Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Bencana dapat terjadi dimana saja dan kapan saja di seluruh penjuru dunia.
Bencana dapat berdampak kepada individu, keluarga dan komunitas. Bencana
adalah gangguan serius yang mengganggu fungsi komunitas atau penduduk
yang menyebabkan manusia mengalami kerugian, baik kerugian materi,
ekonomi atau kehilangan penghidupan yang mana berpengaruh terhadap
kemampuan koping manusia itu sendiri (International Strategy for Disaster
Reduction [ISDR], 2009).
Indonesia dengan keadaan geografis dan kondisi sosialnya berpotensi
rawan bencana, baik disebabkan oleh kejadian alam seperti gempa bumi,
tsunami, tanah longsor, letusan gunung berapi, banjir, angin putting beliung
dan kekeringan, maupun yang disebabkan oleh ulah manusia dalam
pengolahan sumber daya dan lingkungan (contohnya kebakaran hutan,
pencemaran lingkungan, kecelakaan transportasi, kecelakaan industri, dan
tindakan teror bom) serta konflik antar kelompok masyarakat (Departemen
Kesehatan [DepKes], 2006).
Bencana memiliki dampak yang sangat merugikan manusia. Rusaknya
sarana dan prasarana fisik (perumahan penduduk, bangunan perkantoran,
pelayanan kesehatan, sekolah, tempat ibadah, sarana jalan, jembatan dan lain-
lain) hanyalah sebagian kecil dari dampak terjadinya bencana disamping
masalah kesehatan seperti korban luka, penyakit menular tertentu,
menurunnya status gizi masyarakat, stress, trauma dan masalah psikososial,
bahkan korban jiwa. Bencana dapat pula mengakibatkan arus pengungsian
penduduk ke lokasi-lokasi yang dianggap aman.
Hal ini tentunya dapat menimbulkan masalah kesehatan baru di wilayah
yang menjadi tempat penampungan pengungsi, mulai dari munculnya kasus
penyakit dan masalah gizi serta masalah kesehatan reproduksi hingga masalah

1
penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan, penyediaan air bersih, sanitasi serta
penurunan kualitas kesehatan lingkungan (DepKes, 2006).
Dalam penanggulangan keperawatan bencana harus diperhatikan juga
tentang aspek etik dan legal yang merupakan prinsip menyangkut benar dan
salah, baik dan buruk berhubungan dengan orang lain juga studi tentang
perilaku, karakter dan motif yang baik serta ditekankan pada penetapan apa
yang baik dan berharga bagi semua orang. Maka dalam makalah ini akan
dibahas tentang aspek etik dan legal keperawatan bencana serta konsep dan
model triase dalam bencana.
B. Tujuan
1. Tujuan Umun
Mengetahui tentang aspek etik dan legal dalam keperawatan bencana serta
konsep dan model triase bencana
2. Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi tentang aspek etik dan legal keperawatan bencana
b. Mengidentifikasi konsep dan model triase bencana

2
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Aspek Etik dan Legal Keperawatan Bencana


1. Definisi
Etik merupakan prinsip yang menyangkut benar dan salah, baik dan
buruk dalam berhubungan dengan orang lain.
Etik merupakan studi tentang perilaku, karakter dan motif yang baik
serta ditekankan pada penetapan apa yang baik dan berharga bagi semua
orang.
Dapat disimpulkan etik merupakan istilah yang digunakan untuk
merefleksikan bagaimana seharusnya manusia berprilaku, apa yang
seharusnya dilakukan seseorang terhadap orang lain.
Sedangkan aspek legal sering pula disebut dasar hukum praktik
keperawatan mengacu pada hukum nasional yang berlaku di suatu
negara. Hukum bermaksud melindungi hak publik, misalnya undang-
undang keperawatan bermaksud melindungi hak publik dan kemudian
melindungi hak perawatan.
2. Aspek Etik dalam Keperawatan Bencana
Kebijakan yang diadopsi oleh American Medical Association pada
tahun 2004 yaitu : bencana nasional, regional, dan tanggapan lokal untuk
epidemi, serangan teroris dan bencana lainnya yang memerlukan
keterlibatan yang luas dari dokter. Karena komitmen mereka untuk
merawat orang sakit dan terluka, dokter individu memiliki kewajiban
untuk memberikan perawatan medis darurat selama bencana. Kewajiban
etis ini berlaku bahkan dalam menghadapi risiko lebih besar dari biasanya
untuk mengutamakan keselamatan, kesehatan, atau kehidupan mereka.
Tenaga kerja dokter, bagaimanapun bukan merupakan sumber daya
terbatas, karena itu ketika berpartisipasi dalam respon bencana, dokter
harus menyeimbangkan manfaat langsung kepada pasien individu dengan
kemampuan untuk merawat pasien di masa depan.

