Anda di halaman 1dari 34

TUGAS TRANSCULTURAL NURSING

BUDAYA BATAK TOBA

Oleh :
1.
2.
3.
4.
5.

Andika Sulistiawan
Dhestirati Endang Anggraeni
Imanuel Sri Mei Wulandari
Novi Malisa
Setya Vahani

(220120140016)
(220120140013)
(220120140047)
(220120140021)
(220120140038)

PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
TAHUN 2015
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kebudayaan merupakan hasil usaha manusia untuk mempertahankan hidup dan
mencapai kesejahteraan dengan segala sumber daya yang dimiliki. Kebudayaan bersifat khas
dan bervariasi antara kelompok tertentu, meliputi pengetahuan, nilai-nilai keyakinan, adatistiadat, dan keterampilan yang dimiliki oleh anggota kelompok tersebut. Setiap kebudayaan
memiliki pengaruh terhadap bidang kehidupan, salah satunya kesehatan. Perbedaan
kebudayaan akan mempengaruhi cara pandang seseorang terhadap kesehatan dan membentuk
perilaku orang tersebut dalam mengatasi masalah kesehatan yang dialami. Masalah kesehatan
bersifat kompleks dan merupakan hasil dari berbagai faktor, yaitu: lingkungan, perilaku,
hereditas, dan pelayanan kesehatan (Blum, 1974 dalam Effendy, 2008). Dari keempat faktor
tersebut, lingkungan dan perilaku sangat dominan mempengaruhi derajat kesehatan
masyarakat. Perilaku masyarakat sangat dipengaruhi oleh faktor kebudayaan, dan hal ini
menimbulkan respon masyarakat yang unik dan berbeda-beda terhadap masalah kesehatan
yang dialami.
Variasi kebudayaan menjadi suatu komponen yang penting untuk dipahami dan
dihargai oleh perawat sebagai pemberi pelayanan kesehatan. Berdasarkan hal tersebut,
perawat dipandang perlu untuk memahami keperawatan lintas budaya (transcultural
nursing). Transcultural nursing adalah suatu area keilmuan pada praktek keperawatan yang
memandang persamaan dan perbedaan budaya, nilai, kepercayaan, dan cara hidup yang
dianut klien, sehingga asuhan keperawatan dapat diberikan secara optimal berdasarkan nilainilai dan kebudayaan klien, yang berdampak pada perbaikan atau peningkatan derajat
kesehatan (Leininger, 2002).
Berdasarkan uraian tersebut, penulis tertarik untuk membahas lebih lanjut mengenai
pengkajian lintas budaya (culture assessment) yang merupakan bagian dari proses
keperawatan pada salah satu suku di Indonesia, yaitu suku Batak. Suku ini menjadi pilihan
analisis penulis karena memiliki perilaku penatalaksanaan masalah kesehatan yang unik dan
berkembang sebagai bagian dari kebudayaan di wilayah tersebut.
B. Tujuan

Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk meningkatkan pengetahuan mahasiswa


mengenai salah satu kebudayaan di Indonesia yaitu suku Batak, sehingga nantinya
pengetahuan ini dapat menjadi pedoman bagi mahasiswa untuk memberikan asuhan
keperawatan yang holistik dan optimal berdasarkan pendekatan lintas budaya.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Kebudayaan
Kebudayaan merupakan suatu sistem gagasan, tindakan, hasil karya manusia yang
diperoleh dengan cara belajar dalam rangka kehidupan masyarakat (Koentjaraningrat,
1996). Kebudayaan terdiri dari tiga wujudnya, yaitu:
1. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, normanorma, peraturan dan sebagainya. Merupakan wujud ideal dari kebudayaan, Sifatnya
abstrak, tak dapat diraba atau difoto. Letaknya ada di dalam pikiran masyarakat di mana
kebudayaan bersangkutan itu hidup. Dikenal dengan adat istiadat atau sering berada
dalam karangan dan buku-buku hasil karya para penulis masyarakat bersangkutan, Saat
ini kebudayaan ideal banyak tersimpan dalam arsip, koleksi microfilm dan microfish,
serta computer.
2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia
dalam masyarakat, disebut juga sistem sosial. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitasaktivitas manusia-manusia yang berinteraksi, berhubungan, bergaul yang berdasarkan
adat tata kelakuan. Sistem sosial itu bersifat konkret, terjadi di sekeliling kita sehari-hari,
bisa diobservasi, difoto dan didokumentasi.
3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia, disebut kebudayaan fisik,
dan tak memerlukan banyak penjelasan. Merupakan seluruh total dari hasil fisik dari
aktivitas, perbuatan dan karya semua manusia dalam masyarakat. Sifatnya paling
konkret, atau berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan difoto.
Hasil karya manusia seperti candi, komputer, pabrik baja, kapal, batik dan sebagainya.

B. Teori Transkultural
Perkembangan teori keperawatan terbagi menjadi 4 level perkembangan yaitu metha
theory, grand theory, midle range theory dan practice theory. Salah satu teori yang
diungkapkan pada midle range theory adalah Transcultural Nursing Theory. Teori ini
berasal dari disiplin ilmu antropologi dan dikembangkan dalam konteks keperawatan.
Transcultural Nursing adalah suatu area/wilayah keilmuwan budaya pada proses belajar
dan praktek keperawatan yang fokus memandang perbedaan dan kesamaan diantara
budaya, sehat dan sakit didasarkan pada nilai budaya manusia, kepercayaan dan tindakan,

dan ilmu ini digunakan untuk memberikan asuhan keperawatan khususnya budaya atau
keutuhan budaya kepada manusia (Leininger, 2002).
Asumsi mendasar dari teori adalah perilaku Caring. Caring adalah esensi dari
keperawatan, membedakan, mendominasi serta mempersatukan tindakan keperawatan.
Tindakan Caring dikatakan sebagai tindakan yang dilakukan dalam memberikan
dukungan kepada individu secara utuh. Perilaku Caring semestinya diberikan kepada
manusia sejak lahir, dalam perkembangan dan pertumbuhan, masa pertahanan sampai
dikala manusia itu meninggal. Human caring secara umum dikatakan sebagai segala
sesuatu yang berkaitan dengan dukungan dan bimbingan pada manusia yang utuh.
Human caring merupakan fenomena yang universal dimana ekspresi, struktur dan
polanya bervariasi diantara kultur satu tempat dengan tempat lainnya.
Model konseptual yang dikembangkan oleh Leininger dalam menjelaskan asuhan
keperawatan dalam konteks budaya digambarkan dalam bentuk matahari terbit (Sunrise
Model). Tujuan dari keperawatan transkultural adalah untuk mengidentifikasi, menguji,
mengerti dan menggunakan pemahaman keperawatan transkultural untuk meningkatkan
kebudayaan yang spesifik dalam pemberian asuhan keperawatan.

Gambar 2.1 Sunrise model

Pengelolaan asuhan keperawatan dilaksanakan dari mulai tahap pengkajian, diagnosa


keperawatan, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.
1. Pengkajian
Pengkajian dirancang berdasarkan 7 komponen yang ada pada "Sunrise Model" yaitu :
a. Faktor teknologi (tecnological factors)
teknologi kesehatan memungkinkan individu untuk memilih atau mendapat
penawaran menyelesaikan masalah dalam pelayanan kesehatan. Perawat perlu
mengkaji : persepsi sehat sakit, kebiasaan berobat atau mengatasi masalah kesehatan,
alasan mencari bantuan kesehatan, alasan klien memilih pengobatan alternatif dan
persepsi klien tentang penggunaan dan pemanfaatan teknologi untuk mengatasi
permasalahn kesehatan saat ini.
b. Faktor agama dan falsafah hidup (religious and philosophical factors)
5

Agama adalah suatu simbol yang mengakibatkan pandangan yang amat realistis bagi
para pemeluknya. Agama memberikan motivasi yang sangat kuat untuk menempatkan
kebenaran di atas segalanya, bahkan di atas kehidupannya sendiri. Faktor agama yang
harus dikaji oleh perawat adalah : agama yang dianut, status pernikahan, cara
pandang klien terhadap penyebab penyakit, cara pengobatan dan kebiasaan agama
yang berdampak positif terhadap kesehatan.
c. Faktor sosial dan keterikatan keluarga (kinship and social factors)
Perawat pada tahap ini harus mengkaji faktor-faktor : nama lengkap, nama panggilan,
umur dan tempat tanggal lahir, jenis kelamin, status, tipe keluarga, pengambilan
keputusan dalam keluarga, dan hubungan klien dengan kepala keluarga
d. Nilai-nilai budaya dan gaya hidup (cultural value and life ways)
Nilai-nilai budaya adalah sesuatu yang dirumuskan dan ditetapkan oleh penganut
budaya yang dianggap baik atau buruk. Norma-norma budaya adalah suatu kaidah
yang mempunyai sifat penerapan terbatas pada penganut budaya terkait. Yang perlu
dikaji pada faktor ini adalah : posisi dan jabatan yang dipegang oleh kepala keluarga,
bahasa yang digunakan, kebiasaan makan, makanan yang dipantang dalam kondisi
sakit, persepsi sakit berkaitan dengan aktivitas sehari-hari dan kebiasaan
membersihkan diri
e. Faktor kebijakan dan peraturan yang berlaku (political and legal factors)
Kebijakan dan peraturan rumah sakit yang berlaku adalah segala sesuatu yang
mempengaruhi kegiatan individu dalam asuhan keperawatan lintas budaya (Andrew
and Boyle, 1995). Yang perlu dikaji pada tahap ini adalah : peraturan dan kebijakan
yang berkaitan dengan jam berkunjung, jumlah anggota keluarga yang boleh
menunggu, cara pembayaran untuk klien yang dirawat.
f. Faktor ekonomi (economical factors)
Klien yang dirawat di rumah sakit memanfaatkan sumber-sumber material yang
dimiliki untuk membiayai sakitnya agar segera sembuh. Faktor ekonomi yang harus
dikaji oleh perawat diantaranya : pekerjaan klien, sumber biaya pengobatan, tabungan
yang dimiliki oleh keluarga, biaya dari sumber lain misalnya asuransi, penggantian
biaya dari kantor tau patungan antar anggota keluarga
g. Faktor pendidikan (educational factors)
Latar belakang pendidikan klien adalah pengalaman klien dalam menempuh jalur
pendidikan formal tertinggi saat ini. Semakin tinggi pendidikan klien maka keyakinan
klien biasanya didukung oleh bukti-bukti ilmiah yang rasional dan individu tersebut

