Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

ASPEK ETIK DAN LEGAL


DALAM KEPERAWATAN BENCANA

Dosen:
Ns. Olvin Manengkey. S.Kep,M.Kes

Oleh:

Maria Indah Priskilla

NIM 2014201124

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN INDONESIA

MANADO

1
2021

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan yang Mahakuasa atas segala rahmat dan
tuntunannya penyusun dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Aspek Etik
dan Legal dalam Keperawatan Bencana Dan Perencanaan Penanggulangan
Bencana”. Penyusunan makalah ini dilakukan untuk memenuhi tugas mata
kuliah Keperawatan Bencana.

Makalah Aspek etik dan legal dalam keperawatan bencana dan


perencanaan dan penanggulangan bencana disusun guna memenuhi tugas dari
dosen pengampu Ns. Olvin Manengkey.S.kep,M.Kes mata kuliah keperawatan
Bencana di Universitas Pembangunan Indonesia Manado.

Penyusun menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan.


Oleh karena itu, penyusun mengharapakan kritik dan saran demi kesempurnan
penyusunan makalah yang selanjutnya. Akhirnya penyusun berharap semoga isi
makalah ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan bagi siapa saja yang
memerlukannya di masa yang akan datang.

Manado, September
2021

2
Penyusun

DAFTAR ISI

JUDUL ………………………………………………………………………1

KATA PENGANTAR.………………………………………………………2

DAFTAR ISI ………………………………………………………………...3

BAB1

PENDAHULUAN…………………………………………………………...4

BAB II

PEMBAHASAN……………………………………………………………..7

BAB III

PENUTUP……………………………………………..…………………….20

DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………….21

3
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
The American Medical Association telah menciptakan aturan baru yang kuat
menangani tugas dokter untuk merawat pasien sejak peristiwa 11 September 2001,
namun profesi lainnya belum mengikuti. Sampai saat ini, penyedia layanan
kesehatan akan terus dihadapkan pada pembuatan keputusan etis menantang dengan
sedikit arah (Grimaldi, 2007).
Indonesia adalah negara yang rentan terjadinya bencana, hal ini dikarenakan
kondisi geologi dimana perairan Indonesia sepanjang pantai bagian barat Sumatera,
pantai selatan Jawa hingga perairan Nusa Tenggara, Papua dan Sulawesi terletak
diantara lempenglempeng tektonik aktif diantaranya lempeng Eurasia, Indo Australia
dan lempeng dasar Samudera Pasifik. Pergerakan lempenglempeng tektonik tersebut
menyebabkan terbentuknya jalur gempa bumi, rangkaian gunung api aktif serta
patahan patahan geologi yang merupakan zona rawan bencana gempa bumi dan
tanah longsor (Haryadi P, 2007).
Berikut ini adalah dari kebijakan yang diadopsi oleh American Medical
Association pada tahun 2004.
Bencana nasional, regional, dan tanggapan lokal untuk epidemi, serangan teroris dan
bencana lainnya memerlukan keterlibatan yang luas dari dokter. Karena komitmen
mereka untuk merawat orang sakit dan terluka, dokter individu memiliki kewajiban
untuk memberikan perawatan medis darurat selama bencana. kewajiban etis ini
berlaku bahkan dalam menghadapi risiko lebih besar dari biasanya untuk
mengutamakan keselamatan, kesehatan, atau kehidupan mereka.

4
Tenaga  kerja dokter, bagaimanapun  bukan merupakan sumber daya terbatas, karena
itu, ketika berpartisipasi dalam respon bencana, dokter harus menyeimbangkan
manfaat langsung kepada pasien individu dengan kemampuan untuk merawat pasien
di masa depan.
Pernyataan terkait pemberian pelayanan keperawatan: Perawat
mempromosikan, menganjurkan dan berusaha untuk melindungi kesehatan,
keselamatan, dan hak-hak pasien". Dipihak lain perawat berkewajiban menjaga
dirinya sendiri. "Perawat berutang tugas yang sama untuk dirinya sebelum merawat
orang lain, termasuk tanggung jawab untuk menjaga integritas dan keselamatan,
untuk mempertahankan kompetensi dan untuk melanjutkan pertumbuhan pribadi dan
profesional. Perlu penyamaan persepsi lebih lanjut terkait pernyataan yang sedikit
berlawanan di atas yang menyatakan bahwa perawat memiliki kewajiban untuk
memberikan perawatan bagi pasien dan pernyataan bahwa perawat diwajibkan untuk
menjaga keselamatan diri.
Wynia mendaftar tantangan utama etika yang dihadapi penyedia layanan kesehatan
dalam keadaan darurat kesehatan masyarakat yaitu penjatahan, pembatasan, dan
tanggung jawab. Penjatahan merupakan  penawaran khusus dengan alokasi sumber
daya. Triage dapat menimbulkan dilema etika karena mungkin ada sumber daya yang
terbatas dalam kaitannya dengan sejumlah besar orang yang membutuhkan
pengobatan. Beberapa mungkin mempertanyakan apakah triase itu etis.
Pembatasan dapat membatasi kebebasan dan kemerdekaan di kedua pasien
dan pekerja kesehatan. Tantangan ketiga adalah tanggung jawab etis. Ini mungkin
merupakan tantangan terbesar karena sulit untuk memprediksi apa yang akan
dilakukan selama masa crisis. Seperti yang dinyatakan sebelumnya, kode etik untuk
sebagian besar profesi kesehatan hanya menyarankan bahwa penyedia layanan
melaksanakan kewajiban kepada pasien mereka, sementara pada saat yang sama
mereka ambigu dengan menyatakan bahwa ada juga ada kewajiban untuk mengurus
diri sendiri (Grimaldi, 2007).