3
Pernyataan terkait pemberian pelayanan keperawatan: Perawat
mempromosikan, menganjurkan dan berusaha untuk melindungi
kesehatan, keselamatan, dan hak-hak pasien. Dipihak lain perawat
berkewajiban menjaga dirinya sendiri. Perawat berutang tugas yang sama
untuk dirinya sebelum merawat orang lain, termasuk tanggung jawab
untuk menjaga integritas dan keselamatan, untuk mempertahankan
kompetensi dan untuk melanjutkan pertumbuhan pribadi dan profesional.
Menurut ANA, Etik dalam Keperawatan Bencana adalah:
a. Perawat, dalam semua hubungan profesional, praktek dengan kasih
sayang dan rasa hormat terhadap martabat yang melekat, nilai, dan
keunikan setiap individu, dibatasi oleh pertimbangan status sosial atau
ekonomi, atribut pribadi, atau sifat masalah kesehatan
b. Perawat komitmen utama adalah untuk pasien, baik individu,
keluarga, kelompok , atau masyarakat
c. Perawat mempromosikan, menganjurkan, dan berusaha untuk
melindungi kesehatan, keselamatan, dan hak pasien
d. Perawat bertanggung jawab dan akuntabel untuk praktek keperawatan
individu dan menentukan delegasi yang sesuai tugas sesuai dengan
kewajiban perawat untuk memberikan perawatan pasien yang optimal.
e. Perawat bertanggung jawab untuk dirinya dan untuk lainnya, termasuk
tanggung jawab untuk menjaga integritas dan keamanan, untuk
menjaga kompetensi, dan melanjutkan pertumbuhan pribadi dan
profesional.
f. Perawat berpartisipasi dalam membangun, memelihara, dan
meningkatkan lingkungan perawatan kesehatan dan kondisi kerja yang
kondusif bagi penyediaan pelayanan kesehatan yang berkualitas dan
konsisten dengan nilai-nilai profesi melalui aksi individu dan kolektif
g. Perawat berpartisipasi dalam kemajuan profesi melalui kontribusi
untuk berlatih, pendidikan, administrasi, dan pengembangan
pengetahuan

4
h. Perawat bekerja sama dengan profesional kesehatan lainnya dan
masyarakat dalam mempromosikan masyarakat, nasional, dan upaya
internasional hanya untuk memenuhi kebutuhan kesehatan
i. Profesi keperawatan, yang diwakili oleh asosiasi dan anggotanya,
bertanggung jawab untuk mengartikulasikan nilai keperawatan, untuk
menjaga integritas profesi dan praktek, dan untuk membentuk
kebijakan sosial.

Menurut Veenema (2012) dalam Rudi (2016) menyatakan aspek dan


isu etik tersebut meliputi:
a. Pencatatan dan Pelaporan Penyakit.
Negara mempunyai kewenangan untuk meminta health care provider
(penyedia layanan kesehatan) untuk melaporkan kasus-kasus penyakit
yang ada. Meskipun laporan tersebut menimbulkan ketidaknyamanan
pribadi pasien. Masing-masing Negara membutuhkan laporan tentang
kasus-kasus penyakit yang berbeda, tergantung pada siapa yang
membutuhkan laporan tersebut. Hampir semua negara membutuhkan
laporan tentang kasus-kasus penyakit baru dalam 24 jam, atau
penyakit yang timbul lebih dari 24 jam (Horton, Misrahi, Matthews
&Kocher, 2002 dalam Veenema 2012).
b. Informasi Kesehatan.
Informasi kesehatan berisi tentang identitas individu, sehingga disini
akan muncul isu tentang privasi dan kerahasiaan. Seringkali istilah ini
ini digunakan saling tertukar, tidak dibedakan. Sebenarnya keduanya
mempunyai pengertian teknis yang berbeda. Informasi medis bisa
berisi identitas individu seperti: nama, alamat, nomor telepon, tanggal
lahir, dan identitas lainnya yang memungkinkan pihak ketiga
berkomunikasi. Kongres HIPA (Health Insurance Portability and
Accontability) memberi kewenangan kepada Departement of Health
Human Services (DHHS) untuk mengeluarkan kewenangan bahwa
privasi dari data pasien ada pada penyedia layanan kesehatan. Secara