dapat belajar beradaptasi terhadap budaya yang sesuai dengan kondisi kesehatannya.
Hal yang perlu dikaji pada tahap ini adalah : tingkat pendidikan klien, jenis
pendidikan serta kemampuannya untuk belajar secara aktif mandiri tentang
pengalaman sakitnya sehingga tidak terulang kembali.
2. Diagnosa
Terdapat tiga diagnose keperawatan yang sering ditegakkan dalam asuhan keperawatan
transcultural yaitu : gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan perbedaan kultur,
gangguan interaksi sosial berhubungan disorientasi sosiokultural dan ketidakpatuhan
dalam pengobatan berhubungan dengan sistem nilai yang diyakini.
3. Perencanaan dan implementasi
Ada tiga pedoman yang ditawarkan dalam keperawatan transkultural (Andrew and Boyle,
1995) yaitu : mempertahankan budaya yang dimiliki klien bila budaya klien tidak
bertentangan dengan kesehatan, mengakomodasi budaya klien bila budaya klien kurang
menguntungkan kesehatan dan merubah budaya klien bila budaya yang dimiliki klien
bertentangan dengan kesehatan
a. Cultural care preservation (maintenance)
Mempertahankan budaya mempertahankan budaya dilakukan bila budaya pasien
tidak bertentangan dengan kesehatan. Perencanaan dan implementasi keperawatan
diberikan sesuai dengan nilai-nilai yang relevan yang telah dimiliki klien sehingga
klien dapat meningkatkan atau mempertahankan status kesehatannya, misalnya
budaya berolahraga setiap pagi.
b. Cultural careaccomodation (negotiation)
Negosiasi budaya Intervensi dan implementasi keperawatan pada tahap ini dilakukan
untuk

membantu

klien

beradaptasi

terhadap

budaya

tertentu

yang

lebih

menguntungkan kesehatan. Perawat membantu klien agar dapat memilih dan


menentukan budaya lain yang lebih mendukung peningkatan kesehatan
c. Cultual care repartening (reconstruction)
Restrukturisasi budaya Restrukturisasi budaya klien dilakukan bila budaya yang
dimiliki merugikan status kesehatan
4. Evaluasi
Evaluasi asuhan keperawatan transkultural dilakukan terhadap keberhasilan klien tentang
mempertahankan budaya yang sesuai dengan kesehatan, mengurangi budaya klien yang
tidak sesuai dengan kesehatan atau beradaptasi dengan budaya baru yang mungkin sangat
bertentangan dengan budaya yang dimiliki klien. Melalui evaluasi dapat diketahui asuhan
keperawatan yang sesuai dengan latar belakang budaya klien.
7

Konsep dalam Transcultural Nursing


1. Budaya adalah norma atau aturan tindakan dari anggota kelompok yang dipelajari,
dan dibagi serta memberi petunjuk dalam berfikir, bertindak dan mengambil
keputusan.

Budaya

adalah

sesuatu

yang

kompleks

yang

mengandung

pengetahuan,keyakinan, seni, moral, hukum, kebiasaan, dan kecakapan lain yang


merupakan kebiasaan manusia sebagai anggota kemunitas setempat. Kebudayaan
adalah keseluruhan gagasan dan karya manusia yang harus dibiasakan dengan belajar,
beserta keselurahan hasil budi dan karyanya dan sebuah rencana untuk melakukan
kegiatan tertentu (Leininger, 2002).
Menurut konsep budaya Leininger (1978, 1984), karakteristik budaya dapat
digambarkan sebagai berikut : (1) Budaya adalah pengalaman yang bersifat universal
sehingga tidak ada dua budaya yang sama persis, (2) budaya yang bersifat stabil,
tetapi juga dinamis karena budaya tersebut diturunkan kepada generasi berikutnya
sehingga mengalami perubahan, (3) budaya diisi dan ditentukan oleh kehidupan
manusianya sendiri tanpa disadari.
2. Nilai budaya adalah keinginan individu atau tindakan yang lebih diinginkan atau
sesuatu tindakan yang dipertahankan pada suatu waktu tertentu dan melandasi
tindakan dan keputusan.
3. Perbedaan budaya dalam asuhan keperawatan merupakan bentuk yang optimal dari
pemberian asuhan keperawatan, mengacu pada kemungkinan variasi pendekatan
keperawatan yang dibutuhkan untuk memberikan asuhan budaya yang menghargai
nilai budaya individu, kepercayaan dan tindakan termasuk kepekaan terhadap
lingkungan dari individu yang datang dan individu yang mungkin kembali lagi.
4. Etnosentris adalah persepsi yang dimiliki oleh individu yang menganggap bahwa
budayanya adalah yang terbaik diantara budaya-budaya yang dimiliki oleh orang lain.
5. Etnis berkaitan dengan manusia dari ras tertentu atau kelompok budaya yang
digolongkan menurut ciri-ciri dan kebiasaan yang lazim. Etnik adalah seperangkat
kondisi spesifik yang dimiliki oleh kelompok tertentu (kelompok etnik). Sekelompok
etnik adalah sekumpulan individu yang mempunyai budaya dan sosial yang unik serta
menurunkannya ke generasi berikutnya.
6. Ras adalah perbedaan macam-macam manusia didasarkan pada mendiskreditkan asal
muasal manusia Ras merupakan sistem pengklasifikasian manusia berdasarkan
karakteristik fisik pigmentasi, bentuk tubuh, bentuk wajah, bulu pada tubuh dan
8

bentuk kepala. Ada tiga jenis ras yang umumnya dikenal, yaitu Kaukasoid, Negroid,
Mongoloid. Budaya adalah keyakinan dan perilaku yang diturunkan atau diajarkan
manusia kepada generasi berikutnya.
7. Etnografi adalah ilmu yang mempelajari budaya. Pendekatan metodologi pada
penelitian etnografi memungkinkan perawat untuk mengembangkan kesadaran yang
tinggi pada perbedaan budaya setiap individu, menjelaskan dasar observasi untuk
mempelajari lingkungan dan orang-orang, dan saling memberikan timbal balik
diantara keduanya.
8. Care adalah fenomena yang berhubungan dengan bimbingan, bantuan, dukungan
perilaku pada individu, keluarga, kelompok dengan adanya kejadian untuk memenuhi
kebutuhan baik aktual maupun potensial untuk meningkatkan kondisi dan kualitas
kehidupan manusia
9. Caring adalah tindakan langsung yang diarahkan untuk membimbing, mendukung
dan mengarahkan individu, keluarga atau kelompok pada keadaan yang nyata atau
antisipasi kebutuhan untuk meningkatkan kondisi kehidupan manusia
10. Cultural Care berkenaan dengan kemampuan kognitif untuk mengetahui nilai,
kepercayaan dan pola ekspresi yang digunakan untuk membimbing, mendukung atau
memberi kesempatan individu, keluarga atau kelompok untuk mempertahankan
kesehatan, sehat, berkembang dan bertahan hidup, hidup dalam keterbatasan dan
mencapai kematian dengan damai.
11. Culturtal imposition berkenaan dengan kecenderungan tenaga kesehatan untuk
memaksakan kepercayaan, praktik dan nilai diatas budaya orang lain karena percaya
bahwa ide yang dimiliki oleh perawat lebih tinggi daripada kelompok lain
C. Paradigma Transcultural Nursing
Leininger (1985) mengartikan paradigma keperawatan transcultural sebagai cara
pandang, keyakinan, nilai-nilai, konsep-konsep dalam terlaksananya asuhan keperawatan
yang sesuai dengan latar belakang budaya terhadap empat konsep sentral keperawatan
yaitu : manusia, sehat, lingkungan dan keperawatan (Andrew and Boyle, 1995).
1. Manusia
Manusia adalah individu, keluarga atau kelompok yang memiliki nilai-nilai dan
norma-norma yang diyakini dan berguna untuk menetapkan pilihan dan melakukan
pilihan. Menurut Leininger (1984) manusia memiliki kecenderungan untuk

