Anda di halaman 1dari 55

KEPERAWATAN BENCANA

Resume Artikel dan jurnal tentang dampak bencana terhadap kesehatan,


prinsip penanganan kedaruratan bencana, dan persiapan bencana

Disusun Oleh:

VERA SYAHRINISYA

PRODI S1 KEPERAWATAN
FAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS PAHLAWAN
T.A 2020/2021
Indonesia memiliki banyak wilayah yang rawan bencana, baik bencana
alam maupun bencana yang disebabkan oleh ulah manusia.Dampak dari kejadian
bencana akan mempengaruhi aspek kesehatan masyarakat.Desa siaga adalah desa
yang penduduknya memiliki kesiapan sumber daya dan kemampuan serta
kemauan untuk mencegah dan mengatasi masalah-masalah kesehatan, bencana
dan kegawatdaruratan kesehatan secara mandiri.
Program desa siaga merupakan salah satu jawaban untuk. mewujudkan
kemandirian masyarakat dalam kesiapsiagaan bencana dan kegawatdaruratan
kesehatan.Masalah akses pelayanan kesehatan oleh masyarakat, dapat disebabkan
karena geografi, ekonomi, dan ketidaktahuan masyarakat. d. Berkaitan dengan
masalah akses dan mutu pelayanan kesehatan, masalah kurangnya tenaga
kesehatan dan penyebarannya yang tidak sesuai dengan kebutuhan di lapangan
juga merupakan masalah yang rumit.Beberapa permasalahan kesehatan tersebut
hanya dapat diatasi dengan kerjasama lintas sektor yang sinergis juga dukungan
dari masyarakat.
Seperti yang dimaksudkan dalam visi Indonesia Sehat 2025, bahwa
perilaku masyarakat yang diharapkan adalah perilaku yang bersifat proaktif untuk
memelihara dan meningkatkan kesehatan ; mencegah risiko terjadinya penyakit;
melindungi diri dari ancaman penyakit dan masalah kesehatan lainnya; sadar
hukum; serta berpartisipasi aktif dalam gerakan kesehatan masyarakat, termasuk
menyelenggarakan masyarakat sehat dan aman
Bencana di Indonesia Bencana adalah peristiwa atau rangkaian
peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan
masyarakat yaitu faktor alam dan atau faktor non alam maupun faktor manusia
sehingga mengancam jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda,
dan dampak psikologis.
Indonesia memiliki banyak wilayah yang rawan bencana, baik bencana
alam maupun bencana yang disebabkan oleh ulah manusia.
Faktorfaktor yang dapat menyebabkan bencana antara lain4: 1. Bahaya
alam (natural hazards) dan bahaya karena ulah manusia (man-made hazards) yang
menurut United Nations International Strategy for Disaster Reduction (UN-ISDR)
dapat dikelompokkan menjadi bahaya geologi (geological hazards), bahaya
hidrometeorologi (hydrometeorological hazards), bahaya biologi (biological
hazards), bahaya teknologi (technological hazards) dan penurunan kualitas
lingkungan (environmental degradation) 2. Kerentanan (vulnerability) yang tinggi
dari masyarakat, infrastruktur serta elemen-elemen di dalam kota/kawasan yang
berisiko bencana 3. Kapasitas yang rendah dari berbagai komponen di dalam
masyarakat Berbagai kejadian bencana yang berpotensi terjadi di Indonesia,
yakni4: 1. Gempa bumi Gempa bumi merupakan bencana alam yang relatif sering
terjadi di Indonesia akibat interaksi lempeng tektonik dan letusan gunung berapi.
Interaksi lempeng tektonik banyak terjadi di sepanjang pantai barat
Sumatera yang merupakan pertemuan lempeng Benua Asia dan Samudera Hindia;
wilayah selatan Pulau Jawa dan pulau pulau di Nusa Tenggara yang merupakan
pertemuan lempeng Benua Australia dan Asia; serta di kawasan Sulawesi dan
Maluku yang merupakan efek dari pertemuan lempeng Benua Asia dengan
Samudera Pasifik.
Gempa bumi yang terjadi di laut dapat mengakibatkan terjadinya tsunami
(gelombang laut), terutama pada gempa yang terjadi di laut dalam yang diikuti
deformasi bawah laut seperti yang pernah terjadi di pantai barat Sumatera dan di
pantai utara Papua.

Peran Perawat dan Kesiapan Darurat dalam Menghadapi Bencana


pada Penderita Diabetes: Tinjauan Literatur
Sucipto Dwitanta1*, Debie Dahlia1
1
Program Studi Magister Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia
Pondok Cina, Kecamatan Beji, Kota Depok, Jawa Barat 16424;
*corresponding email: ners.sucipto94@gmail.com

Submitted: 20 Januari 2020, Revised: 1 Maret 2020, Accepted: 21 Maret 2020

Abstract
In 2014 the International Diabetes Federation (IDF) calculated that there were around 382 million
people in the world suffering from diabetes. The public is faced with many disasters that have
occurred in recent years and occur randomly throughout the world. Disasters often cause damage
to important public health infrastructure. This condition can interfere with treatment and care for
people with chronic conditions. There are still many nurses who do not understand their roles and
functions during the natural disaster phase. This study aims to describe and analyze the role of
nurses and emergency preparedness in dealing with disasters in diabetics. The method uses
literature review. By searching from several scientific sources based on PubMed, EBSCOhost,
ProQuest, ScienceDirect and Wiley Library Online. This study uses criteria and keywords. Nine
journals were analyzed during the literature review process. The author identifies several themes in
this articel is the definition of disaster, the effects of disaster on chronic diseases, the role of
nurses, diabetes management during disasters, emergency preparedness in dealing with disasters,
and what patients do during and after disasters. Patients with diabetes and other chronic conditions
need to be prepared for emergencies / disasters that require the need for long-term evacuation.
The thing that must be specially prepared by patients with diabetes is the Diabetes Emergency Kit.
Nurses play an important role in disaster preparedness, response and evaluation, especially in
reducing and minimizing risk in a disaster. The government must support nurses in providing
specialized ongoing training (training for chronic diseases).

Keywords: disaster management, the role of nursing, emergency preparedness, diabetes

Abstrak
Pada tahun 2014 International Diabetes Federation (IDF) menghitung ada sekitar 382 juta orang di
dunia menderita DM. Masyarakat dihadapkan dengan banyak bencana yang terjadi beberapa
tahun terakhir dan terjadi secara acak di seluruh dunia. Bencana sering kali mengakibatkan
kerusakan infrastruktur kesehatan masyarakat yang penting. Kondisi ini dapat mengganggu
pengobatan dan perawatan bagi orang dengan kondisi kronis. Masih banyak perawat yang belum
memahami peran dan fungsinya pada fase bencana alam. Studi ini bertujuan untuk
mendeskripsikan dan menganalisa tentang peran perawat dan kesiapan darurat dalam
menghadapi bencana pada penderita diabetes. Metode yang mengunakan tinjauan literatur.
Dengan mencari dari beberapa sumber berbasis ilmiah PubMed, EBSCOhost, ProQuest,
ScienceDirect dan Wiley Library Online. Studi ini menggunakan kriteria dan kata kunci. Sembilan
jurnal di analisa selama proses tinjauan literatur. Penulis mengidentifikasi beberapa tema dalam
pembahasan yaitu definisi bencana, efek bencana pada penyakit kronis, peran perawat,
manajemen diabetes saat bencana, persiapan darurat dalam menghadapi bencana, dan hal yang
di lakukan pasien selama dan setelah bencana. Pasien dengan diabetes dan kondisi kronis lainnya
perlu dipersiapkan untuk keadaan darurat/bencana yang membutuhkan keperluan untuk evakuasi
dalam waktu yang lama. Hal yang harus dipersiapkan khusus oleh pasien dengan diabetes adalah
Kit Darurat Diabetes (Diabetes Emergency Kit). Perawat memainkan peran penting dalam
kesiapsiagaan bencana, respons/pemulihan dan evaluasi, terutama dalam mengurangi kerentanan
dan meminimalkan risiko dalam suatu bencana. Pemerintah harus mendukung perawat dalam
memberikan pelatihan berkelanjutan khusus (pelatihan khusus untuk penyakit kronik).

Pendahuluan
Pada tahun 2014 International Diabetes Federation (IDF) menghitung ada sekitar
382 juta orang di dunia menderita DM, dengan lebih dari 90% terdiagnosa dengan DM
tipe II (Thojampa, 2019). Diperkirakan pada tahun 2030 penerita DM meningkat sebesar
7,7% atau sebanyak 439 juta, angka ini akan terus meningkat sebanyak 69% pada pasien
dewasa di negara berkembang dan 20% dinegara maju (Kav, Yilmaz, Bulut, & Dogan,
2017).
Dunia dihadapkan dengan banyak bencana yang terjadi beberapa tahun terakhir
dan terjadi secara acak di seluruh dunia (Turale, 2015). Kategori utama bencana meliputi
alam (tanah longsor, gempa bumi, tsunami), biologis (penyakit epidemi, serangan hama),
teknologi (bahan kimia, agen radiologis, kecelakaan transportasi) dan kemasyarakatan
(konflik, kerusuhan, tindakan terorisme) (Alfred et al., 2015).
Bencana sering kali mengakibatkan kerusakan infrastruktur kesehatan
masyarakat yang penting. Kondisi ini dapat mengganggu pengobatan dan perawatan bagi
orang dengan kondisi kronis. Kurangnya pengobatan dan perawatan bahkan untuk waktu
yang singkat bagi orang-orang dengan kondisi kronis dapat mengakibatkan kondisi yang
semakin memburuk serta kematian (Burns et al., 2016).
Bencana alam global sebelumnya telah memberikan informasi kepada
masyarakat bahwa orang yang menderita diabetes menghadapi banyak kesulitan untuk
mendapatkan obat-obatan dan persediaan penting, seperti insulin, strip tes glukosa
darah, nutrisi yang memadai, aktivitas fisik dan mengatasi komorbiditas lain seperti
hipertensi dan dislipidemia (Waltzman & Fleegler, 2009). Namun masih sedikit data untuk
mendukung pemenuhan kebutuhan darurat akan protokol atau rencana untuk membantu
penderita diabetes dalam bencana (Fonseca et al., 2009). Hambatan terbesarnya adalah
kurangnya rencana pra-bencana dan sumber daya lokal yang buruk (Albache, 2017).
Peran keperawatan dan pemahaman tentang kesiapsiagaan darurat belum
didefinisikan dengan baik (Alfred et al., 2015). Masih banyak perawat yang belum
memahami peran dan fungsinya pada fase bencana alam. Organisasi ICN (International
Council of Nurses) menggunakan kontinum manajemen bencana (Pencegahan/Mitigasi,
Kesiapsiagaan, Respon, Pemulihan/Rehabilitasi) sebagai kerangka kerja
pengorganisasian untuk mengembangkan kompetensi keperawatan. Tetapi kerangka
kerja manajemen bencana dari ICN masih belum banyak diketahui dan dilaksanakan oleh
perawat khususnya pada penderita diabetes (Stangeland, 2010).
Salah satu cara untuk menyelesaikan fenomena tersebut menggunakan
pendekatan teori. Analisis teori yang digunakan menggunakan beberapa jurnal atau
artikel yang sudah dipublikasikan berhubungan tentang peran perawat dalam kesiapan
darurat dalam menghadapi bencana pada penderita diabetes.
Tinjauan literatur ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisa tentang peran
perawat dan kesiapan darurat dalam menghadapi bencana pada penderita diabetes.

Metode

Desain
Tinjauan literature.
Kriteria Kelayakan
Artikel dipilih berdasarkan kriteria pencarian: dalam a) berbahasa inggris, b) publikasi
antara tahun 2000 – 2019, c) ketersedian teks lengkap, dan d) penelitian kualitatif
maupun kuantitatif. Setelah melakukan pencarian yang sesuai kriteria inklusi. Artikel yang
memnuhi syarat akan dimasukan dalam analisa jika mengandung: konsep teori a)
bencana alam serta manajemennya, b) peran dan fungsi perawat saat fase bencana, dan
c) kesiapan perawat dan pasien dalam menghadapi bencana.

Sumber
Sumber menggunakan data base berbasis ilmiah (PubMed, EBSCOhost, ProQuest,
ScienceDirect dan Wiley Library Online).

Pencarian
Pencarian dilakukan antara bulan september 2019 sampai dengan oktober 2019
menggukana kata kunci disaster management – role of nursing - emergency
preparedness – diabetes. Untuk menggabungkan kata kunci menggunakan operator
Boolean “AND” and “OR” saat melakukan pencarian di data base. Semua kriteria
pencarian akan sama pada semua database.

Seleksi studi
Hasil pencarian mendapatkan 1,678 artikel. Penyaringan awal judul untuk
mengeluarkan yang tidak sesuai dengan studi, yang dilakukan oleh seorang
peneliti. Kemudian melakukan penyaringan terhadap tema yang sama.

Analisis Data
Hanya beberapa artikel yang membahas sesuai tema dan tujuan. Hasil
penyaringan didapatkan 9 artikel yang akan dianalisa. Beberapa topik artikel yang
akan dianalisa:
 Persiapan manajemen bencana pada pasien diabetes: 5
 Manajemen bencana untuk perawat: 4

Pembahasan

Pengertian Bencana
Banyak pengertian bencaya yang di definisikan dalam artikel. Menurut ARC (American
Red Cross) mendefinisikan bencana sebagai berikut:
“Peristiwa yang terjadi dengan kekuatan yang destruktif sedemikian besar untuk
memindahkan orang, memisahkan anggota keluarga, merusak atau menghancurkan
rumah, dan melukai atau membuhun orang. Sebuah bencana menghasilkan
tingkatan penderitaan secara langsung dan terganggunya kebutuhan dasar manusia
yang tidak dapat dipenuhi oleh orang-orang yang terkena dampak, dan menghambat
mereka untuk memulai dan melanjutkan upaya pemulihan. Bencana alam meliputi
banjir, tornado, angin topan, badai musim dingin, tsunami, badai hujan es, kebakaran
hutan, badai angin, epidemi, dan gempa bumi. Bencana yang disebankan manusia
baik sengaja maupun tidak sengaja termasuk kebakaran tempat tinggal, runtuhnya
bangunan, kecelakaan transportasi, kebocoran bahan berbahaya, ledakan dan aksi
terorisme” (Stangeland, 2010).
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa bencana merupakan peristiwa yang
destruktif (menghancurkan) yang dapat merugikan orang-orang yang terkena dampaknya.

Efek bencana terhadap penyakit kronis


Tantangan semakin meningkat untuk mempertahankan perawatan dan pengobatan pada
orang-orang dengan kondisi kronis sesaat dan setelah bencana. Bencana sering kali
mengakibatkan berkurangnya akses obat-obatan, layanan, perumahan, air bersih, dan
makanan bergizi, serta daya/listrik yang dibutuhkan untuk menjalankan peralatan penting
yang membantu kehidupan (Fonseca et al., 2009).

