Anda di halaman 1dari 36

LAPORAN PENDAHULUAN KLIEN DENGAN FRAKTUR FEMUR

Disusun guna memenuhi tugas praktik profesi Keperawatan Bedah

Oleh

Moh. Kholil Fadel Rabbani


NIM 192311101223

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2020
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Tugas Stase Keperawatan Bedah yang disusun oleh:

Nama : Moh. Kholil Fadel Rabbani

NIM : 192311101223

Judul : Laporan Pendahuluan Klien dengan Fraktur Femur

telah diperiksa dan disetujui oleh pembimbing pada:


Hari : Senin
Tanggal : 14 April 2020

Jember, 14 April 2020

TIM PEMBIMBING

Pembimbing Akademik, Pembimbing Klinik,

Ns. Siswoyo, M.Kep


19800412 200604 1 002 NIP

ii
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL.............................................................................................i
LEMBAR PENGESAHAN..................................................................................ii
DAFTAR ISI…………………………………………………………………….iii
BAB 1. TINJAUAN PUSTAKA
A. Review Anatomi fisiologi..................................................................1
B. Definisi.......………...........................................................................3
C. Epidemiologi…………………………………………………….…3
D. Etiologi..............................................................................................3
E. Patofisiologi………………………………………………….……..4
F. Manifestasi Klinis..............................................................................5
G. Klasifikasi ………………………………………………………….6
H. Pemeriksaan Penunjang ...................................................................6
I. Penatalaksanaan Medis…………………………………………….7
J. Pathway….......................................................................................11
BAB 2. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian….………………………………………………….….12
B. Diagnosa….….….………………………………………………...19
C. Intervensi…….……………………………………………………20
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………...33

iii
TINJAUAN PUSTAKA

A. Review Anatomi Fisiologi


Sistem rangka ialah bagian-bagian tubuh yang terdiri atas tulang,
persendian, dan juga tulang rawan (kartilago) sebagai tempat melekatnya otot
dan memungkinkan tubuh untuk mempertahankan postur, sikap, dan posisi.
Tulang disebut sebagai system alat gerak pasif karena hanya mengikuti
gerakan otot. Akan tetapi tulang tetap memiliki fungsi penting bagi tubuh
manusia karena gerakan tubuh tidak akan pernah terjadi tanpa adanya tulang.
Berikut fungsi dari sistem skeletal/rangka tubuh manusia, diantaranya:
1. Penyangga postur tubuh, sebagai tempat menempelnya ligamen, otot,
jaringan lunak serta organ tubuh. Membentuk kerangka yang tentunya
memiliki fungsi untuk menyangga tubuh dan otot-otot yang melekat di
tulang.
2. Tempat penyimpanan bahan mineral (kalsium dan fosfat) dan juga lipid
(yellow marrow) atau bisa diebut juga hemopoesis.
3. Tempat memproduksi sel eritrosit (red marrow)
4. Sebagai pelindung organ, yaitu membentuk rongga sehingga melindungi
organ didalamnya yang lebih halus dan lunak, serta memproteksi organ-
organ dalam dari berbagai bentuk trauma mekanis.
5. Sebagai penggerak, yakni tulang dapat mengubah arah dan kekuatan otot
rangka saat bergerak karena didukung juga dengan adanya persendian.
(Wahyuningsih & Kusmiyati, 2017).

1
Gambar 1. Bagian tulang

Menurut (Pearce, 2015), yang menjelaskan bahwa proses terbentuknya


tulang sudah bermula sejak kita dari umur embrio yakni 6 minggu sampai
dengan 7 minggu yang berlangsung terus menerus sampai menjadi dewasa. Di
dalam rangka manusia, yang pertama kali terbentuk ialah tulang rawan (kartilago)
yang berasal dari jaringan mesenkim. Kemudian akan terbentuk osteoblas atau
sel-sel pembentuk tulang. Osteoblas ini akan mengisi rongga-rongga tulang
rawan. Sel-sel tulang dibentuk terutama dari arah dalam keluar, atau proses
pembentukannya konsentris. Setiap masing-masing sel tulang mengelilingi suatu
pembuluh darah dan saraf membentuk suatu sistem yang disebut sistem Havers.
Disekeliling sel-sel tulang terbentuk senyawa protein yang akan menjadi matriks
tulang. Kelak di dalam senyawa protein ini terdapat pula kapur dan fosfor
sehingga matriks tulang akan mengeras. Proses tersebut yang biasanya dikenal
dengan istilah osifikasi tulang.
Menurut Sembiring tahun 2018, menjelaskan bahwa femur merupakan
tulang sejati yakni tulang yang biasanya keras dan memiliki fungsi menyusun
berbagai sistem rangka, serta bersendi bagian atas dengan pelvis dan bawah
bersendi dengan tulang tibia. Tulang ini terdiri atas network yang biasa disebut
trabekula. Struktur tersebut menyebabkan tulang dapat menahan tekanan. Rongga
diantara trabekula berisi “red bone marrow” yang mengandung pembuluh darah
yang berfungsi memberi nutrisi kepada tulang. Contohnya yaitu tulang pelvis,
rusuk,tulang belakang, tengkorak, dan pada ujung tulang lengan dan paha. Tulang
femur merupakan tulang yang ukuran panjangnya terbesar (Wahyuningsih &
Kusmiyati, 2017). Pada permukaan luar tulang femur dilapisi dengan yang
namanya periosteum. Jarigan ikat lapis tipis (endosteum) yang melapisi rongga
sumsum dan meluas ke dalam kanalikuli tulang kompak. Tulang femur terdiri dari
beberapa komponen berikut:
1. Sistem Havers (terdiri dari serabut saraf, pembuluh darah, serta aliran limfe).
2. Lamella (lempeng tulang yang tersusun konsentris).
3. Lacuna (ruangan kecil yang terdapat di antara lempengan-lempengan yang
mengandung sel tulang).