mempertahankan budayanya pada setiap saat dimanapun dia berada (Geiger and
Davidhizar, 1995).
2. Sehat
Kesehatan adalah keseluruhan aktifitas yang dimiliki klien dalam mengisi
kehidupannya, terletak pada rentang sehat sakit. Kesehatan merupakan suatu
keyakinan, nilai, pola kegiatan dalam konteks budaya yang digunakan untuk menjaga
dan memelihara keadaan seimbang/sehat yang dapat diobservasi dalam aktivitas
sehari-hari. Klien dan perawat mempunyai tujuan yang sama yaitu ingin
mempertahankan keadaan sehat dalam rentang sehat-sakit yang adaptif (Andrew and
Boyle, 1995).
3. Lingkungan
Lingkungan didefinisikan sebagai keseluruhan fenomena yang mempengaruhi
perkembangan, kepercayaan dan perilaku klien. Lingkungan dipandang sebagai suatu
totalitas kehidupan dimana klien dengan budayanya saling berinteraksi. Terdapat tiga
bentuk lingkungan yaitu : fisik, sosial dan simbolik. Lingkungan fisik adalah
lingkungan alam atau diciptakan oleh manusia seperti daerah katulistiwa,
pegunungan, pemukiman padat dan iklim seperti rumah di daerah Eskimo yang
hampir tertutup rapat karena tidak pernah ada matahari sepanjang tahun. Lingkungan
sosial adalah keseluruhan struktur sosial yang berhubungan dengan sosialisasi
individu, keluarga atau kelompok ke dalam masyarakat yang lebih luas. Di dalam
lingkungan sosial individu harus mengikuti struktur dan aturan-aturan yang berlaku di
lingkungan tersebut. Lingkungan simbolik adalah keseluruhan bentuk dan simbol
yang menyebabkan individu atau kelompok merasa bersatu seperti musik, seni,
riwayat hidup, bahasa dan atribut yang digunakan.
4. Keperawatan
Asuhan keperawatan adalah suatu proses atau rangkaian kegiatan pada praktik
keperawatan yang diberikan kepada klien sesuai dengan latar belakang budayanya.
Asuhan keperawatan ditujukan memandirikan individu sesuai dengan budaya klien.
D. Karakteristik Suku Batak
Batak adalah suku yang memiliki tradisi yang kuat dalam berprinsip dan
berkeluarga, orang batak selalu peduli. Dibalik setiap sifat yang keras dan suara yang
lantang, sebenarnya suku batak adalah suku yang memiliki segala keunikan. Sifat orang
10

Batak cenderung kasar, temperamental dan untuk sebagian orang kurang santun. Orang
Batak juga cenderung sulit mengontrol emosi dan tak jarang mengeluarkan kata-kata
kasar atau kalau istilah orang Medan cakap kotor. Orang batak itu adalah orang dengan
sikap yang spontan. Jika mereka tidak suka, maka mereka akan berkata secara langsung
walaupun itu menyakitkan untuk didengar. Mereka seperti itu memiliki maksud baik agar
orang yang ditegur tidak melakukan tindakan yang ceroboh atau pun yang tidak
mengenakkan. Mereka juga sering mengeluarkan kritikan pedas tapi bermaksud untuk
membangun bukan untuk menghancurkan karakter seseorang.
Orang Batak juga memiliki banyak sekali kelebihan yang patut mereka
banggakan. Salah satunya adalah sistem kekerabatan yang begitu kuat, kemanapun
mereka pergi selalu ada perkumpulan orang-orang Batak. Tarombo adalah kelebihan lain
dari orang Batak. Tarombo adalah pemikiran hebat dari para raja-raja Batak terdahulu.
Mereka berpikir agar kelak anak cucu dari keturunan-keturunannya tidak putus rantai
persaudaraan dan dapat mengenal serta mengetahui dengan baik dari mana mereka
berasal. Tarombo ini mempunyai silsilah raja-raja pertama sampai sekarang.
Jujur, terus terang, terbuka dan tidak bertele-tele serta berbelit-belit adalah sisi
positif lainnya dari orang Batak. Anak bagi orang Batak adalah kekayaan yang amat
berharga Anakhon hi do hamoran di au. Sifat pekerja keras dan tegar pendirian
diaplikasikan para inang-inang untuk bersusah payah dan jungkir balik agar anakanaknya dapat bersekolah tinggi. Konon etnis Batak adalah etnis dengan tingkat
pendidikan tertinggi. Beberapa sifat orang Batak:
1. Pekerja keras dan pantang menyerah.
Orang batak adalah komunitas yang menganut prinsip kerja keras dalam menjalani
kehidupan. Walaupun sesusah apa kehidupan, mereka akan selalu bekerja keras dalam
memenuhi kebutuhan hidup dan juga keluarga mereka. Rata-rata orang batak yang
dijumpai adalah orang batak dengan sikap pekerja keras dan mereka akan mencoba
terus walaupun mereka sudah gagal. Jadi ini adalah salah satu point plus orang batak.
2. Orang batak adalah orang yang ditanamkan sikap sebagai pemenang
Orang batak sangat memperhatikan sikap ini. Mereka sudah didik dari awal agar
mampu menjadi orang yang memiliki keunggulan walaupun dalam keadaan susah
sama sekali. Tak jarang kita temukan orang batak yang sukses dengan berbagai gelar
yang mereka raih selama hidupnya.
11

3. Orang batak itu adalah orang yang ramah


Sebenarnya orang batak itu adalah orang yang ramah, walaupun gaya berbicaranya
seolah-olah marah., padahal tidak demikian. Jadi, jangan salah tanggapan jika
bertemu dengan orang batak. Mereka adalah orang yang ramah dan menjunjung
tinggi adat istiadat dalam kehidupan mereka.
4. Bersikap tegas adalah kesukaan orang batak
Dibalik dari gaya bicara orang batak yang kasar dalam penyampaiannya, tapi mereka
itu suka bersikap tegas. Mereka tidak ingin bertele-tele dalam menjawab atau
memberikan penjelasan. Jika bertele-tele dan tidak tegas, maka mereka akan marah.
5. Tidak ingin menyia-nyiakan usaha yang sudah dilakukan.
Mulai dari dulu hingga saat ini masih dipegang teguh. Mereka mencoba memberikan
yang terbaik bagi orang lain dan terutama bagi kedua orang tua yang sudah
membesarkan mereka.
Penelitian antropologi memperlihatkan bahwa masyarakat Batak bersifat religius.
Artinya, seluruh unsur kebudayaannya dipengaruhi dan dibentuk oleh keyakinan
religi leluhur. Religi yang dimaksud adalah agama Batak atau Hasipelebeguon.
Segala upacara adat didasarkan atas ide, gagasan, nilai, paradigma, ajaran dan kuasa
dari roh sembahan leluhur. Jadi, upacara adat bukan sekedar tradisi leluhur,
melainkan rangkaian ritual agama Batak yang diajarkan kepada keturunannya.
E. Sejarah
Batak merupakan satu istilah yang digunakan untuk kumpulan suku yang terdapat
di daratan tertinggi di Sumatera Utara. Suku Batak berasal dari keturunan Raja Batak.
Suku Batak termasuk suku bangsa melayu tua yang berasal dari Indocina atau Hindia
belakang, nenek moyang orang Batak berasal dari utara berpindah ke Filipina dan
berpindah lagi ke Sulawesi Selatan, berlayar hingga akhirnya menetap di pelabuhan
Barus, kemudian bergeser ke pedalaman dan menetap di kaki gunung pusuk buhit, di tepi
pulau samosir, tempat asal usul peradaban suku Batak.
Keturunan suku Batak berasal dari Hindia muka (India), pindah ke Burma,
kemudian ke tanah genting Kera di Utara Malaysia. Berlayar sampai ke tanjung balai
batubara dan di pangkalan brandan atau kuala simpang di Aceh dari sana naik ke
pedalaman danau Toba. Suku Batak termasuk dalam rumpun proto-melayu yang berasal
12

dari Asia selatan yakni dari Burmayang berlayar sampai Malaysia, menyeberang dan
menghuni daerah sekitar danau Toba.
F. Lokasi
Sebagian besar dari suku Batak mendiami daerah pegunungan Sumatera Utara,
mulai dari perbatasan dengan D.I. Aceh sampai ke perbatasan dengan Riau dan Sumatera
Barat. Suku Batak juga mendiami tanah datar antara daerah pegunungan dengan pantai
Timur Sumatera Utara dan Pantai Barat di Sumatera Utara. Dengan demikian, maka suku
Batak itu mendiami daerah Dataran Tinggi Karo, Langkah Hulu, Deli Hulu, Serdang
Hulu, Simalungun, Dairi, Toba, Humbang, Silindung, Angkola, Mandailing dan
Kabupaten Tapanuli Tengah.
Suku Batak terdiri dari sub suku-suku bangsa Batak yang lebih khusus, yaitu Suku
Batak:
1. Karo, mereka mendiami daerah dataran tinggi Karo, Langka Hulu, Deli Hulu dan
sebagian dari Dairi.
2. Simangulun, mereka mendiami daerah induk Simulungun.
3. Pakpak, mereka mendiami induk Dairi.
4. Toba, mereka mendiami daerah induk tepi danau Toba, Pulau Samosir, dataran tinggi
Toba, daerah Asahan, Silindung, daerah antara Barus dan Sibolga serta daerah
pegunungan, Pahae dan Habinsaran.
5. Angkola : mereka mendiami daerah induk Angkola dan Sipirok, sebagian dari
Sibolga dan Batang Toru serta bagian Utara dari Padang Lawas.
6. Mandaling : mereka mendiami daerah induk Mandailing, Ulu, Pakatah dari Padang
Lawas.
G. Suku Batak Toba
Suku Batak Toba merupakan sub atau bagian dari suku bangsa Batak. Suku
Batak Toba meliputi Kabupaten

