Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH KEPERAWATAN PSIKOSOSIAL BUDAYA

“KONSEP ANTROPOLOGI KESEHATAN”

Disusun Oleh:

1. Farida Agustina
2. Hery Setya Rahman
3. Rita Aryani
4. Sofian Noor
5. Taufik Hidayat
6. Valenthina T
7. Wiwik S
Dosen Pembimbing:

Ns. Tini, M.Kep

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KALIMANTAN TIMUR
PROGRAM STUDI PROFESI NERS
TAHUN 2020

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, Atas rahmat dan hidayahnya sehingga
makalah ini dapat terselesaikan dengan baik, Shalawat serta salam semoga selalu
terhaturkan kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW, Para Keluarga,
Sahabatnya dan para pengikutnya yang tetap istiqamah hingga akhir Zaman. Dan
tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada Dosen-Dosen yang telah memberi kami
Masukan dan arahan sehingga makalah ini dapat terselesaikan.

Makalah ini disusun sebagai tugas dari mata kuliah Keperawatan Psikososial
Budaya yang tak lain adalah sebagai syarat untuk kelulusan mata kuliah tersebut.

Penulis mengharapkan adanya saran dan masukan dari pembaca demi


kesempurnaan Makalah ini bila dalam makalah ini terjadi kesalahan yang tidak
diketahui oleh penulis. Dan mudah-mudahan makalah ini dapat bermanfaat bagi
pembaca baik itu sebagai acuan maupun sebagai masukkan dan juga semoga makalah
ini dapat bermanfaat pula bagi penulis.

Samarinda, 09 September 2020

Kelompok 3

ii
DAFTAR ISI

COVER.....................................................................................................................i

KATA PENGANTAR..............................................................................................ii

DAFTAR ISI.............................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................1

A. Latar Belakang...............................................................................................1
B. Rumusan Masalah..........................................................................................1
C. Tujuan Penulisan............................................................................................2

BAB II TINJAUAN TEORI....................................................................................3

A. Persepsi sehat sakit berbasis budaya..............................................................3


B. Peran dan perilaku pasien...............................................................................10
C. Respon sakit/nyeri pasien...............................................................................17

BAB III PENUTUP..................................................................................................19

A. Kesimpulan....................................................................................................19
B. Saran ..............................................................................................................19

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Antropologi Kesehatan merupakan ilmu yang mempelajari gejala-gejala
sosiobudaya, biobudaya, dan ekologi budaya dari “kesehatan” dan kesakitan
yang dilihat dari segi-segi fisik, jiwa, dan sosial serta perawatannya masing-
masing dan interaksi antara ketiga segi ini dalam kehidupan masyarakat, baik
pada tingkat individual maupun tingkat kelompok sosial keseluruhannya.

Antropologi Kesehatan menjelaskan secara komprehensif dan interpretasi


berbagai macam masalah tentang hubungan timbal-balik biobudaya, antara
tingkah laku manusia dimasa lalu dan masa kini dengan derajat “kesehatan”
dan penyakit, tanpa mengutamakan perhatian pada penggunaan praktis dari
pengetahuan tersebut.

Ilmu ini mempelajari dan memahami masyarakat dengan melakukan


penelitian mengenai masalah kesehatan masyarakat. Penelitiannya untuk
mengetahui konsepsi dan sikap penduduk tentang kesehatan, tentang sakit,
dukun, obat-obatan tradisional, kebiasan dan pantangan untuk memakan
sesuatu.

Konsep sehat dan sakit sesungguhnya tidak terlalu mutlak dan universal
karena ada faktor-faktor lain di luar kenyataan klinis yang mempengaruhinya.
Kedua pengertian saling mempengaruhi dan pengertian yang satu hanya dapat
dipahami dalam konteks pengertian yang lain (Soejoeti, 2005).

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana persepsi sehat sakit berbasis budaya ?
2. Bagaimana konsep antropologi kesehatan terhadap peran dan perilaku
pasien ?

1
3. Bagaimana konsep antropolog kesehatan terhadap respon sakit / nyeri
pasien ?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui persepsi sehat sakit berbasis budaya
2. Untuk mengetahui peran dan perilaku pasien
3. Untuk mengetahui respon sakit/nyeri pasien

2
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Persepsi Sehat Sakit berbasis budaya

Dalam kenyataannya, Antropologi mempelajari semua mahluk


manusia yang pernah hidup pada semua waktu dan semua tempat yang ada di
muka bumi ini. Mahluk manusia ini hanyalah satu dari sekian banyak bentuk
mahluk hidup yang ada di bumi ini yang diperkirakan muncul lebih dari 4
milyar tahun yang lalu. (Siregar, 2002). Pengertian Antropologi kesehatan
yang diajukan Foster/Anderson merupakan konsep yang tepat karena
termasuk dalam pengertian ilmu antropologi seperti disampaikan
Koentjaraningrat di atas. Menurut Foster/Anderson, Antropologi Kesehatan
mengkaji masalah-masalah kesehatan dan penyakit dari dua kutub yang
berbeda yaitu kutub biologi dan kutub sosial budaya (Djoht, 2002).

