Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

ISU ETIK DAN HUKUM KEPERAWATAN PASIEN DENGAN


HIV/AIDS
Disusun Sebagai Salah Satu Persyaratan Untuk Memenuhi Tugas Salah Satu Mata
Ajar Keperawatan HIV/AIDS

Dosen Pembimbing :

Ns. Ginanjar Sasmito Adi, M.Kep., Sp.Kep.MB

Disusun Oleh :

1. Cindhy Ayu Meilani 1911012030


2. Eri Purba Utomo 1911012008

PROGAM STUDI SI KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JEMBER
TAHUN 2020
KATA PENGANTAR

Assalamu’laikum. Wr. Wb.


Puji syukur kami ucapkan kepada Allah SWT Yang Maha Esa karena atas
Rahmat dan Karunia-Nyalah, kami selaku peyusun makalah yang berjudul “Isu Etik
dan Hukum Keperawatan Pasien HIV/AIDS” yang mana makalah ini sebagai salah
satu tugas dari Mata Kuliah Keperawatan HIV/AIDS, Alhamdulillah dapat
terselesaikan tepat pada waktunya. Maka dengan terselesainya makalah ini, kami
selaku penyusun tidak lupa mengucapkan terima kasih yang sebanyak – banyaknya
kepada :
1.  Ns. Sasmiyanto, S.Kep., M.Kes selaku Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Jember
2. Ns. Yeni Suryaningsih, S.Kep., M.Kep selaku ketua Program Studi S1
Keperawatan Universitas Muhammadiyah Jember
3. Ns. Ginanjar Sasmito Adi, M.Kep., Sp.Kep.MB sebagai dosen pembimbing
4. Kedua orang tua dan keluarga yang telah memberi do’a
5. Teman-teman yang telah memberikan dukungan
Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan resume ini. Untuk
itu kami mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang sifatnya membangun
sehingga dapat digunakan untuk membantu perbaikan mendatang dan atas perhatian
dan kerjasamanya kami ucapkan terima kasih.
Wassalamu’alaikum. Wr. Wb