B.Rumusan Masalah

5
Adapun permasalahan yang saya angkat dari makalah ini adalah Bagaimana
mahasiswa keperawatan dapat memahami ASPEK ETIK DAN LEGAL DALAM
KEPERAWATAN BENCANA.

C.Tujuan Penulisan
Untuk mengetahui dan menganalisa aspek etik dan legal keperawatan
bencana.

D.Manfaat Penulisan
1. Bagi Penulis
Diharapkan makalah ini dapat mendeskripsikan tentang Aspek Etik dan Legal
dalam Keperawatan Bencana.
2. Bagi Instansi/Perguruan Tinggi
Diharapkan makalah ini menambah informasi mengenai Aspek Etik dan
Legal dalam Keperawatan Bencana.
3. Bagi Pembaca
Diharapkan makalah ini dapat dijadikan sebagai referensi dan sarana
penambah pengetahuan bagi pembaca terkait.

6
BAB II
PEMBAHASAN

1.ASPEK ETIK DAN LEGAL DALAM KEPERAWATAN BENCANA


A. Pengertian

Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan


mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh
faktor alam dan/atau nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan
timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan
dampak psikologis (UU 24/2007)

Menurut Purnomo (2009:9), Bencana adalah situasi yang kedatangannya tidak


terduga oleh kita sebelumnya, dimana dalam kondisi itu bisa terjadi kerusakan,
kematian bagi manusia atau benda-benda maupun rumah serta segala perabot 10
yang kita miliki dan tidak menutup kemungkinan juga hewan dan t Etika merupakan
ilmu tentang kesusilaan yang menetukan bagaimana sepatutnya manusia hidup di
dalam mansyarakat yang menyangkut aturan-aturan atau prinsip yang menentukan
tingkah laku yang benar, yaitu : 1. Baik dan buruk 2. Kewajiban dan tanggung jawab
(Isnaini,2001)

Etika merupakan aplikasi atau penerapan teori tentang filosofi moral ke dalam
situasi nyata dan berfokus pada prinsip-prinsip dan konsep yang membimbing
manusia berfikir dan bertindak dalam kehidupannya yang dilandasi oleh nilai-nilai
yang dianutnya. umbuhtumbuhan untuk mati.

7
Kode Etik ICN (International Council of Nurses 2006) menekankan
penghormatan terhadap hak asasi manusia, kepekaan terhadap nilai-nilai dan
kebiasaan, martabat, keadilan dan keadilan. Perawat diharapkan untuk berlatih sesuai
dengan ajaran-ajaran ini dalam bencana dan memodifikasi praktik mereka
sebagaimana diperlukan untuk memenuhi kebutuhan lingkungan bencana (Deeny,
Davies, Gillespie dan Spencer 2007).

Pemberian bantuan membutuhkan perhatian terhadap adat istiadat dan budaya dan
jaminan martabat dan kerahasiaan individu. Ada potensi nilai-nilai ini akan
berkurang dalam menghadapi kebutuhan besar untuk bantuan.