Paradigma sehat adalah cara pandang atau pola pikir pembangunan


kesehatan yang bersifat holistik, proaktif antisipatif, dengan melihat masalah
kesehatan sebagai masalah yang dipengaruhi oleh banyak faktor secara
dinamis dan lintas sektoral, dalam suatu wilayah yang berorientasi kepada
peningkatan pemeliharaan dan perlindungan terhadap penduduk agar tetap
sehat dan bukan hanya penyembuhan penduduk yang sakit. Pada intinya
paradigma sehat memberikan perhatian utama terhadap kebijakan yang
bersifat pencegahan dan promosi kesehatan, memberikan dukungan dan
alokasi sumber daya untuk menjaga agar yang sehat tetap sehat namun tetap
mengupayakan yang sakit segera sehat. Pada prinsipnya kebijakan tersebut
menekankan pada masyarakat untuk mengutamakan kegiatan kesehatan
daripada mengobati penyakit. Telah dikembangkan pengertian tentang
penyakit yang mempunyai konotasi biomedik dan sosio kultural (Soejoeti,
2005).

3
Dalam bahasa Inggris dikenal kata disease dan illness sedangkan
dalam bahasa Indonesia, kedua pengertian itu dinamakan penyakit. Dilihat
dari segi sosio kultural terdapat perbedaan besar antara kedua pengertian
tersebut. Dengan disease dimaksudkan gangguan fungsi atau adaptasi dari
proses-proses biologik dan psikofisiologik pada seorang individu, dengan
illness dimaksud reaksi personal, interpersonal, dan kultural terhadap
penyakit atau perasaan kurang nyaman. Para dokter mendiagnosis dan
mengobati disease, sedangkan pasien mengalami illness yang dapat
disebabkan oleh disease illness tidak selalu disertai kelainan organik maupun
fungsional tubuh. Tulisan ini merupakan tinjauan pustaka yang membahas
pengetahuan sehat-sakit pada aspek sosial budaya dan perilaku manusia; serta
khusus pada interaksi antara beberapa aspek ini yang mempunyai pengaruh
pada kesehatan dan penyakit. Dalam konteks kultural, apa yang disebut sehat
dalam suatu kebudayaan belum tentu disebut sehat pula di alam kebudayaan
lain. Di sini tidak dapat diabaikan adanya faktor penilaian atau faktor yang
erat hubungannya dengan sistem nilai (Soejoeti, 2005).

1. Konsep Sehat
Konsep “Sehat” dapat diinterpretasikan orang berbeda-beda,
berdasarkan komunitas. Sebagaimana dikatakan di atas bahwa orang
Papua terdiri dari keaneka ragaman kebudayaan, maka secara kongkrit
akan mewujudkan perbedaan pemahaman terhadap konsep sehat yang
dilihat secara emik dan etik. Sehat dilihat berdasarkan pendekatan etik,
sebagaimana yang yang dikemukakan oleh Linda Ewles & Ina Simmet
(1992) adalah sebagai beriku:
a. Konsep sehat dilihat dari segi jasmani yaitu dimensi sehat yang
paling nyata karena perhatiannya pada fungsi mekanistik tubuh;
b. Konsep sehat dilihat dari segi mental, yaitu kemampuan berpikir
dengan jernih dan koheren. Istilah mental dibedakan dengan

4
emosional dan sosial walaupun ada hubungan yang dekat diantara
ketiganya;
c. Konsep sehat dilihat dari segi emosional yaitu kemampuan untuk
mengenal emosi seperti takut, kenikmatan, kedukaan, dan
kemarahan, dan untuk mengekspresikan emosi-emosi secara cepat;
d. Konsep sehat dilihat dari segi sosial berarti kemampuan untuk
membuat dan mempertahankan hubungan dengan orang lain;
e. Konsep sehat dilihat dari aspek spiritual yaitu berkaitan dengan
kepercayaan dan praktek keagamaan, berkaitan dengan perbuatan
baik, secara pribadi, prinsip-prinsip tingkah laku, dan cara
mencapai kedamaian dan merasa damai dalam kesendirian;
f. Konsep sehat dilihat dari segi societal, yaitu berkaitan dengan
kesehatan pada tingkat individual yang terjadi karena kondisi-
kondisi sosial, politik, ekonomi dan budaya yang melingkupi
individu tersebut. Adalah tidak mungkin menjadi sehat dalam
masyarakat yang “sakit” yang tidak dapat menyediakan sumber-
sumber untuk pemenuhan kebutuhan dasar dan emosional
(Dumatubun, 2002).

