Anda di halaman 1dari 7

Mengenal Kedokteran Bencana

Dr Rosita Rivai MM

Menurut UU No. 24 tahun 2007, bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang
mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan
baik oleh factor alam maupun factor non-alam maupun factor manusia sehingga
mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta
benda, dan dampak psikologis.

Rentannya Indonesia terhadap bencana ini membuat diperlukannya sebuah bidang baru,
yakni kedokteran bencana. Bencana dapat menimbulkan dampak yang sangat besar bagi
kesehatan, kehidupan dan penghidupan masyarakat, serta membutuhkan penanganan yang
cepat, tepat dan terpadu. Dokter dengan pengetahuan mengenai kedokteran bencana
adalah dokter yang memiliki keahlian dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada
korban dan penanggap bencana, serta terlibat dalam perencanaan, persiapan,
penanggulangan dan pemulihan bencana.

Alasan Perlunya Kedokteran Bencana


Ada beberapa alasan mengapa bidang kedokteran bencana diperlukan. Alasan utama
tentunya adalah karena Indonesia memiliki potensi bencana yang tinggi. Menurut data dari
Promosi Kesehatan Kementerian Kesehatan, Indonesia dikelilingi oleh tiga lempengan
tektonik yang menyebabkan Indonesia rawan terhadap gempa bumi, tsunami, letusan
gunung api dan beberapa jenis bencana tektonik lainnya. Selain itu, Indonesia juga memiliki
potensi bencana hidrometeorologi, yaitu banjir, longsor, kekeringan, puting beliung dan
gelombang pasang. Frekuensi bencana hidrometeorologi di Indonesia terus meningkat
dalam 10 tahun terakhir. Bencana ini mengancam seluruh wilayah Indonesia dalam skala kecil
maupun besar.(1)

Bencana dapat menyebabkan masalah kesehatan yang serius. Bencana dapat merusak
infrastruktur kesehatan, mengganggu akses dan ketersediaan pelayanan kesehatan, serta
meningkatkan risiko penularan penyakit menular dan tidak menular. Beberapa contoh
penyakit yang sering muncul pasca bencana adalah diare, infeksi saluran pernapasan akut,
tifus, leptospirosis, kolera, malaria, demam berdarah dan lain-lain. Bencana juga dapat
menyebabkan cedera fisik, trauma psikologis, gizi buruk, kekerasan seksual dan hak asasi
manusia.(2)

Karenanya, bencana membutuhkan respon kesehatan yang cepat dan terpadu. Untuk
mengatasi dampak kesehatan akibat bencana, diperlukan respon kesehatan yang meliputi
asesmen kebutuhan kesehatan, triase dan stabilisasi pasien, rujukan dan transportasi pasien,
pelayanan kesehatan dasar dan rujukan lanjutan, pencegahan dan pengendalian infeksi,
manajemen jenazah dan sanitasi lingkungan. Respon kesehatan ini harus dilakukan secara
cepat dan terpadu dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan seperti pemerintah,
organisasi kesehatan, lembaga kemanusiaan, komunitas dan media.(3)

Bencana memerlukan perencanaan dan persiapan yang baik. Untuk mengurangi risiko dan
dampak bencana, diperlukan perencanaan dan persiapan yang baik sebelum bencana terjadi.
Hal ini meliputi pengembangan kebijakan dan regulasi tentang manajemen bencana,
peningkatan kapasitas sumber daya manusia dan fasilitas kesehatan dalam menghadapi
bencana, penyusunan rencana kontinjensi dan standar operasional prosedur untuk respon
kesehatan dalam bencana, penyediaan logistik dan peralatan medis untuk bencana, serta
sosialisasi dan simulasi rencana kontinjensi kepada masyarakat dan mitra kerja.

Bencana memerlukan pemulihan yang berkelanjutan. Setelah respon darurat selesai


dilakukan, diperlukan pemulihan yang berkelanjutan untuk memperbaiki kondisi kesehatan
masyarakat yang terdampak bencana. Hal ini meliputi rehabilitasi infrastruktur kesehatan
yang rusak atau hancur, pemulihan pelayanan kesehatan rutin dan khusus, pemantauan dan
evaluasi dampak kesehatan pasca bencana, peningkatan kesejahteraan dan kemandirian
masyarakat, serta penguatan sistem kesehatan dan ketangguhan masyarakat dalam
menghadapi bencana di masa depan.

