Anda di halaman 1dari 15

Visi Program Studi :

Pada tahun 2025 menghasilkan Ners yang unggul dalam menerapkan ilmu dan
teknologi keperawatan lanjut usia

TUGAS MAKALAH
KEPERAWATAN KRITIS
Program Studi : Alih Jenjang Keperawatan Program Sarjana Terapan

dan Program Studi Pendidikan Profesi Ners

Judul Materi : Aspek Psikososial dari Keperawatan Kritis

Mata Kuliah : Keperawatan kritis

Dosen : Ibu Niluh Putu Ekarini SpKMB

Kelompok II (Kelas B)
1. Tri Wahyuni
2. Triana Hinarwati
3. Yuvita Dewi
4. Warsiti
5. Yetty Marlina
6. Yani
7. Yuli Ernawati

Visi Program Studi :


Pada tahun 2025 menghasilkan Ners yang unggul dalam menerapkan ilmu dan
teknologi keperawatan lanjut usia
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah ilmiah tentang Kebutuhan psikososial pada
pasien gawat darurat dan kritis

Makalah ilmiah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan
bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah
ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak
yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.

Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena
itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca
agar kami dapat memperbaiki makalah ilmiah ini.

Akhir kata kami berharap semoga makalah ilmiah Kebutuhan psikososial


pada pasien gawat darurat dan kritis”untuk masyarakan ini dapat memberikan
manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Aspek psikososial dari sakit kritis merupakan suatu tantangan yang unik bagi
perawat pada keperawatan kritis. Perawat harus secara seimbang dalam
memenuhi kebutuhan fisik dan emosional dirinya maupun kliennya dalam suatu
lingkungan yang dapat menimbulkan stress dan dehumanis. Untuk mencapai
keseimbangan ini perawat harus mempunyai pengetahuan tentang bagaimana
keperawatan kritis yang dialami mempengaruhi kesehatan psikososial pasien,
keluarga dan petugas kesehatan. Dalam memberikan asuhan keperawatan pada
pasien yang dirawat di icu atau perawatan kritis selalu mempertimbangkan aspek
biologis, psikologis, sosiologis, spiritual, secara komprehensif. Hal ini berarti
pasien yang dirawat di ICU membutuhkan asuhan keperawatan tidak hanya
masalah patofisiologi tetapi juga masalah psiko sosial, lingkungan dan keluarga
yang secara erat terkait dengan penyakit fisiknya. (FK Unair, RSUD Dr.
Soetomo, 2001)
B. Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah agar kita dapat memahami masalah
psikososial pada pasien sakit kritis sesuai dengan judul makalah ini. Serta
bermanfaat bagi kami untuk memberikan asuhan keperawatan yang tepat dan
mengurangi masalah yang timbul pada perawatan kritis.
BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. KONSEP KEPERAWATAN KRITIS

1. Definisi

Keperawatan kritis merupakan salah satu spesialisasi di bidang keperawatan


yang secara khusus menangani respon manusia terhadap masalah yang
mengancam kehidupan. Secara keilmuan perawatan kritis fokus pada
penyakit yang kritis atau pasien yang tidak stabil. Untuk pasien yang kritis,
pernyataan penting yang harus dipahami perawat ialah “waktu adalah vital”.
Sedangkan Istilah kritis memiliki arti yang luas penilaian dan evaluasi secara
cermat dan hati-hati terhadap suatu kondisi krusial dalam rangka mencari
penyelesaian/jalan keluar.
American Association of Critical-Care Nurses (AACN) mendefinisikan
Keperawatan kritis adalah keahlian khusus di dalam ilmu perawatan yang
dihadapkan secara rinci dengan manusia (pasien) dan bertanggung jawab
atas masalah yang mengancam jiwa. Perawat kritis adalah perawat
profesional yang resmi yang bertanggung jawab untuk memastikan pasien
dengan sakit kritis dan keluarga pasien mendapatkan kepedulian optimal
(AACN, 2006). American Association of Critical Care Nurses (AACN,
2012) juga menjelaskan secara spesifik bahwa asuhan keperawatan kritis
mencakup diagnosis dan penatalaksanaan respon manusia terhadap penyakit
aktual atau potensial yang mengancam kehidupan. Lingkup praktik asuhan
keperawatan kritis didefinisikan dengan interaksi perawat kritis, pasien
dengan penyakit kritis, dan lingkungan yang memberikan sumber-sumber
adekuat untuk pemberian perawatan.
2. Prinsip Keperawatan Kritis
Pasien kritis adalah pasien dengan perburukan patofisiologi yang cepat
yang dapat menyebabkan kematian. Ruangan untuk mengatasi pasien kritis
di rumah sakit terdiri dari: Unit Gawat Darurat (UGD) dimana pasien diatasi
untuk pertama kali, unit perawatan intensif (ICU) adalah bagian untuk
mengatasi keadaan kritis sedangkan bagian yang lebih memusatkan
perhatian pada penyumbatan dan penyempitan pembuluh darah koroner
yang disebut unit perawatan intensif koroner Intensive Care Coronary Unit
(ICCU). Baik UGD, ICU, maupun ICCU adalah unit perawatan pasien kritis
dimana perburukan patofisiologi dapat terjadi secara cepat yang dapat
berakhir dengan kematian.

