Anda di halaman 1dari 22

Model Asuhan Keperawatan Sesuai Pendekatan Budaya

pada Budaya Aceh di Indonesia

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Laporan Proyek


Mata Kuliah Psikososial dan Budaya dalam Keperawatan
Dosen Pembimbing: Ns. Fathra, A.Nauli, M.Kep, Sp. Kep. J

Kelompok 7 A 2020 2 :
1. Angelina Victoria S. (2011114356)
2. Bunga Aprilia (2011113561)
3. Ella Biisnilla (2011114359 )
4. Khairatul Husnia (2011116723)
5. Nabiela Aswaty (2011125083)
6. Nabila Putri (2011113557)
7. Pingkan Deni Pramudita (2011113562)
8. Sulistyawati (2011114361)
9. Vivi Maisantri (2011114587)

Fakultas Keperawatan
Universitas Riau
2021
1.1 Budaya dan Antropologi dalam Pemberian Asuhan Keperawatan

A. Fungsi kebudayaan dalam pemberian asuhan keperawatan yang peka budaya kepada
pasien
a. Pengertian Kebudayaan
Secara etimologis, kata “Kebudayaan” berasa dari bahasa Sanskerta,
Buddhayah, bentuk jamak dari kata buddhi yang berarti akal atau budi. Budaya
adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah
kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Kebudayaan menurut
Ki Hajar Dewantara berarti buah budi manusia adalah hasil perjuangan manusia
terhadap dua pengaruh kuat, yakni alam dan zaman (kodrat dan masyarakat) yang
merupakan bukti kejayaan hidup manusia untuk mengatasi berbagai rintangan dan
kesukaran di dalam hidup dan penghidupannya guna mencapai keselamatan dan
kebahagiaan yang pada lahirnya bersifat tertib dan damai.

Malinowski menyebutkan bahwa kebudayaan pada prinsipnya berdasarkan


atas berbagai sistem kebutuhan manusia. Tiap tingkat kebutuhan itu
menghadirkan corak budaya yang khas. Misalnya, guna memenuhi kebutuhan
manusia akan keselamatannya maka timbul kebudayaan yang berupa
perlindungan, yakni seperangkat budaya dalam bentuk tertentu seperti lembaga
kemasyarakatan.

Dalam hal ini, Prof. Dr. Koentjoroningrat mendefinisikan kebudayaan sebagai


keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka
kehidupan bermasyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Hal
tersebut berarti bahwa hampir seluruh tindakan manusia adalah kebudayaan
karena hanya sedikit tindakan manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang
tak perlu dibiasakan dengan belajar, seperti tindakan naluri, refleks, beberapa
tindakan akibat proses fisiologi, atau kelakuan apabila ia sedang membabi buta.
Bahkan tindakan manusia yang merupakan kemampuan naluri yang terbawa oleh
makhluk manusia dalam gen bersamanya (seperti makan, minum, atau berjalan),
juga dirombak olehnya menjadi tindakan yang berkebudayaan.

b. Pengertian Antropologi
Antropologi berasal dari dua akar kata Yunani: anthropos, artinya “orang”
atau “manusia”; dan logos, artinya “ilmu/nalar”. Menurut kamus athropology
dapat diartikan sebagai suatu ilmu yang berusaha mencapai pengertian tentang
makhluk manusia dengan mempelajari aneka warna bentuk fisik, kepribadian,
masyarakat, serta kebudayaannya. Dari analisis usul asal kata, disimpulkan
bahwa antropologi merupakan ilmu pengetahuan tentang manusia. Dalam refleksi
yang lebih bebas, antropologi adalah ilmu pengetahuan yang mencoba menelaah
sifat-sifat manusia secara umum dan menempatkan manusia yang unik dalam
sebuah lingkungan hidup yang lebih bermartabat.
Pengertian Antropologi Menurut Ahli Berikut adalah beberapa pengertian dari
Antropologi:
(a) Keesing (1981)2, Antropologi adalah kajian tentang manusia.
(b) Haviland (1985)3, Antropologi adalah suatu studi tentang manusia
dan perilakunya dan melaluinya diperoleh pengertian lengkap tentang
keanekaragaman manusia.
(c) Prof Harsojo4, Antropologi adalah ilmu pengetahuan yang
mempelajari tentang umat manusia sebagai mahkluk masyarakat,
terutama pada sifat-sifat khusus badani dan cara-cara produksi,
tradisi-tradisi dan nilai-nilai yang membuat pergaulan hidup menjadi
berbeda dari yang satu dengan lainnya.
(d) Koentjaraningrat (2009)5, Ilmu antropologi memperhatikan 5 (lima)
buah masalah mengenai makhluk hidup yaitu :
(1) Masalah pada perkembangan manusia sebagai makhluk biologis
(2) Masalah pada sejarah terjadinya aneka bentuk makhluk manusia,
dipandang dari sudut ciri-ciri tubuhnya.
(3) Masalah pada sejarah asal, perkembangan, serta penyebaran berbagai
macam bahasa di seluruh dunia.
(4) Masalah persebaran dan terjadinya keanekaragaman kebudayaan
manusia di seluruh dunia.
(5) Masalah pada dasar-dasar dan keanekaragaman kebudayaan manusia
dalam kehidupan masyarakatmasyarakat dan suku bangsa yang
tersebar di seluruh penjuru bumi pada zaman sekarang ini.

c. Fungsi Kebudayaan
Fungsi kebudayaan adalah untuk mengatur manusia agar dapat mengerti
bagaimana seharusnya bertindak dan berbuat untuk menentukan sikap kalau akan
berhubungan dengan orang lain didalam menjalankan hidupnya. Kebudayaan
berfungsi sebagai:
1. Suatu hubungan pedoman antar manusia atau kelompok.
2. Wadah untuk menyakurkan perasaan-perasaan dan kehidupan lainnya.
3. Pembimbing kehidupan manusia.
4. Pembeda antar manusia dan binatang.

d. Kebudayaan Aceh
a. Pengertian kebudayaan Aceh
Aceh merupakan sebuah daerah yang multi kultural, multi etnik, agama, ras
dan golongan. Akibat dari percampuran ini melahirkan kemajemukan budaya
yang mengantarkan kepada perbedaan sebagai pelaksanaan sikap perilaku
berbagai kelompok masyarakat di seluruh Aceh. "….pengertian kebudayaan itu
sendiri bergantung pada aspek kehidupan masyarakat secara teoritis yang
dianggap pokok untuk pemahaman perilaku warga masyarakat" (Ali, 2013:12).
Dalam ilmu antropologi, "kebudayaan adalah seluruh sistem gagasan,
tindakan dan hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat yang dijadikan
milik diri manusia dengan belajar" (Koentjaraningrat, 2013:144). Definisi tersebut
secara eksplisit mengatakan bahwa hampir seluruh tindakan manusia adalah
kebudayaan karena hanya sedikit tindakan dan perilaku manusia dalam konteks
kehidupan bermasyarakat yang tidak dibiasakan dengan belajar, seperti tindakan
naluri, beberapa refleks, beberapa tindakan akibat proses fisiologi, atau kelakukan
membabi buta.

