Dosen Pembimbing :
Disusun Oleh :
Penyusun
DAFTAR ISI
Halaman Judul
Kata Pengantar................................................................................................................i
Daftar Isi..........................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.................................................................................................1
B. Tujuan...............................................................................................................2
C. Manfaat.............................................................................................................2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Etik dan Hukum dalam Asuhan Keperawatan Pasien HIV/AIDS......4
B. Hak Pasien HIV/AIDS.....................................................................................4
1. Hak atas Pelayanan Kesehatan...................................................................4
2. Hak atas Informasi.....................................................................................5
3. Hak atas Kerahasiaan.................................................................................6
4. Hak atas Persetujuan Tindakan Medis.....................................................10
C. Isu Etik dan Hukum pada Konseling Pra dan Pasca Tes HIV.........................5
1. Konseling Pra dan Pasca-tes HIV..............................................................6
2. Informed Consend untuk Test HIV..........................................................10
3. Aspek Etik dan Legal Tes HIV................................................................17
4. Kerahasiaan Status HIV.............................................................................6
E. Isu Terkait Perkerjaan.....................................................................................10
F. Stigma dan Diskriminasi.................................................................................17
G. Etik Terkait Partisipasi dalam Riset Kesehatan.............................................17
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan....................................................................................................18
B. Saran...............................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
AIDS dapat diartikan sebagai kumpulan dari gejala atau penyakit yang
disebabkan oleh menurunnya daya tubuh akibat infeksi oleh virus HIV (Human
Immunodefeciency Virus). AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi HIV (Djauzi
S, 2006). Permasalahan HIV AIDS ini sudah menjadi permasalahan nasional
bahkan di tingkat global epidemi HIV juga masih menjadi tantangan serta menjadi
isu yang sensitif, dengan situasi yang demikian maka tidak dipungkiri bahwa
masih tinggi Stigma dan Diskriminasi terkait HIV AIDS di masyarakat.
Pada awal mula penyakit ini berkembang di Indonesia, kelompok pengidap
penyakit ini adalah orang-orang yang memiliki perilaku berganti- ganti pasangan
dalam berhubungan seks. Kebanyakan penderita AIDS adalah mereka yang
melakukan perilaku seks tidak sehat, yang dalam hal ini melanggar norma-norma
yang berlaku dalam masyarakat. Kemudian, AIDS juga banyak diderita oleh
pemakai narkoba yang menggunakan jarum suntik karena adanya kebiasaan
menggunakan jarum suntik secara bergantian. Kenyataan ini menimbulkan stigma
pada masyarakat yang menyebutkan bahwa HIV/AIDS muncul sebagai akibat
penyimpangan perilaku seks dari nilai, norma, dan agama, penyakit pergaulan
bebas, atau penyakit kaum perempuan nakal. Bahkan lebih parah lagi adanya
stigma bahwa HIV/AIDS merupakan kutukan Tuhan karena perbuatan-perbuatan
menyimpang tersebut.
Adanya stigma dalam masyarakat ini menimbulkan masalah psikosial yang
rumit bagi penderita AIDS. Pengucilan penderita dan diskriminasi tidak jarang
membuat penderita AIDS tidak mendapatkan hak-hak asasinya. Begitu luasnya
masalah sosial yang berkaitan dengan stigma ini, karena diskriminasi terjadi di
berbagai pelayanan masyarakat bahkan tidak jarang dalam pelayanan kesehatan
sendiri.
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Adapun tujuan umum yang diinginkan penulis yaitu dapat mengetahui dan
memahami konsep isu etik dan hukum keperawatan pada pasien HIV/AIDS
2. Tujuan Khusus
Setelah disusunnya makalah ini di harapkan penulis mampu:
a. Menjelaskan konsep etik dan hukum keperawatan HIV/AIDS
b. Menjelaskan dan menyebutkan hak pasien HIV/AIDS
c. Menjelaskan dan menyebutkan isu etik dan hukum pada konseling pra dan
pasca tes HIV/AIDS
d. Menjelaskan isu terkait HIV/AIDS
e. Menjelaskan stigma dan diskriminasi
f. Menjelaskan etik partisipasi dalam riset kesehatan
C. Manfaat
1. Manfaat Teoritis
Makalah ini dapat digunakan untuk pengetahuan dan pengembangan dalam
ilmu pengetahuan serta keperawatan.