5
etik kerahasiaan klien harus tetap dijaga,dimana perawat mempunyai
kewajiban etika untuk melindungi pasien dan menjaga kerahasian
pasien yang dirawat.
Menurut MSEHPA (2002) dikutip oleh Hart dalam Veenema
(2012) menjaga isu kerahasiaan data individu dalam dua cara yaitu:
1) Menjaga informasi kesehatan seseorang yang sedang diperiksa di
pelayanan kesehatan, sedang dalam pengobatan, vaksinasi, isolasi,
program karantina, atau upaya yang dilakukan oleh pelayanan
kesehatan masyarakat serta selama dalam pelayanan emergency
care.
2) Hanya pihak yang akan melakukan pelayanan kesehatan dan
penelitian epidemiologi atau untuk menginvestigasi penyebab
transmisi dapat akses untuk mendapatkan informasi ini.
Penelitian yang dilakukan telah lulus kaji etik dan telah mendapat
surat ijin untuk melakukan penelitian atau melakukan investigasi dari
pihak yang berwenang. MSEHPA juga membatasi dalam memberikan
keterangan terkait dengan kerahasiaan klien. Umumnya informasi
kesehatan tidak bisa diberikan tanpa sepengetahuan individu yang
bersangkutan. Namun demikian ada 5 (lima ) pengecualian, yaitu:
1) Keterangan langsung untukindividu yang bersangkutan.
2) Keterangan untuk pihak keluarga atau yang mewakili keluarga.
3) Keterangan untuk lembaga atau otoritas yang berkaitan dengan
hukum.
4) Keterangan untuk pengadilan atau untuk pusat layanan kesehatan.
5) Keterangan untuk mengidentifikasi penyebab kematian.
c. Karantina, Isolasi, dan Civil Commitment
Perbedaan antara karantina, isolasi, dan civil commitment yaitu:
1) Karantina: berasal dari undang-undang maritim dan praktik, dan
merupakan keharusan untuk isolasi orang atau barang (biasanya 40
hari), bila orang atau barang tersebut dicurigai mengandung
penyakit infeksi.

6
2) Isolasi: Penempatan orang atau barang yang diketahui mengandung
penyakit dalam waktu tertentu sehingga penyakit tidak menyebar.
3) Civil Commitmetn: Berhubungan dengan gangguan system
kesehatan mental dan membahayakan dirinya dan orang lain. Dapat
dibayangkan dalam keadaan krisis kesehatan masyarakat atau
bencana, kebutuhan untuk memberi perlindungan bias bertentangan
dengan kebutuhan untuk mencegah penyebaran penyakit.
Memberi isolasi sementara dan karantina harus segera dilakukan,
bila terlambat akan mengganggu kemampuan otoritas kesehatan
masyarakat untuk mencegah penularan penyakit.
d. Vaksinasi
Negara memiliki lembaga otoritas untuk mewajibkan warga
negaranya menjalani vaksinasi dalam pencegahan penyakit.
Pengadilan di USA mewajibkan vaksinasi tetap harus diberikan
walaupun orang tersebut menolak. Negara mewajibkan setiap anak
sekolah mendapatkan vaksinasi terhadap penyakit tertentu. Adapun
vaksinasi tersebut antara lain: rubella dan polio sebelum anak masuk
sekolah. Pengecualian bagi mereka untuk tidak menjalani vaksinasi
dengan alasan agama dan alasan penyakit kronis tertentu yang punya
reaksi negatif terhadap vaksinasi.
e. Treatment for Disease (Pengobatan Penyakit)
Pengadilan di USA memberi hak kepada orang dewasa untuk memilih
tempat dan jenis pengobatan untuk penyakit mereka, termasuk hak
untuk menolak pengobatan. Dalam etika keperawatan dimana perawat
memberikan hak otonomi (self determination) dimana seseorang
diberi kebebasan dalam membuat keputusan bagi dirinya. Undang-
undang kesehatan wajib memberikan pengobatan pada penyakit
menular seperti penyakit kelamin dan tuberculosis.