b. Fungsi budaya aceh dalam bidang kesehatan


Contohnya dalam Perawatan Ibu Nifas:
Pengalaman ibu setelah melahirkan dapat dilihat dari 4 kategori yaitu Madeung/
Sale (Pembakaran) dan Toet Batee (bakar batu), Kusuk (urut/ pijat) pakai pilis,
dan tapel, Pantang makan, dan Minum ramu-ramuan
1.) Madeung/Sale (Pembakaran) dan Toet Batee (bakar batu)
Sale dilakukan dengan memakai arang panas yang di taruh pada sebuah
tungku, kemudian menggunakan tempat tidur atau dipan (balai-balai) yang
dibuat dari kayu atau batang bambu yang bercelah- celah, sehingga uap dan
panas bisa masuk. Dalam penelitian ini sepuluh partisipan mengungkapkan
hal yang sama yaitu semua partisipan melakukan sale. Hal tersebut sesuai
dengan pernyataan para partisipan berikut ini:
“..Setelah lahir anak, saya langsung madeung di atas tempat tidur yang terbuat
dari bambu/bale (bak trieng)’’
Sejak hari pertama di peumadeung (disale) dan diletakkan batu panas di
perut.ibu tidur di atas bale yang terbuat dari bambu atau kayu yang di
bawahnya dihidupkan api.hal ini bertujuan untuk membersihkan darah kotor,
mengembalikan otot dan merampingkan tubuh, demikian ungkapan dari
partisipan sebagai berikut:
“Madeung sekalian bakar batu .... Bakar api dibawah, diatas perut ditaruk batu
sekalian terus. Ada, waktu batunya dingin dibuka lagi kemudian dibakar lagi
batunya... Pagi bakar, kemudian jam 3 bakar lagi dan magrib istirahat”
2.) Kusuk (urut/ pijat), pakai pilis, dan tapel
Ketidakpuasan dilakukan sejak hari pertama melahirkan dan dilanjutkan
selang hari berikutnya. Pernyataan para partisipan tentang perawatan
pengurutan sebagai berikut :
“..perawatannya, sudah lahir anak kecil, kusuk tulang dengan kain, ambil
kainnya diikat pada panggulnya, ditarik dua-dua di rapatkan seperti itu,
kemudian satu di kaki, satu di kepala dimasuk dan ditekan kepalanya berdiri
disini satu disana satu, sudah ditahan itu sesudah lahir,, iya kayak gitu,”
Semua partisipan mayoritas menggunakan parem setelah mandi. Pada seluruh
bagian tubuh. parem ini di gunakan dengan cara di oleskan ke seluruh tubuh.
Parem ini dapat diperoleh dari pasar. Berikut kutipan wawancara dari
beberapa partisipan :
“..setelah melahirkan 1 hari, besok pulang ke rumah dimandiin sama mamak.
Kemudian diberikan param di badan, pilis...
3.) Pantang Makan
Ada beberapa dari partisipan mempertahankan untuk melakukan pantang
makan, seperti ungkapan partisipan berikut ini:
“..Waktu saya sale, tidak boleh makan banyak”.. Pantangan yang partisipan
lakukan seperti; makan telur, sehingga jahitannya menyebabkan terjadi gatal-
gatal dan dianggap bahwa telur adalah penyebab gatal pada luka jahitan. Hal
ini ditunjukkan oleh salah satu ungkapan dari tersebut:
“..daging ayam dan yang tajam tajam seperti buah nenas, ketan, tapr...
pantang!”
4.) Minum ramu ramuan
Semua partisipan mengkonsumsi jamu. Jamu tersebut di olah sendiri, yang
ramuannya berasal dari kunyit. Dengan cara kunyit ditumbuk, disaring,
kemudian air kunyit tersebut di minum setiap pagi juga dibantu dengan makan
tape. Manfaatnya dari minum air kunyit adalah apabila masih ada darah kotor
belum kering maka akan cepat kering. Juga supaya tidak bau badan.
Pernyataan tersebut di atas sesuai dengan pernyataan beberapa partisipan
berikut:
“..sebelum dilakukan pengasapan, saya juga diminumkan jamu oleh orangtua
saya berupa air Kunyit..
“jamu yang saya minum kadang-kadang dibuat sendiri oleh mama saya. Yaitu
ibu kunyit ditumbuk, diperas. Kemudian saya minum untuk badan juga untuk
apabila masih ada darah kotor saya belum kering maka akan cepat kering.
Juga supaya tidak bau badan. Ada juga saya beli jamu yang ada dipasar. Saya
minum juga saya bantu dengan tape..”
Partisipan juga menggunakan ramuan jenis lainnya dalam perawatan masa
nifas. Ramuan tersebut ada yang menggunakan daun nilam, daun kates, bahan
ada ramuan yang mereka beli di toko tanpa harus mengolahnya. Pernyataan
tersebut di atas sesuai dengan pernyataan beberapa partisipan berikut:
“..udah lahir itu ambil daun kates ditumbuk di kasih terus,” Tujuannya Enak,
biar tidak keluar darah putih, panas kemudian besok pagi sudah bakar batu itu
sekali kemudian apa yang suka dikasih, apa di kasih apa kunyit apa yang
paling pahit pun bisa itu menurut orang yang sanggup minum...”

B. Faktor yang mempengaruhi antropologi kesehatan dalam pemberian asuhan keperawatan


yang peka budaya kepada pasien
a. Pengertian antropologi kesehatan
Antropologi kesehatan adalah studi tentang pengaruh unsur-unsur budaya
terhadap penghayatan masyarakat tentang penyakit dan kesehatan (Solita Sarwono,
1993). Antropologi Kesehatan mengkaji masalah-masalah kesehatan dan penyakit
dari dua kutub yang berbeda yaitu kutub biologi dan kutub sosial budaya.
(1) Pokok perhatian Kutub Biologi :
a. Pertumbuhan dan perkembangan manusia
b. Peranan penyakit dalam evolusi manusia
c. Paleopatologi (studi mengenai penyakit-penyakit purba)

(2) Pokok perhatian kutub sosial-budaya :


a. Sistem medis tradisional (etnomedisin)
b. Masalah petugas-petugas kesehatan dan persiapan profesional mereka
c. Tingkah laku sakit
d. Hubungan antara dokter pasien
e. Dinamika dari usaha memperkenalkan pelayanan kesehatan barat
kepada masyarakat tradisional.
Antropologi Kesehatan adalah disiplin yang memberi perhatian pada
aspek-aspek biologis dan sosio-budaya dari tingkah laku manusia, terutama
tentang cara-cara interaksi antara keduanya disepanjang sejarah kehidupan
manusia, yang mempengaruhi kesehatan dan penyakit pada manusia
(Foster/Anderson, 1986; 1-3).
Istilah “Antropologi Kesehatan" telah digunakan sejak 1963 sebagai
sebutan untuk hasil penelitian empiris dan teoritis yang dilakukan oleh
antropologis kedalam proses sosial dan gambaran kebudayaan dari kesehatan,
kesakitan, dan perawatan yang berhubungan dengan kebudayaan.
Antropologi kesehatan merupakan bagian dari antropologi yang
menggambarkan pengaruh sosial, budaya, biologi, dan bahasa terhadap kesehatan
(dalam arti luas) meliputi pengalaman dan distribusi kesakitan, pencegahan dan
pengobatan penyakit, proses penyembuhan dan hubungan sosial manajemen
pengobatan serta kepentingan dan kegunaan kebudayaan untuk sistem kesehatan
yang beranekaragam. Antropologi kesehatan mempelajari bagaimana kesehatan
individu, formasi sosial yang lebih luas dan lingkungan dipengaruhi oleh
hubungan antara manusia dan spesies lain, norma budaya dan institusi sosial,
politik mikro dan makro, dan globalisasi
(3) Selama lebih dari 20 abad konsep popular medicine atau folk medicine
(pengobatan tradisional) telah familiar baik untuk dokter maupun
antropologis.
(4) Istilah tersebut dipakai untuk menggambarkan praktek pengobatan
masyarakat setempat terutama dengan pengetahuan etnobotani mereka.