2
4. Kanalikuli (memancar di antara lacuna dan tempat difusi makanan sampai ke
osteon).
B. Definisi
Menurut Hastriati, 2019 memberi penjelasan bahwa fraktur tulang ialah suatu
kondisi dimana terputusnya kontinuitas struktur dari tulang sehingga
menyebabkan hilangnya integritas atau keutuhan dari tulang tersebut. Hal ini
dikarenakan oleh trauma akibat dari paparan stress fisik yang melebihi ambang
batas absorbs dari tulang tersebut yang seperti pukulan, benturan dengan benda
tumpul, meremuk, kontaksi otot ekstern dan kesalahan saat gerak reflek tubuh
yang terlalu mendadak. Selain itu, faktor resiko terjadinya fraktur dapat berupa
penyakit degeneratif seperti osteoporosis dan keadaan patologis lainnya
(Ramadhani, 2019)
Fraktur femur merupakan rusaknya kontinuitas tulang pangkal paha yang
disebabkan oleh trauma langsung, kelelahan otot, dan kondisi tertentu, seperti
degenerasi tulang atau proses patologis seperti osteoporosis. Fraktur femur lebih
banyak dialami oleh laki-laki dewasa dibandingkan perempuan. Umumnya
dibawah 45 tahun kejadian fraktur femur akan meningkat yang disebabkan oleh
aktivitas fisik. Patah tulang atau fraktur yang terjadi pada daerah paha dapat
menimbulkan pendarahan yang cukup banyak, dan dapat menyebabkan penderita
mengalami syok berat (Muttaqin 2008).
Secara umum fraktur terbagi berdasarkan hubungan tulang dengan jaringan
sekitarnya yang meliputi fraktur terbuka maupun tertutup. Selain itu untuk
menentukan cara penatalaksanaannya, fraktur juga dibagi berdasarkan lokasi
dimana bagian tubuh yang terdampak salah satunya yang sering terjadi yaitu
fraktur ekstermitas bawah yang meliputi femur, tibia serta fibula (Ramadhani,
2019). Berdasarkan hal tersebut fraktur ekstermitas bawah menduduki angka
kejadian fraktur tertinggi yang dijumpai dibidang orthopedi dengan prosentase
sebanyak 46,2% (Martiana, 2019).

C. Epidemologi
Berdasarkan data di dalam penelitian (Humaryanto, 2019), angka terjadinya
fraktur yang diakibatkan oleh kecelakaan lalu lintas dengan presentase sebanyak

3
1,3 juta kasus dari penyebab kematian di dunia dengan fraktur ekstremitas bawah
merupakan prevalensi paling tinggi dari kejadian fraktur tersebut yaitu sebanyak
46,2%. Provinsi Bali merupakan daerah yang terus menerus mengalami
peningkatan kecelakaan lalu lintas sepanjang tahun 2009 sampai dengan tahun
2011, kasus fraktur femur merupakan yang paling tinggi angka kejadiannya
dengan presentase sebanyak 39% kemudian fraktur humerus dengan presentase
sebanyak 15%, disusul dengan fraktur tibia dan fibula sebanyak 11% (Desiartama,
2017).

D. Etiologi
Fraktur diakibatkan oleh adanya trauma/cedera fisik maupun kondisi
patologis lainnya yang dapat memicu terjadinya kecacatan hingga kematian pada
individu yang terdampak. Penyebab trauma fisik pada pasien fraktur dapat
dikelopokkan sebagai kecelakaan lalu lintas (37,5%) dan kecelakaan non lalu
lintas (62,5%). Penyebab fraktur dari kecelakaan non lalu lintas dapat berupa
tusukan benda tajam, pukulan benda tumpul, kecelakaan kerja, kecelakaan
olahraga, terjatuh dan kecelakaan rumah tangga lainnya. Selain itu penyebab
degeneratif atau patologis pada pasien fraktur yang paling sering terjadi adalah
osteoporosis. Berikut merupakan klasifikasi frakur berdasarkan penyebabnya:
1. Trauma Langsung
Trauma terjadi secara langsung pada tulang mengenai kaki seperti pukulan,
benturan, dll
2. Trauma Tidak Langsung
Misalnya peristiwa jatuh ketika kaki pada keadaan ekstensi
3. Kekerasan akibat trauma otot
Beberapa kejadian yang menyebabkan pemuntiran, penekukan dan
penekanan.
4. Trauma Patologis
Secara patologis merupakan suatu kerusakan tulang yang terjadi akibat
proses penyakit dimana dengan trauma dapat mengakibatkan fraktur, hal ini
dapat terjadi pada berbagai keadaan
(Ramadhani, 2019)

4
E. Patofisiologi
Pada kejadian fraktur atau patah tulang, terdapat cedera pada periosteum,dan
pembuluh darah di bagian korteks, sumsum tulang dan jaringan lunak di dekatnya.
Keadaan tersebut merupakan indikasi pembedahan karena dapat mengakibatkan
syok hipovolemik. Perdarahan yang terakumulasi menimbulkan pembengkakan
jaringan sekitar daerah cidera yang apabila ditekan atau digerakkan dapat timbul
rasa nyeri yang hebat sehingga mengakibatkan syok neurogenik (Arafah dan
Martiana, 2019).
Sedangkan kerusakan pada sistem persarafan akan menimbulkan kehilangan
sensasi yang dapat berakibat paralysis yang menetap pada fraktur hingga terjadi
keterbatasan gerak pada area yang terdampak. Akibat patah tulang tersebut
perdarahan dapat terjadi pada jaringan disekitar area cedera sehingga
menyebabkan kerusakan (Arafah dan Martiana, 2019). Sel darah putih dan sel
mast akan terakumulasi sehingga menyebabkan peningkatan aliran darah ke
tempat tersebut. Fagositosis dan pembersihan sel – sel mati dimulai. Pada area
yang patah terdapat fibrin hematoma fraktur dan berfungsi sebagai jala – jala
untuk pembentukan sel – sel baru yang disebut callus. Bekuan fibrin di reabsorbsi
dan sel – sel tulang baru mengalami remodeling untuk membentuk tulang sejati
(Arafah dan Martiana, 2019).
Tulang bersifat rapuh namun memiliki kekuatan dan gaya pegas untuk
menahan. Tapi apabila tekanan eksternl yang datang lebih besar dari yang dapat
diseraptulang maka terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan usak
hingga terputusnya kontinuitas tulang. Setelah terjadi fraktur,maka terjadilah
kerusakan periosteum dan pembuluh darah serta saraf daam korteks dan jaringan
lunak yang membungkus tulang. Akibat dari perdarahan maka terjadilah
hematoma di rogga medulla tulang. Jaringan tulang segera berdekaan ke bagian
tulang yang patah. Jaringan yang mengalami nekrosis menstimulasi terjadinya
respon inflamasi yang ditandai dengan vasodilatasi , eksudasi plasma dan leukosit,
dan infiltrasi sel darah putih. Kejadian inilah yang merupakan dasar dari proses
penyembuhan tulang (Arafah dan Martiana, 2019).