Toba

Samosir, Kabupaten

Humbang

Hasundutan, Kabupaten Samosir, Kabupaten Tapanuli Utara, sebagian Kabupaten


Dairi, Kabupaten Tapanuli Tengah, Kota Sibolga dan sekitarnya.
Batak Toba adalah sub atau bagian dari suku Batak yang wilayahnya meliputi
Balige, Porsea, Parsoburan, Laguboti, Ajibata, Uluan, Borbor, Lumban Julu dan
sekitarnya. Silindung, Samosir, dan Humbang bukanlah Toba. Karena sub atau bagian
13

bangsa Batak tersebut memiliki wilayah dan contoh marga yang berbeda. Sonak Malela
yang mempunyai tiga orang putra dan menurunkan empat marga, yaitu Simangunsong,
Marpaung, Napitupulu dan Pardede, merupakan dan (nairasaon) yang terdiri dari Sitorus,
Sirait, Butar-butar, Manurung ini merupakan beberapa marga dari Batak Toba. Marga
atau nama keluarga adalah bagian nama yang merupakan pertanda dari keluarga mana ia
berasal. Orang batak selalu memiliki nama marga/keluarga. Nama/marga ini diperoleh
dari garis keturunan ayah (patrilinear) yang selanjutnya akan diteruskan kepada
keturunannya secara terus menerus.
H. Kultural Batak Toba
Batak Toba adalah suatu kesatuan kultural. Batak Toba tidak mesti tinggal
diwilayah geografis Toba, meski asal-muasal adalah Toba. Sebagaimana suku-suku
bangsa lain, suku bangsa Batak Tobapun bermigrasi kedaerah-daerah yang lebih
menjanjikan penghidupan yang labih baik. Contoh, mayoritas penduduk asli Silindung
adalah marga-marga Hutabarat, Panggabean, Simorangkir, Hutagalung, Hutapea dan
Lumbantobing. Padahal ke-enam marga tersebut adalah turunan Guru Mangaloksa yang
adalah salah- seorang anak Raja Hasibuan diwilayah Toba. Demikian pula marga
Nasution yang kebanyakan tinggal wilayah Padangsidimpuan adalah saudara marga
Siahaan di Balige, tentu kedua marga ini adalah turunan leluhur yang sama. Batak Toba
sebagai kesatuan kultural pasti dapat menyebar ke berbagai penjuru melintasi batas-batas
geografis asal leluhurnya, si Raja Batak yakni wilayah Toba yang secara spesifik ialah
Desa Sianjur Mulamula terletak di lereng Gunung Pusuk Buhit, kira-kira 45 menit
berkendara dari Pangururan, Ibukota Kabupaten Samosir, sekarang.
Orang Batak mengenal sistem gotong-royong kuno dalam hal bercocok tanam.
Dalam bahasa Toba aktivitas ini disebut Marsiurupan. Sekelompok orang tetangga atau
kerabat dekat bersama-sama mengerjakan tanah dan masing-masing anggota secara
bergiliran. Kebudayan Batak Toba terkenal dengan Tarian Tortor, Wisata danau toba,
wisata megalitik (kubur batu), legenda (cerita rakyat), adat budaya yang bernilai tinggi
dan kuliner.
Rumah Adat Batak Toba Sumatera Utara disebut Rumah Bolon, yang memiliki
bangunan empat persegi panjang yang kadang-kadang ditempati oleh 5 sampai 6
14

keluarga. Memasuki Rumah Bolon ini harus menaiki tangga yang terletak di tengahtengah rumah, dengan jumlah anak tangga yang ganjil. Bila orang hendak masuk rumah
tersebut, harus menundukkan kepala agar tidak terbentur pada balok yang melintang.
Rumah Adat Batak Toba Sumatera Utara, Hal ini diartikan tamu harus menghormati si
pemilik rumah.
Kehidupan masyarakat batak adalah kehidupan yang sangat menjujunjung
tinggi adatnya. Bahkan sebelum lahir ke dunia pun sudah melakoni adat sampai seorang
Batak tersebut meninggal dan menjadi tulang belulang masih ada serangkian adat, bukan
rumit tapi adat batak menunjukkan bahwa DALIHAN NATOLU yang didalamnya adalah
somba marhula - hula, Elek marboru, Manat mardongan tubu dan selalu terlihat pada saat
perayaan serta syukuran dan adat yang digunakan sebagai penanda didalamnya.
Suku Batak memiliki adat budaya yang baku yang disebut Dalihan Na
Tolu yang dapat menembus sekat-sekat agama/kepercayaan mereka yang dapat berbedabeda. Adat budaya Batak ini memiliki tujuh nilai inti yaitu kekerabatan, agama,
hagabeon, hamoraan, uhum dan ugari, pangayoman, dan marsisarian. Nilai kekerabatan
atau keakraban berada di tempat paling utama dari tujuh nilai inti budaya utama
masyarakat batak. Nilai budaya hagabeon bermakna harapan panjang umur, beranak,
bercucu yang banyak, dan baik-baik. Nilai hamoraan (kehormatan) terletak pada
keseimbangan aspek spiritual dan material yang ada pada diri seseorang. Nilai uhum
(law) mutlak untuk ditegakan dan pengakuaanya tercermin pada kesungguhan dalam
penerapannya dalam menegakan keadilan. Nilai suatu keadilan itu ditentukan dari
ketaatan pada ugari (habit) serta setia dengan padan (janji). Pengayoman (perlindungan)
wajib diberikan terhadap lingkungan masyarakat. Marsisarian artinya saling mengerti,
menghargai, dan saling membantu.
Beberapa macam Adat Batak Toba :
a. Upacara Adat Mangirdak atau mangganje/mambosuri boru (adat tujuh bulanan)
b. Upacara Adat Mangharoan
Upacara adat mangharoan adalah upacara adat yang dilaksanakan setelah dua
minggu kelahiran bayi untuk menyambut kedatangan bayi dalam keluarga
tersebut.
c. Upacara Adat Martutu aek
15

Adat pemberian nama kepada bayi , namun pada saat ini sudah jarang dilakukan
kepada bayi karena dianggap tidak sesuai dengan ajaran agama
d. Upacara Adat Marhajabuan
Upacara adat pernikahan sesuai dengan adat Batak Toba, Marhajabuan (berumag
tangga). Jenis-jenis upacara pernikahan adat batak :
1. Patiur baba ni mual (permisi dan mohon doa restu tulang)
2. Marhori hori dingding (perkenalan keluarga secara tertutup)
3. Marhusip (perundingan diam diam & patua dan hata (melamar secara
resmi
4. Martompul
5. Martonggo raja dan maria raja (pesta pertunangan)
e. Upacara Adat Manulangi
Upacar adat yang diberikan kepada orang tua yang lanjut usianya dengan
menyuapi/menyulangkan makanan kesukaan oleh anak dan cucunya.
f. Upacara adat Hamatean
Ketika seseorang batak meninggal disesuaikan dengan adat batak toba apakah adat
yang akan dibuat jika seseorang meninggal sebagai sari matua , saur matua,
maulibulung.
g. Upacara adat mangongkal holik
Upacara adat penggalian tulang belulang orang tua yang telah meninggal untuk
dimasukkan kedalam tugu ( monument yang lebih bagus dari sebelumnya unuk
menghormati orang yang sudah meninggal ).

16

BAB III
PEMBAHASAN

A. Kitab Pengobatan Masyarakat Batak Toba


Kitab Pengobatan Batak Toba ini pada dasarnya adalah Kitab Pengobatan yang
berisikan tentang bagaimana agar manusia itu khususnya Masyarakat Batak Toba bisa hidup
sehat. Pengobatan dalam Kitab ini merupakan warisan budaya spiritual nenek moyang Batak
Toba yang sampai sekarang masih dilaksanakan oleh sebagian Masyarakat Batak Toba.

Gambar 4.1 Kitab Pengobatan Batak


17

Adapun jenis pengobatan yang ada dalam Kitab Pengobatan Batak Toba adalah
Dappol Siburuk, Pengobatan Anak Mulai Dikandungan Sampai Lahir, Pengobatan Ibu
Setelah Melahirkan, Pengobatan Mata, Mencari Kesuksesan (kharisma, wibawa dan
kesehatan), Twar Mula Jadi, dan Upacara Ritual dalam pengobatan. Dari uraian diatas dapat
dinyatakan bahwa Si Raja Batak tidak menginginkan manusia khususnya Orang Batak Toba
sakit, dan jika manusia sakit Si Raja Batak Tidak mengijinkan mereka berobat kedokter.
Ibrahim Gultom (2010) menyebutkan upacara ritual dalam pengobatan merupakan pedoman
perilaku yang dianut oleh agama malim, seperti : Marari Sabtu, Martutu Aek, Upacara
Pasahat Tondi, Upacara Mardebata, Upacara Mangan Na Paet, Upacara Sipaha Sada,
Upacara Sipaha Lima, Upacara Mamasu-masu, dan Upacara Manganggiri. Menurut Hughes
(Fosterr/Anderson, 2009 : 6) hal pengobatan tradisiona Batak Toba ini merupakan
etnomedisin, yaitu kepercayaan dan praktek-praktek yang berkenaan dengan penyakit, yang
merupakan hasil dari perkembangan kebudayaan asli dan yang eksplisit tidak berasal dari
kerangka konseptual.