Bencana Alam Infrastruktur kesehatan publikKondisi


yang penting
kronis hancur/rusak Pengobatan,
terganggu manajemen dan
perawatan terganggu

Komunikasi Diabetes
Perlengkapan Kanker
Perumahan Penyakit
Area yang disarankan Obat-obatan kardiovaskul ar
untuk persiapan Sanitasi Penyakit pernapasan Peningkatan penyakit
bencana Pelayanan kronis dan kematian
Makanan & Air Penyakit ginjal
Perencanaan

Gambar 1: Dampak bencana terhadap penyakit kronis tidak menular


(sumber: Burns et al. (2016))
Tabel 1. Ringkasan
Author Problem Metode Hasil
Martha et al. Perawatan untuk pasien dengan penyakit Metode Dari hasil wawancara didapatkan tema pada masalah predisaster adalah
(2008) kronis merupakan tantangan setelah Kualitatif pendidikan dan kesiapsiagaan pasien, evakuasi, tempat penampungan
bencana yang disebabkan oleh masalah kebutuhan khusus, dan kesiapan penyedia layanan kesehatan. Masalah
kesehatan, pengungsian, keuangan dan pascabencana adalah komunikasi, koordinasi sukarela, dan manajemen
sering bergantung pada lembaga untuk donasi.
perawatan mereka.
Fonseca et Meskipun kehancuran ekonomi dan Peneliti Badai Katrina meningkatkan biaya perawatan kesehatan secara langsung dan
al. (2009) lingkungan yang disebabkan oleh topan an tidak langsung, serta mengurangi harapan hidup dengan dampak ekonomi
dampaknya pada penyakit kronis belum observ yang cukup besar karena populasi besar terpengaruh. Diperkirakan biaya
didokumentasikan dengan baik. asi seumur
onal hidup sebesar USD $ 504 juta untuk populasi dewasa yang terkena dampak.
Waltzman, Federasi Internasional Palang Merah dan Literatur Tidak memungkinkan untuk merencanakan semua jenis bencana alam secara
et al. (2009) Bulan Sabit Merah mendefinisikan e review memadai. Ruang lingkup masalah jauh melebihi kapasitas keuangan, fisik,
bencana sebagai peristiwa yang dan personel yang diperlukan untuk mengantisipasi semua peristiwa potensial
menyebabkan lebih dari 10 kematian, dan konsekuensinya. Yang perlu diperhatikan adalah pendekatan yang dapat
mempengaruhi lebih dari digeneralisasi untuk perencanaan bencana alam dan upaya yang
100 orang, atau mengarah pada terkoordinasi dalam respon begitu peristiwa ini terjadi.
permohonan permintaan bantuan
oleh
mereka yang terkena dampak.
Alfred et al. Banyak kejadian dan ancaman bencana di Literatur Studi penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menentukan apakah jenis
(2005) awal abad ke-21 menyebabkan pendidik e review pelatihan ini efektif untuk mengajar kompetensi bencana bagi keperawatan.
dan praktisi meningkatkan penekanan Umpan balik dari peserta positif sehingga tampaknya efektif. Penting juga
pada keperawatan bencana dan prinsip- untuk menyelidiki kesiapsiagaan individu perawat dan mahasiswa
prinsip keperawatan. Ada potensi untuk mengembangkan beberapa intervensi
yang memandu praktik perawat dalam berbasis bukti berdasarkan kolaborasi ini.
menanggapi bencana.
Mistric et al. ”Saat ini, manajemen bencana“ bertujuan Studi Tim siap menghadapi tantangan berikutnya, mengetahui bahwa pelajaran
(2010) untuk mengurangi, atau menghindari, naratif yang paling penting tak mengharapkan kejadian tak terduga. Responden,
potensi kerugian akibat bahaya, yang memahami hal ini dan mengingatnya, sejak permulaan fase mitigasi
memastikan cepat dan tepat bantuan hingga fase pemulihan akhir, harus menemukan diri mereka lebih mampu
kepada para korban bencana, dan mengatasi tantangan yang pasti akan mereka hadapi.
mencapai pemulihan yang cepat dan
efektif ”melalui upaya pemerintah, relawan
dan masyarakat sipil yang
terkoordinasi
Stangeland Sangat pentinng untuk memahami Literatur Didapatkan 8 tema: (a) mendefinisikan bencana, (b) keperawatan selama dan
et al. (2010) maksud perawat untuk merespons, karena e setelah bencana, (c) pendidikan keperawatan dalam kesiapsiagaan bencana,
kapasitas rumah sakit secara langsung Review (d) kesiapan perawat militer, (e) stres pascabencana, (f) masalah etika dan
berkaitan dengan jumlah staf perawat niat untuk merespons , (g) kebijakan, dan (h) kebijakan darurat rumah sakit.
yang tersedia untuk merawat masuknya
pasien selama
bencana
Satoh et al. Untuk memastikan bahwa pengalaman Literatur Bencana merupakan hal yang terjadi secara tidak terduga. Perlu persiapan
(2019) dan pelajaran dari Gempa Besar Jepang e review dari pasien dalam menghadapinya. Pasien perlu mempersiapkan Kit Darurat
Timur 2011 yang belum pernah terjadi Diabetes (Diabetes Emergency Kit). Kit darurat diabetes berisi segala
sebelumnya digunakan untuk informasi terkait pengobatan dan riwayat serta perlengkapan penunjang
meningkatkan perencanaan bencana di dalam melakukan perawatan mandiri diabetes (self-care diabetes) selama
masa depan, Japan Diabetes Society bencana atau keadaan darurat.
(JDS) meluncurkan “Komite Penelitian dan
Survei untuk Membangun Sistem
Perawatan Diabetes Bencana
Berdasarkan Temuan yang Relevan dari
Great Gempa Bumi Jepang Timur ”di
bawah
pengawasan Ketua JDS
Tomio et al. Pemerintah telah menyoroti pentingnya Literatur Untuk meningkatkan upaya kesiapsiagaan, penulis menyarankan bahwa
(2014) langkah-langkah kesiapan bencana untuk review penyedia layanan kesehatan harus menyadari tiga saran berikut: 1)
penyakit kronis. Sejumlah pasien yang rekomendasi harus berbasis bukti; 2) rekomendasi harus mengandung pesan
selamat mengalami eksaserbasi penyakit yang konsisten; dan 3) rekomendasi harus dapat diaplikasikan.
kronis, seperti hipertensi, diabetes,
kanker, dan penyakit pernapasan kronis,
karena stres terkait bencana, gangguan
perawatan, atau keduanya; bagi beberapa
pasien,
eksaserbasi ini mengakibatkan kematian.
Heptulla et Bencana alam selalu dikaitkan dengan Cross- 83% dilaporkan sangat siap menghadapi bencana, tidak ada perbedaan
al. (2016) efek samping yang signifikan termasuk sectional antara kesiapan terhadap bencana, usia atau jenis kelamin. Ada
masalah kesehatan medis dan mental. kecenderungan menuju signifikansi (p <0,06) dalam pada orang-orang New
Anak-anak dengan penyakit kronis seperti Jersey untuk dampak psikologis yang lebih besar dari badai. Kontrol glikemik
diabetes juga diyakini terkena dampak yang buruk secara signifikan terkait dengan SES (sosio-economic status)
yang lebih besar oleh bencana alam. yang lebih rendah
(p <0,008). Yang paling penting, SES tidak terkait dengan kesiapan untuk
manajemen diabetes selama badai.
Peran Perawat (Sebelum, Sesaat, dan Setelah Bencana)
ICN dan beberapa referensi menjabarkan kompetensi yang dimiliki perawat pada saat
bencana 1) Pencegahan/mitigasi, 2) Kesiapsiagaan, 3) Respon dan 4)
Rehabilitasi/Pemulihan (Alfred et al., 2015).
1. Kompetensi Pencegahan/Mitigasi
Mitigasi digambarkan sebagai landasan manajemen darurat. Mitigasi didefinisikan
merupakan tindakan berkelanjutan yang mengurangi atau menghilangkan risiko jangka
panjang bagi manusia dan harta benda dari bencana alam atau buatan manusia dan
dampaknya, mitigasi terjadi sebelum bencana. Mitigasi meliputi kegiatan masyarakat
untuk mencegah bencana, mengurangi kemungkinan terjadinya bencana, dan
mengurangi kerusakan akibat bencana (Mistric & Sparling, 2010).
Peran yang dilakukan perawat yaitu pengurangan risiko, pencegahan penyakit dan
promosi kesehatan dan pengembangan dan perencanaan kebijakan. Dalam hal ini
perawat melakukan kolaborasi dengan tenaga kesehatan yang lain seperti organisasi
masyarakat, pemerintah, dan tokoh masyarakat untuk melakukan pendidikan dan
simulasi bencana dalam skala besar (Alfred et al., 2015). Perawat juga memiliki peran
dalam mempelajari bencana berdasarkan pengalaman sebelumnya, perlu mencari tau
kebijakan bencana regional yang sudah ada/berlaku (Arrieta et al., 2008).
2. Kompetensi Kesiapsiagaan
Tahap kedua dari manajemen darurat adalah kesiapan. Kesiapan yang dimaksud
mengambil bentuk rencana atau prosedur yang dirancang untuk menyelamatkan nyawa
dan meminimalkan kerusakan ketika terjadi keadaan darurat. Perencanaan, pelatihan,
dan latihan bencana adalah elemen penting dari kesiapsiagaan. Meskipun dasar
kesiapsiagaan adalah merencanakan jenis-jenis kegiatan yang akan terjadi sebelum,
selama, dan segera setelah bencana terjadi (Mistric & Sparling, 2010).
Hal-hal yang dilakukan perawat selama fase ini yaitu mengidentifikasi praktik etis,
praktik hukum, dan akuntabilitas, kemampuan komunikasi dan berbagi informasi, serta
memperisapkan rencana untuk penanganan bencana dilapangan (Alfred et al., 2015).
Perawat dapat mengenali tugas dan fungsinya selama merespon masa bencana serta
risiko terhadap diri dan keluarga. Perawat juga berperan dalam melakukan komunikasi
komando terhadap perawat yang lain. Perawat utama ditunjuk berdasarkan pengalaman
dan kemampuan berfikir kritis. Perawat utama memberikan instruksi penentuan lokasi
evakuasi dan pertolongan sedangkan perawat pelaksana lapangan memberikan
informasi terkait kondisi dan situasi di lapangan. Perawat harus berkerja dalam tim
menentukan kebutuhan dalam melakukan pertolongan pertama (kesiapan tim, alat-alat
medis). Perawat dituntut mampu menyiapkan diri dalam menghadapi situasi bencana.
Terlepas dari kondisi psikologis yang dialami perawat selama bencana, perawat harus
mampu bersikap profesional pada kondisi tersebut (Arrieta et al., 2008).
3. Kompetensi Respons
Fase ketiga manajemen bencana adalah fase respons. Tahap respons meliputi
tindakan yang diambil untuk menyelamatkan nyawa dan mencegah kerusakan lebih
lanjut selama dan segera setelah bencana atau situasi darurat. Fase respons melibatkan
penerapan rencana kesiapsiagaan ke dalam tindakan (Mistric & Sparling, 2010).
Peran yang dilakukan perawat pada fase ini yaitu perawat berpartisipasi dalam
penyaluran dan pembagian distribusi bantuan yang tersedia kepada pengungsi, merawat
individu dan keluarga, perawatan psikologis dan melakukan perawatan khusus pada
populasi rentan (Alfred et al., 2015). Perawat juga dituntut mampu mengidentifikasi
pengungsi dengan kebutuhan-kebutuhan khusus dikarenakan pemberian perawatan
akan berbeda daripada pengungsi biasa (Arrieta et al., 2008). Contohnya pasien dengan
penyakit kronis seperti diabetes perlu diperhatikan dari aspek pemenuhan nutrisi dan
pengontrolan gula darah.
4. Kompetensi pemulihan/rehabilitasi
Fase keempat dari manajemen bencana adalah fase pemulihan. Fase pemulihan
dibagi menjadi kegiatan jangka pendek dan jangka panjang. Kegiatan jangka pendek
didefinisikan sebagai kegiatan yang menawarkan bantuan dan rehabilitasi segera. Untuk
penyedia layanan kesehatan, kegiatan jangka pendek meliputi bantuan kehidupan yang
vital dan penyediaan layanan yang diperlukan untuk kesejahteraan langsung pasien dan
kenyamanan dasar. Kegiatan jangka panjang bertujuan untuk memulihkan kesehatan
pasien sebanyak mungkin sehingga mereka dapat kembali ke rutinitas kehidupan sehari-
hari (Mistric & Sparling, 2010).
Pada fase ini peranan perawat meliputi pemulihan individu, keluarga, dan
komunitas jangka pendek dan panjang (Alfred et al., 2015). Hal yang dilakukan perawat
yaitu dapat melakukan inventarisasi persedian tempat penampungan dan logistik darurat.
Dengan melakukan hal tersebut dapat mempersiapkan kondisi penampungan jangka
panjang (Arrieta et al., 2008).

Selain kompetensi yang di jabarkan diatas menurut Satoh et al. (2019) ada beberapa
kompetensi yang dilakukan saat perawat menghadapi bencana khusus pada penderita
diabetes. Peranan perawat terbagi atas tiga fase mulai dari fase akut, fase sub-akut dan
fase pemulihan.
1. Fase akut (dari setelah bencana sampai minggu ke 1 pascabencana)
Pada fase ini perawat harus memeriksa jenis penyakit yang dimiliki masing-masing
pengungsi (tipe 1, tipe 2 atau bentuk lainnya). Perawat juga memastikan apakah mereka
menggunakan insulin suntik (jenis dan berapa unit yang digunakan) dan apakan pasien
juga melakukan SMBG (self monitoring blood glucose). Perawat juga harus tetap
memantau kadar glukosa darah yang berfungsi mendeteksi gejala hipoglikemia atau
hiperglikemia, serta perawat juga harus mencari tahu di mana pasien
berlindung/mengungsi.
2. Fase sub-akut (dari minggu ke 2 hingga bulan 1 atau 2 pascabencana)
Perawat harus tetap memantau kadar glukosa / HbA1c masing-masing pengungsi,
apakah mereka menggunakan injeksi insulin atau berapa dosis insulin atau tidak dan
apakah mereka menggunakan agen farmakologis / berapa banyak obat tetap atau tidak.
Perawat juga harus mencari tahu tentang komplikasi diabetes, kondisi hidup, dan status
mental pasien.
3. Tahap pemulihan (dari bulan 1 atau 2 pascabencana dan selanjutnya)
Perawat harus mengukur kadar glukosa / HbA1c pada pasien dengan diabetes dan
mencari tahu tentang komplikasi diabetes, status perawatan, perubahan berat badan,
kondisi hidup, status mental, dan sarana transportasi yang diperlukan untuk kunjungan
rumah sakit.

Berdasarkan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa peran perawat saat


bencana secara umum terbagi atas empat kompetensi yaitu tahap pencegahan/mitigasi,
tahap kesiapsiagaan, tahap respon dan tahap rehabilitasi/pemulihan. Peranan tersebut juga
tidak bisa terlepas dari pentingnya komunikasi dan kordinasi dengan pihak-pihak lain seperti
pemerintah pusat dan daerah, tenaga kesehatan lain, donatur, masyarakat yang terkena
dampak dan yang lainnya. dalam menangani kondisi khusus (penyakit kronik) peran perawat
yang lebih ditekankan pada tahap setelah bencana (rehabilitasi) dalam mengidentifikasi
kebutuhan pasien dengan diabetes melitus, khususnya masalah pengontrolan gula darah
(termasuk makanan, obat-obatan, dan alat pemeriksaan gula darah).
Edukasi dan Kesiapsiagaan Pasien
Kondisi kronis, terutama diabetes, akan berdampak memburuk selama bencana
terjadi dikarena akses obat-obatan sulit, kondisi lingkungan yang memburuk, dan perhatian
yang tidak memadai dalam manajemen penyakit ini (Waltzman & Fleegler, 2009). Hal
tersebut dapat menimbulkan gejala perburukan selama dan setelah bencana. Hasil
penelitian menunjukan individu dengan diabetes mengalami peningkatan kadar glukosa
darah setelah terjadi bencana daripada sebelum bencana (Tomio & Sato, 2014).
Berdasarkan masalah tersebut perawat berperan penting dalam mengatasi hal tersebut.
Sehingga pentingnya edukasi dan pemberan informasi kepada pasien bagaimana cara
mempersiapkan diri dalam menghadapi bencana.
Arrieta et al. (2008) menjelaskan dalam artikelnya ada beberapa komponen penting
dalam melakukan edukasi dan kesiapsiagaan pada pasien diabetes. Pada artikel tersebut
menjelaskan bahwa penekanan kesiapsiagaan pasien harus memiliki pengetahuan yang
diperlukan untuk mempersiapkan diri menghadapi kondisi tidak terduga (bencana alam)
yang sering terjadi di daerah tersebut. Mereka juga menekankan bahwa pemberian edukasi
tidak cukup hanya diberikan satu atau dua kali melaikan harus diberikan pada tahap awal
penyakit dan diberikan berulang-ulang kali saat melakukan kunjungan ke tenaga kesehatan.
Edukasi yang dapat dilakukan oleh perawat kepada pasien dengan kondisi kronik
yaitu selalu meningatkan akan pentingnya mengingat nama obat yang sering dikonsumsi
oleh pasien (Tomio & Sato, 2014; Waltzman & Fleegler, 2009), mempersiapkan diri dengan
kit darurat (Burns et al., 2016; Satoh et al., 2019), serta selalu mengingatkan untuk segera
melakukan evakuasi ketempat penampungan terdekat bila terjadi bencana (Satoh et al.,
2019).

Persiapan darurat dalam menghadapi bencana pada pasien diabetes


Bencana alam atau keadaan darurat dapat memiliki dampak yang signifikan pada kadar
glukosa darah (ADA, 2007). Pasien diabetes perlu merencanakan bagaimana mereka akan
tetap mengelola kondisi mereka selama keadaan darurat.
Tingkat glukosa darah dapat menjadi tidak menentu dan lebih sulit untuk di kelola selama
keadaan darurat karena beberapa faktor (Burns et al., 2016):
 Sulit mendapatkan obat dan perawatan medis
 Sulit untuk mengakses makanan dan air bersih
 Pengingkatan tingkat stres
 Ativitas fisik dapat meningkat atau menurun dibandingkan dengan biasanya
Situasi darurat dapat terjadi selama berhari-hari atau berminggu-minggu setelah
kejadian, jadi sangat penting pasien dengan diabetes untuk bersiap-siap mengelola
diabetesnya sendiri selama kurang lebih 14 hari (Renukuntla, Hassan, Wheat, & Heptulla,
2009).
Hal yang harus dipersiapkan oleh pasien dengan diabetes adalah Kit Darurat
Diabetes (Diabetes Emergency Kit) (Satoh et al., 2019). Selain kit darurat diabetes pasien
juga harus memperisapkan: daftar riwayat medis dan bedah, jadwal pengobatan rutin
diabetes, salinan manajemen diabetes, dan salinan rencana keadaan darurat diabetes
(Burns et al., 2016). Dalam tas kit darurat diabetes berisi barang-barang umum mencakup:
1) persedian obat rutin selama 14 hari, 2) obat-obatan lain yang biasanya digunakan (seperti
parasecamol, aspirin, dll), 3) persediaan air kemasan selama 3 hari per orang, 4) tas
pendingin yang dapat diisi ulang (McCormick, Pevear, & Xie, 2013).
Selain barang umum diatas menurut Renukuntla et al. (2009) khusus untuk pasien
diabetes barang-barang yang harus tersedia meliputi: 1) persediaan 14 hari insulin jika
menggunakan terapi insulin, 2) persedian tes pemeriksaan gula darah dan batrai ekstra
serta jarumnya, 3) tempat benda tajam, 4) strip pemeriksaan urin atau keton, 5) kotak
hipoglikemia yang berisi jeli, tablet glukosa, kaleng minuman ringan, persediaan makanan
yang tidak mudah rusak, 6) bola kapas dan tissu, 7) pembersih alkohol, dan 8) pena dan
buku catatan untuk mencatat hasil tes gula darah.