5
F. Manifestasi klinis
Menurut (Hastriati, 2019) terdapat beberapa tanda gejala klinis dari kasus
fraktur femur yang sudah di temukan, diantaranya:

1. Nyeri hebat pada area fraktur dan meningkat ketika ditekan/disentuh


2. Tidak dapat digerakkan
3. Spasme otot
4. Terjadi perubahan bentuk atau posisi (dislokasi) dari kondisi normal
5. Ada tidaknya luka pada daerah fraktur
6. Kehilangan sensasi pada bagian distal karena terjadi jepitan syaraf oleh
fragmen tulang
7. Krepitasi jika digerakkan
8. Pendarahan
9. Hematoma
10. Syok
11. Keterbtasan mobilisasi

G. Klasifikasi
Menurut Smeltzer (2013), fraktur dibagi menjadi beberapa tipe, antara lain:
a. Fraktur Komplet
Fraktur komplet merupakan patah diseluruh penampang lintang tulang
yang sering kali tergeser.
b. Inkomplet (Fraktur greenstick)
Fraktur Inkomplet merupakan patah yang terjadi hanya pada sebagain
dari penampang lintang tulang.
c. Fraktur Remuk (comminuted)
Fraktur Remuk merupakan patah dengan beberapa fragmen tulang.
d. Fraktur Tertutup
Fraktur Tertutup merupakan fraktur sederhana dan tidak menyebabkan
e. Fraktur Terbuka
Fraktur Terbuka atau fraktur campuran/kompleks merupakan patah
dengan luka pada kulit atau membran mukosa meluas ke tulang yang
fraktur. Fraktur terbuka dikelasifikasikan menjadi tiga derajat, yaitu:

6
1) Derajat I: Luka bersih, panjang < 1 cm
2) Derajat II: Luka lebih luas tanpa kerusakan jaringan lunak yang luas
3) Derajat III: Luka sangat terkontaminasi dan menyebabkan kerusakan
jaringan lunak yang luas (tipe paling berat)
Menurut Muttaqin (2008) klasifikasi fraktur femur terbagi menjadi:
a. Fraktur leher femur
Fraktur leher femur merupakan fraktur yang sering terjadi pada lansia
terutama wanita usia 60 tahun ke atas disertai tulang yang osteoporosis.
Sedangkan pada anak anak jarang ditemukan.
b. Fraktur subtrokanter femur
Fraktur subtrokanter dapat terjadi pada semua usia, trauma hebat adalah
penyebab utamanya. Pemeriksaan dapat menunjukkan fraktur yang terjadi
dibawah trokanter minor.
c. Fraktur intertrokanter femur
Pada beberapa keadaan, trauma yang mengenai daerah tulang femur.
Fraktur daerah troklear adalah semua fraktur yang terjadi antara trokanter
mayor dan minor. Fraktur ini bersifat ekstra artikular dan sering terjadi
pada orang yang jatuh dan mengalami trauma yang bersifat memuntir.
Keretakan tulang terjadi antara trokanter mayor dan minor tempat fragmen
proksimal cenderung bergeser secara varus. Fraktur dapat bersifat
kominutif terutama pada korteks bagian posteomedial.
d. Fraktur diafisis femur
Fraktur diafisis femur dapat terjadi pada semua usia dan biasanya
disebabkan karena trauma hebat, misalnya kecelakaan lalu lintas atau jatuh
dari ketinggian.
e. Fraktur suprakondilar femur
Daerah suprakondilar adalah daerah antar batas proksimal kondilus femur
dan batas metafisis dengan diafisis femur. Fraktur ini disebabkan karena
adanya tekanan varus dan valgus yang disertai kekuatan aksial dan putaran
sehingga dapat menyebabkan fraktur pada daerah ini. Pergeseran terjadi
karena tarikan otot.

7
Gambar 2. Jenis fraktur femur

H. Pemeriksaan Penunjang
Adapun beberapa pemeriksaan penunjang untuk kasus fraktur femur menurut
(Humaryanto, 2019), antara lain:
1. X-Ray untuk melihat bentuk patahan atau keadaan tulang yang cidera

Gambar 2. X-ray Fraktur Femur

8
2. Bone scanes, Tomogram atau MRI scanes

Gambar 3. MRI Scanes Os. Femur

3. Arteriogram, apabila terjadi kerusakan vascular

Gambar 4. Arteriogram Fraktur femoral


4. CCT jika terdapat kerusakan otot

Gambar 5. CCT fraktur femur

9
5. Pemeriksaaan kreatinin, dikarenakan trauma otot meningkatkan beban
kreatinin untuk klien ginjal.

