Anda di halaman 1dari 8

FRAMBUSIA

A. DEFINISI
Frambusia atau yang dikenal sebagai Yaws atau Patek adalah suatu penyakit infeksi yang
disebabkan oleh Treponema Pertenue yang mengakibatkan kerusakan jaringan kulit dan
tulang (Soegijanto, 2005). Frambosia sering menyerang anak-anak usia 2-15 tahun (lebih
sering pada laki-laki yang tinggal di daerah tropis dan pedesaan dengan hidup di bawah
garis kemiskinan, lingkungan yang kumuh dan sanitasi yang buruk.

Penyakit ini terjadi melalui kontak langsung dengan lesi pada kulit individu yang terinfeksi
atau tempat lain yang merupakan sumber infeksi seperti jari yang terkontaminasi dan jalur
penularannya adalah non-venural (bukan penyakit kelamin). Hal itulah yang membedakan
dengan organisme serumpunnya yaitu Treponema pallidum sebagi virus penyebab penyakit
sifilis. Port’d entree Treponema pertenue bisa melalui kulit yang tidak kontak sebelumnya
seperti luka karena trauma, gigitan, maupun proses ekskoriasi (goresan atau garukan
dikulit).

B. ETIOLOGI
Bakteri Treponema Pertenue adalah penyebab utama penyakit infeksi kulit Frambusia ini,
penyebarannya tidak melalui hubungan seksual tetapi mudah menular melalui kontak
langsung dengan lesi pada kulit penderita. Penyakit ini tumbuh subur di daerah iklim tropis
dengan karakteristik cuaca panas dan banyak hujan. Keadaan lingkungan yang kumuh,
sanitasi yang buruk, kurangnya fasilitas air bersih dan lingkungan yang padat penduduk juga
mendukung suburnya infeksi bakteri Treponema Pertenue ini. Kurangnya fasilitas
kesehatan umum yang memadai juga mendukung penyebab penyakit ini.

C. PATOFISIOLOGI
Penyakit ini terjadi melalui kontak langsung dengan lesi pada kulit individu yang terinfeksi
atau tempat-tempat lain yang merupakan sumber infeksi seperti jari yang terkontaminasi,
baik secara langsung maupun tidak langsung (perantara benda dan serangga) dengan lesi.
Port’d entree Treponema pertenue bisa melalui kulit yang tidak kontak sebelumnya seperti
luka karena trauma, gigitan, maupun proses ekskoriasi (goresan atau garukan dikulit)
Organisme ini akan mengadakan invasi ke jaringan limfatik yang ada pada lapisan subkutan
dan dilanjutkan penyebaran peredaran sistematik selama periode inkubasinya. Penularan
secara transplasental (dari ibu-ke janin) juga pernah dilaporkan. Letak predileksi Treponema
pertenue.

Pada awal terjadinya infeksi, agen akan berkembang biak di dalam jaringan penjamu,
setelah itu akan muncul lesi intinal berupa papiloma yang berbentuk seperti buah arbei, yang
memiliki permukaan yang basah, lembab, tidak bernanah dan tidak sakit, kadang disertai
dengan peningkatan suhu tubuh, sakit kepala, nyeri tulang dan persendian. Apabila tidak
segera diobati agen akan menyerang dan merusak kulit, otot, serta persendian

Terjadinya kelainan tulang dan sendi sering mengenai jari-jari dan tulang ektermitas yang
menyebabkan atrofi kuku dan deformasi ganggosa yaitu suatu kelainan berbentuk nekrosis
serta dapat menyebabkan kerusakan pada tulang hidung dan septum nasi dengan gambaran-
gambaran hilangnya bentuk hidung. Kelainan pada kulit adanya ulkus-ulkus yang
meninggalkan jaringan parut dapat membentuk keloid dan kontraktur.