Gambar 2: contoh barang yang harus dimiliki pasien diabetes a) kartu rencana diabetes darurat, b) kit
darurat diabetes, dan c) kota hipoglikemia
(sumber: Burns et al. (2016); https://www.ccdhb.org.nz)

Hal yang dilakukan pasien diabetes selama dan setelah bencana alam atau darurat
Menurut artikel yang ditulis oleh Burns et al. (2016) hal-hal yang dilakukan pasien selama
bencana alam:
 Pasien diabetes harus tetap menyimpan peralatan darurat bersama mereka,
terutama jika ada peringatan dini tentang keadaan darurat yang terjadi.
 Pemeriksaan kadar glukosa darah harus terus di cek seperti biasa dan disesuaikan.
 Jumlah penggunaan insulin dan obat lain perlu diperhitungkan selama bencana alam
atau kondisi darurat karena tingkat stres yang lebih tinggi dan perubahan aktivitas
fisik.
 Setiap perubahan penggunaan obat harus berkonsultasi dengan tenaga kesehatan.
 Setelah dibuka, botol insulin dapat disimpan pada suhu kamar (15-25 derajat)
hingga 28 hari. Insulin tidak boleh dibiarkan di bawah sinar matahari langsung.
 Insulin harus tetap terjaga pada suhu dingin. Jika membeku jangan digunakan .
 Kaki harus tetap dijaga tetap kering. Alas kaki harus selalu dipakai dan kaki sering di
periksa apakah ada luka, memar, lecet atau kuku kaki yang terinfeksi.
 Pakaian pelindung harus dikenakan.
Setelah terjadi bencana alam atau darurat pasien dengan diabetes perlu memperhatikan
beberapa hal sebagai berikut (Zhou, Wu, Xu, & Fujita, 2018):
 Obat-obatan mungkin belum tersedia setelah bencana alam atau kondisi darurat.
 Obat-obatan insulin tetap terus disimpan selama bencana alam atau darurat. Insulin
dapat disimpan pada suhu kamar (15-25 derajat) hingga 28 hari.
 Mungkin akan membutuhkan waktu yang lama untuk menerima pengobatan karena
orang dengan cidera akut akan diprioritaskan.
 Pemeriksaan dilakukan oleh dokter atau perawat dilakukan sesegera mungkin
setelah bencanaatau kondisi darurat.
 Setiap ada luka atau goresan pada kaki, harus segera di konsultasikan dengan
petugas kesehatan.
 Pemantauan tetap dilakukan dan dilanjutkan.
Kesimpulan
Bencana merupakan peristiwa yang destruktif (menghancurkan) yang dapat
merugikan orang-orang yang terkena dampaknya. Bencana sering mengakibatkan
berkurangnya akses obat-obatan, layanan, perumahan, air bersih, dan makanan bergizi,
serta daya/listrik yang dibutuhkan untuk menjalankan peralatan penting yang membantu
kehidupan.
Pasien dengan diabetes dapat menimbulkan gejala perburukan selama dan setelah
bencana. Kebutuhan akan keberlanjutan manajemen diabetes sangat diprioritasikan, dan
memastikan bahwa pengobatan dan pemantauan diabetes secara rutin tidak terganggu.
Kesiapan diri menunjukan kunci sukses dalam pemulihan pasca bencana. Pasien dengan
diabetes dan kondisi kronis lainnya perlu dipersiapkan untuk keadaan darurat/bencana yang
membutuhkan keperluan untuk evakuasi dalam waktu yang lama. Hal yang harus
dipersiapkan khusus oleh pasien dengan diabetes adalah Kit Darurat Diabetes (Diabetes
Emergency Kit).
Perawat memainkan peran penting dalam kesiapsiagaan bencana,
respons/pemulihan dan evaluasi, terutama dalam mengurangi kerentanan dan
meminimalkan risiko dalam suatu bencana. Kesiapan menghadapi bencana dianggap
sangat mendesak dilakukan di Indonesia. Dengan mempertimbangkan beberapa kondisi
bencana perlu adanya peranan perawat yang lebih dalam menghadapi situasi tersebut.
Sehingga diperlukan perawat yang mampu memberikan pelayanan kepada masyarakat
yang khususnya pada penderita dengan penyakit kronik agar tetap terus dapat
mempertahankan pengobatan dan pemantauan penyakit secara terus menerus. Pemerintah
juga harus mendukung kebijakan untuk memberikan peran dan fungsi perawat dalam
penanganan bencana serta mengikut sertakan perawat dalam memberikan pelatihan
berkelanjutan khusus (pelatihan khusus untuk penyakit kronik).

Daftar Pustaka
ADA. (2007). American Diabetes Association Statement on Emergency and Disaster
Preparedness: a report of the Disaster Response Task Force. Diabetes care, 30(9),
2395-2398. doi:10.2337/dc07-9926
Albache, N. (2017). Diabetes and disasters. Diabetes Research and Clinical Practice, 131,
260-261. Retrieved from
http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0168822717311804.
doi:https://doi.org/10.1016/j.diabres.2017.07.027
Alfred, D., Chilton, J., Connor, D., Deal, B., Fountain, R., Hensarling, J., & Klotz, L. (2015).
Preparing for disasters: Education and management strategies explored. Nurse
Education in Practice, 15(1), 82-89. Retrieved from
http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S1471595314001152.
doi:https://doi.org/10.1016/j.nepr.2014.08.001
Arrieta, M. I., Foreman, R. D., Crook, E. D., & Icenogle, M. L. (2008). Insuring Continuity of
Care for Chronic Disease Patients After a Disaster: Key Preparedness Elements.
The American Journal of the Medical Sciences, 336(2), 128-133. Retrieved from
http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0002962915322138.
doi:https://doi.org/10.1097/MAJ.0b013e318180f209
Burns, P., Hemingway, J., Jenkins, A., Lansdowne, R., Lenson, S., Amy, M., . . . Vaughan,
H. (2016). The Needs of People with Diabetes and other Chronic Conditions in
Natural Disasters.
Fonseca, V. A., Smith, H., Kuhadiya, N., Leger, S. M., Yau, C. L., Reynolds, K., . . . John-
Kalarickal, J. (2009). Impact of a Natural Disaster on Diabetes: Exacerbation of
disparities and long-term consequences. Epidemiology/Health Services Research,
32(9), 1632-1638. Retrieved from
https://http//care.diabetesjournals.org/content/32/9/1632.full-text.pdf.
doi:10.2337/dc09-0670.
Heptulla, R., Hashim, R., Johnson, D. N., Ilkowitz, J. T., DiNapoli, G., Renukuntla, V., &
Sivitz, J. (2016). Evaluating emergency preparedness and impact of a hurricane
sandy in pediatric patients with diabetes. Disaster Mil Med, 2, 2. doi:10.1186/s40696-
016-0012-9
Kav, S., Yilmaz, A. A., Bulut, Y., & Dogan, N. (2017). Self-efficacy, depression and self-care
activities of people with type 2 diabetes in Turkey. Collegian, 24(1), 27-35.
Lee, D. C., Gupta, V. K., Carr, B. G., Malik, S., Ferguson, B., Wall, S. P., . . . Goldfrank, L. R.
(2016). Acute post-disaster medical needs of patients with diabetes: emergency
department use in New York City by diabetic adults after Hurricane Sandy. BMJ
Open Diabetes Res Care, 4(1), e000248. doi:10.1136/bmjdrc-2016-000248
McCormick, L. C., Pevear, J., 3rd, & Xie, R. (2013). Measuring levels of citizen public health
emergency preparedness, Jefferson County, Alabama. Journal Of Public Health
Management And Practice: JPHMP, 19(3), 266-273. Retrieved from
http://search.ebscohost.com/login.aspx?direct=true&db=mnh&AN=23529018&site=e
host-live. doi:10.1097/PHH.0b013e318264ed8c
Mistric, M. L., & Sparling, T. A. (2010). Disaster Aftermath: A First-Person Perspective as a
Responder and Caregiver. Critical Care Nursing Clinics of North America, 22(4), 523-
534. Retrieved from
http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0899588510000626.
doi:https://doi.org/10.1016/j.ccell.2010.09.004
Renukuntla, V. S., Hassan, K., Wheat, S., & Heptulla, R. A. (2009). Disaster preparedness in
pediatric type 1 diabetes mellitus. Pediatrics, 124(5), e973-e977. Retrieved from
http://search.ebscohost.com/login.aspx?direct=true&db=mnh&AN=19822589&site=e
host-live. doi:10.1542/peds.2008-3648
Satoh, J., Yokono, K., Ando, R., Asakura, T., Hanzawa, K., Ishigaki, Y., . . . Yamashita, H.
(2019). Diabetes Care Providers' Manual for Disaster Diabetes Care. J Diabetes
Investig, 10(4), 1118-1142. doi:10.1111/jdi.13053
Shipman, S. J., Stanton, M. P., Tomlinson, S., Olivet, L., Graves, A., McKnight, D., & Speck,
P. M. (2016). Qualitative Analysis of the Lived Experience of First-Time Nurse
Responders in Disaster. The Journal of Continuing Education in Nursing, 47(2), 61-
71. Retrieved from
https://search.proquest.com/docview/1762022371?accountid=17242.
doi:http://dx.doi.org/10.3928/00220124-20160120-06
Stallwood, L. G. (2006). Assessing emergency preparedness of families caring for young
children with diabetes and other chronic illnesses. Journal For Specialists In Pediatric
Nursing: JSPN, 11(4), 227-233. Retrieved from
http://search.ebscohost.com/login.aspx?direct=true&db=mnh&AN=16999744&site=e
host-live.
Stangeland, P. A. (2010). Disaster Nursing: A Retrospective Review. Critical Care Nursing
Clinics of North America, 22(4), 421-436. Retrieved from
http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0899588510000614.
doi:https://doi.org/10.1016/j.ccell.2010.09.003
Thojampa, S. (2019). Knowledge and self-care management of the uncontrolled diabetes
patients. International Journal of Africa Nursing Sciences, 10, 1-5. Retrieved from
http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S2214139118300386.
doi:https://doi.org/10.1016/j.ijans.2018.11.002
http://download.garuda.ristekdikti.go.id/article.php?
article=633917&val=10943&title=STANDBY%20VILLAGE%20AND
%20HEALTH%20MANAGEMENT%20OF%20DISASTER

Bencana banjir dapat mengakibatkan berbagai dampak kesehatan fisik


dan mental, kerusakan infrastruktur, dan kerugian harta benda. Dampak tersebut
dapat diminimalkan oleh perawat dengan kesiapsiagaan pelayanan kesehatan.
Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan pengetahuan dan sikap perawat
tentang kesiapsiagaan pelayanan kesehatan dalam menghadapi bencana banjir.
Penelitian dilakukan dengan menggunakan desain penelitian deskriptif. Penelitian
ini melibatkan 42 sampel menggunakan teknik total sampling yang terdiri dari
perawat yang bekerja di Puskesmas di daerah yang terdampak banjir. Instrumen
yang digunakan adalah kuesioner yang telah dilakukan uji validitas dan
reliabilitasnya. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis
univariat untuk melihat distribusi frekuensi dalam bentuk persentase dan narasi
mengenai pengetahuan dan sikap perawat. Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa 22 responden (52,4%) belum memiliki pengetahuan kesiapsiagaan
pelayanan kesehatan yang baik dan 24 responden (57,1%) belum memiliki sikap
kesiapsiagaan pelayanan kesehatan yang baik. Mayoritas responden yang
memiliki pengetahuan baik adalah responden dengan tingkat pendidikan Ners
(75%), responden dengan lama kerja ≥10 tahun (72,2%), responden yang telah
mengikuti pelatihan kegawatdaruratan (73,7%) dan pelatihan terkait bencana
(75,0%), sedangkan responden yang memiliki sikap baik adalah responden
dengan tingkat pendidikan Ners (75%) dan responden yang pernah mengikuti
pelatihan terkait bencana (75,0%). Berdasarkan hasil penelitian, disarankan agar
perawat meningkatkan pengetahuan dengan mempelajari literatur tentang bencana
banjir dan mengikuti pelatihan terkait bencana banjir. Kata kunci: Bencana banjir,
Kesiapsiagaan pelayanan kesehatan, Pengetahuan, Perawat, Sikap Abstract Flood
is a condition in submerged an area or land because volume of water is increasing.
Flood disasters can cause various physical and mental health impacts,
infrastructure damages and property losses. Impact on a disaster can be minimized
by nurse with health service preparedness. This research aims to identify the
knowledge and attitude of nurses about health service preparedness in facing the
flood disasters. This research was conducted using descriptive research design.
This research involves 42 samples using total sampling technique that consists of
nurses working in health centers in the flood affected areas. The instrument used
was a questionnaire that had been tested for validity and reliability. The analysis
utilized was univariate analysis to see frequency distribution on percentage forms
and narration of knowledge and attitude of nurses. The results of this study
showed that 22 respondents (52.4%) did not have good health service
preparedness knowledge and 24 respondents (57.1%) did not have a good health
service preparedness attitude. The majority of respondents that have good
knowledge are respondents graduated from professional nurse (75%), respondents
with length of employment ≥10 years (72.2%), respondents that have attended
emergency training (73.7%) and training related to disasters (75%), while
respondents that have good attitudes are respondents graduated from professional
nurse (75%) and respondents that have attended disaster-related training (75%).
Based on the result of this research, it is recommended that nurses must increase
knowledge by learning literature about flood disasters and participating in training
related to flood disaster. Keywords: Attitude, Flood disasters, Health service
preparedness, Knowledge, Nurse Indri Setiawati, Gamya Tri Utami, Febriana
Sabrian, Gambaran Pengetahuan dan Sikap Perawat tentang Kesiapsiagaan
Pelayanan Kesehatan dalam Menghadapi Bencana Banjir* 159 Bencana
merupakan suatu keadaan darurat mendesak yang dapat menyebabkan kesakitan
kematian, kesakitan, cedera, kerusakan materi serta terganggunya kehidupan
sehari-hari manusia dan hal tersebut berada diluar kendali manusia untuk
mengendalikan dan mengaturnya (Purwana, 2013). Data yang diperoleh dari
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) bencana yang paling tinggi
angka kejadiannya yaitu bencana banjir (BNPB, 2018). Banjir merupakan
peristiwa atau keadaan suatu daerah atau daratan terendam karena peningkatan
volume air (BNPB, 2016). Dampak yang ditimbulkan dari banjir dapat berupa
adanya masalah kesehatan fisik dan mental, korban jiwa, kerusakan fasilitas
umum, dan kerugian harta benda. Upaya-upaya untuk mengurangi dampak
bencana tersebut dapat dilakukan dengan manajemen bencana yang baik (Sinaga,
2015). Sendai Framework for Disaster Risk Reduction 2015-2030 menyatakan
bahwa tahapan manajemen bencana yang paling sesuai untuk mengurangi risiko
bencana ialah pada tahap pra bencana. Hal ini sesuai dengan perubahan konsep
penanggulangan bencana yang dahulu berfokus pada upaya tanggap darurat
bencana saat ini mengoptimalkan upaya pada tahap pra bencana, yaitu
kesiapsiagaan (Khambali, 2017). Kesiapsiagaan merupakan suatu kegiatan yang
menunjukkan tingkat efektivitas respon terhadap adanya bencana secara
keseluruhan (Abidin, 2014). Munandar dan Waraningsih (2018) menyatakan
bahwa strategi kesiapsiagaan dalam penanggulangan bencana merupakan upaya
yang sangat penting untuk dilakukan, khususnya oleh perawat. Perawat sebagai
tenaga kesehatan terbesar dan first responder serta pemberi pelayanan dalam
tanggap darurat bencana dituntut untuk memiliki kesiapsiagaan bencana yang
lebih tinggi dibandingkan dengan tim lain (Perron, Rudge, Blais, & Holmes,
2010; Rizqillah, 2018). Kemampuan perawat dalam kesiapsiagaan
penanggulangan bencana harus didukung oleh dasar pengetahuan dan sikap yang
baik dalam disaster management (Kartika, Yaslina, & Agustin, 2018).
Pusponegoro (2011) menyatakan bahwa dalam perencanaan penanggulangan
bencana diperlukan prinsip "The right team in the right place at the right time with
the right knowledge, the right skill and the right logistics", dimana salah satu yang
harus dimiliki adalah pengetahuan yang benar. Sikap perawat untuk merespon
tanggap bencana sangat dibutuhkan dalam situasi kritis serta dalam merawat
korban bencana (Kartika, Yaslina, & Agustin, 2018). Riau merupakan salah satu
provinsi di wilayah Indonesia bagian barat yang lebih sering mengalami banjir
berdasarkan klasifikasi karakteristik wilayah. Badan Penanggulangan Bencana
Daerah (BPBD) Provinsi Riau menetapkan Riau menjadi Jurnal Ners Indonesia,
Vol.10 No.2, Maret 2020 160 status siaga darurat banjir dan diperoleh data yaitu
sebanyak 927 kepala keluarga (KK) terdampak banjir periode November-
Desember 2018. Berdasarkan perhitungan kasus diperoleh sebanyak 348 warga
yang mengalami penyakit akibat banjir yaitu penyakit kulit, diare, ISPA, dan
penyakit lainnya. Hasil wawancara dengan 5 perawat di Puskesmas Rumbai dan
Rumbai Bukit terhadap pengetahuan kesiapsiagaan bencana, 2 perawat
mengetahui tentang pengertian kesiapsiagaaan, 3 orang mengetahui alur
komunikasi terkait informasi mengenai bencana, 5 perawat belum mengetahui
perlunya pembentukan tim-tim yang terdiri dari tim reaksi cepat, tim penilaian
cepat dan tim bantuan kesehatan dalam upaya penanggulangan bencana.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian pada perawat dengan judul "Gambaran pengetahuan dan sikap perawat
tentang kesiapsiagaan pelayanan kesehatan dalam menghadapi bencana banjir".
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi pengetahuan dan sikap
perawat tentang kesiapsiagaan pelayanan kesehatan dalam menghadapi bencana
banjir. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai sumber informasi dan
pengembangan ilmu pengetahuan terutama dalam manajemen disaster atau
manajemen bencana. METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini adalah
penelitian kuantitatif dengan menggunakan desain penelitian deskriptif. Populasi
dari penelitian ini adalah seluruh perawat yang bekerja di Puskesmas Rumbai,
Karya Wanita, Umban Sari, Rumbai Bukit, dan Muara Fajar yaitu berjumlah 42
responden. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah total sampling
yaitu menggunakan seluruh populasi dalam penelitian. Penelitian dilakukan mulai
dari bulan Januari sampai dengan Juni 2019. Alat pengumpulan data yang
digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner. Kuesioner untuk mengukur
pengetahuan menggunakan pertanyaan multiple choice dengan 3 alternatif
jawaban, sedangkan untuk mengukur sikap menggunakan skala likert yang telah
dilakukan uji validitas dan realibilitasnya pada perawat yang bekerja di
Puskesmas Rejosari dan Puskesmas Sail. Analisis data menggunakan analisis
univariat untuk mendeskripsikan karakteristik responden yaitu umur, pendidikan,
jenis kelamin, lama bekerja, pengalaman mengikuti pelatihan kegawatdaruratan,
dan bencana.

