikan adalah wajah dan tubuh bagian atas menjadi sangat
berminyak akibat peningkatan produksi sebum Walaupun hal ini
normal terjadi pada masa pubertas, tetapi pada akne produksi
sebum sangat berlebihan.
c. Temperatur
Dikaji dengan dorsal tangan. Pada area yang terdapat lesi,
suhunya lebih tinggi daripada area kulit yang lainnya. Hal ini
disebabkan karena adanya proses inflamasi pada lesi tersebut.
d. Texture
Palpasi tekstur kulit dengan menekan secara lembut
dengan ujung jari . Pada acne, ada lesi superficial yang biasanya
muncul 5 sampai 10 hari dan tidak menimbulkan bekas, tapi lesi
yang lebih besar biasanya sampai berminggu-minggu dan
menimbulkan bekas.

65
e. Turgor
Cara mengkajinya adalah dengan mengukur seberapa lama
kulit dan jaringan dibawahnya kembali ke bentuk awal setelah
ditarik. Biasanya pada kasus acne, turgor kulit normal yaitu < 3
detik.
f. Edema
Edema adalah penumpukan cairan yang berlebihan dalam
jaringan. Area edema dipalpasi untuk menentukan konsistensi,
temperature, bentuk, mobilisasi. Biasanya pada kasus acne, tidak
ditemukan edema.
g. Odor
Biasanya apabila lesi acne dipencet, akan mengeluarkan cairan
yang berbau.
h. Lesi
Akan terbentuk lesi (polimorf). Lesi yang khas adalah
komedo. Bila terjadi peradangan akan terbentuk papula, pustula,
nodul, dan kista. Bila sembuh, lesi dapat meninggalkan eritema
dan hiperpigmentasi pasca inflamasi, bahan dapat terbentuk
sikatrik seperti cetakan es yang atrofik dan keloid. Lesi terutama
timbul di daerah yang banyak mempunyai kelenjar palit, seperti
muka, punggung, leher, dada, bahu, dan telinga.
3. Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis jerawat (acne vulgaris) umumnya dapat ditegakkan
berdasarkan gejala klinis. Pemeriksaan penunjang jarang diperlukan
dalam diagnosis jerawat. Pemeriksaan laboratorium dilakukan pada
pasien acne jika dicurigai adanya hiperandrogenisme. Pada pasien
dengan tanda virilisasi perlu pemeriksaan lengkap dari level
testosterone seperti testosteron bebas, DHEA-S, hormon luteinizing,
dan follicle-stimulating hormone.
Kultur dari lesi kulit dapat menyingkirkan kemungkinan
folikulitis gram negatif, dilakukan jika pasien tidak merespon
pengobatan atau perbaikan tidak dapat dipertahankan.

66
3.3.2 Diagnosis Keperawatan

a. Nyeri akut b.d terbentuknya seborea, komedo, papula, pustule,


nodul, inflamasi secara sekunder.
b. Kerusakan integritas kulit b.d terbentuknya sikatrik seperti cetakan
es yang atrofik dan keloid.
c. Risiko infeksi b.d peradangan akut akibat manipulasi lesi.
d. Gangguan citra tubuh b.d rasa malu dan frustrasi terhadap tampilan
diri.