Jember, 25 September 2020

Penyusun
DAFTAR ISI

Halaman Judul
Kata Pengantar................................................................................................................i
Daftar Isi..........................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.................................................................................................1
B. Tujuan...............................................................................................................2
C. Manfaat.............................................................................................................2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Etik dan Hukum dalam Asuhan Keperawatan Pasien HIV/AIDS......4
B. Hak Pasien HIV/AIDS.....................................................................................4
1. Hak atas Pelayanan Kesehatan...................................................................4
2. Hak atas Informasi.....................................................................................5
3. Hak atas Kerahasiaan.................................................................................6
4. Hak atas Persetujuan Tindakan Medis.....................................................10
C. Isu Etik dan Hukum pada Konseling Pra dan Pasca Tes HIV.........................5
1. Konseling Pra dan Pasca-tes HIV..............................................................6
2. Informed Consend untuk Test HIV..........................................................10
3. Aspek Etik dan Legal Tes HIV................................................................17
4. Kerahasiaan Status HIV.............................................................................6
E. Isu Terkait Perkerjaan.....................................................................................10
F. Stigma dan Diskriminasi.................................................................................17
G. Etik Terkait Partisipasi dalam Riset Kesehatan.............................................17
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan....................................................................................................18
B. Saran...............................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
AIDS dapat diartikan sebagai kumpulan dari gejala atau penyakit yang
disebabkan oleh menurunnya daya tubuh akibat infeksi oleh virus HIV (Human
Immunodefeciency Virus). AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi HIV (Djauzi
S, 2006). Permasalahan HIV AIDS ini sudah menjadi permasalahan nasional
bahkan di tingkat global epidemi HIV juga masih menjadi tantangan serta menjadi
isu yang sensitif, dengan situasi yang demikian maka tidak dipungkiri bahwa
masih tinggi Stigma dan Diskriminasi terkait HIV AIDS di masyarakat.
Pada awal mula penyakit ini berkembang di Indonesia, kelompok pengidap
penyakit ini adalah orang-orang yang memiliki perilaku berganti- ganti pasangan
dalam berhubungan seks. Kebanyakan penderita AIDS adalah mereka yang
melakukan perilaku seks tidak sehat, yang dalam hal ini melanggar norma-norma
yang berlaku dalam masyarakat. Kemudian, AIDS juga banyak diderita oleh
pemakai narkoba yang menggunakan jarum suntik karena adanya kebiasaan
menggunakan jarum suntik secara bergantian. Kenyataan ini menimbulkan stigma
pada masyarakat yang menyebutkan bahwa HIV/AIDS muncul sebagai akibat
penyimpangan perilaku seks dari nilai, norma, dan agama, penyakit pergaulan
bebas, atau penyakit kaum perempuan nakal. Bahkan lebih parah lagi adanya
stigma bahwa HIV/AIDS merupakan kutukan Tuhan karena perbuatan-perbuatan
menyimpang tersebut.
Adanya stigma dalam masyarakat ini menimbulkan masalah psikosial yang
rumit bagi penderita AIDS. Pengucilan penderita dan diskriminasi tidak jarang
membuat penderita AIDS tidak mendapatkan hak-hak asasinya. Begitu luasnya
masalah sosial yang berkaitan dengan stigma ini, karena diskriminasi terjadi di
berbagai pelayanan masyarakat bahkan tidak jarang dalam pelayanan kesehatan
sendiri.
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Adapun tujuan umum yang diinginkan penulis yaitu dapat mengetahui dan
memahami konsep isu etik dan hukum keperawatan pada pasien HIV/AIDS
2. Tujuan Khusus
Setelah disusunnya makalah ini di harapkan penulis mampu:
a. Menjelaskan konsep etik dan hukum keperawatan HIV/AIDS
b. Menjelaskan dan menyebutkan hak pasien HIV/AIDS
c. Menjelaskan dan menyebutkan isu etik dan hukum pada konseling pra dan
pasca tes HIV/AIDS
d. Menjelaskan isu terkait HIV/AIDS
e. Menjelaskan stigma dan diskriminasi
f. Menjelaskan etik partisipasi dalam riset kesehatan

C. Manfaat
1. Manfaat Teoritis
Makalah ini dapat digunakan untuk pengetahuan dan pengembangan dalam
ilmu pengetahuan serta keperawatan.
2. Manfaat Khusus
a. Penulis
Mendapatkan pengetahuan dalam penerapan dan pengaplikasian dalam
memberikan asuhan keperawatan terkait isu etik dan hukum kepada pasien
HIV/AIDS.
b. Akademik
Sebagai kepustakaan dan sumber refrensi serta sumber bacaan untuk
mengembangkan ilmu keperawatan khususnya ditinjau dari ilmu
keperawatan HIV/AIDS.
d. Pelayanan Kesehatan
Memberikan pengetahuan, pengarahan serta bahan masukan yang
diperlukan dalam pelaksanaan praktik pelayanan keperawatan terutama
terkait asuhan keperawatan HIV/AIDS bagi petugas kesehatan
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Etik dan Hukum dalam Asuhan Keperawatan Pasien HIV/AIDS