I. Penatalaksaan Medis
Berikut beberapa penatalaksanaan medis menurut (Humaryanto, 2019) untuk
kasus fraktur femur, diantaranya:
1. Penatalaksanaan Farmakologi
a. Antrain
Dosis 500 mg melalui IV atau IM. Antrain merupakan obat nyeri atau anti
demam. Tidak digunakan untuk obat sakit otot atau flu. Jangan dinguakan
dalam jangka panjang dapat menimbulkan agranulositosis. Dapat
menimbulkan kulit ruam. Gangguan hati bila di gunakan jangka panjang.
b. Ketorolac
Dosis 10 mg melalui IV, biasa digunakan untuk penatalaksanaan nyeri akut
yang berat jangka pendek (<5 hari), kontra indikasinya : Hipersensitif
terhadap ketrolak tromethamine  dan pernah menunjukan reaksi alergi
terhadap aspirin atau obat AINS lainnya, Penderita gangguan ginjal berat
atau berisiko menderita gagal ginjal. Ibu menyusui. Dapat menyebabkan
Ulkus, perdarahan saluran cerna dan perforasi, hemoragis pasca bedah,
gagal ginjal akut, reaksi anafilaktoid, dan gagal hati.
c. Pranza Pantoprazole
Dosis 40 mg vial diinjeksikan via IV, Diindikasikan pada pengobatan ulkus
lambung, ulkus duodeni, refluks esofagitis derajat sedang dan  berat serta
kondisi hepersekresi patologis seperti pada sindrom Zollinger-Ellison atau
keganasan lainnya. Kontra indikasinya : Pada pasien yang diketahui
hipersensitif terhadap salah komponen. Efek sampingnya umum dan lokal
pada tempat pemberian ; sangat jarang: tromboflebitis, edama perifer.
Darah dan sitem limfatik: sangat jarang : leukopenia, trombositopenia.
gastrointestinal: nyeri perut bagian atas, diare, konstipasi, flulensi; jarang
mual, muntah, mulut kering.

10
d. Dexketoprofen
Dosis 2ml (25 mg) Amp injeksi via IV, digunakan untuk pengobatan nyeri
akut bila pemberian per oral tidak memungkinkan, seperti nyeri setelah
operasi, dan seperti nyeri akut muskulooskeletal, dismenoria, sakit gigi.
Jangan digunakan pada penderita yang pernah mengalami serangan asma,
brokospasme, rinitis akut, atau polip nasl, urtikaria atau edema
angioneurotik yang dicetuskan oleh obat lain dengan cara kerja yang serupa
( misalnya aspirin, atau NSAID lainnya ), Bisa terjadi : mual, muntah, nyeri
pada tempat injeksi, nyeri perut, diare, dispepsia.
e. Fosmicin
Dosis 1g vial injeksi via IV, digunakan untuk pencegahan infeksi pada
operasi abdomen, jangan digunakan pada klien hipersensitifitas terhadp
fosfomycin dapat menyebabkan sakit kepala, mual kering, vertigo, rasa
tidak nyaman pada dada.
2. Penatalaksanaan Non Farmakologi
a. Pembidaian : benda keras yang ditempatkan di daerah sekeliling tulang.
b. Pemasangan gips
Merupakan bahan kuat yang dibungkuskan di sekitar tulang yang patah.
Gips yang ideal adalah yang membungkus tubuh sesuai dengan bentuk
tubuh. Indikasi dilakukan pemasangan gips adalah:
1) Immobilisasi dan penyangga fraktur
2) Istirahatkan dan stabilisasi
3) Koreksi deformitas
4) Mengurangi aktifitas
5) Membuat cetakan tubuh orthotik
Sedangkan hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pemasangan gips ialah :
1) Gips yang pas tidak akan menimbulkan perlukaan
2) Gips patah tidak bisa digunakan
3) Gips yang terlalu kecil atau terlalu longgar sangat membahayakan
klien
4) Jangan merusak / menekan gips

11
5) Jangan pernah memasukkan benda asing ke dalam gips / menggaruk
6) Jangan meletakkan gips lebih rendah dari tubuh terlalu lama
c. Penarikan (traksi) :
Traksi digunakan dengan tujuan untuk mengurangi nyeri karena
spasme otot, memperbaiki dan mencegah deformitas, dan imobilisasi.
Secara umum traksi dilakukan dengan menempatkan beban dengan tali
pada ekstermitas pasien. Tempat tarikan disesuaikan sedemikian rupa
sehingga arah tarikan segaris dengan sumbu panjang tulang yang patah.
Metode pemasangan traksi antara lain :
1) Traksi manual
Tujuannya adalah perbaikan dislokasi, mengurangi fraktur, dan pada
keadaan darurat
2) Traksi mekanik, terdiri dari dua macam :
a. Traksi kulit (skin traction)
Dipasang pada dasar sistem skeletal untuk sturktur yang lain misal
otot. Digunakan dalam waktu 4 minggu dan beban < 5 kg.
b. Traksi skeletal
Merupakan traksi definitif pada orang dewasa yang merupakan
balanced traction. Dilakukan untuk menyempurnakan luka operasi
dengan kawat metal / penjepit melalui tulang / jaringan metal.
d. Fiksasi Interna
Intramedullary nail ideal untuk fraktur transversal, tetapi untuk
fraktur lainnya kurang cocok. Fraktur dapat dipertahankan lurus dan
terhadap panjangnya dengan nail, tetapi fiksasi mungkin tidak cukup kuat
untuk mengontrol rotasi. Nailing diindikasikan jika hasil pemeriksaan
radiologi memberi kesan bahwa jaringan lunak mengalami interposisi di
antara ujung tulang karena hal ini hampir selalu menyebabkan non-union.
Keuntungan intramedullary nailing adalah dapat memberikan
stabilitas longitudinal serta kesejajaran (alignment) serta membuat
penderita dápat dimobilisasi cukup cepat untuk meninggalkan rumah
sakit dalam waktu 2 minggu setelah fraktur. Kerugian meliput anestesi,
trauma bedah tambahan dan risiko infeksi. Closed nailing memungkinkan

12
mobilisasi yang tercepat dengan trauma yang minimal, tetapi paling
sesuai untuk fraktur transversal tanpa pemendekan. Comminuted fracture
paling baik dirawat dengan locking nail yang dapat mempertahankan
panjang dan rotasi.
1) ORIF (Open Reduksi Internal Fiksasi)
ORIF merupakan suatu bentuk pembedahan dengan pemasangan
internal fiksasi pada tulang yang mengalami fraktur. ORIF merupakan
suatu tindakan pembedahan untuk memanipulasi fragmen-fragmen
tulang yang patah/fraktur sedapat mungkin kembali seperti letak
asalnya. Internal fiksasi biasanya melibatkan penggunaan plat, sekrup,
paku maupun suatu intramedulary (IM) untuk mempertahankan
fragmen tulang dalam posisinya sampai penyembuhan tulang yang
solid terjadi. ORIF adalah alat bantu jalan dan mobilisasi yaitu alat
yang di gunakan untuk membantu klien supaya dapat berjalan dan
bergerak.