Bencana mengharuskan perawat untuk membuat pilihan etis yang sulit dalam
menghadapi sumber daya yang langka. Keputusan sering dibuat untuk kebaikan yang
lebih baik daripada individu. Pergeseran fokus dari merawat individu untuk
menyediakan layanan kesehatan yang optimal di tingkat komunitas tidak datang
secara alami banyak perawat. Misalnya, selama bencana, seorang perawat yang
bekerja di triase mungkin perlu memilih antara dua pasien yang membutuhkan
operasi, satu luka parah dengan peluang kecil untuk bertahan hidup dan yang lain
dengan luka serius tapi bagus peluang pemulihan. Selama masa non-bencana, pasien
yang kritis akan dikirim ke operasi pertama, tetapi dalam bencana dengan sumber
daya terbatas, pasien dengan peluang terbesar untuk bertahan hidup akan menjadi
yang pertama. Di situasi lain, perawat mungkin perlu memberikan imunisasi dengan
vaksin terbatas yang tersedia. Merupakan hal yang sulit untuk menentukan prioritas.
Tenaga kerja keperawatan harus sadar akan masalah praktik etis dalam bencana di
Indonesia Agar menjadi peserta yang dihargai dan efektif dalam respons bencana.

B.Aspek Legal

1. UU no 36 tahun 2009 pasal 11 tentang kesehatan


Ayat (1) “tenaga kesehatan dikelompokkan ke dalam tenaga medis, psikologi
klinik, keperawatan, kebidanan, kefarmasian, kesehatan lingkungan, gizi,

8
keterapian fisik, keteknisian medis, biomedika, kesehatan tradisional dan tenaga
kesehatan lain.”
2. Hak dan Kewajiban Perawat
UU no 38 tahun 2014 tentang tenaga kesehatan
 Pasal 36 (Hak)
1. Memperoleh perlindungan hukum sepanjang sesuai dengan kode etik, standar
pelayanan keperawatan, standar pelayanan profesi, SPO dan perundangan
2. Mendapat informasi yang benar, jelas dan jujur dari klie/ keluarganya
3. Memperoleh fasilitas kerja sesuai standar
 bnbPasal 37 (Kewajiban)
1. Memberikan pelayanan keperawatan sesuai kode etik, standar pelayanan
keperawatan, standar pelayanan profesi, SPO dan perundangan
2. Merujuk klien yang tidak dapat ditangani perawat …, sesuai dengan lingkup
dan tingkat kompetensinya
3. Mendokumentasikan asuhan keperawatan sesuai standar.

Menurut ANA, Etik dalam Keperawatan Bencana adalah:

1. Perawat, dalam semua hubungan profesional, praktek dengan kasih sayang


dan rasa hormat terhadap martabat yang melekat, nilai, dan keunikan setiap
individu, dibatasi oleh pertimbangan status sosial atau ekonomi, atribut
pribadi, atau sifat masalah kesehatan
2. Perawat komitmen utama adalah untuk pasien, baik individu, keluarga,
kelompok , atau masyarakat
3. perawat mempromosikan, menganjurkan, dan berusaha untuk melindungi
kesehatan, keselamatan, dan hak pasien
4. perawat bertanggung jawab dan akuntabel untuk praktek keperawatan
individu dan menentukan delegasi yang sesuai tugas sesuai dengan kewajiban
perawat untuk memberikan perawatan pasien yang optimal.

9
5. perawat bertanggung jawab untuk dirinya dan untuk lainnya, termasuk
tanggung jawab untuk menjaga integritas dan keamanan, untuk menjaga
kompetensi, dan melanjutkan pertumbuhan pribadi dan profesional.
6. perawat berpartisipasi dalam membangun, memelihara, dan meningkatkan
lingkungan perawatan kesehatan dan kondisi kerja yang kondusif bagi
penyediaan pelayanan kesehatan yang berkualitas dan konsisten dengan nilai-
nilai profesi melalui aksi individu dan kolektif
7. perawat berpartisipasi dalam kemajuan profesi melalui kontribusi untuk
berlatih, pendidikan, administrasi, dan pengembangan pengetahuan
8. perawat bekerja sama dengan profesional kesehatan lainnya dan masyarakat
dalam mempromosikan masyarakat, nasional, dan upaya internasional hanya
untuk memenuhi kebutuhan kesehatan
9. profesi keperawatan, yang diwakili oleh asosiasi dan anggotanya,
bertanggung jawab untuk mengartikulasikan nilai keperawatan, untuk
menjaga integritas profesi dan praktek, dan untuk membentuk kebijakan
social.