7
f. Screening & Testing
Screening dan testing merupakan upaya pelayanan kesehatan publik
yang berbeda. Testing biasanya mengacu pada prosedur medis untuk
memeriksa apakah seseorang mempunyai suatu penyakit tertentu.
Screening melakukan deteksi dini dengan memeriksa semua anggota
dari suatu populasi untuk menemukan adanya suatu penyakit. Pada
situasi krisis kesehatan di komunitas yang disebabkan oleh serangan
bioterroris perlu memeriksa semua anggota populasi, kecuali otoritas
public mengeluarkan surat pengecualiaan untuk golongan tertentu.
Klien diberitahu jika dia positif tertular penyakit tersebut dan akan
ditawari pengobatan sesuai dengan standar. Orang yang menolak
dilakukan pemeriksaan medis dan pengobatan dapat diisolasi atau
karantina.
g. Professional Licensing (Lisensi Profesional).
Dapatkah perawat (tanpa memiliki ijin dari pemerintah) membantu
sepenuhnya dalam keadaan krisis kesehatan publik atau bencana?.
Bila ada bencana tenaga kesehatan dihadapkan pada perawat dari kota
terdekat dari bencana menawarkan bantuan dan melakukan tugas atau
kewenangan yang biasa dilakukan oleh dokter. Di Indonesia
Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan republik
Indonesia nomor 161/Menkes/PER/I/2010 tentang Registrasi Tenaga
Kesehatan. BAB II Pasal 2 menyatakan setiap tenaga kesehatan yang
akan menjalankan pekerjaan keprofesiannya wajib memiliki STR
(Surat Tanda Registrasi) dengan melampirkan sertifikat kompetensi
yang dilegalisir.
Undang-undang lisensi keperawatan mempunyai dua pengaruh yaitu:
1) Membatasi wilayah dimana seorang perawat boleh praktik sesuai
lisensi yang dimiliki. Jika praktik diluar wilayah yang dilisensi
termasuk illegal. Hal ini ada pengecualian saat terjadi bencana atau
emergency. Perawat dari wilayah lain boleh membantu melalui
recruitment yang resmi dalam periode waktu tertentu.

8
2) Pembatasan undang-undang lisensi keperawatan dimana seorang
perawat boleh terlibat sesuai bidang keahliannya. Dalam situasi
krisis kesehatan publik akibat serangan bioteror, kemungkinan
terjadi kekurangan tenaga profesional yang qualified, terutama
pada tahap awal. Perawat dari daerah lain dan berbagai bidang
diijinkan membantu melalui recruitment.
h. Alokasi Sumber daya (Resource Allocation)
Serangan bioteroris dan bencana mengandung banyak sebab dan
akibat serta memerlukan banyak sumber daya. Tantangannya adalah
bagaimana mengalokasi sumber daya tersebut. Dalam hal ini sumber
daya tersebut dapat berupa obat-obatan, seperti antiseptic, antibiotic,
anti toxin, vaksin dan sumber daya manusia. Satu konsep keadilan
dalam layanan ini adalah konsep distribution justice. Dalam hal ini
distribution justice menyangkut distribusi yang adil atas sumber daya
yang terbatas. Triage adalah salah satu mekanisme untuk distribusi
dengan sumber daya terbatas, dan dalam situasi darurat. Perawat juga
harus adil dalam memberikan pelayanan atau mendistribusikan
sumber daya tanpa membedakan agama, suku bangsa, dan golongan.
i. Professional Liabelity.
Semua profesi pelayanan kesehatan termasuk perawat bisa
mendapatkan “civil liability” dalam memberikan pelayanan kesehatan
yang terstandar. Seorang perawat mungkin dikatakan malpraktik dan
harus mengganti kerugian akibat dari memberikan layanan dibawah
standar meskipun dalam situasi darurat. Untuk itu, perawat hendaknya
memberikan pelayanan berdasarkan standar dan SOP yang telah
ditetapkan.
j. Penyedia layanan yang memadai (Provision of Adequate Care).
Beberapa perawat dan staf rumah sakit, ketika dihubungi oleh
supervisor perawat menyatakan mereka takut datang atau menemui
keluarga karena takut akan menularkan penyakit tersebut bagi
keluarganya karena mendengar ada kasus flu burung yang