b. Faktor yang mempengaruhi kesehatan


Kesehatan merupakan faktor pertama dan utama yang mempengaruhi kualitas
SDM dalam mendukung pembangunan berkelanjutan. Status kesehatan seseorang
atau komunitas masyarakat, merupakan hasil interaksi berbagai faktor, baik faktor
internal manusia maupun faktor eksternal manusia.
(1) Faktor internal ini terdiri dari :
a. Faktor fisik
b. Psikis.
(2) Faktor eksternal terdiri dari berbagai faktor seperti:
a. sosial,
b. budaya masyarakat,
c. lingkungan fisik,
d. politik,
e. ekonomi,
f. pendidikan
g. dan sebagainya.
C. Enkulturasi dalam pemberian asuhan keperawatan
Enkulturasi adalah pencemplungan seseorang kedalam suatu lingkungan
kebudayaan, dimana desai khusus untuk kehidupan kelihatan sebagai sesuatu yang
alamiah belaka. Enkulturasi sebagai suatu konsep, secara harfiah dapat diartikan sebagai
proses pembudayaan, enkulturasi mengacu pada proses pembudayaan yang
ditransmisikan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Konsep enkulturasi mengacu pada pewarisan budaya. Pewarisan budaya


mendekati pewarisan biologis. Artinya, enkulturasi dapat terjadi pada proses
pembelajaran budaya orangtua, orang dewasa atau teman sebaya. Dengan kata lain,
pewarisan budaya merupakan proses pembelajaran terhadap seseorang melalui
pendidikan ataupun keluarga. Enkulturasi terjadi di lingkungan budaya yang sama.
Enkulturasi akan berhasil jika seseorang dapat mewarisi budayanya baik bahasa, nilai-
nilai maupun ritual. Enkulturasi merupakan pewarisan budaya kepada seseorang terutama
kepada seorang anak sehingga berperilaku seseuai dengan budayanya.

Contohnya pada budaya aceh adalah Syair lagu dodaidi merupakan karya dari
sebuah nilai kearifan lokal (local wisdom), yang diwariskan melalui pesan, ajaran,
dan nilai-nilai moral yang terkandung di dalamnya. Masyarakat meyakini bahwa lirik
lagu ini akan berpengaruh pada pembentukan kepribadian dan karakter seseorang.
Syair yang mengandung ajaran-ajaran budi pekerti akan memudahkan seseorang
dalam mengingat dan menerapkannya dalam kehidupan bermasyarakat (Setyadi,
2012), serta memberi dampak pada perkembangan anak (Tri, 2003). Pada saat
ini perkembangan teknologi yang berlangsung cepat telah menjadikan kebudayaan,
warisan dan tradisi nenek moyang berangsur-angsur hilang. Syair lagu yang
mendidik sudah jarang dilantunkan oleh orang tua untuk anak-anaknya. Lunturnya
kebanggaan masyarakat terhadap budaya sendiri memberikan efek negatif bagi
generasi penerus. Hal ini tidak dapat dibiarkan begitu saja. Agar generasi penerus
memiliki karakter dan budi pekerti yang baik maka syair dodaidi yang bersifat
mendidik harus dibudayakan kembali.

1.2 Budaya dan Perilaku Kesehatan di Indonesia

A. Mengidentifikasi Budaya di Indonesia (Budaya Aceh)


Indonesia dikenal dengan beranekaragam budaya, dimana disetiap budaya
memiliki tradisi yang juga beranekaragam. Salah satu contohnya yaitu Budaya Aceh.
Masyarakat Aceh tempo dulu sangat konsisten mempertahankan adat istiadat. Sehingga
budaya yang telah turun-temurun sesuai dengan kearifan lokal tidak mudah hilang. Salah
satu kearifan lokal tersebut dengan adanya tradisi kesehatan yang dinamakan tradisi
“madeung”. Namun berbicara budaya ”madeung” yaitu sebuah istilah dari orang Aceh
kepada ibu yang baru melahirkan. Madeung adalah teknik pengobatan yang lazimnya
dilakukan wanita Aceh yang baru selesai melahirkan. Tujuannya adalah untuk
mendapatkan penyembuhan yang sempurna setelah melahirkan.
B. Menjelaskan dan Memahami Budaya Aceh Terhadap Perilaku Kesehatan
Perilaku masyarakat sangat dipengaruhi oleh banyak faktor diantaranya pendidikan,
norma/adat-istiadat yang berkembang, lingkungan sekitar, budaya dan lain-lain. Perilaku
tidak selalu dapat dengan mudah diamati karena banyak perilaku yang terselubung dan
tersembunyi pada diri seseorang. Perilaku akan lebih mudah diketahui apabila perilaku
diwujudkan dalam tindakan atau perbuatan yang konkrit atau nyata. Seperti halnya
perilaku madeung yang berkembang dalam masyarakat Aceh terutama masyarakat
Gampong Cot Lagan merupakan kepercayaan yang sudah turun-temurun dianut oleh
masyarakat. Perilaku madeung banyak sekali mengandung unsur positif seperti
pengobatan, norma, budaya, dan lain-lain. Akan tetapi dalam prakteknya sangat
dipengaruhi oleh kepercayaan terhadap mitos yang ada. Sehingga ibu-ibu merasa cemas
dan takut dengan mitos-mitos yang berkembang selama madeung. Terlebih lagi apabila 2
mitos tersebut dilanggar dan mitos tersebut terbukti pada salah satu ibu atau bayi maka
akan jadi buah bibir ibu-ibu yang lain. Misalnya pantangan tidak boleh makan telur ayam
karena akan timbul bisul (saban) di kepala. Apabila pantangan ini dilanggar dan bayi
mengalami hal tersebut maka ini akan jadi bahan pembicaraan ibu. Seperti; pantesan
anaknya bisul dikepala dulu ibunyakan bandel makan telur pada saat madeung.

1.3 Aplikasi Konsep Transkultural dalam Keperawatan

A. Pengertian Keperawatan Transkultural


Definisi transkultural bila ditinjau dari makna kata, transkultural berasal dari kata
trans dan culture, trans berarti alur perpindahan, jalan lintas atau penghubung. Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia; trans berarti melintang, melintas, menembus, melalui.
Sedangkan Culture berarti budaya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kultur
berarti; kebudayaan, cara pemeliharaan, pembudidayaan. Kepercayaan, nilai–nilai dan
pola perilaku yang umum berlaku bagi suatu kelompok dan diteruskan pada generasi
berikutnya, sedangkan cultural berarti; sesuatu yang berkaitan dengan kebudayaan.
Budaya sendiri berarti : akal budi, hasil dan adat istiadat. Dan kebudayaan berarti hasil
kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia seperti kepercayaan, kesenian dan adat
istiadat atau keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakan
untuk menjadi pedoman tingkah lakunya.

Transcultural Nursing merupakan suatu area yang berkaitan dengan perbedaan


maupun kesamaan nilai– nilai budaya (nilai budaya yang berbeda, ras, yang
mempengaruhi pada seorang perawat saat melakukan asuhan keperawatan kepada klien
atau pasien) menurut Leininger (1991). Leininger beranggapan bahwa sangat penting
memperhatikan keanekaragaman budaya dan nilai-nilai dalam penerapan asuhan
keperawatan kepada klien.
Transkultural Nursing adalah suatu area atau wilayah keilmuwan budaya pada
proses belajar dan praktek keperawatan yang fokus memandang perbedaan dan kesamaan
diantara budaya dengan menghargai asuhan, sehat dan sakit yang didasarkan pada nilai
budaya manusia, kepercayaan dan tindakan, dan ilmu ini digunakan untuk memberikan
asuhan keperawatan khususnya budaya atau keutuhan budaya kepada manusia
(Leininger, 2002).

B. Konsep yang Mendasari Keperawatan Transkultural


Asumsi mendasar dari teori transkultural keperawatan adalah perilaku caring.
Tindakan caring adalah tindakan yang dilakukan dalam memberikan dukungan kepada
individu secara utuh. Perilaku ini seharusnya sudah tertanam di dalam diri manusia sejak
lahir, dalam perkembangan dan pertumbuhan, masa pertahanan sampai individu tersebut
meninggal. Kesehatan fisik selalu berkolaborasi dengan kondisi manusia sebagai
makhluk psikologis.