Etik berasal dari bahasa Yunani “ethos“ yang berarti adat kebiasaan yang baik
atau yang seharusnya dilakukan. Dalam organisasi profesi kesehatan pedoman
baik atau buruk dalam melakukan tugas profesi telah dirumuskan dalam bentuk
kode etik yang penyusunannya mengacu pada sistem etik dan asas etik yang ada.
Meskipun terdapat perbedaan aliran dan pandangan hidup, serta adanya
perubahan dalam tata nilai kehidupan masyarakat secara global, tetapi dasar etik
di bidang kesehatan.
Kesehatan klien senantiasa akan selalu di utamakan dan tetap merupakan asas
yang tidak pernah berubah. Asas dasar tersebut dijabarkan menjadi enam asas
etik (Hariadi, 2004), yaitu:
1. Asas menghormati otonomi klien
Klien mempunyai kebebasan untuk mengetahui dan memutuskan apa yang
akan dilakukan terhadapnya, untuk ini perlu diberikan informasi yang cukup.
2. Asas kejujuran
Tenaga kesehatan hendaknya mengatakan yang sebenarnya tentang apa yang
terjadi, apa yang akan dilakukan serta risiko yang dapat terjadi .
3. Asas tidak merugikan
Tenaga kesehatan tidak melakukan tindakan yang tidak diperlukan dan
mengutamakan tindakan yang tidak merugikan klien serta mengupayakan
risiko yang paling minimal atas tindakan yang dilakukan.
4. Asas tidak merugikan
Semua tindakan yang dilakukan terhadap klien harus bermanfaat bagi klien
untuk mengurangi penderitaan atau memperpanjang hidupnya.
5. Asas kerahasiaan
Kerahasiaan klien harus dihormati meskipun klien telah meninggal.
6. Asas keadilan
Tenaga kesehatan harus adil, tidak membedakan kedudukan sosial ekonomi,
pendidikan, jender, agama, dan lain sebagainya.
Upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS tidak dapat
dipisahkan dari aspek hukum dan hak Asasi manusia (HAM). Permasalahan
pokok yang menyangkut hukum berkaitan dengan maraknya kasus HIV/ AIDS
adalah bagaimana menyeimbangkan antara perlindungan kepentingan
masyarakat dan  kepentingan individu pengidap HIV dan penderita AIDS (Indar,
2010).
Aspek hukum dan HAM merupakan dua komponen yang sangat penting dan
ikut berpengaruh terhadap berhasil tidaknya program penanggulangan yang
dilaksanakan. Telah diketahui bahwa salah satu sifat utama dari fenomena HIV
& AIDS terletak pada keunikan dalam penularan dan pencegahannya. Berbeda
dengan beberapa penyakit menular lainnya yang penularannya dibantu serta
dipengaruhi oleh alam sekitar, pada HIV & AIDS  penularan dan pencegahannya
berhubungan dengan dan atau tergantung pada perilaku manusia.