3.3.3 Intervensi Keperawatan

NO. Diagnosis Intervensi Keperawatan


Keperawatan
NOC NIC

1. Nyeri akut b.d Setelah melakukan tindakan Pengurangan Kecemasan


terbentuknya keperawatan selama …x 24 Aktivitas keperawatan :
seborea, komedo, jam diharapkan klien akan : 1. Gunakan pendekatan yang
papula, postule, 1. Kontrol Nyeri tenang dan meyakinkan
nodul, inflamasi Kriteria hasil : 2. Nyatakan dengan jelas
secara sekunder 1. Mengenali kapan nyeri harapan terhadap perilaku
terjadi secara konsisten. klien
2. Menggambarkan faktor 3. Jelaskan semua prosedur
penyebab secara terasuk sensai yang akan
konsisten. dirasakan yang mingkin
3. Menggunakan tindakan akan dialami klien selama
pencegahan secara prosedur (dilakukan)
konsisten. 4. Berada disisi klien untuk
4. Menggunakan tindakan meningkatkan rasa aman
penguarangan (nyeri) dan mengurangi ketakutan
tanpa analgesik secara 5. Dorong keluarga untuk
konsisten. mendampingi klien
5. Mengenali apa yang dengan cara yang tepat
terkait dengan gejala 6. Berikan objek yang
nyeri. menunjukkan perasaan
2. Tingkat Nyeri aman
Kriteria hasil : Pemberian Obat
1) Nyeri yang dilaporkan Aktivitas Keperawatan :
tidak adaPanjangnya 1. Pertahankan aturan daan
episode nyeri tidak ada. prosedur yang sesuai
2) Ekspresi nyeri wajah dengan keakuratan dan
tidak ada. keamanan pemberian
3) Tidak bisa beristirahat obat-obatan
tidak ada. 2. Pertahankan lingkungan

67
4) Mengeluarkan keringat ang bisa memaksimalkan
tidak ada keamanan dan efektivitas
5) Berkeringat berlebihan pemberian obat-obatan
tidak ada. 3. Hindari insterupsi ketika
menyiapkan,
memferifikasi dan
memberikan obat
4. Ikuti prosedur lima benar
dalam pemberian obat
5. Verifikasi resep obat-
oatan sebelum pemberian
obat
6. Resepkan atau
rekomendasikan obat
yang sesuai berdasarkan
kewenangan untuk
meresepkan
7. Monitor kemungkinan
alergi terhadapa obat,
interaksi dan kontra
indikasi termasuk obat-
obatan diluar konterdan
obat-obatan herbal
8. Catat alergi yang dialami
klen sebelum pemberian
obat dan tahan obat-
obatan jka diperlukan
9. Beritahukan klien
mengenai jenis obat,
alasan pemberian obat,
hasil yang diharapkan dan
efek lanjutan yang akan
terjadi sebelum
pemberian obat
10. Pastikan bahwa obat-
obatan hipnotik,narkotik,
dan antibiotic sudah
diperhentikan atau
diresepkan kembali
dengan awal yang baru.
Manajemen Obat
Aktivitas Keperawatan :
1. Temukan obat apa yang
diperlukan, dan kelola
menrut resap dan/ atau
protocol
2. Diskusikan masalah
keuangan yang berkaitan

68
dengan regimen obat
3. Tentukan kemampuan
pasien untuk mengobati
diri sendiri dengan cara
yang tepat
4. Monitor efektivitas cara
pemberian obat yang
sesuai
5. Monitor pasien mengenai
efek terapeutik obat
6. Monitor tanda dan gejala
toksisitas obat
7. Monitor efek samping
obat
8. Monitor interaksi obat
yang non terapeutik
9. Kaji ulang pasien dan/
atau keluarga secara
berkala mengenai jenis
dan jumlah obat yang
dikonsumsi .
Pengalihan
Aktivitas Keperawatan :
1. Motivasi individu untuk
memilih teknik pengalihan
yang diinginkan
(contohnya: music, terlibat
dalam percakapan atau
menceritakan dengan rinci
sebuah peristiwa atau
cerita, mengingat
kejadian/ peristiwa positif,
berfokus apada foto atau
objek netral, imajinasi
terbimbing, humor, atau
latihan pernafasan dalam).
2. Ajarkan pasien mengenai
manfaat merangsang
berbagai indera
(contohnya: music,
berhitung, tevisi,
membaca, video/ game
genggam, atau teknologi
realitas maya)
3. Gunakan teknik
distraksi/pengalihan untuk
nak yang baru dan
menstimulasi lebih dari