C. Perspektif Transkultural dalam Keperawatan


Perspektif keperawatan transcultural Leininger (1985) diartikan sebagai cara
pandang, keyakinan, nilai-nilai, konsep-konsep dalam terlaksananya asuhan keperawatan
yang sesuai dengan latar belakang budaya terhadap empat konsepsentral keperawatan
yaitu : manusia, sehat, lingkungan dan keperawatan.

Empat Komponen Landasan Berpikir Perspektif Keperawatan Transkultural :


a. Manusia / Individu, keluarga atau kelompok yang memiliki nilai-nilai dan norma-
norma yang diyakini dan berguna untuk menetapkan pilihan dan melakukan suatu
tindakan. Manusia memiliki kemampuan kognitif cenderung akan
mempertahankan budayanya dimanapun ia berada .
b. Kesehatan Kesehatan adalah keseluruhan aktifitas yang dimiliki klien dalam
mengisi kehidupannya, terletak pada rentang sehat sakit. Kesehatan merupakan
suatu keyakinan, nilai, pola kegiatan dalam konteks budaya yang digunakan untuk
menjaga dan memelihara keadaan seimbang/sehat yang dapat diobservasidalam
aktivitas sehari-hari. Klien dan perawat mempunyai tujuan yang sama, yakni ingin
mempertahankan keadaan sehat dalam rentang sehat sakit yang adaptif.
c. Lingkungan didefinisikan sebagai keseluruhan fenomena yang mempengaruhi
perkembangan, kepercayaan dan perilaku klien. Lingkungan dipandang sebagai
suatu totalitas kehidupan dimana klien dengan budayanya saling berinteraksi.
Terdapat tiga bentuk lingkungan yaitu : fisik, sosial dan simbolik. Lingkungan
fisik adalah lingkungan alam atau diciptakan oleh manusia seperti yang
bermanfaat untuk mempertahankan kehidupan. Misalnya: pemakaian obat-obatan
untuk kesehatan, membuat rumah sesuai iklim dan geografis lingkungan.
Lingkungan sosial adalah keseluruhan struktur sosial yang berhubungan dengan
sosialisasi individu, keluarga atau kelompok ke dalam masyarakat yang lebih luas
yang mempengaruhi kehidupan
d. Keperawatan, asuhan keperawatan adalah suatu proses atau rangkaian kegiatan
pada praktik keperawatan yang diberikan kepada klien sesuai dengan latar
belakang budayanya. Asuhan keperawatan ditujukan memandirikan atau
memberdayakan individu sesuai dengan budaya klien. Strategi yang digunakan
dalam asuhan keperawatan adalah perlindungan/mempertahankan budaya,
mengakomodasi/negoasiasi budaya dan mengubah/mengganti budaya klien.

D. Teori Culture Care Leininger


Culture Care adalah teori keperawatan yang luas karena memperhitungkan
perspektif holistik tentang kehidupan dan keberadaan manusia dan waktu ke waktu,
termasuk faktor struktur sosial, pandangan dunia, sejarah dan nilai budaya, konteks
lingkungan (Leininger. 1981), ekspresi bahasa, dan pola rakyat (genetik) dan profesional
dilihat dalam istilah budaya. Tujuan dari Culture Care Theory adalah untuk
meningkatkan pengetahuan mengenai keperawatan transkultural guna menyediakan
praktek perawatan terbaik oleh generasi perawat dimasa mendatang di dunia global lan,
Marilyn R: Wehbc-Alarnah, 2019).
Praktik keperawatan transkultural membahas dinamika budaya untuk
mempengaruhi hubungan perawat-pasien. Spesifikasi dari keperawatan transkultural
adalah mempelajari dan menjelaskan hasil dari jenis perawatan berbasis kebudayaan.
Leininger secara kreatif mengembangkan Teori Culture Care memuat nilai keragaman
dan universalitas dengan tujuan untuk memberi budaya kongruen perawatan holistik.
Teori Leininger memberikan tindakan perawatan yang selaras dengan keyakinan budaya,
praktik, dan nilai individu atau kelompok. Pada tahun 1960 dia menciptakan istilah
perawatan kongruen secara budaya, yang merupakan tujuan utama praktik keperawatan
transkultural. Perawatan kongruen secara budaya mungkin terjadi dalam hubungan
perawat-pasien (Leininger, 1981). Perawat dan pasien dapat bersama-sama secara kreatif
merancang pengobatan yang baru atau berbeda. Pendekatan keperawatan transcultural
juga menaruh perhatian khusus terhadap gaya hidup untuk kesehatan atau kesejahteraan
pasien. Mode ini membutuhkan penggunaan pengetahuan dan cara generik serta
profesional sesuai dengan beragam gagasan tersebut ke dalam tindakan dan tujuan
perawatan.
Berikut adalah asumsi dari Teori Culture Care Leininger :
1) Perawatan (Care) adalah tindakan untuk membantu orang lain dengan kebutuhan
nyata atau yang diantisipasi dalam upaya untuk memperbaiki kondisi manusia
yang memprihatinkan atau menghadapi kematian.
2) Merawat (Caring) adalah tindakan atau aktivitas yang diarahkan untuk
memberikan perawatan.
3) Budaya mengacu pada nilai, kepercayaan, norma, dan lifeways individu atau
kelompok tertentu yang membimbing mereka seperti pemikiran, keputusan,
tindakan, dan pola hidup.
4) Perawatan budaya mengacu pada berbagai aspek budaya yang mempengaruhi dan
memungkinkan seseorang atau kelompok untuk memperbaiki kondisi mereka atau
untuk menangani penyakit/kematian. Keragaman perawatan budaya mengacu
pada perbedaan makna dan nilai perawatan di dalam atau di antara berbagai
kelompok orang.
5) Keunikan perawatan budaya mengacu pada perawatan umum atau makna serupa
yang terlihat jelas di antara banyak budaya.
6) Keperawatan adalah profesi terpelajar yang terfokus pada penyakit.
7) Cara Pandang mengacu pada cara orang dalam melihat dunia atau universein yang
menciptakan pandangan pribadi tentang kehidupan apa adanya.
8) Dimensi struktur budaya dan sosial mencakup faktor-faktor yang berkaitan
dengan agama, struktur sosial, masalah politik/hukum, ekonomi, pola pendidikan,
penggunaan teknologi, nilai budaya, dan sejarah etnis yang mempengaruhi respon
budaya manusia dalam konteks budaya.
9) Kesehatan mengacu pada keadaan kesejahteraan yang didefini sikan dan dinilai
secara kultural oleh budaya yang ditunjuk.
10) Pelestarian atau pemeliharaan perawatan budaya mengacu pada kegiatan asuhan
keperawatan yang membantu orang-orang dari budaya tertentu untuk
mempertahankan dan menggunakan nilai 73 perawatan budaya utama yang terkait
dengan masalah atau kondisi kesehatan.
11) Akomodasi budaya atau negosiasi mengacu pada tindakan keperawatan yang
kreatif yang membantu orang-orang dari budaya tertentu beradaptasi atau
bernegosiasi dengan orang lain di komunitas layanan kesehatan dalam upaya
mencapai tujuan bersama dari hasil kesehatan optimal untuk pasien dari budaya
yang ditunjuk.
12) Reparasi atau restrukturisasi perawatan budaya mengacu pada tindakan terapeutik
yang dilakukan oleh perawat atau keluarga yang kompeten. Tindakan ini
memungkinkan atau membantu pasien untuk mengubah perilaku kesehatan
pribadi menjadi lebih manfaat sambil menghargai nilai-nilai budaya pasien.
Untuk membantu perawat dalam menvisualisasikan Teori Leininger, maka
Leininger menjelaskan teorinya dengan model sunrise. Model ini adalah
sebuah peta kognitif yang bergerak dari yang paling abstrak ke yang sederhana dalam
menyajikan faktor penting teorinya secara holistik. Sunrise model dikembangkan
untuk memvisualisasikan dimensi tentang pemahaman perawat mengenai budaya
yang berdeda-beda. Perawat dapat menggunakan model ini saat melakukan pengkajian
dan perencanaan asuhan keperawatan, pada pasien dengan berbagai latar belakang
budaya. Meskipun model ini bukan merupakan teori, namun setidaknya model ini
dapat dijadikan sebagai panduan untuk memahami aspek holistik, yakni
biopsikososiospiritual dalam proses perawatan klien. Selain itu, sunrise model ini juga
dapat digunakan oleh perawat komunitas untuk menilai faktor cultural care pasien
(individu, kelompok, khususnya keluarga) untuk mendapatkan pemahaman budaya klien
secara menyeluruh. Sampai pada akhirnya, klien akan merasa bahwa perawat tidak
hanya melihat penyakit serta kondisi emosional yang dimiliki pasien. Namun,
merawat pasien secara lebih menyeluruh. Adapun, sebelum melakukan pengkajian
terhadap kebutuhan berbasis budaya kepada klien, perawat harus menyadari dan
memahami terlebih dahulu budaya yang dimilki oleh dirinya sendiri. Jika
tidak, maka bisa saja terjadi cultural imposition.
Terdapat 7 komponen yang ada pada "Sunrise Model" dan dapat menjadikan inspirasi
dalam penelitian khususnya yang berkaitan dengan asuhan transkultural yaitu :
a. Faktor teknologi (tecnological factors)
Teknologi kesehatan memungkinkan individu untuk memilih atau mendapat
penawaran menyelesaikan masalah dalam pelayanan kesehatan. Perawat perlu
mengkaji lebih dalam tentang persepsi sehat sakit, kebiasaan berobat atau mengatasi
masalah kesehatan, alasan mencari bantuan kesehatan, alasan klien memilih
pengobatan alternatif dan persepsi klien tentang penggunaan dan pemanfaatan
teknologi untuk mengatasi permasalahan kesehatan saat ini.