Konsep sehat tersebut bila dikaji lebih mendalam dengan


pendekatan etik yang dikemukakan oleh Wold Health Organization
(WHO) maka itu berarti bahwa: merely the absence of disease or
infirmity” (WHO,1981:38) Dalam dimensi ini jelas terlihat bahwa sehat
itu tidak hanya menyangkut kondisi fisik, melainkan juga kondisi mental
dan sosial seseorang. Rumusan yang relativistic mengenai konsep ini
dihubungkan dengan kenyataan akan adanya pengertian dalam
masyarakat bahwa ide kesehatan adalah sebagai kemampuan fungsional
dalam menjalankan peranan-peranan sosial dalam kehidupan sehari-hari
(Wilson, 1970:12) dalam Kalangie (1994:38).

5
Namun demikian bila kita kaitkan dengan konteks sehat
berdasarkan pendekatan secara emik bagi suatu komunitas yang
menyandang konsep kebudayaan mereka, ada pandangan yang berbeda
dalam menanggapi konsep sehat tadi. Hal ini karena adanya pengetahuan
yang berbeda terhadap konsep sehat, walaupun secara nyata akan terlihat
bahwa seseorang secara etik dinyatakan tidak sehat, tetapi masih dapat
melakukan aktivitas sosial lainnya. Ini berarti orang tersebut dapat
menyatakan dirinya sehat. Jadi hal ini berarti bahwa seseorang
berdasarkan kebudayaannya dapat menentukan sehat secara berbeda
seperti pada kenyataan pendapat di bawah ini sebagai berikut:

Kenyataan bahwa seseorang dapat menentukan kondisi


kesehatannya baik (sehat) bilamana ia tidak merasakan terjadinya suatu
kelainan fisik maupun psikis. Walaupun ia menyadari akan adanya
kelainan tetapi tidak terlalu menimbulkan perasaan sakit, atau tidak
dipersepsikan sebagai kelainan yang memerlukan perhatian medis secara
khusus, atau kelainan ini tidak dianggap sebagai suatu penyakit. Dasar
utama penetuan tersebut adalah bahwa ia tetap dapat menjalankan
peranan-peranan sosialnya setiap hari seperti biasa. Standard apa yang
dapat dianggap “sehat” juga bervariasi. Seorang usia lanjut dapat
mengatakan bahwa ia dalam keadaan sehat pada hari ketika Broncitis
Kronik berkurang sehingga ia dapat berbelanja di pasar. Ini berarti orang
menilai kesehatannya secara subyektif, sesuai dengan norma dan
harapan-harapannya. Inilah salah satu harapan mengapa upaya untuk
mengukur kesehatan adalah sangat sulit. Gagasan orang tentang “sehat”
dan merasa sehat adalah sangat bervariasi. Gagasangagasan itu dibentuk
oleh pengalaman, pengetahuan, nilai, norma dan harapanharapan
(Dumatubun, 2002).

4. Konsep Sakit

6
Sakit dapat diinterpretasikan secara berbeda berdasarkan
pengetahuan secara ilmiah dan dapat dilihat berdasarkan pengetahuan
secara budaya dari masing-masing penyandang kebudayaannya. Hal ini
berarti dapat dilihat berdasarkan pemahaman secara “etik” dan “emik”.
Secara konseptual dapat disajikan bagaimana sakit dilihat secara “etik”
yang dikutib dari Djekky (2001: 15) sebagai berikut:
Secara ilmiah penyakit (disease) diartikan sebagai gangguan fungsi
fisiologis dari suatu organisme sebagai akibat terjadi infeksi atau tekanan
dari lingkungan, jadi penyakit itu bersifat obyektif. Sebaliknya sakit
(illness) adalah penilaian individu terhadap pengalaman menderita suatu
penyakit (Sarwono, 1993:31). Fenomena subyektif ini ditandai dengan
perasaan tidak enak. Di negara maju kebanyakan orang mengidap hypo-
chondriacal, ini disebabkan karena kesadaran kesehatan sangat tinggi dan
takut terkena penyakit sehingga jika dirasakan sedikit saja kelainan pada
tubuhnya, maka akan langsung ke dokter, padahal tidak terdapat gangguan
fisik yang nyata. Keluhanpsikosomatis seperti ini lebih banyak ditemukan
di negara maju daripada kalangan masyarakat tradisional. Umumnya
masyarakat tradisional memandang seseorang sebagai sakit, jika orang itu
kehilangan nafsu makannya atau gairah kerjanya, tidak dapat lagi
menjalankan tugasnya sehari-hari secara optimal atau kehilangan
kekuatannya sehingga harus tinggal di tempat tidur.
Sedangkan secara “emik” sakit dapat dilihat berdasarkan
pemahaman konsep kebudayaan masyarakat penyandang kebudayaannya
sebagaimana dikemukakan Foster dan Anderson (1986) menemukan
konsep penyakit (disease) pada masyarakat tradisional yang mereka
telusuri di kepustakaan-kepustakaan mengenai etnomedisin, bahwa konsep
penyakit masyarakat non barat, dibagi atas dua kategori umum yaitu:
a. Personalistik, munculnya penyakit (illness) disebabkan oleh
intervensi dari suatu agen yang aktif, yang dapat berupa mahluk
supranatural (mahluk gaib atau dewa), mahluk yang bukan manusia