Gambar 4.2 Ritual Pengobatan


1. Tata cara Marari sabtu adalah sabagai berikut:
a. Menyiapkan air penyucian (aek pangurason) yang diambil terlebih dahulu dari
sumber air sebelum ada orang lain mengambil air dari sana dimasukkan kedalam
mangkuk putih serta dan mempersiapkan alat pembakaran dupa dan peralatan
lainnya.
b. Jeruk purut dibelah dengan beralaskan kain putih bersih dan airnya dicampur dengan
air yang sudah disiapkan dalam mangkuk putih dan bane-bane (daun) dimasukkan
18

kedalam cangkir yang berisi air tersebut. Daun tersebut akan digunakan mamippis
(memercikkan) air tersebut kepada semua peserta upacara.
c. Pada pukul 10.30 wib upacara dimulai. Ulu punguan (pemimpin upacara) memasuki
ruangan parsantian (tempat melakukan upacara) dan diikuti oleh seluruh peserta
upacara dan duduk bersila secara tertib dan rapi. Air dalam mangkuk putih harus
sudah ada dalam Parsantian diatas tikar (lage tiar) yang berlapis tiga.
d. Peserta upacara memfokuskan pikiran (berkonsentrasi) untuk mengikuti ritus demi
ritus dalam upacara.
e. Ulu punguan memercikkan air dalam cangkir kepada seluruh peserta upacara dengan
maksud untuk membersihkan peserta dari dosa sebelum upacara dimulai.
f. Setelah semua tertib, Ulu Punguan melafalkan tonggo-tonggo (Doa-doa) sedangkan
peserta menyimaknya.
g. Kemudian Ulu Punguan memaparkan isi patik dengan menghadap kepada peserta
(layaknaya orang yang berceramah).
h. Setelah itu dilakukan siraman ruhani yang diawali oleh satu atan dua orang dari
peserta dan kemudian disimpulkan (panippuli) oleh Ulu Punguan. Upacara ritus
diakhiri dengan memercikkan air kepada seluruh peserta upacara oleh Ulu Punguan
(pemimpin upacara). Menurut Sito Situmorang (2009:338) tata cara Marari Sabtu
ini merupakan sakramen penyucian diri.
Upacara Marari Sabtu dilakukan dengan tujuan unutk menyucikan diri dari dosadosa terlebih dosa yang dilakukan dalam seminggu yang baru dilewati dan untuk
membersihkan diri dari segala penyakit. Dengan kata lain untuk menyempurnakan batin.
Menurut Wongso Negoro (Ilyas dan Imam, 1988:11) kebaktian adalah bentuk kebaktian
kepada Tuhan Yang Maha Esa menuju tercapainya budi luhur dan kesempurnaan hidup.
Disisi lain Ilyas dan Imam (1988:11) mengatakan bahwa penganut kepercayaan
merupakan paham yang bersifat dogmatis yang terjalin dalam adat-istiadat hidup seharihari dan berbagai suku bangsa yang adat nenek moyang.
Dalam Kitab Pengobatan pada Batak Toba disebutkan bahwa pengobatan kerap
melibatkan roh-roh nenek moyang. Seperti dalam pengobatan terhadap orang yang sakit
akibat diguna-gunai oleh orang lain atau pun disebabkan mahluk halus (parjahat). Untuk
mengobati orang yang seperti itu tidak jarang seorang Namalo (dukun) yang dipercaya
mengobati melakukan semedi dengan maksud untuk menemukan jalan keluar dan
penyembuhan dari roh nenek moyang, dalam hal seperti ini roh yang yakini bisa
19

membantu adalah Debata Mula Jadi Na Bolon, Si Raja Batak, dan roh nenek moyang lain
yang diakui mampu membantu permasalahan manusia.
Dalam pengobatan tradisional batak tidak selamanya menggunakan tumbuhan.
Ada juga menggunakan makanan dan budaya ritual dalam pengobatan Batak Toba, Suku
Batak selalu menggunakan Anggir dan Daun Sirih dari seluruh kegiatan pengobatan dan
budaya ritual. Pengobatan dengan budaya ritual penyucian biasa dilakukan dengan
memandikan para pasien ke dalam air yang mengalir dengan menggunakan Anggir dan
tumbuhan lain yang sifatnya bertujuan membuang penyakit dari tubuh si penderita.
Biasanya setelah selesai dimandikan setibanya dirumah akan diberikan makanan berupa
Ayam bagi laki-laki dan Ikan bagi para wanita dengan tujuan agar roh para penderita
menyatu dengan badan. Sebab manusia yang sakit biasanya karena rohnya tidak berada di
dalam jasad.
Dalam Ilmu Perlindungan biasanya orang mencintainya dengan tujuan agar
manusia tersebut jauh dari mara bahaya dan sekaligus membangunkan roh-roh kekuatan
yang ada pada tubuhnya. Dalam memberikan ilmu pelindung ini biasanya sipenerima
dibersihkan dan dibungkus dengan kain 3 warna, merah, putih, hitam dengan harapan
merah kekuatan, putih kesucian dan hitam kebijakan berdiam dan bangkit dalam dirinya
dan darahnya, sambil air jatuh di kepala si penerima dan si pemberi mengucapkan mantra
(Doa) memohon untuk ilmu perlindungan tersebut.
2. Proses pengobatan dan perlindungan:
a. Proses Penyucian : Dalam proses ini si Pasien dimandikan dengan Anggir (Jeruk
Purut) dan daun sirih agar bersih dari segala jenis kotoran, baik dalam badan maupun
batin dan darah.
b. Proses membangkitkan aura atau kekuatan darah : Dalam proses ini segala energi
organ tubuh dibangkitkan dengan cara berdoa dan mengisi kesaktian.
c. Proses memberi perlindungan : Dalam proses ini si Pasien di bungkus dengan kain
tiga warna (merah, putih, dan hitam) dengan tujuan agar si pasien tersebut terbungkus
dalam Hulambu Jati kebijakan, keimanan, dan keluhan, sebab manusia yang
terbungkus segala niat jahat terhadap manusia tersebut tidak akan kesampaian lagi.
d. Proses Pengukuhan I : Dalam proses ini si pasien diberi makan sesajen berupa :
Ayam, Anggir, Air Putih dan Nasi Putih. Sesajen ini diberikan dengan tujuan agar

20

badan dan roh menyatu bersama kekuatan benua atas, bawah dan tengah menyatu
dengan diri sendiri.
e. Proses Pengukuhan II : Dalam proses ini si pasien di mandikan ke dalam air Pacsur
(Pancuran) atau air terjun dengan tujuan tahap penyatuan kekuatan benua atas, tengah
dan bawah.
Pengobatan yang dilakukan dengan menggunakan benda-benda Pusaka yang
dinilai dengan cara petunjuk beserta legenda, pusaka-pusaka ini sangat erat hubungannya
dalam kehidupan sehari-hari pada masa lampau sesuai dengan maksud dan tujuan
masing-masing Pusaka tersebut. Benda-benda Pusaka tersebut adalah:
a. Solam Mulajadi atau Pisau Mulajadi, yaitu pisau yang dibawa Debata Asi-asi dari
banua ginjang (Benua atas). Pisau ini adalah himpunan seluruh pengetahuan orang
batak, sebab pisau ini berisi aksara batak 19+7 pengetahuan.
b. Piso Sipitu Sasarung, yaitu pisau yang mana dalam 1 sarung terdapat 7 buah pisau di
dalamnya yang melambangkan tujuh kekuatan yang dibawa oleh Putri Kayangan dari
Banua Ginjang untuk bekal hidup Siraja Batak yang baru.
c. Piso Silima Sasarung, yaitu pisau yang dalam satu sarung tetapi di dalamnya ada lima
buah mata pisau. Di dalam pisau ini berisikan kehidupan manusia, dimana menurut
Orang Batak manusia lahir kedunia ini mempunyai empat roh kelima badan (wujud).
Maka dalam ilmu meditasi untuk mendekatkan diri kepada Mulajadi Nabolon (Tuhan
Yang Maha Esa) harus lebih dulu menyatukan 4 roh kelima badan.
d. Piso Sitolu Sasarung: adalah pisau yang mana dalam satu sarung ada tiga buah mata
pisau. Pisau ini melambangkan kehidupan orang batak yang menyatu tiga benua.
e. Piso Siseat Anggir : Piso ini biasa digunakan pada saat membuat obat atau ilmu. Piso
ini bertujuan hanya untuk memotong Anggir (Jeruk Purut).
f. Sunggul Sohuturon : Sunggul Sohuturon ini terbuat dari rotan yang di anyam
berbentuk keranjang sunggul ini bertujuan untuk memanggil roh manusia yang lari
atau roh yang diambil oleh keramat.
g. Pukkor Anggir : Pukkor Anggir ini digunakan untuk menusuk Anggir dan
mendoakannya pada saat menusuk sebelum Anggir tersebut di potong.
h. Tutu : Tutu ini bertujuan untuk menggiling ramuan-ramuan obat yang hendak
digunakan pada orang sakit.
i. Sahang : Sahang ini adalah yang terbuat dari Gading Gajah dan digunakan sebagai
tempat obat yang mampu mengobati segala jenis penyakit manusia, Gupak :