GAMBARAN PENGETAHUAN DAN SIKAP PERAWAT


TENTANG KESIAPSIAGAAN PELAYANAN KESEHATAN
DALAM
MENGHADAPI BENCANA BANJIR

Indri Setiawati1, Gamya Tri Utami2, Febriana Sabrian3


1,2,3
Fakultas Keperawatan Universitas Riau
Fakultas Keperawatan Universitas Riau Jalan
Pattimura No 9 Gedung G Pekanbaru Riau Kode Pos
28131 Indonesia
Email indristwt@gmail.com

Abstrak

Banjir merupakan suatu keadaan suatu daerah atau daratan terendam oleh air karena peningkatan
volume air. Bencana banjir dapat mengakibatkan berbagai dampak kesehatan fisik dan mental,
kerusakan infrastruktur, dan kerugian harta benda. Dampak tersebut dapat diminimalkan oleh perawat
dengan kesiapsiagaan pelayanan kesehatan. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan
pengetahuan dan sikap perawat tentang kesiapsiagaan pelayanan kesehatan dalam menghadapi
bencana banjir. Penelitian dilakukan dengan menggunakan desain penelitian deskriptif. Penelitian ini
melibatkan 42 sampel menggunakan teknik total sampling yang terdiri dari perawat yang bekerja di
Puskesmas di daerah yang terdampak banjir. Instrumen yang digunakan adalah kuesioner yang telah
dilakukan uji validitas dan reliabilitasnya. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah
analisis univariat untuk melihat distribusi frekuensi dalam bentuk persentase dan narasi mengenai
pengetahuan dan sikap perawat. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa 22 responden (52,4%)
belum memiliki pengetahuan kesiapsiagaan pelayanan kesehatan yang baik dan 24 responden
(57,1%) belum memiliki sikap kesiapsiagaan pelayanan kesehatan yang baik. Mayoritas responden
yang memiliki pengetahuan baik adalah responden dengan tingkat pendidikan Ners (75%), responden
dengan lama kerja ≥10 tahun (72,2%), responden yang telah mengikuti pelatihan kegawatdaruratan
(73,7%) dan pelatihan terkait bencana (75,0%), sedangkan responden yang memiliki sikap baik
adalah responden dengan tingkat pendidikan Ners (75%) dan responden yang pernah mengikuti
pelatihan terkait bencana (75,0%). Berdasarkan hasil penelitian, disarankan agar perawat
meningkatkan pengetahuan dengan mempelajari literatur tentang bencana banjir dan mengikuti
pelatihan terkait bencana banjir.
Kata kunci: Bencana banjir, Kesiapsiagaan pelayanan kesehatan, Pengetahuan, Perawat, Sikap

Abstract

Flood is a condition in submerged an area or land because volume of water is increasing. Flood
disasters can cause various physical and mental health impacts, infrastructure damages and property
losses. Impact on a disaster can be minimized by nurse with health service preparedness. This
research aims to identify the knowledge and attitude of nurses about health service preparedness in
facing the flood disasters. This research was conducted using descriptive research design. This
research involves 42 samples using total sampling technique that consists of nurses working in health
centers in the flood affected areas. The instrument used was a questionnaire that had been tested for
validity and reliability. The analysis utilized was univariate analysis to see frequency distribution on
percentage forms and narration of knowledge and attitude of nurses. The results of this study showed
that 22 respondents (52.4%) did not have good health service preparedness knowledge and 24
respondents (57.1%) did not have a good health service preparedness attitude. The majority of
respondents that have good knowledge are respondents graduated from professional nurse (75%),
respondents with length of employment ≥10 years (72.2%), respondents that have attended
emergency training (73.7%) and training related to disasters (75%), while respondents that have
good attitudes are respondents graduated from professional nurse (75%) and respondents that have
attended disaster-related training (75%). Based on the result of this research, it is recommended that
nurses must increase knowledge by learning literature about flood disasters and participating in
training related to flood disaster.
Keywords: Attitude, Flood disasters, Health service preparedness, Knowledge, Nurse
Kesiapsiagaan Pelayanan Kesehatan dalam Menghadapi Bencana Banjir

PENDAHULUAN efektivitas respon terhadap adanya bencana


Bencana merupakan suatu keadaan secara keseluruhan (Abidin, 2014). Munandar
darurat mendesak yang dapat menyebabkan dan Waraningsih (2018) menyatakan bahwa
kesakitan kematian, kesakitan, cedera, strategi kesiapsiagaan dalam penanggulangan
kerusakan materi serta terganggunya bencana merupakan upaya yang sangat
kehidupan sehari-hari manusia dan hal penting untuk dilakukan, khususnya oleh
tersebut berada diluar kendali manusia untuk perawat. Perawat sebagai tenaga kesehatan
mengendalikan dan mengaturnya (Purwana, terbesar dan first responder serta pemberi
2013). Data yang diperoleh dari Badan pelayanan dalam tanggap darurat bencana
Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dituntut untuk memiliki kesiapsiagaan
bencana yang paling tinggi angka kejadiannya bencana yang lebih tinggi dibandingkan
yaitu bencana banjir (BNPB, 2018). Banjir dengan tim lain (Perron, Rudge, Blais, &
merupakan peristiwa atau keadaan suatu Holmes, 2010; Rizqillah, 2018). Kemampuan
daerah atau daratan terendam karena perawat dalam kesiapsiagaan penanggulangan
peningkatan volume air (BNPB, 2016). bencana harus didukung oleh dasar
Dampak yang ditimbulkan dari banjir dapat pengetahuan dan sikap yang baik dalam
berupa adanya masalah kesehatan fisik dan disaster management (Kartika, Yaslina, &
mental, korban jiwa, kerusakan fasilitas Agustin, 2018). Pusponegoro (2011)
umum, dan kerugian harta benda. Upaya- menyatakan bahwa dalam perencanaan
upaya untuk mengurangi dampak bencana penanggulangan bencana diperlukan prinsip
tersebut dapat dilakukan dengan manajemen “The right team in the right place at the right
bencana yang baik (Sinaga, 2015). time with the right knowledge, the right skill
Sendai Framework for Disaster Risk and the right logistics”, dimana salah satu
Reduction 2015-2030 menyatakan bahwa yang harus dimiliki adalah pengetahuan yang
tahapan manajemen bencana yang paling benar. Sikap perawat untuk merespon tanggap
sesuai untuk mengurangi risiko bencana ialah bencana sangat dibutuhkan dalam situasi
pada tahap pra bencana. Hal ini sesuai dengan kritis serta dalam merawat korban bencana
perubahan konsep penanggulangan bencana (Kartika, Yaslina, & Agustin, 2018).
yang dahulu berfokus pada upaya tanggap Riau merupakan salah satu provinsi di
darurat bencana saat ini mengoptimalkan wilayah Indonesia bagian barat yang lebih
upaya pada tahap pra bencana, yaitu sering mengalami banjir berdasarkan
kesiapsiagaan (Khambali, 2017). klasifikasi karakteristik wilayah. Badan
Kesiapsiagaan merupakan suatu Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)
kegiatan yang menunjukkan tingkat Provinsi Riau menetapkan Riau menjadi
status siaga darurat banjir dan diperoleh data METODE PENELITIAN
yaitu sebanyak 927 kepala keluarga (KK) Jenis penelitian ini adalah penelitian
terdampak banjir periode November- kuantitatif dengan menggunakan desain
Desember 2018. Berdasarkan perhitungan penelitian deskriptif. Populasi dari penelitian
kasus diperoleh sebanyak 348 warga yang ini adalah seluruh perawat yang bekerja di
mengalami penyakit akibat banjir yaitu Puskesmas Rumbai, Karya Wanita, Umban
penyakit kulit, diare, ISPA, dan penyakit Sari, Rumbai Bukit, dan Muara Fajar yaitu
lainnya. berjumlah 42 responden. Teknik pengambilan
Hasil wawancara dengan 5 perawat di sampel yang digunakan adalah total sampling
Puskesmas Rumbai dan Rumbai Bukit yaitu menggunakan seluruh populasi dalam
terhadap pengetahuan kesiapsiagaan bencana, penelitian. Penelitian dilakukan mulai dari
2 perawat mengetahui tentang pengertian bulan Januari sampai dengan Juni 2019.
kesiapsiagaaan, 3 orang mengetahui alur Alat pengumpulan data yang digunakan
komunikasi terkait informasi mengenai pada penelitian ini adalah kuesioner.
bencana, 5 perawat belum mengetahui Kuesioner untuk mengukur pengetahuan
perlunya pembentukan tim-tim yang terdiri menggunakan pertanyaan multiple choice
dari tim reaksi cepat, tim penilaian cepat dan dengan 3 alternatif jawaban, sedangkan untuk
tim bantuan kesehatan dalam upaya mengukur sikap menggunakan skala likert
penanggulangan bencana. Berdasarkan latar yang telah dilakukan uji validitas dan
belakang tersebut, maka peneliti tertarik realibilitasnya pada perawat yang bekerja di
untuk melakukan penelitian pada perawat Puskesmas Rejosari dan Puskesmas Sail.
dengan judul “Gambaran pengetahuan dan Analisis data menggunakan analisis
sikap perawat tentang kesiapsiagaan univariat untuk mendeskripsikan karakteristik
pelayanan kesehatan dalam menghadapi responden yaitu umur, pendidikan, jenis
bencana banjir”. Tujuan penelitian ini adalah kelamin, lama bekerja, pengalaman mengikuti
untuk mengidentifikasi pengetahuan dan pelatihan kegawatdaruratan, dan bencana.
sikap perawat tentang kesiapsiagaan
pelayanan kesehatan dalam menghadapi HASIL PENELITIAN
bencana banjir. Hasil penelitian ini dapat Analisis Univariat
digunakan sebagai sumber informasi dan 1. Karakteristik Reponden
Tabel 1
pengembangan ilmu pengetahuan terutama Distribusi karakteristik responden
dalam manajemen disaster atau manajemen
bencana.
Kesiapsiagaan Pelayanan Kesehatan dalam Menghadapi Bencana Banjir

kurang baik sebanyak 22 orang


Karakteristik (52,4%)Persentas
Frekuensi dan pengetahuan baik sebanyak 20 orang (47,6%).
Responden (F) e (%)
Tabel 3
Umur
26-35(dewasa awal) 22 52,4 Tabulasi silang karakteristik responden
36-45(dewasa tengah) 18 42,9 dengan pengetahuan
46-55 (lansia awal) 2 4,8 Pengetahuan
Jenis Kelamin Kura
Laki-laki 3 7,1 Karakteristik Responden Baik
ng
Perempuan 39 92,9 Bai
Tingkat Pendidikan k
DIII 38 90,5
Pendidikan Ners 4 9,5 n % n %
Lama Bekerja Umur
<10 tahun 24 57,1 26-35 (dewasa awal) 1 5 1 4
2 5 0 6
≥10 tahun 18 42,9
36-45 (dewasa tengah) 7 3 1 6
Pelatihan 9 1 1
Kegawatdaruratan 46-55 (lansia awal) 1 5 1 5
Ya/Pernah 19 45,2 0 0
Tidak pernah 23 54,8 Jenis Kelamin
Pelatihan Bencana Laki-laki 1 3 2 6
Tabel 1 menunjukkan
Pernah bahwa
4 lebih dari
9,5 3 7
Tidak Pernah 38 90,5 Perempuan 1 4 2 5
separuh responden berada pada usia 26-35 9 9 0 1
Pendidikan
tahun (52,4%), mayoritas responden adalah DIII 1 4 2 5
7 5 1 5
perempuan (92,9%), tingkat pendidikan Pendidikan Ners 3 7 1 2
5 5
responden yang paling dominan yaitu DIII Lama Kerja
<10 tahun 7 2 1 7
Keperawatan (90,5%), lama masa bekerja 9 7 1
≥10 tahun 1 7 5 2
responden terbanyak adalah kategori <10 3 2 8
tahun (57,1%), lebih dari separuh responden Tabel 3 menunjukkan bahwa sebagian
tidak pernah mengikuti pelatihan besar responden yang memiliki
kegawatdaruratan (54,8%), dan tidak pernah pengetahuan baik yaitu responden
mengikuti pelatihan terkait bencana (90,5%). pendidikan Ners (75%), lama kerja ≥10
2. Pengetahuan perawat tentang tahun (72,2%), dan responden yang pernah
kesiapsiagaan pelayanan kesehatan mengikuti pelatihan bencana (75%).
dalam menghadapi bencana banjir Responden yang memiliki pengetahuan
Tabel 2 kurang baik yaitu responden umur 36-45
Distribusi frekuensi pengetahuan perawat
tahun (61,1%), laki-laki (66,7%), dan
Frekue
Karakteristik Persentase responden yang tidak pernah mengikuti
nsi
(F) (%)
Baik 20 47,6 pelatihan kegawatdaruratan (73,9%).
Kurang Baik 22 52,4
Total 42 100 3. Sikap perawat tentang kesiapsiagaan
Data tabel 2 menunjukkan bahwa pelayanan kesehatan dalam menghadapi
responden yang memiliki pengetahuan bencana banjir
Tabel 4 yaitu responden yang berpendidikan
Distribusi frekuensi sikap perawat
pendidikan Ners (75%) dan responden yang
Frekuensi
Karakteristi Persentase
(F) pernah mengikuti pelatihan bencana (75%).
k (%)
Baik 1 42,9
8 Mayoritas responden yang memiliki sikap
Kurang Baik 2 57,1
4 kurang baik yaitu responden dengan umur 26-
Total 42 100 35 tahun (68,2%), responden laki-laki (66,7%),
Data tabel 4 menunjukkan bahwa
responden dengan lama kerja <10
responden yang memiliki sikap kurang
tahun (66,7%), responden yang tidak pernah
baik sebanyak 24 orang (57,1%) dan sikap
baik sebanyak 18 orang (42,9%).
Tabel 5
Tabulasi silang karakteristik responden
dengan sikap
Sikap
Kuran
Karakteristik Responden Baik
g
Baik
n % n %
Umur
26-45 (dewasa awal) 7 3 1 6
2 5 8
36-45 (dewasa tengah) 10 5 8 4
6 4
46-55 (lansia awal) 1 5 1 5
0 0
Jenis Kelamin
Laki-laki 1 3 2 6
3 7
Perempuan 17 4 2 5
4 2 6
Pendidikan
D3 15 4 2 6
0 3 1
Pendidikan Ners 3 7 1 2
5 1 5
Lama Kerja
<10 tahun 8 3 1 6
3 6 7
≥10 tahun 10 5 8 4
6 4
Pelatihan
Kegawatdaruratan
Pernah 10 5 9 4
3 7
Tidak Pernah 8 3 1 6
5 5 3
Pelatihan Bencana
Pernah 3 7 1 2
5 5
Tidak pernah 15 4 2 6
0 3 1
Tabel 5 menunjukkan bahwa sebagian
besar responden yang memiliki sikap baik
mengikuti pelatihan kegawatdaruratan
(62,5%), dan tidak pernah mengikuti
pelatihan bencana (60,5%).