B. ASPEK PSIKOSOSIAL

Psikososial adalah setiap perubahan dalam kehidupan individu, baik yang


bersifat psikologik maupun social yang mempunyai pengaruh timbal balik.
Masalah psikososial adalah masalah kejiwaan dan kemasyarakatan yang
mempunyai pengaruh timbal balik, sebagai akibat terjadinya perubahan social
dan atau gejolak social dalam masyarakat yang dapat menimbulkan gangguan
jiwa.
Teori Erik Erikson membahas tentang perkembangan manusia dikenal dengan
teori perkembangan psiko-sosial. Teori perkembangan psikososial ini adalah
salah satu teori kepribadian terbaik dalam psikologi. Seperti Sigmund Freud,
Erikson percaya bahwa kepribadian berkembang dalam beberapa tingkatan.
Salah satu elemen penting dari teori tingkatan psikososial Erikson adalah
perkembangan persamaan ego. Persamaan ego adalah perasaan sadar yang kita
kembangkan melalui interaksi sosial. Menurut Erikson, perkembangan ego
selalu berubah berdasarkan pengalaman dan informasi baru yang kita dapatkan
dalam berinteraksi dengan orang lain. Erikson juga percaya bahwa kemampuan
memotivasi sikap dan perbuatan dapat membantu perkembangan menjadi
positif, inilah alasan mengapa teori Erikson disebut sebagai teori
perkembangan psikososial.
ICU seringkali digambarkan sebagai suatu tempat yang penuh dengan stress,
tidak hanya bagi klien dan keluarganya tetapi juga bagi perawat. Pemahaman
yang baik tentang stres dan akibatnya akan membantu ketika bekerja pada unit
keperawatan kritis. Pemahaman ini dapat memungkinkan perawat untuk
mengurangi efek destruktif stress dan meningkatkan potensi positif dari stress
baik pada pasien dan dirinya sendiri.
Stress
Stress didefinisikan sebagai respon fisik dan emosional terhadap tuntutan yang
dialami individu yang diiterpretasikan sebagai sesuatu yang mengancam
keseimbangan (Emanuelsen & Rosenlicht, 1986). Stres merupakan suatu
fenomena komplek, dimana sekumpulan komponen saling berinteraksi dan
bekerja serentak. Ketika sesuatu hal mengubah satu komponen subsistem,
maka keseluruhan sistem dapat terpengaruh. Jika tuntutan untuk berubah
menyebabkan ketidakseimbangan (disequilibrium) pada sistem, maka
terjadilah stress. Individu kemudian memobilisasi sumber-sumber koping
untuk mengatasi stress dan mengembalikan keseimbangan. Idealnya, stress
bergabung dengan perilaku koping yang tepat akan mendorong suatu
perubahan positif pada individu. Ketika stress melebihi kemampuan koping
seseorang, maka potensi untuk menjadi krisis dapat terjadi.
Stressor
individu dan berakibat pada terjadinya fenomena stress (Emanuelsen &
Rosenlicht, 1986). Sumber stressor dapat berasal dari subsistem biofisikal,
psikososial atau masyarakat. Stressor biofisik antara lain organisme infeksius,
Stressor merupakan faktor internal maupun eksternal yang dapat mengubah
proses penyakit atau nutrisi yang buruk. Sedangkan contoh stressor psikososial
adalah harga diri yang rendah, masalah hubungan interpersonal, dan krisis
perkembangan. Stressor ini berasal dari masyarakat luas seperti fluktuasi
ekonomi polusi dan teknologi tinggi.
Bagaimana orang mengalami suatu stressor tergantung pada persepsinya
tentang stressor dan sumber kopingnya. Stress juga merupakan tambahan
(additive). Jika seseorang mendapat serangan stressor yang multipel, maka
respon stress akan lebih hebat.
Respon stres
Respon stress dapat diinduksi oleh stressor biofisik, psikososial atau stressor