69
satu indera, serta tidak
memerlukan percakapan
menulis dan membaca
ataupun kemampuan
berpikir (contohnya :
bermain, terapi aktivitas,
membaca cerita,
menyanyikan lagu-lagu,
atau kegiatan irama)
4. Sarankan tekni
(pengalihan) yang sesuai
dengan tingkat energy,
kemampuan, kesesuaian
usia, tingkat
perkembangan, dan
keefektifan
penggunaannya
(pengalihan) di msal lalu
2. Identifikasi bersama
pasien mengenai daftar
kegiatan yang
menyenangkan (misalnya
: olah raga, berjalan kaki,
mandi gelembung,
berbicara dengan teman-
teman/ keluarga)
2. Bedakan isis teknik
distraksi/ pengalihan,
berdasarkan keberhasilan
penggunaan di masa lalu
dan usia atau tingkat
perkembangan
3. Sarankan pasien untuk
berlatih teknik distraksi/
pengalihan sebelum
waktu yang dibutuhkan,
jika memungkinkan
4. Ajarkan pasien cara
terlibat di dalam
pengalihan (misalnya,
menganjurkan kata netral,
penggunaan peralatan
atau bahan) sebelum saat
hal tersebut

2) Kerusakan integritas Setelah melakukan tindakan Pemberian Obat : kulit


kulit b.d keperawatan selama …x 24 Aktifitas keperawatan :
terbentuknya jam diharapkan klien akan : 1. Ikuti prinsip 5 benar

70
sikatrik seperti 1. Integritas Jaringan : Kulit pemberian obat
cetakan es yang dan Membran Mukosa 2. Catat riwayat medis
atrofik dan keloid Kriteria hasil : pasien dan riwayat alergi
1) Suhu tidak terganggu 3. Tentukan kondisi kulit
2) Sensasi tidak terganggu pasien diatas area dimana
3) Elastisitas tidak obat akan diberikan
terganggu 4. Buang sisa obat
4) Terkstur tidak sebelumnya dan bersihkan
terganggu kulit
5) Intergritas kulit tidak 5. Sebarkan obat diatas kulit
terganggu sesuai dengan kebutuhan
6) Perfusi jaringan tidak 6. Monitor adanya efek
terganggu smaping lokal dan
7) Pengelupasan kulit sistemik dari pengobatan
tidak ada 7. Ajarkan dan monitor
8) Wajah pucat tidak ada teknik pemberian mandiri,
sesuai kebutuhan
2. Status Nutrisi 8. Dokumentasikan
Kriteria hasil : pemberian obat dan
1) Asupan nutrisi tidak respon pasien, sesuai
menyimpang dari dengan protokol instruksi
rentang normal Pengecekan kulit
2) Asupan cairan tidak Aktifitas keperawatan :
menyimpang dari 1. Periksa kulit dan selaput
rentang normal lendir terkait dengan
3) Energi tidak adanya kemerahan,
menyimpang dari kehangatan ekstrem,
rentang normal edema dan drainase
4) Hidrasi tidak 2. Amati warna, kehangatan,
menyimpang dari bengkak, pulsasi, tekstur,
rentang normal edema dna ulserasi pada
ekstermintas
3. Monitor warna dan suhu
kulit
4. Monitor kulit untuk
adanya ruam dan lecet
5. Monitor kulit untuk
adanya kekeringan yang
berlebihan dan
kelembaban
6. Monitor sumber tekanan
dan gesekan
7. Monitor infeksi, terutama
dari daerah edema
8. Lakukan langkah-langkah
untuk mencegah
kerusakan lebih lanjut
9. Ajarkan anggota