21

digunakan memotong obat yang jenisnya keras seperti akar-akaran, kayu-kayuan dan
lain-lain.
j. Tukkot Tunggal Panaluan yang merupakan Tongkat Sakti Si Raja Batak yang diukir
dari kejadian yang sebenarnya, yang merupakan kesatuan kesaktian benua atas, benua
tengah dan benua bawah.
k. Piso Tobbuk Lada yaitu Pisau Kecil yang biasa digunakan untuk memotong dan
mengiris ramuan obat.
l. Tukkot Sitonggo Mual yaitu Tongkat sakti Siraja Batak yang mana pada zaman dulu
dalam perjalanan apabila air tidak ada jika tongkat ini ditancapkan ke tanah maka
mata air akan keluar.
m. Piso Solam Debata, Piso Gaja Doppak yang berfungsi untuk meluruskan ritual agar
diterima oleh roh nenek moyang yang akan dipanggil.
Analisis tentang pengobatan dalam Kitab Pengobatan Batak Toba harus memperhatikan
ungkapan-ungkapan tradisional Batak Toba yang sering digunakan dalam upacara ritual.
Ungkapan (mantra) spiritual dalam prosesi pengobatan sering diwujudkan dalam bentuk teksteks yang khas, mantra-mantra, serta doa-doa yang dirangkai oleh nenek moyang Orang Batak
terdahulu. Rangkaian kata-kata yang bersifat magis, sakral, dan suci yang diucapkan dalam
upacara penyembuhan dimaksudkan untuk menemukan makna dan hasil yang memuaskan.
Sebagaimana yang dipungkapkan oleh Rad-Cliffe Brown (Kuper, 1996 : 47-61) dalam hal
analisis spiritual harus sampai pada makna dan tujuan. Dengan cara ini maka akan terungkap lah
makna dan fungsi ritual pengobatan yang dilaksanakan yang berkaitan dengan kebutuhan dasar
semua masyarakatyang disebut coaptation. Lebih lanjut ilmuwan ini juga mengatakan bahwa
sistem budaya dapat dipandang memiliki kebutuhan sosial.
Menyangkut jiwa dan roh, suku Batak Toba mengenal tiga konsep, yaitu:
1

Tondi : adalah jiwa atau roh seseorang yang merupakan kekuatan, oleh karena itu tondi
memberi nyawa kepada manusia. Tondi di dapat sejak seseorang di dalam kandungan.
Bila tondi meninggalkan badan seseorang, maka orang tersebut akan sakit atau
meninggal, maka diadakan upacara mangalap (menjemput) tondi dari sombaon yang
menawannya.

Sahala : adalah jiwa atau roh kekuatan yang dimiliki seseorang. Semua orang memiliki
tondi, tetapi tidak semua orang memiliki sahala. Sahala sama dengan sumanta, tuah atau
kesaktian yang dimiliki para raja atau hula-hula.

22

Begu : adalah tondi orang telah meninggal, yang tingkah lakunya sama dengan tingkah
laku manusia, hanya muncul pada waktu malam.

B. Implikasi Terhadap Kesehatan


Kebudayaan mempunyai pengaruh yang sangat besar dala perkembangan ilmu
kesehatan. Pengaruh tersebut dapat bersifat positif ataupun negatif. Pengaruh tersebut dapat
berupa tradisi, nilai dan norma yang dianut, fatalistis dan sikap etnosentris. Sebagai tenaga
kesehatan, kita harus mampu menjembatani celah antara budaya dan pengaruhnya terhadap
kesehatan tanpa menyinggung dan menyalahkan nilai dan norma yang mereka anut. Oleh
karena itu, kita harus bisa menggali sisi positif dan negatif budaya terhadap kesehatan secara
eksplisit dengan mengunakan pendekatan secara etnografi dan memberikan alternatif pilihan
lain yang tidak membuat budaya yang dianut pasien menjadi terdiskriminasi tetapi juga dapat
sekaligus meningkatkan status kesehatan pasien.
Berikut ada beberapa kajian terkait dengan upacara pengobatan yang dilakukan oleh
masyarakat Batak Toba.
1

Marari Sabtu
Dalam ritual ini menggunakan air putih yang berasal dari sumber mata air murni
yang belum pernah dipakai. Air putih yang berasal dari sumber alami ini memang
memberikan manfaat bagi kesehatan pasien karena belum terkontaminasi dengan zat lain
yag bersifat toksik bagi pasien. Penggunaan air dalam pengobatan kontemporer ini
memang sudah lazim dilakukan tidak hanya di masyarakat BAtak Toba saja. Air
dipercaya dapat menghantarkan doa-doa yang dipanjatkan untuk kesembuhan pasien. Air
putih ternyata memiliki senyawa dan dapat berubah. Salah satu peneliti dari Universitas
Yokohama Jepang, Masaru Emoto yang menemukan beberapa perilaku air. Dalam
penelitian tersebut Masaru Emoto mengambil beberapa sampel air. Air A diberi perkataan
yang baik-baik, misalnya Arigato. Kemudian sampel air B diberi perkataan yang
negatif, misalnya setan. Kemudian air tersebut didinginkan hingga -50 0C, kemudian
dipotret dengan kecepatan tinggi melalui mikroskop elektron. Air yang diberikan
perlakuan perkataan, bahkan bisa merespon bentuk tulisan. Air yang diberikan
perlakuankata, doa, tulisan positif tersebut membentuk Kristal yang cantik, sebaliknya air
yang diberi perlakuan perkataan yang buruk tidak membentuk Kristal. Menariknya ketika

23

air tersebut diputarkansebuah lagu Symphony Mozart seketika berubah berbunga-bunga


dan air putih tesebut menjadi hancur ketika diperdengarkan lagu metal. Saat air tersebut
dibacakan kata/kalimat yang bagus membentukkristal kembali, beda lagi saat air tersebut
dibacakan doa ayat-ayat Al-Quran membentuk Kristal yang bersinar dan memancar
berpendar. Inilah mengapa para Kyai selalu menggunakan media air putih sebagai
penyembuhan penyakit dalam pengobatan kontemporer Agama Islam.
Bahan lain yang digunakan dalam ritual marari sabtu ini adalah jeruk purut. Jeruk
purut dibelah dengan beralaskan kain putih bersih dan airnya dicampur dengan air yang
sudah disiapkan dalam mangkuk putih dan bane-bane (daun) dimasukkan kedalam
cangkir yang berisi air tersebut. Daun tersebut akan digunakan mamippis (memercikkan)
air tersebut kepada semua peserta upacara. Ditinjau dari segi kesehatan sebetulnya hal ini
tidak akan berdampak apapun. Hassan, Geethalakshmi, Jeeva, dan Babu (2013) dalam
penelitiannya berjudul Combined effect of lime (citrus aurantitolia) and drying on
reducing bacteria of public health significance in edible oyster (crassostrea
madrasensis) menemukan kegunaan air jeruk purut yang dipotong secara horizontal
dengan pisau steril kemudian digunakan untuk merendam oister selama 2 jam dapat
mengurangi jumlah bakteri yang terdapat dalam oister. Penemuan ini juga diperkuat oleh
penelitian sejenis yang dilakuan oleh Mathur & Schaffner (2013) Effect of lime juice on
vibrio parahaemolyticus and salmonella enterica inactivation during the preparation of
the raw fish dish ceviche menemukan bahwa rendaman air jeruk purut selama 10 menit
dapat secara signifikan menurunkan jumlah Vibrio parahaemolyticus dan mengurangi
jumlah Salmonella enterica yang terdapat dalam ikan. Oleh karena itu, air jeruk purut
tidak akan berdampak apapun terhadap kesehatan jika hanya dicampurkan dengan air
kemudian dicipratkan kepada pasien karena beberapa penelitian tadi telah membahas
bagaimana mendapatkan keuntungan dari air jeruk purut yaitu dengan melakukan
perendaman menggunakan air jeruk nipis tanpa dicampur apapun selama minimal 10
menit.
Pengunaan air jeruk purut ini memang dianjurkan hanya untuk diluar tubuh saja.
Karena mengkonsumsi air jeruk purut apalagi dalam waktu yang lama lebih dari 24 hari
akan berdampak pada kesehatan. Salawu, A., Osinubi, A., Dosumu, O., Kusemiju, T.O.,
Noronha, C.C., & Okanlawon, A.O. (2010) telah membuktikan efek jerut purut terhadap
kesehatan dalam penelitiannya yang berjudul Effect Of The Juice of Lime (Citrus
24

Aurantifolia) on Estrous Cycle and Ovulation of Sprague-Dawley Rats bahwa jeruk


purut yang dikonsumsi secara rutin selama 24 hari dapat menyebabkan siklus ovarium
ireguler, memblok secara parsial proses ovulasi dan dapat menyebabkan kemandulan. Air
jeruk purut juga dapat menghambat efek warfarin sebagai antikoagulan (Adepoju &
Adeyemi, 2010). Meskipun penelitian ini dilakukan terhadap tikus, tapi besar
kemungkinan efeknya akan sama terhadap manusia. Oleh karena itu air jeruk purut tidak
dianjurkan digunakan sebagai pengobatan komplementer jika diberikan untuk pengobatan
2

internal dalam tubuh.