7
(hantu, roh leluhur, atau roh jahat) maupun mahluk manusia (tukang
sihir, tukang tenung).
b. Naturalistik, penyakit (illness) dijelaskan dengan istilah-istilah yang
sistematik dan bukan pribadi. Naturalistik mengakui adanya suatu
model keseimbangan, sehat terjadi karena unsur-unsur yang tetap
dalam tubuh seperti panas, dingin, cairan tubuh berada dalam keadaan
seimbang menurut usia dan kondisi individu dalam lingkungan
alamiah dan lingkungan sosialnya, apabila keseimbangan terganggu,
maka hasilnya adalah penyakit (1986;63-70)

5. Konsep Sehat Sakit Menurut Budaya Masyarakat


Istilah sehat mengandung banyak muatan kultural, sosial dan
pengertian profesional yang beragam. dulu dari sudut pandang kedokteran,
sehat sangat erat kaitannya dengan kesakitan dan penyakit. Dalam
kenyataan tidaklah sesederhana itu sehat harus dilihat dari berbagai aspek
(Endra, 2005).
Oleh para ahli kesehatan, antropologi kesehatan dipandang sebagai
suatu disiplin budaya yang memberi perhatian pada aspek biologis dan
sosial budaya dari tingkah laku manusia, terutama tentang cara-cara
interaksi antara keduanya sepanjang sejarah kehidupan manusia yang
mempengaruhi kesehatan dan penyakit. Penyakit sendiri ditemukan oleh
budaya: hal ini karena penyakit merupakan pengakuan sosial bahwa
seseorang tidak dapat menjalankan peran normalnya secara wajar (Endra,
2005).
Cara hidup dan gaya hidup manusia merupakan fenomena yang
dapat dikaitkan dengan munculnya berbagai macam penyakit, selain itu
hasil berbagai kebudayaan juga dapat menimbulkan penyakit. Masyarakat
dan pengobat tradisional menganut dua konsep penyebab sakit, yaitu:
naturalistik dan personalistik. Penyebab bersifat narutalistik yaitu
seseorang menderita sakit akibat pengaruh lingkungan, makanan (salah

8
makan), kebiasaaan hidup, ketidak seimbangan dalam tubuh termasuk juga
kepercayaan panas dinginseperti masuk angin dan penyakit bawaan.
Konsep sehat sakit yang dianut pengobat tradisional sama dengan yang
dianut masyarakat setempat, yakni suatu keadaan yang berhubungan
dengan keadaan badan atau kondisi tubuh kelainan-kelainan serta gejala
yang dirasakan. Sehat bagi seseorang berarti suatu keadaan yang normal,
wajar, nyaman, dan dapat melakukan aktivitas sehari-hari dengan gairah.
Sedangkan sakit dianggap sebagai suatu keadaan badan yang kurang
menyenangkan, bahkan dirasakan sebagai siksaan sehingga menyebabkan
seseorang tidak dapat menjalankan aktivitas sehari-hari seperti halnya
orang yang sehat (Endra, 2005).
Sedangkan konsep personalistik menganggap munculnya penyakit
disebabkan oleh intevensi suatu agen aktif yang dapat berupa makhluk
bukan manusia (hantu, roh, leluhur atau roh jahat), atau makhluk manusia
(tukang sihir) (Endra, 2005).

6. Perilaku Sehat-Sakit Menurut Antropologi Kesehatan


a. Perilaku Sehat dan Perilaku Sakit
Penelitian-penelitian dan teori-teori yang dikembangkan oleh
para antropolog seperti perilaku sehat (health behavior), perilaku sakit
(illness behavior) perbedaan antara illness dan disease, model
penjelasan penyakit (explanatory model), peran dan karir seorang
yang sakit (sick role), interaksi dokter-perawat, dokter-pasien,
perawat-pasien, penyakit dilihat dari sudut pasien, membuka mata
para dokter bahwa kebenaran ilmu kedokteran modern tidak lagi dapat
dianggap kebenaran absolute dalam proses penyembuhan.
Perilaku sakit diartikan sebagai segala bentuk tindakan yang
dilakukan oleh individu yang sedang sakit agar memperoleh
kesembuhan, sedangkan perilaku sehat adalah tindakan yang
dilakukan individu untuk memelihara dan meningkatkan

9
kesehatannya, termasuk pencegahan penyakit, perawatan kebersihan
diri, penjagaan kebugaran melalui olah raga dan makanan bergizi.
Perilaku sehat diperlihatkan oleh individu yang merasa dirinya
sehat meskipun secara medis belum tentu mereka betul-betul sehat.
Sesuai dengan persepsi tentang sakit dan penyakit maka perilaku sakit
dan perilaku sehat pun subyektif sifatnya. Persepsi masyarakat tentang
sehat-sakit ini sangatlah dipengaruhi oleh unsur pengalaman masa lalu
disamping unsur sosial budaya. Sebaliknya petugas kesehatan
berusaha sedapat mungkin menerapkan kreteria medis yang obyektif
berdasarkan gejala yang tampak guna mendiagnosis kondisi fisik
individu (Endra, 2005).