Gambar 7. Pemasangan ORIF

2) OREF
OREF merupakan reduksi terbuka dengan fiksasi internal di mana
prinsipnya tulang ditransfiiksasikan diatas dan di bawah fraktur,
sekrup atau kawat ditransfiksi di bagian proksimal dan distal
kemudian dihubungkan satu sama lain dengan suatu batang lain.
Fiksasi eksternal digunakan untuk mengobati fraktur terbuka dengan
kerusakan jaringan lunak. Alat ini memberikan dukungan yang stabil

13
untuk fraktur kominutif (hancur atau remuk). Pin yang telah terpasang
dijaga agar tetap terjaga posisinya, kemudian dikaitkan pada
kerangkanya. Fiksasi ini memberikan rasa nyaman bagi pasien yang
mengalami kerusakan fragmen tulang.

Gambar 8. Pemasangan OREF

14
J. Pathway

Trauma tidak
Trauma Langsung Trauma Patologis
Langsung

Fraktur

Kerusakan
Kerusakan Pergeseran Nyeri
integritas Laserasi Kulit Spasme otot
fragmen tulang fragmen tulang Akut
Kulit

Peningkatan tek. Tek. Sumsum tlg >


Putus vena/arteri kapiler Deformitas
kapiler

Perdarahan Pelepasan histamin Emboli Ggg fungsi

Protein plasma Ggg Perfusi Menyumbat Ggg. Mobilitas


Cairan turun
turun Jaringan pembuluh darah fisik

Penekanan
Syok hipovolemik Edema
pembuluh darah

15
Trauma, Benda
asing
KONSEP ASUHAN KEPRAWATAN

A. Pengkajian
1. Pengumpulan Data
1.1. Anamnesa
a. Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang
dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi,
golongan darah, no. register, tanggal MRS, diagnosa medis.
b. Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa
nyeri. Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya
serangan. Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap tentang
rasa nyeri klien digunakan:
1. Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang
menjadi faktor presipitasi nyeri.
2. Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau
digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau
menusuk.
3. Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah
rasa sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit
terjadi.
4. Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang
dirasakan klien, bisa berdasarkan skala nyeri atau klien
menerangkan seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi
kemampuan fungsinya.
5. Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah
bertambah buruk pada malam hari atau siang hari.

16
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari
fraktur, yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan
terhadap klien. Ini bisa berupa kronologi terjadinya penyakit
tersebut sehingga nantinya bisa ditentukan kekuatan yang terjadi
dan bagian tubuh mana yang terkena. Selain itu, dengan
mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan bisa diketahui luka
kecelakaan yang lain
d. Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan
memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung.
Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang dan penyakit
paget’s yang menyebabkan fraktur patologis yang sering sulit
untuk menyambung. Selain itu, penyakit diabetes dengan luka di
kaki sanagt beresiko terjadinya osteomyelitis akut maupun kronik
dan juga diabetes menghambat proses penyembuhan tulang
e. Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang
merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti
diabetes, osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa keturunan,
dan kanker tulang yang cenderung diturunkan secara genetik
f. Riwayat Psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang
dideritanya dan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta
respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik
dalam keluarga ataupun dalam masyarakat
g. Pola-Pola Fungsi Kesehatan
1. Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan terjadinya
kecacatan pada dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan
kesehatan untuk membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu,
pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup klien seperti

17
penggunaan obat steroid yang dapat mengganggu metabolisme
kalsium, pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu
keseimbangannya dan apakah klien melakukan olahraga atau
tidak
2. Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi
kebutuhan sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit.
C dan lainnya untuk membantu proses penyembuhan tulang.
Evaluasi terhadap pola nutrisi klien bisa membantu
menentukan penyebab masalah muskuloskeletal dan
mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat
terutama kalsium atau protein dan terpapar sinar matahari yang
kurang merupakan faktor predisposisi masalah muskuloskeletal
terutama pada lansia. Selain itu juga obesitas juga menghambat
degenerasi dan mobilitas klien.
3. Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola
eliminasi, tapi walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi,
konsistensi, warna serta bau feces pada pola eliminasi alvi.
Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji frekuensi,
kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini
juga dikaji ada kesulitan atau tidak. Pola Tidur dan Istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak,
sehingga hal ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur
klien. Selain itu juga, pengkajian dilaksanakan pada lamanya
tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur
serta penggunaan obat tidur.
4. Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua
bentuk kegiatan klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien
perlu banyak dibantu oleh orang lain. Hal lain yang perlu dikaji
adalah bentuk aktivitas klien terutama pekerjaan klien. Karena

18
ada beberapa bentuk pekerjaan beresiko untuk terjadinya
fraktur dibanding pekerjaan yang lain
5. Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam
masyarakat. Karena klien harus menjalani rawat inap
6. Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul
ketidakutan akan kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa
ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal,
dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan body
image)
7. Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada
bagian distal fraktur, sedang pada indera yang lain tidak timbul
gangguan. begitu juga pada kognitifnya tidak mengalami
gangguan. Selain itu juga, timbul rasa nyeri akibat fraktur
8. Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan
hubungan seksual karena harus menjalani rawat inap dan
keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang dialami klien. Selain
itu juga, perlu dikaji status perkawinannya termasuk jumlah
anak, lama perkawinannya
9. Pola Penanggulangan Stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya,
yaitu ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi
tubuhnya. Mekanisme koping yang ditempuh klien bisa tidak
efektif.
10. Pola Tata Nilai dan Keyakinan
Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan
beribadah dengan baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal
ini bisa disebabkan karena nyeri dan keterbatasan gerak klien