II. Analisis Risiko Bencana dan Disaster Plan (Rumah Sakit/Regional)


1.      Analisis Resiko
Resiko adalah segala kemungkinan yang diperkirakan dapat terjadi pada
seseorang atau masyarakat di suatu tempat. Semua orang atau masyarakat dimanapun
berada, selalu mempunyai resiko terjadi bencana (besar ataupun kecil). Resiko
bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu
wilayah dan kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit jiwa
terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta, dan
gangguan kegiatan masyarakat (UU No. 24 tahun 2007).
Analisis risiko merupakan suatu metodologi untuk menentukan proses dan
keadaan risiko melalui analisis potensi bahaya (hazards) dan evaluasi kondisi kini
dari kerentanan yang dapat berpotensi membahayakan orang, harta, kehidupan, dan
lingkungan tempat tinggal. (ISDR – Living with Risk, 2004 dalam Muntohar 2012)

10
Hazard (ancaman) adalah suatu kondisi, secara alamiah maupun karena ulah
manusia, yang berpotensi menimbulkan kerusakan atau kerugian dan kehilangan jiwa
manusia. Bahaya berpotensi menimbulkan bencana, tetapi tidak semua bahaya selalu
menjadi bencana. Kerentanan (vulnerability) adalah sekumpulan kondisi dan atau
suatu akibat keadaan (faktor fisik, sosial, ekonomi dan lingkungan) yang
berpengaruh buruk terhadap upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan bencana.
Kemampuan (capability) adalah kekuatan dan potensi yang dimiliki oleh perorangan,
keluarga dan masyarakat yang membuat mereka mampu mencegah, mengurangi,
siap-siaga, menanggapi dengan cepat atau segera pulih dari suatu kedaruratan dan
bencana.
Kajian risiko bencana dapat dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan sebagai
berikut:
Risiko Bencana
Penting untuk dicatat bahwa pendekatan ini tidak dapat disamakan dengan rumus
matematika. Pendekatan ini digunakan untuk memperlihatkan hubungan antara
ancaman, kerentanan dan kapasitas yang membangun perspektif tingkat risiko
bencana suatu kawasan.
Berdasarkan pendekatan tersebut, terlihat bahwa tingkat risiko bencana amat
bergantung pada:
a.     Tingkat ancaman kawasan
b.    Tngkat kerentanan kawasan yang terancam
c.     Tingkat kapasitas kawasan yang terancam
Upaya pengkajian risiko bencana pada dasarnya adalah menentukan besaran 3
komponen risiko tersebut dan menyajikannya dalam bentuk spasial maupun non
spasial agar mudah dimengerti. Pengkajian risiko bencana digunakan sebagai
landasan penyelenggaraan penanggulangan bencana disuatu kawasan.
Penyelenggaraan ini dimaksudkan untuk mengurangi risiko bencana.
Upaya pengurangan risiko bencana berupa :
a.    Memperkecil ancaman kawasan;
b.    Mengurangi kerentanan kawasan yang terancam;

11
c.    Meningkatkan kapasitas kawasan yang terancam.

Pengkajian risiko bencana memiliki ciri khas yang menjadi prinsip pengkajian. Oleh
karenanya pengkajian dilaksanakan berdasarkan:
a. Data dan segala bentuk rekaman kejadian yang ada;
b. Integrasi analisis probabilitas kejadian ancaman dari para ahli dengan
kearifan lokal masyarakat
c. Kemampuan untuk menghitung potensi jumlah jiwa terpapar, kerugian harta
benda dan kerusakan lingkungan
d. Kemampuan untuk diterjemahkan menjadi kebijakan pengurangan risiko
bencana.
Fungsi pengkajian risiko bencana antara lain, paada tatanan pemerintah, hasil
dari pengkajian risiko bencana digunakan sebagai dasar untuk menyusun kebijakan
penanggulangan bencana. Kebijakan ini nantinya merupakan dasar bagi penyusunan
Rencana Penanggulangan Bencana yang merupakan mekanisme untuk
mengarusutamakan penanggulangan bencana dalam rencana pembangunan.
Pada tatanan mitra pemerintah, hasil dari pengkajian risiko bencana digunakan
sebagai dasar untuk melakukan aksi pendampingan maupun intervensi teknis
langsung ke komunitas terpapar untuk mengurangi risiko bencana. Pendampingan
dan intervensi para mitra harus dilaksanakan dengan berkoordinasi dan tersinkronasi
terlebih dahulu dengan program pemerintah dalam penyelenggaraan penanggulangan
bencana.
Pada tatanan masyarakat umum, hasil dari pengkajian risiko bencana digunakan
sebagai salah satu dasar untuk menyusun aksi praktis dalam rangka kesiapsiagaan,
seperti menyusun rencana dan jalur evakuasi, pengambilan keputusan daerah tempat
tinggal dan sebagainya.
2.      Disaster Plan
Dua tipe utama dari disaster planning yaitu disaster plan yang menggunakan
pendekatan agent-spesific approach dan all-hazards approach. Komunitas  yang
menggunakan pendekatan agent-spesific memusatkan aktivitas kesiapsiagaan mereka