social. Hans Selye dalam Emanuelsen & Rosenlicht (1986) mengemukakan
temuanya tentang stress kedalam suatu model stress yang disebut general
adaptation syndrome (GAS). GAS terdiri atas 3 tahap yaitu (a) alarm respon,
(b) stage of resistance dan stage of exhaustion.
- Alarm respon. Merupakan tahap pertama dan ditandai oleh respon cepat,
singkat, melindungi/memelihara kehidupan dimana merupakan aktivitas total
dari system saraf simpatis. Tahap ini sering disebut dengan istilah menyerang
atau lari (fight-or-flight response).
- Stage of resistance. Merupakan tahap kedua, dimana tubuh beradaptasi
terhadap ketidakseimbangan yang disebabkan oleh stressor. Tubuh bertahan
pada tahap ini sampai stressor yang membahayakan hilang dan tubuh mampu
kembali kekeadaan homeostasis. Jika semua energi tubuh tubuhnya digunakan
untuk koping, maka dapat terjadi tahap yang ketiga yaitu tahap kelelahan.
- Stage of exhaustion. Saat semua energi telah digunakan untuk koping, maka
tubuh mengalami kelelahan dan berakibat pada terjadinya sakit fisik, gangguan
psikososial dan kematian.
Klien
Klien yang sakit dan harus masuk ke ruang ICU tidak saja bertambah
menderita akibat stress sakit fisiknya tetapi juga stress akibat psikososialnya.
Konsekuensinya, perawat yang melakukan asuhan keperawatan pada unit
keperawatan kritis didesign untuk memelihara atau mengembalikan semua
fungsi fisik vital dan fungsi-fungsi psikososial yang terganggu oleh keadaan
sakitnya
Respon psikososial
Respon psikososial klien terhadap pengalaman keperawatan kritis mungkin
dimediasi oleh fenomena internal seperti keadaan emosional dan mekanisme
koping atau oleh fenomena eksternal seperti kuantitas dan kualitas stimulasi
lingkungan.
- Reaksi emosional. Intensitas reaksi emosional dapat mudah dipahami jika
menganggap bahwa ICU adalah tempat dimana klien berusaha menghindari
kematian. Klien dengan keperawatan kritis memperlihatkan reaksi emosional
yang dapat diprediksi dimana mempunyai cirri-ciri yang umum, berkaitan
dengan sakitnya. Takut dan kecemasan secara umum adalah reaksi pertama
yang tampak. Klien mungkin mengalami nyeri yang menakutkan, prosedur
yang tidak nyaman, mutilasi tubuh, kehilangan kendali, dan/atau meninggal.
- Depresi seringkali muncul setelah takut dan kecemasan. Depresi seringkali
merupakan respon terhadap berduka dan kehilangan.pengalaman kehilangan
dapat memicu memori dimasa lalu muncul kembali dengan perasaan sedih
yang lebih hebat.
Mekanisme koping
Mekanisme koping merupakan skumpulan strategi mental baik disadari
maupun tidak disadari yg digunakan untuk menstabilkan situasi yang
berpotensi mengancam dan membuat kembali ke dalam keseimbangan
(Emanuelsen & Rosenlicht, 1986). Strategi koping klien merupakan upaya
untuk menimbulkan stabilitas emosional, menguasai lingkungan,
mendefinisikan kembali tugas/tujuan hidup, dan memecahkan masalah yang
ditimbulkan oleh karena sakit/penyakit. Beberapa contoh perilaku koping
adalah humor, distraksi, bertanya untuk suatu informasi berbicara dengan yang
lain tentang keluhan/perasaan-perasaannya, mendefinisikan kembali masalah
kedalam istilah yang lebih disukai, menghadapi masalah dengan dengan
melakukan beberapa tindakan, negosiasi kemungkinan pilihan/alternatif,
menurunkan ketegangan dengan minum, makan atau menggunakan obat,
menarik diri, menyalahkan seseorang atau sesuatu, menyalahkan diri
sendirimenghindar dan berkonsultasi dengan ahli agama.