b. Faktor agama dan falsafah hidup (religious and philosophical factors)


Agama adalah suatu simbol yang mengakibatkan pandangan yang amat realistis
bagi para pemeluknya. Agama memberikan motivasi yang sangat kuat untuk
menempatkan kebenaran di atas segalanya, bahkan di atas kehidupannya sendiri.
Faktor agama yang harus dikaji oleh perawat adalah : agama yang dianut, status
pernikahan, cara pandang klien terhadap penyebab penyakit, cara pengobatan dan
kebiasaan agama yang berdampak positif terhadap kesehatan.

c. Faktor sosial dan keterikatan keluarga (kinship and social factors)


Perawat pada tahap ini harus mengkaji faktor-faktor : nama lengkap, nama
panggilan, umur dan tempat tanggal lahir, jenis kelamin, status, tipe keluarga,
pengambilan keputusan dalam keluarga, dan hubungan klien dengan kepala keluarga.
d. Nilai-nilai budaya dan gaya hidup (cultural value and life ways)
Nilai-nilai budaya adalah sesuatu yang dirumuskan dan ditetapkan oleh penganut
budaya yang dianggap baik atau buruk. Norma-norma budaya adalah suatu kaidah
yang mempunyai sifat penerapan terbatas pada penganut budaya terkait. Yang perlu
dikaji pada faktor ini adalah : posisi dan jabatan yang dipegang oleh kepala keluarga,
bahasa yang digunakan, kebiasaan makan, makanan yang dipantang dalam kondisi
sakit, persepsi sakit berkaitan dengan aktivitas sehari-hari dan kebiasaan
membersihkan diri.

e. Faktor kebijakan dan peraturan yang berlaku (political and legal factors)
Kebijakan dan peraturan rumah sakit yang berlaku adalah segala sesuatu yang
mempengaruhi kegiatan individu dalam asuhan keperawatan lintas budaya. Yang
perlu dikaji pada tahap ini adalah : peraturan dan kebijakan yang berkaitan dengan
jam berkunjung, jumlah anggota keluarga yang boleh menunggu, cara pembayaran
untuk klien yang dirawat.    
f. Faktor ekonomi (economical factors)
Klien yang dirawat di rumah sakit memanfaatkan sumber-sumber material yang
dimiliki untuk membiayai sakitnya agar segera sembuh. Faktor ekonomi yang harus
dikaji oleh perawat diantaranya : pekerjaan klien, sumber biaya pengobatan, tabungan
yang dimiliki oleh keluarga, biaya dari sumber lain misalnya asuransi, penggantian
biaya dari kantor atau patungan antar anggota keluarga.

g. Faktor pendidikan (educational factors)


Latar belakang pendidikan klien adalah pengalaman klien dalam menempuh jalur
pendidikan formal tertinggi saat ini. Semakin tinggi pendidikan klien maka keyakinan
klien biasanya didukung oleh bukti-bukti ilmiah yang rasional dan individu tersebut
dapat belajar beradaptasi terhadap budaya yang sesuai dengan kondisi kesehatannya.
Hal yang perlu dikaji pada tahap ini adalah tingkat pendidikan klien, jenis pendidikan
serta kemampuannya untuk belajar secara aktif mandiri tentang pengalaman sakitnya
sehingga tidak terulang kembali.
Empat prinsip atau ajaran utama dari teori keperawatan transkultural adalah sebagai
berikut (Alligood, 2006):
1) Ekspresi, arti, pola dan perilaku asuhan budaya bermacam-macam namun masih
ada nilai-nilai yang bersifat umum dan universal.
2)  Pandangan dunia terdiri dari berbagai faktor struktur sosial seperti agama,
ekonomi, nilai budaya, sejarah bangsa, konteks lingkungan, bahasa, asuhan umum
dan professional yang mempunyai pengaruh sangat besar terhadap pola asuhan
budaya untuk memprediksi kesehatan, kesejahteraan manusia, penyakit,
penyembuhan dan cara orang dalam menghadapi kecacatan maupun kematian.
3) Nilai generik dan nilai professional dalam konteks lingkungan yang berbeda akan
berpengaruh besar terhadap pencapaian derajad kesehatan dan kesakitan
4) Dari penjelasan ketiga prinsip diatas, maka diperlukan cara untuk memberikan
asuhan yang sesuai dengan budaya, aman dan bermanfaat. Ada 3 model keputusan
dan intervensi yang didasarkan pada budaya yaitu:
(a) Preservasi asuhan budaya atau mempertahankan,
(b) Akomodasi asuhan budaya atau negosiasi, dan
(c) Restrukturisasi asuhan budaya atau merubah pola. Model keputusan
dan intervensi yang didasarkan pada budaya dianggap sebagai kunci
keberhasilan dari asuhan yang aman, bermanfaat dan sesuai dengan
budaya.
E. Penerapan Konsep Transkultural Sepanjang Daur Kehidupan Manusia
a. Perawatan kehamilan dan kelahiran
Perawatan Kehamilan dan Kelahiran bayi pun dipengaruhi oleh aspek social dan
budaya dalam suatu masyarakat.Dalam ukuran tertentu ,fisiologi kelahiran secara
universal sama.Namun proses kelahiran sering ditanggapi dengan cara-cara yang
berbeda oleh aneka kelompok masya-rakat(Jordan,1993). Berbagai kelompok yang
memiliki penilaian terhadap aspek kultural tentang kehamilan dan kelahiran
menganggap peristiwa itu merupakan tahapan yang harus dijalani dunia. Pebedaan
yang mencolok antara penanganan kehamilan dan kelahiran oleh dunia medis dengan
dengan adat adalah orang yang menanganinya,kesehatan modern penangan dokter
dibantu oleh perawat,bidan,dan lain sebagainya tapi penanganan dengan adat dibantu
oleh dukun bayi. Berdasarkan uraian di atas perawat harus mampu memahami kondisi
kliennya yang memiliki budaya berbeda. Perawat juga dituntut untuk memiliki
keterampilan dalam pengkajian budaya yang akurat dan komprehensif sepanjang waktu
berdasarkan warisan etnik dan riwayat etnik,riwayat biokultural,organisasi
social,agama,dan kepercayaan serta pola komunikasi.Semua budaya mempunyai
dimensi lampau,sekarang dan mendatang untuk itu penting bagi perawat memahami
orientasi waktu wanita yang mengalami transisi kehidupan dan sensitive terhadap
warisan budaya keluarganya.