12
pada ancaman yang hampir bisa dipastikan terjadi berdasar lokasi geografis mereka.
Disaster plan dengan menggunakan pendekatan all-hazard merupakan suatu model
konseptual untuk kesiapsiagaan bencana yang menyertakan komponen manajemen
bencana yang konsisten pada semua jenis peristiwa bencana untuk memaksimalkan
sumber daya, pembelanjaan, dan usaha perencanaan. Hal tersebut telah diamat,
bahwa di samping perbedaan mereka, banyak bencana yang memilki persamaan
dikarenakan tantangan tertentu dan tugas serupa yang terjadi berulang-kali dan dapat
diprediksi (Venema, 2007).

a.    Hospital Disaster Plan (HDP)


Banyaknya korban yang membanjiri rumah sakit saat terjadi bencana harus dapat
diantisipasi oleh pihak Rumah Sakit, sehingga Rumah Sakit sebagai tempat rujukan
bagi korban bencana harus mampu menjadi tempat yang aman dan layak untuk para
pasien. Untuk meminimalkan resiko bencana dan mensiasati hal tersebut, institusi
kesehatan khususnya Rumah Sakit harus mempunyai perencanaan dan prosedur
untuk penanganan bencana, sehingga dapat menangani korban dalam jumlah yang
sangat banyak dalam situasi bencana bahkan dapat mengidentifikasi potensial
terjadinya bencana di lingkungan Rumah Sakit. Rumah sakit (RS) dalam hal ini
memegang peranan utama dalam kesiapan menangani korban bencana. Sayangnya
hampir seluruh RS di Indonesia belum sepenuhnya dapat menangani korban bencana
dengan cepat dan tepat. Hal itu terjadi karena fungsi, struktur, medical support,
dan management support kolaps. Di samping itu, masing-masing rumah sakit
memiliki cara penanganan korban yang beragam sehingga belum memiliki
keseragaman dalam penanganan maupun kesiapannya. Rencana tersebut umumnya
disebut sebagai Rencana Penanggulangan Bencana di Rumah Sakit, atau Hospital
Disaster Plan (HDP).
Dalam setiap bencana akan selalu terjadi kekacauan (chaos). Dengan adanya HDP
yang baik maka kekacauan yang memang selalu terjadi akan dapat diusahakan

13
waktunya sesingkat mungkin, sehingga mortalitas dan morbiditas dapat ditekan
seminimal mungkin.
Hal yang sering muncul di Rumah Sakit pada waktu terjadi bencana adalah:
1)Penderita yang begitu banyak diperlukan persiapan yang lebih intensif dan
menyeluruh. Tetapi biasanya karena terlalu banyak maka persiapan yang dilakukan
adalah sangat sederhana karena tidak mencukupi (Organization for a Mass
admission of Patients – OMP).
2)Kebutuhan yang melampaui kapasitas RS, dimana hal ini akan diperparah bila
terjadi kekurangan logistikdan SDM, atau terjadi kerusakan infra struktur dalam RS
itu sendiri. Kedua hal tersebut diatas wajib diperhitungkan baik untuk bencana yang
terjadi diluar maupun didalam RS sendiri.
Penyusunan HDP diawali dengan mengenal keadaan dari daerah nya sendiri.
Berdasarkan dari ancaman yang ada di daerah tersebut dan membuat gambaran dari
ancaman tersebut. Selain itu, pengalaman yang sudah ada saat terjadi bencana atau
pun berdasarkan bencana yang terjadi pada daerah lainnya, ketersediaan sumber daya
yang ada seperti SDM serta mengingat kebijakan lokal maupun nasional.
Untuk memberikan hasil yang maksimal serta adanya komitmen dan
konsistensi dari manajemen RS maka perlu dibentuk tim penyusun HDP ini penting
karena mengingat penanggulangan bencana termasuk penyusunan HDP merupakan
proses yang terus menerus, sehingga perlu dipertahankan kinerja tim. Tim penyusun
HDP adalah merupakan gabungan dari unsur pimpinan, minimal kepala bidang/
instalasi,unsur pelayanan gawat darurat (kepala UGD), unsur rumah tangga, unsur
paramedis,dan unsur lainnya yang dipandang perlu.
Sebelum tim penyusun terbentuk, akan lebih baik jika dibentuk komite gawat
darurat dan bencana. Disebut gawat darurat dan bencana, karena keduanya adalah
satu kesatuan yang memiliki keterkaitan yang tinggi dan memerlukan manajemen
bersama.
b.    Regional Disaster Plan (RDP)
Manajemen bencana dari sudut pandang kesehatan dapat dilihat sebagai
sebuah sistem yang kompleks yang harus dipelajari untuk memberikan input sebagai