B. Hak Pasien HIV/AIDS


Menurut Pasal 4 UU Kesehatan No. 36/2009 dinyatakan bahwa setiap orang
berhak atas kesehatan. Permasalahan HIV dan AIDS sangat terkait dengan hak
atas kesehatan. Hak atas kesehatan adalah aset utama keberadaan umat manusia
karena terkait dengan kepastian akan adanya pemenuhan atas hak yang lain,
seperti pendidikan dan pekerjaan. Secara garis besar di dalam UU Kesehatan
perlindungan hukum terhadap penderita HIV/ AIDS diatur mengenai :
1. Hak atas Pelayanan Kesehatan
Undang-Undang Kesehatan mewajibkan perawatan diberlakukan kepada
seluruh masyarakat tanpa kecuali termasuk penderita HIV AIDS. Dalam Pasal 5
UU Kesehatan  dinyatakan bahwa terdapat kesamaan hak tiap orang dalam
mendapatkan akses atas sumber daya kesehatan, memperoleh pelayanan
kesehatan yang aman, bermutu dan terjangkau.Tugas pemerintah dalam hal ini
untuk menyediakan tenaga medis, paramedik dan tenaga kesehatan lainnya
yang cukup dalam memberikan pelayanan kesehatan bagi penderita HIV/AIDS
dan menjamin ketersediaan segala bentuk upaya kesehatan sehingga tercapai
derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Penyediaan obat dan perbekalan
kesehatan serta jaminan ketersediaan obat dan alat kesehatan diatur dalam UU
Kesehatan dan berlaku juga bagi penderita HIV/AIDS.
2. Hak atas Informasi
Pasal 7 UU Kesehatan secara tegas mengatakan bahwa setiap orang berhak
mendapatkan informasi dan edukasi tentang kesehatan serta informasi tentang
data kesehatan dirinya termasuk tindakan dan pengobatan atas dirinya pada
pasal 8. Peningkatan pendidikan untuk menangani HIV dan AIDS termasuk
metode pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS serta peningkatan
pemahaman masyarakat mengenai pentingnya pencegahan dan penyebaran HIV
dan AIDS, misalnya melalui penyuluhan dan sosialisasi merupakan upaya
dalam memberikan informasi mengenaiHIV/AIDS.
3. Hak atas Kerahasiaan
Hak atas kerahasiaan dalam UU Kesehatan diatur dalam Pasal 57 dimana
setiap orang berhak atas rahasia kondisi kesehatannya. Selain itu UUPK No.
29/2004 juga mengatur mengenai rahasia medis dan rekam medis ini pada
paragraph 3 dan 4 tentang rekam medis dan rahasia kedokteran. Rahasia Medis
itu bersifat pribadi, hubungannya hanya antara dokter - pasien.  Ini berarti
seorang dokter tidak boleh mengungkapkan tentang rahasia penyakit pasien
yang dipercayakannya kepada orang lain, tanpa seizin si pasien. Masalah HIV /
AIDS banyak sangkut pautnya dengan Rahasia Medis sehingga kita harus
berhati hati dalam menanganinya. Dalam mengadakan peraturan  hukum, selalu
terdapat dilema antara kepentingan masyarakat dan kepentingan perseorangan.
Seringkali harus dipertimbangkan kepentingan mana yang dirasakan lebih
berat. Dalam sistim Demokrasi, hak asasi seseorang harus diindahkan, namun
hak asasi ini tidaklah berarti bersifat mutlak. Pembatasan dari hak asasi
seseorang adalah hak asasi orang lain didalam masyarakat itu. Jika ada
pertentangan kepentingan, maka hak perorangan harus mengalah terhadap
kepentingan masyarakat banyak.
4. Hak atas Persetujuan Tindakan Medis
Dalam pasal 56 UU Kesehatan diatur tentang persetujuan tindakan medis
atau informed consent. Masalah AIDS juga ada erat kaitannya dengan Informed
Consent. Merupakan tugas dan kewajiban seorang dokter untuk memberikan
informasi tentang penyakit-penyakit yang diderita pasien dan tindakan apa yang
hendak dilakukan, disamping wajib merahasiakannya. Pada pihak lain
kepentingan masyarakat juga harus dilindungi.
Semua tes HIV harus mendapatkan informed consent dari pasien setelah
pasien diberikan informasi yang cukup tentang tes, tujuan tes,implikasi hasil tes
positif ataupun negatif yang berupa konseling prates.