D. WOC (WEB OF CAUTION)

Invasi bakteri Treponema


pertenue pada jaringan limfatik
pada lapisan subkutan

Menginduksi rasa Pengeluaran Menginduksi rasa


gatal mediator inflamasi nyeri

MK : Gangguan Timbul respon MK : Nyeri akut


rasa nyaman inflamasi
(gatal) (bengkak)

Muncul lesi berupa Luka mengering dan


papiloma menimbulkan ruam

MK : Kerusakan Merasa nyeri saat


integritas kulit berjalan

MK : Gangguan
mobilitas fisik
E. KLASIFIKASI
Pada tahun 1952, WHO menyelenggarakan First International Symposium on Yaws Conrol
di Bangkok. Pertemuan ini menghasilkan lesi klinis frambusia untuk kepentingan praktis
bagi klinisi di lapangan. Klasifikasi tersebut membagi lesi frambusia menjadi 9 jenis, antara
lain:
I. Lesi inisial (papiloma)
II. Papilomata multipel
III. Papiloma plantar dan palmar
IV. Lesi kulit tahap awal lain
V. Hiperkeratosis
VI. Gumata, ulkus, dan gangosa
VII. Lesi tulang dan sendi
VIII. Frambusia laten
IX. Manifestasi laten
Klasifikasi ini sesuai bagi klinisi di daerah endemik. Sedangkan, frambusia laten dapat
dideteksi dengan pemeriksaan serologis. Pada tahun 1955, dilaksanakan Second
International Conferemce on Yaws di Enugu, Nigeria. Pada konferensi terdapat modifikasi
klasifikasi sebelumnya menjadi lebih sederhana, antara lain:
1. Frambusia aktif (individu yang memiliki lesi kulit)
Frambusia ini terdiri dari gabungan 9 jenis lesi pada klasifikasi sebelumnya yang terbagi
menjadi:
a. Lesi infeksius atau berpotensi infeksius (lesi I, II, III, dan IV), dan
b. Lesi non-infeksius, yang terdiri atas hhiperkeratosis (lesi V), dan lesi aktif lanjut
(lesi VI, VII, dan IX).
2. Frambusia inaktif
Frambusia ini terdiri dari skar, deformitas, ata lesi lain yang masuk dalam stadium tersier
dan tidak lagi aktif secara klinis.
3. Tanpa lesi kulit
Frambusia jenis ini terdiri atas individu yang telah terinfeksi dan sedang berada dalam
fase laten, individu dalam masa inkubasi, maupun yang murni tidak terinfeksi.

F. MENIFESTASI KLINIS
Masa inkubasi Frambosia adalah 3-5 minggu, dalam garis besar perjalanan penyakitnya,
akan didahului dengan timbulnya lesi awal pada kulit yang bersifat kumat-kumatan, tiadk
bersifat destruktif, kemudian timbul lesi kedua pada kulit dan tulang. Pada tahap lanjut,
kerusakan pada kulit, jaringan tulang rawan maupun keras, sendi dan jaringan lunak
disekitar dapat terjadi.

Manifestasi klinis Frambosia secara spesifik dibagi 3 stadium, yaitu:


1. Stadium Awal (Primer)
Sekitar 3-5 minggu setelah individu terpapar frambusia, terdapat benjolan berbentuk
papula tunggal yang akan tampak pada kulit, paling sering terdpat pada tungkai atau
pantat. Benjolan akan berkembang menjadi papiloma dengan bentuk buah frambus
(raspberry). Kemudian secara perlahan akan tumbuh membesar dan membentuk lapisan
luar yang kering, tipis, dan kekuningan yang terasa sangat gatal. Selain itu, juga terdapat
pembesaran kelenjar getah bening regional. Benjolan tersebut dapat sembuh spontan
dalam jangka waktu 6 bulan dan sering menimbulkan bekas berupa jaringan parut.
2. Stadium Kedua (Sekunder)
Tahap selanjutnya dari frambosia dapat terjadi jika benjolan tersebut masih tetap ada
atau tidak ada sampai beberapa minggu atau bulan setelah stadium awal sembuh. Pada
stadium ini akan berbentuk ruam yang kering pada kaki, pantat, lengan maupun wajah.
Bagian telapak kakijuga bisa tertutup dengan luka yang mengalami pengeringan dan
penebalan yang disebut hiperkeratosis. Jika luka ini terus berkembang akan
menimbulkan sukar berjalan dan terasa nyeri sekali bila berjalan, sehingga
memaksakan individu yang terinfeksi untuk memposisikan dirinya dalam berjalalan
seperti kepiting (crab yaws). Pada tahap ini jaringan tulang dan sendi juga dapat
terkena, meskipun tidak menimbulkan destruksi.

3. Stadium Ketiga (Tersier)


Hanya 10% dari individu yang terinfeksi dalam perjalanan penyakitnya akan
berkambang menjadi tahap lanjut. Hal ini timbul kurang lebih 5 tahun setelah
timbulnyagejala pada masa satdium awal. Pada stadium ini, rentan terjadi kerusakan
berat pada kulit, tulang dan sendi, terutama pada daerah kaki. Terdiri atas nodus, guma,
gangosa, dan goundou. Disfigurisasi dari bentuk wajah yang disebut gangosa atau
rhinofaringitis. Kuman ini menyerang dan merusak bagian jaringan tulang rawan dari
hidung, rahang atas dan palatum, dan beberapa bagian dari faring.