2. Manfaat Khusus
a. Penulis
Mendapatkan pengetahuan dalam penerapan dan pengaplikasian dalam
memberikan asuhan keperawatan terkait isu etik dan hukum kepada pasien
HIV/AIDS.
b. Akademik
Sebagai kepustakaan dan sumber refrensi serta sumber bacaan untuk
mengembangkan ilmu keperawatan khususnya ditinjau dari ilmu
keperawatan HIV/AIDS.
d. Pelayanan Kesehatan
Memberikan pengetahuan, pengarahan serta bahan masukan yang
diperlukan dalam pelaksanaan praktik pelayanan keperawatan terutama
terkait asuhan keperawatan HIV/AIDS bagi petugas kesehatan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
C. Isu Etik dan Hukum pada Konseling Pra dan Pasca Tes HIV
1. Konseling Pra dan Pasca-tes HIV
Konseling adalah proses pertolongan dimana seseorang dengan tulus ikhlas
dan tujuan yang jelas memberikan waktu, perhatian dan keahliannya untuk
membantu klien mempelajari dirinya, mengenali dan melakukan pemecahan
masalah terhadap keterbatasan yang diberikan lingkungan. Voluntary
counseling and tesing (VCT) atau konseling dan tes suka rela merupakan
kegiatan konseling yang bersifat suka rela dan rahasia, yang dilakukan sebelum
dan sesudah tes darah di laboratorium. Tes HIV dilakukan setelah klien terlebih
dahulu memahami dan menandatangani informed consent yaitu surat
persetujuan setelah mendapatkan penjelasan yang lengkap dan benar. Pelayanan
VCT harus dilakukan oleh petugas yang sangat terlatih dan memiliki
keterampilan konseling dan pemahaman akan HIV/AIDS. Konseling dilakukan
oleh konselor terlatih dengan modul VCT. Mereka dapat berprofesi perawat,
pekerja sosial, dokter, psikolog, psikiater atau profesi lain.
2. Informed Consend untuk Test HIV
Tes HIV adalah sebagai tes darah yang digunakan untuk memastikan apakah
seseorang sudah positif terinfeksi HIV atau tidak, yaitu dengan cara mendeteksi
adanya antibodi HIV didalam sampel darahnya. Hal ini perlu dilakukan
setidaknya agar seseorang bisa mengetahui secara pasti status kesehatan
dirinya, terutama menyangkut risiko dari perilakunya selama ini.
Tes HIV Harus Bersifat :
a. Sukarela
Bahwa seseorang yang akan melakukan tes HIV haruslah berdasarkan atas
kesadarannya sendiri, bukan atas paksaan / tekanan orang lain ini juga
berarti bahwa dirinya setuju untuk dites setelah mengetahui hal-hal apa saja
yang tercakup dalam tes itu, apa keuntungan dan kerugian dari testing, serta
apa saja implikasi dari hasil positif ataupun hasil (-)
b. Rahasia
Apapun hasil tes ini (baik positif maupun negatif) hasilnya hanya boleh
diberitahu langsung kepada orang yang bersangkutan.
c. Individu
Tidak boleh diwakilkan kepada siapapun, baik orang tua / pasangan, atasan
atau siapapun.
Semua tes HIV harus mendapat informed consent dari klien setelah klien
diberikan informasi yang cukup tentang tes, tujuan tes, implikasi hasil tes
positif atau negatif yang berupa konseling pra tes. Dalam menjalankan fungsi
perawat sebagai advokat bagi klien, tugas perawat dalam informed consent
adalah memastikan bahwa informed consent telah meliputi tiga aspek penting
yaitu:
a. Persetujuan harus diberikan secara sukarela.
b. Persetujuan harus diberikan oleh individu yang mempunyai kapasitas dan
kemampuan untuk memahami.
c. Persetujuan harus diberikan setelah diberikan informasi yang cukup sebagai
pertimbangan untuk membuat keputusan.
Persetujuan pada tes HIV harus bersifat jelas dan khusus, maksudnya,
persetujuan diberikan terpisah dari persetujuan tindakan medis atau tindakan
perawatan lain (Kelly 1997 dalam Chitty 1993). Persetujuan juga sebaiknya
dalam bentuk tertulis, karena persetujuan secara verbal memungkinkan pasien
untuk menyangkal persetujuan yang telah diberikannya di kemuadian hari.
Depkes Afrika pada Bulan Desember 1999 mengeluarkan kebijakan tentang
perkecualian dimana informed consent untuk tes HIV tidak diperlukan yaitu
untuk skrening HIV pada darah pendonor dimana darah ini tanpa nama. Selain
itu informed consent juga tidak diperlukan pada pemeriksaan tes inisial HIV
(Rapid Tes) pada kasus bila ada tenaga kesehatan yang terpapar darah klien
yang di curigai terinfeksi HIV, sementara klien menolak dilakukan tes HIV
dan terdapat sampel darah.