71
keluarga/pemberi asuhan
mengenai tanda-tanda
kerusakan kulit dengan
tepat
Manajemen Nutrisi
Aktifitas keperawatan :
1. Tentukan status gizi dan
kemampuan (pasien)
untuk memenuhi
kebutuhan gizi
2. Identifikasi adanya alergi
atau intoleransi makanan
yang dimiliki pasien
3. Intruksikan pasien
mengenai kebutuhan
nutrisi (yaitu : membahas
pedoman diet dan
piramida makanan)
4. Berikan pilihan makanan
sambil menawarkan
bimbingan terhadap
pilihan (makanan) yang
sehat jika diperlukan
5. Monitor kalori dan asupan
makanan
3) Risiko infeksi b.d Setelah melakukan tindakan Perlindungan Infeksi
peradangan akut keperawatan selama …x 24 Aktifitas keperawatan :
akibat manipulasi jam diharapkan klien akan : 1. Monitor adanya tanda dan
lesi 1. Keparahan Infeksi gejala infeksi sistemik dan
Kriteria hasil : lokal
1) Kemerahan tidak ada 2. Monitor kerentanan
2) Cairan (luka) yang terhadap infeksi
berbau busuk tidak ada 3. Batasi jmlah pengunjung
3) Piuria/nanah dalam yang sesuai
urin tidak ada 4. Hindari kontak dekat
4) Demam tidak ada dengan hewan peliharaan
5) Hipotermia tidak ada dan penjamu dengan
6) Nyeri tidak ada imunitas yang
7) Hilang nafsu makan membahayakan
tidak ada 5. Skrining setiap
2. Status Imunitas pengunjung terkait
Kriteria hasil : penyakit menular
1) Fungsi gastrointestinal 6. Pertahankan aseptis untuk
tidak terganggu pasien beresiko
2) Fungsi respirasi tidak 7. Periksa kulit dan selaput
terganggu lendir untuk adanya
3) Suhu tubuh tidak kemerahan, kehangatan
terganggu ekstrem atau drainase

72
4) Integritas kulit tidak 8. Tingkatkan asupa nutrisi
terganggu yang cukup
5) Infeksi berulang tidak 9. Anjurkan asupan cairan
ada dengan tepat
6) Kehilangan berat badan 10. Anjurkan istirahat
tidak ada Manajemen Pengobatan
7) Reaksi kulit terhadap Aktifitas keperawatan :
paparan tidak 1. Tentukan obat yang
terganggu diperlukan dna kelola
menurut resep dan/atau
protokol
2. Tentukan kemampuan
pasien untuk mengobati
diri sendiri dengan cara
yang tepat
3. Monitor pasien mengenai
efek teraupetik obat
4. Monitor tanda dan gejala
toksisitas obat
5. Monitor efek samping
obat
6. Kaji ulang pasien secara
berkala mengenai jenis
dan jumlah obat yang
dikonsumsi
7. Kembangkan strategi
untuk mengelola efek
samping obat
8. Identifikasi jenis dan
jumlah obat bebas yang
digunakan
9. Kaji ulang bersama psien
dalam mengelola obat-
obatan
Pengecekan Kulit
Aktifitas keperawatan :
1. Periksa kulit dan selaput
lendir terkait dengan
adanya kemerahan,
kehangatan ekstrem,
edema dan drainase
2. Amati warna, kehangatan,
bengkak, pulsasi, tekstur,
edema dna ulserasi pada
ekstermintas
3. Monitor warna dan suhu
kulit
4. Monitor kulit untuk

73
adanya ruam dan lecet
5. Monitor kulit untuk
adanya kekeringan yang
berlebihan dan
kelembaban
6. Monitor sumber tekanan
dan gesekan
7. Monitor infeksi, terutama
dari daerah edema
8. Lakukan langkah-langkah
untuk mencegah
kerusakan lebih lanjut
9. Ajarkan anggota
keluarga/pemberi asuhan
mengenai tanda-tanda
kerusakan kulit dengan
tepat