B. Peran dan Perilaku Pasien

1. Perilaku Sakit
Perilaku sakit merupakan perilaku orang sakit yang meliputi: cara
seseorang memantau tubuhnya; mendefinisikan dan menginterpretasikan
gejala yang dialami; melakukan upaya penyembuhan; dan penggunaan
sistem pelayanan kesehatan. Seorang individu yang merasa dirinya sedang
sakit, perilaku sakit bisa berfungsi sebagai mekanisme koping.
Menurut Parsons, perilaku spesifik yang tampak bila seseorang
memilih peran sebagai orang sakit, yaitu orang sakit tidak dapat
disalahkan sejak mulai sakit, dikecualikan dari tanggung jawab pekerjaan,
sosial dan pribadi, kemudian orang sakit dan keluarganya diharapkan
mencari pertolongan agar cepat sembuh.
Menurut Cockerham, meskipun konsep Parsons tersebut tidak berguna
untuk memahami peran sebagai orang sakit, namun tidak terlalu tepat
untuk: menerangkan variasi perilaku sakit, dipakai pada penyakit kronis,
keadaan dan situasi yang mempengaruhi hubungan pasien-dokter, atau

10
untuk menerangkan perilaku sakit masyarakat kelas bawah. Juga menurut
Meile, konsep Parsons tersebut tidak cocok dipakai pada orang sakit jiwa.

2. Penyebab Perilaku Sakit


Menurut Mechanic sebagaimana diuraikan oleh Solito Sarwono
(1993) bahwa penyebab perilaku sakit itu sebagai berikut:

a. Dikenal dan dirasakannya tanda dan gejala yang


menyimpang dari keadaan normal.

b. Anggapan adanya gejala serius yang dapat menimbulkan bahaya.

c. Gejala penyakit dirasakan akan menimbulkan dampak terhadap


hubungan keluarga, hubungan kerja, dan kegiatan kemasyarakatan.

d. Frekuensi dan persisten (terus-menerus, menetap) tanda dan gejala


yang dapat dilihat.

e. Kemungkinan individu untuk terserang penyakit.

f. Adanya informasi, pengetahuan, dan anggapan budaya tentang


penyakit.

g. Adanya perbedaan interpretasi tentang gejala penyakit.

h. Adanya kebutuhan untuk mengatasi gejala penyakit.

i. Tersedianya berbagai sarana pelayanan kesehatan, seperti: fasilitas,


tenaga, obat-obatan, biaya, dan transportasi.

Menurut Sri Kusmiyati dan Desmaniarti (1990), terdapat 7 perilaku


orang sakit yang dapat diamati, yaitu:

11
a. Fearfullness (merasa ketakutan), umumnya individu yang sedang
sakit memiliki perasaan takut. Bentuk ketakutannya, meliputi takut
penyakitnya tidak sembuh, takut mati, takut mengalami kecacatan,
dan takut tidak mendapat pengakuan dari lingkungan sehingga
merasa diisolasi.
b. Regresi, salah satu perasaan yang timbul pada orang sakit adalah
ansietas (kecemasan). Untuk mengatasi kecemasan tersebut, salah
satu caranya adalah dengan regresi (menarik diri) dari
lingkungannya.
c. Egosentris, mengandung arti bahwa perilaku individu yang sakit
banyak mempersoalkan tentang dirinya sendiri. Perilaku
egosentris, ditandai dengan hal-hal berikut:
1) Hanya ingin menceritakan penyakitnya yang sedang diderita.
2) Tidak ingin mendengarkan persoalan orang lain.
3) Hanya memikirkan penyakitnya sendiri.
4) Senang mengisolasi dirinya baik dari keluarga, lingkungan
maupun kegiatan.
d. Terlalu memperhatikan persoalan kecil, yaitu perilaku individu
yang sakit dengan melebih-lebihkan persoalan kecil. Akibatnya
pasien menjadi cerewet, banyak menuntut, dan banyak mengeluh
tentang masalah sepele.
e. Reaksi emosional tinggi, yaitu perilaku individu yang sakit ditandai
dengan sangat sensitif terhadap hal-hal remeh sehingga
menyebabkan reaksi emosional tinggi.
f. Perubahan perpepsi terhadap orang lain, karena beberapa faktor
diatas, seorang penderita sering mengalami perubahan persepsi
terhadap orang lain.
g. Berkurangnya minat, individu yang menderita sakit di samping
memiliki rasa cemas juga kadang-kadang timbul stress. Faktor
psikologis inilah salah satu sebab berkurangnya minat sehingga ia
tidak mempunyai perhatian terhadap segala sesuatu yang ada di

12
lingkungannya. Berkurangnya minat terutama kurangnya perhatian
terhadap sesuatu yang dalam keadaan normal ia tertarik atau
berminat terhadap sesuatu.