Bentuk hidung yang menjorok ke dalam sehingga wajah tampak lebih menonjol kedepan
yang dikenal dengan istilah .Guma umumnya terdapat pada tungkai. Mulai dengan nodus
yang tidak nyeri, keras, dapat digerakkan terhadap dasarnya, kemudian melunak;
memecah dan meninggalkan ulkus yang curam (punched out), dapat menembus sampai
ke tulang atau sendi dan mengakibatkan ankilosis dan deformitas. Tulang tibia dapat
mengalami deformitas pada tulang yang dikenal dengan saber shins (saber tibia). Juga
terdapat lesi sendi yang ditandai dengan terbentuknya nodul-nodul pada juxta-articular.
Secara singkat, dapat kita lihat pada tabel sebagai berikut:
Stadium I  Predileksi : tungkai bawah yang terdapat trauma.
 Lesi kulit : papul eritematosa yang membesar (disebut frambesioma)
dalam 3-6 minggu. Papul akan berkembang menjadi ulkus dengan
dasar papilomatosa dan krusta kuning kehijauan.
 Dapat ditemukan pembesaran kelenjar getah bening dengan
konsistensi keras dan tidak nyeri
 Fase ini bertahan selama beberapa bulan dan sembuh sendiri dengan
meninggalkan sikatriks
Stadium II  Lesi kulit tersebar generalisata : papul-papul berkelompok dengan
ukuran milier sampai lentikular tersusun korimbiformis, arsinar atau
numular. Papul muncul 3-12 bulan setelah sejak dimulainya
penyakit. Lesi ini akan menjadi basah dan membentuk krusta.
Stadium ini sangat infeksius.
 Pada telapak kaki terjadi keratoderma (dry crab yaws) sehingga
pasien berjalan seperti kepiting karena nyeri. Tulang panjang pada
ekstremitas juga dapat terserang.
Stadium III  Pada stadium ini terjadi destruksi pada kulit, tulang, dan persendian.
 Nodus : dapat melunak dan menjadi ulkus
 Guma : nodus tidak nyeri yang melunak dan menjadi ulkus yang
curam hingga ke tulang atau sendi menyebabkan ankilosis atau
deformitas. Biasanya terjadi pada area tungkai.
 Tulang : periostitis dan osteitis pada tibia, ulna, metatarsal, dan
metakarpal. Dapat pula terjadi fraktur spontan.
 Gangosa : mutilasi fosa nasalis, palatum mole sehingga terbentuk
lubang dan suara menjadi sengau.
 Goundou : eksositosis tulang hidung dan sekitarnya.
G. KOMPLIKASI
Frambusia dapat sembuh spontan dalam jangka waktu kurang lebih 6 bulan. Namun bila
penyakit ini berkembang sampai ke stadium lanjut, kuman akan menginvasi tetapi hanya
sebatas ke jaringan kulit, tulang rawan, tulang keras, sendi dan jaringan lunak. Hal ini
kemudian menimbulkan dekstrusi berat dengan manifes seperti gangosa, saber tibia, nodul
juxta-artikular, gondou, monodaktilis, dan lain-lain tidak seperti sifilis, frambosia pada
tahap lanjut tidak menimbulkan kerusakan pada sitem saraf, viseral, dan kardiovaskular.

H. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Tes Serologi
Tes serologi Treponema pallidum dapat digunakan pada semua Treponemiasis non-
veneral, yaitu:
a. Rapid Plasma Reagent (RPR) test
b. Veneral Disease Research Laboratory (VDRL) test
c. Fluorescent Treponemal Antibody Absorbtion (FTA_ABS) test
d. Treponema pallidum Immobilization (TPI) test
e. Treponema pallidum Hemaglutination Assay (TPHA)