PEMBAHASAN
A. Karakteristik Responden
1. Umur
Hasil dari penelitian yang telah
dilakukan menunjukkan sebagian besar
responden penelitian berusia 26-35 tahun
(dewasa awal) sebanyak 22 orang (52,4%).
Penelitian ini sejalan dengan penelitian
Kumajas, Warouw, dan Bawotong (2014)
bahwa perawat yang berumur 26-35 tahun
(dewasa awal) lebih banyak yakni berjumlah
21 orang (62,9%). Syahrizal, Karim, dan
Nauli (2015) menyatakan bahwa pada usia
dewasa awal adalah usia produktif seseorang
dalam melakukan pekerjaan sehingga dapat
melakukan berbagai tindakan keperawatan
yang optimal. Usia seseorang dapat
mempengaruhi pengetahuan, sikap, dan
perilaku seseorang dalam suatu hal dalam hal
ini yaitu kesiapsiagaan pelayanan kesehatan
dalam menghadapi bencana banjir.
2. Jenis Kelamin
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa
responden terbanyak berjenis kelamin
perempuan yaitu berjumlah 39 responden
(92,9%). Pusat Data dan Informasi
Kementerian Kesehatan Indonesia (2017)
menyatakan bahwa jumlah perawat di
Indonesia, 71% terdiri dari
perawat
perempuan dan perawat laki-laki 29%.
Kesiapsiagaan Pelayanan Kesehatan dalam Menghadapi Bencana Banjir

Perawat merupakan sebuah profesi yang banyak dan akan meningkatkan produkvitas
sangat erat kaitannya dengan perempuan kerja dalam bentuk kesiapsiagaan pelayanan
karena didasari oleh kasih sayang dan rasa kesehatan dalam mengantisipasi kejadian
peduli. bencana yang akan terjadi (Dewi, 2010).
3. Pendidikan Lama kerja identik dengan pengalaman,
Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin lama masa kerja seseorang maka
responden terbanyak yaitu responden dengan akan meningkatkan pengalaman seseorang
tingkat pendidikan DIII Keperawatan yang sehingga mempengaruhi pengetahuan serta
berjumlah 38 responden (90,5%). Hal ini sikap perawat dalam kesiapsiagaan pelayanan
sejalan dengan penelitian Ariyanti, Hadi, dan kesehatan dalam menghadapi bencana banjir.
Arofiati (2017) dimana perawat dengan 5. Pelatihan Kegawatdaruratan
tingkat pendidikan DIII Keperawatan lebih Hasil penelitian menunjukkan bahwa
banyak yaitu 93 responden (89,4%). Peran lebih dari separuh responden tidak pernah
pendidikan sangat berpengaruh terhadap mengikuti pelatihan kegawatdaruratan yaitu
terwujudnya kesiapsiagaan bencana berjumlah 23 responden (54,8%). Kegiatan
(Kurniawati & Suwito, 2017). Fungsi pelatihan memiliki tujuan tertentu yaitu untuk
pendidikan merupakan salah satu media meningkatkan kemampuan kerja sehingga
terbaik untuk mempersiapkan segala hal baik menimbulkan perubahan perilaku aspek-aspek
pengetahuan ataupun sikap yang berhubungan kognitif, sikap, dan keterampilan (Dewi,
dengan bencana 2010). Pelatihan merupakan salah satu cara
4. Lama Bekerja meningkatkan pengetahuan bagi perawat
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam penanggulangan bencana baik sebelum,
lebih banyak responden yang bekerja <10 saat, dan pasca bencana.
tahun (57,1%). Penelitian ini sejalan dengan 6. Pelatihan Bencana
penelitian Apriluana, Khairiyati, dan Hasil penelitian menunjukkan bahwa
Setyaningrum (2016) yaitu perawat yang responden terbanyak menyebutkan tidak
bekerja <10 tahun lebih dominan yaitu pernah mengikuti pelatihan bencana yaitu
berjumlah 90 responden (72%). berjumlah 38 responden (90,5%). Hasil ini
Lama kerja menurut Wahidah, sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
Rondiantho, dan Hakam (2016) dapat Berhanu, Abrha, Ejigu, dan Woldemichael
memberikan pengaruh paling besar terhadap (2016) yang menyatakan bahwa responden
kesiapsiagaan bencana. Semakin lama penelitian yang pernah mengikuti pelatihan
seorang perawat bekerja akan menunjukkan terkait bencana hanya 72 responden (20,6%)
pengalaman yang diperolehnya semakin dan 350 (92,8%) responden menyatakan
membutuhkan pelatihan tambahan terkait baik dan 22 responden (52,4%) memiliki
kesiapsiagaan dan tanggap bencana. Husna pengetahuan yang kurang baik. Hasil ini
(2012) menyatakan bahwa pelatihan sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
kegawatdaruratan, pelatihan bencana, dan Berhanu, Abrha, Ejigu, dan Woldemichael
pelatihan perawatan luka merupakan salah (2016) menunjukkan bahwa pengetahuan
satu variabel yang mempengaruhi responden tentang kesiapsiagaan menghadapi
kesiapsiagaan perawat dalam menghadapi bencana banjir yang memiliki pengetahuan
bencana. Pelatihan yang diikuti oleh perawat baik 54 responden (14,3%), pengetahuan
dapat memberikan dampak positif dalam cukup berjumlah 136 responden (36,1%), dan
pertambahan informasi serta pengalaman pengetahuan kurang baik menempati jumlah
dalam meningkatkan kesiapsiagaan pelayanan tertinggi yaitu 187 responden (49,6%).
kesehatan dalam menghadapi banjir. Usia mempengaruhi pengetahuan,
B. Pengetahuan perawat tentang responden pada usia produktif (26-35 tahun)
kesiapsiagaan pelayanan kesehatan memiliki pengetahuan yang baik yaitu sebesar
dalam menghadapi bencana banjir 54,5%. Hal ini dapat disebabkan karena pada
Pengetahuan tentang kesiapsiagaan usia dewasa awal seseorang cenderung untuk
pelayanan kesehatan dalam menghadapi meningkatkan wawasan yang luas,
bencana banjir harus dimiliki oleh perawat. mempunyai aktivitas yang padat dan
Hal ini dikarenakan segala hal yang berkaitan menguasai keterampilan kognitif yang baik.
peralatan bantuan dan pertolongan medis Hasil analisis sebagian besar perawat
harus bisa dilakukan dengan baik dalam perempuan memiliki pengetahuan baik yaitu
waktu yang mendesak (Kartika, Yaslina, & sebesar 48,7% yang dapat disebabkan oleh
Agustin, 2018). perawat perempuan cenderung lebih teliti,
Pengetahuan perawat mengenai upaya tekun, dan giat dalam pembelajaran. Sehingga
kesiapsiagaan bencana merupakan dasar perawat perempuan mempunyai pengetahuan
dalam pemberian pelayanan kesehatan saat lebih baik daripada perawat laki-laki.
terjadinya bencana banjir. Kurangnya Pendidikan dapat mempengaruhi
pengetahuan perawat akan mempengaruhi pengetahuan, responden dengan pendidikan
kecepatan dan ketepatan dalam memberikan Ners lebih banyak memiliki pengetahuan baik
pelayanan kesehatan yang optimal dalam yaitu 75%. Pendidikan yang semakin tinggi
keadaan mendesak atau saat tanggap darurat akan memberikan perubahan berupa
bencana. pertambahan informasi serta perubahan pola
Hasil penelitian menampilkan bahwa 20 pikir seseorang. Pendidikan akan berpengaruh
responden (47,6%) memiliki pengetahuan
Kesiapsiagaan Pelayanan Kesehatan dalam Menghadapi Bencana Banjir

terhadap pengetahuan seseorang yang juga perawat yang masih sedikit dalam
akan meningkatkan upaya kesiapsiagaan. penatalaksanaan kejadian bencana banjir.
Lama kerja responden juga berpengaruh Pengetahuan merupakan salah satu
terhadap pengetahuan, responden yang variabel yang dapat mejadi dasar sikap dan
bekerja ≥10 tahun memiliki pengetahuan baik perilaku seseorang. Notoatmodjo (2012)
yaitu 72,2%. Pengalaman yang diperoleh menyatakan bahwa salah satu variabel pokok
perawat dapat dijadikan sebagai sumber dalam pembentukan sikap seseorang adalah
pengetahuan terhadap suatu hal baru atau pengetahuan, hal ini diasumsikan jika
yang pernah terjadi. pengetahuan baik maka secara tidak langsung
Hasil analisis diperoleh bahwa sikap juga akan menjadi lebih baik.
responden yang pernah mengikuti pelatihan C. Sikap perawat tentang kesiapsiagaan
kegawatdaruratan memiliki pengetahuan baik pelayanan kesehatan dalam
yaitu 72,2%. Pelatihan kegawatdaruratan menghadapi bencana banjir
dapat mengembangkan pengetahuan atau Sikap merupakan sebuah respon yang
wawasan serta mempengaruhi kesiapsiagaan akan menentukan tindakan atau perilaku
perawat dalam berespon terhadap hal seseorang. Sikap mempengaruhi perilaku
mendesak pada saat terjadinya bencana melalui proses dalam menentukan keputusan
karena sesuai dengan prinsip dan dalam hal ini adalah keputusan perawat
kegawatdaruratan yaitu kecepatan waktu dan untuk melakukan kesiapsiagaan dalam upaya
ketepatan tindakan. manajemen bencana (Bukhari, Mudatsir, &
Hasil analisis diperoleh bahwa Sari, 2014).
responden yang pernah mengikuti pelatihan Sikap kesiapsiagaan bencana dalam diri
bencana memiliki pengetahuan baik yaitu perawat akan meningkatkan rasa optimisme
sebesar 75%. Hal ini dapat disebabkan oleh perawat dalam memberikan asuhan
pelatihan bencana dapat memberikan keperawatan saat tanggap darurat bencana
informasi yang spesifik mengenai hal-hal (International Council of Nurse, 2009). Sikap
terkait persiapan dalam menghadapi bencana. kesiapsiagaan perawat dimaksudkan untuk
Pengetahuan yang kurang baik pada menimbulkan kesadaran serta kesiapan
perawat dapat disebabkan oleh masih perawat dalam mempersiapkan pelayanan
sedikitnya responden yang terpapar informasi kesehatan yang siaga dalam menghadapi
terkait pentingnya pelaksanaan kesiapsiagaan bencana. Perawat yang memiliki sikap
bencana dan kurangnya pengadaan serta kesiapsiagaan yang baik akan dapat
partisipasi dalam pelatihan terkait memberikan pelayanan kesehatan yang baik
kesiapsiagaan bencana serta pengalaman
serta optimal pada saat keadaan darurat Hasil analisis sebagian besar perawat
bencana banjir. perempuan memiliki sikap baik yaitu 43,6%
Hasil penelitian menampilkan bahwa 18 yang dapat disebabkan oleh perawat
responden (42,9%) memiliki sikap baik dan perempuan cenderung lebih peka serta
24 responden (57,1%) memiliki sikap yang memiliki rasa peduli terhadap hal
kurang baik. Penelitian ini tidak sejalan disekitarnya. Sehingga perawat perempuan
dengan penelitian yang dilakukan oleh Husna memiliki sikap lebih baik daripada perawat
(2012), dimana perawat yang memiliki sikap laki-laki.
baik terhadap kesiapsiagaan bencana yaitu 25 Pendidikan juga mempengaruhi sikap
responden (83,3%). Faktor yang perawat, hal ini sesuai dengan peneilitian
mempengaruhi sikap tersebut adalah perawat dimana pendidikan Ners lebih banyak
telah mendapatkan dasar pengetahuan yang memiliki sikap yang baik yaitu 75%.
baik dalam penanggulangan bencana melalui Pendidikan Ners dituntut untuk memiliki
pelatihan-pelatihan yang dilakukan. Hal ini sikap dan keterampilan yang profesional.
dapat dibuktikan dengan sebagian besar Perkembangan sikap seseorang dapat
responden (86,7%) telah mendapatkan dihambat oleh pendidikan yang kurang pada
pelatihan kegawatdaruratan dan pelatihan diri seseorang tersebut.
bencana yang diadakan hampir setiap Responden yang bekerja ≥10 tahun
tahunnya. Hal lain yang dapat mempengaruhi memiliki sikap baik sebesar 55,6%. Lama
sikap perawat yaitu beban kerja yang tinggi kerja perawat merupakan pengalaman kerja
dengan jumlah perawat yang minimal, yang diperoleh perawat. Pengalaman dapat
pengaruh orang lain yang dianggap penting menjadi dasar atas pembentukan sikap
dalam hal ini ialah kepala puskesmas yang seseorang. Semakin bertambah pengalaman
belum memaksimalkan upaya kesiapsiagaan perawat dapat menentukan bagaimana sikap
pelayanan kesehatan dalam menghadapi perawat dalam memberikan pelayanan kepada
bencana banjir di wilayah kerjanya. pasien.
Reponden usia dewasa tengah (36-45 Berdasarkan analisis diperoleh bahwa
tahun) memiliki sikap baik sebesar 55,6%. responden yang pernah mengikuti pelatihan
Hal ini dapat disebabkan responden pada usia kegawatdaruratan memiliki sikap baik
dewasa akhir telah banyak memperoleh (52,6%). Pelatihan kegawatdaruratan dapat
pengalaman yang akan mempengaruhi menghasilkan dampak positif berupa sikap
karakter, pengambilan keputusan dan profesional dalam memberikan pelayanan
menentukan sikap seseorang. kesehatan.
Kesiapsiagaan Pelayanan Kesehatan dalam Menghadapi Bencana Banjir