b. Perawatan dan Pengasuhan Anak


Disepanjang daur kehidupannya, manusia akan melewati masa transisi dari awal
masakelahiran hingga kematiannya. Kebudayaan turut serta mempengaruhi peralihan
tersebut.Dalam asuhan keperawatan budaya, perawat harus paham dan bisa
mengaplikasikan pengetahuannya pada tiap daur kehidupan manusia. Salah satu
contohnya yaitu aplikasi transkultural pada perawatan dan pengasuhan anak.Setiap
anak diharapkan dapat berkembang secara sempurna dan simultan, baik perkembangan
fisik, kejiwaan dan juga sosialnya sesuai dengan standar kesehatan, yaitu sehat jasmani,
rohani dan sosial. Untuk itu perlu dipetakan berbagai unsur yang terlibat dalam proses
perkembangan anak sehingga dapat dioptimalkan secara sinergis.
Proses sosialisasi pada anak secara umum melalui 4 fase, yaitu:
1) Fase Laten (Laten Pattern),pada fase ini proses sosialisasi belum terlihat
jelas.Anak belum merupakan kesatuan individu yang berdiri sendiri dan
dapatmelakukan kontak dengan lingkungannya. Pada fase ini anak masih
dianggapsebagai bagian dari ibu,dan anak pada fase ini masih merupakan satu
kesatuan yang disebut “two persons system”.
2) Fase Adaptasi (Adaption),pada fase ini anak mulai mengenal lingkungan
danmemberikan reaksi atas rangsangan-rangsang an dari lingkungannya.
Orangtua berperan besar pada fase adaptasi,karena anak hanya dapat belajar
dengan baikatas bantuan dan bimbingan orangtuanya.
3) Fase Pencapaian Tujuan (Goal Attainment),pada fase ini dalam
sosialisasinyaanak tidak hanya sekadar memberikan umpan balik atas rangsangan
yangdiberikan oleh lingkungannya,tapi sudah memiliki maksud dan tujuan.
Anakcenderung mengulangi tingkah laku tertentu untuk mendapatkan pujian dan
penghargaan dari lingkungannya.
4) Fase Integrasi (Integration),pada fase ini tingkah laku anak tidak lagi hanya
sekadar penyesuaian (adaptasi) ataupun untuk mendapatkan penghargaan,tapi
sudah menjadi bagian dari karakter yang menyatu dengan dirinya
sendiri.Interaksi anak dengan lingkungannya secara tidak langsung telah
mengenalkandirinya pada kultural atau kebudayaan yang ada di sekelilingnya.
Lingkungan dankeluarga turut berperan serta dalam tumbuh kembang anak.

F. Aplikasi Keperawatan Transkultural dalam Berbagai Masalah Kesehatan Pasien


Nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan akibat
dari kerusakan jaringan yang actual/potensial.
Aplikasi transcultural pada gangguan nyeri baik yang dilakukan oleh pasien berdasarkan
apa yang dipercaya olehnya / yang dilakukan oleh perawat setelah melakukan pengkajian
tentang latar belakang budaya pasien adalah sebagai berikut:
a. Dengan membatasi gerak dan istirahat
b. Mengkonsumsi obat-obatan tradisional
c. Dengan dipijat/semacamnya

1.3.1 Konsep budaya dan Tumbuh Kembang

A. Review Konsep budaya Aceh dan Tumbuh Kembang


Menurut Carol R. Ember dan Melvin Ember, "kebudayaan merupakan suatu
penyesuaian pada lingkungan fisik dan kebutuhan-kebutuhan biologis. Kebudayaan juga
merupakan suatu penyesuaian pada lingkungan" (Wibowo dan Ismail, 2008:125). Aceh
yang sebelumnya pernah disebut dengan nama Daerah Istimewa Aceh (1959-2001) dan
Nanggroe Aceh Darussalam (2001-2009) adalah provinsi paling barat di Indonesia. Aceh
memiliki otonomi yang diatur tersendiri, berbeda dengan kebanyakan provinsi lain di
Indonesia, karena alasan sejarah. Daerah ini berbatasan dengan Teluk Benggala di
sebelah utara, Samudra Hindia di sebelah barat, Selat Malaka di sebelah timur, dan
Sumatera Utara di sebelah tenggara dan selatan. Ibu kota Aceh ialah Banda Aceh.
Pelabuhannya adalah Malahayati-Krueng Raya, Ulee Lheue, Sabang, Lhokseumawe dan
Langsa.
Dilihat dari sisi kebudayaannya, Aceh memiliki budaya yang unik dan beraneka
ragam. Kebudayaan Aceh ini banyak dipengaruhi oleh budaya-budaya melayu, karena
letak Aceh yang strategis karena merupakan jalur perdagangan maka masuklah
kebudayaan Timur Tengah. Beberapa budaya yang ada sekarang adalah hasil dari
akulturasi antara budaya melayu, Timur Tengah dan Aceh sendiri. Suku bangsa yang
mendiami Aceh merupakan keturunan orang-orang melayu dan Timur Tengah hal ini
menyebabkan wajah-wajah orang Aceh berbeda dengan orang Indonesia yang berada di
lain wilayah. Corak kesenian Aceh memang banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Islam,
namun telah diolah dan disesuaikan

B. Contoh Perilaku Budaya Aceh yang Berhubungan dengan Kesehatan di Kaitkan dengan
Tumbuh Kembang
Bayi adalah anak yang baru lahir sampai berumur 1 tahun dan mengalami proses
tumbuh kembang. Proses tersebut berlangsung dengan pesat dan sangat dipengaruhi oleh
lingkungan namun, berlangsung sangat pendek dan tidak dapat diulangi lagi sehingga
disebut sebagai “masa keemasan” (golden period).Tumbuh kembang merupakan dua
proses yang berbeda, tetapi keduanya tidak dapat berdiri sendiri, terjadi secara simultan,
saling berkaitan, dan berkesinambungan dari masa konsepsi hingga dewasa.

Tumbuh kembang anak dalam bingkai syariat maupun dalam adat istiadat dan
budaya Aceh ketika seorang bayi lahir ke dunia, makanan pertama yang menjadi
asupannya adalah ASI {Air Susu Ibu}. Hal ini jelas bahwa tugas ibu adalah mengasuh
dan menyusui anak-anaknya. Anak yang langsung menyusu kepada ibunya akan
merasakan kasih sayangnya, kedamaian jiwa dan perasaan terbela dan terlindungi.
Bahkan asi pertama yang didapatkan dari ibunya berguna untuk kekebalan tubuhnya .
Oleh karena itu ajaran Islam menganjurkan agar para ibu mau menyusui anak-anaknya
sesuai dengan ketetapan yang telah digariskan dalam Al Qur’an surat Al Baqarah:233.

Bagi orang Aceh, menyusui selama 2 tahun itu sebagai upaya menjaga jarak
kelahiran dengan anak berikutnya. Hal tersebut sesuai dengan ajaran Islam yang
mengatur masalah kelahiran anak, dimana anak berhak mendapat pengasuhan yang
sempurna dari ibunya. Selain memberikan ASI dalam adat aceh bayi yang sudah
berumur seminggu juga diberi pisang “Wak” dan “Ibuu Neuleng”. Apalagi ibu yang
ASInya tidak mencukupi untuk bayi.