3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Sakit


a. Faktor Internal
1) Persepsi individu terhadap gejala dan sifat sakit yang
dialami
Klien akan segera mencari pertolongan jika gejala tersebut
dapat mengganggu rutinitas kegiatan sehari-hari. Misal: Tukang
Kayu yang menderitas sakit punggung, jika ia merasa hal
tersebut bisa membahayakan dan mengancam kehidupannya
maka ia akan segera mencari bantuan. Akan tetapi persepsi
seperti itu dapat pula mempunyai akibat yang sebaliknya. Bisa
saja orang yang takut mengalami sakit yang serius, akan
bereaksi dengan cara menyangkalnya dan tidak mau mencari
bantuan.
2) Asal atau Jenis penyakit
Pada penyakit akut dimana gejala relatif singkat dan berat
serta mungkin mengganggu fungsi pada seluruh dimensi yang
ada, Maka klien bisanya akan segera mencari pertolongan dan
mematuhi program terapi yang diberikan. Sedangkan pada
penyakit kronik biasany berlangsung lama (>6 bulan) sehingga
jelas dapat mengganggu fungsi diseluruh dimensi yang ada. Jika
penyakit kronik itu tidak dapat disembuhkan dan terapi yang
diberikan hanya menghilangkan sebagian gejala yang ada,  maka
klien mungkin tidak akan termotivasi untuk memenuhi rencana
terapi yang ada.

b. Faktor Eksternal

13
1) Gejala yang Dapat Dilihat
Gajala yang terlihat dari suatu penyakit dapat
mempengaruhi Citra Tubuh dan Perilaku Sakit. Misalnya: orang
yang mengalami bibir kering dan pecah-pecah mungkin akan
lebih cepat mencari pertolongan dari pada orang dengan serak
tenggorokan, karena mungkin komentar orang lain terhadap
gejala bibir pecah-pecah yang dialaminya.
2) Kelompok Sosial
Kelompok sosial klien akan membantu mengenali ancaman
penyakit, atau justru meyangkal potensi terjadinya suatu
penyakit. Misalnya: Ada 2 orang wanita, sebut saja Ny. A dan
Ny.B berusia 35 tahun yang berasal dari dua kelompok sosial
yang berbeda telah menemukan adanya benjolan pada
Payudaranya saat melakukan SADARI. Kemudian mereka
mendisukusikannya dengan temannya masing-masing. Teman
Ny. A mungkin akan mendorong mencari pengobatan  untuk
menentukan apakah perlu dibiopsi atau tidak; sedangkan teman
Ny. B mungkin akan mengatakan itu hanyalah benjolan biasa
dan tidak perlu diperiksakan ke dokter.
3) Latar Belakang Budaya
Latar belakang budaya dan etik mengajarkan sesorang
bagaimana menjadi sehat, mengenal penyakit, dan menjadi
sakit. Dengan demikian perawat perlu memahami
latar  belakang budaya yang dimiliki klien.
4) Ekonomi
Semakin tinggi tingkat ekonomi seseorang biasanya ia akan
lebih cepat tanggap terhadap gejala penyakit yang ia rasakan.
Sehingga ia akan segera mencari pertolongan ketika merasa ada
gangguan pada kesehatannya.
5) Kemudahan Akses Terhadap Sistem Pelayanan

14
Dekatnya jarak klien dengan RS, klinik atau tempat
pelayanan medis lain sering mempengaruhi kecepatan mereka
dalam memasuki sistem pelayanan kesehatan. Demikian pula
beberapa klien enggan mencari pelayanan yang kompleks dan
besar  dan mereka lebih suka untuk mengunjungi Puskesmas
yang tidak membutuhkan prosedur yang rumit.
6) Dukungan Sosial
Dukungan sosial disini meliputi beberapa institusi atau
perkumpulan yang bersifat peningkatan kesehatan. Di institusi
tersebut dapat dilakukan berbagai kegiatan, seperti seminar
kesehatan, pendidikan dan pelatihan kesehatan, latihan (aerobik,
senam POCO-POCO dll), Juga menyediakan fasilitas olehraga
seperti, kolam renang, lapangan Bola Basket, Lapangan Sepak
Bola, dll.