Hasil analisis diperoleh bahwa (57,1%), sedangkan yang memiliki sikap baik
responden yang pernah mengikuti pelatihan sebanyak 18 responden (42,9%).
bencana memiliki sikap yang baik yaitu
sebesar 75,0%. Hal ini dapat disebabkan
SARAN
pelatihan bencana dapat menanamkan sikap
1. Bagi perkembangan ilmu keperawatan
tanggap serta siaga dalam menghadapi
Hasil penelitian diharapkam dapat
bencana untuk meminimalisir dampak
menjadi salah satu dasar informasi dan
bencana yang lebih parah.
memperkaya pengetahuan keperawatan
SIMPULAN mengenai pengetahuan dan sikap perawat
Hasil penelitian yang telah dilakukan di puskesmas tentang kesiapsiagaan
diperoleh distribusi responden berdasarkan pelayanan kesehatan dalam menghadapi
karakteristik umur responden terbanyak bencana banjir.
berada pada umur 26-35 tahun (52,4%), 2. Bagi institusi tempat penelitian
responden perempuan (92,9%), tingkat Hasil penelitian ini dapat digunakan
pendidikan DIII Keperawatan (90,5%), lama sebagai tambahan informasi dan gambaran
bekerja <10 tahun (57,1%), responden yang untuk mengembangkan kesiapsiagaan
tidak pernah mengikuti pelatihan pelayanan kesehatan dalam penanganan
kegawatdaruratan (54,8%) dan tidak pernah bencana baik pada tahap sebelum bencana,
mengikuti pelatihan terkait bencana (90,5%). saat bencana, dan pasca bencana.
Hasil penelitian terkait pengetahuan 3. Bagi perawat
tentang kesiapsiagan pelayanan kesehatan Hasil penelitian ini dapat dijadikan
dalam menghadapi bencana banjir sebagai bahan informasi untuk
menunjukkan bahwa pengetahuan perawat meningkatkan peran perawat dalam
yang bekerja di puskesmas memiliki berbagai kegiatan manajemen
pengetahuan kurang baik 22 orang (52,4%), penanggulangan bencana untuk
sedangkan yang memiliki pengetahuan baik meminimalkan dampak yang diakibatkan
sebanyak 20 orang (47,6%). dari bencana banjir.
Hasil penelitian terkait sikap perawat 4. Bagi peneliti selanjutnya
dalam kesiapsiagaan pelayanan kesehatan Saran bagi peneliti berikutnya perlu
dalam menghadapi banjir menunjukkan dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai
bahwa sebagian besar memiliki sikap kurang faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
baik yaitu berjumlah 24 orang responden pengetahuan dan sikap perawat terhadap
kesiapsiagaan pelayanan kesehatan dalam professionals about disaster preparedness
menghadapi bencana banjir. and response in southwest Ethiopia: a
cross sectional study. Ethiopian journal
of health sciences, 26(5), 415-426.
DAFTAR PUSTAKA Diperoleh pada 20 Januari 2019 dari
Abidin, A. Z. (2014). Peran pemerintah desa https://www.ajol.info/index.php/ejhs/artic
dan kesiapsiagaan masyarakat dalam le/view/144141
menghadapi bencana kekeringan di Desa Bukhari., Mudatsir, & Sari, S. A. (2015).
Lorog Kecamatan Tawangsari Kabupaten Hubungan sikap tentang regulasi,
Sukoharjo. Doctoral dissertation, pengetahuan dan sikap perawat terhadap
Universitas Muhammadiyah Surakarta. kesiapsiagaan bencana gempa bumi di
Diperoleh tanggal 20 Januari 2019 dari badan pelayanan umum daerah rumah
http://eprints.ums.ac.id/id/eprint/30171 sakit ibu dan anak pemerintah Aceh tahun
Apriluana, G., Khairiyati, L., & 2013. Jurnal Ilmu Kebencanaan, 2 (2).
Setyaningrum, R. (2016). Hubungan Diperoleh tanggal 15 Februari 2019 dari
antara usia, jenis kelamin, lama kerja, http://www.jurnal.unsyiah.ac.id
pengetahuan, sikap, dan ketersediaan alat Dewi, R. N. W. (2010). Kesiapsiagaan
pelidung diri (APD) dengan perilaku sumber daya manusia kesehatan dalam
penggunaan APD pada tenaga kesehatan. penanggulangan masalah kesehatan
Jurnal Publikasi Kesehatan Masyarakat akibat bencana banjir. Thesis Fakultas
Indonesia, 3 (2). Diperoleh tanggal 17 Kesehatan Masyarakat Universitas
Mei 2019 melalui http://ppjp.ulm.ac.id Indonesia. Diperoleh tanggal 21 Juni
Ariyanti, S., Hadi, M., & Arofiati, F. (2017). 2019 dari http://ejournal.fkm.ac.id
Hubungan karakteristik perawat dan Dinas Kesehatan Kota Pekanbaru. (2018).
karakteristik organisasi dengan perilaku Data penemuan penyakit krisis kesehatan
caring perawat pelaksana di ruang rawat pasca banjir. Pekanbaru: Dinas kesehatan
inap rumah sakit kartika husada. Jurnal Kota Pekanbaru
Kesehatan Soedirman, 12 (3). Diperoleh Husna, C. (2012). Faktor-faktor yang
tanggal18 Mei 2019 dari mempengaruhi pelaksanaan edukasi
http://.jks.fikes.unsoed.ac.id pengurangan risiko bencana. Jurnal
Badan Nasional Penanggulangan Bencana. Ilmiah Mahasiswa Keperawatan, 2 (3).
(2016). Info bencana 2016. Jakarta: Diperoleh tanggal 19 Mei 2019 dari
BNPB http://ejournal.unsyiah.ac.id
Badan Nasional Penanggulangan Bencana. Infodatin. (2017). Pusat data dan informasi
(2018). Info bencana 2018. Jakarta: kementerian kesehatan RI: situasi tenaga
BNPB keperawatan Indonesia. Diperoleh pada
Badan Penanggulangan Bencana Daerah 19 Mei 2019 dari www.depkes.go.id
Provinsi Riau. (2018). Bencana banjir, International Council of Nurses & World
longsor, dan angin puting beliung Health Organization. (2009). ICN
Provinsi Riau. Pekanbaru: BPBD Riau Framework of Disaster Nursing.WHO:
Berhanu, N., Abrha, H., Ejigu, Y., & Geneva
Woldemichael, K. (2016). Knowledge, Kartika, K., Yaslina, & Agustin, M. F. (2018).
experiences and training needs of health Hubungan pengetahuan perawat,
kemamouan kebijakan RS. Fase respon
Kesiapsiagaan Pelayanan Kesehatan dalam Menghadapi Bencana Banjir

bencana IGD RS. Yarsi Bukittinggi. Jurnal stikes Perintis Padang. Diperoleh tanggal 30 Maret
2019 dari http://www.jurnal.stikesperintis.ac.id
Khambali, I. (2017). Manajemen penanggulangan bencana. Yogyakarta: ANDI
Kumajas, F. W., Warouw, H., & Bawotong, J. 92014). Hubungan karakteristik individu dengan
kinerja perawat di ruang rawat inap penyakit dalam RSUD Datoe Binangkang. Jurnal
Keperawatan Universitas Sam Ratulangi. Diperoleh pada tanggal 17 Mei 2019 dari
www.media.neliti.com
Kurniawati, D., & Suwito. (2017). Pengaruh pengetahuan kebencanaan terhadap sikap kesiapsiagaan
dalam menghadapi bencana pada mahasiswa program studi pendidikan geografi. Jurnal
Pendidikan. Diperoleh tanggal 22 Juni 2019 dari http://ejournal.unikama.ac.id
Munandar, A., & Wardaningsih, S. (2018). Kesiapsiagan perawat dalam penatalaksanaan
aspek psikologis akibat bencana alam. Jurnal Keperawatan Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta, 9 (1) 72-82. Diperoleh tanggal 04 April
2019 dari http://ejournal.umm.ac.id Notoatmodjo, S. (2012). Promosi kesehatan
dan perilaku kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta
Perron, A., Rudge, T., Blais, A., & Holmes,
D. (2010). The politics of nursing knowledge and education critical pedagogy in the face of the
mili-tarization of nursing in the war on terror. Advances in Nursing Science, 33, 184-195
Purwana, R. (2013). Manajemen kedaruratan kesehatan lingkungan dalam kejadian bencana.
Jakarta: Raja Grafindo Persada
Pusponegoro, A. D. (2011). The silent disaster, bencana dan korban massal. Jakarta: Sagung Seto
Rizqillah, A. F., (2018). Disaster preparedness: survey study pada mahasiswa keperawatan
Universitas Harapan Bangsa Purwokerto. Jurnal Ilmu-ilmu kesehatan (16) 3. Diperoleh
tanggal 30 Maret 2019 dari http://www.jurnalnasional.ump.ac.id
Setiarini, V., Dewi, W. N., & Karim, D. (2018). Identifikasi pengetahuan perawat gawat darurat
tentang triage. Jurnal Online Mahasiswa (5) 2. Diperoleh 20Mei 2019 dari http://jom.unri.ac.id
Sinaga, N. S. (2015). Peran petugas kesehatan dalam manajamen penanganan bencana alam. Jurnal
ilmiah “Integritas” Vol, 1(1). Diperoleh tanggal 06 Januari 2019 dari
http://www.jurnalmudiraindure.com
Syahrizal., Karim, D., & Nauli, F. A., (2015). Hubungan pengetahuan perawat terhadap universal
precautions dengan penerapan universal precaution pada tindakan pemasangan infus. Jurnal
Online Mahasiswa, Vol 2 (1). Diperoleh tanggal
18 Mei 2019 dari http://jom.unri.ac.id Wahidah, D. A., Rondhianto, & Hakam, M.
(2016). Faktor-faktor yang mempengaruhi kesiapsiagaan perawat dalam
menghadapi bencana banjir di Kecamatan Gumukmas Kabupaten Jember. Jurnal Pustaka
Kesehatan. Diperoleh tanggal 30 Maret 2019 dari http://www.jurnal.unej.ac.id
World Health Organization. (2014). Floods and health: fact sheets for health professionals.
Diperoleh pada tanggal 30 Januari 2019 dari http://www.euro.who.int

https://web.archive.org/web/20200403004413id_/https://jni.ejournal.unri.ac.id/in
dex.php/JNI/article/download/7948/pdf

Sistem Penanggulangan Bencana dalam Pembangunan


Hal yang perlu direkomendasikan pada sistem penanggulangan bencana dalam
pembangunan:
1. Pertama, perlu kerangka yang jelas bagi kegiatan penanggulangan bencana
berbasis komunitas;
2. Kedua, integrasi kegiatan penanggulangan bencana dalam perencanaan
pembangunan daerah;
3. Ketiga, peningkatan kapasitas masyarakat;
4. Keempat, adanya nilai dan pemahaman yang sama antar lembaga
pendamping;
5. Kelima, fokus pada kebutuhan masyarakat;
6. Keenam, penanggulangan bencana berbasis masyarakat merupakan tanggung
jawab semua pihak;
7. Ketujuh, peningkatan kapasitas dan kepedulian Pemerintah Daerah terkait
pelibatan masyarakat; dan kedelapan, peningkatan peran Pemerintah Daerah
dalam mendorong kegiatan penanggulangan bencana berbasis masyarakat.
Prinsip prinsip penanggulangan bencana Kheriawan@gmail.2019 14 Pencegahan
dan Mitigasi Kesiapsiagaan Tanggap Darurat Pemulihan BENCANA SIKLUS
PENANGGULANGAN BENCANA Kheriawan@gmail.2019 15 Filosofi
penanggulangan Bencana Kheriawan@gmail.2019 16 1.Jauhkan Bencana Dari
Masyarakat 2.Jauhkan Masyarakat Dari Bencana 3.Hidup Harmonis Dengan Bencana
(Living Harmony With Disaster) :Prinsip-Prinsip Penanggulangan Bencana (UU No.24
tahun 2007: 1.Cepat dan tepat 2.Prioritas 3.Koordinasi dan keterpaduan 4.Berdaya guna
dan berhasil guna 5.Transparansi dan akuntabilitas 6.Kemitraan 7.Pemberdayaan
8.Nondiskriminatif 9.Nonproletisi Prinsip prinsip penanggulangan bencana
Kheriawan@gmail.2019 17 PRINSIP CEPAT &amp; TEPAT *YANG DIMAKSUD
DENGAN "PRINSIP CEPAT DAN TEPAT" ADALAH BAHWA DALAM
PENANGGULANGAN BENCANA HARUS DILAKSANAKAN SECARA CEPAT
DAN TEPAT SESUAI DENGAN TUNTUTAN KEADAAN....
...Kheriawan@gmail.2019 19 PRINSIP KOORDINASI *Yang dimaksud dengan
"prinsip koordinasi" adalah bahwa penanggulangan bencana didasarkan pada
koordinasi yang baik dan saling mendukung....
...Kheriawan@gmail.2019 20 PRINSIP KETERPADUAN *YANG DIMAKSUD
DENGAN "PRINSIP KETERPADUAN" ADALAH BAHWA PENANGGULANGAN
BENCANA DILAKUKAN OLEH BERBAGAI SEKTOR SECARA TERPADU
YANG DIDASARKAN PADA KERJA SAMA YANG BAIK DAN SALING
MENDUKUNG....
...Kheriawan@gmail.2019 21 PRINSIP" BERDAYA &amp; BERHASIL
GUNA" BERDAYA GUNA *YANG DIMAKSUD DENGAN "PRINSIP BERDAYA
GUNA" ADALAH BAHWA DALAM MENGATASI KESULITAN MASYARAKAT
DILAKUKAN DENGAN TIDAK MEMBUANG WAKTU, TENAGA, DAN BIAYA
YANG BERLEBIHAN....
...BERHASIL GUNA *YANG DIMAKSUD DENGAN "PRINSIP BERHASIL
GUNA" ADALAH BAHWA KEGIATAN PENANGGULANGAN BENCANA
HARUS BERHASIL GUNA, KHUSUSNYA DALAM MENGATASI KESULITAN
MASYARAKAT DENGAN TIDAK MEMBUANG WAKTU, TENAGA, DAN
BIAYA YANG BERLEBIHAN....
...Kheriawan@gmail.2019 22 PRINSIP TRANSPARANSI &amp;
AKUNTABILITAS *Yang dimaksud dengan "prinsip transparansi" adalah bahwa
penanggulangan bencana dilakukan secara terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan
*Yang dimaksud dengan "prinsip akuntabilitas" adalah bahwa penanggulangan bencana
dilakukan secara terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan secara etik dan hukum.

https://bpsdm.pu.go.id/center/pelatihan/uploads/edok/2018/03/b9b42_03._Modul
_3_Konsep_dan_Karakteristik_Bencana.pdf

Prinsip-Prinsip Penanggulangan Bencana Nasional berdasarkan UU No. 24


Tahun 2007 adalah sebagai berikut:
1. Cepat dan Akurat – Yang dimaksud dengan “prinsip cepat dan tepat” adalah
bahwa dalam penanggulangan bencana harus dilaksanakan secara cepat dan
tepat sesuai dengan tuntutan keadaan.
2. Prioritas – Yang dimaksud dengan “prinsip prioritas” adalah bahwa apabila
terjadi bencana, kegiatan penanggulangan harus mendapat prioritas dan
diutamakan pada kegiatan penyelamatan jiwa manusia
Koordinasi– Yang dimaksud dengan “prinsip koordinasi” adalah bahwa
penanggulangan bencana didasarkan pada koordinasi yang baik dan saling mendukung.
4. Keterpaduan – Yang dimaksud dengan “prinsip keterpaduan” adalah bahwa
penanggulangan bencana dilakukan oleh berbagai sektor secara terpadu yang
didasarkan pada kerja sama yang baik dan saling mendukung.
5. Berdaya Guna – Yang dimaksud dengan “prinsip berdaya guna” adalah bahwa
dalam mengatasi kesulitan masyarakat dilakukan dengan tidak membuang waktu,
tenaga, dan biaya yang berlebihan.
6. Berhasil Guna – Yang dimaksud dengan “prinsip berhasil guna” adalah bahwa
kegiatan penanggulangan bencana harus berhasil guna, khususnya dalam mengatasi
kesulitan masyarakat dengan tidak membuang waktu, tenaga, dan biaya yang
berlebihan.
7. Transparansi - Yang dimaksud dengan “prinsip transparansi” adalah bahwa
penanggulangan bencana dilakukan secara terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan.
8. Akuntabilitas – Yang dimaksud dengan “prinsip akuntabilitas” adalah bahwa
penanggulangan bencana dilakukan secara terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan
secara etik dan hukum.
9. Kemitraan-Cukupjelas.
10.Pemberdayaan – Cukup jelas.
11.Nondiskriminasi– Yang dimaksud dengan “prinsip nondiskriminasi” adalah
bahwa negara dalam penanggulangan bencana tidak memberikanh perlakuan
yang berbeda terhadap jenis kelamin, suku, agama, ras, dan aliran politik apa pun.
12.Nonproletisi– Yang dimaksud dengan ”nonproletisi” adalah bahwa dilarang
menyebarkan agama atau keyakinan pada saat keadaan darurat bencana, terutama
melalui pemberian bantuan dan pelayanan darurat bencana.
Prinsip Penanggulangan Bencana Internasional
1.3.1 SPHERE
1. Piagam Kemanusiaan
Dalam Bab Piagam Kemanusiaan SPHERE, secara ringkas piagam ini dapat
dipahami sebagai point-point berikut :
a. Komitmen lembaga-lembaga terhadap pemenuhan standar minimum dalam
melakukan respon bencana.
b. Berisi persyaratan paling mendasar bagi kelangsungan hidup dan martabat
orang yang terkena dampak bencana.
c. Memastikan Akuntabilitas upaya-upaya bantuan kemanusiaan.
Dan Piagam Kemanusiaan (Humanitarian Charter) disusun berdasarkan 3 prinsip
berikut :
a. Hakuntukkehidupanyangbermartabat
b. Hakuntukperlindungandankeselamatan
c. Hak untuk menerima bantuan kemanusiaan
Dimana dalam piagam ini ada penjelasan khusus tentang prinsip-prinsip khusus
dalam konteks “konflik bersenjata”, tentang prinsip “pembedaan antara pemanggul
senjata dan yang bukan”; dan “prinsip tidak mengusir paksa”.
2. Prinsip Perlindungan
Dalam suatu aksi kemanusiaan sebenarnya terdiri dari dua pilar utama yaitu :
perlindungan dan bantuan. Prinsip Perlindungan dalam SPHERE adalah sebagai
jawaban bahwa orang yang mendapat ancaman atau bahaya dalam suatu bencana atau
konflik harus tetap mendapat perlindungan. Prinsip ini akan menjadi panduan bagi
lembaga kemanusiaan bagaimana mereka menyelenggarakan perlindungan dalam suatu
aksi kemanusiaan.
Ada empat prinsip perlindungan dasar dalam suatu aksi kemanusiaan dalam
SPHERE yaitu :
a. Menghindari terjadinya bantuan kemanusiaan yang semakin
menyengsarakan orang yang terkena dampak bencana
b. Memastikan setiap orang memiliki akses terhadap bantuan
kemanusiaan yang proposional sesuai kebutuhan mereka tanpa diskriminasi.
c. Melindungi orang yang terkena dampak bencana dari kekerasan
secara fisik dan mental akibat adanya tindak kekerasan dan pemaksaan.
d. Mendampingi orang yang terkena dampak bencana untuk
menyuarakan hak – hak mereka dan memberikan akses penyembuhan atau
rehabilitasi akibat dari suatu tindak kekerasan.