14
dasar ilmiah untuk membuat keputusan. Tujuan riset operasional ini adalah untuk
mempelajari bencana yang terjadi di Aceh, Nias, dan Yogyakarta-Jawa Tengah
dalam perspektif manajemen bencana di sektor kesehatan. Pembelajaran ini akan
dipergunakan sebagai dasar ilmiah untuk membuat keputusan. Penanggulangan
Bencana (PB) sebaiknya bertumpu pada kemampuan lokal (local resiliencies), oleh
karena pada saat awal terjadinya bencana hanya kemampuan lokal inilah yang selalu
ada. Pertolongan dari luar umumya baru bisa tiba setelah 1 – 2 hari, bahkan dalam
keadaan ekstrem, bisa sampai satu minggu. Sesuai dengan sistim pemerintahan di
Indonesia saat ini, maka yang dimaksud dengan lokal adalah wilayah kabupaten yang
merupakan unit terdepan dalam sistim otonomi daerah. Pada penanggulangan
bencana, sektor kesehatan hanya merupakan satu diantara sektor-sektor lain yang
harus ditangani. Namun demikian sektor ini merupakan sektor yang vital karena
menyangkut langsung hidup dan kehidupan manusia.
Prosedur Penanggulangan Bencana (disaster plan) adalah serangkaian prosedur yang
sudah disiapkan sebelumnya, untuk dilakukan bila terjadi bencana. Suatu disaster
plan akan dapat dijalankan hanya bila sesuai dengan kapasitas dan kompetensi,
dilatihkan, di evaluasi, dan diperbaiki secara periodik. Disaster plan
regional merupakan gabungan dari disaster plan dari berbagai sektor/pembentukan
tim-tim di suatu wilayah melalui suatu pelatihan agar mampu menyusun disaster
plan yang kemudian dapat diterapkan. Oleh karena itu, disaster plan di sektor
kesehatan harus merupakan bagian integral dari suatu disaster plan regional.
Metode yang digunakan adalah model Workshop  dan In House Training.
Dalam workshop dilakukan table top exercise sebagai suatu cara pembelajaran.
Dalam table top exercise yang disiapkan secara sistematik dan berdasar peristiwa
serta kondisi nyata suatu bencana. Para peserta diminta menghadirkan pengalaman
atau pengetahuannya untuk dibahas dimeja workshop. Pembahasan diharapkan dapat
menjawab pertanyaan-pertanyaan melalui proses yang kemudian dihayati oleh
peserta dan dapat diterapkan di wilayah masing-masing. In house training dilakukan
langsung ke daerahnya masing-masing, agar peserta dapat langsung melihat kondisi
daerahnya. Selain itu peserta juga memahami dalam mengenal bahaya dan ancaman

15
apa yang ada di daerahnya masing-masing. Sehingga disaster plan yang akan
disusun sesuai dengan keadaan daerahnya.
Proses penyusunan RDP ini bisa dilakukan ketika workshop, peserta
pelatihan pada workshop adalah tim yang terdiri dari 4-6 personil yang sudah atau
akan menjadi bagian dari pelaksana penanggulangan bencana di wilayahnya.
Diharapkan masing-masing peserta akan mempelajari satu materi yang akan
membantu tim di daerahnya nanti. Dalam disaster plan yang disusun, materi
difokuskan untuk tahap preparedness, response, dan recovery. Materi dibagi 4
kelompok utama, yaitu: kontrol dan koordinasi (sistem komando), operasional,
logistik serta perencanaan dan keuangan.
Pelaksanaan pelatihan diawali dengan pengenalan mengenai regional
disaster plan dan selanjutnya diikuti bergantian penjelasan mengenai sistem
komando, operasional serta perencanaan dan keuangan. Selanjutnya peserta akan
dibagi 4 kelompok untuk mengikuti table top exercise masing-masing kelompok.
Kemudian anggota kelompok menyusun disaster plan  untuk kelompoknya
berdasarkan hasil diskusi sebelumnya dan masing-masing tim merangkum disaster
plan dari 4 kelompok materi. Kemudian hasil yang ada di presentasikan karena itu
akan menjadi draft bagi peserta saat peserta kembali ke daerahnya masing-masing
untuk menyiapkan secara keseluruhan dokumen regional disaster plan.
Para tim yang sudah ada akan membentuk tim penyusun rencana
penanggulangan daerah (RDP) dengan didahului oleh SK dari kepala dinas.
Tujuannya pembentukan tim adalah penyusunan dokumen ini akan secara berkala
dilakukan dan selalu akan di uji coba dengan simulasi dan direvisi, sehingga penting
sekali pembentukan tim dilakukan. Pembentukan tim dilakukan dengan pembuatan
struktur organisasi serta membuat tugas tiap masing-masing pelaksana.
Setelah pembuatan dokumen, maka akan diuji coba dengan table top dan kemudian
simulasi. Hasil yang tidak tercapai akan kelihatan pada saat table top dan simulasi.
Setelahnya akan dilakukan revisi kegagalan dari hasil simulasi.