Oleh karena itu, spesialisasi kedokteran bencana diperlukan untuk menghasilkan dokter
yang memiliki kompetensi dalam memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas dan
bermartabat kepada masyarakat yang terdampak bencana, serta berperan aktif dalam upaya
pengurangan risiko bencana dan peningkatan ketahanan masyarakat.

Tantangan Kedokteran Bencana


Kedokteran bencana adalah bidang yang menantang dan membutuhkan komitmen yang
tinggi dari dokter yang memilihnya. Beberapa tantangan yang dihadapi dalam bidang
kedokteran bencana adalah:

a. Tantangan lingkungan. Dokter yang mendalami kedokteran bencana harus siap


menghadapi berbagai jenis bencana, baik yang disebabkan oleh faktor alam maupun
non-alam, yang dapat terjadi di mana saja dan kapan saja. Bencana dapat menyebabkan
kerusakan infrastruktur, gangguan komunikasi, keterbatasan sumber daya, serta
perubahan kondisi sosial, ekonomi dan politik di wilayah terdampak. Dokter harus
mampu beradaptasi dengan lingkungan bencana yang dinamis, tidak terprediksi, dan
penuh risiko.(4)
b. Tantangan klinis. Kedokteran bencana mengharuskan kemampuan menangani berbagai
masalah kesehatan yang timbul akibat bencana, baik yang bersifat akut maupun kronis.
Masalah kesehatan akibat bencana meliputi cedera fisik, penyakit menular dan tidak
menular, trauma psikologis, gizi buruk, kekerasan seksual dan hak asasi manusia. Dokter
harus mampu melakukan asesmen kebutuhan kesehatan, triase dan stabilisasi pasien,
rujukan dan transportasi pasien, pelayanan kesehatan dasar dan rujukan lanjutan,
pencegahan dan pengendalian infeksi, manajemen jenazah dan sanitasi lingkungan.
Dokter juga harus mampu mengatasi masalah etika klinis dalam situasi bencana.(5)
c. Tantangan organisasi. Dokter spesialis kedokteran bencana harus mampu bekerja dalam
sistem manajemen insiden (SMI) yang merupakan kerangka kerja untuk
mengoordinasikan respon bencana secara efektif dan efisien. SMI melibatkan berbagai
pemangku kepentingan dari berbagai sektor, tingkat dan wilayah, baik dari pemerintah,
organisasi kesehatan, lembaga kemanusiaan, komunitas dan media. Dokter harus
mampu berkomunikasi, berkolaborasi, dan berkontribusi dalam tim multidisiplin dan
lintas sektoral dalam SMI. Dokter juga harus mampu mengikuti standar operasional
prosedur (SOP), pedoman, regulasi dan etika yang berkaitan dengan respon bencana.(6)
d. Tantangan profesional. Dokter spesialis kedokteran bencana harus mampu
meningkatkan kompetensi profesional mereka secara berkelanjutan dengan mengikuti
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kedokteran bencana dan
kesehatan masyarakat. Dokter harus mengikuti pendidikan formal, uji kompetensi
profesi, penelitian, publikasi, atau pengabdian masyarakat di bidang kedokteran
bencana. Dokter juga harus mampu bersaing dalam pasar kerja global yang semakin
terbuka dengan adanya integrasi regional dan internasional.