Proses pengobatan dan perlindungan
Ritual ini adalah untuk mensucikan tubuh pasien dari dosa. Pelaksanaan ritual ini
dengan memandikan pasien dibawah air pancuran ditambah dengan anggir (air jeruk
purut) dan daun sirih. Hal yang disoroti dalam ritual pengobatan dan perlindungan ini
adalah penggunaan daun sirih. Pin, Chuah, Rashih, Mazura, Fadzureena, Vimala, &
Rasadah (2010) dalam penelitiannya yang berjudul Antioxidant and Anti-Inflammatory
Activities of Extracts of Betel Leaves (Piper Betle) from Solvents with Different
Polarities menemukan bahwa daun sirih yang diesktraksi dengan cara direbus di air
dalam suhu 500 C selama satu jam dengan perbandingan 1 gram daun sirih dan 30 ml air
dapat mengaktifkan kandungan yang terdapat dalam daun sirih yaitu hydroxychavicol
and eugenol yang dapat berfungsi sebagai anti oksidan dan anti inflamasi. Oleh karena itu
proses siraman yang hanya menggunakan daun sirih tanpa melewati proses ekstraksi
tidak dapat memberikan manfaat terhadap kesehatan karena kandungan yang terdapat
dalam daun sirih tidak dapat teraktivasi. Hal ini juga diperkuat oleh penelitian yang
dilakukan Vengaiah & Changamma (2015) yang berjudul Histomorphological
evaluation of reproductive organs following piper betel (linn.) leaf stalk extract
administration in male albino rats bahwa daun sirih yang telah diesktraksi dan
dikonsumsi secara terus menerus dapat menyebabkan penurunan fungsi organ reproduksi
dan secara histologis menyebabkan kerusakan sel-sel organ reproduksi. Selain itu juga
dapat menyebabkan kerusakan pada hepar dan fibrosis (Young, Wang, Lin, Peng, Hsu, &
Chou 2007).
Daun sirih sebenarnya bisa dijadikan bahan untuk pengobatan komplementer jika
pengolahannya dilakukan secara benar, salah satu contohnya adalah seperti yang
dikemukakan oleh Chang, Uang, Tsai, Wu, Lin, Lee, . . . Jeng (2007) dalam penelitiannya
25

yang berjudul Hydroxychavicol, a novel betel leaf component, inhibits platelet


aggregation by suppression of cyclooxygenase, thromboxane production and calcium
mobilization menyatakan bahwa kandungan hydroxychavicol dalam ekstrak daun sirih
bisa digunakan untuk pencegahan dan pengobatan arterosklerosis dan penyakit
kardiovaskular lainnya karena mempunyai kemampuan sebagai anti platelet sehingga
dapat menghancurkan platelet yang menyumbat pada pembuluh darah tanpa
menimbulkan efek terhadap fungsi homeostatis.
Hal yang disayangkan dalam pelaksanaan ritual ini adalah penggunaan air jeruk
purut dan ekstrak daun sirih dalam waktu yang bersamaan,

sebetulnya akan

menimbulkan reaksi yang bertolak belakang. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya


bahwa salah satu fungsi dari air jeruk perut adalah sebagai penghambat efek antikoagulan
dari obat warfarin sementara ekstrak daun sirih dapat berfungsi sebagai anti platelet
(antikoagulan). Hal ini perlu menjadi perhatian dan penjelasan yang terperinci dari
petugas kesehatan sehingga pengobatan yang bersifat kontemporer benar-benar
memberikan efek yang baik terhadap kesehatan sejalan dengan perkembangan ilmu dan

teknologi dibisang kesehatan.


Makanan yang dianjurkan saat ritual
Suku Batak Toba mempercayai bahwa pasien yang telah menjalani siraman harus
diberikan sesajen berupa ayam bagi laki-laki dan ikan bagi para wanita yang bertujuan
badan dan roh menyatu bersama kekuatan benua atas, bawah dan tengah dan menyatu
dengan diri sendiri. Jika ditinjau dari segi ilmu kesehatan, ayam dan ikan merupakan
sumber protein hewani yang berfungsi sebagai zat pembangun, memperbaiki sel-sel yang
rusak serta membentuk antibodi yang berperan sebagai sistem imunitas dalam melawan
kuman patogen yang menyebabkan penyakit. Pemberian makanan ini memang dianjurkan
untuk orang yang sakit. Tetapi, dalam pelaksanaannya bukan hanya ayam dan ikan yang
diberikan kepada pasien melainkan ditambah dengan jeruk purut. Dan hal inilah yang
harus dihindari mengingat konsumsi jeruk purut yang berlebih dan secara rutin dalam
jangka waktu yang lama dapat menimbulkan efek negatif bagi tubuh.
Jika dianalisis lebih lanjut, ritual-ritual yang selama ini dilakukan dan kemudian

memberikan dampak yang baik kepada pasiennya bukan semata-mata berasal dari proses
pelaksanaannya yang memberikan dampak positif terhadap kesehatan, melainkan lebih karena

26

faktor keyakinan (berfikir positif) yang terdapat dalam diri pasien tersebut. Beberapa penelitian
tentang berfikir positif :
1 Penelitian Goodhart
Penelitian yang dilakukan oleh Goodhart pada tahun 1985 terhadap 173 mahasiswa
sebagai sampel. Dia menemukan bahwa fakta berfikir positif memiliki hubungan yang
signifikan terhadap kondisi psikologis positif dan tidak berhubungan dengan efek negatif.
Goodhart menambahkan berfikir positif merupakan cara untuk mengatasi stres. Kemudian
penelitian Goodhart terhadap pria kelas eksekutif yang memiliki perbedaan dalam
memandang rasa stress, menemukan bahwa eksekutif yang memandang stresor sebagai
tantangan akan menganggapnya sebagai peluang untuk bisa tumbuh serta berkembang
hingga berdampak memiliki kesehatan fisik yang jauh lebih baik daripada mereka para pria
2

eksekutif yang memandang stresor seperti ancaman.


Penelitian Chaerani
Penelitian yang dilakukan oleh Chaerani pada tahun 1995 menemukan bahwa
berfikiran positif juga memiliki hubungan dengan psikologi positif. Penelitian yang
dilakukan terhadap 120 remaja di SMA 1 Cirebon tersebut mengungkapkan bahwa ada
hubungan yang sangat signifikan antara fakta berfikir positif dan harga diri seseorang dengan
daya tahannya menghadapi stres. Analisis terhadap data yang didapat menunjukan pengaruh

berfikir positif terhadap daya tahan menghadapi stres senilai 15%.


Penelitian Kazuo Murakami
Penelitian yang dilakukan oleh Kazuo Murakami, seorang Ph.D ahli genetika dan juga
seorang penulis buku The Divine Message of the DNA. Kazoo menemukan suatu
keajaiban dari DNA yang mana DNA tidak hanya sekedar kumpulan basa-basa purin yang
didalamnya terdapat kode genetic mahluk hidup. Saat ini, karakteristik dari genetic yang
sejauh ini dianggap memiliki sifat tetap dan pasti, didalam penelitiannya kazao
memperkenalkan konsep on/off gen tersebut yang dipengaruhi oleh fikiran kita. Sehingga
istilah you are what you think itu memang berasal dari sebuah penelitian.
Merujuk dari beberapa penelitian diatas, tidak jarang hanya karena keyakinan
untuk sembuh, maka pasien pun mendapat kesembuhannya. Hal ini juga diperkuat oleh
sebuah teori psikoneuroimunologi yang merupakan kajian yang mendalami hubungan antara
psikologi, neurologi, endokrinologi, dan imunologi (Kubo & Chiba, 2006).

Istilah

psikoneuroimunologi pertama kali digunakan oleh Ader pada tahun 1980 untuk
membuktikan hubungan antara otak dan sistem imunitas (Daruna, 2004). Komponen
27

psikologi pasien ini mencakup keyakinan san sugesti yang dimiliki oleh pasien. Secara
keilmuan, ternyata memang terdapat hubungan timbal balik antara psikologis pasien dengan
sistem imunitas yang menunjang pada kemampuan individu dalam melawan penyakitnya.
Beberapa penelitian telah mengevaluasi faktor psikososial seperti persepsi, stres,
dan koping terhadap penyakit yang dimediasi dan dimoderatori oleh respon imunitas. Stres
kronis dan respon psikologis dapat mengaktifkan hipotalamus-hipofisis-adrenocortical dan
sistem simpatik-adrenomedullary, yang berpotensi menginduksi imunosupresi. Sebuah
penelitian menunjukkan bahwa imunosupresi akibat stres pasikologis dapat mempengaruhi
perjalanan klinis penyakit HIV (Robins et al., 2006). Hubungan diantara faktor-faktor yang
berkontribusi didalamnya merupakan suatu rangkaian yang bekerja secara sinergis, oleh
karena itu masing-masing komponen (psikologis, neuroendokrin dan imunitas) harus
diperhatikan demi menunjang perbaikan status kesehatan pasien, dan hal ini pun bisa
dijadikan landasan bagi petugas kesehatan dalam pendekatan secara etnografi terhadap
masyarakat yang masih melakukan ritual-ritual khusus untuk proses pengobatan
penyakitnya.