19
K. Pemeriksaan Fisik
Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata)
untuk mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokalis).
Hal ini perlu untuk dapat melaksanakan total care karena ada
kecenderungan dimana spesialisasi hanya memperlihatkan daerah yang
lebih sempit tetapi lebih mendalam.
a. Gambaran Umum
Perlu menyebutkan:
1. Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-
tanda, seperti:
a) Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah,
komposmentis tergantung pada keadaan klien.
b) Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang,
berat dan pada kasus fraktur biasanya akut.
c) Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik
fungsi maupun bentuk.
2. Secara sistemik dari kepala sampai kelamin
3. Sistem Integumen
Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat,
bengkak, oedema, nyeri tekan.
4. Kepala
Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada
penonjolan, tidak ada nyeri kepala.
5. Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek
menelan ada.
6. Muka
Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan
fungsi maupun bentuk. Tak ada lesi, simetris, tak oedema.
7. Mata

20
Terdapat gangguan seperti konjungtiva anemis (jika terjadi
perdarahan
8. Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada
lesi atau nyeri tekan.
9. Hidung
Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung
10. Mulut dan Faring
Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan,
mukosa mulut tidak pucat.
11. Thoraks
Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.
12. Paru
Inspeksi : Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya
tergantung pada riwayat penyakit klien yang berhubungan
dengan paru.
Palpasi : Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.
Perkusi : Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan
lainnya.
Auskultasi : Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara
tambahan lainnya seperti stridor dan ronchi.
13. Jantung
Inspeksi : Tidak tampak iktus jantung.
Palpasi : Nadi meningkat, iktus tidak teraba.
Auskultasi : Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.
14. Abdomen
Inspeksi : Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
Palpasi : Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak
teraba.
Perkusi : Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.
Auskultasi : Peristaltik usus normal ± 20 kali/menit.
15. Inguinal-Genetalia-Anus

21
Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada kesulitan
BAB.
b. Keadaan Lokal
Harus diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian distal
terutama mengenai status neurovaskuler (untuk status neurovaskuler 5
P yaitu Pain, Palor, Parestesia, Pulse, Pergerakan). Pemeriksaan pada
sistem muskuloskeletal adalah:
1. Look (inspeksi)
Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain:
(1) Cicatriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan seperti
bekas operasi).
(2) Cape au lait spot (birth mark).
(3) Fistulae.
(4) Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau hyperpigmentasi.
(5) Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal yang tidak
biasa (abnormal).
(6) Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas)
(7) Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa)
2. Feel (palpasi)
Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita diperbaiki
mulai dari posisi netral (posisi anatomi). Pada dasarnya ini merupakan
pemeriksaan yang memberikan informasi dua arah, baik pemeriksa
maupun klien.
Yang perlu dicatat adalah:

a) Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembaban kulit.


Capillary refill time Normal > 3 detik
b) Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau
oedema terutama disekitar persendian.
b) Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3
proksimal, tengah, atau distal).
Otot: tonus pada waktu relaksasi atau konttraksi, benjolan yang terdapat
di permukaan atau melekat pada tulang. Selain itu juga diperiksa status

22
neurovaskuler. Apabila ada benjolan, maka sifat benjolan perlu
dideskripsikan permukaannya, konsistensinya, pergerakan terhadap dasar
atau permukaannya, nyeri atau tidak, dan ukurannya.
3. Move (pergerakan terutama lingkup gerak)
Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian diteruskan dengan
menggerakan ekstrimitas dan dicatat apakah terdapat keluhan nyeri pada
pergerakan. Pencatatan lingkup gerak ini perlu, agar dapat mengevaluasi
keadaan sebelum dan sesudahnya. Gerakan sendi dicatat dengan ukuran
derajat, dari tiap arah pergerakan mulai dari titik 0 (posisi netral) atau
dalam ukuran metrik. Pemeriksaan ini menentukan apakah ada gangguan
gerak (mobilitas) atau tidak. Pergerakan yang dilihat adalah gerakan aktif
dan pasif.

B. Diagnosa
1. Pre-Operasi
a. Nyeri akut b.d pergeseran fragmen tulang
b. Syok Hipovolemik b.d terputusnya vena/arteri
c. Gangguan perfusi jaringan b.d spasme otot
d. Kerusakan integritas kulit b.d trauma
e. Ansietas b.d persiapan operasi
2. Post-Operasi
a. Nyeri akut b.d pergeseran fragmen tulang
b. Gangguan mobilitas fisik b.d imobilisasi area fraktur
c. Gangguan citra tubuh b.d perubahan fungsi tubuh
d. Defisiensi pengetahuan b.d ketidaktahuan terkait perawatan post
operasi
e. Resiko infeksi

23
C. Intervensi keperawatan
1. Pre Operasi

No. Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi


1. Nyeri akut b.d Setelah dilakukan perawatan diharapkan nyeri dapat NOC: Monitor Tanda – Tanda Vital
pergeseran fragmen berkurang dengan kriteria hasil: - Monitor tekanan darah, nadi, suhu,
tulang 1. NOC: status kenyamanan fisik dan status pernafasan dengan tepat
- Posisi yang nyaman dipertahankan di skala 2 - Identifikasi kemungkinan
(banyak terganggu) ditingkatkan ke skala 4 penyebab perubahan tanda – tanda
(sedikit terganggu) vital
2. Status Neurologi NIC: Manajemen Nyeri
- Kesadaran dipertahankan di skala 4 ditingkatkan - Lakukan pengkajian nyeri
ke skala 5 komprehensif
- Tekanan darah dipertahankan di skala 4 (sedikit - Berikan informasi mengenai nyeri
terganggu) ditingkatkan ke skala 5 (tidak - Ajarkan penggunaan teknik non
terganggu) farmakologi untuk mengurangi
- Tekanan nadi dipertahankan di skala 4 nyeri
ditingkatkan ke skala 5 - Kolaborasikan pemberian
- Laju pernafasan dipetahankan di skala 4 analgesik
ditingkatkan ke skala 5 NIC: Pengaturan posisi
3. NOC: Pengetahuan: manajemen nyeri - Tempatkan pasien pada tempat