Kompetensi Kedokteran Bencana


Kedokteran bencana adalah bidang yang menantang dan membutuhkan tingkat tinggi
keterampilan klinis, kemampuan pengambilan keputusan, kerja sama tim dan keterampilan
komunikasi. Dokter dalam kedokteran bencana harus mampu menilai dan menstabilkan
pasien dengan masalah yang beragam dan kompleks, seringkali dalam kondisi yang stres dan
terbatas sumber daya. Mereka juga harus mampu mengoordinasikan perawatan sejumlah
besar pasien di berbagai lokasi dan tingkat perawatan. Mereka juga harus mampu
menghadapi aspek hukum, etika dan psikologis dari situasi bencana. Selain itu, dokter dalam
kedokteran bencana terlibat dalam pengembangan dan modifikasi kebijakan publik dan
swasta, legislasi, perencanaan bencana dan pemulihan bencana. Mereka juga melakukan
penelitian dan pendidikan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan profesional
kedokteran bencana dan masyarakat umum. Dokter spesialis kedokteran bencana adalah
penghubung antara dan mitra bagi perencana kontinjensi medis, profesional manajemen
bencana, sistem komando insiden, pemerintah dan pembuat kebijakan.
Karena beratnya tugas dan kewajiban para dokter ini, maka kompetensi yang dibutuhkan
juga tidak ringan. Adapun set kompetensi yang dibutuhkan oleh seorang dokter dalam
bidang kedokteran bencana adalah sebagai berikut:
1. Kompetensi pengetahuan: menguasai konsep, prinsip, teori, metode, standar, pedoman,
regulasi dan etika yang berkaitan dengan kedokteran bencana dan kesehatan
masyarakat.
2. Kompetensi keterampilan: mampu melakukan asesmen kebutuhan kesehatan, triase dan
stabilisasi pasien, rujukan dan transportasi pasien, pelayanan kesehatan dasar dan
rujukan lanjutan, pencegahan dan pengendalian infeksi, manajemen jenazah dan sanitasi
lingkungan, serta penelitian, evaluasi, advokasi, edukasi dan komunikasi kesehatan
dalam konteks bencana.
3. Kompetensi sikap: bersikap profesional, etis, humanis, empatik, responsif, adaptif,
inovatif dan kolaboratif dalam memberikan pelayanan kesehatan dalam bencana, serta
menghormati hak asasi manusia, keberagaman budaya, gender dan agama, serta
kepentingan masyarakat dalam bencana.
Untuk mengembangkan kompetensi kedokteran bencana, seorang dokter harus senantiasa
meningkatkan kemampuannya. Hal pertama yang harus dilakukan tentunya adalah dengan
mengikuti pendidikan formal kedokteran. Dokter yang ingin mengembangkan kompetensi
kedokteran bencana harus mengikuti pendidikan formal yang sesuai dengan standar
kompetensi kerja nasional Indonesia (SKKNI) di bidang penanggulangan bencana.
Pendidikan formal ini dapat berupa program studi spesialis kedokteran bencana, program
magister atau doktor kedokteran bencana, atau program pelatihan singkat yang
diselenggarakan oleh lembaga-lembaga terkait.(7)

Dokter dalam kedokteran bencana juga harus mengikuti uji kompetensi profesi. Dokter yang
telah mengikuti pendidikan formal di bidang kedokteran bencana harus mengikuti uji
kompetensi profesi yang diselenggarakan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana
(BNPB) bekerja sama dengan Ikatan Ahli Bencana Indonesia (IABI) dan lembaga sertifikasi
profesi lainnya. Uji kompetensi profesi ini bertujuan untuk mengukur kemampuan dokter
dalam memberikan pelayanan kesehatan dalam bencana sesuai dengan SKKNI. Uji
kompetensi profesi ini biasanya meliputi tahapan pra-asesmen, asesmen, verifikasi
portofolio, komite teknis dan penerbitan sertifikat kompetensi.

Dokter yang telah memiliki sertifikat kompetensi kedokteran bencana harus terus
meningkatkan pengetahuan dan keterampilan mereka dengan mengikuti perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kedokteran bencana dan kesehatan masyarakat.
Dokter dapat melakukan hal ini dengan membaca literatur ilmiah, mengikuti seminar,
workshop, konferensi, atau kursus yang relevan, melakukan penelitian, publikasi, atau
pengabdian masyarakat di bidang kedokteran bencana, serta berinteraksi dan berkolaborasi
dengan para ahli dan praktisi kedokteran bencana dari dalam dan luar negeri.(8)

Terakhir, dokter dalam kedokteran bencana harus menerapkan sikap profesional dan etis
dalam memberikan pelayanan kesehatan dalam bencana. Dokter harus bersikap humanis,
empatik, responsif, adaptif, inovatif dan kolaboratif dalam bekerja dengan tim multidisiplin
dan lintas sektoral. Dokter juga harus menghormati hak asasi manusia, keberagaman
budaya, gender dan agama, serta kepentingan masyarakat dalam bencana. Dokter harus
mengikuti kode etik kedokteran dan prinsip-prinsip kemanusiaan dalam memberikan
pelayanan kesehatan dalam bencana.