C. Isu Etik dan Hukum pada Konseling Pra dan Pasca Tes HIV
1. Konseling Pra dan Pasca-tes HIV
Konseling adalah proses pertolongan dimana seseorang dengan tulus ikhlas
dan tujuan yang jelas memberikan waktu, perhatian dan keahliannya untuk
membantu klien mempelajari dirinya, mengenali dan melakukan pemecahan
masalah terhadap keterbatasan yang diberikan lingkungan. Voluntary
counseling and tesing (VCT) atau konseling dan tes suka rela merupakan
kegiatan konseling yang bersifat suka rela dan rahasia, yang dilakukan sebelum
dan sesudah tes darah di laboratorium. Tes HIV dilakukan setelah klien terlebih
dahulu memahami dan menandatangani informed consent yaitu surat
persetujuan setelah mendapatkan penjelasan yang lengkap dan benar. Pelayanan
VCT harus dilakukan oleh petugas yang sangat terlatih dan memiliki
keterampilan konseling dan pemahaman akan HIV/AIDS. Konseling dilakukan
oleh konselor terlatih dengan modul VCT. Mereka dapat berprofesi perawat,
pekerja sosial, dokter, psikolog, psikiater atau profesi lain.
2. Informed Consend untuk Test HIV
Tes HIV adalah sebagai tes darah yang digunakan untuk memastikan apakah
seseorang sudah positif terinfeksi HIV atau tidak, yaitu dengan cara mendeteksi
adanya antibodi HIV didalam sampel darahnya. Hal ini perlu dilakukan
setidaknya agar seseorang bisa mengetahui secara pasti status kesehatan
dirinya, terutama menyangkut risiko dari perilakunya selama ini.
Tes HIV Harus Bersifat :
a. Sukarela
Bahwa seseorang yang akan melakukan tes HIV haruslah berdasarkan atas
kesadarannya sendiri, bukan atas paksaan / tekanan orang lain ini juga
berarti bahwa dirinya setuju untuk dites setelah mengetahui hal-hal apa saja
yang tercakup dalam tes itu, apa keuntungan dan kerugian dari testing, serta
apa saja implikasi dari hasil positif ataupun hasil (-)
b. Rahasia
Apapun hasil tes ini (baik positif maupun negatif) hasilnya hanya boleh
diberitahu langsung kepada orang yang bersangkutan.
c. Individu
Tidak boleh diwakilkan kepada siapapun, baik orang tua / pasangan, atasan
atau siapapun.
Semua tes HIV harus mendapat informed consent dari klien setelah klien
diberikan informasi yang cukup tentang tes, tujuan tes, implikasi hasil tes
positif atau negatif yang berupa konseling pra tes. Dalam menjalankan fungsi
perawat sebagai advokat bagi klien, tugas perawat dalam informed consent
adalah memastikan bahwa informed consent telah meliputi tiga aspek penting
yaitu:
a. Persetujuan harus diberikan secara sukarela.
b. Persetujuan harus diberikan oleh individu yang mempunyai kapasitas dan
kemampuan untuk memahami.
c. Persetujuan harus diberikan setelah diberikan informasi yang cukup sebagai
pertimbangan untuk membuat keputusan.
Persetujuan pada tes HIV harus bersifat jelas dan khusus, maksudnya,
persetujuan diberikan terpisah dari persetujuan tindakan medis atau tindakan
perawatan lain (Kelly 1997 dalam Chitty 1993). Persetujuan juga sebaiknya
dalam bentuk tertulis, karena persetujuan secara verbal memungkinkan pasien
untuk menyangkal persetujuan yang telah diberikannya di kemuadian hari.
Depkes Afrika pada Bulan Desember 1999 mengeluarkan kebijakan tentang
perkecualian dimana informed consent untuk tes HIV tidak diperlukan yaitu
untuk skrening HIV pada darah pendonor dimana darah ini tanpa nama. Selain
itu informed consent juga tidak diperlukan pada pemeriksaan tes inisial HIV
(Rapid Tes) pada kasus bila ada tenaga kesehatan yang terpapar darah klien
yang di curigai terinfeksi HIV, sementara klien menolak dilakukan tes HIV
dan terdapat sampel darah.
3. Aspek Etik dan Legal Tes HIV
Informed consent adalah persetujuan yang diberikan pasien atau keluarga
atas dasar penjelasan mengenai tindakan medis yang akan dilakukan terhadap
pasien tersebut (Permenkes, 1989). Dasar dari informed consent yaitu;
a. Asas menghormati otonomi pasien setelah mendapatkan informasi yang
memadai pasien bebas dan berhak memutuskan apa yang akan dilakukan
terhadapnya.
b. Kepmenkes 1239/Menkes/SK/XI/2001 pasal 16: dalam melaksanakan
kewenangannya perawat wajib menyampaikan informasi dan meminta
persetujuan tindakan yang akan dilakukan
c.  PP No. 32 tahun1996 tentang tenaga kesehatan pasal 22 ayat 1: bagi tenaga
kesehatan dalam menjalankan tugas wajib memberikan informasi dan
meminta persetujuan.
d. UU No. 23 tahun 1992 tentang tenaga kesehatan pasal 15 ayat 2: tindakan
medis tertentu hanya bisa dilakukan dengan persetujuan yang bersangkutan
atas keluarga.
4. Kerahasiaan Status HIV
Pasien HIV berhak atas kerahasiaan, ini sesuai dengan prinsip etik asas
kerahasiaan yaitu kerahasiaan klien harus dihorma! meskipun klien meninggal.
Untuk itu tenaga kesehatan mempunyai kewajiban untuk melindungi hak klien
tersebut dengan tetap merahasiakan apapun yang berhubungan dengan klien.
Hak klien atas kerahasiaan ini juga dilindungi oleh hukum sehingga apabila kita
melanggarnya kita bisa terkena sanksi hukum. Terdapat perkecualian di mana
pasien HIV/AIDS bisa dibuka yaitu bilamana:
1. Berhubungan dengan administrasi .
2. Bila kita dimintai keterangan dipersidangan.
3. Informasi bisa diberikan kepada seseorang yang merawat atau memberikan
konseling dan informasi diberikan dengan tujuan untuk merawat, mengobati,
atau memberikan konseling pada klien.
4. Informasi diberikan kepada Depkes. Berdasarkan Instruksi Menkes no.
72/Menkes/Inst/II/1988 tentang kewajiban melaporkan penderita dengan
gejala AIDS: petugas kesehatan yang mengetahui atau menemukan
seseorang dengan gejala AIDS wajib melaporan kepada sarana pelayanan
kesehatan yang di teruskan.
5. Informasi diberikan kepada partner seks atau keluarga yang merawat klien
dan berisiko terinfeksi oleh klien karena klien tidak mau menginformasikan
pada keluarga atau pasangan seksnya dan melakukan hubungan seksual yang
aman. Hal ini berkaitan dengan tugas tenaga kesehatan untuk melindungi
masyarakat. keluarga dan orang terdekat klien dari bahaya tertular HIV.
dalam hai ini, Petugas kesehatan boleh membuka status HIV pasien hanya
jika petugas mengidentifikasi keluarga/partner seks klien berisiko tinggi
tertular, pasien menolak memberi tahu pasangannya atau melakukan
hubungan seks yang aman, pasien telah diberi konseling tentang pen!ngnya
memberi tahu pasangan/keluarganya dan melakukan hubungan seks yang
aman, tenaga kesehatan telah memberitahu klien bahwa klien berkewajiban
melindungi orang lain dari bahaya penularan HIV/AIDS tapi klien tetap
menolak memberitahu keluarga atau pasangannya tentang status
penyakitnya.