9
menyebabkan adanya korban jiwa dalam kasus tersebut. Perawat
menyatakan kalau dirinya telah divaksinasi sedangkan keluarga atau
perawat yang lain belum mendapatkan vaksinasi. “ Recourse” legal
apa yang dimiliki rumah sakit jika stafnya menolak bekerja dalam
keadaan krisis kesehatan masyarakat atau bencana. Issue etis apa yang
dihadapi oleh perawat atau Rumah sakit dalam situasi tersebut.
Hubungan antara perawat dengan Rumah sakit secara legal sama
dengan hubungan antara pekerja dan pemberi kerja. Hubungan
tersebut tertulis dalam “ Kontrak Kerja”. Disini rumah sakit bisa
menghentikan hubungan kerja pada perawat tersebut. Sebaliknya,
pekerja (perawat) juga bebas pindah kerja ke tempat lain. Hubungan
kerja ini bisa dimodifikasi dalam dua cara yg berbeda. Pertama
dengan aturan pemerintah dan kedua dengan kontrak pribadi antara
rumah sakit dengan perawat. Perawat dan rumah sakit bisa menanda
tangani kontrak kerja yang menjelaskan hak dan tanggung jawab
kedua pihak, meskipun itu jarang dilakukan. Dalam kontrak tersebut
dijelaskan segala sesuatu tentang pekerjaan, termasuk jam kerja,
kebutuhan lembur, disiplin kerja, sesuai perjanjian dalam kontrak
kerja. Hubungan kerja pribadi maupun hubungan berdasarkan kontrak
dapat dimodifikasi oleh pemerintah. Pemerintah melarang adanya
diskriminasi ras, gender, atau orang cacat. Pemerintah dapat
membatasi jumlah jam kerja termasuk kebutuhan kerja perawat pada
kondisi darurat.
3. Aspek Legal dalam Keperawatan Bencana
a. Samaritan Law
Menolong karena kerelaaan bagi yang membutuhkan
b. UU Penanggulangan Bencana No. 24 tahun 2017
Tindakan saat tanggap bencana
c. UU Kesehatan No. 36 tahun 2009
1) Pasal 63 : Pengobatan dan perawatan menggunakan ilmu
kedokteran dan ilmu keperawatan

10
2) Pasal 32 : Pada kondisi darurat pelayanan kesehatan diberikan
tanpa uang muka
3) Pasal 53 (3) : Pelayanan kesehatan harus mendahulukan
pertolongan penyelamatan nyawa pasien dibandingkan
kepentingan lainnya
4) Pasal 58 (3) : Tuntutan ganti rugi tidak berlaku jika untuk
menyelamatkan nyawa dalam keadaan darurat
5) Pasal 82 : Pelayanan pada kondisi darurat dan bencana
d. UU Rumah Sakit No. 44 tahun 2009
1) Pasal 29 : Memberikan pelayanan gawat darurat dan bencana
sesuai dengan kemampuan pelayanannya
2) Pasal 29 : Memberikan pelayanan gawat darurat tanpa uang muka
3) Pasal 34 : Hak pasien
e. UU no 38 tahun 2014
1) Pasal 28 (3)
Praktik keperawatan didasarkan pada kode etik, standar pelayanan,
standar profesi, dan SOP
2) Pasal 35
(a) Dalam kondisi darurat perawat dapat melakukan tindakan
medis dan pemberian obat sesuai kompetensinya
(b) Tujuan menyelamatkan nyawa dan mencegah kecacatan lebih
lanjut
(c) Keadaan darurat merupakan keadaan mengancam nyawa atau
kecacatan
(d) Keadaan darurat ditetapkan oleh perawat dengan hassil
evaluasi berdasarkan keilmuannya
f. UU No. 38 tahun 2014 pasal 35
1) Dalam kondisi darurat perawat dapat melakukan tindakan medis
dan pemberian obat sesuai kompetensinya
2) Tujuan menyelamatkan nyawa dan mencegah kecacatan lebih
lanjut