Peran Telemedicine dalam Kedokteran Bencana


Telemedicine adalah penggunaan teknologi telekomunikasi untuk memberikan perawatan
klinis dari jarak jauh. Telemedicine dapat diterapkan dalam pengobatan bencana, yaitu
cabang kedokteran yang menangani pencegahan, kesiapsiagaan, tanggap darurat, dan
pemulihan masalah kesehatan terkait bencana. Beberapa peran telemedicine dalam
kedokteran bencana adalah:

a. Menyediakan akses pelayanan kesehatan di daerah terpencil atau tidak terjangkau.


Telemedicine memungkinkan penyedia layanan kesehatan menjangkau pasien yang
terisolasi atau terputus oleh bencana, seperti gempa bumi, banjir, tanah longsor, atau
konflik. Telemedicine juga dapat memfasilitasi penyampaian perawatan kesehatan
kepada populasi pengungsi, seperti pengungsi atau pengungsi internal, yang mungkin
kekurangan fasilitas atau personel kesehatan yang memadai. Telemedicine dapat
memberikan layanan seperti konsultasi, diagnosis, pengobatan, pemantauan, edukasi,
dan rujukan menggunakan berbagai modalitas, seperti telepon, video, email, atau
aplikasi seluler.(9)
b. Mendukung penyedia layanan kesehatan lokal dan responden. Telemedicine dapat
meningkatkan kapasitas dan kemampuan penyedia layanan kesehatan lokal dan
responden yang bekerja dalam situasi bencana. Telemedicine dapat memberi mereka
akses ke nasihat ahli, bimbingan, pengawasan, dan pelatihan dari spesialis atau mentor di
lokasi lain. Telemedicine juga memungkinkan mereka berbagi informasi, data, gambar,
atau video dengan penyedia atau responden lain untuk koordinasi, kolaborasi, atau
pengambilan keputusan. Telemedicine juga dapat membantu mereka mengatasi stres,
kelelahan, atau trauma dengan memberikan dukungan psikologis atau konseling.(10)
c. Meningkatkan manajemen dan kesiapsiagaan bencana. Telemedicine dapat
berkontribusi pada peningkatan manajemen dan kesiapsiagaan bencana dengan
menyediakan data dan informasi untuk kesadaran situasional, penilaian risiko, peringatan
dini, pengawasan, dan evaluasi. Telemedicine juga dapat mendukung pengembangan
dan implementasi rencana bencana, protokol, standar, dan kebijakan dengan melibatkan
berbagai pemangku kepentingan dari berbagai sektor dan tingkatan. Telemedicine juga
dapat memfasilitasi simulasi dan pengujian skenario dan respons bencana dengan
menggunakan teknologi virtual reality atau augmented reality.(11)

Kesimpulan
Kedokteran bencana adalah spesialisasi medis yang berfokus pada pemberian pelayanan
kesehatan kepada korban dan penanggap bencana, serta perencanaan, persiapan,
penanggulangan dan pemulihan bencana. Dokter spesialis kedokteran bencana adalah
dokter yang memiliki keahlian dalam prinsip dan praktik kedokteran dalam berbagai skenario
bencana, seperti bencana alam, serangan teroris, pandemi, kejadian massal dan krisis
kemanusiaan. Mereka bekerja bersama-sama dengan profesional manajemen bencana,
rumah sakit, fasilitas kesehatan, komunitas dan pemerintah untuk memastikan hasil terbaik
bagi populasi yang terdampak.