B. UPAYA UNTUK MENGATASI MASALAH PSIKOSOSIAL PASIEN


KRITIS
Terjadinya sakit atau keadaan KRISIS atau KRITIS seseorang menimbulkan
stres dan anxietas baik pada klien, keluarga atau orang terdekat. Oleh karena :
a. Ancaman thd kehidupannya dan kesejahteraanya
b. Ancaman ketidakberdayaan
c. Kehilangan
d. Beratnya penyakit
e. Kehilangan kendali
f. Perasaan kehilangan fungsi & harga diri
g. Kegagalan membentuk pertahanan diri
h. Perasaan terisolasi
i. Takut mati
Respon yang dialami baik pasien atau keluarga yang mengalami kegawatan atau
sakit kritis umumnya akan :
a. Terkejut dan tidak percaya
b. Mengembangkan kesadaran
c. Resolusi ( keputusan )
Sebagai perawat professional apabila pasien atau keluarga mengalami hal
tersebut maka penatalaksanaan keperawatan tidak terlepas dan:
1. Proses keperawatan
2. Memenuhi kebutuhan dasar pasien
3. adaptasi
4. Advokasi
Tindakan tersebut ditujukan untuk:
1. Dukungan emosional, sosial, spiritual dan fisik di lingkungan
perawatan
2. meningkatkan kenyamanan
3. meningkatkan integritas dan identitas pasien
4. koping yang adaptif dan efektif

PROSES KOPING
Proses koping pada pasien yang mengalami trauma sangat dipengaruhi oleh:
a. Gejala awal ( pasien menangis / ketakutan karena tidak tahu kondisinya)
b. Penolakan klien terhadap kondisinya

WAWANCARA & INTERVENSI PSIKOSOSIAL


Bagi perawat emergensi / perawat kritis sangat diperlukan wawancara &
intervensi psikososial sebab disamping umumnya pasien dan keluarga
mengalami sakit yang tiba-tiba juga terkadang disertai situasi yang buruk dan
penyakit yang berat. Keberhasilan tindakan ini sangat tergantung pada:
a. Informasi & jawaban yg memuaskan atas permasalahan mereka
b. Jaminan terhadap kesehatannya
c. Perubahan kearah kesembuhan
d. Harapan keluarga
e. Sikap tenaga keperawatan
f. Frekuensi kontak dengan pasien / keluarga