4. Tahap-tahap Perilaku Sakit


a. Tahap I (Mengalami Gejala)
Pada tahap ini pasien menyadari bahwa ”ada sesuatu yang
salah” Mereka mengenali sensasi atau keterbatasan fungsi fisik
tetapi belum menduga adanya diagnosa tertentu. Persepsi individu
terhadap suatu gejala meliputi: (a) kesadaran terhadap perubahan
fisik (nyeri, benjolan, dll); (b) evaluasi terhadap perubahan yang
terjadi dan memutuskan apakah hal tersebut merupakan suatu
gejala penyakit; (c) respon emosional. Jika gejala itu dianggap

15
merupakan suatu gejal penyakit dan dapat mengancam
kehidupannya maka ia akan segera mencari pertolongan.
b. Tahap II (Asumsi Tentang Peran Sakit)
Terjadi jika gejala menetap atau semakin berat. Orang yang
sakit akan melakukan konfirmasi kepada keluarga, orang terdekat
atau kelompok sosialnya bahwa ia benar-benar sakit sehingga harus
diistirahatkan dari kewajiban normalnya dan dari harapan terhadap
perannya. Menimbulkan perubahan emosional spt : menarik
diri/depresi, dan juga perubahan fisik. Perubahan emosional yang
terjadi bisa kompleks atau sederhana tergantung beratnya penyakit,
tingkat ketidakmampuan, dan perkiraan lama sakit.
c. Tahap III (Kontak dengan Pelayanan Kesehatan)
Pada tahap ini klien mencari kepastian penyakit dan
pengobatan dari seorang ahli, mencari penjelasan mengenai gejala
yang dirasakan, penyebab  penyakit, dan implikasi penyakit
terhadap kesehatan dimasa yang akan datang
Profesi kesehatan mungkin akan menentukan bahwa
mereka tidak menderita suatu penyakit atau justru menyatakan jika
mereka menderita penyakit yang bisa mengancam
kehidupannya. à klien bisa menerima atau menyangkal diagnosa
tersebut.
Bila klien menerima diagnosa mereka akan mematuhi
rencan pengobatan yang telah ditentukan, akan tetapi jika
menyangkal mereka mungkin akan mencari sistem pelayanan
kesehatan lain, atau berkonsultasi dengan beberapa pemberi
pelayanan kesehatan lain sampai mereka menemukan orang yang
membuat diagnosa sesuai dengan keinginannya atau sampai
mereka menerima diagnosa awal yang telah ditetapkan.
Klien yang merasa sakit, tapi dinyatakan sehat oleh profesi
kesehatan, mungkin ia akan mengunjungi profesi kesehatan lain
sampai ia memperoleh diagnosa yang diinginkan. Klien yang sejak

16
awal didiagnosa penyakit tertentu, terutama yang mengancam
kelangsungan hidup, ia akan mencari profesi kesehatan lain  untuk
meyakinkan bahwa kesehatan atau kehidupan mereka tidak
terancam. Misalnya: klien yang didiagnosa mengidap kanker, maka
ia akan mengunjungi beberapa dokter  sebagai usaha klien
menghindari diagnosa yang sebenarnya.
d. Tahap IV (Peran Klien Dependen)
Pada tahap ini klien menerima keadaan sakitnya, sehingga
klien bergantung pada pada pemberi pelayanan kesehatan untuk
menghilangkan gejala yang ada. Klien menerima perawatan,
simpati, atau perlindungan dari berbagai tuntutan dan stress
hidupnya.
Secara sosial klien diperbolehkan untuk bebas dari
kewajiban dan tugas normalnya àsemakin parah sakitnya, semakin
bebas. Pada tahap ini klien juga harus menyesuaikanny dengan
perubahan jadwal sehari-hari. Perubahan ini jelas akan
mempengaruhi peran klien di tempat ia bekerja, rumah maupun
masyarakat.
e. Tahap V (Pemulihan dan Rehabilitasi)
Merupakan tahap akhir dari perilaku sakit, dan dapat terjadi
secara tiba-tiba, misalnya penurunan demam. Penyembuhan yang
tidak cepat, menyebabkan seorang klien butuh perawatan lebih
lama sebelum kembali ke fungsi optimal, misalnya pada penyakit
kronis.
Tingkah laku dan peranan seseorang merupakan suatu hal
yang selalu mengikuti kemanapun dalam setiap kejadian
kehidupan, bahkan tingkah laku dan peranan biasanya terjadi
karena merupakan suatu respons terhadap keadaan tertentu.
Demikian pula kejadian sakit dan penyakit telah memicu respons
tingkah laku dan peran yang berbeda pada diri seseorang.

17
Tingkah laku sakit sebagai suatu cara-cara dimana gejala-
gejala ditanggapi, dievaluasi dan diperankan oleh seorang individu
yang mengalami sakit, kurang nyaman, atau tanda-tanda lain dari
fungsi tubuh yang kurang baik. Tingkah laku sakit, peranan sakit
dan peranan pasien sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti
kelas sosial, suku bangsa, dan budaya yang berlaku di suatu
tempat.