4) Gangguan citra Setelah melakukan tindakan Peningkatan Citra Tubuh


tubuh b.d rasa malu keperawatan selama …x 24 aktivitas keperawatan :
dan frustrasi jam diharapkan klien akan : 1. Tentukan harapan citra
terhadap tampilan 1. Reaksi Terhadap Sisi diri pasien didasarkan
diri yang Terkena Dampak pada tahap perkembangan
Kriteria hasil : 2. Bantu pasien untuk
1) Mengakui sisi yang mendiskusikan perubahan-
terkena dampak sebagai perubahan (bagian tubuh)
bagian diri yang utuh disebabkan adanya
secara konsisten penyakit atau pembedahan
2) Melindungi sisi yang dengan cara yang tepat
terkena dampak ketika 3. Tentukan perubahan fisik
ambulasi secara saat ini apakah
konsisten berkontribusi pada citra
3) Melindungi sisi yang diri pasien
terkena dampak ketika 4. Bantu pasien memisahkn
mengambil posisi secara penampilan fisik dari
konsisten perasaan berharga secara
4) Melindungi sisi yang pribadi, dengan cara yang
terkena dampak ketika tepat
berpindah secara 5. Bantu pasien untuk
konsisten mendiskusikan perubahan-
5) Melakukan perawatan perubahan yang
sehari-hari untuk sisi disebabkan oleh pubertas,
yang terkena dampak dengan cara yang tepat
secara konsisten 6. Monitor frekuensi dari
2. Harga Diri pernyataan mengkritisi
Kriteria hasil : diri
1. Penerimaan terhadap Peningkatan Koping
keterbatasan diri Aktivitas keperawatan :

74
konsisten positif 1. Bantu pasien dalam
2. Mempertahankan kontak mengidentifikasi tujuan
mata konsisten positif jangka pendek dan jangka
3. Gambaran diri konsisten panjang dengan tepat
positif 2. Bantu pasien untuk
4. Menghargai orang lain memeriksa sumber-
konsisten positif sumber yang tersedia
5. Mempertahankan untuk memenuhi tujuan-
penampilan dan tujuannya
kebersihan diri konsisten 3. Dukung hubungan psien
positif dengan orang lain yang
6. Tingkat kepercayaan diri memliki ketertarikan dan
konsisten positif tujuan yang sama
7. Respon yang diharapkan 4. Bantu pasien
dari orang lain konsisten menyelesaikan masalah
positif dengan cara yang
8. Penerimaan terhadap konstruktif
kritik yang membangun 5. Dukung pasien untuk
konsisten positif mengidentifikasi deskripsi
9. Keinginan untuk yang realistik terhadap
berhadapan muka adanya perubahan dalam
dengan orang lain peran
konsisten positif 6. Gunakan pendekatan yang
10. Perasan tentang nilai tenang dan berikan
diri konsisten positif jaminan
7. Berikan suasana
penerimaan
8. Sediakan pasien pilihan-
pilihan yang realistis
mengenai aspek
perawatan
Peningkatan Harga Diri
Aktivitas keperawatan :
1. Monitor pernyataan pasien
mengenai harga diri
2. Tentukan fokus kontrol
pasien
3. Tentukan kepercayaan diri
pasien dalam penilaian
harga diri
4. Bantu pasien untuk
menemukan penerimaan
diri
5. Kuatkan kekuatan pribadi
yang diidentifikasi pasien
6. Berikan pengalaman yang
akan meningkatkan
otonomi pasien, engan

75
tepat
7. Jangan mengkritisi pasien
secara negatif
8. Dukung pasien untuk
menerima tantangan baru
9. Monitor tingkat harga diri
dari waktu ke waktu,
dengan tepat
10. Buat pernyataan positif
mengenai pasien