3. Aspek Etik dan Legal Tes HIV
Informed consent adalah persetujuan yang diberikan pasien atau keluarga
atas dasar penjelasan mengenai tindakan medis yang akan dilakukan terhadap
pasien tersebut (Permenkes, 1989). Dasar dari informed consent yaitu;
a. Asas menghormati otonomi pasien setelah mendapatkan informasi yang
memadai pasien bebas dan berhak memutuskan apa yang akan dilakukan
terhadapnya.
b. Kepmenkes 1239/Menkes/SK/XI/2001 pasal 16: dalam melaksanakan
kewenangannya perawat wajib menyampaikan informasi dan meminta
persetujuan tindakan yang akan dilakukan
c. PP No. 32 tahun1996 tentang tenaga kesehatan pasal 22 ayat 1: bagi tenaga
kesehatan dalam menjalankan tugas wajib memberikan informasi dan
meminta persetujuan.
d. UU No. 23 tahun 1992 tentang tenaga kesehatan pasal 15 ayat 2: tindakan
medis tertentu hanya bisa dilakukan dengan persetujuan yang bersangkutan
atas keluarga.
4. Kerahasiaan Status HIV
Pasien HIV berhak atas kerahasiaan, ini sesuai dengan prinsip etik asas
kerahasiaan yaitu kerahasiaan klien harus dihorma! meskipun klien meninggal.
Untuk itu tenaga kesehatan mempunyai kewajiban untuk melindungi hak klien
tersebut dengan tetap merahasiakan apapun yang berhubungan dengan klien.
Hak klien atas kerahasiaan ini juga dilindungi oleh hukum sehingga apabila kita
melanggarnya kita bisa terkena sanksi hukum. Terdapat perkecualian di mana
pasien HIV/AIDS bisa dibuka yaitu bilamana:
1. Berhubungan dengan administrasi .
2. Bila kita dimintai keterangan dipersidangan.
3. Informasi bisa diberikan kepada seseorang yang merawat atau memberikan
konseling dan informasi diberikan dengan tujuan untuk merawat, mengobati,
atau memberikan konseling pada klien.
4. Informasi diberikan kepada Depkes. Berdasarkan Instruksi Menkes no.
72/Menkes/Inst/II/1988 tentang kewajiban melaporkan penderita dengan
gejala AIDS: petugas kesehatan yang mengetahui atau menemukan
seseorang dengan gejala AIDS wajib melaporan kepada sarana pelayanan
kesehatan yang di teruskan.
5. Informasi diberikan kepada partner seks atau keluarga yang merawat klien
dan berisiko terinfeksi oleh klien karena klien tidak mau menginformasikan
pada keluarga atau pasangan seksnya dan melakukan hubungan seksual yang
aman. Hal ini berkaitan dengan tugas tenaga kesehatan untuk melindungi
masyarakat. keluarga dan orang terdekat klien dari bahaya tertular HIV.
dalam hai ini, Petugas kesehatan boleh membuka status HIV pasien hanya
jika petugas mengidentifikasi keluarga/partner seks klien berisiko tinggi
tertular, pasien menolak memberi tahu pasangannya atau melakukan
hubungan seks yang aman, pasien telah diberi konseling tentang pen!ngnya
memberi tahu pasangan/keluarganya dan melakukan hubungan seks yang
aman, tenaga kesehatan telah memberitahu klien bahwa klien berkewajiban
melindungi orang lain dari bahaya penularan HIV/AIDS tapi klien tetap
menolak memberitahu keluarga atau pasangannya tentang status
penyakitnya.
.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dengan di terapkannya prinsip etik keperawatan pada klien dengan gangguan
pisikososial HIV/AIDS, dapat mengurangi diskriminasi terhadap penderita
HIV/AIDS dan dengan diterapkannya prinsip etik juga perawat dapat menghargai
hak-hak asasi pasien sesuai prinsip etika otonomi.
AIDS merupakan model penyakit yang memerlukan dukungan untuk mengatasi
masalah fisik, psikis dan sosial. Gangguan fisik yang berat dapat menimbulkan
beban psikis dan sosial namun stigma masyarakat akan memperberat beban
psikososial penderita. Dalam penatalaksanaan AIDS selain penanganan aspek fisik
maka aspek psikososial perlu diperhatikan dengan seksama.
B. Saran
Sebagai mahasiswa keperawatan hendaknya kita memahami betul tentang HIV,
sehingga kita mampu memberikan peran perawat yang tepat bagi penderita HIV/
AIDS.
DAFTAR PUSTAKA
Sudoyo, Aru W. 2009.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Interna Publishing.