C. Respon Sakit/Nyeri Pasien


Perilaku nyeri ini mencakup perilaku verbal dan nonverbal dalam
merespons suatu nyeri seperti keluhan, rintihan, berteriak, sikap, dan
ekspresi wajah. Ada orang yang menanggapinya dengan perasaan takut,
gelisah, dan cemas, ada pula yang menanggapinya dengan sikap yang
optimis dan penuh toleransi (Smeltzer & Bare, 2001). Sebagian orang
merespons nyeri dengan menangis, mengerang dan menjerit-jerit, meminta
pertolongan, gelisah di tempat tidur, atau berjalan mondar-mandir tidak
tentu arah untuk mengurangi rasa nyeri. Ada juga orang yang tidur sambil
menggemertakkan gigi, mengepalkan tangan ketika mengalami nyeri
(Berger, 1992).
Cara yang dilakukan individu sebagai respons dari nyeri yang
dirasakannya dapat meningkatkan atau menurunkan persepsi nyeri. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa perilaku yang telah ditemukan oleh Turk et
al (1985 dalam Ogden, 2000) adalah berupa ekspresi wajah atau ekspresi
suara seperti merapatkan gigi dan mengerang (merintih), mengubah sikap
badan atau bergerak seperti berjalan pincang, dan menjaga area yang sakit.
Hal ini menunjukkan bahwa perilaku nyeri memperkuat bahwa mereka
benar-benar merasakan nyeri, menerima pengakuan mereka dan
selanjutnya dapat menguntungkan mereka seperti tidak pergi kerja.
Penguatan perilaku nyeri yang positif mungkin dapat meningkatkan
persepsi nyeri. Perilaku nyeri juga dapat menyebabkan berkurangnya

18
aktivitas dan mengecilnya otot-otot serta mengurangi hubungan atau
interkasi sosial (Ogden, 2000).

19
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Antropologi kesehatan merupakan bagian dari ilmu antropologi yang
sangat penting sekali, karena di dalam antropologi kesehatan diterangkan
dengan jelas kaitan antara manusia, budaya, dan kesehatan sehingga kita
dapat mengetahui kaitan antara budaya suatu masyarakat dengan kesehatan
masyarakat itu sendiri.
Paradigma sehat adalah cara pandang atau pola pikir pembangunan
kesehatan yang bersifat holistik, proaktif antisipatif, dengan melihat masalah
kesehatan sebagai masalah yang dipengaruhi oleh banyak faktor secara
dinamis dan lintas sektoral, dalam suatu wilayah yang berorientasi kepada
peningkatan pemeliharaan dan perlindungan terhadap penduduk agar tetap
sehat dan bukan hanya penyembuhan penduduk yang sakit.
Perilaku sakit merupakan perilaku orang sakit yang meliputi: cara
seseorang memantau tubuhnya; mendefinisikan dan menginterpretasikan
gejala yang dialami; melakukan upaya penyembuhan; dan penggunaan sistem
pelayanan kesehatan.
Perilaku nyeri ini mencakup perilaku verbal dan nonverbal dalam
merespons suatu nyeri seperti keluhan, rintihan, berteriak, sikap, dan ekspresi
wajah. Ada orang yang menanggapinya dengan perasaan takut, gelisah, dan
cemas, ada pula yang menanggapinya dengan sikap yang optimis dan penuh
toleransi.
B. Saran
Setelah membaca makalah ini, penulis berharap pembaca lebih
mendapatkan pengetahuan tentang konsep antropologi kesehatan terhadap
persepsi sehat sakit berbasis budaya, peran dan perilaku pasien, dan respon
sakit/nyeri pasien. Semoga penyusunan makalah ini dapat bermanfaat
khususnya bagi penulis dan umumnya bagi pembaca.

20
DAFTAR PUSTAKA

Djoht. 2002. Penerapan Ilmu Antropologi Kesehatan dalam Pembangunan


Kesehatan Masyarakat Papua. Dalam Jurnal Antropologi Papua. Vol 1,
No. 1. Laboratorium Antropologi Jurusan Antropologi Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Universitas Cendrawasih.

Dumatubun. 2002. Kebudayaan, Kesehatan Orang Papua dalam Perspektif


Antropologi Kesehatan. Dalam Jurnal Antropologi Papua. Vol 1, No. 1.
Laboratorium Antropologi Jurusan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Cendrawasih.

Effendy, Nasrul. 1998. Dasar-Dasar Keperawatan Kesehatan Masyarakat. Jakarta:


EGC.

Ekasari, Mia Fatma, dkk. 2008. Keperawatan Komunitas Upaya Memandirikan


Masyarakat untuk Hidup Sehat. Jakarta: Trans Info Media.

Notoatmodjo, Soekidjo. 2010. “Ilmu Perilaku Kesehatan”. Jakarta. Rineka Cipta.

Siregar. 2002. Antropologi dan Konsep Kebudayaan. Dalam Jurnal Antropologi


Papua. Vol 1, No. 1. Laboratorium Antropologi Jurusan Antropologi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Cendrawasih.

21
22

Anda mungkin juga menyukai