UPAYA KEPERAWATAN
1. Modifikasi Lingkungan
Pertama adalah merubah lingkungan ICU. Lingkungan ICU sebaiknya
senantiasa dimodifikasi supaya lebih fleksibel walaupun menggunakan
banyak sekali peralatan dengan teknologi canggih, serta meningkatkan
lingkungan yang lebih mendukung kepada proses recovery (penyembuhan
pasien) (Jastremski, 2000). Konsep pelayanan yang berfokus pada pasien
memungkinkan untuk mempromosikan the universal room. Ketersediaan alat
yang portable dan lebih kecil meningkatkan keinginan untuk mendekatkan
pelayanan pada pasien daripada pasien yg datang ke tempat pelayanan.
Kemungkinan untuk membuat work statiun kecil (decentralization of nursing
activities) untuk tiap pasien akan mengurangi stress bagi pasien (Jastremski,
2000). Peralatan yang super canggih seperti remote monitoring untuk semua
pasien melalui monitor pada semua tempat tidur pasien yang bisa dimonitor
lewat TV. Jadi perawat bisa memonitor pasien Bed 1 walau sedang berada
dekat pasien Bed 2 (Jastremski, 2000). Disamping menggunakan tekhnologi
canggih seperti diatas untuk efisiensi dan efektifitas pelayanan kepada pasien,
lingkungan yang menyembuhkan (healing environtment) juga perlu
diciptakan. Fleksibilitas dari lingkungan tempat tidur (bedside environtment)
bisa dimaksimalkan ketika semua lingkungan yang terkontrol disedikan di
ruangan pasien. Thermostats, light switches, sound systems, window blinds
dan lain-lain harus bisa dikontrol secara terpisah untuk setiap pasien
(Jastremski, 2000). Pengontrollen level suara (noise) dan promoting normal
sleep penting sebagai pengaturan fluid intake.
2. Terapi musik
Disamping modifikasi lingkungan seperti diuraikan diatas, cara lain untuk
menurunkan stress pada pasien yang dirawat di ICU adalah terapi musik.
Tujuan therapy musik adalah menurunkan stress, nyeri, kecemasan dan
isolasi. Beberapa penelitian telah meneliti efek musik pada physiology pasien
yang sedang dirawat dan menemukan bahwa terapi musik dapat menurunkan
heart rate, komplikasi jantung dan meningkatkan suhu ferifer pada pasien
AMI. Juga ditemukan bahwa terapi musik dapat menurunkan stress pasien
(Jastremski, 2000; Harvey, 1998; White, 1999). Musik yang digunakan bisa
berupa suara air, suara hujan, suara angin atau suara alam (Jastremski,1998).
Masing - masing pasien diberikan headset untuk mendengarkannya.
Pengurangan cahaya di malam hari juga akan mengurangi stressor bagi
pasien.
3. Melibatkan kelurga dan memfasilitasi keluarga dalam perawatan pasien kritis
Lingkungan ICU harus mampu mengakomodasi kebutuhan pasien dan
keluarganya (Jastremski, 2000). Pasien tentunya sangat mengharapkan
dukungan emosional dari keluarganya (Olsen, Dysvik & Hansen, 2009)
karenanya jam besuk harus lebih fleksibel. Selama ini jam bezuk hanya 2 kali
sehari. Hal ini perlu dimodifikasi terutama untuk seseorang yang sangat
berarti bagi pasien. Disamping itu keluarga perlu diberikan ruangan tunggu
yang nyaman dengan fasilitas kamar mandi, TV dan internet connection
(Hamilton, 1999).
4. Komunikasi terapeutik
Perawat dan tenaga kesehatan lainnya sering lupa atau kurang perhatian
terhadap masalah komunikasinya dengan pasien dan keluarganya.
Berdasarkan sistematic review yang dilakukan oleh Lenore & Ogle (1999)
terhadap penelitian tentang komunikasi perawat pasien di ruang ICU di
Australia menemukan bahwa komunikasi perawat di ruang ICU masih sangat
kurang meskipun mereka mempunyai pengetahuan yang sangat tinggi tentang
komunikasi terapeutik. Hal ini juga dialami oleh teman dekat penulis ketika
anaknya di rawat di ICU. Dia merasa perawat ICU di rumah sakit K tersebut
sangat ttdak mempertimbangkan perasaan dia dan pasien ketika
berkomunikasi. Sangat tidak supportive dan cenderung apathy. Penelitian lain
oleh McCabe (2002) di Ireland dengan pendekatan phenomenology juga
menunjukkan hal yang sama. Akan tetapi, perawat bisa melakukan
komunikasi yang baik dan efektif dengan pasien ketika perawat
menggunakan pendekatan person-centered care. Person-centred care adalah
istilah yang digunakan dalam pelayanan kesehatan untuk menggambarkan
pendekatan pilosofis untuk a particular mode of care (model tertentu dalam
keperawatan). Konsep utama dari person-centred care adalah sebuah
komitmen untuk menemukan kebutuhan pelayanan keperawatan individu
dalam konteks pengalaman sakit, kepercayaan pribadi, budaya, situasi
keluarga, gaya hidup dan kemampuan untuk memahami apa yang sedang
dirasakan oleh pasien. Pendekatan ini membutuhkan perawat untuk pindah
dari sekedar hanya memenuhi kebutuhan kesehatan pasien kepada
kemampuan untuk memahami dan responsif terhadap the inner world of the
individual – their personal world of experiences and what this means to them
(Hasnain, et al., 2011; Clift, 2012).
BAB III

PENUTUP

Pasien-pasien yang dirawat diruangan Kritis ( IGD, ICU, ICCU, PICU ) adalah
pasien-pasien yang sedang mengalami keadaan kritis. Keadaan kritis merupakan
suatu keadaaan penyakit kritis yang mana pasien sangat beresiko untuk
meninggal. Pada keadaan kritis ini pasien mengalami masalah psikososial yang
cukup serius dan karenanya perlu perhatian dan penanganan yang serius pula dari
perawat dan tenaga kesehatan lain yang merawatnya. Dalam memberikan asuhan
keperawatan pada pasien kritis ini, perawat ini harus menunjukkan sikap
profesional dan tulus dengan pendekatan yang baik serta berkomunikasi yang
efektif kepada pasien.
DAFTAR PUSTAKA

Barr W.J. & Bush H.A.(1998). Four factors of nurse caring in the ICU.
Dimensions of Critical Care Nursing, 17(4), 214-223

Cornock M (1998). Stress and the intensive care patient: Perceptions of patients
and nurses. Jounal of Advand Nursing, 27,18.

Davis-Martin S (1994). Perceived needs of families of long-term critical care


patients: A brief report. Heart Lung, 23, 515

Dyson M. (1996). Modern critical care unit design: Nursing implications in


modern critical care unit design. Nursing Critical Care 1,194,

Dyson M. (1999). Intensive care unit psychosis, the therapeutic nurse-patient


relationship and the influence of the intensive care setting: Analysis of
interrelating factors. Journal of Clinical Nursing, 8, 284

Anda mungkin juga menyukai