C. Peran Budaya dalam Tumbuh Kembang Keperawatan


Perawat merupakan petugas kesehatan yang mempunyai peran dominan dalam
membantu pasien sembuh dari penyakit yang dideritanya. Terkait dengan budaya perawat
perlu mengetahui dan menilai keanekaragaman budaya, mempunyai kapasitas untuk
mengkaji budaya, menyadari bahwa budaya bersifat dinamis dan mempunyai adaptasi
yang terus menerus dikembangkan dalam upaya merefleksikan dan memahami
keanekaragaman budaya. JIH, merupakan salah satu rumah sakit internasional yang
memiliki knsumen dari berbagai ragam latar budaya. Oleh karenanya perlu kiranya
diketahui bagaimana pendekatan budaya yang dilakukan perawat di rumah sakit tersebut.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perawat perlu mempunyai pengetahuan


tentang budaya dalam memberikan asuhan keperawatan. Perawat bersikap positif dalam
menghadapi perbedaan budaya. Perawat akan membiarkan bila tidak mempengaruhi
kesehatan, bernegosiasi atau bahkan akan melarang bila mengganggu kesehatan atau
dilarang dokter. Hambatan yang sering ditemukan adalah dalam hal komunikasi dan
pendekatan budaya dalam praktek keperawatan profesional dilakukan me lalui identiÞ
kasi, analisa situasi, menyusun strategi dan mengevaluasi.

Menurut Cross, T., Bazron, B. Dennis, K. dan Issac, M., terdapat lima element
budaya yang perlu diketahui dan mampu diimplemetasikan oleh seorang perawat dalam
intervensi keperawatan yaitu menilai keanekaragaman budaya, mempunyai kapasitas
untuk meng-assessment budaya, menyadari bahwa budaya bersifat dinamis dan inherent
dalam ketika terjadi interaksi budaya, mempunyai pengetahuan budaya yang sudah
dilembagakan, mempunyai adaptasi yang terus menerus dikembangkan dalam upaya
mereaksikan dan memamahami keanekaragaman budaya

Sebagian besar perawat mempunyai persepsi yang sama yaitu bahwa merupakan
hal yang sangat penting bagi perawat-perawat memiliki pengetahuan tentang budaya .
Alasan yang mereka sampaikan sangat bervariasi. Misalnya adalah agar mereka dapat
mengerti/memahami dan menempatkan diri atau menyesuaikan diri dengan pasiennya.
Cultural Shock akan dialami oleh klien pada suatu keadaan dimana perawat tidak mampu
beradaptasi dengan perbedaan nilai budaya dan kepercayaan. Hal ini dapat menyebabkan
munculnya rasa ketidaknyamanan dan beberapa mengalami disorientasi Memberikan
pelayanan yang terbaik juga menjadi alasan pentingnya perawat memiliki pengetahuan
budaya. Perbedaan budaya, etnis dan bahasa berdampak pada bagaimana seseorang atau
kelompok memperoleh dan menggunakan atau memanfaatkan pelayanan kesehatan atau
social.

Selain itu perbedaan-perbedaan tersebut juga akan mengakibatkan kendala bagi


efektifitas intervensi perawatan kesehatan . Hal ini benar ketika para praktisi kesehatan
atau perawat melakukan mis-interpretasi, membuat asumsi yang salah atau sebaliknya
salah dalam melakukan sesuatu terhadap seseorang atau kelompok yang dipandang
berbeda istilah menurut latar belakang (budaya) dan pengalamannya mereka. Jadi hal
tersebut akan mengakibatkan pelayanan keperawatan menjadi tidak efektif dan tidak
berkualitas . Hal tersebut tentu saja akan dapat dihindari apabila perawat yang memilki
pengetahuan budaya menyadari dan mampu menemukan perbedaan budaya,
mengintegrasikan pengetahuan budaya dengan cara yang tepat akan membuat perawatan
menjadi efektif 1 .Selanjutnya, kebutaan budaya yang dialami perawat akan berakibat
pada penurunan kualitas pelayanan yang diberikan. Selain itu sumber data lainnya
menyampaikan alasan mengapa perawat perlu mempunyai pengetahuan tentang suatu
budaya. Alasannya adalah mengurangi komplain, rasa tak nyaman atau mencegah
kesalahpahaman atau mis-understanding juga merupakan salah satu alasan.

Komplain sebetulnya merupakan hal biasa dalam bisnis jasa, tidak terkecuali jasa
pelayanan keperawatan. Komplain akan terjadi manakala harapan tidak sesuai dengan
kenyataan atau ada masalah. Sumber masalah di pelayanan keperawatan tentu saja sangat
bervariasi, bisa bersumber dari perawat, pasien-keluarga atau rumah sakit tempat pasien
dirawat. Misunderstanding dapat terjadi akibat perbedaan budaya dan nilai-nilai antara
pasien dan perawat. Menurut Galant pengetahuan tentang budaya dapat membantu
menghindari misunderstanding dan dapat memberikan pelayanan lebih baik Jadi
pengetahuan tentang budaya merupakan factor penting pada semua tingkat praktek
keperawatan. Adanya konflik kultural ataupun stress kultural karena adanya kurang
pengetahuan perawatan kultural untuk memberikan perawatan , rasa aman,
tanggungjawab yang kongruen dengan kebudayaan. Pengetahuan tentang suatu budaya
dan dampaknya terhadap interaksi dengan pelayanan kesehatan merupakan hal esensial
bagi perawat, karena pengetahuan dan ketrampilan tersebut akan makin menguatkan dan
meluaskan system pemberian pelayanan kesehatan. Perawat perlu mengetahui tentang
bagaimana kelompok budaya tertentu memahami proses kehidupan, mendefinisikan
sehat-sakit, mempertahankan kesehatan dan keyakinan mereka tentang penyebab
penyakit dan sebagainya.

D. Masalah -Masalah Budaya dalam Tumbuh Kembang

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Masyudi dan Khadijah pada masyarakat
Aceh, diketahui masih terrdapat balita yang tumbuh kembangnya belum sessuai terutama
perkembangan motorik, hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor antara lain faktor
heriditer, bayi pada saat usia 0-6 bulan tidak diberikan asi eksklusif, kurangnya
pengetahuan orang tua mengenai tumbuh kembang anak balita, pendapatan masyarakat
yang rendah sehingga tidak mempu memenuhi asupan makanan bergizi dan pola asuh
yang tidak benar. Penelitian Ambarwati (2014) menyatakan ada hubungan antara tingkat
pengetahuan ibu tentang stimulasi tumbuh kembang dengan perkembangan pada anak.
Salah satu faktor yang menyebabkan timbulnya masalah gizi dalam keluarga adalah
kurangnya pengetahuan ibu rumah tangga akan hubungan makanan dan kesehatan.

Di samping itu juga tingkat pengetahuan ibu yang rendah akan memperkecil
peluang untuk mendapat penghasilan yang memadai dalam membantu memenuhi
kebutuhan keluarga, selain itu tingkat pengetahuan ibu rumah tangga yang rendah juga
membatasi penerimaan informasi sehingga tingkat pengetahuan gizi juga rendah.
Semakin tinggi pengetahuan ibu rumah tangga , maka semakin diperhitungkan jenis dan
juga makanan yang dipilih atau di konsumsi oleh keluarga. Dan juga dapat memilih
makanan yang menarik dan menyediakan pilihan berdasarkan nilai gizi pada makanan
tersebut (Sediaoetama, 2010).