III. PERENCANAAN PENANGGULANGAN BENCANA

16
A. Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana
Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab dalam penyelenggaraan
penanggulangan bencana.
Sebagaimana didefinisikan dalam UU 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana, penyelenggaraan Penanggulangan Bencana adalah serangkaian upaya yang
meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana,
kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi.
Rangkaian kegiatan tersebut apabila digambarkan dalam siklus penanggulangan
bencana adalah sebagai berikut :
Pada dasarnya penyelenggaraan adalah tiga tahapan yakni :
1. Pra bencana yang meliputi:
- situasi tidak terjadi bencana
- situasi terdapat potensi bencana
2. Saat Tanggap Darurat yang dilakukan dalam situasi terjadi bencana

3. Pascabencana yang dilakukan dalam saat setelah terjadi bencana

Tahapan bencana yang digambarkan di atas, sebaiknya tidak dipahami sebagai


suatu pembagian tahapan yang tegas, dimana kegiatan pada tahap tertentu akan
berakhir pada saat tahapan berikutnya dimulai. Akan tetapi harus dipahami bahwa
setiap waktu semua tahapan dilaksanakan secara bersama-sama dengan porsi
kegiatan yang berbeda. Misalnya pada tahap pemulihan, kegiatan utamanya adalah
pemulihan tetapi kegiatan pencegahan dan mitigasi juga sudah dimulai untuk
mengantisipasi bencana yang akan datang.

B. Perencanaan dalam Penyelenggaraan Penanggulangan


Bencana Secara umum perencanaan dalam penanggulangan bencana dilakukan
pada setiap tahapan dalam penyelenggaran penanggulangan bencana.
Dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana, agar setiap kegiatan dalam setiap
tahapan dapat berjalan dengan terarah, maka disusun suatu rencana yang spesifik
pada setiap tahapan penyelenggaraan penanggulangan bencana.

17
1. Pada tahap Prabencana dalam situasi tidak terjadi bencana, dilakukan
penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana (Disaster Management Plan),
yang merupakan rencana umum dan menyeluruh yang meliputi seluruh tahapan /
bidang kerja kebencanaan. Secara khusus untuk upaya pencegahan dan mitigasi
bencana tertentu terdapat rencana yang disebut rencana mitigasi misalnya
Rencana Mitigasi Bencana Banjir DKI Jakarta.
2. Pada tahap Prabencana dalam situasi terdapat potensi bencana dilakukan
penyusunan Rencana Kesiapsiagaan untuk menghadapi keadaan darurat yang
didasarkan atas skenario menghadapi bencana tertentu (single hazard) maka
disusun satu rencana yang disebut Rencana Kontinjensi (Contingency Plan).
3. Pada Saat Tangap Darurat dilakukan Rencana Operasi (Operational Plan) yang
merupakan operasionalisasi/aktivasi dari Rencana Kedaruratan atau Rencana
Kontinjensi yang telah disusun sebelumnya.
4. Pada Tahap Pemulihan dilakukan Penyusunan Rencana Pemulihan (Recovery
Plan) yang meliputi rencana rehabilitasi dan rekonstruksi yang dilakukan pada
pasca bencana. Sedangkan jika bencana belum terjadi, maka untuk
mengantisipasi kejadian bencana dimasa mendatang dilakukan penyusunan
petunjuk /pedoman mekanisme penanggulangan pasca bencana.
C. Perencanaan Penanggulangan Bencana
Perencanaan penanggulangan bencana disusun berdasarkan hasil analisis risiko
bencana dan upaya penanggulangannya yang dijabarkan dalam program kegiatan
penanggulangan bencana dan rincian anggarannya.
Perencanaan penanggulangan bencana merupakan bagian dari perencanaan
pembangunan. Setiap rencana yang dihasilkan dalam perencanaan ini merupakan
program/kegiatan yang terkait dengan pencegahan, mitigasi dan kesiapsiagaan yang
dimasukkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), Jangka
Menengah (RPJM) maupun Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahunan.
Rencana penanggulangan bencanaditetapkan oleh Pemerintah dan pemerintah
daerah sesuai dengan kewenangan untuk jangka waktu 5 (lima) tahun.

18
Penyusunan rencana penanggulangan bencana dikoordinasikan oleh:
1. BNPB untuk tingkat nasional;
2. BPBD provinsi untuk tingkat provinsi; dan
3. BPBD kabupaten/kota untuk tingkat kabupaten/kota.