11
3) Keadaan darurat merupakan keadaan mengancam nyawa atau
kecacatan

B. Konsep dan Model Triage Bencana


1. Definisi
Triage adalah suatu cara untuk menseleksi atau memilah korban
berdasarkan tingkat kegawatan. Menseleksi dan memilah korban tersebut
bertujuan untuk mempercepat dalam memberikan pertolongan terutama
pada para korban yang dalam kondisi kritis atau emergensi sehingga
nyawa korban dapat diselamatkan.
Triage adalah perawatan terhadap pasien yangdidasarkan pada
prioritas pasien ( atau korban selama bencana) bersumber pada
penyakit/tingkat cedera, tingkat keparahan, prognosis dan ketersediaan
sumber daya.
2. Tujuan Triage
1) Tujuan utama adalah untuk mengidentifikasi kondisi mengancam
nyawa
2) Tujuan kedua adalah untuk memprioritaskan pasien menurut ke
akutannya
3. KonsepTriage
Triase dilakukan untuk mengidentifikasi secara cepat korban yang
membutuhkan stabilisasi segera (perawatan di lapangan) dan
mengidentifikasi korban yang hanya dapat diselamatkan dengan
pembedahan darurat (life-saving surgery).Pemberian perawatan lapangan
intensif ditujukan bagi korban yang mempunyai kemungkinan hidup
lebih besar, sehingga setelah perawatan di lapangan ini penderita lebih
dapat mentoleransi proses pemindahan ke Rumah Sakit, dan lebih siap
untuk menerima perawatan yang lebih invasif. Dalam aktivitasnya,
digunakan kartu merah, kuning, hijau dan hitam sebagai kode identifikasi
korban, seperti berikut :

12
a. Merah, sebagai penanda korban yang membutuhkan stabilisasi segera
dan korban yang mengalami:
1) Syok oleh berbagai kausa
2) Gangguan pernapasan
3) Trauma kepala dengan pupil anisokor
4) Perdarahan eksternal massif
b. Kuning, sebagai penanda korban yang memerlukan pengawasan
ketat, tetapi perawatan dapat ditunda sementara. Termasuk dalam
kategori ini:
1) Fraktur multipel
2) Fraktur femur / pelvis
3) Luka bakar luas
4) Gangguan kesadaran / trauma kepala
c. Hijau, sebagai penanda kelompok korban yang tidak memerlukan
pengobatan atau pemberian pengobatan dapat ditunda, mencakup
korban yang mengalami:
1) Fraktur minor
2) Luka minor, luka bakar minor
3) Korban dalam kategori ini, setelah pembalutan luka dan atau
pemasangan bidai dapat dipindahkan pada akhir operasi lapangan.
4) Korban dengan prognosis infaust, jika masih hidup pada akhir
operasi lapangan, juga akan dipindahkan ke fasilitas kesehatan.
d. Hitam, sebagai penanda korban yang telah meninggal dunia.
Triase lapangan dilakukan pada tiga kondisi:
1) Triase di tempat (triase satu)
Triase di tempat dilakukan di “tempat korban ditemukan”atau
pada tempat penampungan yang dilakukan oleh tim Pertolongan
Pertama atau Tenaga Medis Gawat Darurat. Triase di tempat
mencakup pemeriksaan, klasifikasi, pemberian tanda dan
pemindahan korban ke pos medis lanjutan.