https://www.itb-ad.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/ISLAM-YANG-
MELAYANI-BNPB.pdf
Pengamatansistematis yang dilakukan terhadappengaruh bencana alam pada
kesehatan manusia menghasilkan berbagai kesimpulan, baik tentang pengaruh bencana
pada kesehatan maupun tentang carayangpaling efektifuntuk menyediakan bantuan
kemanusiaan....
...Pada makalah iniakan disampaikan mengenai hal-halyang perlu dilakukan oleh
petugas kesehatan dalam langkah awal penanggulangan bencana alam....
...Halyang dibahas meliputi pengaruh umum bencana pada kesehatan,persiapan
SDMyang harus dilakukan menuju lokasi bencan, persiapan bat-obatan yang akan
dibawa, perawatan di lapangan, triase, pertolongan pertama dan setting untuk pos medis
lanjutan....
...Istilah "bencana" biasanya mengacu pada kejadian alami (mis, angin ribut atau
gempa bumi) yang dikaitkan dengan efek kerusakan yang ditimbulkannya (mis,
hilangnya kehidupan atau kerusakan bangunan)....
...Contoh, perpindahan penduduk dan perubahan lingkungan yang lain dapat
menyebabkan peningkatan risiko penularan penyakit, walau kasus epidemik umumnya
bukan merupakan akibat bencana alam....
...Dengan demikian, jatuhnya korban biasanya terjadi di waktu dan tempat
terjadinya dampak dankorbanitumembutuhkanperawatan medis segera, sedangkan
waktu yang lebih panjang untuk berkembang dan risiko tersebut memuncak di tempat
yang berpenduduk padat dan standar sanitasinya memburuk....
...Pengelolaan bantuan kemanusiaan sektor kesehatan secara efektif akan
bergantung pada upaya antisipasi dan identifikasi masalah saat kemunculannya, dan
pada penyampaian bahan-bahan khusus di waktu dan tempat yang
memangmembutuhkan.Kemampuanlogistic untuk mengangkut jumlah maksimum
suplai/persediaan dan tenagakemanusiaan dari luar negerike daerah bencana di Amerika
Latin dan Karibia tidak begitu penting....
...Apoteker g. Sopir Ambulans 2. Surveilans Epidemiolog/Sanitarian : 1org 3.
Petugas Komunikasi : 1org Tim RHA Tim yang bisa diberangkatkan bersamaan dengan
Tim Reaksi Cepat atau menyusul dalam waktu kurang dari 24 jam, terdiri dari: 1.
DokterUmum : 1org 2. Epidemiolog : 1org 3. Sanitarian : 1org Tim BantuanKesehatan
Tim yang diberangkatkan berdasarkan kebutuhan setelah Tim Reaksi Cepat dan
TimRHA kembali dengan laporan hasilkegiatanmereka di lapangan, terdiri dari: 1.
DokterUmum 2. Apoteker dan Asisten Apoteker 3. Perawat (D3/S1 Keperawatan) 4.
PerawatMahir 5. Bidan(D3 Kebidanan) 6. Sanitarian (D3 Kesling/S1Kesmas) 7. Ahli
Gizi (D3/D4 Kesehatan/SI Kesmas) 8. Tenaga Surveilans (D3/D4 Kes/SI Kesmas) 9.
Entomolog(D3/D4Kes/S1Kesmas/S1Biologi) Kebutuhan tenaga kesehatan selain yang
tercantum di atas, disesuaikan dengan jenis bencana dan kasus yang ada, misal: ÿ
Gempabumi ÿ Banjir Bandang/tanah longsor " Gunung meletus ÿ Tsunami *
Ledakanbom/kecelakaan industri ÿ Kerusuhan massal ÿ Kecelakaan transportasi ÿ
Kebakaran hutan A. PerhitungankebutuhanSDMKesehatan Kebutuhanjumlah
minimalSDMkesehatan untuk penanganan korban bencana berdasarkan: 1.
Untukjumlah penduduk/pengungsi antara 10.000-20.000 orang: DokterUmum 4 org
Perawat 10-20org Bidan 8 -16 org Apoteker 2 org Asisten Apoteker 4 org
PranataLaboratorium 2 org Epidemiologi 2 org Entomolog 2 org Sanitarian 4-8 org
Ahli Gizi 2-4 org : 1 org : 1org : 1 org : 2 org : 1org : 1org : 1org 29 Jurnal Kesehatan
Masyarakat, September 2008 -Maret 2009, Vol....
...Pada saat bencana, bantuan kesehatan yang berasal dari dalam/luar
negeriditerima oleh kantor kesehatan pelabuhan (KKP) yang akan didistribusikan
kepada instansi yang berwenang, dalamhal iniDinasKesehatan.MobilisasiSDM
kesehatan dilakukan dalam rangka pemenuhankebutuhan SDM kesehatan pada saat dan
pasca bencana bila: ÿ Masalah kesehatan yang timbul akibat bencana tidak dapat
diselesaikan oleh daerah tersebut sehingga memerlukanbantuan dari daerah atau
regional. ÿ Masalah kesehatan yang timbul akibat bencana seluruhnya tidak dapat
diselesaikan oleh daerah tersebut sehingga memerlukan bantuan dari regional, nasional
dan internasional.

PERAN PETUGAS KESEHATAN


DALAM PENANGGULANGAN
BENCANAALAM
Pengaruh bencana yaiig terjadi tiba-tiba tidak hanya menyebabkan banyak kematian, letapi juga gangg'xan
social benar-besaran dan kejadian luar biasa (.GB) penyakit epidemi, serta kelangkaan bahan pangan
sehingga orang yang selamat sepenuhnya bergonmng pada barman luar. Pengamatan sistematis yang
dilakukan terhadap pengaruh bencana alam pada kesehatan manusia menghasilkan berbagai kesimpulan,
baik tentang penganih bencana pada kesehalan maupun tentang cara yang paling efektifunluk menyediakan
bantuan kemanusiaan. Pada makalah ini akan disampaikan mengenai hal-hal yang perlu dilakukan oleh
petugas kesehatan dalam langkah awal penanggulangan bencana alam. Hal yang dibahas meliputi
pengaruh umum bencana pada kesehatan,persiapan SDM yang harus dilakukan menuju lokasi bencan,
perxiapan bat-obatan yang akan dibawa, perawatan di lapangan, triase, pertolongan pertama dan setting
untuk pos medis lanjMton. 5emoga bermany«i
Kata Kuncl . Manajemen Bencana, Penanggulangan Bencana

1. PENGARUHUMUMBENCANAPADA ada kesamaan di antara bencana-bencana tersebut.


KESEHATAN lika disadari, faktor-faktor umum itu dapat
digunakan untuk mengoptimalkan pengelolaan
Pengaruh bencana yang terjadi tiba-tiba bantuan kemanusiaan bidang kesehatan dan
tidak hanya menyebabkan banyak kematian, tetapi mengoptimalkan sumber daya yang ada (liliat tabel
juga gangguan sosial besar-besaran dan kejadian 1.1). porn-porn berikut hams diperhatikan :
luar biasa (KLB) penyakit epidemi, serta 1. Terdapat hubungan antara tipe bencana
kelangkaan bahan pangan sehingga orang yang dan pengaruhnya terhadap kesehatan.
selamat sepenuhnya bergantung pada bantuan luar. Pemyataan itu khususnya benar
Pengamatan sistematis yang dilakukan terhadap berkaitan dengan dampak iangsungnya
penganih bencana alam pada kesehatan manusia dalam menyebabkan cedera. Contoh,
menghasilkan berbagai kesimpulan, baik tentang gempa bumi dapat menyebabkan banyak
pengaruh bencana pada kesehatan maupun tentang kasus cedera yang memerlukan
cara yang paling efektif untuk menyediakan perawatan medis, sedangkan kasus
bantuan kemanusiaan. cedera akibat banj ir dan gelombang
Istilah “bencana” biasanya mengacu pada pasang relatif sedikit.
kejadian alami (mis, angin ribut atau gempa bumi) 2. Sebagian pengaruh bencana merupakan
yang dikaitkan dengan efek kerusakan yang ancaman yang potensial, bukan ancaman
ditimbulkannya (mis, hilangnya kehidupan atau yang dapat dihindari, terhadap
kerusakan bangunan). “Bahaya” mengacu pada kesehatan. Contoh, perpindshan
kejadian alami dan “kerentanan” mengacu pada penduduk dan perubahan lingkungan
kelemahan suatu populasi atau system (mis, iumah yang lain dapat menyebabkan
sakit, system penyediaan air dan pembuangan air peningkatan risiko penularan penyakit,
kotor, atau aspek infrastruktur) terhadap pengamh waiau kasus epidemik urnumnya bukan
dari bahaya tersebut. Probabilitas terpengaruhinya merupakan akibat bencana alam.
suatu system atau populasi tertentu oleh suatu 3. Tidak semua risiko kesehatan yang
bahaya disebut sebagai “risiko”. Dengan demikian potensial dan actual pasca bencana akan
risiko merupakan gabungan antara kerentanan dan terjadi di waktu yang bersamaan. Risiko
bahaya, dan dinyatakan sebagai berikut “ itu cenderung muncul di waktu yang
Resiko - Kerentanan x Bahaya berbeda dan cenderung berbeda tingkat
Walau semua bencana memang memiliki kepentingannyadi wilayah yang terkena
ciri khasnya sendiri, bencana memberikan pengaruli bencana. Dengan demikian, jatuluiya
d8lam tingkat kerentanan yang berbeda pada korban biasanya terjadi di waktu
daerah dengan kondisi sosial, kesehatan dan
dantempat teJadinya dampak dan korban
ekonomi tertentu — masih
itu membutuhkan perawat«n medis
segera, sedangkan waktu yang lebih
panjang untuk berkembang dan risiko
• PSIKM Fakulktas Kedokteran Universitas Andalas tersebut memiincak di tempat yang
berpenduduk padat dan standar
sanitasinya meinburuk.
Jumal Kesehatan Masyarakat, September 2008 - Maret 2009, Vol. 3, No. l

4. Kebutuhan makanan, tempat tinggal 2. Surveilans Epidemiolo%Sanitarian 1 org


sementara, dan layman kesehatan dasar east 3. Petiigas Komunikasi 1 org
bencsna biasanya tidak menyeluruh. Bahkan
orang yang selamat sering kali dapat menye Tim n IH
lamatkan beberapa keperluan dasar untuk Tim yang bisa diberangkatkan bersamaan dengan Tim
hidup. Lagipula, orang pada umumnya Reaksi Cepat atau menyusul dalam waktu kurang dari
segera pulih dari keterkejutan mereka dan 24 jam, terdiri dari:
secara spontan terlibat dalam pencarian dan
penyelarnatan korban,
pemindahan orang yang cedera, dan 1. Dokter Umum 1 org
kegiatan pemulihan swadaya lainnya. 2. Epidemiolog 1 org
5. Perang sipil dan konflik menimbulkan 3. Sanitarian 1 org
kumpulan masalah kesehatan masyarakat
tersendiri dan kendala-kendala operasional. Tim Bantuan
Masalah itu tidak Kesehatan
akan dibahas secara mendalam pada buku Tim yang diberangkatkan berdasarkan kebutuhan setelah
ini. Tim Reaksi Cepat dan Tim RHA kembali dengan
laporan hasilkegiatan mereka di lapangan, terdiri dari:
Pengelolaan bantuan kemanusiaan sektor 1. Dokter Umum
kesehatan secara efektif akan bergantung pada upaya 1 Apoteker dan Asisten Apoteker
antisipasi dan identifikasi masalah saat 3. Perawat (D3/Sl Keperawatan)
kemunculannya, dan pada penyampaian bahan-bahan 4. Perawat Mahir
khusus di waktu dan tempat yang memang 5. Bidan (D3 Kebidanan)
meinbutuhkan. Kemampuan logistic untuk mengangkut 6. Sanitarian (D3 Kesling/ SI Kesmas)
jumlah maksimum suplai/ persediaan dan tenaga 7. Ahli Gizi (D3/ D4 Kesehatan/ S1 Kesmas)
kemanusiaan dari luar negeri ke daerah bencana di 8. Tenaga 5urveilans (D3/ D4 Kes/ 51 Kesmas)
Amerika Latin dan Karibia tidak begitu penting. Uang 9. Entomolog (D3/ D4 Kes/ SI Kesmas/ SI Biologi)
tunai merupakan bantuan yang paling efektif,
khususnya karena uang dapat digunakan untuk Kebutuhan tenaga kesehatan selain yang tercantum di
membeli suplai di daerah setempat. atas, disesuaikan dengan jenis bencana dan kasus yang
ada, misal:
2. PERSIAPAN SUMBERDAYAMANUSIA(SDM) • Gempa bumi
KESEHATAN MENUJU IWKASI BENCANAALAM • Banjir Bandang/tanah longsor
• Gunung meletus
Pada saat terjadi bencana perlu adanya mobilisasi • Tsunami
SDM kesehatan yang tergabung dalam suatu Tim • Ledakan born/kecelakaan industri
Penanggulangan Krisis yang meliputi: • Kerusuhan massal
• Kecelakaan transportasi
1. Tim Reaksi Cepat • Kebakaran hutan
2. Tim Penilaian Cepat(Tim RHA)
3. Tim Bantuan Kesehatan A. Perhitungan kebutuhan SDM Kesehatan
Sebagai koordinator Tim adalah Kepala Dinas Kesehatan
Provinsi/Kabupaten/Kota (mengacu Surat Kepmenkes Kebutuhan jumlah minimal SDM kesehatan
nomor 066 tahun 2006). untuk penanganan korban bencana berdasarkan:
1. Untuk jumlah penduduk/pengungsi antara 10.000
Tim ReaHl C*R*! —
Tim yang diharapkan dapat segera bergerak dalam 20.000 orang:
waktu 0-24 jam setelah ada informasi kejadian
bencana, terdiri
dari: e. T isaster Victims
e Identification
1. Pelayanan Medik n (DVI)
a. DokterUmurn/BSB fi Apoteker/Ass. 1 org
b. Dokter Sp. Bedah a Apoteker 1 org
c. Dokter Sp. Anestesi g g. Sopir Ambulans
d. Perawat Mahir a 2 org
(Perawat bedah, gadar) D
1 org • D : 4 org
1 org ok . 10 —20 org
ter : 8 — 16 org
1 org U
m : 2 org
u : 4 org
m : 2 org
• Pe : 2 org
ra
: 2 org
wa
: 4 — 8 org
t
: 2 —4 org
• Bi
da
n
• A
po
te
ke
r
• As
ist
en
A
po
te
ke
r
• Pr
an
ata
La
bo
rat
ori
um
• Ep
id
e
mi
ol
og
i
• En
to
m
ol
og
• Sa
nit
ari
an
• A
hIi
Gi
zi
Jumal Kesehatan Masyarakat, September 2008 - Maret ?.009, Vol. 3, No. 1

2. Untuk jumlah penduduk/pengungsi 5000 orang berwenang, dalam hal ini Dinas Kesehatan. Mobilisasi
SDM dibutuhkan: kesehatan dilakukan dalam rangka pemenuhan kebutuhan
• Bagi pelayanan kesehatan 24 jam dibutuhkan: dokter 2 SDM kesehatan pada saat dan pasca bencana bila:
orang, perawat 6 orang, bidan 2 orang, sanitarian 1 • Masalah kesehatan yang timbul akibat bencana
tidak orang, gizi l orang, asisten apoteker 2 orang dan dapat diselesaikan oleh daerah tersebut sehingga
administrasi 2 orang. memerlukan bantuan dari daerah atau regional.
• Bagi pelayanan kesehatan 8 jam dibutuhkan: dokter 1 • Masalah kesehatan yang timbul akibat bencana
orang, perawat 2 orang, bidan 1 orang, sanitarian 1 se luruhnya tidak dapat diselesaikan oleh daerah
orang dan gizi 1 orang. tersebut sehingga memerlukan bantuan dari
regional,
nasional dan internasional.
3. Berdasarkan fasilitas rujukanfRumah sakit, dapat
dilihat dalam rumus pada Gambar 6. G Langkah-langkah mobilisasi yang dilakukan:

Tabel 2. Rumus kebutuhan Menyiagakan SDM kesehatan untuk ditugaskan ke


tenaga di fasilitas wilayah yang terkena bencana. Selanjutnya
rujukao/ruinah sakit menginformasikan kejadian bencana dan meminta
bantuan melalui:
1. Kebutuhan dokter umum =
(Z pasien/40) — Z dr umum di tempat • Jalur administrasi/Depdagri
(Puskesmas ’! Camat ! Bupati ! Gubernur ’! Mendagri)
2. Kebutuhan dokter spesialis Bedah = • Jalur administrasi/Depkes
[(Z pasien dr bedah/5) / 5] — Z dr bedah di (Puskesmas ’! Dinkes Kab/Kota ’! Dinkes Provinsi
tempat ! Depkes)
• Jalur rujukan medik
3. Kebutuhan dokter spesialis Anestesi = (Puskesmas ! RS KabfKota ! RS Prov ! RS iujukan
[(Z pasien dr bedah/15) / 5] — Z dr anestesi di wilayah ! Di;jen Bina Yanmed/Depkes)
B. Pendayagunaan tenaga mencakup:

Pendayagunaan tenaga SDM Kesehatan mencakup


pendistribusian dan mobilisasi dilapangan. 3. PERSIAPANOBATKESEHATAN MENUJULOKASI
Penanggung jawab dalam pendistribusian SDM BENCANAALAM
kesehatan untuk tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota
adalah Dinas Kesehatan. Pada saat bencana, bantuan Pada tabel 2 merupakan panduan jenis obat dan jenis
kesehatan yang berasal dari dalam/luar negeri diterima penyakit sesuai dengan jenis bencana.
oleh kantor kesehatan pelabuhan (KKP) yang akan
didistribusikan kepada instansi yang
Tabel 1. Jenis obat dan jenis penyakit sesuai dengan jenis bencana

No Jenis Beneana Jenis Penyakit Konjunctivitis


1. Banjir Diare/Amebiasis
(Bakteri, Virus)

Dermatitis: Kontak jamur,


bakteri, skabies

ISPA (Pnemonia dan Non


Penemonia)

ASMA

Leptospirosis
Obat°& Perbekalan Kesehatan
Oralit, Infus R/L, NaC1 0,9%, Metronidazol,
Infus set, Abocath, Wing Needle

CTM Tablet, Prednison, Salep 2-4, Hidrokortison


alep, Antifungi salep, Deksametason Tab,
Prednison Tab, Anti bakteri DOEN salep, Oksi
Tetrasiklin salep 3%, skabisid salep

Kotrimoksazol 480 mg, 120 mg Tab dan


Suspensi, Amoxylcilin, OBH, Parasetamol,
Dekstromeeofan Tab, CTM

Salbutamol, Efedrin HCL Tab, Aminopilin Tab

Amoxycilin 1000 mg, Ampisilin 1000 mg

Sulfasetamid t.m, Chlorampenieol, salep mata,


Oksitetrasiklin salep mata
Jumal Kesehatan Masyarakat, September 2008 - Maret 2009, Vol. 3, No. I

Antasida DOEN Tab & Suspensi,


Simetidin tab, Extrak Belladon

Trauma/Memar Kapas Absorben, Kassa steril 40/40 Pov


Iodine, Fenilbutazon, Metampiron Tab,
Parasetaniol Tab
2 Longsor Fraktur Tulang, Luka Memar, Kantong mayat, Stretcher/tandu, spalk,
Luka sayatan dan Hipoksia kasa, elastic perban, kasa elastis, alkohol
70%, Pov.Iodine 10%, H2O2 Sol, Ethyl
Chlorida Spray, Jarum Jahit, CatGut
Chromic. Tabun Oksi ,en
Gemp&Tsunimi Luka Memar Idem
Luka Idem
sayatan Idem
ISPA ldem
Gastritis Artesunat, Amodiakuin, Primakuin
Malaria Idem
Asma Idem
Idem
Idem
Idem
Luka sayat ldem
Luka bacok Idem
Patah tulang Idem
Diare Idem
ISPA Idem
Gastritis Idem
Penyakit kulit Vaksin Campak (bila ada kasus baru),
Campak Vitamin A
Reserpin Tablet, HCT tablet
Hipertensi Diazepam 2 mg, 5 mg tab,
Gangguan Jiwa
Luminal Tab 30 mg
5 Gunung ISPA Idem
Meletus Diare Idem
Konjunctivitis Idem
Luka Bakar Aquadest steril, kasa steril 40/40, Betadin
salep, Sofratule, Abocath, Cairan Infus
(RL, NaCl), Vit. C Tab,
Amoxycilin/Ampicilin tab, Kapas,
Handschoen, Wingneedle,
Alkohol 70%.
6 Bonn Luka Bakar Idem
Trauma Idem
Vit B1, B6, B12 oral

4. PERAWATAN DI LAPANGAN mengganggu aktivitas Rumah Sakit tersebut dan


membahayakan kondisi para penderita yang
Jika di daerah dimana terjadi bencana tidak
tersedia fasilitas kesehatan yang cukup untuk
menampung dan merawat korban bencana massal
(misalnya hanya tersedia satu Rumah Sakit tipe C/tipe
B), memindahkan korban ke sarana tersebut hanya
akan menimbulkan hambatan bagi perawatan yang
hams segera diberikan kepada korban dengan cedera
serius. Lebih jauli, hal ini juga akan sangat
dirawat disana. Perlu dipertimbangkan jika
memaksa memindahkan 200 orang korban ke Rumah
Sakit yang hanya berkapasitas 300 tempat tidur,
dengan tiga kamar operasi dan mengharapkan hasil
yang baik dari pemindahan ini.
Dalam keadaan dimana dijumpai
keterbatasan sumber daya, utamanya keterbatasan
daya tampung dan kemampuan perawatan, pemindahan
korban ke Rumah Sakit dapat ditunda sementara.
Dengan ini harus dilakukan perawatan di lapangan
yang adekuat bagi korban dapat lebih mentoleransi
penundaan ini. Jika diperlukan dapat didirikan
nimah sakit lapangan (Rumkitlap). Dalam
Jumal Kesehatan Masyarakat September 2008 - Maret 2009, Vol. 3, No. 1

mengoperasikan rumkitlap, diperlukan tenaga dapat dipindahkan pada akhir operasi lapangan.
medis, paramedic, dan non medis (coordinator, dokter, • Korban dengan prognosis infaust, jika masih hidup
dokter spesialis bedah, dokter spesialis anestesi, tiga pada akhir operasi lapangan, juga akan
perawat mahir, radiolog, farmasis, ahli gizi, laboran, dipindahkan ke fasilitas kesehatan.
teknisi medis, teknisi non medis, dan pembantu
umum).

2. TRIASE
Triase dilakukan untuk mengidentifikasi
secara cepat korban yang mebutuhkan stabilisasi
segera (perawatan di lapangan) mengidentifikasi
korban yang hanya dapat diselamatkan dengan
pembedahan darurat
{life-saving surgery ). Dalam aktivitasnya, digunakan
kartu merah, hijau dan hitam sebagai kode identifikasi
korban, seperti berikut:
1. Merah, sebagai penanda korban yang
membutuhkan stabilisasi segera dan korban
yang mengalarni:
• Syok oleh berbagai kausa
• Gangguan penapasan
• Trauma kepala dengan pupil anisokor
• Pendarahan ekstemal massif
Pemberian perawatan lapangan intensif
ditujukan bagi korban yang mempunyai kemungkinan
hidup lebih besar, sehingga setelah perawatan
dilapangan ini penderita lebih dapat mentoleransi
proses pemindahan ke Rumah Sakit, dan lebih siap
untuk menerima perawatan yang lebih invasif. Triase ini
korban dapat dikategorisasikan kembali dari status
“merah” menjadi “kuning” (misalnya korban dengan
tension pneumothorax yang telah dipasang drain
thoraks (WSD).
2. mining, sebagai penanda korban yang
memerlukaii pengawasan ketat, tetapi perawatan
dapat ditunda sementara. Termasuk dalam
kategori ini:
• Korban dengan risiko syok (korban dengan
gangguan jantung, trauma abdomen)
• Fraktur multipel
• Fraktur femur/pelvis
• Luka bakar luas
• Gangguan kesadaran/trauma kepala
• Korban dengan status yang tidak jelas
Semua korban dalam kategori ini harus diberikan
infus, pengawasan ketat terhadap kemungkinan
timbulnya komplikasi, dan diberikan perawatan
sesegera mungkin.
3. sebagai penanda kelompok korban yang
tidak memerlukan pengobatan atau pemberian
pengobatan dapat ditunda, mencakup korban yang
mengalarni:
• Fraktur minor
• Luka minor, luka bakar minor
• Korban dalam kategori ini, setelah
pembalutan luka dan atau pemasangan bidai
4. Hitam, sebagai penanda korban yang telah bahwa, bila korban masih berada di lokasi yang paling
meninggal dunia. penting adalah memindahkan korban sesegera mungkin,
Triase lapangan dilakukan pada tiga kondisi:

1. Triase di tempat (triase satu)


2. Triase medik (Rinse dna)
3. Triase evakuasi {triase tiga)

Triase di Tempat
Triase di tempat dilakukan di “tempat
korban ditemukan” atau pada tempat penampungan
yang dilakukan oleh tim Pertolongan Pertama
atau Tenaga Medis Gawat Darurat. Triase di
tempat mencakup pemeri!csaan, klasifikasi,
pemberian tanda dan pemindahan korban ke pos
media lanjutan.

AiaseMedik
Triase ini dilakukan saat korban
memasuki pos medis lanjutan oleh tenaga medis
yang berpengalaman (sebaiknya dipilih dari
dokter yang bekerja di Unit Gawat Darurat,
kemudian ahli anestesi dan terakhir oleh dokter
bedah). Tujuan triase medik adalah menentukan
tingkat perawatan yang dibutuhkan oleh korban.

Triase Evakuasi
Triase ini ditujukan pada korban yang
dapat dipindahkan ke Rumah Sakit yang telah
siap menerima korban bencana massal. Jika pos
medis lanjutan dapat berfungsi efektif korban
dalam status"merah” akan berkurang, dan akan
diperlukan pengelompokan korban kembali
sebelum evakuasi dilaksanakan. Tenaga medis di
pos medis lanjutan dengan berkonsultasi dengan
Pos Komando dan Rumah Sakit tujuan
berdasarkan kondisi korban akan membuat
keputusan korban mana yang harus dipindahkan
terlebih dahulu, Rumah Sakit tujuan, jenis
kendaraan dan pengawalan yang akan
dipergunakan.

3. PERTOLONGAN PERTAMA
Pertolongan pertama dilakukan oleh para
sukarelawan, Petugas Pemadam Kebakaran, Polisi,
Tenaga dari unit khusus, Tim Medis Gawat
Darurat dan Tenaga Perawat Gawat Darurat
Terlatih.
Pertolongan pertama dapat diberikan di lokasi seperti
berikut:
1. Lokasi bencana, sebelum korban dipindahkan.
2. Tempat penampungan sementara
3. Pada “tempat hijau” dari pos medis lanjutan
4. Dalam ambulans saat korban
dipindahkan ke fasilitas kesehatan
Pertolongan pertama yang diberikan pada
korban dapat berupa kontrol jalan napas, fungsi
penapasan dan jantung, pengawasan posisi
korban, kontrol pendarahan, imobilisasi fraktur,
pembalutan dan usaha-usaha untuk membuat
korban merasa lebih nyaman. Harus selalu diingat
Jurnal Kesehatan Masyarakat, September 2008 - Marct 2009, Vol. 3. No. 1

membawa korban gawat darurat ke pos medis Gambar 1. Pos pelayanan medis lanjutan dasar
lanjutan sanibil melakukan usaha pertolongan
pertama utama, seperti mempertahankan jalan napas,
dan kontrol pendarahan. Resusitasi
kardiopulmonertidak boleh dilakukan di lokasi
kecelakaan pada bencanamassal karena membutuhkan
waktu dan tenaga.
4. POS MEDIS LANJUTAN
Pos medis lanjutan didéikan sebagai upaya
untuk menurunkan jumlah kematian dengan memberikan
perawatan efektif (stabilisasi) terhadap korban secepat Tempat perawatan ini dibagi lagi menjadi:
mungkin. Upaya stabilisasi korban mencakup intubasi, 1. Tempat perawatan korban gawat darumt (korban
trakeo›tomi, pemasangan drain thoraks, pemasangan yang diberi tanda dengan label merah dan
ventilator, penatalaksanaan syok secara medikamentosa, kuning). Lokasi ini merupakan proporsi
analgesia, pemberian infus, fasiotomi, imobilisasi fraktur, terbesar dari seluruh tempat perawatan.
pembalutan luka, pencucian luka bakar. Fungsi pos Tempat perawatan bagi korban non gawat darurat
medis lanjutan ini dapat disingkat menjadi“Three (korban yang diberi tanda dengan label hijau dan
),
“T”rule”[Tag, Treat, Hansfer ) atau hukum tiga (label,
rawat, evaluasi).
Lokasi pendirian pos medis lanjutan sebaiknya Pos medis lanjutan standar, terdiri atas (Gambar 2):
di cukup dekat untuk ditempuh dengan beJalan kaki 1. Pintu keluar
dari lokasi bencana (50-100 meter) dan daerah 1 Dua buah pintu masuk (Gawat Darurat dan Non-
tersebut harus: Gawat Darurat). Untuk memudahkan
1. Termasuk daerah yang aman identifikasi, kedua pintu ini diberi tanda
2. Memiliki akses langsung ke jalan raya tempat dengan bendera merah (untuk korban gawat
evaluasi dilakukan darurat) dan bendera hijau (untuk korban non
3. Rerada di dekat dengan pos komando gawat darurat).
4. Berada dalam jangkauan komunikasi radio 3. Duatempat punerimaan korban/triase yang
saling berhubungan untuk memudahkan
Pada beberapa keadaan tertentu, misalnya pertukaran/ pemindahan korban bila
adanya paparan material berbahaya, pos medis diperlukan.
lanjutan dapat didirikan di tempat yang lebih jauh. 4. Tempat perawatan Gawat Darurat yang
Sekalipun demikian tetap hams diusahakan untuk berhubungan dengan tempat triase Gawat
didirikan sedekat mungkin dengan daerah Rencana. Darurat, tempat ini dibagi menjadi:
• Tempat perawatan korban dengan tanda
merah (berhubungan langsung dengan
Tenaga medis yang akan dipekerjakan di pos ini tempat triase)
adalah dokter dari Unit Gawat Darurat, ahli anestesi, • Tempat perawatan korban dengan tanda
ahli bedah dan tenaga perawat. Dapat pula dibantu kuning(setelah tempat perawatan merah)
tenaga perawat, Tenaga Medis Gawat Darurat, dan
para tenaga pelaksana Pertolongan Pertama akan tunit Gambar 2. Pos pelayanan medis lanjutan standar
pula bergabung dengan tim yang berasal dari Rumah
Sakit.
Organisasi Pos ñfed’n Lanjutan
Struknir internal pos medis lanjutan dasar, terdiri atas
(Gan•.bar 1):
1. Satu pintu masuk yang mudah ditemukan atau
diidentifikasi.
1 Satu tempat penerimaan korban/tempat triase yang
dapat menampung paling banyak dna orang korban 5. Tempat perawatan Non Gawat Darurat,
secara benamaan. berhubungan dengantempattriase Non Gawat Danirat,
3. Satu tempat perawatan yang dapat menampung 25 dibagimenjadi:
orang korban secara bersamaan. • Tempat korban meninggal (langsung berhubungan
dengan tempat triase)
• Tempat perawatan korban dengan tanda hijau
(setelah tempat korban meninggal)
• Setiap tempat perawatan ini ditandai dengan
bendera sesuai dengan kategori korban yang
akan dirawat di tempat tersebut.
Jurnal Kesehatan Masyarakat, September 2008 - Marel 2009, Vol. 3, No. 1

6. Sebuali tempat evakuasi yang


merupakan tempat korhan yang
kondisinya telah st abi1 untuk me
nun ggu pemindahan ke Rumah
Sakit.

Luas Pos Med/s Lanjutan


Sebaikiiya pos ini menampung
sekitar 25 orang korban bersama para
petugas yang bekerja disana. Luas pos
medis lanjutan yang dianjurkan:
1. Untuk daerah perawatan 2,6 m' untuk setiap korban.
2. Dengan mempertimbangkan
banyaknya orang yang berlaku
lalang, luas tempat triase adalah
minimum 9 m'.
3. Luas minimum tempat perawatan
untuk pos medis lanjutan dasar
a5alah 65 m2.
4. Luas minimum tempat perawatan
untuk pos medis lanjutan standar
adalah 130 m2
5. Tempat evaluasi 26 m'.

Ams Pemiitdahan Zforban


Korban yang telah diberi
tanda dengan kartu berwama merah,
kuning, hijau atau hitam sesuai
dengan kondisi mereka, dilakukan
registrasi secara bersamaan dan korban
langsung dipindahkan ke tempat
perawatan yang sesuai dengan kartu
yang diberikan hingga keadaannya
stabil. Setelah stabil korban akan
dipindahkan ke tempat evakuasi
dimana registrasi mereka akan
dilengkapi sebelum dipindahkan ke
fasilitas lain.

Daftar Pustaka
1. Pan American Health
Organization, 2006 ; Beccaria
Alam Perlindungan Kesehatan
Masyarakat (Natural Disaster:
Protecting The Public’s Health)
alih bahasa Munaya Fauziah
SKM,MKM, Jakarta : Penerbit
EGC 2036
2. Departemen Kesehatan RI,
2007; Pedoman Tekhnis
Penanggulangan Krisis
Kesehatan Akibat bencana
(inengacu pada standar
interasional) Panduan bagi
Petugas kesehatan yang bekerja
dalam penanganan krisis
kesehatan akibat bencana di
indonesia.
3. Proyek Sphere, 2000; Piagam
Kemanusiaan dan standar-
standar minimum dalam
penanggulangan bencana

http://jurnal.fkm.unand.ac.id/index.php/jkma/article/view/54/51

Anda mungkin juga menyukai