E. Isu Terkait Pekerjaan


Karena keterkaitannya yang erat dengan perilaku seksual, penggunaan obat-
obatan terlarang, dan penurunan kondisi fisik dan kematian, AIDS menimbulkan
stigma sosial, menurut pernyataan sikap ANA, kewajiban moral untuk merawat
klien yang terinfeksi HIV tidak dapat di kesampingkan, kecuali jika resikonya
melebihi tanggung jawab. “bukan  hanya asuhan  keperawatan yang  harus
diberikan, tetapi perawat harus diberi tahu juga mengenai resiko dan tanggung
jawab yang mereka hadapi dalam memberikan  asuhan  keperawatan menerima
resiko pribadi  yang melebihi batasan tugas bukan kewajiban moral, melainkan
pilihan moral” (ANA, 1998 dalam Kozier, 2010).
 Isu etik lainnya berpusat pada pemeriksaan untuk mengetahui status HIV dan
adanya AIDS pada  professional kesehatan  klien muncul pertanyaan mengenai
apakah semua penyedia pelayanan kesehatan dan pasien wajib atau secara sukarela
menjalani pemeriksaan ini dan apakah hasil pemeriksaan tersebut harus diberikan
kepada perusahaan asuransi, pasangan seksual, atau  pemberi asuhan. sama halnya
dengan  semua dilematik, terdapat dampak positif dan  negative setiap
kemungkinan  bagi individu tersebut.