24
- Strategi untuk mengontrol nyeri dipertahankan di tidur terapeutik
skala 2 (terbatas) ditingkatkan ke skala 4 - Imobilisasi bagia yang terkena
(banyak) dampak
- Teknik relaksasi efektif dipertahankan di skala 2
ditingkatkan ke skala 4
2. Kerusakan integritas Setelah dilakukan perawatan diharapkan kerusakan NIC: Perindungan Infeksi
kulit b.d trauma integritas kulit pasien dapat menuru dengan kriteria hasil - Periksa kondisi sayatan bedah atau
: luka
NOC: Integritas Jaringan: Kulit & Membran - Ajarkan pasien dan keluarga
Mukosa bagaimana cara menghindari
1. Integritas kulit (5) infeksi
2. Lesi pada kulit (5) NIC: Pengecekan kulit
- Periksa kulit dan selaput lendir
terkait dengan adanya
kemerahan, kehangatan
ekstrirn, edema, atau drainase
- Amati warna, kehangatan,
bengkak, pulsasi, tekstur,
edema, dan ulserasi pada
ekstremitas
- Monitor kulit dan selaput
lendir terhadap area perubahan
warna, memar, dan pecah

25
- Monitor infeksi, terutarna dari
daerah edema
- Ajarkan anggota
keluarga/pemberi asuhan
mengenai tanda-tanda
kerusakan kulit, dengan tepat
3. Ketidakefektifan Setelah dilakukan perawatan diharapkan perfusi jaringan NIC: Monitor Cairan
perfusi jaringan perifer kembali adekuat dengan keriteria hasil: - Tentukan jumlah dan jenis intake
perifer b.d spasme otot 1. NOC : Perfusi jaringan perifer cairan serta kebiasaan eliminasi
- Edema perifer dipertahankan di skala 3 (sedang) NIC:Manajemen Cairan
ditingkatkan ke skala 5 (tidak ada) - Kaji lokasi dan luasnya edema
- Kram otot dipertahankan di skala 3 (sedang) - Atur kesediaan produk darah untuk
ditingkatkan ke skala 5 (tidak ada) tranfusi
- Kerusakan kulit dipertahankan di skala 3 - Konsultasikan pada dokter jika
(sedang) ditingkatkan ke skala 4 (ringan) tanda dan gejala menetap
NIC: Pengecekan kulit
- Amati warna kemerahan,
kehangatan, bengkak, pulsasi,
tekstur edema dan ulserasi pada
ekstermitas
4. Ansietas b.d persiapan Setelah dilakukan perawatan diharapkan tingkat NIC: Teknik menenangkan
operasi kecemasan pasien dapat menurun dengan kriteria hasil: - Intruksikan klien menggunakan
1. NOC: Koping metode untuk mengurangi

26
- Mengidentifikasi pola koping yang efektif kecemasan (nafas dalam, distraksi)
dipertahankan di skala 3 (kadang – kadang - Kurangi stimuli yag menciptakan
menunjukkan) ditingkatkan ke skala 5 (konsisten) perasaan takut dan cemas
- Melaporkan penurunan stress dipertahankan di NIC: Peningkatan Koping
skala 3 ditingkatkan ke skala 5 - Bantu pasien mengidentifikasi
- Melaporkan penurunan perasaan negatif tujuan jangka panjang dan jangka
dipertahankan di skala 3 ditingkatkan ke skala 5 pendek
- Berikan suasana penerimaan
5. Resiko syok Setelah dilakukan perawatan diharapka syok NIC: Pengurangan Perdarahan
hipovolemik b.d hipovolemik dapat teratasi dengan kriteria hasil: - Berikan penekanan langsung atau
terputusnya 1. NOC: Keparahan syok hipovolemik penekanan pada balutan
vena/arteri - Melambatnya waktu pengisian kapiler - Monitor jumlah dan sifat
dipertahankan di skala 3 (sedang) ditingkatkan ke kehilangan darah
skala 5 (tidak ada) - Intruksikan keluarga untuk
- Nadi lemah dan halus dipertahankan di skala 3 memberitahu perawat jika
ditingkatkan ke skala 5 perdarahan berlanjut
- Pucat dipertahankan di skala 3 ditingkatkan ke - Monitor kepatenan IV
skala 5 NIC: Manajemen Hipovolemi
2. NOC: Keparahan cedera fisik - Berikan cairan IV isotonik bolus
- Fraktur ekstremitas dipertahankan di skala 3 yang diresepkan pada aliran tetesan
ditingkatkan ke skala 5 yang tepat untuk menjaga
- Perdarahan dipertahankan di skala 3 ditingkatkan integritas hemdinamik
ke skala 5

27
28
2. Post Operasi

No. Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi


1. Nyeri akut b.d Setelah dilakukan perawatan diharapkan nyeri dapat NOC: Monitor Tanda – Tanda Vital
pergeseran fragmen berkurang dengan kriteria hasil: 1. Monitor tekanan darah, nadi, suhu, dan
tulang 1. NOC: status kenyamanan fisik status pernafasan dengan tepat
- Posisi yang nyaman dipertahankan di skala 2 2. Identifikasi kemungkinan penyebab
(banyak terganggu) ditingkatkan ke skala 4 perubahan tanda – tanda vital
(sedikit terganggu) NIC: Manajemen Nyeri
2. Status Neurologi 3. Lakukan pengkajian nyeri
- Kesadaran dipertahankan di skala 4 komprehensif
ditingkatkan ke skala 5 4. Berikan informasi mengenai nyeri
- Tekanan darah dipertahankan di skala 4 5. Ajarkan penggunaan teknik non
(sedikit terganggu) ditingkatkan ke skala 5 farmakologi untuk mengurangi nyeri
(tidak terganggu) 6. Kolaborasikan pemberian analgesik
- Tekanan nadi dipertahankan di skala 4 NIC: Pengaturan posisi
ditingkatkan ke skala 5 7. Tempatkan pasien pada tempat tidur
- Laju pernafasan dipetahankan di skala 4 terapeutik
ditingkatkan ke skala 5 8. Imobilisasi bagia yang terkena dampak
3. NOC: Pengetahuan: manajemen nyeri
- Strategi untuk mengontrol nyeri
dipertahankan di skala 2 (terbatas)
ditingkatkan ke skala 4 (banyak)