Spesialisasi kedokteran bencana diperlukan karena Indonesia adalah negara yang sangat
rentan terhadap berbagai jenis bencana, baik yang disebabkan oleh faktor alam maupun
non-alam. Bencana dapat menimbulkan dampak yang sangat besar bagi kesehatan,
kehidupan dan penghidupan masyarakat, serta membutuhkan penanganan yang cepat,
tepat dan terpadu. Dokter spesialis kedokteran bencana adalah dokter yang memiliki
keahlian dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada korban dan penanggap bencana,
serta terlibat dalam perencanaan, persiapan, penanggulangan dan pemulihan bencana.

Dokter yang mendalami kedokteran bencana diharuskan untuk memiliki kompetensi


pengetahuan, kompetensi keterampilan, dan juga kompetensi sikap. Set kompetensi ini bisa
didapatkan dan dikembangkan melalui pendidikan formal, mengikuti uji kompetensi profesi,
peningkatan pengetahuan dan keterampilan secara terus menerus, serta senantiasa
menerapkan sikap profesional dan etis dalam menjalankan tugasnya.

Telemedicine dapat diterapkan dalam pengobatan bencana, yaitu cabang kedokteran yang
menangani pencegahan, kesiapsiagaan, tanggap darurat, dan pemulihan masalah kesehatan
terkait bencana. Telemedicine dapat membantu pihak-pihak terkait dalam upaya
menyediakan akses pelayanan kesehatan di daerah terpencil atau tidak terjangkau serta
memberikan dukungan kepada penyedia layanan kesehatan lokal dan responden.
Telemedicine juga dapat berkontribusi pada peningkatan manajemen dan kesiapsiagaan
bencana dengan menyediakan data dan informasi untuk kesadaran situasional, penilaian
risiko, peringatan dini, pengawasan, dan evaluasi.

Referensi:

1. https://promkes.kemkes.go.id/promosi-kesehatan-dalam-bencana
2. https://fkm.unair.ac.id/saat-penanggulangan-bencana-begini-peran-tenaga-kesehatan-
masyarakat/
3. https://www.ung.ac.id/home/berita/manajemen-bencana-jadi-mata-kuliah-unggulan-
prodi-kedokteran
4. https://www.indonesiana.id/read/147139/berikut-catatan-who-tentang-tantangan-
tantangan-kesehatan-di-masa-depan
5. Widyatun dan Zainal Fahoni, Permasalahan Kesehatan dalam Kondisi Bencana; Peran
petugas Kesehatan dan partisipasi Masyarakat., Jurnal Kependudukan Indonesia Vol. 8
No.1, 2013. cited from
https://ejurnal.kependudukan.lipi.go.id/index.php/jki/article/download/21/15
6. https://bnpb.go.id/berita/uji-kompetensi-profesi-penanggulangan-bencana
7. Wilopo, Siswanto Agus, Kompetensi Inti untuk Kedokteran Bencana dan Kesehatan
Masyarakat,2017, cited from
https://pkr.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/sites/224/2017/09/Wilopo_Aceh_full-2.pdf
8. Sayuti, Muhammad, dr., Sp.B(K)., BD et al., Buku Panduan Revisi Kurikulum Fakultas
Kedokteran Jurusan Kedokteran, Program Studi Pendidikan Profesi Dokter Universitas
Malikussaleh, 2021. cited from https://fk.unimal.ac.id/wp-content/uploads/2023/05/BUKU-
PANDUAN-REVISI-KURIKULUM-FINAL-TERAKHIR.pdf
9. Hannick, Calvin., Why Telehealth Solutions Are Vital in a Disaster, 2019. cited from
https://healthtechmagazine.net/article/2019/08/role-telehealth-disaster-recovery
10. Litvak, M., Miller, K., Boyle, T., Bedenbaugh, R., Smith, C., Meguerdichian, D., . . .
Goralnick, E. (2022). Telemedicine Use in Disasters: A Scoping Review. Disaster Medicine
and Public Health Preparedness, 16(2), 791-800. doi:10.1017/dmp.2020.473
11. Garshnek, Victoria., Burkle, Frederick M., Jr., Applications of Telemedicine and
Telecommunications to Disaster Medicine: Historical and Future Perspectives, Journal of
the American Medical Informatics Association, 1999; 6.26-37.

Anda mungkin juga menyukai