F. Stigma dan Diskriminasi


Stigma atau cap buruk adalah tindakan memvonis seseorang buruk
moral/perilakunya sehingga mendapatkan peyakit tersebut. Orang-orang yangdi
stigma biasanya di anggap memalukan untuk alasan tertentu dan sebagaiakibatnya
mereka dipermalukan, dihindari, dideskreditkan, ditolak, ditahan.
Penelitian yang dilakukan oleh Kristina di Kalimantan Selatan dan Cipto
(2006) di Jember Jatim tentang pengaruh pendidikan kesehatan terhadap
pengetahuan dan sikap siswa mengenai stigma pada orang dengan HIV/AIDS
menunjukkan bahwa 72% orang yang berpendidikan cukup (SMU)
kurangmenerima ODHA dan hanya 5% yang cukup menerima. Faktor yang
berhubungan dengan kurang diterimanya ODHA antara lain karenaHIV/AIDS
dihubungkan dengan perilaku menyimpang seperti seks sesame jenis, penggunaan
obat terlarang, seks bebas, serta HIV diakibatkan olehkesalahan moral sehingga
patut mendapatkan hukuman (Kristina, 2005) & Cipto (2006).

G. Etik Terkait Partisipasi dalam Riset Kesehatan


Norma etik dalam riset biomedik berdasarkan pada empat prinsip yaitu
autonomy, beneficience, non maleficience dan Justice (Declaration of
Helsinki,1975). Dalam kaitannya dengan HIV, pasien sebagai obyek riset berhak
atas informed consent sebelum mereka berpartisipasi dalam riset. Partisipasi
seseorang dalam riset harus diberikan secara suka rela dan berdasarkan
pengetahuan tentang risiko dan keuntungan berpartisipasi.

.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dengan di terapkannya prinsip etik keperawatan pada klien dengan gangguan
pisikososial HIV/AIDS, dapat mengurangi diskriminasi terhadap penderita
HIV/AIDS dan dengan diterapkannya prinsip etik juga perawat dapat menghargai
hak-hak asasi pasien sesuai prinsip etika otonomi.
AIDS merupakan model penyakit yang memerlukan dukungan untuk mengatasi
masalah fisik, psikis dan sosial. Gangguan fisik yang berat dapat menimbulkan
beban psikis dan sosial namun stigma masyarakat akan memperberat beban
psikososial penderita. Dalam penatalaksanaan AIDS selain penanganan aspek fisik
maka aspek psikososial perlu diperhatikan dengan seksama.

B. Saran
Sebagai mahasiswa keperawatan hendaknya kita memahami betul tentang HIV,
sehingga kita mampu memberikan peran perawat yang tepat bagi penderita HIV/
AIDS.
DAFTAR PUSTAKA

Cipto, Susilo. 2006. Pengaruh Penyuluhan terhadap Penurunan


Stigma       Masyarakat     tentang HIV/AIDS. Skripsi. Surabaya, PSIK FK
Unair.

Nursalam dkk. 2007. Asuhan Keperawatan pada Pasien Terinfeksi HIV dan


AIDS.            Jakarta: Salemba Medika.

Widoyono. 2005. Penyakit Tropis: Epidomologi, Penularan, Pencegahan,


dan         Pemberantasannya. Jakarta: Erlangga Medical Series.

Hanwari, D.2009.Global Effect HIV/AIDS Dimensi Psikoreligi.Jakarta:FKUL.

Sudoyo, Aru W. 2009.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Interna Publishing.

Kozier. 2010.  Fundamental Keperawatan Vol.1. Jakarta:EGC

Indar. 2010. Etika dan Hukum Kesehatan. Makassar : Lembaga Penerbitan


Universitas      Hasanuddin (Lephas).

Anda mungkin juga menyukai