29
- Teknik relaksasi efektif dipertahankan di
skala 2 ditingkatkan ke skala 4
2. Gangguan mobilitas Setelah dilakukan perawatan diharapkan gangguan NIC: Pengaturan Posisi Kursi Roda
fisik b.d imobilisasi mobilitas fisik dapat teratasi dengan kriteria hasil: - Gunakan prinsip penggunaan mekanik
area fraktur 1. NOC: Ambulasi kursi roda tubuh yang tepat ketika memposisikan
- Perpindahan ke dan dari kursi roda pasien
dipertahankan di skala 3 (cukup terganggu) - Intruksikan pasien bagaimana cara
ditingkatkan ke skala 5 (tidak terganggu) berpindah dari tempat tidur ke kursi
- Menjalankan kursi roda dengan aman roda
dipertahankan di skala 3 (cukup terganggu) - Intruksikan pasien bagaiaman cara
ditingkatkan ke skala 5 (tidak terganggu). mengoperasikan kursi roda
2. NOC : reaksi terhadap sisi yang terkena NIC: Perawatan Traksi/Imobilisasi
dampak - Posisikan kesejajaran tubuh yang sesuai
- Melindungi sisi yang terkena dampak ketika - Yakinkan bahwa tali dan katrol
ambulasi dipertahankan di skala 3 (kadang terhgantung bebas
menunjukkan) ditingkatkan ke skala 5 - Monitor tonjolan tulang dan kulit terkait
(konsisten) menunjukkan tanda – tanda terkelupasnya kulit
- Melkukan perawatan sehari – hari untuk sisi - Monitor sirkulasi, gerakan dan sensasi
yang terkena dipertahankan di skala 3 ekstermitas yang sakit
(kadang) ditingkatkan ke skala 5 (konsisten) NIC: Pembidaian
- Monitor perdarahan pada area cedera
- Pasang bidai pada ekstermitas
terdampak, topang area yang tauma

30
dengan tangan, minta bantuan nakes
lain bila memugkinkan
3. Gangguan citra tubuh Setelah dilakukan perawatan diharapkan gangguan NIC: Peningkatan koping
b.d perubahan fungsi citra tubuh dapat teratasi dengan kriteria hasil: - Bantu pasien mengidentifikasi tujuan
tubuh 1. NOC: Adaptasi terhadap disabilitas fisik jangka panjang dan jangka pendek
- Beradaptasi terhadap keterbatasan secara - Berikan suasana penerimaan
fungsional dipertahankan di skala 3 (kadang) NIC: Dukungan Emosional
ditingkatkan ke skala 5 (konsisten). - Dorong pasien untuk mengekspresikan
- Mengidentifikasi resiko komplikasi yang perasaannya
berhubungan dengan disabilitas - Buat pernyataan yang mendukung dan
dipertahankan di skala 3 ditingkatkan ke berempati
skala 5.
- Mengidentifikasi rencana untuk memenuhi
ADL instrumental dipertahankan di skala 3
ditingkatkan ke skala 5
2. Pemulihan pembedahan: penyembuhan
- Integritas jaringan dipertahankan di skala 3
(sedang) ditingkatkan ke skala 5 (tidak ada
deviasi)
-
4. Defisiensi Setelah dilakukan perawatan diharapkan pasien NIC: Pengajaran prosedur/perawatan
pengetahuan b.d dapat memiliki pengetahuan terkait penyakit dan - Kaji pengalaman pasien sebelumnya
ketidaktahuan terkait pemulihannya dengan kriteria hasil: dan tingkat pengetahuan pasien terkait

31
perawatan post 1. NOC: Pengetahuan: prosedur perawatan tindakan yang akan dilakukan
operasi - Pengetahuan terkait prosedur, tujuan - Jelaskan beberapa peralatan beserta
prosedur dan langkah – langkah prosedur fungsinya
diperahankan di skala 3 (sedang) - Informasikan agar pasien iut terlibat
ditingkatkan ke skala 5 (sangat banyak). dalam proses penyembuhannya

D. Discharge Planning

Discharge planning : edukasi, identifikasi aktifitas, nutrisi kalsium magnesium dan fosfat.

32
DAFTAR PUSTAKA

Arafah, M. dan Martiana. 2019. Fraktur Tibial Plateau Posterior ; Klaifikasi Three Column
Concept dan Tantangan Approach Operasi. Jurnal Saintika Medika. 15(1): 41 – 49.

Desiartama, A., I.G.N.W.Aryana. 2017. Gambaran Karakteristik Pasien Fraktur Femur Akibat
Kecelakaan Lalu Lintas Pada Orang Dewasa Di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah
Denpasar Tahun 2013. E-Jurnal Medika. 6(5): 1 – 4.

Humaryanto., O, Firmansyah. 2019. Pengaruh Faktor Status Sosioekonomi Terhadap Pemilihan


Penanganan Pasien Patah Tulang Tertutup Komplit di RSUD Raden Matteher Jambi.
JMJ . 7(2): 215 – 224.

Hastriati, A.Y. 2019. Tingkat Pengetahuan Keluarga Tentang Cara Perawatan Pasien Fraktur Di
RSUD Arifin Achmad. Jurnal Keperawatan Abdurrab. 3(1): 25 – 33.

Ramadhani, R.P., N. Romadhona., M.A. Djojosugito., Dyana., D. Rukanta. 2019. Jurnal


Integrasi Kesehatan dan Sains. 1(1): 32 – 35.

Sembiring, S. 2018. Diagnosis Diferensial Nyeri Otot. Medan : Samuel Karta

Smeltzer., dan Bare. 2013. Buku Ajaran Keperawatan Medikal Bedah Bruner dan Suddarth
Edisi 8. Jakarta : EGC.

Wahyuningsih, S. P., dan Kusmiyati Y. 2017. Buku ajar Kebidanan Anatomi Fisiologi. Jakarta :
BPPSDM Kemenkes RI

33

Anda mungkin juga menyukai