28

BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1

Transcultural nursing merupakan bagian dari ilmu keperawatan yang berfokus pada
analisa perbedaan budaya antar kelompok masyarakat untuk mendukung penerapan
asuhan keperawatan yang holistik dan humanistic kepada klien dan keluarga.

Suku Batak Toba memiliki kitab pengobatan dengan nama Dappol Siburuk yaitu
pengobatan yang tidak hanya memperbaiki fungsi fisik namun juga menjelaskan untuk
mencari kesuksesan (kharisma,wibawa dan kesehatan)

Dalam pengobatan tradisional suku Batak Toba tidak selamanya menggunakan bahan
alam seperti tumbuhan, namun sering melibatkan roh-roh nenek moyang yang dianggap
dapat menyenbuhkan penyakit akibat guna-guna.

Ritual yang dilakukan oleh batak toba dalam menyembuhkan penyakit dimulai dari
proses pencucian dengan air jeruk, selanjutnya dilakukan pembangkitan aura dan proses
pemberian perlindungan selanjutnya masuk proses pengukuha nsatu dan diakhiri dengan
pengukuhan dua dengan cara dimandikan kedalam air pancuran atau air terjun.

Bahan yang digunakan dalam ritual marari adalah air jeruk yang dipercikkan kepada
peserta upacara ditinjau dari kesehatan air jeruk yang dipercikkan kepada peserta tidak
dapat berdampak terhadap kesehatan, namun rendaman air jeruk selama 10 menit dapat
mengurangi jumlah bakteri. Ritual pensucian tubuh dari dosa dengan menggunakan air
jeruk dan daun sirih yang disiramkan melalui air pancuran tidak berdampak secara
langsug terhadap kesehatan, namun penggunaan air daun sirih dengan perbandingan 1
gram daun sirih dan air 30 ml dapat mengaktifkan hydroxychavicol and eugenol yang
berfungsi sebagai anti oksidan dan anti inflamasi

Ditinjau dari transcultural dalam keperawatan, Budaya Batak Toba dalam melakukan
ritual pengobatan sudah memanfaatkan tanaman obat namun belum di gunakan sesuai
29

fungsinya. Pengobatan ritual yang terdapat pada Batak Toba lebih melibatkan ritualritual yang tidak berdampak terhadap kesehatan, namun lebih mengarah kepada ritual
adat seperti penggunaan mantra-mantara dan barang pusaka dalam menjalankan
ritualnya.
7

Dalam paradigma kesehatan leninger mencangkup empat aspek yaitu Manusia, Sehat,
Lingkungan dan Keperawatan. Budaya Batak Toba ditinjau dari paradigm kesehatan
leninger tidaklah sempurna dikarenakan budaya batak toba tidak terdapat unsur
keperawatan, walupun didalam ritualnya menggunakan bahan-bahan alam seperti jeruk
nipis, daun sirih namun bahan tersebut tidak digunakan sebagaimana fungsinya.

B. Saran
1. Dalam penerapan transcultural nursing, perawat hendaknya memberikan pelayanan
kesehatan yang holistik, humanistik, dan peka budaya. Klien hendaknya dipandang
sebagai mahluk yang memiliki perasaan dan toleransi. Pendekatan lintas budaya
hendaknya diterapkan pada seluruh komponen proses keperawatan, tidak hanya dalam
proses pengkajian tetapi juga dalam memberikan intervensi keperawatan, serta menilai
respon klien terhadap asuhan keperawatan yang telah dilakukan. Proses keperawatan
dengan pendekatan lintas budaya hendaknya melibatkan keluarga sebagai salah satu
support system yang dapat mendukung perubahan perilaku klien ke arah yang positif.
2. Dalam memberikan asuhan keperawatan yang komprehensif yang kaitannya dengan
budaya, perawat harus memperhatikan dampak budaya atau ritual terhadap kesehatan,
namun tidak mengurangi bahkan menghilangkan adat tersebut.

30

DAFTAR PUSTAKA

Adepoju, G., & Adeyemi, T. (2010). Evaluation of the effect of lime fruit juice on the
anticoagulant effect of warfarin. Journal of Young Pharmacists, 2(3), 269-272.
doi:http://dx.doi.org/10.4103/0975-1483.66808
Andrew . M & Boyle. J.S, (1995), Transcultural Concepts in Nursing Care, 2nd Ed,
Philadelphia, JB Lippincot Company
British

Journal of Pharmaceutical Research, 5(3), 181-191. Retrieved


http://search.proquest.com/docview/1655709375?accountid=48290

from

Chang, M. C., Uang, B. J., Tsai, C. Y., Wu, H. L., Lin, B. R., Lee, C. S., . . . Jeng, J. H. (2007).
Hydroxychavicol, a novel betel leaf component, inhibits platelet aggregation by
suppression of cyclooxygenase, thromboxane production and calcium mobilization.
British
Journal
of
Pharmacology,
152(1),
73-82.
doi:http://dx.doi.org/10.1038/sj.bjp.0707367
Daruna, J. H. (2004). Introduction to Psychoneuroimmunology. Academic Press Elsevier: United
States of America
Foster/Anderson. 2009. "Antropologi Kesehatan. "Jakarta : UI Press.
Giger. J.J & Davidhizar. R.E, (1995), Transcultural Nursing : Assessment and Intervention, 2nd
Ed, Missouri , Mosby Year Book Inc
Goodhart, D.E. (1985). Some psychological effects associated with positive and negative
thinking about stressful event outcomes : was Pollyanna right?. J Pers Soc Psychol.
Jan;48(1):216-32
Gultom, Ibrahim. 2010. "Agama malim ditanah Batak." Jakarta : Bumi Aksara.
Hassan, F., Geethalakshmi, V., Jeeva, J. C., & Babu, M. R. (2013). Combined effect of lime
(citrus aurantitolia) and drying on reducing bacteria of public health significance in
edible oyster (crassostrea madrasensis). Journal of Food Science and Technology,
50(1), 203-207. doi:http://dx.doi.org/10.1007/s13197-011-0550-6
Ihromi,T.O. 2006. " Pokok-pokok Antropologi Budaya"

31

Kubo, C., Chida, Y. (2006). Psychoneuroimmunology of the mind and body. International
Congress Series. 1287, 511. doi: 10.1016/j.ics.2005.11.061
Koentjaraningrat (1996), Pengantar ilmu antropologi, Jakarta: Rineka cipta
Leininger. M & McFarland. M.R, (2002), Transcultural Nursing : Concepts, Theories, Research
and Practice, 3rd Ed, USA, Mc-Graw Hill Companies
Mathur, P., & Schaffner, D. W. (2013). Effect of lime juice on vibrio parahaemolyticus and
salmonella enterica inactivation during the preparation of the raw fish dish ceviche.
Journal
of
Food
Protection,
76(6),
1027-30.
Retrieved
from
http://search.proquest.com/docview/1365661133?accountid=48290
Murakami, K. (2013). The Divine Message of the DNA. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Maryaeni. 2005. "Metode Penelitian Kebudayaan." Jakarta : Bumi Aksar.Endraswara,
Pin, K. Y., Chuah, A. L., Rashih, A. A., Mazura, M. P., Fadzureena, J., Vimala, S., & Rasadah, m.
A. (2010). Antioxidant and anti-inflammatory activities of extracts of betel leaves
(piper betle) from solvents with different polarities. Journal of Tropical Forest
Science,
22(4),
448-455.
Retrieved
from
http://search.proquest.com/docview/759646275?accountid=48290
Robins, J. L. W., McCain, N. L., Gray, P., Elswick, R. K., Walter, J. M., McDade, E. (2006).
Research on psychoneuroimmunology: Tai chi as a stress management approach for
individuals with HIV disease. Applied Nursing Research. 19, 2 9. doi:
10.1016/j.apnr.2005.03.002
Salawu, A., Osinubi, A., Dosumu, O., Kusemiju, T.O., Noronha, C.C., & Okanlawon, a.o.
(2010). Effect of the juice of lime (citrus aurantifolia) on estrous cycle and ovulation
of sprague-dawley rats. Endocrine Practice, 16(4), 561-565. Retrieved from
http://search.proquest.com/docview/1698977455?accountid=48290
Suwardi. 2006. "Metode Penelitian Kebudayaan"
Situmorang, Sitor. 2009. "Toba Na Sae." Jakarta : Komunitas Bambu.
Vengaiah, V., A, G. N., & Changamma, C. (2015). Histomorphological evaluation of
reproductive organs following piper betel (linn.) leaf stalk extract administration in
male albino rats. http://www.mycultured.co.cc/2009/07/kitab-pengobatan.html
Young, S., Wang, C., Lin, J., Peng, P., Hsu, J., & Chou, F. (2007). Protection effect of piper betel
leaf extract against carbon tetrachloride-induced liver fibrosis in rats. Archives of
Toxicology.Archiv
Fr
Toxikologie,
81(1),
45-55.
doi:http://dx.doi.org/10.1007/s00204-006-0106-0

32

33

Anda mungkin juga menyukai