Pemeriksaan VDRL dan RPR paling sering digunakan dan sangat reaktif dalam 2-3
minggu setelah timbulnya lesi primer, kedua pemeriksaan tersebut akan tetap reaktif
pada semua stadium. Akan tetapi perlu diperhatikan bahwa semua jenis pemeriksaan
serologis tersebut tidak dapat membedakan masing-masing dari semua subspecies
Treponema.
2. Mikroskop Lapangan Gelap
Salah satu sarana lain dalam menunjang diagnosis yaitu dengan menggunakan
mikroskop metode lapangan gelap, dimana spesimennya berupa serum yang didapat
dengan cara mengambil bagian basal dari lesi.
3. Pemeriksaan Histo-patologis
Pada stadium awal akan ditemukan akanditosis, papilomatosis, dan spongiosis.
Eksositosis sel-sel neutrofil disertai mikroabses pada intraepidermal merupakan
gambaran yang khas pada stadium ini. Pada dermis, terbentuk infiltrat bergranul yang
amat padat, yang terdiri atas sel-sel plasma, limfosit, histiosit, neutrofil, dan eosinofil.
Tidal seperti sifilis, pada frambosia tidak terjadi poliferasi dari sel-sel endotel.
pada stadium lanjut terdapat gambar infiltrat yang gelap dan bakteri Treponema
pertenue hanya terdapat pada lapisan epidermis.
4. Pemeriksaan Radiologis

I. PENCEGAHAN
Frambusia bila tidak segera ditangani akan menjadi penyakit kronik, yang bisa
kambuh dan menimbulkan gejala pada kulit, tulang dan persendian. Pada 10% kasus
pasien stadium tersier, terjadi lesi kulit yang destruktif dan memburuk menjadi lesi pada
tulang dan persendian. Kemungkinan kambuh dapat terjadi lebih dari 5 tahun setelah
terkena infeksi pertama. Strategi pemberantasan frambusia terdiri dari 4 hal pokok yaitu:
a. Skrining terhadap anak sekolah dan masyarakat usia di bawah 15 tahun untuk
menemukan penderita.
b. Memberikan pengobatan yang akurat kepada penderita di unit pelayanan kesehatan
(UPK) dan dilakukan pencarian kontak.
c. Penyuluhan kepada masyarakat tentang perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS).
Perbaikan kebersihan perorangan melalui penyediaan sarana dan prasarana air bersih serta
penyediaan sabun untuk mandi.
J. PENATALAKSANAAN
A. Obat pilihan pertama dalah Benzatin Penisilin G
B. Dosis: < 10 tahun 0,6 juta Unit IM sekali sehari
 10 tahun 1,2 juta Unit IM sekali sehari
C. Bila alergi Penisilin dapat digunakan Tetrasiklin
D. Dosis: < 8 tahun tidak dianjurkan
 >8 tahun 250 mg/dosis peroral 4x sehari, selama 15 hari
E. Dapat pula dengan Eritromisin
F. Dosis: 10 mg/kgBB/ dosis peroral 4x sehari, selama 15 hari
G. Dapat pula dengan Doxicilin
H. Dosis: > 8 tahun: 2-5mg/kgBB dosis peroral 4x sehari selama 15 hari
 < 8 tahun: 100mg dosis peroral 2x sehari selama 15 hari
I. PROGNOSIS
1. Pengobatan pada frambosia sering berhasil, penyakit ini jarang menimbulkan kondisi
yang mematikan.
2. Bila terjadi alergi/shock anafilatik, digunakan suntikan adrenalin/epinefrin yang
dicampur PZ 1:1000 dengan dosis 0.01 ml/kgBB, subkutan, bisa diulang sampai 3 kali
kalau perlu dengan interval pemberian selama 1 menit.
3. Bila terjadi kontak dengan penderita dapat diberikan Benzathin Penisilin dengan dosis
yang sama.
J. DAFTAR PUSTAKA
Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur. 2003. Laporan epidemiologi frambosia tahun 1984-
2003. Surabaya : Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur.

Natahusada EC. 2010. Frambusia dalam Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.Ed 5. Jakarta :
Fakultas kedokteran universitas Indonesia.

R., Rany. 2014. Kesesuaian Gambaran Klinis Frambusia Menurut Pedoman World Health
Organization (WHO) dengan Kepositivan Treponema Pallidum Hemagglutination Assay
(TPHA). Jakarta : Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.

SMF Kesehatan Kulit dan Kelamin FK Unair/RSUD De.Soetomo Surabaya. ATLAS Penyakit
Kulit dan Kelamin Edisi 2. Surabaya : Airlangga University Press 2009

Soegijanto, Soegeng. 2005. Kumpulan makalah Penyakit Tropis dan Infeksi di Indonesia Jilid
4. Surabaya. Surabaya : Airlangga University Press.

Anda mungkin juga menyukai