D. Proses Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana


Secara garis besar proses penyusunan/penulisan rencana penanggulangan
bencana adalah sebagai berikut :
1. Penenalan dan pengkajian bahaya
2. Pengenalan kerentanan
3. Analisis kemungkinan dampak bencana
4. Pilihan Tindakan Penanggulangan Bencana
5. Mekanisme penanggulangan dampak bencana
6. Alokasi tugas dan peran instansi
E. Uraian Proses Perencanaan Penanggulangan Bencana
Sebagaimana diuraikan di atas bahwa langkah pertama adalah pengenalan bahaya /
anaman bencana yang mengancam wilayah tersebut. Kemudian bahaya / ancaman
tersebut di buat daftar dan di disusun langkah-langkah / kegiatan untuk
penangulangannya. Sebagai prinsip dasar dalam melakukan Penyusunan Rencana.

19
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Aspek etik dan legal dalam keperawatan bencana diperlukan agar perawat dapat
membuat suatu keputusan yang tidak melawan nilai  yang ada, ketika sedang bekerja
di ruangan ataupun ketika bencana yang mengharuskan perawat bekerja lebih cepat
dan tepat, baik dalam diri perawat maupun masyarakat, perawat harus bekerja
profesional dengan disertai moral kompeten.
1.Kode Etik Keperawatan Bencana
1. Perawat bencana memberikan pelayanan dengan penuh hormat bagi martabat
kemanusiaan dan keunikan klien.
2. Perawat bencana mempertahankan kompetensi dan tanggung jawab dalam
praktek keperawatan emergensi.
3. Perawat bencana melindungi klien manakala mendapatkan pelayanan
kesehatan yang tidak cakap, tidak legal, sehingga keselamatannya terancam.
2. Aspek Legal
Aspek legal dalam konteks pelayanan keperawatan bencana
1. Membuat kontrak kerja (memahami hak dan kewajiban)
2. Praktek yang kompeten hanya dilakukan oleh seorang perawat yang
kompeten

20
3. Tambahan penyuluhan kesehatan dan konseling dalam pemberian asuhan
keperawatan
4. Melaksanakan tugas delegasi, sesuai dengan kemapuan perawat yang akan
diberikan delegasi.
B.Saran
Semoga diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan. Serta dapat
mengaktualisasikannya pada lingkungan sekitar baik dalam lingkungan keluarga
maupun masyarakat dan juga dengan adanya makalah ini pembaca dapat menerapkan
serta dapat mengaplikasikan apa yang telah dipaparkan oleh penulis.

Daftar Pustaka

BNPB. 2012. Peraturan Kepala BNPB No. 2 Tahun 2012 Tentang Pedoman Umum
Pengkajian Risiko Bencana, diunduh dari  www.bnpb.go.id/upload/pubs/1.pdf
Effendi & Makhfudli. (2009). Keperawatan Kesehatan Komunitas: Teori Dan
Praktik Dalam Keperawatan. Jakarta: Selemba Medika.
Hospital Disaster Plan & Regional Disaster Plan, diunduh dari http://www.pusdiklat-
aparaturkes.net/index dan  www.bencana-kesehatan.net
Japanese Red Cross Society & PMI. (2009). Keperawatan Bencana. Banda Aceh:
Forum Keperawatan Bencana
Pan America Health Organization. (2006). Bencana alam: perlindungan kesehatan
masyarakat. Jakarta: EGC
Pan America Health Organization (2001). Establishing a mass casualty management
system. Washington: PAHO
Seni, W. (2011). Siklus manajemen bencana. Diakses pada tanggal 18 November
2013 pukul 22.35 WIB dari
Sukandarrumidi. (2010). Bencana Alam dan Bencana Anthropogene. Yogyakarta:
Kanisius
Undang-Undang Republik Indonesia No. 24 Tahun 2007-PNPB. Diakses
dari http://www.bnpb.go.id/page/read/5/definisi-dan-jenis-bencana

21
Veenema, T.G. (2007 ). Disaster nursing and emergency preparedness for chemical,
biological, and radiological terorisme and other hazard ( 2 nd ed ). New York :
Springer Publishing Company.
Zailani. 2009. Keperawatan Bencana. Banda Aceh: Forum Keperawatan Bencana
(http://bakauhijau.wordpress.com/author/wildansenist/page/5/)
(http://endrosambodo1984.wordpress.com/2012/04/18/manajemen-bencana/)
(http://www.ptsd.va.gov/professional/pages/handouts-pdf/Reactions.pdf,

22

Anda mungkin juga menyukai