Salah satu contoh tradisi Badapu masyarakat Aceh Barat yang harus dilakukan oleh ibu
yang baru melahirkan dengan mengikuti aturan-aturan yang ada berupa pembatasan
terhadap beberapa jenis makanan yang boleh dimakan. Akibat pembatasan makanan
tersebut, makanan yang dikonsumsi ibu nifas tidak memenuhi angka kecukupan gizi yang
dianjurkan sehingga berdampak kepada pertumbuhan dan perkembangan bayinya yang
sangat membutuhkan ASI yang baik dan bergizi dari ibu untuk membantu proses optimal
dari seribu hari pertama kehidupannya.

Analisa
Setelah mempelajari mengenai apa itu budaya baik budaya dimata global secara
umum maupun konsep budaya secara khusus yaitu mengambil sisi budaya dari
kebudayaan salah satu provinsi di Indonesia yaitu Aceh. Secara garis besar status
kesehatan dipengaruhi oleh empat faktor yaitu lingkungan, gaya hidup atau perilaku,
pelayanan kesehatan, dan genetik atau keturunan. Faktor lingkungan, yang mencakup
lingkungan fisik, sosial, budaya, politik, ekonomi, dan sebagainya.

Masyarakat Aceh adalah masyarakat Islami. Kebanyakan adat Aceh berdasarkan


ajaran Islam, termasuk pemenuhan tumbuh kembang anak yang menjadi perhatian ajaran
Islam dan Adat Aceh. Adat Aceh perlu dilestarikan terutama dalam upaya memenuhi
kebutuhan anak agar terwujud Aceh Carong dan Aceh Mempunyai adab salah satunya
adat tentang pemberian ASI. Bayi mengalami proses tumbuh kembang yang dipengaruhi
oleh beberapa faktor, salah satunya adalah gizi. Unsur gizi pada bayi dapat dipenuhi
dengan pemberian ASI.
Dilihat dari sisi kebudayaannya, Aceh memiliki budaya yang unik dan
beranekaragam. Ada banyak tradisi dan budaya, baik yang bersifat kesenian, keagamaan
bahkan yang berkaitan dengan pengobatan seperti halnya madeung..Pengobatan dengan
teknik madeung ini khusus bagi ibu – ibu yang baru melahirkan. Selama madeung, ibu –
ibu dihadapkan dengan pantangan dan anjuran yang terkadang memberatkan sekaligus
berdampak kurang baik bagi kesehatan. Akan tetapi, ritual madeung tersebut juga banyak
manfaat yang dapat mengembangkan ilmu pengetahuan baik dari segi budaya maupun
medis.
Adat istiadat ini merupakan bagian dari tradisi, keturunan dan budaya dari daerah
setempat. Dimanapun mereka berada, akan ada adat istiadat tersendiri dari
daerah. Budaya tersebut dapat dilakukan dengan mengubah atau mengubah dalam praktik
tradisional yang dapat mempengaruhi budaya perilaku hidup sehat. Selain itu budaya
aceh memiliki sisi keagamaan yang sangat kental. Mereka masih mengandalkan tabib
atau tokoh agama. Tentunya hal ini sangat berpengaruh juga untuk tumbuh kembang
kesehatan di wilayah tersebut. Apalagi kita sebagai perawat juga belum tentu memiliki
pengetahuan yg mandalam mengenai budaya tersebut. Itulah alsan terutama mengapa
perawat juga perlu memahami atau mempelajari setiap kebudayaan dan hambatn nya.
Namun meskipun dalam proses pengabdian nanti akan menghadapi hambatan tersebut ,
itu supaya tidak menjadikan semangat para perawat. Mengingat dijaman sekarang ini
segala informasi dapat dicari dan di akses secara mudah dan cepat.
Daftar Pustaka
Nurlaily, A,P. 2020. Modul 1 Konsep Keperawatan Transkultural. Stikes Kusuma
Husada.Surakarta.
Yunus, Elon,. dkk. 2021. Teori dan Model Keperawatan. Yayasan Kita Menulis
Ruslinda,Marianda.2013.Perspektif Dan Prinsip Transcultural Dalam Keperawatan Serta
Aplikasinya.Kepulauan Riau.Sekolah Tinggi Ilmunksehatan Karimun.
Fairuz, SF dan Rahman, A. 2015. 70 Peranan Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) ke IV dan V
dalam Membangkitkan Kebudayaan Aceh: (Studi Kasus Tari Saman dan Seudati). Jurnal
Seuneubok Lada. 2(1).
Rahayu, IS, Mudatsir dan Hasballah,K. 2017. Faktor Budaya Dalam Perawatan Ibu Nifas,
Cultural Factors In Treatment In The Postpartum Mother. Jurnal Ilmu Keperawatan. 5(1).
Riana. 2014. perilaku madeung perempuan aceh. Aceh.

Rahayu, IS. 2017. Faktor Budaya Dalam Perawatan Ibu Nifas. Jurnal Ilmu Keperawatan,
5(1):36-49.

Ali, F. 2013. Identitas Aceh dalam Perspektif Syariat dan Adat. Banda Aceh. Badan Arsip
Perpustakaan Aceh.
Anggriani, J. 2011. Kedudukan Qanum dalam Sistem Pemerintahan Daerah dan Mekanisme
Pengawasannya. Quia Iustum Law Journal of Islamic University of Indonesia. 18(3).
Mugianti, S. 2016. Manajemen dan Kepemimpinan Dalam Praktik Keperawatan.Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia Pusdik SDM Kesehatan. Jakarta.
Fitri, DI, Chundrayetti, E, dan Semiarty, R. 2014. Hubungan Pemberian ASI dengan Tumbuh
Kembang Bayi Umur 6 Bulan di Puskesmas Nanggalo. Jurnal Kesehatan Andalas. 3(2).
Gunawijaya, J. 2010. Kuliah umum tentang budaya dan perspektif transkultural dalam
keperawatan Mata ajar KDK II 2010, semester genap FIK-UI.
Khadijah dan Masyudi. 2016. Hubungan Pemberian ASI Eksklusif, Pengetahuan, Pendapatan
dan Pola Asuh dengan Tumbuh Kembang Anak Balita di Desa Meudheun Kecamatan Jaya
Kabupaten Aceh Jaya Tahun 2016. Serambi Saintia. 4(2).
Wibowo, A. B. 2013. Etika Kepemimpinan dalam Adat Aceh. Majalah Jeulama
Rahman, A dan Fairuz, SF. 2015. 70 Peranan Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) ke IV dan V
dalam Membangkitkan Kebudayaan Aceh: (Studi Kasus Tari Saman dan Seudati). Jurnal
Seuneubok Lada. 2(1).

Idris, T. 2017. Pemenuhan Hak-Hak Anak dalam Adat dan Budaya Aceh. Jurnal Pendidikan.
6(2).
Zakiyuddin dan Reynaldi, F. 2020. Fenomena Tradisi “Badapu” dengan Status Gizi pada Ibu
Nifas di Aceh Barat. Jurnal Medika Karya Ilmiah Kesehatan. 5(2): 2541-4615.
Buku “PENGANTAR ANTROPOLOGI Sebuah Ikhtisar Mengenal Antropolog” oleh GUNSU
NURMANSYAH,S.H.,M.H. Dr.NUNUNG RODLIYAH,M.A RECCA AYU
HAPSARI,S.H.,M.H., Penerbit AURA CV. Anugrah Utama Raharja Anggota IKAPI
No.003/LPU/2013
Qanun (Peraturan Daerah) Aceh No. 4 Tahun 2010 Tentang Kesehatan
Tuti, dkk. 2019. DODAIDI: BUDAYA MENGAYUNKAN ANAK DALAM MASYARAKAT
ACEH (PERSPEKTIF FILSAFAT PENDIDIKAN KI HADJAR DEWANTARA). Jurnal
Pencerahan, Vol. 13, No. 1
Tasnim Idris.PEMENUHAN HAK HAK ANAK DALAM ADAT DAN BUDAYA ACEH.

Anda mungkin juga menyukai