76
Bab 4

Penutup

4.1 Kesimpulan
Morbus Hansen, luka bakar, dan Acne Vulgaris atau jerawat merupakan
penyakit pada system integument. Morbus Hansen sebelumnya diketahui
hanya disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae, hingga ditemukan
bakteri Mycobacterium lepromatosis yang menyebabkan endemik sejenis
kusta di Meksiko dan Karibia, yang dikenal lebih khusus dengan sebutan
diffuse lepromatous leprosy. Luka bakar atau Combustio adalah kerusakan
pada kulit yang disebabkan oleh panas, kimia/radioaktif. (Long, 1996).
Combustio atau Luka bakar disebabkan oleh perpindahan energi dari sumber
panas ke tubuh. Panas tersebut dapat dipindahkan melalui konduksi/radiasi
elektromagnetik. Sedangkan untuk Acne Vulagris Menurut Afriyanti (2015),
penyebabnya sangat banyak (multifaktorial) antara lain faktor genetik, bangsa
ras, makanan, iklim, jenis kulit, faktor kebersihan, penggunaan kosmetik,
stress, infeksi, dan pekerjaan. Ketiga penyakit tersebut dapat menimbulkan
berbagai macam gejala dan dapat mengganggu kesehatan penderita. Dalam
masa penyembuhan dan perawatan penyakit, perawat diwajibkan dapat
memberikan asuhan keperawatan yang sesuai dengan kebutuhan penderita.

4.2 Saran
Setelah mengetahui dan memahami tentang teori penyakit dari asuhan
keperawatan Morbus Hansen, lukabakar dan acne vulgaris, diharapkan
mahasiswa dapat menerapkannya saat berada di lapangan dalam memberikan
asuhan keperawatan kepada penderita Morbus Hansen, luka bakar dan acne
vulgaris.

77
Daftar Pustaka

Andrianto, P., danSukardi, E., 1988, Kapita Selekta Dermato-Venerologi, Akne


Vulgaris, EGC, Jakarta, Hal : 132-135.

Anisa, Ridha Fauzia. 2018. Pengaruh Berbagai Konsentrasi Ekstrak Batang


Tanaman Andong (Cordyline Fruticosa (L) A. Chev.) Terhadap Diameter
Zona Hambat Bacterium Propionibacterium Acnes. Malang: Universitas
Muhammadiyah Malang.
Bab, I., Medik, K., & Definisi, A. B. Etiologi.
Http://Docshare01.Docshare.Tips/Files/24381/243814835.Pdf
Bulechek, G. M., Butcher, H. K., Dochteran, J. M., & Wagner, C. (2013). Nursing
Intervention Classification (Nic) 6th Edition. Oxford: Mosby Elsevier.
Carolia, Novita dan Noventi, Wulan. 2016. Potensi Ekstrak Daun Sirih Hijau
(Piper betle L.) sebagai Alternatif Terapi Acne vulgaris. Vol 5, No 1.
Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung.
Dr. Athieqah Asy, Patofisiologi Jerawat, Alomedika,
https://www.alomedika.com/penyakit/dermatovenereologi/jerawat [diakses
4 Maret 2019, pukul 07.14 WIB].
Ginting, E. P. (2014). Nyeri Neuropatik Berkorelasi Dengan Terganggunya
Kualitas Hidup Penderita Morbus Hansen(Doctoral Dissertation, Tesis).

Herdman, T. H., & Kamitsuru, S. (2014). Nanda International Nursing Diagnoses


Definitions And Classifications 10th Edition. Oxford: Wiley Blackwell.
Instruksional, P. D., Pangaribuan, I. N., Letak, T., & Suwarno, N. Hak Cipta©
Dan Hak Penerbitan Dilindungi Undang-Undang.

Moorhead, S., Johnson, M., Maas, M. L., & Swanson, E. (2013). Nursing
Outcomes Classifications (Noc) 5th Edition. Oxford: Mosby Elsevier.
Purwanto, Hadi.(2016).Keperawatan Medikal Bedah Ii.Jakarta Selatan.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.

78
Strauss, J. S., 1991, Acne & Rosacea, Dermathology, Ed. Milton Orkin, dkk., firs
edition, Alarge Medical Book, Hall International Inc., Minnesota, Hal :
332-339.
Wijayanti, S. A., & Husada, S. T. I. K. K. Terapi Latihan Pasif Untuk
Menurunkan Intensitas Nyeri Pada Asuhan Keperawatan Tn. D Dengan
Luka Bakar Derajat Ii Di Ruang Hcu Bedah Rumah Sakit Dr. Moewardi
Surakarta.

79

Anda mungkin juga menyukai