13
2) Triase medik (triase dua)
Triase ini dilakukan saat korban memasuki pos medis lanjutan
oleh tenaga medis yang berpengalaman (sebaiknya dipilih dari
dokter yang bekerja di Unit Gawat Darurat, kemudian ahli
anestesi dan terakhir oleh dokter bedah).Tujuan triase medik
adalah menentukan tingkat perawatan yang dibutuhkan oleh
korban.
3) Triase evakuasi (triase tiga)
Triase ini ditujukan pada korban yang dapat dipindahkan ke
Rumah Sakit yang telah siap menerima korban bencana massal.
Jika pos medis lanjutan dapat berfungsi efektif, jumlah korban
dalam status “merah” akan berkurang, danakan diperlukan
pengelompokan korban kembali sebelum evakuasi dilaksanakan.
Tenaga medis di pos medis lanjutan dengan berkonsultasi dengan
Pos Komando dan Rumah Sakit tujuan berdasarkan kondisi
korban akan membuat keputusan korban mana yang harus
dipindahkan terlebih dahulu, Rumah Sakit tujuan, jenis kendaraan
dan pengawalan yang akan dipergunakan.
4. Model Triage
a. Model SALT Triage(Mass Casualty Incident)
SALTterdiri dari dua langkah ketika menangani korban. Hal ini
termasuk triase awal korban dengan menggunakan perintah
suara,perawatan awal yang cepat, penilaian masing-masing korban
serta prioritas, dan inisiasi pengobatan dan transportasi.
1) Step 1 : SORT
SALT dimulai dengan menyortir pasien secara global melalui
penilaian korban secara individu. Pasien yang bisa berjalan diminta
untuk berjalan ke suatu area tertentu dan dikaji pada prioritas
terakhir untuk penilaian individu. Penilaian kedua dilakukan pada
korban yang diminta untuk tetap mengikuti perintah atau di kaji
kemampuan gerakan secara terarah / gerakan bertujuan. Kemudian

14
pada korban yang tetap diam tidak bergerak dari tempatnya dan
dengan kondisi mengancam nyawa yang membutuhkan intervensi
untuk penyelamatan nyawa.
2) Step 2 : ASSES
Prioritas pertama selama penilaian individu adalah untuk
memberikan intervensi menyelamatkan nyawa. Termasuk
mengendalikan perdarahan utama; membuka jalan napas pasien,
dekompresi dada pasien dengan pneumotoraks, dan menyediakan
penangkal untuk eksposur kimia. Intervensi ini diidentifikasi
karena injury tersebut dapat dilakukan dengan cepat dan dapat
memiliki dampak yang signifikan pada kelangsungan hidup
pasien.Intervensi live saving yang harus diselesaikan sebelum
menetapkan kategori triase danhanya boleh dilakukan dalam
praktek lingkup responder dan jika peralatan sudah tersedia.
b. Model START/ JUMPSTART Triage (Mass CasualtyIncident)
1) START
Sistem START tidak harus dilakukan oleh penyedia layanan
kesehatan yang sangat terampil. Bahkan, dapat dilakukan oleh
penyedia dengan tingkat pertolongan pertama pelatihan.
Tujuannya adalah untuk dengan cepat mengidentifikasi individu
yang membutuhkan perawatan, waktu yang dibutuhkan untuk
triase setiap korban kurang dari 60 detik. START membagi
korban menjadi 4 kelompok dan masing-masing memberikan
pengelompokkan warna. START triase memiliki tag empat warna
untuk mengidentifikasi status korban. Langkah pertama adalah
meminta semua korban yang membutuhkan perhatian untuk
pindah ke daerah perawatan. Ini mengidentifikasi semua korban
dengan luka ringan yang mampu merespon perintah dan berjalan
singkat jarak ke area pengobatan. Ini adalah GREEN kelompok.
Langkah selanjutnya menilai pernapasan.Jika respirasi lebih besar
dari 30 maka tandai korban sebagai RED (Immediate), jika tidak

15
adareposisi respirasi jalan napas. Jika tidak ada respirasi setelah
reposisi untuk membuka jalan napas, tandai korban BLACK
(mati). Jika tingkat pernapasan kurang dari 30, periksa denyut
nadi radial dan refill kapiler. Jika tidak ada pulse radial teraba
atau jika kapiler isiulang lebih besar dari 2 detik, menandai
korban RED (Immediate). Jika ada perdarahan yang jelas, maka
kontrol perdarahan dengan tekanan. Jikaada nadi radial, nilai
status mental korban dengan meminta mereka untuk mengikuti
perintah sederhana seperti meremas tangan. Jika mereka tidak
bisa mengikuti perintah sederhana, maka tag mereka RED
(Immediate) dan jika mereka dapat mengikuti perintah sederhana,
maka tag mereka YELLOW (delayed).
2) JUMPSTART
Anak-anak memiliki nilai rentang normal yang berbeda dari
pernapasan tergantung pada usia mereka, sehingga metode
START berdasarkan tingkat pernapasan 30 tidak akan sesuai
untuk anak-anak. Selain itu, anak-anak lebih cenderung memiliki
masalah pernapasan utama sebagai lawan masalah kardiovaskular
dan anak-anak yang tidak bernapas mungkin hanya memerlukan
pernapasan buatan untuk diresusitasi. Selain itu, anak-anak
mungkin tidak mudah dibagi sesuai dengan yang dapat berjalan
kaki ke lokasi yang ditunjuk karena perkembangan, keterampilan,
kesediaan mereka untuk meninggalkan orangtua terluka dan
kecenderungan orang tua untuk membawa anak. Mungkin tidak
mudah untuk menentukan usia anak sehingga korban tampak
masih anakanakmaka menggunakan JUMPSTART dan jika
korban terlihat seperti orang dewasa muda menggunakan START.

16
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Aspek etik merupakan istilah yang digunakan untuk merefleksikan
bagaimana seharusnya manusia berprilaku, apa yang seharusnya dilakukan
seseorang terhadap orang lain. Sedangkan aspek legal yang sering pula
disebut dasar hukum praktik keperawatan mengacu pada hukum nasional
yang berlaku di suatu negara. Hukum bermaksud melindungi hak publik,
misalnya undang-undang keperawatan bermaksud melindungi hak publik dan
kemudian melindungi hak perawatan.
Aspek etik dan isu etik dalam keperawatan bencana meliputi:
pencatatan dan pelaporan penyakit, informasi kesehatan, karantina, isolasi,
dan civil commitment, vaksinasi, tretment for disease (pengobatan penyakit),
screening & testing, profesional licensing (lisensi profesional), alokasi
sumber daya (resource allocation), profesional liabelity, penyedia layanan
yang memadai (provision of adequate care). Menurut msehpa (modelstate
emergency health power art 2002) menjaga issu kerahasiaan data individu
dalam dua cara yaitu: menjagainformasi kesehatan seseorang yang sedang
diperiksa di pelayanan kesehatan termasuk dalam pelayanan emergency care;
hanya pihak yang melakukan pelayanan kesehatan dan penelitian
epidemiologi atau untuk menginvestigasi penyebabtransmisi dapatakses
untuk mendapatkan informasi ini.
Undang-undang lisensi keperawatan mempunyai dua pengaruh yaitu:
membatas wilayah dimana seseorang perawat boleh praktik sesuai lisensi
yang dimiliki, dan membatasi aktivitas dimana seorang perawat boleh terlibat
sesuai bidang keahliannya. Perbedaanutama keperawatan gawat darurat dan
bencana terletak pada keseimbangan antara “kebutuhan perawatan kesehatan
dan pengobatan” dan ”sumber-sumber medis (tenaga kesehatan, obat-obatan,
dan peralatan)". Perawat sebagai bagian dari petugas kesehatan yang ikut
dalam penanggulangan bencana dapat berada di berbagai tempat seperti di

17
rumah sakit, di pusat evakuasi, di klinik berjalan atau di puskesmas. Di rumah
sakit, perawat dapat berperan sebagai manager, Leadershift dan Care Giver.
Di pusat evakuasi peran perawat sebagai kordinator dan pelaksana evakuasi.
Triage adalah suatu cara untuk menseleksi atau memilah korban
berdasarkan tingkat kegawatan. Menseleksi dan memilah korban tersebut
bertujuan untuk mempercepat dalam memberikan pertolongan terutama pada
para korban yang dalam kondisi kritis atau emergensi sehingga nyawa korban
dapat diselamatkan.

B. Saran
Bagi mahasiswa, diharapkan lebih memahami tentang aspek etik dan
legal dalam keperawatan bencana serta konsep dan model triage dalam
bencana, dan bagi para dosen diharapkan untuk lebih lagi membimbing calon-
calon perawat yang akan ikut serta dalam dunia pelayanan kesehatan, dan
bagi setiap perawat agar mampu memberikan pelayanan yang profesional
serta mempraktekkan asuhan keperawatan kepada pasien dengan baik.

18

Anda mungkin juga menyukai